guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. TIK akan dengan mudah memvisualisasikan dalam
bentuk gambar bergerak (animasi) yang juga dapat ditambahkan suara. Sajian audio visual
yang dikenal dengan multimedia ini akan menjadikan visualisasi menjadi lebih menarik.
B. Pemanfaatan Komputer dalam Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan komputer dibagi menjadi 2 yaitu yang
pertama disebut dengan Computer Based Instruction (CBI) merupakan istilah umum untuk
segala kegiatan belajar yang berbasis pada komputer, baik sebagian maupun keseluruhan. Kedua
adalah CAI (Computer Assisted Instruction), yaitu pembelajaran dengan menggunakan alat bantu
komputer, seperti untuk presentasi, sebagai alat peraga dan sebagainya.
Rusman (geocities.com) mengemukakan bahwa media dalam pembelajaran memiliki
fungsi sebagai alat bantu untuk memperjelas pesan yang disampaikan guru. Media juga berfungsi
untuk pembelajaran individual dimana kedudukan media sepenuhnya melayani kebutuhan
belajar siswa. Beberapa bentuk penggunaan komputer media yang dapat digunakan dalam
pembelajaran meliputi: (1) Penggunaan multimedia presentasi, (2) Multimedia interaktif, dan
(3) Pemanfaatan Internet dalam pembelajaran. Aplikasi komputer dalam bidang pembelajaran
memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara individual (individual learning). Pemakai
komputer atau user dapat melakukan interaksi langsung dengan sumber informasi.
Perkembangan teknologi komputer jaringan (computer network/internet) saat ini telah
memungkinkan pemakainya melakukan interaksi dalam memperoleh pengetahuan dan informasi
yang diinginkan. Berbagai bentuk interaksi pembelajaran dapat berlangsung dengan tersedianya
medium komputer.
Masrur (2007) mengemukakan bahwa bila sekolah akan menerapkan model pembelajaran
berbasis komputer, maka langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Peningkatan kapasitas kelembagaan
Perlu disadari bahwa untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan diperlukan pemahaman
konsep dasar pemberdayaan. Konsep ini harus dilandasi dengan nilai-nilai prinsip dan nilai-nilai
instrumental yang selanjutnya tumbuh secara sadar dalam jiwa para warga sekolah, sehingga
dalam diri warga sekolah muncul kesadaran diri, kesadaran kolektif, dan kesadaran lingkungan
fisik yang berkelanjutan.
2. Pengajaran dan pembelajaran berbasis komputer
Dalam upaya mengoptimalkan penguasaan siswa terhadap bahan ajar perlu diputuskan model
pembelajaran yang bermakna dan dapat melatih kemampuan siswa untuk berfikir dan berbuat.
Faktor yang menjadi titik lemah adalah pemahaman dan kemampuan guru dalam
mengoperasikan komputer, sehingga guru perlu diberi pelatihan sampai setidaknya cukup
terampil dalam mengoperasikan komputer
3. Pengadaan sarana prasarana komputer
Dalam rangka mendukung kegiatan pembelajaran yang menggunakan komputer, sarana
prasarana menjadi kendala karena minimnya sarana prasarana tersebut. Oleh karenanya bantuan
pemerintah maupun masyarakat senantiasa menjadi dambaan pihak sekolah.
C. Penggunaan Multimedia dalam Pembelajaran
Menurut Hartono (2004), multimedia pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan
untuk menyalurkan pesan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap), serta dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan sehingga secara sengaja proses belajar terjadi,
bertujuan, dan terkendali. Menurutnya, ada enam komponen media yang dapat dikategorikan
multimedia pembelajaran, yaitu: teks, grafik, foto, video, suara, animasi/simulasi.
Nurtjahjawilasa (2004) mengemukakan bahwa multimedia mempunyai peranan semakin
penting dalam pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa
kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning
witf fun. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi
pilihan para fasilitator.
Kapan multimedia efektif dapat digunakan dalam pembelajaran? Untuk menjawabnya
perlu memahami level-level multimedia yang menurut Mayer (2001), mempunyai tiga level
yaitu:
1. Level teknis, yaitu multimedia berkaitan dengan alat-alat teknis; alat-alat ini dapat
diartikan sebagai wahana yang meliputi tanda-tanda (sign).
2. Level semiotik, yaitu representasi hasil multimedia seperti teks, gambar, grafik, tabel, dll.
3. Level sensorik, yaitu yang berkaitan dengan saluran sensorik yang berfungsi untuk
menerima tanda (sign).
Dengan memanfaatkan ketiga level di atas diharapkan kita dapat mengoptimalkan multimedia
dan mendapatkan efektivitas pemanfaatan multimedia dalam proses pembelajaran.
Dalam membuat suatu multimedia pembelajaran, tidak harus seluruh media ditampilkan.
Penggunaan media yang kurang tepat justru akan mengaburkan konten yang ingin disampaikan.
Pemilihan jenis media yang digunakan tergantung pada konten materi yang disajikan, karena
setiap media memiliki karakteristik masing-masing. Jenis multimedia dalam pembelajaran
meliputi:
1. Multimedia Presentasi
Multimedia presentasi digunakan untuk menjelaskan materi-materi yang sifatnya teoritis,
digunakan dalam pembelajaran klasikal dengan kelompok belajar yang cukup banyak. Media ini
cukup efektif sebab menggunakan multimedia proyektor yang memiliki jangkauan pancar cukup
besar. Kelebihan media ini adalah menggabungkan semua unsur media seperti teks, video,
animasi, image, grafik dan sound menjadi satu kesatuan penyajian, sehingga mengakomodasi
sesuai dengan modalitas belajar siswa. Program ini dapat mengakomodasi siswa yang memiliki
tipe visual, auditif maupun kinestik(Rusman, geocities.com).
2. Multimedia interaktif
Menurut Rusman (geocities.com) diperkuat Samsudin (2008), CD interaktif merupakan
media yang bersifat interaktif dan multimedia karena terdapat unsur-unsur media secara lengkap
meliputi sound, animasi, video, teks dan grafis. Beberapa model multimedia interaktif yaitu: (1)
Model Drill: merupakan salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan memberikan
pengalaman belajar yang lebih konkrit melalui penciptaan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang
mendekati suasana sebesarnya (biasanya dalam bentuk latihan soal-soal), (2) Model Tutorial:
merupakan program pembelajaran dengan menggunakan perangkat lunak berupa program
komputer yang berisi tujuan, materi pelajaran dan evaluasi, (3) Model Simulasi: pengajaran
dengan komputer untuk simulasi pada suatu keadaan khusus, atau sistem di mana siswa dapat
berinteraksi, (4) Model Games: model permainan ini dikembangkan berdasarkan atas
pembelajaran yang menyenangkan, dimana peserta didik akan dihadapkan pada beberapa
petunjuk dan aturan permainan.
Berpikir (thinking) merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka
dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Berpikir merupakan proses
yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada
pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan
penarikan kesimpulan.
Pandangan ini menunjukkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada suatu situasi, maka
dalam berpikir, orang tersebut akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang
direkam sebagai pengertian-pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat
yang sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, ia akan membuat kesimpulan yang digunakan
untuk membahas atau mencari solusi dari situasi tersebut. Berpikir dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berpikir logis
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika
dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar sesuai dengan pengetahuan sebelumnya.
Berpikir analitis adalah kemampuan untuk menguraikan, memerinci, dan menganalisis informasi
yang digunakan untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran
yang logis, bukan berdasar perasaan atau tebakan. Berpikir sistematis adalah kemampuan untuk
mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan urutan, tahapan, langkah-langkah,
atau perencanaan yang tepat, efektif, dan efisien. Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan.
Seseorang untuk dapat dikatakan berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk
memahami informasi yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir analitis diperlukan
kemampuan berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi.
Linda Elder (2007) mendefinisikan berpikir kritis sebagai cara berpikir tentang subjek
apapun, isi, atau masalah di mana pemikir meningkatkan kualitas berpikirnya dengan terampil
dalam menganalisis, menilai, dan merekonstruksi. Berpikir kritis itu mengarahkan diri (selfdirected), disiplin diri (self-diciplined), terpantau (self-monitored), dan korektif (self-corrective).
Berpikir kritis memerlukan komunikasi yang efektif dan kemampuan pemecahan masalah, serta
komitmen untuk mengatasi egocentrism dan sociocentrism.
Pernyataan Michael Scriven & Richard Paul (1987) dalam The 8th Annual International
Conference on Critical Thinking and Education Reform tentang berpikir kritis sebagai
berikut: Berpikir kritis merupakan proses disiplin intelektualitas tentang keaktifan dan
keterampilan konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis, dan/atau mengevaluasi informasi
yang diperoleh dari, atau dihasilkan oleh, pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi, sebagai panduan untuk mempercayai dan melakukan. Sebagai contoh, berpikir kritis
didasarkan pada nilai-nilai intelektual universal yang melampaui bagian materi subyek:
kejelasan, ketepatan, presisi, relevansi, bukti, alasan-alasan,kedalaman materi, keluasan, dan
keadilan.
Berpikir kritis melibatkan berpikir dan bernalar logis yang mencakup keterampilan
seperti membandingkan, mengklasifikasi, mengurutkan, sebab akibat, mempolakan, membuat
jaringan (webbing), analogi, penalaran deduktif dan induktif, meramal, merencanakan, membuat
hipotesis, dan mengkritik. Kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih
informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Bila
terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan
tujuan untuk mendapatkan penjelasan.
Berpikir kritis banyak dipikirkan di otak kiri, sedang berpikir kreatif lebih banyak di
otak sebelah kanan, mereka kedua-duanya melibatkan " berpikir." Biasanya kita sebut sebagai
HOTS " higher-order thinking skills " yang terkonsentrasi pada tiga kompetensi kognitif
tertinggi dari Taksonomi Bloom, yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi yang perlu dikuasai siswa
di kelas. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif.
The Liang Gie (2003) memberikan batasan, bahwa berpikir kreatif adalah suatu
rangkaian tindakan yang dilakukan orang dengan menggunakan akal budinya untuk menciptakan
buah pikiran baru dari kumpulan ingatan yang berisi berbagai ide, keterangan, konsep,
pengalaman, dan pengetahuan. Berpikir kreatif ditandai dengan penciptaan sesuatu yang baru
dari hasil berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, maupun pengetahuan yang ada dalam
pikirannya. Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan karya yang asli, tapi masih
sesuai dan berguna (Berk, 2005, dalam Woolfolk, 2008), dan disebutkan pula kreatif sebagai
imajinasi, pemikiran asli atau pemecahan masalah. Berpikir kreatif melibatkan menciptakan
sesuatu yang baru atau asli. Berpikir kreatif melibatkan keterampilan fleksibilitas, keaslian,
kelancaran, elaborasi, curah pendapat (brainstorming), modifikasi, perumpamaan (imagery),
berpikir asosiatif, mendaftar atribut, berpikir berkenaan dengan metafora, membuat hubungan.
Berpikir kreatif adalah suatu aktivitas mental untuk membuat hubungan-hubungan yang
terus-menerus, sehingga ditemukan kombinasi yang benar atau sampai seseorang itu
menyerah. Asosiasi kreatif terjadi melalui kemiripan-kemiripan sesuatu atau melalui pemikiran
analogis. Asosiasi ide-ide membentuk ide-ide baru, jadi, berpikir kreatif mengabaikan hubunganhubungan yang sudah mapan dan menciptakan hubungan-hubungan tersendiri. Berpikir kreatif
merupakan kegiatan mental untuk menemukan suatu kombinasi yang belum dikenal sebelumnya.
Berpikir kreatif dapat juga dipandang sebagai suatu proses yang digunakan ketika
seorang individu mendatangkan atau memunculkan suatu ide baru. Ide baru tersebut merupakan
gabungan-ide-ide sebelumnya yang belum pernah diwujudkan. Pengertian ini lebih
memfokuskan pada proses individu untuk memunculkan ide baru yang merupakan gabungan ideide sebelumnya yang belum diwujudkan atau masih dalam pemikiran. Pengertian bepikir kreatif
ini ditandai adanya ide baru yang dimunculkan sebagai hasil dari proses berpikir tersebut.
Berpikir kreatif merupakan suatu aktivitas mental yang memperhatikan keaslian dan
wawasan (ide). Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suau
cara yang terorganisasi. Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi
secara sistematik kualitas pemikiran diri sendiri dan orang lain. Berpikir dengan kritis dan kreatif
memungkinkan siswa mempelajari masalah secara sistematik, mempertemukan banyak sekali
tantangan dalam suatu cara yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang inovatif
dan merancang/ mendesain solusi-solusi yang asli.
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa
khususnya pembangunan di bidang pendidikan. Dalam era globalisasi ini, sumber daya manusia
yang berkualitas akan menjadi tumpuan utama agar suatu bangsa dapat berkompetisi.
Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan formal merupakan salah satu wahana dalam
membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan IPA (fisika) sebagai bagian dari
pendidikan formal seharusnya ikut memberi kontribusi dalam membangun sumber daya manusia
yang berkualitas tinggi. Fisika sebagai salah satu cabang IPA yang pada dasarnya bertujuan
untuk mempelajari dan menganalisis pemahaman kuantitatif gejala atau proses alam dan sifat zat
serta penerapannya (Wospakrik, 1994 : 1). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan bahwa
fisika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari bagian-bagian dari alam dan
interaksi yang ada di dalamnya. Ilmu fisika membantu kita untuk menguak dan memahami tabir
misteri alam semesta ini (Surya, 1997: 1). Tujuan utama yang ingin dicapai dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran fisika : (1) menyukai fisika sebagai ilmu
pengetahuan dasar yang bersifat kualitatif dan kuantitatif sederhana, (2) kemampuan menerapkan
berbagai konsep dan prinsip fisika dalam menjelaskan berbagai peristiwa alam serta cara kerja
produk teknologi dalam menyelesaikan permasalahan, (3) kemampuan melakukan kerja ilmiah
dalam menguji kebenaran, (4) membentuk sikap ilmiah yaitu sikap terbuka dan kritis terhadap
pendapat orang lain serta tidak mudah mempercayai pernyataan yang tidak didukung dengan
hasil observasi empiris dan (5) menghargai sejarah sains dan penemuannya.
Untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran tersebut maka pada setiap akhir
program pengajaran dilakukan evaluasi. Indikator keberhasilan dari pencapaian tujuan
pengajaran tersebut adalah kemampuan belajar siswa yang diwujudkan melalui nilai perolehan.
Pada dasarnya hasil nilai perolehan nilai ujian siswa untuk mata pelajaran fisika sangatlah
rendah. Penyebab universal atas masih rendahnya mutu pendidikan IPA yang secara umum
diterima oleh para pendidik IPA adalah adanya miskonsepsi dan kondisi pembelajaran yang
kurang memperhatikan prakonsepsi yang dimiliki siswa. Penyebabnya mungkin karena para guru
fisika mengajar berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara
utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan asumsi tersebut mereka memfokuskan diri pada
upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala para siswanya ( Sadia, 1997:1 ). Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan fisik, pengetahuan logikamatematika dan pengetahuan sosial. Tidak semua pengetahuan dapat diterima dengan mudah
oleh siswa. Hal ini dapat diketahui dari contoh yang dikemukakan oleh Piaget yaitu pengetahuan
sosial seperti nama hari, tanda atom dan lambang matematika dapat dipelajari secara langsung.
Tetapi pengetahuan fisik dan logika matematika tidak dapat ditransfer secara utuh dari pikiran
guru ke pikiran siswa tetapi harus dibangun di dalam pikiran siswa sendiri sebagai usaha keras
siswa untuk mengorganisasi pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema
atau struktur mental yang telah ada sebelumnya (De Vries and Zan, 1994 : 193-195 ; Bodner,
1986 : 2 ; Dahar, 1988 : 192 ).
Miskonsepsi pada siswa yang muncul secara terus menerus dapat mengganggu
pembentukan konsepsi ilmiah. Pembelajaran yang tidak memperhatikan miskonsepsi
menyebabkan kesulitan belajar dan akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar
mereka. Pandangan tradisional yang menganggap bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara
utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa perlu digeser menuju pandangan konstruktivisme yang
berasumsi bahwa pengetahuan dibangun dalam diri
siswa ( Howe, 1996 : 45 ).
Secara khusus diperlukan perubahan pola pikir yang digunakan sebagai landasan
pendidikan. Pada umumnya kegiatan belajar mengajar lebih menekankan pada pengajaran dari
pada pembelajaran. Pembelajaran diartikan sebagai perubahan dalam kemampuan, sikap, atau
perilaku siswa yang relatif permanen sebagai akibat dari pengalaman atau pelatihan. Pola pikir
pembelajaran pun perlu diubah dari sekedar memahami menuju pada penerapan konsep dan
prinsip keilmuwan. Dalam pilar-pilar pembelajaran dari UNESCO, selain terjadi learning to
know (pembelajaran untuk tahu), juga harus terjadi learning to do (kemampuan untuk berbuat).
Pembelajaran terfokus pada siswa, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran, pada saat
munculnya miskonsepsi, guru menyajikan konflik kognitif sehingga terjadi ketidakseimbangan
(disekualibrasi) pada diri siswa. Konflik kognitif yang disajikan guru, diharapkan dapat
menyadarkan siswa atas kekeliruan konsepsinya dan pada akhirnya mereka merekonstruksi
konsepsinya menuju konsepsi ilmiah. Dengan demikian pembelajaran IPA akan menimbulkan
suasana belajar yang bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna terjadi bila informasi
terkait dengan konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif (Dahar, 1988 :
112). Pengubahan konsepsi yang dilakukan dengan menyajikan proses pembelajaran dengan
Model konstruktivis ini berpijak pada konstruktivisme Piagetian dan Vygotskian.
Miskonsepsi yang dialami siswa secara umum bersifat resisten dalam pembelajaran,
sedangkan di sisi lain anak-anak memiliki penalaran formal yang berbeda-beda. Dalam hal ini,
siswa membutuhkan suatu model pembelajaran yang tepat agar pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Dengan demikian dalam penulisan makalah ini dipilih judul model belajar
konstruktivis dalam meminimalkan miskonsepsi siswa tentang pelajaran fisika.
Sebagian besar orang memahami bahwa IPA adalah ilmu pengetahuan yang terdiri dari fisika,
biologi dan kimia. Di samping itu sebagian orang memandang IPA sebagai kumpulan informasi
ilmiah, sedangkan para ilmuwan memandang IPA sebagai sebuah cara (metoda) untuk menguji
dugaan (hipotesis), dan para ahli filsafat memandang IPA sebagai cara bertanya tentang
kebenaran dari segala sesuatu yang diketahui.
Masing-masing pandangan itu adalah benar menurut sudut pandang yang digunakannya.
Sementara itu kesamaan pandangan para pendidik dan pengajar tentang hakekat IPA termasuk
fisika di dalamnya sangatlah penting, agar tidak terjadi disparitas dalam merencanakan dan
mengembangkan pembelajaran IPA.
Menurut Collette dan Chiappetta (1994) menyatakan bahwa sains pada hakekatnya
merupakan sebuah kumpulan pengetahuan (a body of knowledge), cara atau jalan berpikir (a
way of thinking), dan cara untuk penyelidikan (a way of investigating)". Dengan mengacu
kepada pernyataan tersebut, pandangan kebanyakan orang, pandangan para ilmuwan, dan
pandangan para ahli filsapat seperti yang telah dikemukakan di atas tidaklah salah. Masingmasing pandangan hanya merupakan salah satu dari tiga hakekat IPA dalam pernyataan itu.
Pernyataan Collette dan Chiappetta lebih merupakan pandangan yang komprehensif atas hakekat
IPA atau sains. Pernyataan yang lebih tepat tentang hakekat IPA adalah IPA sebagai produk
untuk pengganti pernyataan IPA sebagai sebuah kumpulan pengetahuan (a body of
knowledge), IPA sebagai sikap untuk pengganti pernyataan IPA sebagai cara atau jalan berpikir
(a way of thinking), dan IPA sebagai proses untuk pengganti pernyataan IPA sebagai cara
untuk penyelidikan (a way of investigating). Karena fisika merupakan bagian dari IPA atau
sains, maka sampai pada tahap ini kita dapat menyamakan persepsi bahwa hakekat fisika adalah
sama dengan hakekat IPA atau sains. Jadi hakekat fisika adalah sebagai produk (a body of
knowledge), fisika sebagai sikap (a way of thinking), dan fisika sebagai proses (a way of
investigating).
1. Fisika sebagai produk
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia, terjadi interaksi antara manusia dengan alam
lingkungan. Interaksi itu memberikan pembelajaran kepada manusia sehinga menemukan
pengalaman yang semakin menambah pengetahuan dan kemampuannya serta berubah
perilakunya. Dalam wacana ilmiah, hasil-hasil penemuan dari berbagai kegiatan penyelidikan
yang kreatif dari para ilmuwan dinventarisir, dikumpulkan dan disusun secara sistematik menjadi
sebuah kumpulan pengetahuan yang kemudian disebut sebagai produk atau a body of
knowledge. Pengelompokkan hasil-hasil penemuan itu menurut bidang kajian yang sejenis
menghasilkan ilmu pengetahuan yang kemudian disebut sebagai fisika, kimia dan biologi. Untuk
fisika, kumpulan pengetahuan itu dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, rumus, teori dan
model.
a. Fakta
Fakta adalah keadaan atau kenyataan yang sesungguhnya dari segala peristiwa yang terjadi
di alam. Fakta merupakan dasar bagi konsep, prinsip, hukum, teori atau model. Sebaliknya kita
juga dapat menyatakan bahwa, konsep, prinsip, hukum, teori, dan model keberadaannya adalah
untuk menjelaskan dan memahami fakta.
b. Konsep
Konsep adalah abstraksi dari berbagai kejadian, objek, fenomena dan fakta. Konsep
memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu. Menurut Bruner, Goodnow dan Austin (collette
dan chiappetta: 1994) konsep memiliki lima elemen atau unsur penting yaitu nama, definisi,
atribut, nilai (value), dan contoh. Yang dimaksud dengan atribut itu misalnya adalah warna,
ukuran, bentuk, bau, dan sebagainya. Sesuai dengan perkembangan intelektual anak, keabstrakan
dari setiap konsep adalah berbeda bagi setiap anak. Menurut Herron dan kawan-kawan (dalam
Collette dan Chiappetta 1994), konsep fisika dapat dibedakan atas konsep yang baik contoh
maupun atributnya dapat diamati, konsep yang contohnya dapat diamati tetapi atributnya tidak
dapat diamati, dan konsep yang baik contoh maupun atributnya tidak dapat diamati.
c. Prinsip dan hukum
Istilah prinsip dan hukum sering digunakan secara bergantian karena dianggap sebagai
sinonim. Prinsip dan hukum dibentuk oleh fakta-fakta dan konsep-konsep. Ini sangat perlu
dipahami bahwa, hukum dan prinsip fisika tidaklah mengatur kejadian alam (fakta), melainkan
kejadian alam (fakta) yang dijelaskan keberadaannya oleh prinsip dan atau hukum.
d. Rumus
Rumus adalah pernyataan matematis dari suatu fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori.
Dalam rumus kita dapat melihat saling keterkaitan antara konsep-konsep dan variable-variabel.
Pada umumnya prinsip dan hukum dapat dinyatakan secara matematis.
e. Teori
Teori disusun untuk menjelaskan sesuatu yang tersembunyi atau tidak dapat langsung
diamati, misalnya teori atom, teori kinetik gas, teori relativitas. Teori tetaplah teori tidak
mungkin menjadi hukum atau fakta. Teori bersifat tentatif sampai terbukti tidak benar dan
diperbaiki. Hawking (1988) yang dikutip oleh Collette dan Chiappetta (1994) menyatakan bahwa
kita tidak dapat membuktikan kebenaran suatu teori meskipun banyak hasil eksperimen
mendukung teori tersebut, karena kita tidak pernah yakin bahwa pada waktu yang akan dating
hasilnya tidak akan kontradiksi dengan teori tersebut, sedangkan kita dapat membuktikan
ketidakbenaran suatu teori cukup dengan hanya satu bukti yang menyimpang. Jadi, teori
memiliki fungsi yang berbeda dengan fakta, konsep maupun hukum
f. Model
Model adalah sebuah presentasi yang dibuat untuk sesuatu yang tidak dapat dilihat. Model
sangat berguna untuk membantu memahami suatu fenomena alam, juga berguna untuk
membantu memahami suatu teori. Sebagai contoh, model atom Bohr membantu untuk
memahami teori atom.
2. Fisika sebagai proses
IPA sebagai proses atau juga disebut sebagai a way of investigating memberikan
gambaran mengenai bagaimana para ilmuwan bekerja melakukan penemuan-penemuan. Jadi IPA
sebagai proses memberikan gambaran mengenai pendekatan yang digunakan untuk menyusun
pengetahuan. Dalam IPA dikenal banyak metoda yang menunjukkan usaha manusia untuk
menyelesaikan masalah. Para ilmuwan astronomi misalnya, menyusun pengetahuan mengenai
astronomi dengan berdasarkan kepada observasi dan prediksi. Ilmuwan lain banyak yang
menyusun pengetahuan dengan berdasarkan kepada kegiatan laboratorium atau eksperimen yang
terfokus pada hubungan sebab akibat. Sampai pada tahap ini kiranya cukup jelas bahwa, untuk
memahami fenomena alam dan hukum-hukum yang berlaku, perlu dipelajari objek-objek dan
kejadian-kejadian di alam itu. Objek-objek dan kejadian-kejadian alam itu harus diselidiki
dengan melakukan eksperimen dan observasi serta dicari penjelasannya melalui proses
pemikiran untuk mendapatkan alasan dan argumentasinya. Jadi pemahaman fisika sebagai proses
adalah pemahaman mengenai bagaimana informasi ilmiah dalam fisika diperoleh, diuji, dan
divalidasikan. Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa pemahaman fisika sebagai
proses sangat berkaitan dengan kata-kata kunci fenomena, dugaan, pengamatan, pengukuran,
penyelidikan, dan publikasi. Pembelajaran yang merupakan tugas guru termasuk ke dalam
bagian mempublikasikan itu. Dengan demikian pembelajaran fisika sebagai proses hendaknya
berhasil mengembangkan keterampilan proses sain pada diri siswa.
Indikator dari setiap keterampilan proses yang meliputi: mengamati, mengklasifikasi,
mengukur, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan penyelidikan,
menafsirkan, dan mengkomunikasikan, adalah seperti daftar di bawah ini.
a. Indikator mengamati (observasi):
Merumuskan masalah.
Menemukenali variabel kontrol.
Membandingkan variabel bebas dan variabel terikat.
Merancang cara melakukan pengamatan untuk memecahkan masalah
Memilih alat dan bahan yang sesuai
Menentukan langkah-langkah percobaan
Menentukan cara yang tepat untuk mengumpulkan data
Menarik kesimpulan.
Menggunakan kunci atau klasifikasi.
Menyadari bahwa kesimpulan bersifat tentatif
Menggeneralisasi.
Membuat dan mencari pembenaran dari kesimpulan sementara
Membuat prediksi berdasarkan pola atau patokan tertentu
h. Indikator berkomunikasi:
3.
Fisika
sebagai
sikap
Dari penjelasan mengenai hakekat fisika sebagai produk dan hakekat fisika sebagai proses di
atas, tampak terlihat bahwa penyusunan pengetahuan fisika diawali dengan kegiatan-kegiatan
kreatif seperti pengamatan, pengukuran dan penyelidikan atau percobaan, yang kesemuanya itu
memerlukan proses mental dan sikap yang berasal dan pemikiran. Jadi dengan pemikirannya
orang bertindak dan bersikap, sehingga akhirnya dapat melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah itu.
Pemikiran-pemikiran para ilmuwan yang bergerak dalam bidang fisika itu menggambarkan, rasa
ingin tahu dan rasa penasaran mereka yang besar, diiringi dengan rasa percaya, sikap objektif,
jujur dan terbuka serta mau mendengarkan pendapat orang lain. Sikap-sikap itulah yang
kemudian memaknai hakekat fisika sebagai sikap atau a way of thinking. Oleh para ahli
psikologi kognitif, pekerjaaan dan pemikian para ilmuwan IPA termasuk fisika di dalamnya,
dipandang sebagai kegiatan kreatif, karena ide-ide dan penjelasan-penjelasan dari suatu gejala
alam disusun dalam fikiran. Oleh sebab itu, pemikiran dan argumentasi para ilmuwan dalam
bekerja menjadi rambu-rambu penting dalam kaitannya dengan hakekat fisika sebagai sikap.
A. Daftar Isi
1. Tidak dilengkapi daftar isi
2. Urutan daftar isi adalah: Sampul (Kaver), Kata penganatr, Daftar Isi, Silabus, RPP, LKS
dan Kuci LKS, Media, Bahan ajar yang lain, Tabel Spesifikasi LP, LP dan Kunci LP
3. Tidak ada daftar isi. Daftar isi harus diletakkan setelah kaver depan.
4. Daftar isi tidak urut. Urutan daftar isi adalah: Kaver, Daftar Isi, Silabus, RPP, Buku
Siswa( atau lembar bacaan, modul, bila ada), LKS dan Kunci LKS, Media (bila ada),
Tabel Spesifikasi, LP dan Kunci LP.
B. Silabus
1. Tidak dilengkapi silabus
2. Pada kolom Evaluasi tertulis tiga instrumen, tetapi yang dibuat hanya satu. Semua
Sumber Belajar yang ditulis di Silabus dan di RPP harus dibuat dan dilampirkan.
C. Indikator
1. Indikator di RPP tidak sama dengan di Silabus, seharusnya keduanya sama.
2. Salah menyebut domain: Domain (Ranah) pengetahuan/produk dimasukkan ranah
psikomotor, ranah produk dimasukkan ranah proses.
3. Indikator tidak diklasifikasikan menurut domainnya.
4. Indikator untuk ranah yang sesuai di LKS harus persis sama dengan indikator untuk
ranah yang sesuai di RPP (copy paste).
5. Bila materi pembelajaran sesuai, harus ada tiga ranah di RPP (kognitif: produk dan
proses, psikomotor, dan afektif: keterampilan sosial atau karakter).
6. Indikator cukup B (behavior) saja.
7. B (behavior) di Indikator harus sama dengan B di Tujuan Pembelajaran.
D. Tujuan pembelajaran/Indikator
1. Tidak dibedakan atas produk, proses, psikomotor, dan afektif.
2. Degree hanya ditulis dengan benar, contoh yang benar misalnya sesuai dengan Kunci
LKS atau sesuai dengan Kunci LP, atau yang pernyataan operasional lain.
3. Belum menggunakan format ABCD.
4. Degree salah atau belum ada.
5. Degree di tulis sesuai kunci jawaban atau Kunci LKS, seharusnya sesuai Kunci LP.
6. Isi tujuan tidak sama dengan indikator.
7. Ada di tujuan tetapi tak ada di indikator.
8. Gunakan sistem penomoran indikator dan tujuan pembelajaran yang mudah dimengerti.
9. MPK harus ada tujuan pembelajaran keterampilan sosial dan/atau karakter.
10. Tujuan pembelajaran tidak sesuai indikator.
11. Proses dimasukkan ke psikomotor.
12. Kognitif/produk/psikomotor dimasukkan afektif
E. RPP
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
H. Modul/Handout/Bahan ajar
1. Format modul tidak standar.
2. Tidak dilengkapi daftar pustaka
I. Kisi-kisi Lembar Penilaian
1. Pada kolom LP dan Butir Soal hanya ditulis Nama LP tanpa butir soal. Cara menulis
dibuat jelas, jelas setiap indikator diukur oleh butir yang mana.
2. Tidak membuat Kisi-kisi Lembar Penilaian (Salah fatal)
3. Indikator di tabel spesifikasi tidak sesuai dengan indicator di RPP.
4. Di tabel spesifikasi harusnya cukup kolom tujuan pembelajaran tidak perlu ada kolom
indikator.
J. LP/Tes
1.
2.
3.
4.
5.
6.
L. Daftar Pustaka
1. Tidak ada daftar pustaka pada setiap komponen RPP (Silabus, RPP, LKS dan Kunci, LP
dan Kunci, Modul, Buku Siswa, Media, dll.).