Anda di halaman 1dari 24

POKOK BAHASAN

UU PENYIARAN

Oleh: Afdal Makkuraga Putra

Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya DPR dan pemerintah menyetujui RUU Penyiaran
menjadi Undang-undang. UU yang disahkan menjadi UU No. 32 tahun 2002

mengganti UU No 24/1997. Ada sejumlah kemajuan yang patut dicatat dari UU yang baru ini, antara
lain dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Izin Siaran. Sebelumnya, UU no. 24/197
perizinan mutlak melalui Deppen, sedangkan UU yang baru ini melalui KPI. Sedangkan KPI sendiri
bebas dari unsur pemerintah dan legislatif. Menyangkut KPI kemajuannya adalah tidak adanya wakil
pemerintah dan praktisi penyiaran baik langsung maupun tidak dalam keanggotaan KPI. Ini
diharapkan akan meminimalkan conflic of interest baik itu dari pemerintah maupun industri
penyiaran. Sehingga KPI akan menjadi lembaga yang independen. Tetapi ada kelemahan pada
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan KPI. Rumusanya masih membuka peluang

intervensi pemerintah terhadap penyelenggaraan penyiaran. Hal ini terlihat dengan masih
banyaknya aturan-aturan yang akan dibuat KPI harus menyertakan pemerintah. Ini artinya apapun
yang dihasilkan KPI tidak akan menjadi sebuah peraturan tanpa persetujuan pemerintah. Tercatat
ada sepuluh ketentuan yang akan dibuat KPI dan harus menyertakan pemerintah. (lihat tabel)

NO

Pasal

Masalah

14 ayat 10

Lembaga Penyiaran Publik

18 ayat 3

Cakupan wilayah siaran

18 ayat 4

Pembatasan dan Penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta

29 ayat 2

Tata cara dan persyaratan izin Lembaga Penyiaran Berlangganan

31 ayat 4

Sistem stasiun berjaringan

33 ayat 8

Ketentua tentang tata cara persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran

30 ayat 3

Pedoman Kegiatan Peliputa lembaga penyiaran asing

32 ayat 8

Rencana dasar teknik penyiran dan persyaratan teknis perangkat penyiaraan

55 ayat 3

Sanksi adminsitratif

10

60 ayat 3

Kentetuan peralihan

Menurut Djoko Susilo anggota Panitia Khusus RUU Penyiaran dari DPR, rumusan itu lahir karena
menurut Pemerintah, hierarki hukum di Indonesia hanya mengenal Undangundang Dasar (UUD) 45,
Tap MPR, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Di Indonesia tidak mengenal peraturan yang
dikeluarkan oleh sebuah komisi, karenanya menyiasati itu, disepakati rumu-sannya menjadi KPI dan
Pemerintah. Konsekuensinya peraturan yang dibuat KPI akan menjadi Peraturan Pemerintah (PP).

Selain izin siaran dan KPI, UU ini berhasil menyelesaikan kontroversi mengenai keberadaan Lembaga
Penyiaran Komunitas, kepemilikan silang dan modal asing. Semula pemerintah tidak memasukan
penyiaran komunitas dalam lembaga yang berhak menyelenggarakan penyiaran. Pemerintah hanya
mengakui Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta, dengan alasan kondisi
geografis dan demografis Indonesia yang beraneka ragam, suku, agama, budaya/adat-istiadat,
tingkat pendidikan yang sangat berbeda satu sama lainnya. Kondisi ini dikhawatirkan membuka
kemungkinan masing-masing komunitas berhak untuk membentuk lembaga penyiaran komunitas,
yang potensial memicu SARA. Disamping itu dapat terjadi pemborosan penggunaan spektrum
frekuensi.

Hal itu memicu protes dari banyak kalangan. Dalam rumusan terakhir yang dihasilkan DPR,
Pemerintah akhirnya menyetujui penyiaran komunitas dengan akan melakukan pembatasan ruang

edar. Mengenai aturan teknis dari lembaga penyiaran Komunitas baik yang menyangkut frekuensi
dan ruang lingkup/area, selanjutnya akan rumuskan oleh KPI bersama dengan pemerintah.

Tentang kepemilikan silang dan modal asing baik DPR maupun Pemerintah akhirnya dicapai kata
sepakat. Sebelumnya dalam RUU Penyiaran usulan inisiatif DPR melarang adanya kepemilikan silang.
Panja merumuskan kepemilikan silang hanya akan dibatasi dan rincian pembatasannya akan
dirumuskan oleh KPI. Pembatasan ini perlu dilakukan untuk menghindari sebuah kelompok usaha
media cetak yang juga memiliki lembaga penyiaran menguasai opini publik.

Selanjutnya berkaitan dengan modal asing, UU Penyiaran membatasi sampai 20 persen.

Menurut Djoko Susilo, anggota Panja RUU Penyiaran, pertimbangan asing boleh menjadi pemegang
saham karena DPR memandang bahwa lembaga penyiaran merupakan lahan bisnis strategis. Karena
itu, DPR mengizinkan modal asing masuk, tetapi tetap tidak sebagai pemegang saham mayoritas.
Sedangkan mekanisme kepemilikan saham tersebut, baik penambahan maupun pemenuhan modal,
harus dilakukan melalui pasar modal agar transparan dan terbuka. (Koran Tempo 5 September 2002)

Televisi Lokal dan Televisi Jaringan

Hasil lain yang dinilai positif adalah ditiadakannya lembaga penyiaran yang jangkauannya bersifat
nasional kecuali TVRI dan RRI. Dengan ketentuan ini nantinya lembaga penyiaran akan bersifat lokal.
Lihat pasal 6 ayat 3, pasal 31 ayat 1 dan 2

Dalam sistem penyiaran nasional terdpat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan
terpadu yang dikembangkan denan membentuk sistem jaringan dan stasiun lokal

Dan pasal 31 ayat 1

Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri
atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal

Pasal 31 ayat 2

Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang
menjangkau seluruh wilayah Negara Republik Indonesia

Sehingga dengan ketentuan itu, Kalaupun ada yang berkeinginan untuk siaran nasional maka harus
menggunakan sistem jaringan, bekerjasama dengan stasiun-stasiun lokal. Dan kalau ada pengusaha
nasional yang akan mendirikan TV Lokal maka dia harus bekerja sama dengan pengusaha lokal.
Sistem ini tidak hanya dianut oleh Indonesia. Di banyak negara sistem ini justru telah lama
diterapkan. Di Indonesia sendiri dalam hal siaran radio, sudah diterapkan prinsip-prinsip tersebut.
Mereka saling melakukan pancar ulang (relay) suatu program siaran.

Sistem jaringan memang tepat diberlakukan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan aturan penjatahan
kanal frekuensi yang buat oleh Internasional Telecomunication Union (ITU). Dalam aturan teknis ITU
yang diterapkan di Indonesia, di setiap beberapa kota dan kabubaten dibentuk sebuah grup, dan
setiap grup hanya diperbolehkan hanya memiliki tujuh kanal frekuensi. Otomatis hanya ada tujuh
stasiun di satu grup daerah tersebut. Sayangnya penentuan hanya tujuh frekuensi ini dicurigai tidak
jelas landasannya dan terkesan ditutuptutupi. Karena menurut pakar komunikasi UGM Roy Suryo,
jumlah frekuensi per grup wilayah bisa mencapai 20 frekuensi. Tentu pembatasan jumlah frekuensi
ini akan menghambat pengembangan industri penyiaran nasional. Pembatasan ini juga bisa
berimplikasi pada penumpukan izin frekuensi pada satu orang, yang ujung-ujungnya menciptakan
mafia frekuensi.

Terlepas dari pembagian frekuensi yang dinilai tidak transparan, sistem televisi lokal dan jaringan
dinilai lebih konprehensif, demokratis dan sesuai prinsip diversity of ownership dan diversity of
content. Apalagi saat ini Indonesia sedang mengembangkan otonomi daerah. Dengan ketentuan itu
memungkinkan di masing-masing daerah berdiri lembaga-lembaga penyiaran lokal. Tentu materi
siaran akan beragam dan sesuai dengan kultur masyarakat setempat. Lebih jauh dari itu sistem ini
akan bisa mendorong pengembangan ekonomi daerah. Sebagai contoh, selama ini apabila ada
produk lokal mau diiklankan di televisi maka dia harus ke Jakarta. Konsekuensinya tentu akan
memakan biaya besar. Dengan ketentuan yang baru justru akan sebaliknya. Produk nasional yang
ingin berpromosi di daerah maka dia harus datang ke daerah tersebut, dan ini akan menjadi
pendapatan daerah. Selain itu akan tumbuh rumah-rumah produksi (Production houses), ini tentu
akan membuka kesempatan lapangan kerja di daerah bersangkutan. Selama ini yang terjadi, sistem
penyiaran di Indonesia mengarah pada sistem siaran nasional. Kondisi ini tentu tidak
merepresentasikan keadaan masyarakat masyarakat Indonesia yang begitu majemuk. Hal ini karena
masyarkat hanya menerima siaran-siaran yang datang dari Jakarta.

Kontroversi Baru

Walaupun secara umum UU ini dinilai mengalami kemajuan, tetapi ternyata melahirkan juga
kontroversi baru antara lain munculnya bab tentang penyidikan dan larangan relay siaran dari

lembaga penyiaran asing. Tentu ini mengagetkan! Banyak kalangan menilai kedua ketentuan ini
tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan pers dan antidemokrasi.

Tentang penyidikan dalam UU terdapat di Bab IX pasal 56 yang menyatakan bahwa Selain Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (P3NS) tertentu yang
ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang penyiaran diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana di bidang penyiaran.

Adapun penyidik tersebut mempunyai kewenangan antara lain melakukan pemeriksaan

atas laporan atau keterangan atas terjadinya tindak pidana di bidang penyiaran, meminta
keterangan seseorang untuk didengar keterangannya sebagai saksi, melakukan pemeriksaan
terhadap orang dan/atau badan hukum yang diduga melakukan tindakan pidana penyiaran,
melakukan pemeriksaan alat-alat dan/atau perengkat penyiaran yang berkaitan dengan tindak
pidana di bidang penyiaran, menghentikan sementara penggunaan alat dan/atau perangkat
penyiaran dan mengadakan penghentian penyidikan. Melihat kewenangan yang begitu besar dari
pejabat pemerintah, komunitas penyiaran menganggap fungsi ini mirip dengan Departemen
Penerangan. Ditakutkan akan memberangus institusi pers tanpa melalui proses pengadilan. Bahkan
komunitas penyiaran menilai P3NS ini akan mengontrol isi penyiaran (content) Kekhawatiran
tersebut beralasan. Namun barangkali kekhawatiran terebut lebih disebabkan karena anggapan yang
keliru. Menurut Syamsul Muarif adanya P3NS bukan untuk mengatur isi penyiaran tetapi semata
pengawasan pada aspek frekuensi. Misalnya, kalau terjadi kebocoran frekuensi, tentu polisi tidak
dapat menanganinya karena polisi tidak memiliki alat deteksi. Yang memiliki alat deteksi itu adalah
P3NS, yang dalam hal ini adalah Departemen Perhubungan. Pasal ini mengacu pada UU
Telekomunikasi.

Berbeda dengan Syamsul Muarif, Djoko Susilo dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) di Hotel The Acacia, berpendapat bahwa biarkan penyidikan

dilakukan oleh penyidik dari kepolisian dan kalau memang perlu bantuan bisa meminta dari
Departemen Perhubungan tetapi terbatas hanya sebagai konsultan.

Seperti halnya tentang penyidikan pembatasan relay siaran asing pun muncul dalam UU ini. Pasal ini
berbunyi, khusus untuk relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar negeri,
durasi, jenis dan jumlahnya dibatasi (pasal 40 ayat 3). Penjelasannya mengatakan yang dimaksud
dengan pembatasan jenis siaran acara tetap di dalam pasal 39 ayat (3) adalah acara siaran warta
berita, siaran musik yang penampilan tidak pantas dan acara-acara siaran olah raga yang
memperagakan adegan sadis.

Bila pasal ini diterapkan maka akan menutup gerbang informasi masyarakat untuk mendengar atau
menonton warta berita dari siaran radio dan televisi asing melalui televisi dan radio lokal. Sudah
pasti radio Elshinta dan Smart FM tidak akan lagi menyiarkan warta berita BBC atau Voice of America
(VOA).

Namun, menurut pemerintah pembatasan itu didasari pada nilai berita yang terkadang
bertentangan dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Pemerintah mencontohkan, bagaimana
misalnya kalau warta berita itu menyiarkan ajaran-ajaran komunisme, lalu masyarakat marah dan
menyerbu stasiun penyiaran. Yang menjadi korban tentu stasiun penyiaran nasional, bukan BBC atau
VOA. Alasan yang diajukan pemerintah terlalu mengada-ada dan bertentangan dengan semangat
globalisasi. Di jaman globalisasi seperti sekarang tidak ada lagi suatu pembatasan-pembatasan yang
mampu menahan arus informasi. Dengan bantuan teknologi misalnya, seperti radio world space
semua siaran di seluruh dunia bisa ditangkap. Jadi percuma saja ada pembatasan kalau di sisi lain,
dengan bantuan teknologi, siaran dari luar negeri bisa didengar. Khusus tentang musik dan adegan
sadis, ini barangkali yang penting untuk digaris bawahi. Pembatasan itu penting dalam rangka
menjaga nilai-nilai moral khususnya anak-anak di bawah umur.

Iklan Niaga

Iklan bagi televisi swasta merupakan hal terpenting dari industri ini, dari iklanlah televisi
menggantungkan kelangsungan hidupnya. Dalam UU Penyiaran iklan dibagi menjadi dua jenis yaitu
iklan siaran niaga dan iklan layanan masyarakat. Selain itu UU ini juga mengatur waktu siaran niaga
dengan ketentuan bagi Lembaga Penyiaran Swasta iklan niaga dibatasi sebayakbanyaknya 20%,
sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik (TVRI dan RRI) sebanyakbanyaknya 15%. Ketentuan ini
dinilai tidak adil. Alasannya, selain dari iklan, TVRI dan RRI juga memperoleh dana dari dua sumber
lainnya, yaitu subsidi dana dari negara melalui APBN, dan iuran dari masyarakat. Ketentuan ini pasti
akan menghambat pengembangan lembaga siaran swasta yang sangat bergantung kepada iklan.
Dilain sisi TVRI dan RRI diperbolehkan siaran nasional tentu bagi pemasang iklan akan lebih memilih
beriklan di TVRI atau RRI yang jangkauannya nasional dari pada beriklan di televisi swasta yang
jangkauan siarannya terbatas.

Perlindungan Publik

Frekuensi adalah sumber daya terbatas oleh karenanya harus digunakan seefektif mungkin untuk
kepentingan masyarakat. Pengunaanya harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan
berekpresi atau mengeluarkan pendapat. Di sisi lain masyarakat sebagai penerima informasi harus
juga terlindungi dari dampak buruk materi siaran yang disajikan. Apalagi, media penyiaran dianggap
sebagai media yang memiliki potensi pengaruh sangat besar bagi kehidupan masyarakat,

mengingat coraknya yang menggabungkan kekuatan pandang dan dengar, sementara masyarakat
yang menerima siaran sangat luas dengan latar belakang sangat beragam. Dengan demikian perlu
ada jaminan khusus bahwa media TV -yang sedemikian besar

pengaruhnya itu- tidak mengancam kehidupan masyarakat. Ini bukanlah sesuatu yang

bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Di banyak negara aturan mengenai perlindungan


terhadap masyarakat akan dampak media khususnya penyiaran dibuat lebih ketat dibanding aturan
mengenai media informasi yang lainnya.

Pertanyaannya apa saja yang harus diatur? Kalau kita melihat contoh Amerika dan beberapa negara
lainnya yang pertama harus dilindungi adalah pertama anak dan remaja. Anak dan ramaja di perlu
dikedepankan karena masih rentannya perkembangan mental dan emosi mereka. Mereka dengan
mudah meniru sesuatu yang baru mereka lihat atau dengar tanpa mempertimbangkan akibat
selanjutnya. Cara yang diterapkan dibeberapa negara misalnya dengan mengatur jam tayang. Siaransiaran yang dianggap akan dapat meracuni mereka ditayangkan di atas dimana anak-anak dan
remaja sudah tidur.

Kedua, pornografi. Di Amerika Serika negara yang mengagungkan kebebasan ternyata masih
menjadikan pornografi sesuatu yang terlarang disiarkan, walaupun dengan difinisi pornografi yang
lebih longgar. Indonesia sebagai negara yang masih menjungjung tinggi norma susila dan agama
tentu aturan ini harus ada dengan difinisi yang sesuai dengan kultur bangsa ini.

Ketiga, kekerasan. Beberapa waktu yang lalu Kapolri Dai Bachtiar mengkritik penyajian televisi
dalam memberitakan kasus-kasus perkosaan. Menurut Dia pemberitaan itu akan berdampak buruk
bagi si korban dan keluarganya. Banyak kalangan pun menilai pemberitaan kekerasan di televisi
sudah terlalu vulgar, bahkan ada seorang pelaku perampokan yang mengaku perbuatannya
dilakukan terdorong setelah melihat sajian berita kriminal itu. Tentu ini bermasalah, oleh karenanya
pengaturan mengenai ini harus

ada dalam UU Penyiaran, berlaku juga untuk program-program lainnya yang dikatagorikan
menonjolkan kekerasan.

Keempat, Suku, agama, Ras dan antargolongan (SARA) dan Etnik. Kita belum lupa dengan konflikkonflik yang terjadi dibeberapa daerah negara ini dan hampir semuanya diakibatkan karena masalah
SARA. Ke depan tentu kita tak menginginkan lagi ini terjadi. Karena bisa saja media penyiaran
berpotensi melakukan itu, maka penting kiranya masalah inipun diatur.

Kelima, kelompok masyarakat tak beruntung. Mereka adalah kalangan penderita cacat fisik, kaum
papa, atau minoritas. Selama ini di berbagai program media penyiaran mereka seringkali dilecehkan.
Tentu ini tidak baik dan tidak berperikemanusiaan, sehingga pengaturan masalah ini sangat
diperlukan.

Keenam, Pelecehan terhadap perempuan. Media penyiaran punya peluang lebih besar untuk
melakukan pencitraan yang negatif terhadap perempuan. Dari siaran-siaran selama ini, perempuan
seolah dihargai oleh karena bentuk fisiknya saja. Selain itu media penyiaran seringkali melakukan
pengukuhan strereotype negatif kepada perempuan misalkan perempuan sebagai manusia yang
senang belanja. Agar ini tidak berlanjut pengaturan masalah ini juga harus dikedepankan.

Sanksi-sanksi Dalam UU Penyiaran

Dalam UU ini terdapat dua sanksi yakni; saksi administratif dan pidana. Sesuai dengan

ketentuan pasal 55 ayat (2), sanksi administratif berupa:

a. Teguran Tertulis

b. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu

c. Pembatasan durasi dan waktu siaran

d. Denda administratif

e. Pembentukan kegiatan siaran untuk waktu tertentu

f. Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran

Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administatif menunggu lahirnya
Peraturan yang disusun bersama antara KPI dan Pemerintah. Pasal-pasal yang dikenai sanksi
administratif adalah:

1. Pasal 15 ayat 2 Setiap akhir tahun anggaran, Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan
keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya diumumkan melalui media massa.

2. Pasal 20 Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masingmasing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu)
cakupan wilayah siaran.

3. Pasal 23 (1) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan
dan dana operasional dari pihak asing. (2) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran
iklan dan/atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.

4. Pasal 24 (1) Lembaga Penyiaran Komunitas wajib membuat kode etik dan tata tertib untuk
diketahui oleh komunitas dan masyarakat lainnya. (2) Dalam hal terjadi pengaduan dari komunitas
atau masyarakat lain terhadap pelanggaran kode etik dan/atau tata tertib, Lembaga Penyiaran
Komunitas wajib melakukan tindakansesuai dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.

5. Pasal 26 ayat (2) Dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga Penyiaran Berlangganan harus:
a). melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan; b.)
menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas kanal saluran untuk
menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta; dan c.)
menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran
produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri.

6. Pasal 27 Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (1) huruf (a), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia;

b. memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia;

c. memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia;

d. menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia; dan

e. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

7. Pasal 28 Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel dan melalui terestrial, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan huruf c, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a .memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan izin yang diberikan;
dan

b.menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

8. Pasal 33 ayat 7 Lembaga penyiaran wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas
negara.

9. Pasal 34 ayat (5) huruf (a) tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;

(c) tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI; (d)
dipindahtangankan kepada pihak lain; (f) melanggar ketentuan mengenai standar program siaran
setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

10 Pasal 36 ayat (2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga
PenyiaranSwasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurangkurangnya 60% (enam
puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri. ayat (3) Isi siaran wajib memberikan
perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan
menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan embaga penyiaran wajib mencantumkan
dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. ayat (4) Isi siaran wajib dijaga
netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

11 Pasal 39 ayat (1) Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan
khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif
disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu.

12 Pasal 43 ayat (2) Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan
hak siar.

13 Pasal 44 ayat (1) Lembaga penyiaran wajib melakukan ralat apabila isi siaran dan/ atau berita
diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau
berita.

14 Pasal 45 ayat (1) Lembaga Penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio,
rekaman video, foto, dan dokumen, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
disiarkan.

15 Pasal 46 ayat (6) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak
wajibmengikuti standar siaran untuk anak-anak. siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara
siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak. Ayat (7) Lembaga
Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat. Ayat (8) Waktu siaran
iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 20% (dua puluh per seratus), sedangkan
untuk Lembaga Penyiaran Publik paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari seluruh waktu
siaran. Ayat (9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling
sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik
paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari siaran iklannya. ayat (11) Materi siaran iklan wajib
menggunakan sumber daya dalam negeri.

Sanksi Pidana

Sanksi Pidana dalam UU Penyiaran ini diatur dalam pasal 57, 58 dan 59.

Pasal 57 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:

a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);

b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);

c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);

d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);

e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).

1. Pasal 17 ayat (3) Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan
untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.

2. Pasal 18 ayat (2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasapenyiaran televisi,
antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran
Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaranlainnya, baik langsung maupun tidak langsung,
dibatasi.

3. Pasal 30 ayat (1) Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.

4. Pasal 36 ayat (5) Isi siaran dilarang :

bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

5. Pasal 36 ayat (6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional

Pasal 58 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).

1. Pasal 18 ayat (1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu
orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran,
dibatasi.

2. Pasal 33 ayat (1) Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh
izin penyelenggaraan penyiaran. Pasal 34 ayat (4) Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang
dipindahtangankan kepada pihak lain.

3. Pasal 46 ayat (3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan:

promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/ atau kelompok, yang
menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau
kelompok lain;

promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;

promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;

hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau

eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 59 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (10)
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk
penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.

v Pasal 46 (ayat 10) Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk
kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan

Diposkan oleh Super Aidie di 20.38


Label: Ilmu Komunikasi (Broad Casting)

Anda mungkin juga menyukai