(Agency Theory)
A. Pendahuluan
Guna memahami kepentingan management terhadap financial reporting, kita perlu
mengenal beberapa model dari game theory. Game theory mencoba memodelkan dan
memprediksi hasil dari konflik yang terjadi antara individu yang rasional. Konflik
merupakan karakteristik dari economic consequences.
Game Theory adalah suatu pendekatan matematis untuk merumuskan situasi
persaingan dan konflik antar berbagai persaingan. Teori ini dikembangkan untuk
menganalisa proses pengambilan keputusan dari situasi persaingan yang berbeda dan
melibatkan dua atau lebih kepentingan. Game theory membantu kita dalam memahami
bagaimana para manajer, investor, dan pihak-pihak lain yang terkena dampaknya dapat
secara rasional bersepakat dengan konsekuensi ekonomi dari pelaporan keuangan.
Game Theory mencoba untuk mencari bentuk dan meramalkan pemecahan konflik
antara individu yang rasional, menelaah lebih dalam interaksi antara dua atau lebih agen
(pemain) dalam sebuah permainan, dimana masing-masing agen akan berusaha
memaksimalkan keuntungannya.
Game theory dibedakan menjadi dua yaitu cooperative dan non cooperative game.
Dalam cooperative game para pihak terlibat dalam perjanjian yang mengikat. Misalnya,
Kartel (cartel). Non Cooperative game jika perjanjian tidak mungkin diberdayakan atas
setiap anggota misalnya industri oligopolistik.
1. Model Non Cooperative game theory dari konflik antara manajer-investor.
Konflik antar constituencies (para pengguna laporan keuangan) dapat dimodelkan
dalam sebuah permainan, ketika keputusan dari masing-masing constituencies tidak dapat
disatukan. Investor menginginkan informasi yang relevan dan reliable dalam laporan
keuangan untuk membantu menilai resiko dan expected value dari investasinya.
Sedangkan managers tidak ingin mengungkapkan semua informasi yang diinginkan
investor. Manager lebih suka tidak mengungkapkan kebijakan akuntansi apa yang
digunakan sehingga dia dapat mengelola laba dengan directionary accrual dan mengubah
kebijakan akuntansi. Selain itu manager juga takut jika terlalu banyak informasi yang
dikeluarkan, akan menguntungkan kompetitornya.
Situasi seperti ini dimodelkan dalam non-cooperative game, karena sulit untuk
mencapai binding agreement antara manager dan investor mengenai informasi spesifik
seperti apa yang harus disediakan.
Perjanjian yang akan dicapai akan membutuhkan banyak biaya (costly) karena
keputusannya harus dinegosiasikan pada semua pemakai yang memiliki kebutuhan yang
berbeda terhadap informasi dalam laporan keuangan.
Tetapi dalam asumsi positive accounting theory, manager adalah individu rasional
yang memicu timbulkan tindakan ' opportunistic'
memiliki kepentingan sendiri untuk memilih kebijakan akuntansi. Sehingga juga tidak
dapat diasumsikan bahawa laporan keuangan disajikan dengan full disclosure, dan tidak
dapat diasumsikan bahwa kebijakan akuntansi dipilih berdasarkan kegunaannya terhadap
shareholder dan investor.
Dari konflik yang terjadi, terlihat bahwa masalah pemilihan kebijakan akuntansi
tergantung dari payoff yang dihasilkan. Sehingga dewan accounting sebaiknya berfokus
pada adanya payoff bagi kedua pihak ketika ada peraturan atau standard baru.
2. Model Cooperative game theory
Dalam model ini, kita akan lebih fokus pada perjanjian/kontrak (agreement) yang
berpengaruh terhadap akuntansi. Terdapat dua jenis kontrak yang berpengaruh terhadap
teori akuntansi keuangan yaitu kontrak pegawai (employment contracts) antara
perusahaan dan manajer puncak dan kontrak peminjaman (lending contracts) yaitu
kontrak antara pihak manajemen dan debitur. Dalam kontrak ini satu pihak disebut
prinsipal dan pihak lainnya disebut agen. Sebagai contoh, dalam kontrak pegawai, pemilik
perusahaan merupakan pihak prinsipal dan manajemen puncak adalah pihak agennya
yang dipekerjakan untuk menjalankan perusahaan atas nama (untuk kepentingan)
pemilik. Jenis game theory ini dinamakan agency theory. Seperti yang disebutkan dalam
scott (2009) :
Agency theory is a branch of game theory that studies the design of contracts to
motivate a rational agent to action behalf of principal when the agents interests would
otherwise conflict with those of the principal.
Aplikasi teori agen dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi
hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan
secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur
mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-
risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila
dalam kontrak terdapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen
yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang oleh agen dan
pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen.
Konsep Teori Keagenan
Teori keagenan (Agency Theory) adalah suatu teori yang sudah tidak asing lagi dalam
bidang akuntansi dan telah menhadi Grand Theory dalam dunia akuntansi. Jensen and
Mackling (1976) menjelaskan teory keagenan muncul pada saat satu orang atau lebih
pemilik modal (Principal) mempekerjakan agent untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.
Teori ini banyak diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki principal yang
terpisah, sehingga para principal sulit untuk mengontrol atau mengelola perusahaannya
masing-masing sehingga penyelesaiannya dengan menerapkan teori keagenan pada
perusahaan mereka.
Menurut Eisenhardt (1989) teori keagenan menjelaskan tentang pola hubungan
antara prinsipal dan agen. Prinsipal bertindak sebagai pihak yang memberikan mandat
kepada agen, sedangkan agen sebagai pihak yang mengerjakan mandat dari prinsipal.
Tujuan utama teori keagenan adalah untuk menjelaskan bagaimana pihak- pihak yang
melakukan hubungan kontrak dapat mendesain kontrak yang tujuannya untuk
meminimalisir cost sebagai dampak adanya informasi yang tidak simetris dan kondisi
ketidakpastian. Teori ini juga menekankan pada eksistensi mekanisme pasar dan
institusional yang dapat melengkapi kontrak untuk mengatasi masalah-masalah yang
muncul dalam hubungan kontraktual. Secara garis besar, inti dari teori keagenan adalah
pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan agen dan prinsipal
dalam hal terjadi koflik kepentingan (conflict of interests).
Menurut Eisenhard (1989) dalam Dista Amalia (2012), teori keagenan lahir dari 3
buah asumsi dasar yaitu
1) Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentag sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai resiko (risk avertion).
ownership kecil, yang berarti hanya sedikit jumlah pemegang saham yang ikut terlibat
dalam mengelola perusahaan maka semakin tinggi kemungkinan munculnya masalah
keagenan karena perbedaan kepentingan antara pemilik saham dengan pengelola
perusahaan semakin besar.
Agency theory menjelaskan bahwa hubungan antara principal dan agent sulit tercipta
sebagai akibat adanya pertentangan kepentingan (conflict of interest). Fokus utama teori
keagenan pada hubungan dan ketidakserasian tujuan (goal incongruance) antara manajer
dan pemegang saham. Hubungan keagenan (Agency relationships) terjadi jika satu pihak
dalam transaksi (pemilik/principal) mendelegasikan autoritasnya kepada pihak lain
(manajer/agent) dan kemakmuran pemilik dipengaruhi oleh pilihan (keputusan)
manajemen (agent).
Dalam hal pendelegasian wewenang oleh principal ke agent, maka manajer diberi
kekuasaan untuk mengelola suatu perusahaan oleh principal (pemilik) yaitu pemegang
saham, untuk membuat keputusan, dalam hal ini akan berdampak pada timbulnya konflik
potensial atas kepentingan. Konflik dalam hal ini diartikan bahwa kepentingan antara
principal dan agent berbeda, principal tidak dapat secara sempurna dan murah dalam
memonitor agent, dan pemilik tidak dapat secara sempurna dan murah memiliki informasi
yang tersedia untuk atau yang dimiliki oleh agen. Principal dalam meminimalkan agency
problem adalah dengan mengeluarkan agency cost (biaya keagenan).
Agency Cost
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan konsekuensi dari pemisahan fungsi
pengelolaan dengan fungsi kepemilikan adalah pengambil keputusan relatif tidak
menanggung resiko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan. Resiko tersebut
sepenuhnya ditanggung oleh prinsipal. Akibatnya manajer sebagai pengambil keputusan
dalam perusahaan cenderung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka seperti
peningkatan gaji dan status.
Lebih lanjut Jensen and Meckling, mengemukakan bahwa hubungan antara dividen
dengen kepemilikan manajerial dipahami melalui free cash flow hypothesis. Perusahaan
dalam menggunakan cash flow dari net present value yang positif memicu konflik
keagenan. Konflik ini terjadi karena manajer dengan persentase kepemilikan saham
kurang dari 100% menggunakan cash flow untuk kepentingan yang tidak menguntungkan
bagi perusahaan. Tindakan tersebut mengakibatkan kas digunakan untuk kepentingan
outsider stockholder dan mengurangi kas yang digunakan untuk mengembangkan
mengukur tingkat hasil yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh
agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak
dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal
yang telah dipercayakan kepada agen. Akibat adanya informasi asimetris ini maka akan
menimbulkan permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk
memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen and Meckling
(1976) menyatakan permasalahan tersebut antara lain :
a) Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal
yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
b) Adverse selecion, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah
suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang
telah diperolehnya, atau terjadi sebagai kelalaian dalam tugas.
Adanya agency problem di atas, akan menimbulkan biaya keagenan (agency ost) yang
terdiri dari (Jensen and Meckling, 1976).
a) Pengeluaran pemantauan (Monitoring cost) oleh prinsipal
Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen,
termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget
restriction, dan compensasion policies. Dengan adanya monitoring cost ini, pemborosan
oleh agen dalam memaksimalkan keuntungan pribadinya dapat dicegah. Sebagai
gantinya biaya bisa dialihkan pada audit dan prosedur-prosedur kontrol yang
digunakan untuk membatasi ruang gerak para manajer sehingga mereka cenderung
bekerja untuk memaksimalisasi keuntungan bagi pemilik perusahaan.
b) Pengeluaran ikatan (bonding cost) oleh agen.
Bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan
menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin
prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan. Bonding
cost dapat mencegah konsekuensi dari perubahan tidak terpuji para manajer. Biasanya
pemilik perusahaan membayar pihak ketiga untuk mendapatkan fidelity bond. Bond
atau perjanjian ini berupa kontrak dimana perusahaan pihak ketiga atau penjamin
akan membayar ganti rugi, sampa batas tingkat tertentu, atas kerugian keuangan yang
diakibatkan oleh perbuatan menyimpang dari manajer.
hutang
diharapkan
dapat
mengurangi
konflik
keagenan.
10
manajer melalukan tindakan ini yaitu untuk mempertahankan posisi manajerial dari
ancaman hostile takeover, meningkatkan status, kekuasaan, gaji, atau memberi
kesempatan berkembang bagi manajer bawah dan menengah. Sebagai konsekuensi
dari tindakan tersebut, manajer menitikberatkan pada masalah insentif dan
cenderung mengambil tindakan yang bersifat perquisite of consumption.
Menurut Brigham dan Daves (2001) dalam afriadian manajer dapat dimotivasi
untuk bertindak demi kepentingan pemegang saham melalui pemberian insentif
berupa imbalan atas kinerja yang baik dan hukuman untuk kinerja yang buruk.
Beberapa mekanisme khusus yang dapat digunakan untuk memotivasi manajer agar
bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham, yaitu:
a) Kompensasi Manajerial.
Bagi ahli keuangan, kompensasi mempunyai peranan penting dalam menekan
biaya keagenan karena merupakan suatu bonding bagi pemegang saham agar
manajemen bertindak sesuai dengan keinginannya. Teori keagenan menyatakan
bahwa perusahaan yang tumbuh (perusahaan kecil yang berada pada pasar yang
baru berkembang sehingga risiko bisnisnya tinggi) maka manajemen akan
meminta tambahan insurance yang lebih tinggi, ceteris paribus insentif tetap
(Gaver dan Gaver, 1993). Insurance dan insentif merupakan unsur kompensasi
yang merupakan strategi bonding.
Bonding adalah strategi yang bertujuan untuk membuat manajemen sedapat
mungkin mengikuti keinginan pemegang saham, agar konflik tidak terjadi.
Bonding biasanya dilakukan melalui pemberian kompensasi yang sesuai dengan
kinerja manajemen. Teori keagenan membagi dua kelompok kompensasi yaitu
insurance dan insentif. Insentif dapat dikatakan sebagai kompensasi tetap,
sedangkan insurance merupakan kompensasi dari adanya risiko kehilangan
pekerjaan atau kompensasi untuk menjamin kekayaan pribadi manajemen.
Menurut Brigham dan daves (2001) dalam Afridian, manajer tentu saja harus
memperoleh kompensasi dan struktur paket kompensasi ini dapat dan sebaiknya
dirancang untuk memenuhi dua tujuan utama yakni untuk menarik dan
mempertahankan manajer yang cakap dan untuk mengarahkan tindakan manajer
agar mendekati kepentingan pemegang saham, yang terutama berkeinginan
memaksimalkan harga saham.
11
12
13
Pertanyaan yang kemudian muncul menjadi satu dari proporsi relatif dari kompensasi
yang didasarkan pada net income, versus didasarkan pada harga saham, dalam
compensation contracts. Sehingga, implikasi yang menarik dari model Holmstrom adalah
bahwa seiring dengan net income bersaing dengan sumber informasi lainnya untuk
investor dalam teori pasar sekuritas yang efisien, net income juga bersaing dengan sumber
informasi lain nya untuk memotivasi manejer dalam agency theory.
Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai apa karakteristik yang harus dimiliki
sebuah pengukuran performa jika pengukuran tersebut digunakan untuk kontribusi pada
efficient compensation contracts. Salah satu karakteristik penting adalah sensitivitas nya.
Sensitivitas adalah rate di mana nilai ekspektasi dari sebuah pengukuran performa
meningkat seiring dengan manajer bekerja keras, atau menurun jika terjadi sebaliknya.
Karakteristik penting lain nya adalah keakuratan nya dalam memprediksikan payoff dari
usaha manajer sekarang.
Karakteristik yang diperlukan oleh net income jika digunakan untuk mengukur
performa tidak sama dengan jika digunakan sebagai input yang yang berguna dalam
keputusan investasi. Dapat disimpulkan bahwa tantangan untuk akuntan untuk maintain
dan meningkatkan peran dari net income sebagai pengukuran performa seorang manejer
adalah menghasilkan angka net income yang merepresentasikan tradeoff terbaik yang
mungkin antar sensitivitas dan keakuratan.
14