LAPORAN KASUS
1.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. A.M
Umur
: 4 tahun
Tanggal Lahir
: 26 Mei 2010
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
Bangsal
: Melati
Masuk RS
: 9 September 2014
: 29 tahun
: Islam
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Buruh
Alamat
Ibu
Nama Lengkap: Ny. I
Usia
: 28 tahun
: Islam
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
Alamat
a.
Anamnesis dengan pasien dan orang tua pasien dilakukan pada tanggal 9 September 2014
pukul 19.00 WIB di Bangsal Melati dan didukung catatan medis.
Keluhan Utama
: Demam
Pasien sebelumnya menderita batuk dan pilek selama 2 bulan dan didiagnosis
menderita TB paru.
Penyakit
Umur
Penyakit
Umur
Diare
Morbili
Otitis
Parotitis
Radang Paru
Demam berdarah
Tuberkulosis
Demam tifoid
Kejang
Cacingan
Ginjal
Alergi
Jantung
Kecelakan
Darah
Operasi
Difteri
Lain-lain
KELAHIRAN
Morbiditas
kehamilan
Perawatan
antenatal
Tempat
kelahiran
Bidan
Penolong
persalinan
Bidan
Cara persalinan
Partus pervaginam
Masa gestasi
Keadaan bayi
: 3400 g
Panjang badan
: 50 cm
Lingkar kepala
:-
Langsung Menangis
Nilai APGAR
: tidak
tahu
Kelainan bawaan
: Tidak
ada
Riwayat Pertumbuhan/Perkembangan
Pertumbuhan gigi pertama
: 6 bulan
Psikomotor
Tengkurap
: 3 bulan
Duduk
: 6 bulan
(Normal : 6 bulan)
Berdiri
: 10 bulan
Berjalan
: 13 bulan
(Normal : 13 bulan)
Berbicara
: 11 bulan
Saat ini anak berusia 4 tahun. Tidak ada gangguan perkembangan dalam mental dan
emosi. Interaksi dengan orang sekitar baik.
Riwayat makan dan minum
Di bawah 1 tahun
Umur (bulan)
ASI/PASI
Buah/Biskuit
Bubur Susu
Nasi Tim
02
24
46
68
8 10
10 12
Nasi / Pengganti
1-1,5 piring
Sayur
Daging
Telur
Ikan
Tahu
Tempe
Susu
mangkuk
Lauk Hewani
1-2 potong
Lauk Nabati
1-2 potong
1 botol susu 500 ml
Riwayat Imunisasi
Pasien belum pernah mendapatkan imunisasi apapun.
Riwayat Keluarga (corak reproduksi)
Hubungan
Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
Keadaan Kesehatan
Penyebab Meninggal
Kakek
Tidak tahu
Laki-laki
Sehat
Tidak tahu
Nenek
Tidak tahu
Perempuan
Sehat
Tidak tahu
Ayah
29 tahun
Laki-laki
Sehat
Ibu
28 tahun
Perempuan
Sehat
Lahir
Usia
BBL
PB
LK
LD
3400 gr
50 cm
Lupa
Lupa
kehamilan
An. A
Spontan
(pasien)
(dibidan)
37 mg
Keluarga Berencana
Ibu pasien mengaku tidak mengikuti program KB
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai buruh dengan penghasilan Rp 1.500.000 per bulan,
sedangkan ibu adalah ibu rumah tangga. Ayah pasien menanggung 1 orang anak. Biaya
pengobatan ditanggung BPJS.
Data Perumahan
Dinding rumah terbuat dari tembok, kamar berjumlah 2 buah, 1 buah kamar mandi
di dalam rumah. Jarak septic tank kurang lebih 20 meter dari rumah, limbah buangan ke
selokan. Sumber air minum dari air sumur. Pencahayaan kurang baik (karena siang hari harus
memakai lampu) dan ventilasi rumah kurang. Jarak antar rumah saling berdekatan 5 meter
tiap rumah.
b.
PEMERIKSAAN FISIK
Telah dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 9/9/2014 di bangsal anak Melati.
-
Keadaan umum
Derajat kesadaran
: compos mentis
Tanda vital
Suhu
: 37,30 C
Nadi
: 88x/ menit
Respirasi
: 22 x/menit
Data antropometri
BB
: 14,5 kg
TB
: 99 cm
Menurut CDC
BB/U
TB/U
BB/TB
Menurut WHO
BB/U
: antara 0 s/d -2
TB/U
: antara 0 s/d -2
BB/TB
Kesan : Status gizi anak baik dan perawakan tubuh anak normal
Kepala
Bentuk
: Normocephaly
Rambut
Mata
Hidung
Telinga
Bibir
Tenggorokan
Leher
Thoraks
Paru-paru
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi
Jantung
Abdomen
Inspeksi
: Datar
Palpasi
:Supel, Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba membesar
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Genitalia
Ekstremitas
:
Superior
Inferior
Akral Dingin
-/-
-/-
Akral Sianosis
-/-
-/-
CRT
< 3
< 3
Oedem
-/-
-/-
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 9 September 2014 (19.00) :
Nama Test
Hasil
Nilai Normal
Leukosit
7.0
5-10 ribu/uL
Hemoglobin
10.5
11-14.5 g/dL
Hematokrit
33.2
37-47 %
Trombosit
374
150-400 ribu/Ul
AST (SGOT)
957
< 37 /uL
ALT (SGPT)
1982
< 41 /uL
Bilirubin Total
2.10
Bilirubin Direk
1.59
Bilirubin Indirek
0.51
HEMATOLOGI
Darah Rutin DHF
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
10
Diabetes
Glukosa Darah Sewaktu
129
60-100 mg/dL
Natrium (Na)
135
135-145 mmol/L
Kalium (K)
3.6
3.5-5.0 mmol/L
Clorida (Cl)
91
94-111 mmol/L
Elektrolit
Hasil
Nilai Normal
Non Reaktif, TV
IMUNOSEROLOGI
HBsAg (Elisa)
:0.00
Widal
1/40
Negative 1/80
S. Paratyphi AO
Negative
Negative 1/80
S. Paratyphi BO
1/40
Negative 1/80
S. Paratyphi CO
Negative
Negative 1/80
1/40
Negative 1/80
S. Paratyphi AH
Negative
Negative 1/80
S. Paratyphi BH
1/40
Negative 1/80
S. Paratyphi CH
1/80
Negative 1/80
S. Typhi O
S. Typhi H
11
Nama Test
Hasil
Nilai Normal
AST (SGOT)
181
< 37 /uL
ALT (SGPT)
880
< 41 /uL
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
Hasil
Nilai Normal
AST (SGOT)
126
< 37 /uL
ALT (SGPT)
775
< 41 /uL
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
Hasil
Nilai Normal
IMUNOSEROLOGI
Anti HAV IgM
Equivocal TV 0.40-0.49
Reaktif TV > 0.50
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
AST (SGOT)
84
< 37 /uL
12
ALT (SGPT)
VI.
572
< 41 /uL
RESUME
Seorang anak perempuan berusia 4 tahun datang dengan keluhan demam
sejak 1 minggu yang lalu. Demam hilang timbul dan terkadang lebih tinggi saat
malam hari dibandingkan siang hari. Keluhan demam juga disertai dengan mual,
serta pada kedua mata tampak terlihat kuning sejak 1 hari yang lalu. Badan terasa
lemas dan napsu makan menurun. Saat ini pasien sedang dalam pengobatan TB
paru. Pasien mulai mengkonsumsi OAT sejak 1 minggu yang lalu. Namun, baru
mengkonsumsi obat sebanyak 3x, mulai timbul keluhan demam dan mual. BAK
berwarna kuning pekat seperti air teh. Pasien sebelumnya menderita batuk dan
pilek selama 2 bulan dan didiagnosis menderita TB paru. Pasien nelum pernah
mendapatkan imunisasi apapun.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang
dan pada pemeriksaan mata, didapatkan sclera ikterik pada kedua mata.
13
VII.
DIAGNOSA KERJA
Hepatitis Drug Induced (OAT)
IX.
Hepatitis A
Thypoid fever
PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
-
Stop OAT
Rawat inap
X.
XI.
Inj. Ranitidin 2 x 25 ml
PROGNOSA
Quo ad vitam
: dubia Ad bonam
Quo ad sanationam
: dubia Ad bonam
Quo ad fungsionam
: dubia Ad bonam
FOLLOW UP
9/9/14
S
10/9/14
11/9/14
-Demam
-Mual
-Nafsu makan
-Mual
-Badan lemas
berkurang
-Badan lemas
-Nafsu makan
-Nafsu makan
berkurang
berkurang
-Mata kuning
14
-Mata kuning
O
Tanda Vital
Tanda Vital
Tanda Vital
N : 24x/m
N : 22x/m
N : 24x/m
RR : 88x/m
RR : 88x/m
RR : 88x/m
S : 37,30 C
S : 36,40 C
S : 37,30 C
PF
PF
PF
Mata : CA -/-, SI
Mata : CA -/-, SI
Mata : CA -/-, SI -
+/+
+/+
/-
THT : dbn
THT : dbn
THT : dbn
Leher : KGB
Leher : KGB
teraba membesar
tidak teraba
tidak teraba
Thorax : SN ves,
membesar
membesar
Rh-/-, Wh -/-
Thorax : SN ves,
Thorax : SN ves,
Rh-/-, Wh -/-
Rh-/-, Wh -/-
tekan -
tekan -
tekan -
Hepatitis Drug
Hepatitis Drug
Hepatitis Drug
Induced
Induced
Induced
- IVFD D5%
- IVFD D5%
- IVFD D5%
480/24 jam
480/24 jam
480/24 jam
-Inj. Ranitidin 2 x
-Inj. Ranitidin 2 x
-Inj. Ranitidin 2 x
25 ml
25 ml
25 ml
-Sequest 2 x 1/3
-Sequest 2 x 1/3
-Sequest 2 x 1/3
sach
sach
sach
-Curcuma syr 2 x
cth
cth
cth
-Urdafalk 2 x 100
caps
15
12/9/14
13/9/14
14/9/14
Tanda Vital
Tanda Vital
Tanda Vital
N : 22 x/m
N : 27 x/m
N : 25 x/m
RR : 88 x/m
RR : 90 x/m
RR : 88 x/m
S : 36,30 C
S : 360 C
S : 360 C
PF
PF
PF
THT : dbn
/-
/-
THT : dbn
THT : dbn
teraba membesar
Leher : KGB
Leher : KGB
Thorax : SN ves,
tidak teraba
tidak teraba
Rh-/-, Wh -/-
membesar
membesar
Thorax : SN ves,
Thorax : SN ves,
tekan -
Rh-/-, Wh -/-
Rh-/-, Wh -/-
tekan -
tekan -
Hepatitis Drug
Hepatitis Drug
Hepatitis Drug
Induced
Induced
Induced
- IVFD D5%
- IVFD D5%
- IVFD D5%
480/24 jam
480/24 jam
480/24 jam
-Inj. Ranitidin 2 x
-Sequest 2 x 1/3
-Sequest 2 x 1/3
25 ml
sach
sach
-Sequest 2 x 1/3
-Curcuma syr 2 x
-Curcuma syr 2 x
sach
cth
cth
-Urdafalk 2 x 100
cth
caps
caps
-Urdafalk 2 x 100
-Lesicol 2 x 100
-Lesicol 2 x 100
caps
caps
caps
16
-Lesicol 2 x 100
caps
15/9/14
16/9/14
17/9/14
Tanda Vital
Tanda Vital
Tanda Vital
N : 22 x/m
N : 27 x/m
N : 25 x/m
RR : 88 x/m
RR : 90 x/m
RR : 88 x/m
S : 36,30 C
S : 360 C
S : 360 C
PF
PF
PF
THT : dbn
/-
/-
THT : dbn
THT : dbn
teraba membesar
Leher : KGB
Leher : KGB
Thorax : SN ves,
tidak teraba
tidak teraba
Rh-/-, Wh -/-
membesar
membesar
Thorax : SN ves,
Thorax : SN ves,
tekan -
Rh-/-, Wh -/-
Rh-/-, Wh -/-
tekan -
tekan -
Hepatitis Drug
Hepatitis Drug
Hepatitis Drug
Induced
Induced
Induced
- IVFD D5%
- IVFD D5%
- IVFD D5%
480/24 jam
480/24 jam
480/24 jam
-Sequest 2 x 1/3
-Sequest 2 x 1/3
-Sequest 2 x 1/3
sach
sach
sach
-Curcuma syr 2 x
17
cth
cth
1 cth
-Urdafalk 2 x 100
-Urdafalk 2 x 100
-Urdafalk 2 x 100
caps
caps
caps
-Lesicol 2 x 100
-Lesicol 2 x 100
-Lesicol 2 x 100
caps
caps
caps
18/9/14
S
Tanda Vital
N : 22 x/m
RR : 88 x/m
S : 36,30 C
PF
Mata : CA -/-, SI -/THT : dbn
Leher : KGB tidak
teraba membesar
Thorax : SN ves,
Rh-/-, Wh -/Abd : supel, nyeri
tekan Ext : akral hangat
+/+, oedema -/-
Hepatitis Drug
Induced
- IVFD D5%
480/24 jam
-Sequest 2 x 1/3
sach
18
-Curcuma syr 2 x 1
cth
-Urdafalk 2 x 100
caps
-Lesicol 2 x 100
caps
XII.
ANALISA KASUS
Konsumsi OAT
Reseptor mengalami
pengelompokan
sendiri
Penumpukan asam
empedu dalam hepar
Translokasi fasitoplasmik
ke membran plasma
BAB II
Demam
Peningkatan
SGOT-SGPT
Sclera ikterik
Mual
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB).1,2
Hepatotoksisitas (drug induced hepatitis) didefinisikan sebagai adanya kerusakan atau
jejas pada sel-sel hepar akibat dari zat-zat maupun agen-agen kimiawi.11
Konsep Dasar TB
a. Epidemiologi TB
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency.1,2
Februari 2011 Indonesia diberi penghargaan oleh WHO atas keberhasilan
menurunkan jumlah penderita TB, sehingga menempatkan Indonesia menjadi peringkat
kelima setelah selama satu dasawarsa menempati peringkat ketiga, negara dengan pendertia
TB terbanyak di dunia.1,3
b. Sejarah TB dan Penemuan OAT
20
Tuberkulosis ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit
tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah berabad-abad hidup
bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lesi
tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian juga di Indonesia,
yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi Borobudur.1
Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang
perempuan dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomicin. Segera
disusul dengan penemuan asam para amino salisilik (PAS). Dilanjutkan dengan penemuan
Isoniazid pada tahun 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid pada
tahun 1954 dan etambutol 1952, rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat
ini.2,4
c. Patofisiologi TB
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni
di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.2,6
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).2,4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler.2,5
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
21
22
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.4,5
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.2,3
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.4,5
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.4,6
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.3,4
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah
infeksi primer.12
d. Diagnosis TB
23
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Gold standar diagnosis TB adalah pemeriksaan sputum BTA. Semua suspek TB diperiksa 3
spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). 2,3
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis
TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan
radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktivitas penyakit.3,4
e. Penggunaan OAT sebagai Kemoterapi pada TB1,2,3
Pengobatan TB merupakan masalah yang rumit mencakup waktu penyembuhan yang
lama, kepatuhan disiplin penderita dalam menjalani pengobatan, daya tahan tubuh dan factor
social ekonomi penderita. Ada banyak faktor penyebab yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatan penyakit TB ini antara lain :
1.
Sifat bakteri
24
Kepatuhan Penderita
Non toksik
2.
3.
4.
Aktif terhadap basil yang berada di dalam dan di luar sel, baik pada suasana asam
maupun suasana basa
5.
1)
Sanggup membunuh basil yang aktif, maupun yang tidak aktif (dormant)
INH (Isoniazid)4,5,7
Monografi
Struktur Kimia :
25
T. P. Sycheva, T. N. Pavlova and M. N. Shchukina (1972). "Synthesis of isoniazid from 4cyanopyridine". Pharmaceutical Chemistry Journal 6 (11): 696698.
Nama resmi
: Isoniazidum
Rumus Molekul : C6H7N3O
Berat Molekul
: 137,14
Pemerian
: Hablur putih atau tidak berwarnaatau serbuk hablur putih ; tidak berbau,
perlahan lahan dipengaruhi oleh udara cahaya.
Distribusi
: Keseluruhan jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal,
menembus plasenta, dan masuk ke air susu. Ikatan protein berkisar antara 10-15%
Metabolisme : Dimetabolisme di hati, kecepatan metabolisme ditentukan oleh asetilasi
secara genetik.
26
Waktu paruh : Pada asetilator cepat 30-100 menit, asetilator lambat 2-5 jam; mungkin
diperlambat oleh kerusakan hati atau ginjal parah. Waktu untuk mencapai kadar puncak 1-2
jam
Ekskresi
Penggunaan
Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe
tuberculosis. Efek non terapi dapat dicegah dengan pemberian piridoksin dan pengawasan
yang cermat pada penderita. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama obat lain
untuk tujuan pencegahan dapat diberikan tunggal.
Efek samping:
Mual, muntah, hipersensitivitas, neuropati perifer, kerusakan hati, gangguan hematologi,
reaksi alergi (demam, kulit kemerahan, dan hepatitis sering terjadi), dan insomnia.
Kontra Indikasi :
Hepatitis yang diinduksi oleh obat atau penyakit hati akut karena penyebab apapun, dan
hipersensitif terhadap INH.
Interaksi Obat :
Kadar obat di jaringan meningkat oleh Para Amino Salisilat (PAS). Isoniazid dapat
meningkatkan efek fenitoin, menghambat Penggunaan metabolisme primidon dan
mengurangi toleransi alkohol.
Isoniazid bersamaan dengan rifampisin dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan
terjadinya gangguan fungsi hati.
2) Rifampisin3,4,5
Monografi
Nama resmi
Rumus Molekul
Berat Molekul
Pemerian
: Rifampicinum
: C43H58N4O12
: 822,95
: Serbuk hablur, cokelat merah
27
Sediaan serbuk rifampisin untuk injeksi harus terlindung dari cahaya dan panas dengan
temperatur 400C.
Identifikasi
Spektrum serapan inframerah zat yang didispersikan dalam minyak mineral P menunjukkan
maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada Rifampisin BPFI.
Mekanisme Kerja
Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya berikatan kuat
dengan RNA polimerase yang bergantung pada DNA sehingga akan menghambat sintesis
RNA bakteri. Pada mikobakteri resisten terjadi mutasi pada enzim RNA polimerase ini
sehingga tidak lagi mengikat rifampicin.
Farmakokinetika
1. Absorpsi : Secara oral absorbsi baik, makanan dapat memperlambat atau menurunkan
puncak.
2. Distribusi : Karena sangat lifofilik, dapat menembus sawar darah otak. Berdifusi dari
darah ke cairan serebrospinal, difusi cukup kuat tanpa atau dengan adanya inflamasi.
3.
4.
5.
Ekskresi
: Melalui tinja (60-65%) dan urin (sekitar 30%) sebagai bentuk utuh.
Penggunaan
Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberculosis dan sering
digunakan bersama isoniazid utnuk terapi tuberculosis jangka pendek. Efek sampingnya
beraneka ragam, tetapi insidennya rendah dan jarang sampai perlu menghentikan terapi.
Efek Samping
Gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare. Pada terapi interman dapat
terjadi sindrom influenza, gangguan respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia
hemolitik, anemia, gagal ginjal akut, ikterus, flushing, urtikaria, ruam.
Rifampisin mengakibatkan warna oranye yang tidak membahayakan pada urin, keringat, air
mata, dan lensa kontak (soft lens dapat ternodai secara permanent).
Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap rifampisin, pasien dengan gangguan saluran empedu, serta selama
kehamilan trisemester pertama.
Interaksi Obat
28
Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat,sehingga berbagai obat
hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan berkurang efektifitasnya bila
diberikan secara bersamaan dengan rifampisin. Rifampicin mungkin juga menggangu
metabolisme vitamin D sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang berupa osteomalasia.
3) Pyrazinamide4,6
Monografi
Nama & Struktur Kimia : pyrazine-2-carboxamide (C5H5N3O)
Sifat Fisikokimia : pyrazine-2-carboxamide merupakan serbuk kristal berwarna putih, sangat
larut dalam air dan larut dalam alkohol. pKa 6,1 dan 9,2
Keterangan : pyrazine-2-carboxamide adalah senyawa sintetik antituberkulosis
Indikasi
Antituberkulosa
Penggunaan bukan sebagai obat tunggal, tetapi dikombinasi dengan paling sedikit satu
macam obat antituberkulosa. Misalnya Rifampisin dan INH.
Stabilitas Penyimpanan
Simpan
pada
suhu
kamar
yang
terkontrol
20C
hingga
25C
Tablet pyrazine-2-carboxamide harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, dilindungi dari
cahaya, kelembaban dan suhu panas yang berlebihan.
Kontraindikasi
Hemodialisa
Efek Samping
Atralgia namun minimal, jika keluhan memberat penggunaan segera dihentikan. Selain itu
pyrazinamide dapat juga menyebabkan hepatoksisitas.
Interaksi
Dengan Obat Lain : Menurunkan efek dimana absorbsi menurun jika digunakan bersama
alumunium hidroksida. Hindari penggunaan bersama dengan antasida yang mengandung
alumunium, beri jarak minimal 4 jam dari pemberian etambutol.
Dengan Makanan : Dapat digunakan bersama dengan makanan karena absorbsi tidak
dipengaruhi oleh makanan, dapat menyebabkan iritasi lambung.
Metabolisme Obat di Hati11,12
Hepar merupakan salah satu organ terpenting untuk memetabolisme obat dan
senyawa-senyawa eksogen, terutama yang berasal dari absorpsi di traktus
gastrointestinal. Oleh karena itu, hepar merupakan organ yang rentan terkena paparan, baik
29
dari obat-obat yang dibawa dari saluran pencernaan melalui vena portal maupun produkproduk metabolit yang dihasilkan oleh hepar itu sendiri, yang selanjutnya masuk ke sirkulasi
sistemik melalui vena hepatik.
Akan tetapi, hati bukanlah target utama dari reaksi obat yang dapat merugikan organorgan dalam tubuh. Hanya sekitar 9,5% reaksi obat yang menimbulkan kerusakan hati.1
Meskipun prevalensi kerusakan hati yang diinduksi obat-obatan mungkin relatif tidak terlalu
tinggi dalam masyarakat, namun angka kematian dalam kasus-kasus tersebut seringkali
cukup tinggi, dan pada banyak kasus juga dapat menimbulkan kegagalan hati.
Obat-obatan dan senyawa-senyawa eksogen lain dapat mempengaruhi hati dengan
berbagai cara. Beberapa zat kimia seperti bahan-bahan yang digunakan di laboratorium dan
industri, bahan kimia alami (microcystins misalnya) maupun obat herbal dapat menyebabkan
hepatotoksisitas. Bahan kimia yang menyebabkan kerusakan pada hati yang disebut
hepatotoxin.
Metabolisme obat di hati biasanya dibagi menjadi dua fase, yakni fase 1 dan fase 2.
Reaksi fase 1 termasuk oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi dan banyak lagi reaksi kimia lain.
Fase ini penting untuk meningkatkan kemampuan penyerapan air dari obat-obat tertentu
sehingga mampu memetabolisme agen-agen kimiawi dalam obat-obat tersebut. Fase 2 paling
sering terjadi di sitosol, dimana terjadi konjugasi melalui enzim transferase.
Sejumlah enzim terkait dihasilkan di retikulum endoplasma, yakni cytochrome P-450,
yang penting sebagai enzim pemetabolisme. Cytochrome P-450 adalah komponen oksidase
terminal dari rantai transportasi elektron.
Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi10,11
Sistem Tahap I
Sistem detoksifiksi tahap 1, melibatkan terutama enzim supergen sitokrom P-450,
yang secara umum merupakan enzim pertahanan pertama melawan benda asing. Sebagian
besar bahan kimia di metabolisme melalui biotransformasi tahap 1. Pada reaksi umum tahap
1, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen sebagai kofaktor, NADH, untuk
menambah kelompok reaktif, misal hidroksi radikal.
Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul reaktif yang
ebih toksik daripada molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tida berlanjut pada
metabolism selanjutnya, yaitu tahap 2 (konjugasi), dapat menyababkan kerusakan pada
protein, RNA, dan DNA di dalam sel. Beberapa penelitian menunjukkan bukti terhadap
hubungan antara terjadinya induksi tahap 1 dan berkurangnya aktivitas tahap 2 dengan
meningkatnya resiko penyakit, misalnya kanker, SLE, dan Parkinson.
Sistem Tahap II
Reaksi konjugasi pada tahap 2 umumnya mengikuti aktivasi tahap 1, dimana akan
mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat diekskresikan melalui urin atau empedu.
Beberapa macam reaksi konjugasi terdapat dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan
30
konjugasi glutation, serta asam amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor yang tercukupi
melalui makanan. Banyak yang diketahui mengenai peran dari system enzim tahap 1 pada
metabolisme kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen makanan
tertentu. Walaupun begitu, peran detoksifikasi tahap 1 pada praktek klinik tidak terlalu
diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap 2 lebih diperhatikan dalam penelitian dan praktek
klinik. Dan hanya sedikit yang diketahui saat ini mengenai peran system detoksifikasi pada
metabolism zat endogen.
Mekanisme hepatotoksisitas
Mekanisme kerusakan hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam
empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport
pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi fasitoplasmik ke membran plasma, dimana
reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu kematian sel melalui
apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat
ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya
peran.
Kompleks enzim obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk
berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons
imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu
menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta oksidasi dan enzim-enzim
rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak
epitel saluran empedu.
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler yang
terpengaruh yang dapat dipengaruhi melalui 6 cara :
a.
b.
c.
d.
31
e.
f.
Terdapat 3 karakteristik penting dari sistem P-450 dalam drug induced toxicity:
1. Perbedaan Genetik
Setiap protein P-450 berbeda dan bervariasi dalam proses metabolism obat pada setiap
individu. Variasi genetik dalam metabolism P-450 harus dipertimbangkan untuk setiap
pemberian obat.
2. Perubahan dalam Aktivitas Enzim
Banyak substansi yang yang dapat mempengaruhi mekanisme enzim P-450. Obat-obatan
yang diketahui dapat memodifikasi enzim sitokrom P-450 disebut sebagai inhibitor dan
inducer. Inhibitor enzim tersebut dapat memblok aktivitas metabolik dari enzim P-450.
3. Penghambatan Kompetitif
Beberapa obat dapat menghambat P-450 sehingga menghalangi bio transformasi kompetitif
mereka. Hal ini dapat menyebabkan akumulasi obat yang harus dimetabolisme oleh enzim.
Jenis interaksi obat juga dapat mengurangi tingkat generasi substrat beracun.
2.4 Mekanisme Kerusakan Hati12,13
Ada berbagai macam obat yang dapat menyebabkan injury pada hepar, baik secara
klinis maupun patologis.
1. Interferensi uptake bilirubin, ekskresi dan konjugasi
Tipe ini bisa dilihat sebagai suatu varian dari toksisitas kolestasis. Sebagai contoh,
Rifampicin dapat mengganggu transportasi bilirubin sehingga menimbulkan
hiperbilirubinemia.7
2. Sitotoksik injury
Tipe ini mengacu pada kerusakan dari parenkim dan merupakan tipe hepatotoksisitas yang
relatif lebih serius daripada tipe sebelumnya.8
3. Cholestatic injury
Jenis ini meliputi terperangkapnya aliran empedu dan menimbulkan jaundice yang dapat
terlihat mirip dengan obstruksi bilier. Tipe ini relatif kurang serius dibanding sitotoksik
injury, dengan tingkat kematian yang lebih rendah.
4. Campuran sitotoksik dan cholesatic injury
Kerusakan hati yang bersifat sitotoksik terkdang dapat disertai dengan kolestasis, misalnya
setelah penggunaan terapi asam aminosalisilat.9
32
5. Lemak hati
Lemak hati (steatosis) dapat dianggap sebagai jenis cedera sitotoksik, tetapi juga bisa menjadi
bentuk kerusakan hati kronis.
6. Sirosis
Sirosis makronodular dapat langsung terjadi setelah kerusakan hati akut, dan kolestasis
jaundice dapat mengakibatkan sirosis bilier primer.
7. Phospholipidosis
Hal ini mungkin dapat terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan seperti Coralgil, (4, 4'diethylaminoethoxyhexestrol dihidroklorida), dan ditandai oleh hepatosit yang penuh dengan
lipid (10)
8. Tumor hepar
Lesi neoplastik dapat muncul akibat penggunaan obat-obatan. Adenoma dari sel hati telah
terbukti memiliki keterkaitan dengan penggunaan kontrasepsi steroid (11)
9. Lesi vascular
Oklusi vena hepatika, seperti efek thrombogenic dari kontrasepsi
mengakibatkan kerusakan hati.
steroid, dapat
33
e. Penyakit hepar : pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya
memiliki peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-450
berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya. Modifikasi
dosis pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan mengenai enzim
spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B
atau C, resiko efek hepatotoksik meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien
dengan sirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada obat
f. Faktor genetik : gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada
enzim P-450 menyebabkan reaksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi
idiosinkratik. Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang menyebabkan rendahnya
metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan
amplifikasi PCR dari gen mutasi.
g. Penyakit lain : seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap
reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation
h. Formulasi obat : obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar
dibandingkan dengan obat-obatan short-acting.
2.6 Manifestasi Klinis Hepatoksisitas12,13
Gambaran klinis hepatotoksisitas karena obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan atau
substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Onset umumnya cepat, gejala berupa
malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut berat terutama bila pasien masih
meminum obat tesebut setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan
maka konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada
kolestasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul
hepatik dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis
biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin
terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.
2.7 Diagnosis12
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas karena
obat berdasarkan :
-
Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari lima
hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih 15 hari dari
penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim
hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau
sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas
34
normal dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik)
dari reaksi obat.
Alternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi hati
tiap kasus.
Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak
kenaikan dua kali lipat enzim hati.
Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau jika dua dari
tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat.
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan
disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di
dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis
banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan
penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan resiko tinggi kerusakan hati
persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum
obat dan membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal esensial dalam
diagnosis hepatotoksisitas karena obat.
35
tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam
beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral; 50%
kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.
2.9 Pengobatan dan Prognosis Hepatotoksisitas12
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan responpositif pada pemaparan ulang obat.
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tapi kemungkinan sekecil
apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada pasien dengan disfungsi
hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat
herbal atau obat alternatif. Obat harus menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes
fungsi hati atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yanng menjadi penyebab
berhubungan dengan resiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit
sebelum minum obat dan membaik secara nyata setelah obat tersebut dihentikan merupakan
hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat.
Terapi untuk mengatasi hepatotoksisitas imbas obat belum ada antidotum yang
spesifik untuk setiap obat. Oleh karena itu terapi efek hepatotoksik yang baik adalah segera
menghentikan penggunaan obat-obat yang dicurigai.
Dalam kebanyakan kasus, fungsi hati akan kembali normal jika menyinggung obat
dihentikan awal. Selain itu, pasien mungkin memerlukan pengobatan suportif. Kegagalan hati
fulminan dari hepatotoksisitas yang diinduksi obat mungkin memerlukan transplantasi hati.
Di masa lalu, glukokortikoid dalam fitur alergi dan asam ursodeoxycholic dalam kasus
kolestasis telah digunakan, tetapi tidak ada bukti yang baik untuk mendukung efektivitas
mereka.
Ketinggian di tingkat bilirubin serum lebih dari 2 kali ULN dengan kenaikan
transaminase yang terkait adalah sebuah tanda sial. Hal ini menunjukkan hepatotoksisitas
berat dan cenderung mengarah pada kematian dalam 10% sampai 15% dari pasien, terutama
jika obat yang menyinggung tidak berhenti. Hal ini karena memerlukan kerusakan yang
signifikan ke hati untuk mengganggu ekskresi bilirubin, maka kerusakan kecil (tanpa adanya
obstruksi bilier atau sindrom Gilbert) tidak akan menyebabkan ikterus. Prediktor miskin
lainnya dari hasil adalah usia tua, jenis kelamin perempuan, SGOT tinggi.
Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang
dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belum
ada bukti penelitian klinis dengan kontrol. Demikian juga penggunaan ursodiol pada keadaan
kolestatik. Prognosis gagal hati akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk, dengan angka
mortalitas lebih dari 80%.
36
BAB III
KESIMPULAN
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang selalu ada pada
setiap obat yang diberikan, karena hati merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat
dan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Kejadian jejas hati karena obat mungkin jarang
terjadi, namun akibat yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar
idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan.sebagian lagi tergantung dosis obat.
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mudah menembus membran sel intestinal.
Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui proses biokimiawi di dalam hepatosit,
menghasilkan produk larut air yang diekskresikan ke dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui system enzim
sitokrom P-450.
Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol/streptomisin, dan tiga obat yang disebut pertama bersifat hepatotoksik. Faktorfaktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien perempuan,
status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alkohol, memiliki dasar penyakit hati, karier hepatitis B,
prevalensi hepatitis viral yang meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbuminemia,
tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya.
Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLA-DR2 dengan tuberkulosis paru
37
pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap
tuberkulosis, sedangkan resiko hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga
dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut,
albumin serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat.
Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis
dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik. Pada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV
mempunyai resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis lima dan empat kali lipat.
Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan HbeAg-negatif yang inaktif
dapat diberikan obat standar jangka pendek INH, rifampisin, etambutol dan/atau pirazinamid
dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10%
pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi
aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya
menunjukkan respons adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak
tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam
beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral; 50%
kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.
Mekanisme terjadinya jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein
transpor pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas
asam empedu. Terjadi penumpukan asam empedu di dalam hati karena gangguan transpor
pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana
reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui
apoptosis. Di samping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat
ikatan kovalen obat dengan enzim. Kompleks enzim-obat ini migrasi ke permukaan sel di
dalam vesikel untuk berperan sebagai imunogen bagi sel T sitotoksik dan berbagai sitokin.
Gambaran klinis hepatotoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Oleh karena itu riwayat pemakaian
obat atau substansi hepatotoksik lain harus diungkap. Onset umumnya cepat, gejala berupa
malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut yang berat terutama bila pasien masih
minum obat itu setelah terjadi onset. Bila jejas hepatosit lebih dominan maka konsentrasi
aminotransferase akan meningkat paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan
kenaikan akalifosfatase dan billirubin menonjol pada kolestasis. Mayoritas reaksi obat
idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis
dan apoptosis bervariasi. Pada kasus gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari
atau minggu sejak minum obat bahkan sesudah obat penyebab dihentikan. Berdasarkan
Internatonal Concensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
a.
Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi nyata
adalah sugestif (5-90hari dari awal minum obat) atau kompatibel (<5 hari atau
>90 hari Sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian
obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat
untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
38
b.
c.
d.
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tapi kemungkinan sekecil
apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada pasien dengan disfungsi
hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat
herbal atau obat alternatif. Obat harus menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes
fungsi hati atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yanng menjadi penyebab
berhubungan dengan resiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit
sebelum minum obat dan membaik secara nyata setelah obat tersebut dihentikan merupakan
hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat.
Terapi untuk mengatasi hepatotoksisitas imbas obat belum ada antidotum yang
spesifik Oleh karena itu terapi efek hepatotoksik yang baik adalah segera menghentikan
penggunaan obat-obat yang dicurigai.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium
Tuberkulosis. Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis
JAMA 1995 ; 273 : 220-26.
3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and
in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 7.
5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan
Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum
An International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243
47.
7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan
Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
8. Lee WM. Drug-Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349: 474-85.
9. Sudoyo, et al. 2006. Buku ajar Imu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi 4. FKUI. Jakarta.
10. Liska, DJ. The Detoxification Enzyme Systems. Altern Med Rev 1998; 3(3): 187-198.
11. Navarro, VJ. Drug-Related Hepatotoxicity. N Engl J Med 2006; 354: 731-9.
12. Mehta, N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Download dari
http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview diakses pada 12 Maret
2009
40
41