Anda di halaman 1dari 13

INVASI AMERIKA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

TRANSFORMASI KONFLIK HAUZAH DAN MARJAIYYAH


AL-SHADR DI IRAK POST-SADDAM (2003-2005)

Afandi Satya Kurniawan


1106062771
Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia
Jurnal Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Kapita Selekta 2014/2015
Afandi.satya@gmail.com

Abstrak
As a response to 9/11s tragedy and Americas efforts to throw down Saddams
dictatorships, US invasion on Iraq in 2003 caused many problems. Gradually,
radicalism and fundamentalism were growing up rapidly and getting worse in
Iraq along with the presence of the occupation of allied forces and the
establishment of Iraq Interim Governing Council made by US military in Iraq
(CPA, Coalition Provisional Authority). On the other hand, political instability,
chaos and sectarian conflicts became thrives among fellow religious adherents.
Shiites as the majority religion in Iraq suffered worsening dispute. Hawza and
Marja'iyyah clashes between supporters of Ali al-Sistani and Muqtada al-Sadr
for example, can not be avoided. All this mess can not be said that the US is at
the root of these problem. US is the only root of these problem.
Kata Kunci: Invation, USA, Saddam, Hawzah, al-Shadr, al-Sistani, Shiite

Pendahuluan
Pasca runtuhnya Uni Soviet pada
tahun 1991, poros konsentrasi
kekuatan dunia menjadi tidak
berimbang. Pasca perang dingin
menandai
kemunculan
struktur
tunggal dominasi di bawah kekuatan
hegemonik
Amerika
Serikat
1

Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.),


Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Obor, 2007), hlm. 43

menggantikan struktur dominasi


ganda atau perimbangan kekuatan
yang melibatkan struktur dominasi di
bawah Uni Soviet.1 Amerika Serikat
sebagai seteru utama daripada Soviet,
menjadi satu-satunya pemenang yang
tersisa dalam perebutan hegemoni

antara
pertentangan
melawan
sosialisme
internasional.

kapitalisme
di
dunia

Sebagai satu-satunya kubu yang tersisa


dari dua negara superpower yang pernah
ada di dunia modern, Amerika berpotensi
menjadi sebuah ancaman bagi kedaulatan
negara lain di dunia dengan anarkisme
yang tidak mudah dibendung setelah
berubah menjadi sebuah eksistensi
unipolar.
Huntington dalam Clash of Civilization
menyebutkan, Islam-lah sebagai satusatunya eksisten yang berpotensi
mengancam hegemoni Amerika secara
politik dan budaya. Lebih lanjut,
Huntington menegaskan setidaknya
terdapat tiga hal yang diperjuangkan
dalam eksistensi unipolar Amerika;
pertama,
mengglobalkan
nilai-nilai
institusi Amerika semisal sekulerisme,
humanisme dan lain sebagainya. Kedua,
menjaga superioritas ekonomi dan
militer. Ketiga, turut campur dalam
berbagai konflik di dunia Islam.2
Karenanya, campur tangan Amerika di
berbagai negara Islam, dalam berbagai
permasalahan internal umat Islam
menjadi sebuah hal yang niscaya dan
berusaha dipaksakan untuk dimengerti.
Campur tangan Amerika sebagai
eksistensi unipolar terhadap hampir
sebagian besar negara-negara Islam,
kemudian berubah menjadi sebuah
bentuk kejumudan bagi sebagian besar
muslim
fundamentalis
yang
menginginkan pengaturan kehidupan
2

Samuel P. Huntington, Clash of Civilization


and The Remaking of World Order, (New
York: Touchstone Books, 1996), hlm. 221
3
Andrew Higgins, Saat Indonesia
Memperdebatkan Peran Islam, Amerika

bukan dari negara atau pihak non-Islam,


melainkan dari sumber-sumber otentik
umat Islam seperti Al-Quran, sunnah,
atsar shahabat, dan ijtihad para ulama.
Amerika dengan teknologi dan dominasi
politik
yang
dimiliki
cenderung
memaksakan prinsip kebudayaan dan
nilai-nilai
institusionalnya
seperti
demokrasi, liberalisme, sampai pada
hermeneutika untuk menafsirkan agama.
Sebuah kelompok yang didanai oleh
Amerika bahkan mencoba menaskahkan
khotbah Ibadah Jumat. Prakarsa
semacam itu meniru strategi yang
diadopsi selama Perang Dingin, ketika,
untuk melawan ideologi komunis,
Amerika mendanai banyak kelompok
budaya, pendidikan dan lainnya yang
selaras dengan tujuan-tujuan Amerika.3
Pada intinya, Amerika terlampau berjalan
terlalu jauh ke dalam kawasan yang tidak
seharusnya
ia
masuki
sehingga
kejumudan kaum fundamentalis semakin
memuncak.
Kejumudan inilah yang
kemudian mengkristal menjadi sebuah
aksi penyerangan terhadap beberapa
properti terpenting Amerika yang
memiliki pengaruh besar pada kondisi
dan kestabilan Amerika sebagai sebuah
negara digdaya.
Memilik kebijakan politik luar negeri
Amerika pasca serangan 11 September
2001 yang dilancarkan terhadap dua
sentra terpenting Amerika; yaitu twin
tower gedung WTC dan Pentagon oleh
tandzim Al-Qaida, Amerika seakan
mendapatkan sebuah legislasi untuk lebih

Tak Turut Campur, dalam Saut


Situmorang, dkk, Djoernal Sastra: Edisi
Lengkap: 2007-2011, (Yogyakarta: Indie
Book Corner), hlm. 9

dalam melakukan intervensi terhadap


negara-negara Islam.

9/11 marks the onslaught

of the Global War on


Terrorism (GWOT),
used as a pretext and a
justification by the US
and its NATO allies to
carry out a war without
borders, a global war of
conquest.4

Akibat serangan ini, Amerika melakukan


perubahan strategi diplomasi kebijakan
luar negeri dari containment and
detterence
menjadi
defensive
intervention and pre-emptive strike5.6
Jika semula strategi kebijakan itu
berpatokan pada multilateralisme, kini
strategi itu beralih menjadi pre-emptive
strike dalam tatanan unilateralisme.7
Amerika lantas dengan sembarang
menuduh presiden Irak, Saddam Hussein
bermitra dengan Al-Qaida, selain
tuduhan Saddam menyimpan senjata
pemusnah massal yang nyatanya tak
pernah terbukti. Diplomasi Stick and
Carrot ala Amerika memaksa Irak
menerima stick dalam bentuk invasi
4

http://www.globalresearch.ca/september
-11-2001-the-crimes-of-war-committedin-the-name-of-911/5311561
diakses
tanggal 23 Desember 2014
5
Untuk istilah Pre-emptive Strike, lihat
Samuel P. Huntington, Who We Are? The
Challenges to Americas National Identity,
(New York: Simon & Schuster, 2004)
6
Thomas E. Ricks dan Vernon Loeb, Bush
Developing Military Policy Of Striking First:

Amerika setelah secara khusus Saddam


menolak bekerjasama dengan UNSCOM
terkait isu nuklir yang dilemparkan
Amerika. Politik carrot and stick amat
populer diterapkan AS di wilayah Timur
Tengah sejak tahun 1970-an. Istilah stick
digunakan untuk negara yang menentang
program GWOT Amerika dan istilah
carrot digunakan untuk negara yang
mendukung program Amerika dalam
memerangi terorisme.8
Sebelum melancarkan invasi, pada 17
Maret 2003 Duta Besar Inggris untuk
PBB
menyatakan
bahwa
proses
diplomatik di Irak telah berakhir; para
pengawas senjata dari UNSCOM
mengungsi; Presiden AS, George W.
Bush, memberi waktu 24 jam pada
Saddam Hussein dan anak-anaknya untuk
meninggalkan Irak atau menghadapi
perang.9 Maka, dengan dalih melucuti
senjata Irak, pada 21 Maret 2003 Amerika
melancarkan invasi terhadap Irak.10
Invasi Amerika ke Irak dengan jumlah
lebih dari 300.000 pasukan gabungan dari
negara-negara yang tergabung (Australia,
Denmark, Inggris, Korea, dan Polandia),
pada akhirnya membawa Irak pada titik
instabilitas yang sangat parah. Angka
pengangguran naik drastis dari kisaran
angka 30 persen menjadi 78 persen.
Kekacauan, pencurian, pembunuhan, dan
New Doctrine Addresses Terrorism, dalam
The Wasington Post, 10 Juni 2002
7
A. Safril Mubah, Menguak Ulah Neokons,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. viii
8
Husaini, Adian. Politik Belah Bambu
AS dalam Republika, 26 September 2001.
9
M. Reza Sihbudi, Menyandera Timur
Tengah: Kebijakan AS dan Israel atas
Negara-Negara Muslim, (Jakarta: Mizan,
2007), hlm. 444
10
Wirawan Sukarwo, Tentara Bayaran AS di
Irak, (Jakarta: Gagas Media, 2009), hlm. 189

tindak kriminal segera bermunculan


terutama setelah Baghdad secara resmi
jatuh pada tanggal 9 April 2003 ditandai
dengan tertangkapnya Saddam Hussein.
Dalam invasi yang mereka lakukan,
Amerika tidak hanya menuntut untuk
melucuti senjata pemusnah massal Irak
yang ditakutkan dan tidak pernah
diketemukan11 beserta menekan Irak
yang dituduh memiliki hubungan dengan
gerakan terorisme global bernama AlQaida. Secara tidak langsung, Amerika
memiliki kepentingan laten untuk
mengatur lagi kekuatannya di banyak
bidang (reordering power), ekonomi,
politik, dan militer di Timur Tengah,
terutama melalui sebuah negara Irak yang
demokratis sesuai harapan Amerika pasca
Saddam.12
Aksi represif Amerika bukannya
memotong akar kekerasan yang ada,
sebagaimana dalih yang digunakan untuk
membangun masyarakat yang lebih
demokratis. Bahkan, sebab aksi Amerika
inilah akar munculnya fundamentalisme
di Irak. Baik kelompok fundamentalis
yang muncul dari kelompok Sunni
maupun Syiah, keduanya bergerak
dilatarbelakangi satu hal, keinginan
mengusir Amerika dari Irak dengan
tendensi dan praktik yang sedikit
berbeda. Kelompok Sunni diwakili oleh
Abu Mushab al-Zarqawi membentuk
organisasi perlawanan bernama tandzim
Tauhid wa l-Jihad yang berpusat di
Fallujah.13 Dengan kuantitas anggota
11

Sebelum terjadi invasi, Hans Blix dari


UNSCOM dan David Kay dari Iraq Survey
Group menyatakan tidak menemukan
tanda-tanda adanya senjata pemusnah
massal. Pernyataan ini dikuatkan oleh
pernyataan PBB tanggal 2 Maret 2004 yang
menyatakan Irak sama sekali tidak memiliki
senjata pemusnah massal.

gerakan yang tak lebih dari 500 orang,


gerakan Tauhid wa l-Jihad bergerak
dengan cara yang unik. Secara teratur
mereka menekan pasukan Amerika dan
pemerintah sementara dengan melakukan
penculikan, sabotase, serangan mendadak
dengan tujuan menciptakan ritme
kekacauan yang teratur yang mampu
menyebabkan Amerika sebagai pasukan
pendudukan dan sekutunya merasakan
dampak moril dan materil agar
meninggalkan Irak.
Sementara itu, dari Syiah kelompok
perlawanan berasaskan fundamentalisme
radikal dimotori oleh Muqtada al-Shadr
dengan membentuk pasukan bernama
Jaisy l-Mahdi (pasukan Mahdi). Jaisy lMahdi kemudian pada akhirnya tidak
hanya menjadi sebuah simbol perlawanan
kelompok Syiah terhadap pendudukan
Amerika. Jaisy l-Mahdi, terkhusus
Muqtada al-Shadr menjadi pemicu
konflik internal di kalangan Syiah
karena perbedaan pandangan atas invasi
Amerika terhadap Iraq. Keinginan
Muqtada untuk mengusir Amerika dan
memaksimalkan peran ulama Syiah
dalam hal ini memicu awal dari sebuah
konflik panjang antar Hauzah (tempat
pengajaran Syiah) yang membuka lebar
jurang antara Muqtada dengan ulamaulama Syiah lainnya yang berbeda
pandangan.

12

Stephen Haseler, Super-State: The New


Europe and Its Challenge to America, (New
York: I.B. Tauris & Co Ltd, 2005), hlm. 46
13
Tom Landsford, Fallujah, First Battle of,
dalam Spencer C. Tucker (ed.), The
Encyclopedia of Middle East Wars: The
Uniterd States in the Persian Gulf,
Afghanistan, and Iraq Conflicts [5 volumes],
(California: ABC-CLIO, LLC, 2010), hlm. 441

Muqtada al-Shadr, Visi dan


Hambatannya Luar-Dalam
Pada masa Saddam berkuasa, kaum
Syiah yang berjumlah 60 persen dari
total penduduk Irak, merupakan golongan
yang tertindas. Sebagian besar golongan
yang tertindas ini adalah kaum yang
secara ekonomi berada pada kemampuan
menengah ke bawah. Dalam hubungan
sosial, ranah politik dan pendidikan,
kaum
Syiah
sebagian
besar
termarginalkan oleh pemerintah. Oleh
sebab itu, ketika Muqtada al-Shadr
merespon agresi Amerika atas negara
Irak, pada Juni 2003 ia mendirikan
sebuah milisi bernama Jaisy al-Mahdi
yang terdiri dari sekitar 500 penganut
Syiah. Masyarakat Syiah mendukung
penuh Muqtada dengan harapan
mendapatkan perbaikan kondisi hidup
yang sama sekali berbeda pada masa
ketika Saddam berkuasa, meski pada
awalnya tujuan pendirian milisi Jaisy lMahdi adalah untuk melindungi kota
Shadr dari adanya kelompok kriminal.
Hal ini dapat dipahami ketika melihat
kondisi sosial pada saat Saddam dan
Rezim Baath yang ia pimpin bertindak
sangat represif terhadap golongan Syiah
dan Kurdi. Kurdi, yang diasingkan di Irak
14

Tentang pembantaian Halabja,


http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&
id=608&type=2#.VJwjYALZds
diakses
tanggal 25 Desember 2014
15
June Cahyaningtyas, Saddam The
Untold Story, (Jakarta: PT Mizan Publika,
2007), hlm. 68
16
Talk of Professor Munther Al Fadhal,
PhD of law given on 'Crimes against Kurd
in Iraq' at Poznan University in 20-23/102003
Poland
http://www.ifimes.org/en/7979genocide-and-the-international-crimesagainst-kurd-in-iraq-under-saddamregime diakses tanggal 25 Desember 2014

maupun Turki dan terpusat di wilayah


Irak bagian utara, mengalami beberapa
kali penindasan oleh Saddam secara
berulang seperti pembantaian dengan
senjata kima pada usaha revolusi Kurdi
tahun 198314, 198815, dan 1991 pada
kelompok Syiah.16
Sedangkan pada Syiah, rezim Baath
Saddam menekan laju partai politik
Syiah, SCIRI17 (Supreme Council for the
Islamic Revolution in Iraq) dengan cara
keras seperti menghukum gantung
Muhammad Baqir al-Shadr pada tahun
1980. Setelah Muhammad Baqir al-Shadr
dieksekusi, pimpinan SCIRI berpindah
pada Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir
al-Hakim, yaitu anak dari pemimpin
Marjaiyyah pada kurun waktu 19551970, Ayatullah al-Uzma Muhsin alHakim. Represifitas rezim Saddam
bahkan mulai menguat seiring dengan
dipimpinnya SCIRI oleh Muhammad
Baqir al-Hakim sehingga pada akhirnya
Muhammad Baqir melarikan diri ke Iran
untuk bisa tetap memimpin SCIRI. Di
pengasingannya di Iran tersebut, ia terus
membangun jaringan SCIRI diantara
10.000 pengungsi Irak yang berada di
Iran.18

17

Dibentuk pada Tanggal 17 November


1982 yang terdiri dari partai-partai dan
kelompok-kelompok Islam yang menentang
Rezim
Saddam.
Bertujuan
untuk
menyelamatkan
rakyat
Irak
dari
cengkeraman kezaliman rezim Saddam dan
mendirikan pemerintahan yang berasaskan
suara dari rakyat.
18

Christopher Anzalone, Hakim,


Muhammad Baqir al-, dalam Spencer C.
Tucker (ed.), The Encyclopedia of Middle
East Wars: The Uniterd States in the
Persian Gulf, Afghanistan, and Iraq

Sebagai reaksi dari tindakan Muhammad


Baqir
yang
memberikan
wujud
perlawanan secara politik terhadap rezim,
maka Saddam pada tahun 1983
membunuh 18 anggota keluarga
Ayatullah al-Uzhma Muhammad Baqir
al-Hakim.19 Selain membunuh keluarga
Muhammad Baqir al-Hakim, Saddam
juga membunuh ulama-ulama Syiah
pada
rentang
tahun
1998-1999,
diantaranya termasuk Muhammad Shadiq
al-Shadr pada tahun 1999, ayah dari
tokoh pendiri Jaisy al-Islam, Hujjatu lIslam
Muqtada
al-Shadr.20
Aksi
pembunuhan
ini
dilatarbelakangi
ketakutan Saddam yang merasa terancam
oleh semangat kaum Syiah Irak yang
mulai mengincar tingkatan atas dari
kabinet Irak. Pada pembunuhan ini
Ayatullah Muhammad Bakr juga
terbunuh
disamping
Ayatullah
21
Muhammad Shadidq al-Shadr.
Akibat dari tindakan rezim yang sangat
represif tersebut, banyak tokoh spiritual
Syiah yang berpengaruh yang kemudian
melarikan diri ke luar negeri sebagaimana
Muhammad Baqir al-Hakim yang
melarikan diri menuju Iran dan Imam
Abdul Majid al-Khui yang mengungsi
sementara ke Inggris, sebelum akhirnya
kembali ke Najaf-Irak pada tahun 2003
setelah Saddam mengalami kekalahan
daripada pasukan invasi Amerika.22 Tipe
Conflicts [5 volumes], (California: ABCCLIO, LLC, 2010), hlm. 516
19
Ayatollah Sayed Mohamad Baqir AlHakim,
http://www.globalsecurity.org/military/
world/iraq/baqir-hakim.html,
diakses
tanggal 25 Desember 2014
20
Jack Shephard, The Truth, (Canada:
FriesenPress, 2013), hlm. Chapter five
The seven trumpets and vials
21
Ibid., hlm. Chapter five The seven
trumpets and vials

gerakan yang terjadi ini, yaitu dengan


pelarian sebagian tokoh spiritual Syiah
ke luar negeri menghindari tekanan rezim
selaras dengan pernyataan John. L.
Esposito yang menyatakan, ada dua
kecenderungan
bentuk
perjuangan
muslim; pertama, Jihad (struggle) dalam
kaitan mempertahan wilayah dan harga
diri, kedua, Hijrah (emigrate) bila tidak
mampu menghadapinya dan menyusun
kekuatan di luar sistem.23
Sedemikian kelam sejarah yang dirasakan
oleh kaum Syiah di Irak, yang membuat
sebagian besar mereka menyambut
kedatangan Amerika untuk meruntuhkan
Saddam. Berbeda dengan Syiah
kebanyakan, termasuk Ayatullah alUzhma Ali al-Sistani yang menyambut
kedatangan Amerika, Muqtada al-Shadr
justru menolak kedatangan Amerika
karena ia melihat adanya tendensi buruk
yang bakal terjadi, selain sosok dirinya
yang merupakan seorang nasionalis dan
pengagum negara teokrasi macam Iran.24
Terlebih setelah Saddam jatuh, Amerika
sebagai tentara pendudukan bukannya
menarik diri dari Irak, bahkan mereka
malah membentuk CPA (coalition
provisional Authority) yang ia nilai
bukannya memberi kedaulatan pada
masyarakat Irak untuk menentukan
nasibnya sendiri (self determination).

22

Beth K. Dougherty,Edmund A. Ghareeb,


Historical Dictionary of Iraq, (Plymouth:
Scarecrow Press, Inc, 2013), hlm. 369
23
John. L. Esposito, Contemporary Islam
Reformation or Revolution, dalam John.
L. Esposito (ed), The Oxford History of
Islam, (New York: Oxford University Press,
1999), hlm. 645
24
lihat Historical Dictionary of Iraq, hlm.
521

Namun, misi yang dibawa oleh Muqtada


al-Shadr untuk mengusir tentara
pendudukan keluar dari Irak dan Irak
memperoleh
kedaulatannya
sendiri
bukannya berjalan tanpa hambatan.
Muqtada menemukan beberapa hambatan
yang menghalangi sebagian gerak
daripada gerakan ideologi dan prinsip
yang
ia
perjuangkan.
Hambatan
eksternal
muncul
dari
gerakan
fundamentalis Sunni Tawhid wa l-Jihad
prakarsa Abu Mushab al-Zarqawi yang
menjadi
sebuah
tandzim
jihad
beranggotakan pejuang lintas negara
yang berjuang bukan demi sepetak
tanah, melainkan menegakkan hukum
Allah di muka bumi dengan tujuan akhir
mendirikan
kembali
Khilafah
25
Islamiyyah. Selain itu, yang menjadi
hambatan lainnya adalah keberadaan
CPA beserta pasukan pendudukan yang
bertujuan untuk membentuk sistem
pemerintahan
federal
bersistemkan
demokrasi yang mana ditujukan untuk
memfasilitasi seluruh kelas dan faksi
yang ada di Irak. Pada akhirnya, CPA
kemudian membentuk pemerintahan
interim atau dewan pemerintahan
sementara Irak (Iraq Interim Governing
Council).

perwakilan dalam IIGC berdasarkan


komposisi penduduk Irak sebagaimana
berikut; 13 orang penganut Syiah, 5
orang penganut Sunni, 5 orang penganut
Kurdi, 1 orang Turkmen, dan 1 orang
penganut orang Kristen.26 Dari penetapan
IIGC oleh CPA ini, maka antara bulan
Juli sampai April 2004, terjadi sejumlah
demonstrasi besar-besaran menentang
CPA, bahkan di beberapa tempat seperti
Najaf, Kuffah, Karbala, Amara, Basrah
dan Shadr City, diwarnai oleh aksi
bersenjata. Dana yang cukup besar untuk
merevitalisasi dan membangun kembali
prasarana Irak yang hancur karena perang
tidak jelas alirannya. CPA menerima
USD 20 M dari pendapatan minyak, USD
18,4 M dari Kongres Amerika, dan
banyak lagi dana dari PBB yang mereka
terima.27

Kekhawatiran Muqtada benar-benar


terbukti ketika pada tanggal 13 Juli 2003,
CPA menyerahkan kekuasaan sementara
Irak ke IIGC (Iraq Interim Governing
Council). CPA menetapkan 25 orang

Bagi Muqtada CPA adalah ilegal dan


tidak memiliki legitimasi. Sementara itu
ia melihat tentara pendudukan maupun
pemerintahan sementara tak lebih dari
boneka atau kepanjangan tangan daripada
CPA. Oleh karenanya, Muqtada al-Shadr
kemudian
membicarakan
dalam
khotbanya pada tanggal 18 Juli 2003 akan
sebuah rencana mendirikan sebuah milisi
yang akan memperjuangkan prinsipprinsip nasionalisme dan semangat
Syiah,28 yang kemudian pada Agustus
2003, diwujudkan dalam sebuah
organisasi militer non-organik bernama
Jaisy l-Mahdi.29 Jaisy l-Mahdi

25

27

Mohammed M. Hafez, Suicide Bombers


in Iraq: The Strategy and Ideology of
Martyrdom, (Washington DC: US Institute
of Peace Press, 2007), hlm. 72
26
M. Reza Sihbudi, Menyandera Timur
Tengah: Kebijakan AS dan Israel atas
Negara-Negara Muslim, (Jakarta: Mizan,
2007), hlm. 307

Lihat Sulaeman. Fundamentalisme


Islam Pasca jatuhnya Rezim Saddam
sebagai Reaksi Terhadap Invasi Amerika di
Irak. Tesis. Universitas Indonesia, 2005
28
Lihat profil Muqtada al-Shadr,
www.globalsecurity.org diakses tanggal
26 Desember 2014
29
M. Reza Sihbudi, Menyandera Timur
Tengah: Kebijakan AS dan Israel atas

berikutnya mengalami kiprah yang


menarik dalam pergolakan di Irak
berhadapan dengan CPA dan IIGC
menanggapai dua hal besar yang terjadi;
penutupan surat kabar milik Muqtada, AlHawza al-Natiqa pada tanggal 28 Maret
2004,30 dan penangkapan ajudan-ajudan
seniornya pada tanggal 2 April 2004
seperti Mustafa Yaqubi yang dicurigai
terlibat dalam pembunuhan Ayatullah alUzhma al-Khui pada peristiwa yang
terjadi di Masjid Imam Ali yang berada di
Najaf. Maka, dalam menanggapi dua hal
yang terjadi di kubu Muqtada tersebut,
rakyat melakukan demonstrasi damai di
jantung dukungan pergerakan Muqtada
al-Shadr. Hanya saja, aksi damai
masyarakat ini sama sekali tidak
diperhatikan oleh CPA maupun IIGC
sehingga pada tanggal 5 April 2004,
dengan mengatakan sebuah kalimat the
memories of the revolution in the 1920s
[against the British in Iraq] and
the intifada ash-sha'baniyah [referring to
the 1991 Shi'ite uprising in the Islamic
month of Sha'ban] are still fresh,
Muqtada menyerukan secara luas
perlawanan secara militer kepada CPA
dan IIGC.31

Fluktuasi dan Transformasi


Konflik Antar Tokoh Hauzah
Sementara itu, tantangan dari sisi internal
misi Muqtada justru dihadapkan dengan
ulama Marjaiyah seperti Ali al-Sistani
yang berpusat di wilayah Najaf yang
menjadi
akar
daripada
adanya
Negara-Negara Muslim, (Jakarta: Mizan,
2007), hlm. 94
30
Lihat Understanding Muqtada al-Shadr
http://www.meforum.org/655/understan
ding-muqtada-al-sadr diakses tanggal 26
Desember 2014

transformasi konflik hawzah di Irak.


Konflik antar Syiah di Irak yang terjadi
sejatinya muncul karena adanya masalah
krisis kepemimpinan dan legitimasi,
terutama pasca Saddam berhasil
dijatuhkan dan CPA maupun IIGC yang
sama sekali tidak memiliki legitimasi di
mata kaum Syiah. Pada bahasan
mengenai legitimasi dan kepemimpinan
Syiah, hanya terdapat dua lembaga yang
berpengaruh dan bertanggung jawab
untuk memperbaiki masalah tersebut
yaitu hawzah dan marjaiyyah.
Dalam definisi yang tersebar, hawzah
dimengerti sebagai pusat pendidikan
tradisional. Hawzah ilmiah diartikan
sebagai tempat untuk pengajaran,
memberikan pelajran, menyebarkan dan
kepemimpinan bagi kaum muslim.32
Hawzah Najaf merupakan tempat yang
produktif melahirkan banyak ulama
berpengaruh semisal Muhammad Baqir
al-Shadr,
Imam
Khomeini,
dan
Muhammad Hussein Fadhlullah di
Lebanon. Sementara Najaf, Hawzah yang
ada berperan pula sebagai pusat
administrasi, akuntan, dan yang berfungsi
sebagai pengawas khadimain, dua tempat
suci Syiah di Irak, yaitu makam Imam
Ali ibn Abi Thalib di Najaf dan komplek
pemakaman Imam Hussein di Karbala.
Adanya dua komplek pemakaman inilah
yang membuat hawzah di Najaf dan
Karbala selalu ramai dan dipenuhi oleh
thalabeh, sebutan bagi para penuntut ilmu
di hawzah.
Sementara itu, marjaiyyah adalah
sebuah institusi dengan susunan hierarki
31

Ibid.,
Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan
Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hlm.
156
32

yang berjenjang. Susunan ini dimulai dari


level terendah yaitu Ayatullah sampai
level tertinggi yaitu Ayatullah al-Uzhma
atau yang diartikan sebagai mujtahid
mutlak.
Ali al-Sistani bukan saja menjadi
penghalang gerakan Muqtada karena
perbedaan kepentingan semata. Ali alSistani merupakan bagian dari figur yang
mempersilahkan Amerika melakukan
invasi pada negara Irak. Perbedaan
prinsipil antara aqidah akhbariyyah
dengan ushuliyyah membuat Ali alSistani menolak pemerintahan model Iran
dengan paduan antara teologi-demokrasi.
Selain itu, ia juga menolak Islam sebagai
landasan
konstitusi
nasional,
sebagaimana Partai Dakwah dan SCIRI,
yang didukung oleh sebagian besar
masyarakat elit Syiah, yang mana
bertindak inkonsisten tentang prinsip
landasan dasar mereka mengenai
legislasi hukum Islam dalam konstitusi.
Ali al-Sistani lebih suka Islam diakui
sebagai agama negara, bukan konstitusi
yang mengatur setiap warga negaranya.
Al-Sistani beralasan, ketika sebuah
negara memaksakan landasan agama
sebagai dasar konstitusi, maka akan
terjadi
banyak
pemaksaan
dan
pembunuhan yang dilakukan untuk
memperkuat konstitusi. Oleh karenanya,
Al-Sistani menolak konsep negara
perpaduan
teokrasi-demokrasi
sebagaimana yang dicontohkan oleh
Republik Islam Iran.33
Perbedaan pandangan antara Muqtada alShadr dengan Ali al-Sistani semakin
33

Dalam masalah ini, Sistani berbeda


pandangan dengan SCIRI periode awal
pada masa Muhammad Baqir al-Shadr dan
Muhammad Shadiq al-Shadr terkait
prinsip jurisprudensi Islam dalam
konstitusi

meruncing bukan disebabkan oleh


perbedaan mazhab sebagaimana al-Shadr
yang merupakan penganut Syiah
Ushuliyyah daripada al-Sistani yang
merupakan
penganut
Syiah
Akhbariyyah, melainkan lebih-lebih
disebabkan oleh dua pandangan yang
berbeda mengenai konsepsi utama Syiah
mengenai Al-Ghaibah l-Kubro. Dari
perbedaan pandangan ini, konsepsi
gerakan daripada
Ali al-Sistani dan
Muqtada al-Shadr menjadi berbeda. AlSistani berpendapat bahwa semua ulama
Syiah harus membatasi diri mereka pada
masalah-masalah agama dan menjauhi
praktik dari politik praktis. Pada masa
menunggu
Imam
Mahdi,
ulama
menurutnya, hanya berfungsi sebagai
religious guard yang berdiam diri dan
membatasi
pada
permasalahan
34
keumatan.
Ali al-Sistani dalam kapasitasnya sebagai
pemimpin marjaiyyah mengeluarkan
fatwa yang isinya adalah pelarangan bagi
pemuka agama untuk bergabung dalam
pemerintahan negara. Hal ini sematamata menjaga harga diri dan nilai otoritas
pelakunya sebagai pendakwah agar
kredibilitasnya tidak ditentang dan
diragukan. Namun yang menarik,
fatwanya pada para ulama Syiah
Akhbariyyah untuk bertawaquf (berdiam
diri) dari permasalahan politik dan
membatasi hanya pada masalah-masalah
keagamaan tida sepenuhnya dilakukan
oleh Ali al-Sistani. Pada satu kesempatan
yang didasari oleh rasa trauma terhadap
kejadian tahun 1921 dimana Inggris
34

Lihat
http://www.rferl.org/content/The_Differ
ence_Between_A_Marja_And_A_Suprem
e_Leader/1968177.html diakses tanggal
26 Desember 2014

menyerahkan pemerintahan kepada


muslim Sunni yang jumlahnya tidak lebih
banyak daripada Syiah, membuat Ali alSistani menentang Caucus system (sistem
perwakilan) yang dilakukan oleh CPA.
Ali al-Sistani menyebut Caucus system
tidak demokratis dan lebih called for one
man-one vote.35
Sedangkan bagi Muqtada, istilah
quietism
atau
tawaquf
dalam
menunggu kedatangan Imam Mahdi
dipahami sebagai sebuah tindakan aktif
dengan
keharusan
adanya sebuah
perwakilan imam yang berkewajiban
menegakkan hukum Islam sebagai
sumber legislasi konstitusi.
Sebenarnya, titik pertikaian antara
Muqtada al-Shadr telah dipicu jauh
sebelum Amerika menginvasi Irak.
Hanya saja, adanya invasi Amerika
menyebabkan timbulnya gerakan yang
lebih bersifat riil dan memiliki wujud
yang jelas.
Sebagai seorang ulama
Syiah yang kharismatik,
Muqtada
sendiri sebenarnya seorang ulama yang
memiliki kesadaran tinggi akan makna
kedaulatan dan keadilan, yang diperoleh
dan tak lepas dari pengalaman hidupnya
yang mana ia tumbuh besar di lingkungan
miskin masyarakat Baghdad. Ayahnya,
adalah seorang ulama dan salah satu
tokoh dalam SCIRI dibunuh oleh rezim
Saddam pada tahun 1999. Sementara itu
pamannya yang sekaligus merupakan
mertua dan pendiri partai dakwah Islam

35

(ed.) Michael Heazle, Iyanatul Islam,


Beyond the Iraq War: The Promises,
Pitfalls
and
Perils
of
External
Interventionism, (Massachusetts: Edward
Elgar Publishing Limited, 2006), hlm. 80
36
Lihat profil Muqtada al-Shadr,
www.globalsecurity.org diakses tanggal
26 Desember 2014

ICP (Islamic Call Party) turut pula


dibunuh rezim pada tahun 1980.36
Dalam pemikiran Muqtada, sebagian
besar ia dipengaruhi oleh pemikiran
Ayatullah al-Uzhma al-Hairi, salah satu
tokoh yang pernah turut memimpin
SCIRI dan ICP
yang kemudian
melarikan diri untuk tinggal di Qum, Iran
pada tahun 1976 untuk menghindari
represifitas rezim Saddam.37 Muqtada
al-Shadr sungguh berbeda dengan Ali alSistani. Sebagai penganut aliran Syiah
Ushuliyyah, ia menghendaki sebuah
negara teokrasi, demi tegaknya syariah
dan wilayah berdasarkan prinsip-prinsip
imamah dengan contoh Iran sebagai role
model. Oleh sebab itu pada sekitaran
September 2003, Muqtada membentuk
pemerintahan
bayangan
yang
dimaksudkan untuk menandingi IIGC
buatan CPA. Serta merta, tentu aksi dari
Muqtada ini ditentang oleh Ali al-Sistani.
Penentangan Ali al-Sistani ini membuat
hubungannya dengan CPA dan IIGC
menjadi mulus. Bahkan administrator
Amerika untuk Irak, Paul Bremer
mengundang Ali al-Sistani untuk
menghadiri pertemuan khusus yang
kemudian ditolak oleh Al-Sistani demi
menghindari fitnah pada dirinya lebih
lanjut. Ali al-Sistani sebagai penganut
Syiah aliran Akhbariyyah dikritik secara
terus menerus oleh Muqtada al-Shadr
karena aksi diamnya dalam proses
transisi Irak.38

37

Publication jurnal W. Andrew Terril, The


United States and Iraqs Shiite Clergy:
Partners or Adversaries?, hlm. 11
38
Lihat Sulaeman. Fundamentalisme
Islam Pasca jatuhnya Rezim Saddam
sebagai Reaksi Terhadap Invasi Amerika di
Irak. Tesis. Universitas Indonesia, 2005

Namun, bukan masalah yang gampang


bagi Muqtada untuk mengkritik Ali alSistani. Sementara Muqtada al-Shadr
masih berada pada posisi Hujjat l-Islam,
Ali al-Sistani telah mencapai tingkat
tertinggi yaitu Ayatullah al-Uzhma
dalam hierarki Syiah. 39 Oleh karenanya,
dilain prestasi Al-Sistani yang memiliki
jaringan cukup luas di Irak dan luar Irak,
posisinya sebagai Ayatullah al-Uzhma
memberi kemudahan untuk menyeru
masyarakat Syiah secara umum. Adanya
doktrin imaamah (marja taqlid)40,
membuat mayoritas Syiah mengikut
seruan Ali al-Sistani,41 Sang Syiah
Moderat dalam bahasa Amerika
daripada mengikut pada seruan Syiah
Radikal Fundamentalis Muqtada alShadr.42

kubu Muqtada al-Shadr dengan kubu


pendukung Ali al-Sistani di wilayah
pemakaman Ali ibn Abi Thalib. Di
Kuffah, kelompok Muqtada mengalami
bentrokan dengan SCIRI Abdul Aziz alHakim. Visi SCIRI awal berubah pada
kepemimpinan Abdul Aziz al-Hakim
yang mengklaim sebagai seorang
moderat. Pada masa Abdul Aziz, SCIRI
kehilangan ideologi awalnya untuk
memperjuangkan syariat Islam. Pun
kemudian salah satu pemimpin SCIRI
bernama Shadr d-din al-Qubasyi,
meminta Muqtada al-Shadr serta merta
keluar dari wilayah Najaf dan Karbala
beserta seluruh pasukannya. Ia telah
muak dengan Jaisyu l-Mahdi dan
menginginkan milisi bersenjata ini
dibubarkan.

Pertentangan antara kubu Hujjat l-Islam


Muqtada
al-Shadr
dengan
kubu
Ayatullah al-Uzhma
pun semakin
meruncing. Lebih-lebih setelah insiden
pembunuhan Al-Khui pada 9 April 2003
yang diyakini dilakukan oleh kubu
Muqtada.43 Pada Mei 2004, di Karbala
dan Najaf terjadi bentrokan antara
pasukan Al-Mahdi milik Muqtada
melawan tentara Amerika. Ali al-Sistani
kemudian menyeru agar kedua kelompok
tersebut berdamai demi menghindari
kerusakan di situs-situs bersejarah kaum
Syiah. Di Karbala, terjadi perang antara

KESIMPULAN

39

41

Pembagian Hierarki dalam konsep


Hauzah Syiah. Tingkat terendah adalah
Thalabeh. Setelah lulus dari tingkat
Thalabeh, seorang penuntut ilmu di
Hawzah akan naik pada tingkat Fadhil, lalu
setelahnya Hujjat lIslam, setelahnya
Ayatullah, dan tingkat yang paling
tertinggi adalah Ayatullah al-Uzhma.
40
Derivasi dari masa kegaiban Imam ke12, yaitu Imam Mahdi. Selama gaibnya
Imam, tugas wakil Allah dipegang oleh
Ayatullah al-Uzhma, dalam kaitan ini yang
berwenang adalah Ali al-Sistani.

Pertentangan antara kubu Sistani dan AlShadr mungkin bagaikan sebuah anomali
yang senantiasa terjadi dan terus
berlanjut.
Oleh
karenanya
perlu
penelitian khusus yang lebih mendetail
dan terfokus agar didapatkan data dan
analisis yang lebih akurat. Namun, pasca
Saddam runtuh hingga sampai pada tahun
2005 dimana pasukan pendudukan tidak
kunjung keluar dari Irak, perlahan
dukungan masyarakat Syiah Irak mulai

Ali al-Sistani didukung oleh empat


marja taqlid, yaitu Bashir al-Najafi,
Muhammad
Ishaq
al-Fayyadh,
Muhammad
Said
al-Hakim,
dan
Muhammad Taqi al-Mudaressi.
42
LIPI, Pusat Penelitian Politik year Book
2004, Quo Vadis? Politik Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 54
43
CPA menganggap para pelaku
pembunuhan
adalah
al-Sadr
dan
pendukungnya, lihat Historical Dictionary
of Iraq, hlm. 521

dipercayakan kembali
Muqtada al-Shadr.

pada

kubu

DAFTAR PUSTAKA

Cahyaningtyas, June, Saddam The Untold Story, Jakarta: PT Mizan Publika, 2007.
Dougherty, Beth K. and Ghareeb, Edmund A., Historical Dictionary of Iraq,
Plymouth: Scarecrow Press, Inc, 2013.
Esposito, John. L. (ed), The Oxford History of Islam, New York: Oxford University
Press, 1999.
Hafez, Mohammed M., Suicide Bombers in Iraq: The Strategy and Ideology of
Martyrdom, Washington DC: US Institute of Peace Press, 2007.
Heazle, Michael and Islam, Iyanatul, Beyond the Iraq War: The Promises, Pitfalls
and Perils of External Interventionism, Massachusetts: Edward Elgar
Publishing Limited, 2006.
Haseler, Stephen, Super-State: The New Europe and Its Challenge to America, New
York: I.B. Tauris & Co Ltd, 2005.
Huntington, Samuel P. , Clash of Civilization and The Remaking of World Order,
New York: Touchstone Books, 1996.
Huntington, Samuel P., Who We Are? The Challenges to Americas National
Identity, New York: Simon & Schuster, 2004.
Husaini, Adian. Politik Belah Bambu AS dalam Republika, 26 September 2001.
Khomeini, Imam, Sistem Pemerintahan Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
LIPI, Pusat Penelitian Politik year Book 2004, Quo Vadis? Politik Indonesia,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mubah, A. Safril, Menguak Ulah Neokons, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Ricks, Thomas E. dan Loeb, Vernon, Bush Developing Military Policy Of Striking
First: New Doctrine Addresses Terrorism, dalam The Washington Post, 10
Juni 2002
Shephard, Jack, The Truth, Canada: FriesenPress, 2013.
Sihbudi, M. Reza, Menyandera Timur Tengah: Kebijakan AS dan Israel atas
Negara-Negara Muslim, Jakarta: Mizan, 2007.

Situmorang, Saut dkk, Djoernal Sastra: Edisi Lengkap: 2007-2011, Yogyakarta:


Indie Book Corner, 2012.
Sulaeman, Fundamentalisme Islam Pasca jatuhnya Rezim Saddam sebagai Reaksi
Terhadap Invasi Amerika di Irak, Universitas Indonesia, Tesis, 2005.
Sukarwo, Wirawan. Tentara Bayaran AS di Irak, Jakarta: Gagas Media, 2009.
Tucker, Spencer C. (ed.), The Encyclopedia of Middle East Wars: The Uniterd
States in the Persian Gulf, Afghanistan, and Iraq Conflicts [5 volumes],
California: ABC-CLIO, LLC, 2010.
Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia,
Jakarta: Yayasan Obor, 2007.

Sumber Internet
http://www.globalresearch.ca/september-11-2001-the-crimes-of-warcommitted-in-the-name-of-911/5311561 diakses tanggal 23 Desember 2014
http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=608&type=2#.VJwjYALZds
http://www.ifimes.org/en/7979-genocide-and-the-international-crimesagainst-kurd-in-iraq-under-saddam-regime
http://www.globalsecurity.org/military/world/iraq/baqir-hakim.html,
www.globalsecurity.org diakses tanggal
http://www.meforum.org/655/understanding-muqtada-al-sadr
http://www.rferl.org/content/The_Difference_Between_A_Marja_And_A_
Supreme_Leader/1968177.html

Anda mungkin juga menyukai