Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting pada pelayanan
kesehatan. Transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat
kesehatan bila digunakan dengan benar. Indikasi tepat transfusi darah dan
komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas
dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain.
WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi
dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang
aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya
20% memakai darah donor yang aman. Oleh karena itu, WHO mengembangkan
strategi untuk transfusi darah yang aman dan meminimalkan risiko tranfusi.
Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang terkoordinasi secara
nasional, pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi risiko
rendah, pelaksanaan skrining terhadap semua darah donor dari penyebab infeksi,
mengurangi transfusi darah yang tidak perlu dengan penentuan indikasi transfusi
darah dan komponen darah yang tepat.1
B. Permasalahan
Melakukan transfusi harus selalu berdasarkan penilaian yang tepat dari
segi klinis penyakit dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Faktor keamanan dan keefektifan transfusi bergantung pada 2 hal yaitu (1)
tersedianya darah dan komponen darah yang aman, mudah didapat, harga
terjangkau, dan jumlahnya cukup memenuhi kebutuhan nasional; (2) indikasi
transfusi darah dan komponen darah yang tepat. Transfusi darah atas indikasi
yang tidak tepat tidak akan memberi keuntungan bagi pasien, bahkan memberi
risiko yang tidak perlu. Misalnya, transfusi yang diberikan dengan tujuan
menaikkan kadar hemoglobin sebelum operasi atau mempercepat pulangnya
pasien dari rumah sakit. Transfusi darah atau plasma untuk perdarahan akut masih
sering dilakukan padahal terapi dengan infus kristaloid atau cairan pengganti
lainnya sama efektifnya bahkan lebih aman dan murah.
Transfusi dapat mengakibatkan penyulit akut atau lambat dan membawa
risiko transmisi infeksi antara lain HIV, hepatitis, sifilis dan risiko supresi sistem
imun tubuh.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1.
2.
Apa saja faktor risiko yang dapat ditimbulkan dari transfusi darah?
3.
C. Tujuan
1.
2.
3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Indikasi Transfusi Komponen Darah
1.
Jika kebutuhan oksigen meningkat maka kebutuhan untuk transfusi sel darah
merah juga meningkat.3
Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl
apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb =10 g/dl, kecuali bila
ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas
transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat
dan penyakit jantung iskemik berat).
Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah
bila pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan
darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen
yang dapat diperberat oleh anemia.2
Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus
diatasi dengan penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting
daripada menaikkan kadar Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma
subtitute) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi
kebutuhan transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi. Setelah pasien
mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit
dapat digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah
dibutuhkan atau tidak.2
Sel
darah
merah
diperlukan
bila
terjadi
ketidakseimbangan
transportasi oksigen, terutama bila volume darah yang hilang >25% dan
perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat
menyebabkan kematian.3
Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan darah simpan lebih
dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat penyimpanan.
Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH
rendah,
debris
sel
tinggi,
usia
eritrosit
pendek
dan
kadar
2,3-
diphosphoglycerate rendah.1
Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah
yang menyebabkan: 1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan
oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda dan gejala klasik anemia
berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat, takikardia, penurunan
kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala anemia
serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi
yang lebih rasional.4
Penelitian oleh Carmel dan Shulman (dipublikasikan tahun 1989)
menyatakan bahwa dispnea tidak terjadi sampai Hb <7 g/dl. Pada penelitian
lain dengan Hb <6 g/dl, hanya 54% pasien mengalami takikardia, 32%
mengalami hipotensi, 35% penurunan kesadaran, dan 27% dispnea. Pada
anak, gejala baru muncul pada nilai Hb yang lebih rendah lagi. Kelambatan
munculnya tanda-tanda tersebut mungkin menyebabkan undertransfusion.
Walaupun Hb merupakan prediktor yang cukup baik untuk kebutuhan
transfusi, pengukuran oksigenasi jaringan lebih akurat dalam menentukan
kebutuhan.
2.
Transfusi Trombosit
Transfusi trombosit dapat digunakan untuk:
trombosit
diindikasikan
untuk
pencegahan
dan
3.
4.
Transfusi Kriopresipitat
Kriopresipitat digunakan untuk:
Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24
jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu
ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan
ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini
disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan
adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri
kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di
kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya
disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi
non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi
pirogen dan/atau bakteri.1
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah,
nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri
punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot,
demam, lemah, hipotensi (turun =20% tekanan darah sistolik), takikardia
(naik =20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini
disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok
septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.1
Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini
dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu
cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada
pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.1,7
Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam
plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi
pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak
mengandung IgA.1 Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan
ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa
demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat
dan agresif.1,7
2.
Reaksi Lambat
Reaksi hemolitik lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan
gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi
hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal
ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel
darah kompatibel dengan antibodi tersebut.1,7
10
Supresi imun
Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam beberapa
cara, dan hal ini menjadi perhatian karena adanya pendapat yang menyatakan
bahwa angka rekurensi tumor dapat meningkat. Selain itu juga terdapat
pendapat yang menyatakan bahwa transfusi darah meningkatkan risiko
infeksi pasca bedah karena menurunnya respons imun: sampai saat ini,
penelitian klinis gagal membuktikan hal ini.1
3.
Penularan Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung
pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan
skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit
darah. Saat ini yang dinilai untuk risiko transfusi darah, antara lain penularan
HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic
(HTLV). Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama
timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana darah
donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).7,8
C. Skrining
11
BAB III
KESIMPULAN
12
REFERENSI
13