Anda di halaman 1dari 34

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM

USULAN PENELITIAN

KAJIAN MENGENAI PENEMPATAN ANAK DALAM LEMBAGA


PEMASYARAKATAN SERTA STRATEGI KOPING BAGI ANAK DIDIK
PEMASYARAKATAN ATAS DAMPAK PSIKIS YANG TIMBUL AKIBAT
PENEMPATAN DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum Kelas C


Dosen: Sri Natin, S.H., S.U.

Disusun oleh
Nama

: Novia Nur Annisa Nasution

NIM

: 12/328567/HK/19043

YOGYAKARTA
2014

Usulan penelitian ini telah disetujui


oleh Dosen Pembimbing,
Pada , 5 Januari 2015

Penyusun

Novia Nur Annisa Nasution


NIM

: 12/328567/HK/19043

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

Sri Natin, S.H., S.U.

A. JUDUL
KAJIAN MENGENAI PENEMPATAN ANAK DALAM LEMBAGA
PEMASYARAKATAN SERTA STRATEGI KOPING BAGI ANAK DIDIK
PEMASYARAKATAN ATAS DAMPAK PSIKIS YANG TIMBUL
AKIBAT PENEMPATAN DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN

B. LATAR BELAKANG
Setara dengan negara-negara lainnya di dunia, negara
Indonesia juga tentunya ingin mengembangkan sayapnya di berbagai sektor.
Untuk itu maka perlu adanya pembangunan yang terintegrasi dan tentu saja
berpegang teguh pada asas-asas dan pandangan negara yang luhur yang telah
dirumuskan dalam Pancasila serta apa yang dicita-citakan oleh para pendiri
bangsa yang telah terumuskan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun dengan berpikir realistis kita
juga mengetaui bahwa keberhasilan suatu negara tidak hanya cukup dengan
cita-cita dan pemikiran luhur yang kemudian dituangkan dalam suatu dasar
negara, tetapi itu semua memerlukan implementasi yang tidak hanya omong
kosong belaka. Di sini, tindakan nyata perlu dilakukan guna mencapai
keberhasilan negara yang diidan-idamkan seluruh masyarakat Indonesia yang
nantinya

juga

selalu

dapat

bersaing

di

kancah

Internasioanal.

Keberhasilan sebuah negara dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.


Sebuah negara membutuhkan sistem pemerintahan yang baik, para intelektual
bangsa, serta aparat penegak hukum yang baik. Tentunya yang terkahir ini
juga memegang andil besar mengingat negara kita tercinta ini adalah negara
hukum. Namun ada satu aspek penting yang tidak boleh kita lupakan dalam
usaha kita untuk keberhasilan membangun negara. Aspek yang sejatinya
paling berpengaruh dalam pertarungan negara kita melawan segala dampak
untuk bertahan hidup di era globalisasi ini. Aspek penting ini adalah anak
bangsa. Mengapa? Atas pertanyaan tersebut, mari kita jawab dengan

pertanyaan lain dan berpikir ke belakang. Apakah sebuah kesuksesan dapat


terjadi dengan instan? Tentu tidak. Kesuksesan seseorang sesungguhnya
sudah mulai terkonsep dari masa kecil orang tersebut. Pendidikan yang
diterima seseorang mulai dari kanak-kanak sangat berpengaruh di masa depan
orang itu. Berbicara mengenai pendidikan, jangan berpikir bahwa pendidikan
yang dimaksud di sini hanyalah pendidikan yang bersifat formal yang
mengarah kepada kepandaian akademis belaka. Tetapi perlu diperhatikan pula
pendidikan sosial yang dapat diawali dari lingkup yang kecil yaitu dengan
sosialisasi perilaku yang baik di dalam keluarga. Hal inilah kiranya yang
kemudian dapat membentuk kepribadian yang baik seorang anak yang akan
terus

tertanam

dan

berkembang

sampai

anak

itu

dewasa.

Dari uraian sebelumnya, maka jelaslah bahwa anak-anak bangsa


sangatlah penting selaku bibit-bibit penerus bangsa. Maka perlulah negara
memberikan perhatian secara khusus bagi anak-anak bangsa ini, karena
nantinya merekalah yang akan meneruskan tonggak perjuangan bangsa di
masa yang akan datang. Untuk dapat meneruskan tongkat estafet negara ini,
maka dibutuhkan anak-anak bangsa yang tangguh dan memiliki pendidikan
yang baik serta bermental baja. Untuk dapat menciptakan generasi muda yang
tangguh, maka perlu adanya pembinaan yang menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh dan menyeluruh bagi anak
serta diperlukan perlindungan bagi anak agar terhindar dari hal-hal yang
dapat membahayakan keselamatan anak. Dalam memberikan pembinaan dan
perlindungan anak terdapat hambatan-hambatan antara lain perilaku
menyimpang anak yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Perbuatan menyimpang tersebut dinilai sebagai perbuatan nakal. Kenakalan
kenakalan tersebut muncul sebagai bentuk ketidakstabilan mental dan sikap
anak dalam menyikapi lingkungan pergaulannya.
Kenakalan jika dikaitkan pada anak sebenarnya merupakan hal yang
wajar, karena memang sudah lumrah seorang anak memiliki kenakalan

sebagai pembawaan kanak-kanaknya. Tetapi mari kita telisik lagi, bahwa


kenakalan seorang anak adalah wajar jika memang masih sebatas berselisih
paham dengan temannya ketika bermain bersama atau mungkin berebut
mainan. Namun dewasa ini, kenakalan yang dilakukan anak-anak tidak hanya
sesederhana pemikiran tersebut karena faktanya kenakalan yang dilakukan
anak tidak lagi di batas kewajaran. Kenakalan tersebut bahkan mampu
membuat seorang anak mencuri, menyalahgunakan obat-obatan terlarang,
memerkosa, bahkan membunuh. Meningkatnya kenakalan anak yang
merupakan tindak pidana atau dalam Undang-Undang Peradilan Anak yaitu
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 disebut perkara anak nakal. Penyebutan
anak nakal yang kemudian dirasa kurang pantas ini kemudian dirubah
menjadi Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang di dalamnya termasuk
anak sebagai pelaku, anak sebagai saksi, dan anak sebagai korban dengan
adanya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum ini baik dari segi kualiatas
maupun kuantitas merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, karena
anak adalah aset bangsa yang sangat berharga. Untuk itu perlu ada upaya
penanggulangan terhadap perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum
tersebut. Salah satu penanggulangan yang dilakukan terhadap perkara anak
yang berhadapan dengan hukum ini adalah mendidik anak tersebut di dalam
Lembaga Pemasyarakatan. Sebelum lebih jauh membicarkan mengenai
lembaga pemasyarakatan, maka terlebih dulu kita mengetahui apa itu
pemasyrakatan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 (Undang-undang Pemasyarakatan) telah
diberikan definisi yaitu pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan

warga

binaan

pemasyarakatan

berdasarkan

sistem,

kelembagaan,dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem


pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Lalu lebih jauh dalam Pasal 1 angka
3 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan lembaga pemasyrakatan adalah tempat untuk melaksanakan


pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa inti dari
pemasyarakatan adalah pembinaan terhadap narapidana supaya nantinya
dapat kembali ke masyarakat dengan baik. Selain itu dapat disimpulkan pula
bahwa untuk anak tidak digunakan istilah narapidana tetapi menggunakan
istilah anak didik pemasyarakatan yang merupakan ungkapan halus untuk
menggantikan narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan atau
mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi anak.
pemasyarakatan

anak

didik

ini

kemudian

juga

perlu

Dalam

diperhatikan

perlindungan terhadap kepentingan anak. Salah satu upaya untuk melindungi


kepentingan anak adalah adanya pemisahan antara Lembaga Pemasyarakatan
untuk membina anak yang berstatus narapidana atau disebut Anak Didik
Pemasyarakatan

dengan

Lembaga

Pemasyarakatan

untuk

membina

narapidana dewasa.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Lembaga
Permasyarakatan yang digunakan untuk membina anak yang berstatus
narapidana dipisahkan dengan Lembaga Permasyarakatan untuk narapidana
dewasa. Hal ini dilakukan karena anak mempunyai sifat dan ciri yang khas
yang berbeda dengan orang dewasa sehingga jika dicampur dengan
narapidana dewasa, dikhawatirkan akan memberikan pengaruh buruk
terhadap anak tersebut, misalnya adanya tekanan atau kekerasan dari
narapidana dewasa yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental
anak yang berstatus narapidana. Namun ironisnya pengkhususan penempatan
bagi Anak Didik Pemasyarakatan ini tampaknya belum dapat terwujud
dengan maksimal. Dapat dikatakan bahwa dari 17 Lembaga Pemasyarakatan
Anak, hanya 8 Lembaga Pemasyarakatan Anak yang benar-benar murni

Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hlm. 115.

untuk anak.2 Hal ini sangat miris mengingat fokus pemisahan yang dilakukan
di sini adalah untuk turut menjaga psikis anak yang dikhawatirkan dapat
tercemar oleh pengaruh orang dewasa di dalam Lapas.
Berbicara lebih jauh mengenai penempatan anak di dalam Lembaga
Pemasyarakatan serta hubungannya dengan kondisi psikis anak, maka tanpa
kita bisa hindarkan akan timbul reaksi tersendiri terhadap emosi anak. Emosi
ini merupakan wujud dari tekanan yang didapatkan anak akibat permasalahan
yang dihadapinya sampai pada penempatannya di dalam Lembaga
Pemasyarakatan juga suasana yang dihadapinya di dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Emosi yang mengarah pada stres semacam ini sebenarnya
wajar dimiliki oleh manusia, dan dalam menghadapinya, seseorang
melakukan penyesuaian terhadap dirinya sendiri untuk menghadapi emosi
yang timbul yang mengakibatkan ketidaktenangan dalam dirinya itu.
Coping merupakan strategi-strategi social, personal dan kontekstual yang
digunakan oleh individu dalam menghadapi situasi yang dipersepsikan
sebagai kondisi yang menyebabkan stress atau distress psikologis. Strategi
social, personal dan kontekstual ini dapat berbentuk usaha-usaha kognitif
maupun behavioral untuk mengatur tuntutan-tuntutan eksternal dan
internal yang dinilai mengancam sumber daya individu.3
Maka jika merujuk pada hal-hal tersebut di atas kiranya dapat pula
menjadi bahan pemikiran dan fokus kita untuk kembali mengingat kepedulian
kita kepada anak dan melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa
walaupun anak-anak itu sudah pernah menjadi penghuni Lembaga
Pemasyarakatan sebelumnya. Namun begitu, kita tidak seharusnya langsung
menuding penjahat kepada anak-anak tersebut. Anak-anak tersebut malah
2

Lollong M. Awi, http://www.cds.or.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=21, diakses


pada hari Selasa tanggal 7 Oktober 2014 pukul 09.52 WIB.
3

Yulia Solichatun, Stres dan Staretegi Coping pada Anak Didik


di Lembaga Pemasyarakatan Anak, Psikoislamika Jurnal Psikologi Islam Lembaga Penelitian
Pengembangan dan Keislaman, Vol. 8 No. 1, 2011, 23-42, hlm. 26-27.

seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih lagi dan mendapatkan bantuan


dari orang-orang di sekitarnya agar dapat kembali memasyarakatkan dirinya
di dalam pergaulan bermasyarakat. Selain itu, untuk hal-hal seperti ini juga
kiranya kita sebagai masyarakat tidak boleh apatis, tetapi juga turut berperan
serta menjaga kelurusan sikap anak-anak terutama anak-anak yang pernah
menjalani pendidikan di lembaga pemsyarakatan karena sejatinya masalah
hidup yang dihadapi anak-anak ini tidaklah main-main. Oleh karena
problematika itulah, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
mengenai anak-anak yang berhadapan dengan hukum sampai penempatannya
di dalam Lembaga Pemasyarakatan serta dampak psikis yang dapat dialami
oleh anak-anak tersebut.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.

Apakah pemicu besar yang menyebabkan seorang anak melakukan


perbuatan menyimpang yang melanggar aturan sehingga berkonflik
dengan hukum?

2.

Bagaimana sistem penempetan anak di Lembaga Pemasyarakatan?

3.

Bagaimana

dampak

psikis

yang

dapat

ditimbulkan

Lembaga

Pemasyarakatan bagi anak didik pemasyarakatan dan strategi coping dari


Anak Didik Pemasyarakatan untuk menangani dampak tersebut?
4.

Bagaimanakah peran serta lembaga pemasyarakatan dan masyarakat


yang diperlukan bagi perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum?

D. TUJUAN PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini, tujuan yang ingin dicapau adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif

a. Mengidentifikasi pemicu besar yang menjadi penyebab seorang anak


melakukan perbuatan menyimpang yang melanggar aturan sehingga
berkonflik dengan hukum.
b. Mengetahui sistem penempetan anak di Lembaga Pemasyarakatan.
c. Mengkaji

dampak

psikis

yang

dapat

ditimbulkan

Lembaga

Pemasyarakatan strategi coping dari Anak Didik Pemasyarakatan


untuk menangani dampak tersebut.
d. Mempelajari peran serta lembaga pemasyarakatan dan masyarakat
yang diperlukan bagi perlindungan anak.
2. Tujuan Subyektif
a. Memperoleh data sebagai jawaban dari masalah-masalah yang
diangkat guna menyempurnakan hasil penelitian.
b. Menambah pengetahuan dan keterampilan hukum baik dalam aspek
teori maupun praktik.

E. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.

Manfaat Teoritis
a. Mengembangkan ilmu di bidang hukum pidana dalam hal sistem
pemidanaan bagi anak yang dimasyarakatkan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
b. Memberi gambaran mengenai kondisi anak yang menjadi anak didik
Pemasyarakatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan maupun setelah
berada di luar Lembaga Pemasyarakatan.

2.

Manfaat Praktis
a. Membantu

memberi

masukan

kepada

petugas

Lembaga

Pemasyarakatan dan aparat penegak hukum lainnya serta masyarakat


untuk mengambil tindakan yang tepat dalam menghadapi dan

mendidik anak didik Pemasyarakatan di dalam atau di luar Lembaga


Pemasyarakatan.
b. Meningkatkan kemampuan dalam melakukan penelitian.
c. Melengkapi penugasan dalam mata kuliah Metodologi Penelitian dan
Penulisan Hukum.

F. KEASLIAN PENELITIAN
Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, telah dilakukan penelusuran
hasil penelitian baik di media cetak maupun elektronik, serta perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan penelusuran tersebut
ditemukan ada penelitian mahasiswa yang ditujukan untuk skripsi, yang
dilakukan oleh:
Nama

: Tri Ratna Mulyandari

Tahun Penelitian

: 2009

Judul

: Dampak Bagi Anak Pidana yang Ditempatkan di


Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Madiun

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah:


1. Mengapa anak pidana ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
I Madiun?
2. Apa dampak bagi anak pidana yang ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Madiun?
3. Upaya apa yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Madiun untuk mengatasi dampak tersebut?
4. Kendala apa yang dihadapi oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Madiun dalam mengatasi dampak tersebut?
Walaupun sudah pernah ada penelitian mengenai dampak yang ditimbulkan
Lembaga Pemasyarakatan terhadap anak didik pemasyarakatan yang
dilakukan oleh Tri Ratna Mulyandari, namun fokus penelitian yang

ditekankan pada dampak terhadap anak didik pemasyarakatan akan berbeda.


Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengusung permasalahan yaitu:
1. Apakah pemicu besar yang menyebabkan seorang anak melakukan
perbuatan menyimpang yang melanggar aturan sehingga berkonflik
dengan hukum?
2. Bagaimana sistem penempetan anak di Lembaga Pemasyarakatan?
3. Bagaimana dampak psikis yang dapat ditimbulkan Lembaga
Pemasyarakatan bagi anak didik pemasyarakatan dan strategi coping
dari Anak Didik Pemasyarakatan untuk menangani dampak tersebut?
4. Bagaimanakah peran serta lembaga pemasyarakatan dan masyarakat
yang diperlukan bagi perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum?
Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Tri Ratna Mulyandari membahas
dampak Lembaga Pemasyarakatan terhadap anak didik Pemasyarakatan
secara umum, sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan ini akan
difokuskan

pada

dampak

psikis

yang

ditimbulkan

oleh

Lembaga

Pemsayarakatan terhadap anak didik pemsayarakatan serta strategi yang


dilakukan oleh anak didik tersebut dalam menghadapainya. Selain itu
peraturan perundang-undangan yang digunakan akan sedikit ada perbedaan
oleh karena penelitian yang peulis lakukan akan menggunakan pula Undangundang sistem peradilan anak yang baru yaitu UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidanan Anak yang mulai diberlakukan pada Juni 2014.
Oleh karena itu penulis menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh
penulis berbeda dengan penelitian yang pernah diteliti oleh peneliti lain
sebelumnya.

G. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum tentang Kenakalan Anak
Rumusan Kenakalan yang berupa tindak pidana dan perbuatan lain
yang dinyatakan terlarang bagi anak secara akademik ada 2 (dua) kategori
dengan istilah status offender dan juvenile delinquency.4
Satus offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, misalnya tidak
menurut, membolos sekolah dan kabur dari rumah. Juvenile Deliquency
adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.5
Juvenile Delinquency sebagai istilah kenakalan pertama kali digunakan
pada Badan Peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk
suatu Undang-undang Peradilan bagi anak di negara tersebut.
Juvenile

delinquency

ialah

perilaku

jahat/dursila,

atau

kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis)


secara social pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian social, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk
tingkah laku yang menyimpang. 6 Dan terhadap anak-anak muda yang
delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara social.
Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh social yang ada
di tengah masyrakat.
Kemudian menilik pada hukum pidana Indonesia, menurut Pasal 1
butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah:
a.

Anak yang melakukan tindakan pidana, atau

b.

Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang


bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan

Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Perdailan PIDANA Anak , Laksbang Grafika,
Yogyakarta, hlm. 20.
5
Ibid.
6
Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Rajawali, Jakarta, hlm.7.

maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku


dalam masyrakat yang bersangkutan.
Kembali pada pengertian dari Juvenile Delinquency yang
merupakan istilah dari kenakalan anak, dapat disimpulkan dalam hal ini
yang dilakukan anak ke arah negatif ini lebih baik kiranya untuk disebut
sebagai kenakalan anak. Kurang pantas jika kenakalan anak dikatakan
sebagai kejahatan yang mana nantinya anak yang melakukan kenakalan itu
disebut sebagai penjahat. Apalagi jika melihat lebih jauh pada batasanbatasan mengenai apa yang disebut dengan suatu perbuatan pidana harus
mengandung unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana7:
a.
b.
c.
d.
e.

Kelakuan dan akibat (= perbuatan),


Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
Unsur melawan hukum yang objektif,
Unsur melawan hukum yang subjektif.

Maka dapat dikatakan bahwa batasan-batasan tersebut belum


berarti sama dengan batas usia pemidanaan anak. Berdasarkan konsep dari
perbuatan pidana maka terdapat makna bahwa,
seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang
dilakukannya dipatok pada kesadaran diri yang bersangkutan dimana di
sini mengandung arti bahwa seseorang itu mengetahi perbuatan yang
dilakukannya itu terlarang menurut hukum yang berlaku yang
didasarkan pada pemikiran normal yang sudah didukung oleh
kehidupan rohani yang sempurna, pribadi yang mantap menampakkan
rasa tanggungjawab sehingga dapat mempertanggungjawabkan atas
segala tindakan yang dipilihnya8.
Dalam

hal

kenakalan

anak

dalam

Juvenile

Delinquency,

dimaksudkan pada kejiwaan anak yang masih labil, proses kemantapan


psikis yang sedang berlangsung menghasilkan sikap kritis, agresif dan
7
8

Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69.
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 12.

menunjukkan apa yang disebut kebengalan yag cenderung bertindak


mengganggu ketertiban umum. Jika berpegang pada konsep tersebut maka
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak tidak dapat dikatakan
sebagai kejahatan oleh karena perbuatan itu disebabkan oleh kondisi
psikologis yang tidak seimbang yang menyebabkan si pelaku tidak sadar
terhadap apa yang sebenarnya ia lakukan. 9 Tindakan yang dilakukan
pelaku yang dalam hal ini anak, merupakan wujud dari suatu fase tumbuh
kembang anak yang tidak terkontrol.

2. Penempatan Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan


a. Lembaga Pemasyarakatan Secara Umum
Pada masa sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, peraturan yang berlaku sebagai
dasar

untuk

melakukan

pemasyarakatan

di

lembaga-lembaga

pemasyarakatan Indonesia adalah Ordonansi tanggal 10 Desember 1917,


Staatsblad Tahun 1917 nomor 708 yang juga dikenal dengan sebutan
Gestichtenrglement.
Setelah adanya gagasan perubahan penyebutan rumah penjara
menjadi lembaga pemasyarakatan dan adanya pemikiran bahwa
tujuan dari pidana penjara itu adalah suatu pemasyarakatan, dalam
praktek ternyata gagasan tersebut tidak didukung oleh suatu konsepsi
yang jelas dan sarana-sarana yang memadai, bahkan peraturanperaturan yang pada saat itu dipergunakan sebagai pedoman untuk
melakukan pemasyarakatan, masih tetap merupakan peraturanperaturan yang dahulu kala telah dipakai orang sebagai pedoman
untuk melaksanakan hukuman-hukuman di dalam penjara10.
Berangkat dari fakta tersebut maka Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI berusaha menyesuaikan
perlakuan
9

terhadap

para

narapidana

di

lembaga-lembaga

Ibid., hlm. 13.


P. A. F. Lamintang, 1994, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hlm, 181.

10

pemasyarakatan di Indonesia dengan tujuan pemasyarakatan melalui


upaya menerbitkan suatu petunjuk pelaksanaan pembinaan narapidana
di dalam lembaga yang disebut Manual Pemasyarakatan. Peraturan
yang khusus yang mengatur mengenai Lembaga Pemasyarakatan dan
pembinaan di dalamnya ini terus berkembang sehingga sampai kepada
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang
masih berlaku hingga saat ini.
Penjabaran sebelumnya merupakan sedikit sejarah mengenai
Lembaga Pemasyarakatan. Selanjutnya mengenai tugas, fungsi, dan
kedudukan Lembaga Pemasyarakataan, berdasarkan Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan. Kemudian menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 12
Tahun

1995

tentang

Pemasyarakatan,

kedudukan

Lembaga

Pemasyarakatan adalah:
Ayat (1)
LAPAS dan BAPAS didirikan di setiap ibukota kabupaten atau
kotamadya.
Ayat (2)
Dalam hal ini dianggap perlu, di tingkat kecamatan atau kota
administratif dapat didirikan cabang LAPAS dan cabang BAPAS.
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) bertugas memberikan bimbingan
kemasyarakatan

dan

pelayanan

masyarakat,

bimbingan

klien

pemasyarakatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam rangka untuk mewujudkan pelaksanaan pidana dan tugas


lembaga pemasyarakatan yang efektif dan efisien, maka Lembaga
Pemasyarakatan dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu11 :
(a) Menurut usia :
i) Lembaga Pemasyarakatan untuk anak
ii) Lembaga Pemasyarakatan khusus pemuda
iii) Lembaga Pemasyarakatan untuk dewasa
(b) Menurut jenis kelamin :
i) Lembaga Pemasyarakatan khusus wanita
ii) Lembaga Pemasyarakatan khusus laki-laki
(c) Menurut kapasitasnya :
i) Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
ii) Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
iii) Lembaga Pemasyarakatan Kelas III
Lebih jauh berbicara tentang Lembaga Pemasyarakatan, maka
perlu dibahas mengenai sistem pemasyarakatan dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang dimaksud dengan Sistem
Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta
cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan
masyarakat

untuk

meningkatkan

kualitas

Warga

Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak


mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.

11

Mega Prihatanti, 2006, Peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Kesatuan Konsep
Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pembinaan Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kutoarjo), Skrips S1 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, hlm. 26.

Melihat pengertian tersebut, maka perlu diketahui seperti apa


sistem pemasyarakatan yang tepat dan digunakan oleh hukum di
Indonesia.
Sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai
dengan pengertian Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan adalah berdasarkan Pancasila. Bahwa Pancasila
yang digali dari bumi Indonesia sendiri selain sebagai dasar negara,
juga sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, tujuan yang akan
dicapai oleh bangsa Indonesia, dan sebagai perjanjian luhur rakyat
Indonesia12.
Apa yang dikemukakan di atas akan terasa sejalan jika kita
menghubungkannya

dengan

fungsi

Sistem

Pemasyarakatan

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 12


Tahun

1995

tentang

Pemasyarakatan

yaitu

bahwa

Sistem

Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan


agar dapat beritegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat
berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab.
b. Penempatan Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan
Anak yang ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan
disebut dengan Anak Didik Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 8
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang
dimaksud dengan Anak Didik Pemasyarakatan adalah:
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di

12

Padmo Wahjono, 1981, Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Aksara
Baru, Jakarta, hlm. 26-27.

LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)


tahun;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Lebih jauh lagi pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, diterangkan bahwa:
(1) Anak Pidana ditempatkan di LAPAS Anak.
(2) Anak Pidana yang ditempatkan di LAPAS Anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftar.
Dewasa ini sudah ada peraturan baru yang mengatur mengenai
sistem peradilan anak yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diundangkan tanggal 30
Juli 2012 dan mulai berlaku 2 (dua) tahun kemudia yaitu tanggal 1
Agustus 2014. Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dicantumkan lembaga-lembaga
yang dapat diperuntukkan bagi anak yang berkonflik dengan hukum,
yaitu:
Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat
LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa
pidananya.
Pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya
disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama
proses peradilan berlangsung.

Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012


tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Lembaga

Penyelenggaraan

Kesejahteraan

Sosial

yang

selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat


pelayanan

sosial

yang

melaksanakan

penyelenggaraan

kesejahteraan sosial bagi Anak.


Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah
unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas
dan

fungsi

penelitian

kemasyarakatan,

pembimbingan,

pengawasan, dan pendampingan.


c. Sistem Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menyebutkan bahwa:
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a.

pengayoman;

b.

persamaan perlakuan dan pelayanan;

c.

pendidikan;

d.

pembimbingan;

e.

penghormatan harkat dan martabat manusia;

f.

kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;


dan

g.

terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan


orang-

orang

tertentu.

Lalu lebih jauh lagi dalam Pasal 6 Undang-undang No 12 Tahun 1995


tentang Pemasyarakatan disebutkan:

(1) Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di


LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
dilakukan oleh

BAPAS.

(2) Pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap Narapidana dan


Anak Didik Pemasyarakatan

sebagaimana

diatur

lebih

lanjut dalam BAB III.


(3) Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat
pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
b. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan,
pembinaannya diserahkan kepada orang

tua

asuh

atau

badan sosial;
c. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau
pejabat di

lingkungan

Direktorat

Jenderal

Pemasyarakatan yang ditunjuk,

bimbingannya

diserahkan kepada orang tua asuh

atau

badan

sosial;

dan
d. Anak

yang

bimbingannya

berdasarkan

penetapan

pengadilan,

dikembalikan kepada orang tua atau

walinya.
3. Dampak yang Ditimbulkan Lembaga Pemasyarakatan bagi Anak
Didik Pemasyarakatan
Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak bisa menjadi pengganti
rumah bagi anak. Banyak yang merasa bahwa Lembaga Pembinaan
Khusus Anak menimbulkan kerugian bagi anak-anak dan selayaknya

ditutup. Pidana penjara termasuk Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat


menyebabkan dehumanisasi dan cap jahat ataupun stigma.13
Kelemahan pidana penjara termasuk Lembaga Pembinaan Khusus
Anak juga diungkapkan dalam kesimpulan Kongres Perserikatan BangsaBangsa yang menyebutkan bahwa :
In many countries, the role and fuctions of penal institutions were the
subject of vigorous debate, and there was in crisis in public confidence
regarding the effectiveness of improsenment and a tendency to discount
the capacity of correctional institutions to contribute to control or
reduction of crime (mayoritas negar memperdebatkan efektivitas pidana
penjara, bahkan sebagian besra Negara mengalami krisis kepercayaan
terhadap pidana penjara, dan ada kecenderungan meragukan
kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang
pengendalian atau pengurangan kejahatan).14
Berdasarkan penjabaran-penjabaran sebelumnya, dapat terlihat
bahwa penempatan anak dalam

Lembaga Pemasyarakatan dapat

menyebabkan dampak psikis juga pandangan yang buruk bagi anak-anak


tersebut. Namun sebenarnya, Lembaga Pemasyarakatan tidak melulu
memberikan dampak yang negatif bagi Anak Didik Pemasyarakatan.
Dalam hal ini perlu diingat bahwa Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak
juga mengadakan pembimbingan dan pembinaan, yang mengenai hal ini
juga dicantumkan dalam Pasal 85 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012,
yaitu:
(1)Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA.
(2)Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh
pembinaan,

13

pembimbingan,

pengawasan,

pendampingan,

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm.
235.
14
Fifth United Nationn Congress on The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, 1975, hlm.
32, dalam Abintoro Prakoso, op. cit., hlm. 243

pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
(3)LPKA

wajib

menyelenggarakan

pendidikan,

pelatihan

keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)Pembimbing

Kemasyarakatan

melakukan

penelitian

kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program


pendidikan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Tetapi hasil yang baik berupa pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan
akan didapat jika pembinaan yang dilakukan sesuai dengan amanat dari
undang-undang tersebut dijalankan secara maksimal. Jika tidak demikian
malah akan menimbulkan tekanan dan dampak psikis yang buruk pada
Anak Didik Pemasyarakatan.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan dampak psikis yang
mengarah pada stres bagi Anak Didik Pemasyarakatan. Tekanan ini dapat
timbul karena masalah awal yang dihadapi oleh para Anak Didik
Pemasyarakatan sehingga mereka ditempatkan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan itu. Selain itu juga dapat disebabkan akan kerinduan anak
terhadap rumah. 15 Juga bisa terjadi karena alasan pergaulan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan. Penyebab yang mengambil bagian penting
yaitu pemikiran Anak Didik Pemasyarakatan tentang bagaimana
kehidupan sosial mereka nanti setelah kembali ke masyarakat. Selain itu
juga Anak Didik Pemasyarakatan merasa tertekan karena aktifitas mereka
yang diatur oleh pembina dan jam bermain mereka kurang karena untuk
mengikuti kegiatan dari petugas pembina. Hal ini terjadi karena meningat
diusia mereka yang masih anak-anak yang seharusnya banyak bermain
15

Yulia Solichatun, op. cit., hlm. 34

justru harus mengikuti jadwal kegiatan yang dibuat oleh pembina lembaga
pemasyarakatan.16
Terhadap keadaan ini, dapat menyebabkan pengaruh yang buruk
bagi perkembangan emosi anak. Mereka bisa saja menjadi lebih tertutup
dari sebelumnya atau bahkan suka menyendiri. Yang lebih dikhawatirkan
lagi adalah jika emosi seperti ini malah akan menimbulkan perilaku yang
lebih buruk dari si anak dibandingkan sebelumnya. Maka perlu
diperhatikan pula bagaimana cara yang biasa dilakukan para anak didik
dalam

upaya

menerima

tekanan-tekanan

tersebut.

dalam

rangka

menyesuaikan diri dari sebuah tekanan atau yang dapat disebut stres, maka
dikenal startegi yang dinamakan Coping. Terkait dengan strategi coping
ini, yang sering dilakukan oleh para Anak Didik Pemasyarakatan
berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah,
Melamun, berdoa, berdiam diri di dalam kamar. Selain cara-cara umum
di atas, terdapat cara-cara lain yang dapat dilakukan seperti berupaya
mengikuti kegiatan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan, menaati
peraturan, menatapi foto keluarga, berpikir untuk mencari solusi yang
terbaik untuk masalahnya dengan harapan pemikirannya tepat, meminta
saran pada petugas atau teman lain sesama Anak Didik
Pemasyarakatan.17
4. Peran Serta Lembaga Pemasyarakatan dan Masyarakat bagi
Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
a.

Peran Serta Lembaga Pemasyarakatan


Terkait
pembimbing

dengan

peranan

kemasyarakatan

lembaga

dalam

hal

penampungan

dan

pembimbingan

dan

penyelenggaraan peradilan anak, tehadap lembaga pemasyarakatan


serta organ di dalamnya dilakukan pembatasan peranan18 :
16

Ibid.
Ibid, hlm. 36
18
H. S. Soetarman, 1981, Sarana Penunjang Penyelenggaraan Peradilan Anak, Peranan Panti-panti
dan Petugas- petugas Kemasyarakatan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 59.
17

1. Sedapat

mungkin

tua/wali/pengasuhnya,

anak

tidak

karena

dipisahkan

dari

sebaik-baiknya

orang
sebuah

panti/lembaga penampungan, di rumahlah anak akan mendapat


perlindungan, asuhan, pendidikan, pengawasan dan sebagainya
yang lebih baik, biarpun masih jelek, karena anak memerlukan
cinta kasih, perhatian perorangan (individual), yang langsung
ditujukan kepadanya, pendidikan physical

dan spiritual,

pengawasan dan sebagainya yang wajar, bukan surogat dan


masal.
2. Peradilan yang wajar adalah, jika dari mulai polisi, petugaas
social, jaksa, pembimbing kemasyarakatan, hakim secara teliti
membahas

laporan-laporan

mengenai

keadaan

anak,

keluarganya, lingkungannya, sekolahnya, tempat pekerjaannya


dan sebagainyayang menyebabkan anak menjadi nakal atau
melanggar hokum, baik mengenai kasus yang berat maupun
yang enteng, denga meneliti pa latar belakangnya, karena nak
tersebut masih belum dewasa.
3. Petugas-petugas yang wajib menangani kasu-kasus anak
nakal/pelanggar hukum, di samping mendapatkan didikan umum
yang dibutuhkan bagi tugasnya, karena akan menghadapi anak
yang dalam kesulitan dan karena putusan terakhir mengenai
pidana anak adalah demi keselamatan/kesejahteraan anak
dengan

perbaikan-perbaikan

dalam

perkembangan

kehidupannya supaya menjadi warga yang bertanggungjawab


dan ikut membangun masyarakat dan negaranya, maka
seyogyanya pengetahuan petugas social, polisi, jaksa anak,
pembimbiing

kemasyarakatan,

hakim,

ditambah

dengan

pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan bagi masing-masing


tugas.

4. Sambil menunggu kasus anak disidangkan, maka anak sedapat


mungkin dipenuhi kebutuhannya baik materiil, maupun moril
dan diberi pelajaran jika masih sekolah atau latihan-latihan kerja,
sambil disadarkan, bahwa pelanggaran hukum adalah suatu
gejala dan hambatan yang menghancurkan cita-cita dalam
mencapai perkembangan kehidupan yang murni dan wajar.
5. Orang

tua/wali/pengasuh

anak

pun

harus

disadarkan

kekurangan-kekurangannya dalam melaksanakn kewajibannya,


terhadap anaknya yang merupakn amanat Tuhan Yang Maha
Esa, sehingga berjanji baik kepada diri sendiri maupun kepada
petugas-petugas bahwa ia akan memperbaiki kekhilafankekhilafannya jika perlu dibantu oleh petugas social, atau
pembimbing kemasyarakatan, atau petugas Badan Swasta
yangberwenang,

dengan

usaha-usaha

dalam

batas

kemampuannya.
6. Tugas Hakim adalah dengan dibantu oleh pembimbing
Kemasyarakatan sesudah menerima laporan mengenai keadaan
anak

dan

sebagainya

hingga

jatuh

putusan

terakhir

melaksankaan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan-kegiatan


peradilan dan putusan mengenai anak tersebut.
7. Putusan mengenai anak, karena tidak ada jalan lain, harus masuk
panti penampungan, supaya diteliti sebelumnya, panti mana
yang kiranya dapat melindungi dan menbantu anak tersebut,
sehingga akibatnya betul-betul positif, bagi kemajuan dan
perbaikan anak.
8. Mengenai pembimbing kemasyarakatan, sebagai petugas dari
lembaga BISPA, Departemen Kehakiman yang membantu
Hakim dan Pengadilan, untuk sementara waktu baru untuk anak
saja, yakni mengenai anak dari mulai menjadi penghambat

kehidupan keluarga, menjadi pelanggar hokum, ditindak polisi,


seterusnya ditahan jaksa, kadang-kadang kurang diperhatikan
hokum yang ada, sehingga seolah-olah ada gejala perampasan
kemerdekaan

seorang

warga

ditelit

oleh

pembimbing

kemasyarakatan keadaan si anak yang menjadi satu laporan presentence sebagai bahan untuk menentukan putusan hakim,
selanjutnya sebagai pembantu hakim, maengawasi pelaksanaan
putusan siding antara lain mengawasi anak-anak yang dipidana
tanpa syarat (dikembalikan kepada orang tua/wali/pengasuhnya),
jika perlu dan diminta, membantu anak-anak yang dipidana
dengan ditampung di panti pendidikan paksa, lembaga pelatihan
kerja dan lain-lain panti dan lembaga pemasyarakatan anak.
Secara singkat pada akhirnya dapat dikatakan bahwa putusan
pengadilan anak tidak akan tidak baik, jika tidak dilengkapi
dengan laporan pembimbing kemasyarakatan.19
b. Peran Serta Masyarakat
Masyarakat juga perlu berpartisipasi dan berperan serta dalam
upaya perlindungan anak dan pemulihan kondisi anak yang
ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini juga
disebutkan dalam Pasal Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

Masyarakat dapat

berperan serta dalam perlindungan Anak mulai dari pencegahan


sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara:
a. menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak Anak
kepada pihak yang berwenang;
b. mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan
yang berkaitan dengan Anak;
c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak;
19

Shanty Dellyana, 1998, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 107.

b. berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui


Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif;
c. berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial
Anak, Anak Korban dan/atau Anak Saksi melalui
organisasi kemasyarakatan;
d. melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak
hukum dalam penanganan perkara Anak; atau
e. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Anak.

H. METODE PENELITIAN
1.

Jenis Penelitian
a.

Penelitian Normatif/Kepustakaan
Penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan dengan
mencari data sekunder yang diperoleh dengan studi dari berbagai
buku, literatur, peraturan perundang-undangan, skripsi, makalah,
jurnal hukum, majalah, surat keputusan, serta bahan-bahan lainnya
yang terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang setelah itu
untuk dipelajari dan dianalisis dengan menghubungkannya dengan
data yang diperoleh.

b.

Penelitian Yuridis Sosiologis/Lapangan


Penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan dengan mencari data
primer yaitu data yang diperoleh dari lapangan, dimana data ini
merupakan data yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.
Data dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh dari
responden

ataupun

narasumber

yang

dianggap

permasalahan yang diusung.


2.

Sumber/Bahan Penelitian
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

mengetahui

a.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat,


meliputi:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995
tentang

Pemasyarakatan

(Lembaran

Negara

Repubulik

Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 3614);
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Repubulik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3668);
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Repubulik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3614);
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5532).
b.

Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan


penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku,
makalah, jurnal hukum, artikel, dan koran yang berkaitan dengan
tema dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder ini terdiri dari:
1) Buku-buku yang membahas tentang sistem pemasyarakatan;
2) Buku-buku yang membahas tentang sistem pemasyarakatan
anak;
3) Jurnal hukum yang membahas tentang dampak psikis yang
terjadi pada anak didik pemasyarakatan.

c.

Bahan hukum tersier, yakni merupakan bahan hukum yang


memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

yang meliputi kamus besar bahasa indonesia, kamus hukum, serta


bahan-bahan tertulis lain yang relevan berupa kamus dan/atau
ensiklopedia.
3.

Penentuan Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian adalah Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Kelas
II B Wonosari Yogyakarta. Penulis memilih lokasi tersebut dengan
alasan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Kelas II B
Wonosari

Yogyakarta

tersebut

adalah

satu-satunya

Lembaga

Pemasyarakatan yang ditujukan khusus untuk anak yang disebut dengan


anak didik pemasyarakatan, sehingga lokasi tersebut akan mendukung
penelitian ini.
4.

Penentuan Responden dan Narasumber


a.

Responden
Penentuan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik non
random sampling dengan jenis purposive sampling yaitu 10 orang
anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus
Anak Kelas II B Wonosari Yogyakarta.

b.

Narasumber
Penentuan narasumber dalam penelitian ini adalah Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Khusus Anak Kelas II B Wonosari Yogyakarta dan
2 (dua) orang petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Khusus Anak Kelas II B Wonosari Yogyakarta.

5.

Alat Pengumpul Data


a.

Kuisioner : penulis menggunakan kuisioner sebagai alat bantu untuk


mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan yang
penulis bahas. Kuisioner dalam penelitian ini berifat terbuka
sehingga di dalam pertanyaan kuisioner ini akan diberikan peluang
bagi responden untuk menjawa pertanyaan di luar dari pilihan
jawaban yang sudah disediakan.

b.

Pedoman wawancara : penulis menggunakan pedoman wawancara


sebagai alat bantu untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan
permasalahan

dari

narasumber.

Pedoman

wawancara

dalam

penelitian ini hanya memuat garis besar pertanyaan yang


berpedoman pada rumusan masalah saja, sehingga pedoman
wawancara ini bersifat terbuka dengan artian bahwa terbuka peluang
untuk adanya pertanyaan lain yang masih berkaitan dengan jawaban
dari rumusan masalah dalam penelitian ini.
c.

Alat rekam
Penulis menggunakan alat rekam untuk memudahkan penulis dalam
melakukan wawancara dengan narasumber sehingga jika dalam
proses melakukan wawancara penulis tidak terlalu mahir dalam
menulis cepat, maka penulis dapat menyempurnakan hasil
wawancara berdasarkan rekaman yang penulis peroleh.

d.

Catatan lapangan
Penulis menggunakan catatan lapangan untuk mencatat hal-hal
penting berkaitan dengan penelitian yang mungkin akan penulis
temukan dalam proses penelusuran lapangan yang nantinya
membuka pemikiran penulis dalam penelitian.

6.

Teknik Pengumpulan Data


a.

Penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan


mempelajari peraturan perundang-uandangan, buku-buku, jurnal
hukum, makalah, skripsi, dan internet serta hasil penelitian atau studi
dokumen yang berkaitan dengan masalah yang ditelititi.

b.

Penelitian lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan denngan


menyebarkan kuisioner kepada responden yang sudah ditentukan
sebelumnya dan melakukan wawancara dengan narasumber yang
memahami permasalahan dalam penelitian ini. Responden dan

narasumber ini diperoleh dari lokasi penelitian yang juga sudah


ditentukan sebelumnya yaitu yang berkiatan dengan penelitian ini.
7.

Analisis Hasil
Seluruh data yang diperoleh dari hasil penelitian ini baik data yang
diperoleh dari penelitian lapangan maupun kepustakaan , dianalisis
dengan cara kualitatif, dengan terlebih dahulu memilah-milah data yang
diperoleh yaitu yang sesuai dengan permasalahan. Setelah itu data yang
telah dipilah-pilah tersebut disandingkan satu sama lain yaitu data yang
diperoleh dari penelitian lapangan dihubungkan dengan data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan yaitu yang berupa peraturan
perundang-undangan

atau

teori-teori

yang

berhubungan

dengan

penelitian. Hasil dari penyandingan atau konfirmasi antara data lapangan


dan kepustakaan ini kemudian diinterpretasikan dan dipaparkan dengan
metode deksriptif kualitatif.

I.

SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Keaslian Penelitian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Kenakalan Anak
B. Tinjauan Umum tentang Sistem Pemidanaan Anak dan
Penempatan Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan
C. Tinjauan

Umum

tentang

Dampak

Lembaga

Pemasyarakatan bagi Anak Didik Pemasyarakatan

BAB III METODE PENELITIAN


A. Sifat Penelitian
B. Jenis Penelitian
1.

Penelitian Kepustakaan

2.

Penelitian Lapangan

C. Analisis Hasil Penelitian


BAB IV PEMBAHASAN
A. Pemicu

Besar

yang

Menyebabkan

Seorang

Anak

Melakukan Perbuatan Menyimpang yang Melanggar


Aturan Sehingga Berkonflik dengan Hukum
B. Sistem Penempetan Anak di Lembaga Pemasyarakatan
C. Dampak Psikis

yang Dapat Ditimbulkan Lembaga

Pemasyarakatan bagi Anak Didik Pemasyarakatan dan


Strategi Coping dari Anak Didik Pemasyarakatan
D. Peran Serta Lembaga Pemasyarakatan dan Masyarakat
yang

Diperlukan

bagi

Berhadapan dengan Hukum


BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Perlindungan

Anak

yang

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Dellyana , Shanty. 1998. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Hamzah Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali.
Moeljatno. 2009. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi, Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni.
Prakoso, Abintoro. 2013. Pembaruan Sistem Perdailan PIDANA Anak. Yogyakarta:
Laksbang Grafika.
Soetarman. 1981. Sarana Penunjang Penyelenggaraan Peradilan Anak, Peranan
Panti-panti dan Petugas- petugas Kemasyarakatan. Bandung: Bina Cipta.
Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT Refika Aditama.
Supramono, Gatot. 2007. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta: Djambatan
Lamintang. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico.
Wahjono, Padmo. 1981. Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila. Jakarta: Aksara Baru.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Lembaran Negara Repubulik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Lembaran Negara Repubulik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Lembaran Negara Repubulik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 153. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5532.

Jurnal :
Solichatun, Yulia. 2011. Stres dan Staretegi Coping pada Anak Didik di Lembaga
Pemasyarakatan Anak. Psikoislamika Jurnal Psikologi Islam Lembaga
Penelitian Pengembangan dan Keislaman. Vol. 8 No. 1. 23-42.

Skripsi :
Mega Prihatanti. 2006. Peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif
Kesatuan Konsep Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus Pembinaan Anak
Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo). Skripsi S1 Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret: Tidak diterbitkan.
Website :
Awi, Lollong M.
http://www.cds.or.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=21.
Diakses pada hari Selasa tanggal 7 Oktober 2014 pukul 09.52 WIB.

Anda mungkin juga menyukai