THT Siti Nursiah
THT Siti Nursiah
LATAR BELAKANG
Otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah lebih dari 2
bulan dengan adanya perforasi membran timpani, sekret yang keluar dari telinga
tengah dapat terus menerus atau hilang timbul. Sekret bisa encer atau kental,
bening atau berupa nanah. Otitis media supuratif kronik ( OMSK) didalam
masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah congek, teleran atau telinga berair.
Kebanyakan penderita OMSK menganggap penyakit ini merupakan penyakit yang
biasa yang nantinya akan sembuh sendiri. Penyakit ini pada umumnya tidak
memberikan rasa sakit kecuali apabila sudah terjadi komplikasi. Biasanya komplikasi
didapatkan pada penderita OMSK tipe maligna seperti labirinitis, meningitis, abses
otak yang dapat menyebabkan kematian. Kadangkala suatu eksaserbasi akut oleh
kuman yang virulen pada OMSK tipe bening pun dapat menyebabkan suatu
komplikasi.
Bakteri aerob penyebab OMSK antara lain : Pseudomonas aeruginosa, Proteus
mirabilis, Stafilokokus aureus, Stafilokokus epidermidis, Streptokokus hemolitikus,
Difteroid, Streptokokus viridan, Proteus dan Enterobakter sp. Bakteri anaerob yang
sering dijumpai antara lain : Bakteroides fragilis, Peptokokus, Peptostreptokokus,
Klosstridium sporogenes, Klosstridium perfringens dan Klostridium novyi. Para
peneliti mendapat persentase yang berbeda mengenai jenis bakteri pada OMSK.
Adenin Adenan (1973) mendapatkan Proteus sp sebagai kuman yang dominan (48%
dan perbandingan kuman gram negatif dan positif adalah 3 : 1. 6 Brook (1979) dan
Palca (1965) mengatakan bakteri aerob yang sering dijumpai pada OMSK adalah
Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Stafilokokus. Finegald (1981) menemukan
kuman aerob yang dominan adalah Pseudomonas aeruginosa (36 dari 68 penderita)
sedangkan Proteus sp hanya 7 dari 68 penderita .
Pada dasarnya keberhasilan pengobatan penyakit infeksi bakteri dengan
antibiotik merupakan hasil akhir dari 3 komponen, yaitu penderita, bakteri dan
antibiotika. Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi bakteri adalah manifestasi
klinik dari interaksi antara penderita dan bakteri. Adapun untuk pengobatan infeksi
dibutuhkan antibiotika yang tepat dan daya tahan tubuh penderita itu sendiri.
Memilih antibiotika yang tepat dapat dilakukan berdasarkan sekurang- kurangnya
mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit dan akan lebih baik lagi apabila disertai
dengan adanya hasil uji kepekaan pemeriksaan mikrobiologi. Ketidak patuhan
penderita dalam perawatan, kuman yang resisten, bentuk anatomi telinga, adanya
BAB II
TINJUAN KEPUSTAKAAN
2.1.
3. Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga
merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpanum
menonjol kearah kavum timpani, yang disebut promontorium Tonjolan ini oleh
karena didalamnya terdapat koklea. Didalam promontorium terdapat beberapa
saluran-saluran yang berisi saraf- saraf yang membentuk pleksus timpanikus.
Dibelakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau foramen ovale
(oval windows), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan pada kavum timpani
dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki stapes dan diperkuat oleh
ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran 3,25 mm x 1,75 mm. Diatas fenestra
vestibuli, sebagai tempat jalannya nervus fasialis. Kanalis ini didalam kavum timpani
tipis sekali atau tidak ada tulang sama sekali ( dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum ( round windows), ditutupi oleh
suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak dibelakang
bawah. Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x 1,3 mm pada bagian anterior
dan posterior 1,6 mm.
Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu sama lain
pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam yaitu sinus
timpanikus. Suatu ruang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau
resesus fasial yang didapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal.
Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior
oleh prosesus brevis inkus yang melekat kefosa inkudis. Lebar resesus fasialis 4,01
mm dan tidak bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis penting karena sebagai
pembatas antara kavum timpani dengan kavum mastoid sehingga bila aditus as
antrum tertutup karena suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka untuk
menghubungkan kavum timpani dengan kavum mastoid.
4. Dinding posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang
menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui epitimpanum.
Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut fosa inkudis yang merupakan
suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan melekat pada serat- serat ligamen.
Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari korda timpani adalah piramid, tempat
terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon yang berjalan keatas dan masuk
kedalam stapes. Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah resesus fasialis.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan sinus
sigmoid.
Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis merupakan perluasan kearah
posterior dari mesotimpani adalah sinus timpani. Perluasan sel- sel udara kearah
dinding posterior dapat meluas seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson
(1981), bahwa apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9
mm kearah tulang mastoid. Dinding medial dari sinus timpani kemudian berlanjut ke
bagian posterior dari dinding medial kavum timpani dimana berhubungan dengan
dua fenestra dan promontorium.
5. Dinding anterior
Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding
medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih besar
dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis
pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior.
Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior yang
membawa serabut - serabut saraf simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau
lebih cabang timpani dari arteri karotis interna1.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius. Tuba
ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai dua fungsi. Pertama
menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi sebelah dalam, kedua sebagai
drainase sekresi dari telinga tengah, termasuk sel- sel udara mastoid. Diatas tuba
terdapat sebeuah saluran yang berisi otot tensor timpani. Dibawah tuba, dinding
anterior biasanya tipis dimana ini merupakan dinding posterior dari saluran karotis.
6. Dinding lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian
tulang berada diatas dan bawah membran timpani.
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Epitimpanum.
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian superior
kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani.
sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior epitimpanum
dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding medial atik dibentuk
oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis semisirkularis lateral.
Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada
ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik.
Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang sempit, disini
dapat dijumpai muara sel- sel udara yang membuat pneumatisasi pangkal
tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang
berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang
sebelah atas. Diposterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum
mastoid, yaitu aditus ad antrum.
b. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial
dibatasi oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus
fasialis pars timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani
tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding
saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini biasanya
mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian- bagian tulang
lemah.
c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus
jugulare.
Kavum timpani terdiri dari :
1. Tulang- tulang pendengaran ( maleus, inkus, stapes).
2. Dua otot.
3. Saraf korda timpani.
4. Saraf pleksus timpanikus.
meningeal assesori sampai ganglion otik. Kadang- kadang saraf ini tidak berjalan
pada foramen ovale tetapi melalui foramen yang kecil sampai foramen spinosum.
Serabut post ganglion dari ganglion otik menyuplai serabut- serabut
sekremotor pada kelenjar parotis melalui nervus aurikulotemporalis.
Saraf fasial
Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal melalui
meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial terutama
terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu :
1. Saraf motorik untuk otot- otot yang berasal dari lengkung brankial kedua
(faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m. digastrik
dan m. stapedius.
2. Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor
parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah kecuali
parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui auditori
meatus diatas vestibula labirin tulang. Kemudian membelok kearah posterior dalam
tulang diatas feromen ovale terus ke dinding posterior kavum timpani. Belokan
kedua terjadi dinding posterior mengarah ke tulang petrosa melewati kanal fasial
keluar dari dasar tengkorak melewati foramen stilomastoidea. Pada belokan pertama
di dinding medial dari kavum timpani terdapat ganglion genikulatum, yang
mengandung sel unipolar palsu. Sel ini adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3
lidah dan palatum. Saraf petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf kranial
VII pada ganglion genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke
fosa kranial tengah. Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum dan jaringan
sekremotor dari glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan orbita. Bagian lain dari
saraf kranial VII membentuk percabangan motor ke otot stapedius dan korda
timpani. Korda timpani keluar ke fosa intra temporal melalui handle malleus,
bergerak secara vertikal ke inkus dan terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani
mengandung jaringan perasa dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor dari
ganglion submandibula. Sel jaringan perasanya terdapat di ganglion genikulatum.
PERDARAHAN KAVUM TIMPANI
Pembuluh- pembuluh darah yang memberikan vaskularis asi kavum timpani
adalah arteri- arteri kecil yang melewati tulang yang tebal. Sebagian besar pembuluh
darah yang menuju kavum timpani berasal dari cabang arteri karotis eksterna.
Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika anterior, yang
merupakan cabang dari a. maksilaris interna yang masuk ke telinga tengah melalui
fisura petrotimpanika.
Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika psoterior,
yang merupakan cabang dari a. mastoidea yaitu a. stilomastoidea.
Pada daerah superior mendapat perdarahan dari cabang a. meningea media
juga a. petrosa superior, a. timpanika superior dan ramus inkudomalei.
Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan pembuluh
arteri menuju pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus superior.
Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh getah
bening retrofaring atau ke nodulus limfatikus parotis.
baik pada saat lahir dan pada dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan
kebelakang sekitar 14 mm, daria atas kebawah 9mm dan dari sisi lateral ke medial 7
mm. Dinding
medial dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis
posterior dan lebih ke dalam dan inferiornya terletak sakus endolimfatikus dan dura
dari fosa kranii posterior.
Atapnya membentuk bagian dati lantai fosa kranii media
dan memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama
dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari
pars skumosa tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari
sekitar 2 mm pada saat lahir hingga 12- 15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada
orang dewasa berhubungan dengan trigonum suprameatal ( Macewens) pada
permukaan luar tengkorak. Lantai antrum mastoid berhubungan dengan otot
digastrik dilateral dan sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid
yang jelek, struktur ini bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding
anterior antrum memiliki aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui
n.fasialis dalam perjalanan menuju ke foramen stilomastoid.
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga.
Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan
rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat
didalam mastoid adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang meliputi banyak
bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus mastoid yang mengandung udara
berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap
berisi tulang- tulang kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel- sel yang
berpneumatisasi
terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid
berkembang setelah lahir sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi secara
sinkron dengan pertumbuhan antrum mastoid. Pada tahun pertama kehidupan
prosesus ini terdiri dari tulang-tulang seperti spon sehingga mastoiditis murni tidak
dapat terjadi. Diantara usia 2 dan 5 tahun pada saat terjad i pneumatisasi prosesus
terdiri atas campuran tulang- tulang spon dan pneumatik.
Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 6 12 tahun. Luasnya
pneumatisasi tergantung faktor herediter konstitusional dan faktor peradangan pada
waktu umur muda. Bila ada sifat biologis mukosa tidak baik maka daya pneumatisasi
hilang atau kurang. Ini juga terjadi bila ada radang pada telinga yang tidak
menyembuh.
Maka
nanti
dapat
dilihat
pneumatisasi
yang
terhenti
(pneumatisationshemung arrested pneumatisation) atau pneumatisasi yang tidak
ada sama sekali (teori dari Wittmack).
Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :
1. Proesesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), diomana tidak ditemui sel- sel.
2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel- sel kecil saja.
3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel- sel disini besar.
Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Dekat
antrum sel- selnya kecil tambah keperifer sel- selnya bertambah besar. Oleh karena
itu bila ada radang pada sel- sel mastoid, drainase tidak begitu baik hingga mudah
terjadi radang pada mastoid (mastoiditis).
Menurut tempatnya sel- sel ini dapat dibedakan :
1. Terminal
5. Zygomatic
2. Perisinus
6. Facial
3. Sudut petrosal
7. Periantral
4. Sub dural
8. Perilabirinter
10
2.2.
FISIOLOGI PENDENGARAN
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang telinga dan
mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan
ke tulang- tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap lonjong (foramen ovale) yang juga
menggerakkan perilimf dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran
Reissener yang mendorong endolimf dan membran basal kearah bawah, perilimf
dala m skala timpani akan bergerak sehingga tingkap (forame rotundum) terdorong
ke arah luar.
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong
membran basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan perilimf
pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok, dan
dengan berubahnya membran basal ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan
fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion Kalium dan ion Natrium menjadi aliran
listrik yang diteruskan ke cabang- cabang n.VII, yang kemudian meneruskan
rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran diotak ( area 39- 40) melalui saraf
pusat yang ada dilobus temporalis.
2.3.
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
2.3.1. DEFINISI
Para ahli otologi beberapa tahun ini membuat kesepakatan untuk penerapan
istilah dalam gambaran klinik dan patologi dari OMSK. Gambaran dasar yang sering
pada semua kasus OMSK adalah dijumpai membrana timpani yang tidak intak. OMSK
adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari
telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak ( perforasi ) dan
ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret mungkin encer atau
kental, bening atau berupa nanah dan berlangsung lebih dari 2 bulan. Perforasi
sentral adalah pada pars tensa dan sekitar dari sisa membran timpani atau
sekurang- kurangnya pada annulus. Lokasi perforasi sentral ditandai oleh
hubungannya dengan
manubrium mallei. Defek dapat ditemukan seperti pada
anterior, posterior, inferior atau subtotal. Perforasi subtotal adalah suatu defek yang
besar disekelilingnya dengan annulus yang masih intak.
Otitis media kronis terjadi dalam beberapa bentuk melibatkan mukosa dan
merusak tulang (kolesteatom). Menurut Ramalingam bahwa OMSK adalah
peradangan kronis lapisan mukoperiosteum dari middle ear cleft sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan- perubahan patologis yang ireversibel.
Dari definisi diatas terlihat bahwa adanya perforasi membran timpani
merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk diagnosa OMSK, sedangkan sekret
yang keluar bisa ada dan bisa pula tidak.
2.3.2. KLASIFIKASI
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa
dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa
faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius,
infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal
pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran
bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi
sekunder dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan
11
hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe
respirasi dan mukosiliar yang jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:
1.1.
Penyakit aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului
oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah
berenang dimana kuman masuk melalui lia ng telinga luar. Sekret bervariasi
dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar
jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip
yang besar pada liang telinga luas. Perluasan infeksi ke sel- sel mastoid
mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap
harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau
jika granulasi pada mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari
kulit, dimana kadang- kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas kuadran
posterosuperior.
1.2.
Penyakit tidak aktif
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan
mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli
konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau suatu
rasa penuh dalam telinga.
Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :
1. Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis.
2. Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis.
3. Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat
yang terkontaminasi.
4. Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia.
5. Otitis media supuratif akut yang berulang.
2.2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit
atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya
kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan
kolesteatom.
Kolesteatom
adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna put ih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. kolesteatom
dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
a. Kongenital
b. Didapat.
ad a. Kolesteatom kongenital.
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan
Clemis (1965) adalah :
1. Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel
undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.
Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau
tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese,
tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
12
Ad b. Kolesteatom didapat.
1. Primary acquired cholesteatoma.
Koelsteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida
2. Secondary acquired cholesteatoma.
Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis
biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal pada
bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna yang
masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong retraksi
membran timpani pars tensa.
Banyak teori yang diajukan sebagai penyebab kolesteatom didapat primer,
tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa menunjukan penyebab yang
sebenarnya.
Teori- teori itu antara lain :
1. Tekanan negatif dalam atik, menyebabkan invaginasi pars flasida dan
pembentukan kista.
2. Metaplasia mukosa telinga tengah dan atik akibat infeksi
3. Hiperplasia invasif diikuti terbentuknya kista dilapisan basal epidermis pars flasida
akibat iritasi oleh infeksi.
4. Sisa-sisa epidermis kongenital yang terdapat di daerah atik.
5. Hiperkeratosis invasif dari kulit liang telinga bagian dalam
Ada beberapa teori yang mengatakan bagaimana epitel dapat masuk kedalam
kavum timpani. Pada umumnya kolesteatom terdapat pada otitis media kronik
dengan perforasi marginal. teori itu adalah :
1.
Epitel dari liang telinga masuk melalui perforasi kedalam kavum timpani dan
disini ia membentuk kolesteatom ( migration teori menurut Hartmann); epitel
yang masuk menjadi nekrotis, terangkat keatas. Dibawahnya timbul epitel
baru. Inipun terangkat hingga timbul epitel- epitel mati, merupakan lamellamel. Kolesteatom yang terjadi ini dinamakan secondary acquired
cholesteatoma.
2.
Embrional sudah ada pulau- pulau kecil dan ini yang akan menjadi kolesteatom.
3.
Mukosa dari kavum timpani mengadakan metaplasia oleh karena infeksi
(metaplasia teori menurut Wendt).
4.
Ada pula kolesteatom yang letaknya pada pars plasida ( attic retraction
cholesteatom). Oleh karena tuba tertutup terjadi retraksi dari membran
plasida, akibat pada tempat ini terjadi deskuamasi epitel yang tidak lepas, akan
tetapi bertumpuk disini. Lambat laun epitel ini hancur dan menjadi kista. Kista
ini tambah lama tambah besar dan tumbuh terus kedalam kavum timpani dan
membentuk kolesteatom. Ini dinamakan primary acquired cholesteatom atau
genuines cholesteatom. Mula- mula belum timbul peradangan, lambat laun
dapat terjadi peradangan. Primary dan secondary acquired cholesteatom ini
dinamakan juga pseudo cholesteatoma, oleh karena ada pula kongenital
kolesteatom. Ini juga merupakan suatu lubang dalam tenggorok terutama pada
os temporal. Dalam lubang ini terdapat lamel konsentris terdiri dari epitel yang
dapat juga menekan tulang sekitarnya. Beda kongenital kolesteatom, ini tidak
berhubungan dengan telinga dan tidak akan menimbulkan infeksi.
Bentuk perforasi membran timpani adalah :
1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero- inferior dan
postero-superior, kadang- kadang sub total.
13
2.
Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari
anulus fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai
perforasi total.
Perforasi pada pinggir postero- superior berhubungan dengan kolesteatom
3. Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired
cholesteatoma.
2.3.3. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan,
kondisi sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygiene dan nutrisi
yang jelek.
Kebanyakan melaporkan prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang
mempunyai kolesteatom, tetapi tidak mempunyai data yang tepat, apalagi
insiden OMSK saja, tidak ada data yang tersedia.
2.3.4.
ETIOLOGI
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Downs syndrom. Adanya tuba
patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK
yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK
yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral (seperti
hipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan
leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis.
Penyebab OMSK antara lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,
dimana kelompok sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi. Tetapi
sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet,
tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah
insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media,
tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari
otitis media akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor
apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi
keadaan kronis
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hampir
tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode
kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah
Gram- negatif, flora tipe- usus, dan beberapa organisme lainnya.
14
15
pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah misal
perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai keadaan inaktif
dari otitis media kronis.
Suatu teori tentang patogenesis dikemukan dalam buku modern yang
umumnya telah diterima sebagai fakta. Hipotesis ini menyatakan bahwa terjadinya
otitis media nekrotikans, terutama pada masa anak-anak, menimbulkan perforasi
yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga
tetap berlubang, atau sembuh dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat
kolaps kedalam telinga tengah, memberi gambaran otitis atelektasis. Hipotesis ini
mengabaikan beberapa kenyataan yang menimbulkan keraguan atas kebenarannya,
antara lain :
1.
Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap
membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya
ditandai oleh penebalan dan bukannya atrofi.
2.
Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya
antibiotik. Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus dalam
25 tahun terakhir. Dipihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak
berkurang dalam periode tersebut.
3.
pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut
pada permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan
bertambah secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun
kemudian setelah pasien menyadari adanya masalah. Anak- anak tidak dibawa
berobat sampai terjadi gangguan pendengaran yang ditemukan pada
pemeriksaan berkala disekolah atau merasa terganggu karena sekret yang
selalu keluar dari telinga.
2.3.6.
PATOLOGI
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari
pada menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan
stadium dari pada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini
disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kekambuhan ini ditambah
dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
Secara umum gambaran yang ditemukan adalah :
1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat
bervariasi mulai kurang dari 20% luas membrana timpani sampai seluruh
membrana dan terkenanya bagian- bagian dari anulus. Dalam proses
penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel skuamosa kedalam ketelinga
tengah. Pertumbuhan kedalam ini dapat menutupi tempat perforasi saja atau
dapat mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang- kadang perluasan lapisan
tengah ini kedaerah atik mengakibatan pembentukan kantong dan kolesteatom
didapat sekunder. Kadang- kadang terjadi pembentukan membrana timpani atrifik
dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membrana ini cepat rusak pada periode
infeksi aktif.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, akan tampak
normal kecuali bila infeksi telah menyebabkan
penebalan atau metaplasia
mukosa menjadi epitel transisional. Selama infeksi aktif, mukosa menjadi tebal
dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah
pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid menetap akibat disfungsi
kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga merupakan penyebab terjadinya
perubahan mukosa menetap.
16
17
18
38
19
melintang
sehingga
dapat
menunjukan
adanya
pembesaran
akibat
kolesteatom.
4.
Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga
dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik.
Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh
karena kolesteatom, ada atau tidak tulang- tulang pendengaran dan beberapa kasus
terlihat fistula pada kanalis semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan
operasi jarang berdasarkan hanya dengan hasil X- ray saja. Pada keadaan tertentu
seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya
penyakit mastoid.
2.3.8.3. Bakteriologi
Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi
akut, bakteriologi yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang
ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK
adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan
bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis.
Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri
anaerob adalah Bacteriodes sp.
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus
parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus, atau hemofilius influenza. Tetapi pada OMSK keadaan
ini agak berbeda. Karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering
berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.
Pengobatan penyakit infeksi ini sebaiknya berdasarkan kuman penyebab dan
hasil kepekaan kuman. Bakteri penyebab OMSK dapat berupa :
2.3.8.3.1. Bakteri spesifik
Misalnya Tuberkulosis. Dimana Otitis tuberkulosa sangat jarang ( kurang dari
1% menurut Shambaugh). Pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh infeksi paru
yang lanjut. Infeksi ini masuk ke telinga tengah melalui tuba. Otitis me dia
tuberkulosa dapat terjadi pada anak yang relatif sehat sebagai akibat minum susu
yang tidak dipateurisasi. Mycobacterium tuberkulosa pada OMSK (Munzel 1978,
Jeang dan Fletcher, 1983).
2.3.8.3.2. Bakteri non spesifik baik aerob dan anaerob.
Bakteri aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa,
stafilokokus aureus dan Proteus sp. Para penulis mendapat presentase yang berbeda
terhadap jenis kuman OMSK.
Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa lebih predominan ( Palva dan
Hallstrom, 1965; Ojala dkk, 1981; Sugita dkk, 1981 ; Constable dan Butler, 1982;
Sweeney, Picozzi dan Browning, 1982 ; Brook, 1985). Stafilokokus aureus (
Friedman, 1952; Karma dkk 1978) dan Eserikia koli ( constable dan Butler 1982;
Sweeney, Picozzi dan Browning, 1982) yang juga sering diisolasi.
Freidmann (1952) mengisolasi dari Stafilokokus aureus 32,7% dari 318 kasus
dimana 41% resisten terhadap penisilin dan 59% sensitif, diantaranya terdapat
organisma gram negatif, Proteus sp yang diisolasi 27%, Pseudomonas aeruginosa
16% dan Eserikia koli 10,7%. Dari penilaian ini dijumpai penyebaran luas dari
organisma gram positif yang campuran dengan kuman aerob negatif yang
predominan.
20
Losin dan kawan- kawan ( 1983), melaporkan hasil penilaiannya pada OMSK
dengan atau tanpa jaringan patologis, dengan urutan determinasi kuman aerob
sebagai berikut : Proteus sp (34,39%), Bacillus sp. (29,44%), Pseudomonas sp.
(15,90%), Stafilokokus patogen (11,36%), Klebiella sp. (4,55%)38. Vartiainen
(1999), melaporkan kultur sekret telinga OMSK dengan kolesteatom, dari 201 kasus
didapatkan Stafilokokus aureus (23%), Pseudomonas aeruginosa (17%), Proteus sp
(8%). Bakteri yang ditemukan secara statistik tidak ada perbedaan bermakna pada
anak dewasa, dimana Pseudomonas aeruginosa sedikit lebih tinggi pada anak dari
pada dewasa. Dari penelitian Pseudomonas terdapat pada umur < 16 tahun 25%
dan 16 tahun 18%, sedangkan Stafilokokus aureus 16 tahun adalah 20% < 16
tahun 18%.
Adenin. A (1973) menemukan bakteri aerob pada OMSK yang sering dijumpai
adalah: Proteus (48%), Psedomonas (11%), Klebeilla (11%), Eserikia koli (4%),
Streptokokus haemolitikus (3%), Diplokokus (1%)8. Dan mendapatkan kuman
anaerob pada OMSK adalah Peptokokus dan Peptostreptokokus. Dan ternyata
Kanamisin sensitif terhadap Peptokokus (85%) dan Peptostreptokokus (66,67%).
Karma (1978) menemukan kuman aerob Stafilokokus 36,88% (59 dari 160),
gram negatif rod 22, 50% ( 36 dari 160), Difteroid basili 21,25% (34 dari 160),
Pseudomonas sp 10% ( 16 dari 160).
Pada penelitian dari Indudharan ( Januari 1994 - Desember 1995) diantara 500
yang diisolasi, kuman yang sering dijumpai Pseudomonas aeruginosa (27,2%),
diikuti oleh Stafilokokus aureus (23,6%), Stafilokokus epidermidis (8,8%), Proteus
sp (7,4%), Streptokokus beta hemolitikus (7%), Haemofilus influensa (6,4%),
Enterobakter (3,6%), Klebsiella (3,2%). Antibiotik yang sensitif untuk Pseudomonas
aeruginosa adalah ceftazidime (100%), gentamisin (96,3%), polimiksin B (95,4%)
dan Ciprofloksasin (98,9%). Resisten pada ampisilin (97,6%) dan kloramfenikol
(96,6%). Stafilokokus aureus sensitif pada kloramfenikol (87,5%), cloxacillin
(97,4%), kotrimoksazol (96,5%), eritromisin (89,5%), gentamisin (90,7%) dan
ciptofloksasin (98,6%), dimana resisten terhadap ampisilin (73,8%) dan polimiksin B
(98,3%).
Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman tersering ditemukan pada biakan
sekret OMSK tanpa kolesteatom. Hasil penelitian dibagian THT FKUI / RSCM
ditemukan kuman OMSK dengan kolesteatom dari operasi radikal mastoidektomi. Di
RSCM dari Januari sampai April 1996 didapat kuman aerob yang paling sering
ditemukan Proteus mirabilis (58,5%), sedangkan Pseudomonas (31,5%). Sedangkan
OMSK tanpa kolesteatom kuman aerob yang tersering adalah Pseudomonas
aeruginosa (22,46%), Stafilokokus (16,33%). Pada penelitian OMSK benigna tipe
aktif ditemukan kuman yang terbanyak adalah pseudomonas aeruginosa (27,5%),
juga dijumpai antigen Clamydia trachomatis sebesar 25%
Spiric dari tahun 1994- 1996 menemukan kuman yang sering dijumpai adalah
Pseudomonas aeruginosa gram negatif 22%, Proteus mirabilis 20%, Stafilokokus
aureus 17% dan Eserikia koli 11%. Antibiotik yang sensitif untuk Pseudomonas
aeruginosa adalah ceftazidime dan ciprofloksasin, dan resisten pada penisilin,
sefalosporin dan makrolid. Sedangkan Proteus mirabilis sensitif untuk antibiotik
kecuali makrolid. Stafilokokus aureus resisten terhadap sulfonamid dan trimethoprim
dan sensitif untuk sefalosforin generasi I dan gentamisin.
Pada otitis media banyak terdapat mixed infection dari kuman aerob dan
kuman anaerob sedangkan mixed infection antara kuman aerob hanya 60%. Oleh
karena itu Oderdank menfasirkan tingginya mixed infection kuman aerob dan
21
kuman anaerob disebabkan oleh karena itu metabolisme dari kuman aerob
menyebabkan lingkungan kecil sekali untuk hidupnya kuman- kuman anaerob.
Menurut Feingold kuman anaerob banyak terdapat dalam jaringan nekrotis,
pada radang yang telah diberi pengobatan dengan aminoglikosida, pada pus yang
busuk, pada pus yang aseptis yang ternyata steril pada pemeriksaan untuk kumankuman aerob dan pada kasus- kasus dimana pemberian kemoterapi penyakitnya
tidak menyembuh.
Menurut Sugita dkk (1981), bahwa kuman anaerob sering ditemukan pada
otitis media yang disertai dengan kolesteatom dan granulasi. Adanya kolesteatom
dan granulasi menghalang- halangi perputaran udara diantara udara luar dan ruang
telinga tengah. Hal ini menyebabkan supali oksigen ke telinga berkurang dan
berakibat
tekanan parsiil oksigen turun dan sebaiknya tekanan parsiil CO2 naik
akibat jumlah kuman aerob turun dan kuman anaerob meningkat.
Pseudomonas aeruginosa termasuk kuman gram negatif, aerob dan jumlah
kecil sering dijumpai sebagai flora saprofit normal pada kulit dan usus. Perubahan
sifat saprofit menjadi patogen pada OMSK terjadi karena faktor- faktor predisposisi
yaitu serangan otitis media akut sebelumnya, adanya perforasi membran timpani,
efusi kronis telinga tengah, abnormalitas struktur epitel telinga tengah, disfungsi
tuba auditiva.
Stafilokokus aureus termasuk golongan gram positif, aerob dan hidup
saprofit pada kulit normal manusia . Perubahan sifat saprofit menjadi apatogen
terjadi pada kondisi kuman mampu memproduksi toksin dan enzim sehingga
mempermudah terjadinya invasi lokal.
Proteus sp. Termasuk kuman gram negatif, aerob, normal terdapat dalam
saluran nafas atas, masuk kavum timpani diperkirakan sebagai kuman sekunder
sewaktu terjadi otitis media akut, baru mampu menyebabkan infeksi bila pertahanan
auris media lemah.
Sipila (1981) melakukan penyelidikan kuman pada telinga normal. Dia telah
melakukan pemeriksaan bakteriologi pada 20 telinga yang tidak meradang. Ternyata
45% telinga tengah dan 70% liang telinga mengandung kuman, walaupun jumlah
koloninya kecil. Jumlah koloni pada telinga tengah umumnya lebih sedikit dibanding
liang telinga. Bakteri pada telinga tengah yang tersaring adalah Stafilokokus
epidermidis dan stafilokokus aureus. Sedangkan pada liang telinga adalah
Stafilokokus epidermidis, stafilokokus aureus dan difteroid basil.
2.3.9.
PENATALAKSANAAN
Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktorfaktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu
pengobatan haruslah dievaluasi faktor- faktor yang menyebabkan penyakit menjadi
kronis, perubahan- perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta
menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis
kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat - obatan dapat
digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana
pengobatan dapat dibagi atas :
1. Konservatif
2. Operasi
22
23
24
Enterobakter, 93%
Pseudomonas, 5%
Dari penelitian terhadap 50 penderita OMSK yang diberi obat tetes telinga
dengan ofloksasin dimana didapat 88,96% sembuh, membaik 8,69% dan tidak ada
perbaikan 4,53%
Ad. 3. Pemberian antibiotik sistemik
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur
kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu diperhatikan
faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dalam pengunaan antimikroba, sedikitnya perlu diketahui daya bunuhnya
terhadap masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap
masing- masing kuman penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing jaringan
tubuh, toksisitas obat terhadap kondisi tubuhnya . dengan melihat konsentrasi obat
dan daya bunuhnya terhadap mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2
golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi
kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida
dengan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi
tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh
antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah.
Kuman aerob
Antibiotik sistemik
Pseudomonas
Aminoglikosida karbenisilin
P. Mirabilis
Ampisilin atau sefalosforin
P. Morganii
Aminoglikosida Karbenisilin
P. Vulgaris
Klebsiella
Sefalosforin atau aminoglikosida
E. Koli
Ampisilin atau sefalosforin
S. Aureus
Anti-stafilikokus penisilin, sefalosforin
Eritromisin,aminoglikosida
Streptokokus
Penisilin, sefalosforin, eritromisin
Aminoglikosida
B. fragilis
Klindamisin
Antibiotika golongan kuinolon ( siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat
derivat asam nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat
diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan untuk anak dengan umur dibawah 16
tahun. Golongan sefalosforin generasi III ( sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson)
juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral. Terapi ini
sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti cukup, meskipun dapat
mengatasi OMSK.
Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob. Menurut
Browsing dkk metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik ( sefaleksin
dan kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau
200 mg per 8 jam selama 2- 4 minggu1.
25
OMSK MALIGNA
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan
konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum
dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses
sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.
Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan
pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain :
1.Mastoidektomi sederhana ( simple mastoidectomy)
2.Mastoidektomi radikal
3.Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
4.Miringoplasti
5.Timpanoplasti
6.Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty)
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki
membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau
kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.
Pedoman umum pengobatan penderita OMSK adalah Algoritma berikut :
26
MT Perforasi / OMSK
OMSK Benigna
Aktif
Mikroresistensi
AB Lini I (oral) 12 minggu H2 O 2 3%
(3-5 hari)
Tenang
Nasehat
Observasi
OMSK Maligna
Tenang
Nasehat Observasi
2-3 bulan Idealnya
operasi ( >10th )
Tetap Aktif
Aktif
Terapi sementara
AB
H 2O 2 3%
Tenang
Operasi
Operasi
Ganti AB ~ Kultur
atau
Ganti AB lini 2 ( 1-2
minggu)
Tenang
Nasehat
Idealnya Tympl
(>10 th)
Tetap Aktif
27
2.3.10. KOMPLIKASI
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan
kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan
patologik yang menyebabkan otore. pemberian antibiotika telah menurunkan insiden
komplikasi. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya
pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada
pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi
akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan
komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi
akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom.
Adam dkk mengemukakan klasifikasi sebagai berikut :
A. Komplikasi ditelinga tengah :
1. Perforasi persisten
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial
B. Komplikasi telinga dalam
1. Fistel labirin
2. Labirinitis supuratif
3. Tuli saraf ( sensorineural)
C. Komplikasi ekstradural
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis
Paparella dan Shumrick (1980) membagi dalam :
A. Komplikasi otologik
1. Mastoiditis koalesen
2. Petrositis
3. Paresis fasialis
4. Labirinitis
B. Komplikasi Intrakrania l
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Abses subdural
4. Meningitis
5. Abses otak
6. Hidrosefalus otitis
Shambough (1980) membagi atas komplikasi meninggal dan non meninggal :
A. Komplikasi meninggal
1. Abses ekstradural dan abses perisinus
2. Meningitis.
3. Trombofle bitis sinus lateral
4. Hidrosefalus otitis
5. Otore likuor serebrospinal
28
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Disain Penelitian
Penelitian ini bersifat diskriptif, dimana pengambilan data dilakukan secara
Cross Sectional.
3.2. Tempat Penelitian
Pengambilan data dilakukan di Poliklinik THT RSUP. H. Adam Malik Medan.
3.3. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan September 2000 Februari 2001.
3.4. Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan pada setiap penderita Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK) yang datang berobat ke poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan.
3.5. Pemilihan Sampel
Sampel dipilih dari semua penderita OMSK yang berobat ke poliklinik THT
RSUP H. Adam Malik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.5.1. Kriteria Inklusi
a. Pasien baru/lama yang tidak mendapat pengobatan antibiotika
lokal atau sistemik selama 7 hari.
b. Berumur diatas 12 tahun.
c . Setiap kuman tumbuh dalam media pembiakan.
d. Bersedia diikut sertakan dalam penelitian ini.
3.5.2. Kriteria Eksklusi
a. Sudah pernah mendapat pengobatan antibiotika lokal atau
sistemik dalam waktu 7 hari terakhir.
b. Penderita berumur dibawah 12 tahun.
c . Tidak ada pertumbuhan kuman.
d. Tidak bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini.
3.6. Alat yang dipakai
Alat yang dipakai dalam penelitian ini :
a. Lampu kepala
b. Kanul suction
c . Corong telinga
d. Alkohol 70%
e. Kapas lidi steril
f. Tabung reaksi steril
g. Ose
h. Piring petri
i. Lampu Bunsen.
3.7. Bahan yang digunakan
a. Sekret telinga
b. Media Stuart
c . Media blood agar, Mc Conkey
d. Disk antibiotika.
e. Muller Hinton brood
f. Pewarnaan gram
3.8. Cara Kerja
Terhadap setiap penderita yang memenuhi kriteria inkusi, dilakukan :
a. Pemeriksaan THT rutin
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Jumlah penderita yang diambil sebagai sampel sebanyak 40 orang, dimana 4 orang
diantaranya dikeluarkan dari penelitian ini oleh karena tidak memnuhi syarat.
Data- data yang dikumpulkan dibuat dalam tabel- tabel.
Tabel 4.1. Distribusi Umur Penderita OMSK
No.
Kelompok Umur
Jumlah
1.
12 20
12
2.
21 29
8
3.
30 38
5
4.
39 47
8
5.
>48
3
Jumlah
36
%
33,3
22,2
14,0
22,2
8,3
100
Dari tabel 4.1. didapatkan presentase tertinggi penderita OMSK pada umur 12 20
tahun (33,3%)
31
Tabel 4.2. Distribusi Jenis Bakteri Aerob Yang Dapat Diisolasi Dari Sekret
OMSK
Stafilokokus aureus
Stafilokokus albus
Eserikia koli
lebsiella sp
Proteus sp
Pseudomonas aeruginosa
Streptokokus viridan
Dari tabel 4.2 didapatkan bakteri aerob yang terbanyak adalah stafilokokus aureus
36,1%, diikuti Eserikia koli 27,7 % dan Proteus 19,4%, Pseudomonas aeruginosa
2,8 %
BAB V
PEMBAHASAN
Penderita yang tercakup dalam penelitian ini berumur dua belas tahun keatas
untuk memudahkan pengambilan bahan pemeriksaan. Meskipun kelompok umur
penderita OMSK ini bervariasi, seperti dilaporkan peneliti sebelumnya, frekuensi
yang terbanyak pada penelitian ini adalah antara umur 12-20 tahun (33,3%) seperti
terlihat pada tabel 4.1. Sunarjadi dan Wisnubroto pada tahun 1976 di Surabaya
menyimpulkan bahwa OMSK yang aktif maupun yang tidak aktif dipengaruhi oleh
faktor umur. 53 Delfitri Munir ( 1992) di Medan mendapatkan umur termuda 6 tahun
dan tertua 39 tahun, frekuensi terbanyak dijumpai antara umur 6- 15 tahun
(68,18%). 45 T. Yohanita di Medan ( 1995) melakukan penelitian pada penderita
dengan umur antara 10- 19 tahun (38,10%)53. Fitriah (1995) di Jakarta melakukan
penelitian pada penderita antara umur 12 sampai 62 tahun dan mendapatkan umur
rata- rata 22,5 tahun. 48 R. Suheryanto (1996) di Malang melakukan penelitian
dengan rentang umur 5-64 tahun, frekuensi yang terbanyak pada umur 20- 29
tahun. Palloan ( 1996) di Ujung Pandang mendapatkan frekuensi terbanyak pada
kelompok umur >5- 14 tahun. Ainul Mardhiah di Medan (1998) mendapatkan dari
semua penderita OMSK. Frekuensi terbanyak pada kelompok umur 20- 24 tahun
(25,4%). Indudharan di Malaysia (1995) mendapatkan frekuensi terbanyak pada
umur dibawah 20 tahun ( 69,3%).
32
Dari tabel 4.2 kuman aerob penyebab OMSK yang dominan adalah
Stafilokokus aureus 36,1%, Eserikia koli 27,7% dan Proteus 19,4%. Hal ini hampir
sama dengan yang diteliti oleh Friedman (1952), yaitu Stafilokokus aureus 32,7%,
Proteus 27%, Eserikia koli 10,7%. Jokipii ( 1977) mendapatkan Stafilokokus aureus
19%, Proteus 8%,
Eserikia koli 6,8%. Karma ( 1978) juga mendapatkan
Stafilokokus 33,75, gram negatif rod 22,50%, Difterioid 21,25% serta Pseudomonas
10%. Ojala ( 1981) kuman aerob yang dijumpai adalah Stafilokokus aureus 22%,
Pseudomonas aeruginosa 19%, Proteus 12,9% dan Eserikia koli 6,8%. Delfitri Munir
(1992) mendapat kan Stafilokokus aureus 26,27%, Proteus dan Klebsiella 20% dan
Eserikia koli 13,33%.
Peneliti yang lain mendapatkan kuman Pseudomonas sp sebagai penyebab
terbanyak OMSK seperti Adenin Adenan ( 1981) mendapatkan kuman aerob yang
terbanyak adalah Pseudomonas 33,33%, Stafilokokus aureus 28,89%, Proteus
24,45% dan Eserikia koli 11,11%. T. Yohanita (1995) mendapatkan Pseudomonas
41,77%, Stafilokokus 20,25%, dan Proteus 12,65%. Indudharan (1995)
mendapatkan Pseudomonas
aeruginosa 27,2%, Stafilokokus aureus 23,6%,
Stafilokokus epidermidis 8,8% dan Proteus mirabilis 20%, Stafilokokuis aureus 17%
dan Eserikia koli 11%. R. Suheryanto (1996) mendapatkan Pseudomonas aeruginosa
dan Stafilokokus aureus sama-sama 17,65% dan Klebsiella 9,8%. Perbedaan jenis
kuman yang dominan kemungkinan disebabkan cara pengambilan bahan
pemeriksaan yang berbeda dengan yang kami lakukan.
Dari tabel 4.3 hasil uji kepekaan ternyata Stafilokokus aureus sensitif
terhadap antibiotika golongan Siprofloksasin dan Debekasin, resisten terhadap
Seftriakson. Eserikia koli sensitif pada antibiotika golongan Siprofloksasin dan
Dibekasin, resiten terhadap Seftriakson dan Kloramfenikol. Proteus sensitif pada
golongan Siprofloksasin dan Dibekasin, resisten terhadap Seftriakson. Seluruh
kuman yang ditemuka n dalam penelitian ini sensitif terhadap Siprofloksasin dan
resisten terhadap Seftriakson, sedangkan Pseudomonas hanya sensitif terhadap
Siprofloksasin. Pada penelitian di UNHAS (1966) mendapatkan Stafilokokus aureus
sensitif terhadap antibiotika golongan Siprofloksasin, Sefotaksin, Kloramfenikol,
Trimetropim Sulfametoksasol dan resisten terhadap Penisilin G, Ampisilin,
Amoksisilin dan Streptomisin5 . Pada penelitian oleh Indudharan di Malaysia (1995)
mendapatkan Stafilokokus
aureus sensitif terhadap golongan Siproflokokus,
Kloksasilin, Kontrimoksasol, Gentamisin dan resisten pada Ampisilin dan Polimiksin
B. Fairbank (1981) mendapatkan antibiotika yang sensitif untuk Stafilokokus aureus
adalah Sefalosporin, Eritromisin dan Aminoglikosida. Penelitian oleh Spiric ( 1996) di
Finlandia mendapatkan Stafilokokus aureus sensitif terhadap Ceftazidim,
Siprofloksasin dan Amikasin sedangkan resisten dengan Sulfonamid dan Trimetropin.
33
BAB VI
KESIMPULAN
1.
2.
SARAN
Untuk lebih tepatnya pengobatan OMSK sebaiknya tiap- tiap kasus dipilih
antibiotika berdasarkan biakan dan uji kepekaan kuman.
DAFTAR PUSTAKA
Zainul A. Djaafar, Kelainan Telinga Tengah, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997;h.54- 7
Zainul A. Djaafar, Penyakit Infeksi Telinga Tengah pada Anak dan Pengobatannya
dengan Cara Operasi, Kumpulan Makalah Simposium Penatalaksanaan
Gangguan Pendengaran dan Demo Operasi Timpanoplasti, h. 17- 18
Nopember 2000;h. 22- 35.
Ainul M, Tesis Faktor Predisposisi yang Memepengaruhi Kejadian OMSK ditinjau dari
Aspek Sosial Ekonomi, FK USU, 1998;h.1,60.
Helmi, Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Edisi 3, 1997;h. 62- 5
Palloan. D. B, Mangape D, Sedjawidada R, Biakan dan Uji Kepekaan Sekret Otitis
Media, PIT PERHATI, Batu Malang, 27-29 Oktober 1996;h.250- 5
Zainul A. Djaafar, Konsep Penatalaksanaan Pasien OMSK Di Bagian THT/FK UI RSCM,
Dalam : Simposium dan Demo Ojurasi Rhinosinusitis Otokologi, Otologi,
Millenium ENT Medical Course Programme THT FK-UI RSCM, Jakarta 14- 17
Mei 2001, h. 114
Sosialisman, Zainul A. Djaafar, Kuman Aero b Di Kavum Timpani Pada Penderita
OMSK tipe Maligna, Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VII PERHATI, Ujung
Pandang, 6- 9 Juli 1986 h. 385- 95
34
Losin K. Jenis dan Uji Kuman Anaerob dan Kuman Aerob pada Penderita Otitis Media
Kronik di RS. Dr. Sarjito Yogyakarta, Ko nas VII, Surabaya, 1983 ; h.85- 108
35
Ballantyne, J., Anatomy of the Ear, Dalam : Ballantyne J, Groves J, Editors, ScottBrowns Disease of the Ear, Nose andThroat, Volume I, 4th ed, London,
Butterworths, 1979 ; h.1- 23.
Zainul A. Djaafar, Kelainan telinga tengah, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit, Telinga,
Hidung dan Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997;h.49.
Wright A, Anatomy and Ultra of the
Human Ear, Dalam : Scott- Browns
Otolaryngology, 5th Ed. Vol1, Butterworth- Heinemann Ltd, 1987; h. 14-25.
Indro Soetirto, Hendarto. H., Gangguan Pendengaran (tuli), Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997, h.35.
Bluestone CD, Klein JO ; Chronic Suppurative Otitis Media, Pediatric Otolaryngology,
vol 1, 2th ed, 1990 ; h. 502-515.
Chronic Suppurative Media, http//com/pubs/mm- geriatric/sec 15/ch129.htm
Ramalingan KK., Chronic Suppurative Otitis
otolaryngology, India, 1993 ; h.73- 81
Media,
Short
practice
of
Zainul A. Djaafar., Diagnosis & Pengobatan OMSK, Pengobatan non operatif otitis
Media supuratif, editor Helmi dkk, Balai Penerbit FK-UI, 1990 ; P47- 56
Millis R.P., Management of Chronic Suppurative Otitis Media, Dalam : Scott- Browns
otolaryngology 6th ed, vol.3, Butterworth-Heinemann Ltd, 1997 ; h.3/10/13/10/9.
G.G. Browning, Aetiopathology of Inflammantory Conditions of The External and
Middle Ear, Dalam : Scott-Browns Otolaryngology, 6th ed, vol.3,
Butterworth_Heinermann Ltd, 1997 ; h.3/3/15-3/3/20.
Roland NJ et all, Chronic Suppurative Otitis Media, Key Topic in Otolaryngology and
Head Neck Surgery, Bios scientific, 1995 ; h. 51- 3
Paparella MM., et all Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid, Editor Effendi H, Santoso
K, Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT, Alih Bahasa : Dr. Caroline Wijaya,
Edisi 6, Jakarta, EGC, 1994 ; 88- 113.
Kumar S, Chronic Suppurative Otitis Media, fundamenta of Ear, Nose and Throat
Disease and Head Neck Surgery, Calcuta, 6th ed, 1996, h.100-7
Groves J et all., Disease of Middle Ear Cleft, A Synopsis of Otolaryngogoly, 4th ed,
Wright bristol, 1985 ; h. 96-104.
Adenin A., Kumpulan kuliah bagian THT, FK- USU, Medan ; h.45-50.
Becker W., Naumann H.H., Pfaltz CR, Chronic Otitis Media dalam : Ear, Nose and
Throat Disease, A. Pocket reference, 2nd ed, Edited by Richard A Buckingham
Georg. Thieme Verlag, Sturtt, New York, 1994 ; h.94- 101.
36
Arjana I.M.,S. Atmohartono., Setiawan I.A., Pola Kuman Aerob pada Otitis Media
Suppuratifa Kronik Tipe Maligna ( OMSKM), Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS
XII, PERHATI, Semarang 1999 ; h.729- 36
Ballenger J.J., Penyakit Telinga Kronis, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala
dan Leher, Jilid 2, Edisi 13, Alih Bahasa, Staff Ahli Bagian THT RSCM- FKUI,
Jakarta, Binapura Aksara, 1997 ; h. 392- 403.
Yanagisawa E, Kmucha S, Disease of The External and Middle Ear, Dalam : Lee KJ,
editor Text book of otolaryngology and Head and Neck Surgery, New York,
Elsevier, 1989 ; h. 76- 1
Helmi, Perjalanan Penyakit dan Gambaran Klinik Otitis Media Suppuratif Kronik,
Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif, Editor Helmi dkk, Balai
Penerbit FK- UI, 1990 ; h. 17- 35.
Awarudin O., Mengape D., Sedjawidada, Penderita Otitis Media Kronik Bilateral Yang
mengeluh Gangguan Pendengaran, PIT, PERHATI, Batu Malang, 27- 29
Oktober 1996 ; h.307- 14.
Indudharan R, Hag Ashrafulji, Alyar Subramania, Antibiotics in Chronic Suppurative
Otitis Media : A, Bacteriology Study, Annals of Otology Rhinology laryngology,
108, May 1999 ; h. 440- 44.
Delfitri M, Tesis Pemeriks aan Bakteriologis Sekret Mastoid Pada Mastoidektomi
radikal, Di Bagian THT FK USU/RS Dr. Pirngadi, Medan, 1992, h. 29- 1.
Vartiainen E. Vartiainen J., Effect of Aerobic Bacteriology on The Clinical Presentation
and Treatment Results of Chronic Suppurative Otitis Media, The Journal of
Laryngology and Otology, 110, April 1996, h. 315- 8.
Karma P., Jokipii L., Ojalo K., Jokipii A.M.A., Bacteriological of The Chronically
Discharging Middle Ear, Acta Oto-Laryngology 86, 1978 ; h.110- 114.
Fitriah, Helmi, F.H. Alfian, Bacteriological Spectrum of The Benign Active Chronic
Suppurative Otitis Media, ORLI, vol.27, Oktober- Desember 1996 ; h. 488- 92.
Spiric S., and Spiric P., Chronic Otitis Media Microbiological Study, Sydney 97 XVI
World Congress of Otorhirolaryngology Head and Neck Surgery, Sydney,
Australia, 2- 7 March 1997 ; h. 1031- 36.
Sugita
Bacteria
in
Chronic
Otitis
Media,
Fairbanks D.N.F., Antimicrobial Therapy for Chronic Suppurative Otitis Media, Annals
of Otology Rhinology and Laryngology 90 ( supp.84), 1981 h. 58- 62.
Glasscock III M.E, Shambaugh GE, Pathology and Clinical Course of inflammatory
Discase of the Middle Ear, Dalam : Surgery of the Ear, 4th ed, Philadelphia,
WB. Saunders Company, 1990 ; h.184- 7.
37
T.Yohanita., Tesis Manfaat Obat Tetes Telinga Gentamisis 0,3% pada Otitis media
Suppuratif Kronik Tipe Sentral, Fk- USU, 1995 ; h.43- 5.
Yati HI, Penggunaan Antibiotika pada Otitis Media Supuratif Kronik, Dalam :
Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif, Editor Helmi dkk, Balai
Penerbit FKUI, 1990 ; H. 7- 16.
R. Suheryanto, Efektifitas Ofloxacin Tetes Telinga pada Otitis Media Purulenta Akuta
Perforata di Poliklinik THT RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, Ujiklinis, Spektrum
dan Uji Kepekaan Kuman aerob, Cermin Dunia Kedokteran, No 128, 2000 ; h.
45- 8.
Ballenger J.J., Komplikasi Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Jilid 2, edisi 13, Alih Bahasa : Staff Ahli Bagian THT RSCM- FKUI, Jakarta,
Binapura Aksara, 1997 ; h. 432- 7.
38