Anda di halaman 1dari 15

TEORI KEAGENAN

(Agency Theory)
A. Pendahuluan
Guna memahami kepentingan management terhadap financial reporting, kita perlu
mengenal beberapa model dari game theory. Game theory mencoba memodelkan dan
memprediksi hasil dari konflik yang terjadi antara individu yang rasional. Konflik
merupakan karakteristik dari economic consequences.
Game Theory adalah suatu pendekatan matematis untuk merumuskan situasi
persaingan dan konflik antar berbagai persaingan. Teori ini dikembangkan untuk
menganalisa proses pengambilan keputusan dari situasi persaingan yang berbeda dan
melibatkan dua atau lebih kepentingan. Game theory membantu kita dalam memahami
bagaimana para manajer, investor, dan pihak-pihak lain yang terkena dampaknya dapat
secara rasional bersepakat dengan konsekuensi ekonomi dari pelaporan keuangan.
Game Theory mencoba untuk mencari bentuk dan meramalkan pemecahan konflik
antara individu yang rasional, menelaah lebih dalam interaksi antara dua atau lebih agen
(pemain) dalam sebuah permainan, dimana masing-masing agen akan berusaha
memaksimalkan keuntungannya.
Game theory dibedakan menjadi dua yaitu cooperative dan non cooperative game.
Dalam cooperative game para pihak terlibat dalam perjanjian yang mengikat. Misalnya,
Kartel (cartel). Non Cooperative game jika perjanjian tidak mungkin diberdayakan atas
setiap anggota misalnya industri oligopolistik.
1. Model Non Cooperative game theory dari konflik antara manajer-investor.
Konflik antar constituencies (para pengguna laporan keuangan) dapat dimodelkan
dalam sebuah permainan, ketika keputusan dari masing-masing constituencies tidak dapat
disatukan. Investor menginginkan informasi yang relevan dan reliable dalam laporan
keuangan untuk membantu menilai resiko dan expected value dari investasinya.
Sedangkan managers tidak ingin mengungkapkan semua informasi yang diinginkan
investor. Manager lebih suka tidak mengungkapkan kebijakan akuntansi apa yang
digunakan sehingga dia dapat mengelola laba dengan directionary accrual dan mengubah
kebijakan akuntansi. Selain itu manager juga takut jika terlalu banyak informasi yang
dikeluarkan, akan menguntungkan kompetitornya.

Situasi seperti ini dimodelkan dalam non-cooperative game, karena sulit untuk
mencapai binding agreement antara manager dan investor mengenai informasi spesifik
seperti apa yang harus disediakan.
Perjanjian yang akan dicapai akan membutuhkan banyak biaya (costly) karena
keputusannya harus dinegosiasikan pada semua pemakai yang memiliki kebutuhan yang
berbeda terhadap informasi dalam laporan keuangan.
Tetapi dalam asumsi positive accounting theory, manager adalah individu rasional
yang memicu timbulkan tindakan ' opportunistic'

terlihat jelas bahwa management

memiliki kepentingan sendiri untuk memilih kebijakan akuntansi. Sehingga juga tidak
dapat diasumsikan bahawa laporan keuangan disajikan dengan full disclosure, dan tidak
dapat diasumsikan bahwa kebijakan akuntansi dipilih berdasarkan kegunaannya terhadap
shareholder dan investor.
Dari konflik yang terjadi, terlihat bahwa masalah pemilihan kebijakan akuntansi
tergantung dari payoff yang dihasilkan. Sehingga dewan accounting sebaiknya berfokus
pada adanya payoff bagi kedua pihak ketika ada peraturan atau standard baru.
2. Model Cooperative game theory
Dalam model ini, kita akan lebih fokus pada perjanjian/kontrak (agreement) yang
berpengaruh terhadap akuntansi. Terdapat dua jenis kontrak yang berpengaruh terhadap
teori akuntansi keuangan yaitu kontrak pegawai (employment contracts) antara
perusahaan dan manajer puncak dan kontrak peminjaman (lending contracts) yaitu
kontrak antara pihak manajemen dan debitur. Dalam kontrak ini satu pihak disebut
prinsipal dan pihak lainnya disebut agen. Sebagai contoh, dalam kontrak pegawai, pemilik
perusahaan merupakan pihak prinsipal dan manajemen puncak adalah pihak agennya
yang dipekerjakan untuk menjalankan perusahaan atas nama (untuk kepentingan)
pemilik. Jenis game theory ini dinamakan agency theory. Seperti yang disebutkan dalam
scott (2009) :
Agency theory is a branch of game theory that studies the design of contracts to
motivate a rational agent to action behalf of principal when the agents interests would
otherwise conflict with those of the principal.
Aplikasi teori agen dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi
hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan
secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur
mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-

risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila
dalam kontrak terdapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen
yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang oleh agen dan
pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen.
Konsep Teori Keagenan
Teori keagenan (Agency Theory) adalah suatu teori yang sudah tidak asing lagi dalam
bidang akuntansi dan telah menhadi Grand Theory dalam dunia akuntansi. Jensen and
Mackling (1976) menjelaskan teory keagenan muncul pada saat satu orang atau lebih
pemilik modal (Principal) mempekerjakan agent untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.
Teori ini banyak diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki principal yang
terpisah, sehingga para principal sulit untuk mengontrol atau mengelola perusahaannya
masing-masing sehingga penyelesaiannya dengan menerapkan teori keagenan pada
perusahaan mereka.
Menurut Eisenhardt (1989) teori keagenan menjelaskan tentang pola hubungan
antara prinsipal dan agen. Prinsipal bertindak sebagai pihak yang memberikan mandat
kepada agen, sedangkan agen sebagai pihak yang mengerjakan mandat dari prinsipal.
Tujuan utama teori keagenan adalah untuk menjelaskan bagaimana pihak- pihak yang
melakukan hubungan kontrak dapat mendesain kontrak yang tujuannya untuk
meminimalisir cost sebagai dampak adanya informasi yang tidak simetris dan kondisi
ketidakpastian. Teori ini juga menekankan pada eksistensi mekanisme pasar dan
institusional yang dapat melengkapi kontrak untuk mengatasi masalah-masalah yang
muncul dalam hubungan kontraktual. Secara garis besar, inti dari teori keagenan adalah
pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan agen dan prinsipal
dalam hal terjadi koflik kepentingan (conflict of interests).
Menurut Eisenhard (1989) dalam Dista Amalia (2012), teori keagenan lahir dari 3
buah asumsi dasar yaitu
1) Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentag sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai resiko (risk avertion).

2) Asumsi tentang keorganisasian


Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asymetric information antara principal dan
agent.
3) Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang
bisa diperdagangkan/diperjual belikan.
Konflik yang ditimbulkan dalam area keagenan ini oleh pemilik/principals adalah
penting untuk menghindarinya demi kemajuan perusahaan di masa yang akan datang.
Permasalahan keagenan dapat ditelusuri dari beberapa kondisi, seperti penggunaan arus
kas bebas (free cash flow) pada aktifitas yang tidak menguntungkan, peningkatan
kekuasaan manajer dalam melakukan over investment, dan consumption of excessive
perquisites (Jensen and Meckling, 1976). Investor memilih resiko tinggi untuk
mendapatkan return tinggi sedangkan manajer memilih resiko rendah untuk
mempertahankan posisi atau sebaliknya di dalam perusahaan (Crutchley dan Hansen,
1989 dalam Afridian). Masalah keagenan antara pemegang saham dengan manajer,
potensial terjadi jika manajer memiliki kurang dari 100% saham perusahaan. Karena tidak
semua keuntungan akan dapat dinikmati oleh manajer, maka mereka tidak berkonsentrasi
pada maksimisasi kemakmuran pemegang saham.
Penunjukkan manajer oleh pemegang saham untuk mengelola perusahaan, menurut
Jensen dan Meckling (1976) akan memunculkan perbedaan kepentingan antara manajer
dan pemegang saham. Perbedaan sangat mungkin terjadi karena para pengambil
keputusan tidak perlu menanggung resiko sebagai akibat adanya kesalahan dalam
pengambilan keputusan bisnis, begitu pula jika mereka tidak dapat meningkatkan nilai
perusahaan. Resiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh para pemilik. Karena tidak
menanggung resiko dan tidak mendapat tekanan dari pihak lain dalam mengamankan
investasi para pemegang saham, maka pihak manajemen cenderung membuat keputusan
yang tidak optimal. Kondisi ini akan menimbulkan masalah keagenan.
Masalah keagenan banyak dipengaruhi oleh insider ownership. Insider ownership
adalah pemilik perusahaan sekaligus menjadi pengelola perusahaan. Semakin besar
insider ownership, perbedaan kepentingan antara pemegang saham (pemilik) dengan
pengelola perusahaan semakin kecil, mereka akan bertindak lebih hati-hati karena mereka
akan ikut menanggung konsekuensi dari tindakan yang dilakukan. Apabila insider

ownership kecil, yang berarti hanya sedikit jumlah pemegang saham yang ikut terlibat
dalam mengelola perusahaan maka semakin tinggi kemungkinan munculnya masalah
keagenan karena perbedaan kepentingan antara pemilik saham dengan pengelola
perusahaan semakin besar.
Agency theory menjelaskan bahwa hubungan antara principal dan agent sulit tercipta
sebagai akibat adanya pertentangan kepentingan (conflict of interest). Fokus utama teori
keagenan pada hubungan dan ketidakserasian tujuan (goal incongruance) antara manajer
dan pemegang saham. Hubungan keagenan (Agency relationships) terjadi jika satu pihak
dalam transaksi (pemilik/principal) mendelegasikan autoritasnya kepada pihak lain
(manajer/agent) dan kemakmuran pemilik dipengaruhi oleh pilihan (keputusan)
manajemen (agent).
Dalam hal pendelegasian wewenang oleh principal ke agent, maka manajer diberi
kekuasaan untuk mengelola suatu perusahaan oleh principal (pemilik) yaitu pemegang
saham, untuk membuat keputusan, dalam hal ini akan berdampak pada timbulnya konflik
potensial atas kepentingan. Konflik dalam hal ini diartikan bahwa kepentingan antara
principal dan agent berbeda, principal tidak dapat secara sempurna dan murah dalam
memonitor agent, dan pemilik tidak dapat secara sempurna dan murah memiliki informasi
yang tersedia untuk atau yang dimiliki oleh agen. Principal dalam meminimalkan agency
problem adalah dengan mengeluarkan agency cost (biaya keagenan).
Agency Cost
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan konsekuensi dari pemisahan fungsi
pengelolaan dengan fungsi kepemilikan adalah pengambil keputusan relatif tidak
menanggung resiko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan. Resiko tersebut
sepenuhnya ditanggung oleh prinsipal. Akibatnya manajer sebagai pengambil keputusan
dalam perusahaan cenderung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka seperti
peningkatan gaji dan status.
Lebih lanjut Jensen and Meckling, mengemukakan bahwa hubungan antara dividen
dengen kepemilikan manajerial dipahami melalui free cash flow hypothesis. Perusahaan
dalam menggunakan cash flow dari net present value yang positif memicu konflik
keagenan. Konflik ini terjadi karena manajer dengan persentase kepemilikan saham
kurang dari 100% menggunakan cash flow untuk kepentingan yang tidak menguntungkan
bagi perusahaan. Tindakan tersebut mengakibatkan kas digunakan untuk kepentingan
outsider stockholder dan mengurangi kas yang digunakan untuk mengembangkan

perusahaan. Berdasarkan permasalahan ini diperlukan suatu mekanisme dalam


memotivasi manajer sehingga mengalokasikan kelebihan cash flow pada aktifitas yang
tepat, seperti meningkatkan Dividen payout ratio (DPR).
Menurut Demsey da Laber (1993), serta Crutchley dan Hansen (1989), shareholder
dispersion atau penyebaran pemegang saham juga berperan dalam masalah keagenan.
Pemegang saham yang semakin menyebar kurang efektif dalam monitoring dan sulit
untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Akibatnya
masalah keagenan muncul terutama karena adanya informasi yang asimetri. Sebaliknya
pemegang saham yang semakin terkonsentrasi pada satu atau beberapa pemegang saham
saja akan mempermudah kontrol terhadap kebijakan yang diambil pengelola perusahaan
sehingga dapat mengurangi asymmetric information dan mengurangi masalah keagenan.
Dari perbedaan kepentingan itu maka timbullah konflik yang biasa disebut konflik
agensi. Konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham dapat diminimumkan
dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingankepentingan yang terkait tersebut. Akibat dari munculnya mekanisme pengawasan
tersebut menyebabkan timbulnya suatu kos yang disebut dengan agency cost.
Biaya keagenan terjadi untuk melindungi kepentingan pemilik dan untuk mengurangi
kemungkinan bahwa agen akan berperilaku menyimpang (mishebave). Jika kedua pihak
untuk hubungan yang ingin memaksimalkan utilitas, ada alasan kuat untuk percaya bahwa
agen tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik dari pemilik. Pemilik dapat
membatasi divergensi dari ketertarikannya dengan membentuk insentif yang tepat bagi
agen dan dengan menimbulkan biaya pemantauan (monitoring cost) yang dirancang untuk
membatasi kegiatan menyimpang dari agen. Di sisi lain, principal akan membayar agen
dengan mengeluarkan sumber daya (bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak
akan mengambil kebijakan yang dapat membahayakan prinsipal atau untuk menjamin
bahwa principal akan memberi kompensasi jika agen tidak melakukan hal tersebut.
Bagaimanapun, sebuah hal yang tidak mungkin dalam menjamin bahwa pada tingkat biaya
nol, agen akan mengambil keputusan yang optimal sesuai dengan apa yang diharapkan
prinsipal. (Jensen and Meckling, 1976).
Konflik yang terjadi antara prinsipal dan agen adalah ketika terjadi asymmetric
information (AI). Informasi asimetris adalah informasi yang ridak seimbang yang
disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen.
Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam

mengukur tingkat hasil yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh
agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak
dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal
yang telah dipercayakan kepada agen. Akibat adanya informasi asimetris ini maka akan
menimbulkan permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk
memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen and Meckling
(1976) menyatakan permasalahan tersebut antara lain :
a) Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal
yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
b) Adverse selecion, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah
suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang
telah diperolehnya, atau terjadi sebagai kelalaian dalam tugas.
Adanya agency problem di atas, akan menimbulkan biaya keagenan (agency ost) yang
terdiri dari (Jensen and Meckling, 1976).
a) Pengeluaran pemantauan (Monitoring cost) oleh prinsipal
Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen,
termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget
restriction, dan compensasion policies. Dengan adanya monitoring cost ini, pemborosan
oleh agen dalam memaksimalkan keuntungan pribadinya dapat dicegah. Sebagai
gantinya biaya bisa dialihkan pada audit dan prosedur-prosedur kontrol yang
digunakan untuk membatasi ruang gerak para manajer sehingga mereka cenderung
bekerja untuk memaksimalisasi keuntungan bagi pemilik perusahaan.
b) Pengeluaran ikatan (bonding cost) oleh agen.
Bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan
menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin
prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan. Bonding
cost dapat mencegah konsekuensi dari perubahan tidak terpuji para manajer. Biasanya
pemilik perusahaan membayar pihak ketiga untuk mendapatkan fidelity bond. Bond
atau perjanjian ini berupa kontrak dimana perusahaan pihak ketiga atau penjamin
akan membayar ganti rugi, sampa batas tingkat tertentu, atas kerugian keuangan yang
diakibatkan oleh perbuatan menyimpang dari manajer.

c) Kerugian residual (the residual loss)


Merupakan penurunan tingkat kesejahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya
agency relationship atau pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran
prinsipal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agen dan keputusan prinsipal.
Dalam agency costs ini didalamnya mencakup biaya untuk pengawasan oleh
pemegang saham; biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan
yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal; serta
biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai
bentuk bonding expenditures yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan
berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan
pemegang saham.
Teknik yang dapat dilakukan dalam mengurangi konflik agency adalah dengan
mekanisme internal dan eksternal. Mekanisme internal diantaranya adalah kontrak
kompensasi, pengikatan (bonding), dan aktivitas pengawasan (monitoring activities)
dalam perusahaan. Sedangkan mekanisme eksternal dilakukan melalui aktivitas
pengawasan oleh pasar modal, pembuat undang-undang, penanaman modal profesional
dan para investor.
Cara Mengurangi Konflik Keagenan
Teori keagenan mengemukakan beberapa cara untuk mengurangi konflik keagenan,
yaitu :
1. Meningkatkan Kepentingan Manajerial

Peningkatan kepentingan manajerial digunakan sebagai cara untuk mengurangi


konflik keagenan. Menurut Crutchley dan Hansen (1989), Jensen et al (1992)
perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan kedudukan
manajerial dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan
pemegang saham. Dengan peningkatan persentase kepemilikan, manajer termotivasi
meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang
saham.

2. Kepemilikan Institusional Sebagai Agen Pengawas (monitoring agents)


Konflik kepentingan mendasari adanya biaya keagenan, dengan asumsi
rasionalitas ekonomi dimana orang akan memenuhi kepentingannya terlebih dahulu
sebelum pemenuhan kepentingan orang lain. Demikian juga halnya dengan
manajemen perusahaan. Teori keagenan mengatakan bahwa sulit untuk mempercayai
bahwa manajemen (agent) akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pemegang
saham (principal), maka diperlukan monitoring dari pemegang saham sehingga konflik
keagenan yang terjadi dapat dikurangi.
Kepemilikan institusional dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi konflik
keagenan antara pemegang saham dan manajer. Pada beberapa penelitian
institusional digunakan sebagai variabel kontrol terhadap kepemilikan manajerial. Hal
ini disebabkan karena manajer tidak dapat mempengaruhi persentase saham yang
dimiliki oleh institusi, tetapi kepemilikan institusional berpengaruh dalam
menentukan kepemilikan manajerial maupun penggunaan hutang. Kepemilikan
institusional didefinisikan sebagai proporsi kepemilikan saham pada akhir tahun yang
dimiliki oleh lembaga seperti perbankan, asuransi atau institusi lain. Peningkatan
kepemilikan institusional menyebabkan kinerja manajer diawasi secara optimal dan
terhindar dari perilaku opportunistik. Dengan melibatkan kepemilikan institusional,
manajer bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham sehingga mengurangi
biaya keagenan.
3. Meningkatkan Pendanaan Melalui Hutang
Penggunaan

hutang

diharapkan

dapat

mengurangi

konflik

keagenan.

Penambahan hutang dalam struktur modal mengurangi penggunaan saham sehingga


mengurangi biaya keagenan ekuitas. Perusahaan memiliki kewajiban untuk
mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara periodik. Kondisi ini
menyebabkan manajer bekerja keras untuk meningkatkan laba sehingga dapat
memenuhi kewajiban dari penggunaan hutang. Sebagai konsekuensinya dari
kebijakan ini perusahaan menghadapi biaya keagenan hutang dan resiko
kebangkrutan.

Teori keagenan menyarankan sejumlah mekanisme yang dapat digunakan untuk


mengawasi konflik keagenan, termasuk didalamnya peningkatan insider dan debt
financing. Jensen dan Meckling (1976) mengatakan bahwa penggunaan instrumen
insider mampu mensejajarkan kepentingan manajer dan stockholders lainnya,
kebijakan ini menyebabkan meningkatnya kontrol dari pihak manajerial. Kebijakan
mengenai insider dan hutang dalam mengurangi munculnya potensi agency conflict
telah banyak diterima masyarakat secara luas. Walaupun demikian, penggunaan
hutang dan insider terlalu besar akan memiliki masalah pertahanan (Grosman dan
hart, 1982), hal ini dimaksudkan bahwa apabila insider tinggi, maka mereka memiliki
posisi yang kuat untuk melakukan pengendalian terhadap perusahaan dan pihak
external stockholders akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan
insider. Kondisi tersebut muncul sebagai akibat pihak insider memiliki hak voting yang
besar atas kepemilikannya yang tinggi.
Untuk mengatasi kelemahan munculnya penggunaan hutang dan proporsi insider
yang terlalu besar, maka dibutuhkan suatu mekanisme pengendalian. Mekanisme
pengawasan yang dapat digunakan adalah dengan mengaktifkan monitoring melalui
keterlibatan investor institusional yang akan mendorong munculnya pengawasan
yang lebih optimal terhadap kinerja manajer.
4. Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen merupakan keputusan yang sangat penting dalam perusahaan.
Kebijakan ini akan melibatkan dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,
yaitu pihak pertama para pemegang saham dan pihak kedua perusahaan itu sendiri
(manajemen). Dividen diartikan sebagai pembayaran kepada pemegang saham oleh
perusahaan atas keuntungan yang diperoleh. Menurut Crutchley dan Hansen (1989)
dalam Afridian, peningkatan dividen diharapkan dapat mengurangi biaya keagenan.
Hal ini disebabkan DPR (dividen payout ratio) besar menyebabkan rasio laba ditahan
kecil dan perusahaan menambah dana dari sumber eksternal, seperti emisi saham
baru. Penambahan dana menyebabkan kinerja manajer dimonitor oleh bursa, komisi
sekuritas, dan penyedia dana baru. Pengawasan kinerja menyebabkan manajer
bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham sehingga mengurangi biaya
keagenan.

Dividen disini berperan sebagai salah satu bentuk penawaran distribusi


pendapatan, karena dengan pembayaran dividen pemegang saham melihat bahwa
pengelola perusahaan sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan keinginan
mereka sehingga akan mengurangi konflik. Akan tetapi meskipun pembayaran
dividen dapat menurunkan permasalahan keagenan, disisi lain justru menimbulkan
biaya karena arus kas yang dihasilkan dari sumber internal tidak lagi layak untuk
memenuhi kebutuhan- kebutuhan investasi perusahaan, sehingga mendorong
pengelola perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dananya dari pihak eksternal
untuk mengisi kembali dana yang sudah dikeluarkan dalam bentuk dividen.
5. Tingkat Risiko
Tingkat resiko dapat digunakan untuk mengurangi konflik keagenan. Dalam
kerangka konflik keagenan risiko digunakan dasar untuk menentukan kepemilikan
manajerial, kebijakan utang dan kebijakan dividen tetapi dapat pula dipengaruhi oleh
ketiga kebijakan tersebut. Menurut Demsetz dan Lehn (1985) dalam Afridian, risiko
berpengaruh positif dan negatif terhadap kepemilikan manajerial. Pada tingkat risiko
tinggi perusahaan sulit mengawasi kondisi eksternal sehingga meningkatkan
kepemilikan manajerial sebagai cara untuk mengawasi kondisi internal. Pada tingkat
risiko yang semakin meningkat, manajer tidak berani untuk menanggung resiko (risk
aversion) sehingga melakukan diversifikasi pada kesempatan investasi yang
menguntungkan. Hubungan kausal positif antara risiko dan kepemilikan manajerial
dapat mengurangi konflik keagenan. Cara ini menyebabkan manajer memiliki
kekuasaan dalam mengambil keputusan dan termotivasi untuk meningkatkan
kemakmuran pemegang saham.
6. Kebijakan Insentif
Dari berbagai literatur menyatakan bahwa konflik keagenan diatasi melalu
kebijakan insentif, dengan insentif yang menarik, manajer termotivasi meningkatkan
kemakmuran pemilik dan memperketat pengawasan terhadap perusahaan. Masalah
keagenan tidak sepenuhnya diatasi melalui kebijakan insentif tetapi diperlukan
kebijakan baru melalui peningkatan kepemilikan manajerial. Keterlibatan manajerial
dalam kepemilikan saham dapat memotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan
dan kemakmuran pemegang saham.
Sebaliknya apabila ditetapkan persentase kepemilikan manajerial kecil, maka
manajer terfokus pada pengembangan kapasitas atau ukuran perusahaan. Tujuan

10

manajer melalukan tindakan ini yaitu untuk mempertahankan posisi manajerial dari
ancaman hostile takeover, meningkatkan status, kekuasaan, gaji, atau memberi
kesempatan berkembang bagi manajer bawah dan menengah. Sebagai konsekuensi
dari tindakan tersebut, manajer menitikberatkan pada masalah insentif dan
cenderung mengambil tindakan yang bersifat perquisite of consumption.
Menurut Brigham dan Daves (2001) dalam afriadian manajer dapat dimotivasi
untuk bertindak demi kepentingan pemegang saham melalui pemberian insentif
berupa imbalan atas kinerja yang baik dan hukuman untuk kinerja yang buruk.
Beberapa mekanisme khusus yang dapat digunakan untuk memotivasi manajer agar
bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham, yaitu:
a) Kompensasi Manajerial.
Bagi ahli keuangan, kompensasi mempunyai peranan penting dalam menekan
biaya keagenan karena merupakan suatu bonding bagi pemegang saham agar
manajemen bertindak sesuai dengan keinginannya. Teori keagenan menyatakan
bahwa perusahaan yang tumbuh (perusahaan kecil yang berada pada pasar yang
baru berkembang sehingga risiko bisnisnya tinggi) maka manajemen akan
meminta tambahan insurance yang lebih tinggi, ceteris paribus insentif tetap
(Gaver dan Gaver, 1993). Insurance dan insentif merupakan unsur kompensasi
yang merupakan strategi bonding.
Bonding adalah strategi yang bertujuan untuk membuat manajemen sedapat
mungkin mengikuti keinginan pemegang saham, agar konflik tidak terjadi.
Bonding biasanya dilakukan melalui pemberian kompensasi yang sesuai dengan
kinerja manajemen. Teori keagenan membagi dua kelompok kompensasi yaitu
insurance dan insentif. Insentif dapat dikatakan sebagai kompensasi tetap,
sedangkan insurance merupakan kompensasi dari adanya risiko kehilangan
pekerjaan atau kompensasi untuk menjamin kekayaan pribadi manajemen.
Menurut Brigham dan daves (2001) dalam Afridian, manajer tentu saja harus
memperoleh kompensasi dan struktur paket kompensasi ini dapat dan sebaiknya
dirancang untuk memenuhi dua tujuan utama yakni untuk menarik dan
mempertahankan manajer yang cakap dan untuk mengarahkan tindakan manajer
agar mendekati kepentingan pemegang saham, yang terutama berkeinginan
memaksimalkan harga saham.

11

Setiap perusahaan memiliki cara pemberian kompensasi yang berbeda, tetapi


kompensasi bagi eksekutif senior biasanya memiliki tiga bagian, yakni
gaji tahunan yang dapat memenuhi biaya hidup,
Bonus yang dibayarkan pada akhir tahun, yang tergantung pada profitabilitas
perusahaan selama tahun berjalan, dan
Opsi untuk membeli saham, atau lembar saham, sebagai imbalan atas kinerja
jangka panjang.
b) Intervensi langsung pemegang saham.
Beberapa tahun yang lalu banyak saham dimiliki oleh individu, tetapi saat ini
sebagian besar dimiliki oleh investor lembaga seperti perusahaan asuransi, dana
pensiun, dan reksadana. Oleh karena itu, manajer lembaga keuangan memiliki
pengaruh, jika mereka memilih untuk menggunakannya, atas operasi sebagian
besar perusahaan seperti mereka dapat memberikan saran mengenai bagaimana
seharusnya perusahaan dijalankan.
c) Ancaman Pengambilalihan.
Pengambilalihan secara paksa terjadi bila saham perusahaan dinilai terlalu
rendah dibanding dengan harga potensialnya karena manajemen yang buruk.
Dalam pengambilalihan secara paksa, manajer yang diambil alih umumnya di PHK,
sementara yang tidak di PHK akan kehilangan status dan otoritasnya. Jadi manajer
mempunyai insentif kuat dalam melakukan tindakan yang dirancang untuk
memaksimalkan harga saham.
7. Menggunakan Aliansi dengan Kreditor atau Bentuk Kerjasama Lainnya Sesuai
dengan Kesepakatan Bersama
Penggunaan aliansi dengan kreditor atau bentuk kerjasama lainnya sesuai
dengan kesepakatan bersama dapat mengurangi konflik keagenan. Jika beraliansi,
manajer bisa memperoleh dananya dari pihak kreditor tanpa harus membayar bunga
dan utang, juga pihak kreditor bisa memperoleh pendapatan dari keuntungan
( earning per share atau laba) perusahaan, serta kreditor kemungkinan menjadi
owner. Kelemahan dari aliansi adalah sulit untuk cari investor yang ingin
bekerjasama dengan pihak perusahaan karena biasanya investor atau kreditor jarang
sekali mau menanggung risiko tapi ingin mendapatkan keuntungan yang besar.

12

8. Manajer Memahami Bagaimana Peran-perannya


Manajer mengetahui dan paham bagaimana peran-perannya sebagai manajer
akan dapat mengurangi konflik keagenan. Peran manajer adalah mengambil
keputusan keuangan dalam perusahaan antara lain keputusan pendanaan, investasi,
dan pendistribusian keuntungan, dan mempertimbangkan risiko dari setiap
keputusan yang diambil dan return yang akan diperoleh dari setiap investasi tersebut.
Oleh karena itu sebagai pengambil keputusan dalam perusahaan yang akan
mensejahterakan para pemilik saham sebaiknya memahami betul konsep- konsep
mengenai risk and return, capital structure, dan capital budgetting.
Implikasi Teori keagenan dalam akuntansi
Model Agency Holmstrom
Holmstrom mengasumsikan bahwa usaha dari agen tidak dapat diamati oleh principal
tetapi payoff nya dapat diamati pada akhir periode tertentu. Di lain pihak, Feltham dan Xie
(1994) menunjukan bahwa model Holmstrom atas kasus payoff tidak dapat diamati, jika
sekumpulan manejer mungkin melakukan aksi yang konstan.
Holmstrom menunjukan secara formal bahwa sebuah kontak yang didasarkan pada
sebuah pengukuran performa seperti net income kurang efisien daripada first-best,
sumber dari kerugian efisiensi adalah kebutuhan agen yang risk averse untuk
mentoleransi risiko dalam rangka menghasilkan kecenderungan untuk menolak. Hal ini
mengakibatkan munculnya sebuah pertanyaan apakah second-best contract dapat dibuat
lebih efisien dengan mendasarkan nya pada pengukuran second performance dalam
penambahan nya pada net income. Sebagai contoh, harga saham juga merupakan informasi
mengenai performa manajer.
Holmstrom menyatakan bahwa menyediakan pengukuran yang kedua (harga saham)
juga dapat diobservasi, dan memberikan beberapa informasi mengenai usaha manejer
yang terkandung dalam pengukuran yang pertama. Sebagai efeknya, net income dan harga
saham bersama-sama akan memberikan refleksi yang lebih baik mengenai usaha manajer
sekarang daripada hanya salah satu saja. Tentu saja, harga saham cenderung tidak stabil,
dan dipengaruhi oleh kejadian ekonomi secara luas. Namun, analisa Holmstrom
menunjukan bahwa tidak peduli seberapa mengganggunya variabel kedua, variabel
tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dari second-best contract jika
variabel tersebut mengandung paling sedikit beberapa tambahan informasi usaha.

13

Pertanyaan yang kemudian muncul menjadi satu dari proporsi relatif dari kompensasi
yang didasarkan pada net income, versus didasarkan pada harga saham, dalam
compensation contracts. Sehingga, implikasi yang menarik dari model Holmstrom adalah
bahwa seiring dengan net income bersaing dengan sumber informasi lainnya untuk
investor dalam teori pasar sekuritas yang efisien, net income juga bersaing dengan sumber
informasi lain nya untuk memotivasi manejer dalam agency theory.
Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai apa karakteristik yang harus dimiliki
sebuah pengukuran performa jika pengukuran tersebut digunakan untuk kontribusi pada
efficient compensation contracts. Salah satu karakteristik penting adalah sensitivitas nya.
Sensitivitas adalah rate di mana nilai ekspektasi dari sebuah pengukuran performa
meningkat seiring dengan manajer bekerja keras, atau menurun jika terjadi sebaliknya.
Karakteristik penting lain nya adalah keakuratan nya dalam memprediksikan payoff dari
usaha manajer sekarang.
Karakteristik yang diperlukan oleh net income jika digunakan untuk mengukur
performa tidak sama dengan jika digunakan sebagai input yang yang berguna dalam
keputusan investasi. Dapat disimpulkan bahwa tantangan untuk akuntan untuk maintain
dan meningkatkan peran dari net income sebagai pengukuran performa seorang manejer
adalah menghasilkan angka net income yang merepresentasikan tradeoff terbaik yang
mungkin antar sensitivitas dan keakuratan.

14

Anda mungkin juga menyukai