Anda di halaman 1dari 15

16 Indikator Ekonomi Penting

Oleh Ben RumahFx pada 7 Oktober 2014 pukul 12:40

Para pakar dan analis selalu membicarakan arah


perekonomian, dan itu memang pekerjaan mereka. Namun
seperti yang Anda ketahui sering kali prediksi mereka salah.
Sebagai contoh kepala The Fed Ben Bernanke pada tahun
2007 pernah memprediksikan bahwa Amerika Serikat tidak
akan mengalami resesi. Saat itu ia mengatakan bahwa
pasar saham dan perumahan sangat menjanjikan. Tetapi
seperti kita ketahui sekarang perkiraan Bernanke tersebut
ternyata keliru. Karena prediksi para pakar tidak selalu
benar, maka penting bagi kita sebagai pelaku pasar untuk
mengerti dan memperhatikan perkembangan ekonomi dan
faktor-faktor yang bisa mempengaruhinya, sehingga kita
bisa mengambil keputusan yang tepat dalam investasi
jangka panjang maupun trading.
Seperti telah sering dibicarakan, ada 2 jenis indikator yang
perlu diketahui yaitu:
1. Indikator-indikator leading (leading indicators)
yaitu indikator yang akan berubah mendahului keadaan
sebenarnya, dan indikator leading ini digunakan untuk
memprediksikan trend pada waktu yang akan datang.

2. Indikator-indikator lagging (lagging indicators)


yaitu indikator yang berubah setelah trend terbentuk. Meski
tidak menunjukkan arah pergerakan ekonomi, indikator
lagging mengkonfirmasi perubahan yang telah terjadi, dan
mengindikasikan trend perubahan besaran ekonomi
tersebut dalam jangka panjang.
Indikator-indikator leading
Karena indikator leading sangat potensial untuk
memprediksikan arah perekonomian, maka penentu
kebijakan fiskal dan moneter pemerintah menggunakannya
sebagai acuan dalam mengatur kebijakannya untuk
menghindari resesi atau dampak negatif lain dalam
perekonomian. Indikator-indikator leading yang sering
diperhatikan adalah:
1. Pasar saham
Meski pasar saham bukan indikator yang paling penting
namun indeks harga saham adalah yang pertama kali dilihat
pelaku pasar untuk mengetahui perkembangan ekonomi
saat ini. Harga saham mencerminkan harapan perolehan
badan-badan usaha milik negara maupun perusahaan
swasta sebagai salah satu pelaku yang memegang kendali
arah perekonomian. Jika harga-harga saham (terutama
saham blue-chips) naik, maka pendapatan pelaku ekonomi

akan meningkat sehingga secara keseluruhan pertumbuhan


ekonomi diperkirakan akan naik. Sebaliknya jika
pendapatan perusahaan merosot terus menerus maka
dalam jangka waktu tertentu diperkirakan akan terjadi
resesi.
Namun demikian, kita tidak bisa hanya mengandalkan pada
indikator pasar saham. Pertama, perkiraan pendapatan
sebuah perusahaan bisa saja meleset. Kedua, harga saham
cenderung rawan untuk dimanipulasi. Isilah yang sering kita
dengar adalah "digoreng". Hal ini tidak hanya terjadi di
bursa saham negara-negara berkembang tetapi juga di
negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Di bursa Wall Street (AS) pernah terjadi "window dressing"
(semacam manipulasi terhadap kinerja perusahaan)
terhadap sejumlah saham blue-chip hingga volume
perdagangan saham tersebut meningkat dengan pesat.
Dalam hal ini jelas harga saham yang dimanipulasi tersebut
tidak mencerminkan kekuatan harga yang sebenarnya
(strength of value).
Selain itu harga-harga saham cenderung untuk
menggelembung (bubbles), yang biasanya mengindikasikan
sedang terjadi penggorengan saham besar-besaran atau
kelatahan para pelaku untuk cenderung membeli saham-

saham yang harganya sedang meningkat tanpa


mempedulikan faktor pendukung dari indikator ekonomi
lainnya. Keadaan ini akan sangat rentan dengan koreksi
yang pada akhirnya bisa menyebabkan crash di pasar
saham seperti yang terjadi tahun 1929-1930. Terakhir kali
kita tahu hal semacam ini terjadi pada tahun 2008 meski
tidak separah tahun 1929-1930.
2. Aktivitas manufaktur
Indikator lainnya yang mencerminkan keadaan
perekonomian adalah aktivitas manufaktur. Indikator ini
akan mempengaruhi pertumbuhan atau GDP (Gross
Domestic Product). Aktivitas manufaktur yang meningkat
menunjukkan naiknya permintaan, yang pada akhirnya akan
lebih menggerakkan roda perekonomian. Selain itu aktivitas
manufaktur yang meningkat dengan pesat akan cenderung
pada ekspansi produk yang mengakibatkan bertambahnya
tenaga kerja dan meningkatnya pendapatan mereka.
Permintaan produk manufaktur tidak hanya dari dalam
negeri namun juga dari negara partner dagang. Oleh karena
itu aktivitas manufaktur yang meningkat juga bisa
mempengaruhi volume ekspor negara tersebut yang pada
akhirnya berdampak pada neraca perdagangan. Seperti
diketahui neraca perdagangan yang surplus akan
cenderung memperkuat nilai mata uang negara tersebut.

3. Level persediaan barang (Inventory level)


Persediaan barang yang meningkat menunjukkan dua
kemungkinan, naiknya permintaan hinggawholesaler atau
distributor harus menambah persediaan barang, atau
merosotnya permintaan hingga persediaan menumpuk
akibat bertambahnya pasokan dari pabrik, sementara
permintaan dari retailer berkurang.
Pada kemungkinan pertama, persediaan sengaja ditambah
untuk mengantisipasi permintaan yang meningkat. Jika
sesuai dengan perkiraan maka level persediaan barang
yang tinggi akan meningkatkan keuntungan distributor dan
juga produsen, yang akan berdampak positif pada
perekonomian. Sebaliknya bila kemungkinan kedua yang
terjadi, maka pasokan melebihi permintaan. Selain
menyebabkan turunnya harga barang, biaya penyimpanan
dan operasional bisa merugikan distributor dan pada
akhirnya juga produsen.
Kedua kemungkinan tersebut bisa diketahui dari perubahan
indikator penjualan ritel (Retail Sales) dan indeks
kepercayaan konsumen. Indikator level persediaan ini
memang jarang diperhatikan. Para pelaku lebih cenderung
mengamati penjualan retail. Namun data level persediaan

barang sangat berarti bagi produsen dan tak kalah


pentingnya dari data penjualan ritel.
4. Penjualan retail (Retail Sales)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, indikator ini sangat
berhubungan dengan level persediaan barang dan aktivitas
manufaktur. Barang-barang retail berhubungan langsung ke
konsumen dan sangat berdampak pada tingkat inflasi.
Untuk memilah kategori barang manufaktur yang
mempengaruhi inflasi, indikator ini dibagi menjadi 2 jenis
yaitu penjualan retail inti (Core Retail Sales) yang tidak
memperhitungkan penjualan otomotif, dan penjualan retail
total.
Para analis sering menyimpulkan meningkatnya data
penjualan retail akan ikut menyumbang kenaikan GDP yang
pada akhirnya akan memperkuat nilai tukar mata uang.
Kekurangan dari data ini antara lain tidak menyebutkan
bagaimana konsumen membeli barang-barang tersebut,
misalnya apakah konsumen mendapatkan barang tersebut
dengan berhutang atau dengan dana yang diperoleh dari
pinjaman. Jika sebagian besar konsumen membayar
dengan kredit, atau dengan uang hasil pinjaman, maka
potensi kredit macet bisa saja terjadi dan menimbulkan
masalah ekonomi lainnya. Namun demikian pada umumnya

meningkatnya data penjualan retail akan berdampak positif


pada perekonomian.
5. Building Permits
Building Permits atau ijin pekerjaan konstruksi dan
pembangunan perumahan baru menunjukkan prediksi
ketersediaan bangunan atau real estate untuk waktu yang
akan datang. Bertambahnya jumlah Building
Permits mengindikasikan tumbuhnya industri konstruksi
yang tentunya akan diikuti oleh pertambahan tenaga kerja
dan meningkatnya pendapatan perusahaan konstruksi dan
perumahan, yang juga akan menyumbang kenaikan angka
GDP.
Namun demikian, seperti halnya level persediaan barang
(inventory level), jika makin banyak rumah baru yang
dibangun hingga melebihi kebutuhan konsumen, maka level
pasokan rumah akan lebih besar dari permintaan pasar
yang mengakibatkan merosotnya harga. Pada gilirannya
tidak hanya perumahan baru yang harganya merosot tetapi
juga perumahan atau bangunan yang sudah eksis.
6. Pasar perumahan (Housing market)
Turunnya harga perumahan adalah koreksi dari inflasi
pasar perumahan, akibat penggelembungan harga(bubble).

Jika pasar perumahan sedang lesu maka akan berdampak


negatif pada perekonomian karena:
1. Kekayaan pemilik rumah akan berkurang akibat
merosotnya harga.
2. Tenaga kerja di bidang konstruksi dan pemasaran
rumah atau bangunan akan berkurang, dan
meyebabkan bertambahnya angka pengangguran.
3. Pendapatan pemerintah dari pajak perumahan dan
bangunan akan berkurang, dan hal ini akan berdampak
pada kondisi fiskal pemerintah.
Sebaliknya, inflasi pasar perumahan yang sangat tinggi bisa
membahayakan perekonomian, seperti yang terjadi di
Amerika Serikat pada tahun 2007 silam. Housing
bubble sering dijadikan alasan untuk resesi yang terjadi di
AS saat itu.
7. Jumlah bisnis baru (New businesses
startups)Biasanya yang dimaksud adalah tumbuhnya
bisnis-bisnis baru skala kecil dan menengah, termasuk
home industries dan sektor informal. Jenis bisnis semacam
ini selalu tumbuh silih berganti seiring dengan pendapatan
masyarakat. Dari survey yang pernah dilakukan, jumlah
perekrutan tenaga kerja pada sektor ini dalam suatu periode
tertentu lebih besar dari perusahaan yang lebih besar,

sehingga ikut memberi kontribusi dalam mengurangi tingkat


pengangguran.
Di negara-negara sedang berkembang, bisnis skala kecil
dan menengah memberikan kontribusi yang signifikan pada
GDP. Ide, inovasi dan produk yang dihasilkan bisa
meningkatkan volume perdagangan. Di negara maju seperti
Jepang, pemerintahnya sangat memperhatikan
perkembangan bisnis baru skala kecil dan menengah yang
sedang tumbuh.
=============================================
=======
Indikator-indikator lagging
Tidak seperti indikator leading, indikator lagging berubah
setelah terjadi perubahan keadaan ekonomi. Indikator
lagging mengkonfirmasi perubahan tersebut dan membantu
identifikasi trend perekonomian dalam jangka waktu
tertentu. Indikator-indikator lagging yang penting yaitu:
- GDP (Gross Domestic Product)
- Pendapatan dan upah
- Tingkat pengangguran
(Unemployment Rate)
- Tingkat inflasi

- Nilai mata uang


- Tingkat suku bunga
- Nilai keuntungan perusahaan-perusahaan
besar (Corporate Profits)
- Neraca perdagangan- Harga komoditi dalam US dollar
--------------------------------------------''
8. Perubahan GDP
Secara tipikal GDP digunakan ekonom dan analis untuk
mengetahui ukuran perekonomian suatu negara, sedang
tumbuh atau sedang mengalami kontraksi. Jika GDP
meningkat maka perekonomian cenderung kuat, dan
sebaliknya. Pelaku ekonomi akan menyesuaikan
pengeluaran, persediaan barang, rekruitment tenaga kerja
dan investasi lainnya tergantung dari output GDP.
Namun indikator ini juga ada kekurangannya. Seperti halnya
indikator pasar saham yang kadang tidak menunjukkan
kekuatan harga saham yang sebenarnya, GDP juga bisa
demikian. Seperti misalnya program quantitative
easing (QE) dan pengeluaran pemerintah yang berlebihan.
Kenaikan GDP akibat QE sebenarnya adalah kenaikan
semu yang memang dilakukan pemerintah guna
mengoreksi kemerosotan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai indikator lagging, GDP menunjukkan yang telah


terjadi, bukan yang sedang terjadi atau yang akan terjadi.
Ekonom dan analis melihat keadaan booming atau resesi
pada angka GDP dari kwartal ke kwartal. Patokan yang
umum jika GDP akhir per kwartal telah turun 2 kali berturutturut maka bisa dianggap perekonomian sedang menuju ke
keadaan resesi.
9. Pendapatan dan upah
Jika ekonomi berjalan dengan efisien, tingkat pendapatan
seharusnya meningkat dengan teratur tiap periode tertentu
untuk menyesuaikan dengan tingkat inflasi yang terjadi.
Untuk negara-negara maju yang mengukur tingkat upah
dengan jumlah jam kerja, maka pendapatan yang menurun
menunjukkan jumlah jam kerja yang berkurang atau tingkat
upah yang memang diturunkan. Pendapatan yang
berkurang juga bisa disebabkan oleh pemutusan hubungan
kerja atau kehilangan pekerjaan akibat perusahaan yang
kolaps.
Baik pendapatan yang turun ataupun upah yang berkurang
merefleksikan kondisi ekonomi yang sedang suram. Di
negara industri, tingkat pendapatan dan upah disurvey dan
dirinci sesuai dengan gender, tingkat pendidikan dan jenis
pekerjaan guna mengetahui trend sesuai dengan kelompok

yang disurvey. Indikator jenis ini yang paling populer


adalah Non-Farm Payrolls Amerika Serikat.
10. Tingkat pengangguran (Unemployment Rate)
Indikator ini sangat penting dan dijadikan salah satu acuan
pemerintah suatu negara dalam menilai kondisi ekonomi.
Tingkat pengangguran mengukur persentasi jumlah tenaga
kerja yang sedang tidak bekerja atau sedang mencari
pekerjaan. Dalam kondisi perekonomian yang normal,
ekonom dan analis mematok angka 3% hingga 5%.
Jika tingkat pengangguran tinggi, maka pengeluaran
konsumen juga akan berkurang yang akan menyebabkan
berkurangnya penjualan retail, perumahan dan lainnya yang
pada akhirnya akan berdampak negatif pada GDP.
Pengeluaran pemerintah juga akan membengkak akibat
kompensasi klaim pengangguran dan program-program lain
untuk kesejahteraan (ini hanya berlaku di negara-negara
maju yang menyediakan layanan tersebut).
Kekurangan indikator ini hanya mengukur jumlah
penganggur (atau pencari kerja) dalam periode waktu
sebulan, dan sering kali mereka yang mendapatkan
pekerjaan paruh waktu (part-time) dianggap telah bekerja
penuh. Namun demikian terlepas dari kekurangan tersebut,
indikator ini masih dianggap penting.

11. Tingkat inflasi Indikator tingkat inflasi utama yang


selalu digunakan adalah CPI (Consumer Price
Index). Tingkat inflasi menunjukkan kenaikan harga-harga di
tingkat konsumen maupun tingkat produsen. Yang paling
berdampak adalah di tingkat konsumen (CPI), sedang di
tingkat produsen disebut PPI (Producer Price Index). CPI
diperhitungkan dengan mengukur perubahan harga barang
dan jasa termasuk makanan dan minuman, sarana
transportasi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Inflasi
ditentukan dengan kenaikan rata-rata sekelompok barang
dan jasa tersebut dalam suatu periode waktu tertentu.
Tingkat inflasi yang tinggi akan mengurangi nilai suatu mata
uang lebih cepat dari tingkat pendapatan konsumen untuk
menyesuaikannya, terutama bagi mereka yang
berpenghasilan tetap. Dengan demikian daya beli
konsumen akan menurun sehingga standard kehidupannya
juga akan merosot. Lagi pula tingkat inflasi yang tinggi akan
mempengaruhi faktor-faktor lainnya seperti menurunnya
jumlah tenaga kerja dan GDP.
Namun demikian, tingkat inflasi yang normal (tidak terlalu
tinggi) cenderung berdampak positif. Sebaliknya jika terjadi
keadaan deflasi atau penurunan harga juga bisa berdampak
negatif pada perekonomian. Deflasi yang terjadi terus-

menerus bisa menyebabkan resesi. Deflasi timbul bila


konsumen cenderung untuk mengurangi pengeluarannya.
Ini terjadi bersamaan dengan berkurangnya jumlah uang
beredar. Perusahaan cenderung untuk menurunkan harga
jual karena persediaan yang melebihi permintaan, namun
keuntungannya jadi berkurang hingga tidak mampu
membayar hutang dan mengurangi karyawan. Tentu saja
hal ini akan berdampak negatif pada ekonomi.
12. Nilai mata uang
Nilai mata uang yang kuat akan meningkatkan daya jual
dan daya beli sebuah negara terhadap negara lainnya.
Negara dengan mata uang yang lebih kuat akan bisa
mengimpor produk-produk dari negara lain dengan harga
yang lebih murah. Sebaliknya jika mata uang suatu negara
melemah, maka permintaan akan produk-produk negara
tersebut akan meningkat.
13. Tingkat suku bunga
Suku bunga terdiri atas suku bunga pinjaman dan deposito.
Jika tingkat suku bunga meningkat maka nilai mata uang
cenderung untuk menguat. Namun demikian jika inflasi
sudah terlalu tinggi maka bank sentral akan menaikkan
suku bunga untuk mengurangi peredaran jumlah uang,
sebaliknya jika terjadi deflasi bank sentral akan cenderung
untuk menurunkan suku bunga.

14. Corporate profits


Corporate profits atau keuntungan dari perusahaanperusahaan besar akan berdampak pada GDP. Jika
keuntungan meningkat maka GDP akan cenderung naik.
Harga-harga saham juga akan meningkat karena mereka
juga menginvestasikan keuntungan di pasar saham.
15. Neraca perdagangan
Neraca perdagangan adalah selisih total nilai ekspor dan
impor. Jika terjadi surplus berarti ada aliran dana yang
masuk dan jika terjadi defisit berarti lebih banyak uang yang
keluar dari negara tersebut. Neraca perdagangan yang
surplus lebih diinginkan, dan memperkuat nilai mata uang.
16. Harga komoditi (dalam US dollar)Harga komoditi
emas dan perak sering digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui kekuatan US dollar. Jika harga komoditi
tersebut naik maka US dollar sedang melemah dan
sebaliknya. Harga komoditi ini merefleksikan sentimen
terhadap US dollar.
***
Sumber : www.moneycrashers.com

Anda mungkin juga menyukai