menyambarnya. Lalu ia tuangkan ikan gulai tanpa garam dan sayur ke mangkuk nasi. Kemudian
disuapinya Emak dengan lembut.
Sesekali aku menatap Maisya yang dari tadi sibuk dengan handphone-nya. Entah sudah
berapa kali ia keluar ruangan untuk menerima telepon. Bahkan ketika Emak ingin bicara padanya, ia
lebih memilih berkata nanti saja dan membawa keluar handphone-nya yang berdering.
Sejak kapan Maisya disini, San? tanyaku pada Susanti sambil mengusap lembut rambut
Emak.
Tadi pagi datangnya, Bang. Sekitar jam tiga dini hari. Datang bersama Mas Rahman,
suaminya, dan anak-anak mereka. Tapi Mas Rahman dan anak-anak hanya sebentar saja disini,
mereka menginap di hotel. Jawab Susanti tanpa berhenti menyuapi Emak. Sesekali ia mengelap
mulut Emak dan membantu Emak untuk minum.
Kamu ngga kuliah? tanyaku lagi.
Susanti tersenyum sembari melihat pada Emak, Maaf ya Bang... Padahal aku kuliah pakai
uang Abang, tapi...
Adikmu inilah satu-satunya yang mau merawat Emak, Nak. Kata Emak memotong kalimat
Susanti. Tapi Emak janji, akan cepat sembuh atau cepat mati agar Susanti bisa kembali ke
kampusnya. Jangan kau sesali membiayainya kuliah.
Ssssttt... Emak, jangan ngomong begitu! ujar Susanti.
Aku hanya bisa mengangguk. Aku sudah dengar kabar tentang Samira, adikku diatas
Susanti yang sedang libur semester, namun enggan pulang karena sibuk dengan kegiatan organisasi
yang entah apa dikampusnya. Aku juga sudah dengar tentang Hanafi, adikku diatas Samira, yang
sudah sekali kesini namun belum sehari kembali lagi dengan alasan menyelesaikan skripsi.
Susanti, Bang, Emak, Maisya pamit dulu, anak-anak minta jalan-jalan nih. Kata Maisya
tiba-tiba datang. Ia menyalami Emak dan menyalamiku, juga Susanti, kemudian melangkah keluar
tanpa rasa apa-apa.
Entah apa yang kemudian bergejolak dihatiku. Aku menanyakan satu-persatu tentang
saudaraku. Dua kakakku, Salimah dan Yanti, keduanya tinggal di Turki, bekerja sebagai dosen dan
tidak bisa meninggalkan suami dan pekerjaan mereka disana. Dibawah Maisya ada pula Yahya, yang
baru saja diterima bekerja di perusahaan minyak setelah menamatkan S1-nya di jurusan
perminyakan. Kerja di pelosok dengan gaji cukup besar, namun belum juga mengunjungi Emak
karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Emak senang, anak-anak Emak sekarang sudah sukses semua. Hanafi sudah digaet
perusahaan ternama. Sementara Samira calon arsitek perempuan. Tinggal Susanti ini lah, tidak mau
berkembang. Disuruh kuliah ke luar kota malah menolak. Kerjanya mengekori Emak saja. Ujar Emak
memecah keheningan.
Susanti tertawa manja. Sementara aku mulai kagum dengan adikku yang satu ini. Ya, hanya
dialah yang ambisinya, saat SMA, untuk menjadi seorang dokter tertahan karena begitu lulus
dihadapkan dengan Emak yang mulai sakit-sakitan. Bahkan, dulunya ia mengikuti olimpiade biologi
hingga tingkat nasional. Belum lagi prestasinya selama di sekolah. Dialah yang paling banyak
menyumbang kebanggaan di keluarga kami. Belum lagi riwayat organisasinya sebagai ketua OSIS,
membuktikan kemampuannya sebagai organisator sekaligus motivator. Tapi, ia lebih memilih tinggal
untuk menjaga Emak, merawat Emak, menemani lemahnya Emak.
Matahari semakin condong ke barat, ruangan mulai remang. Susanti menghidupkan lampu
dan mempersiapkan alat mandi Emak. Dengan telaten, ia memandikan beliau, mengganti baunya
popok Emak, merawat luka-luka, menyisir rambut Emak, dan berbagai hal lainnya.
Aku terguncang, air mataku entah kenapa tiba-tiba turun melihatnya. Segera kulangkah
kakiku ke luar ruangan, menyembunyikan keharuanku. Susanti, bagaimana mungkin ia korbankan
cita-citanya demi Emak?
***
Emak lumayan lama dirawat di rumah sakit saat itu, hampir dua bulan. Namun apa daya,
nyawa ada ditangan-Nya, Yang Maha Kuasa.
Ketika Emak meninggal, semuanya kembali pulang, menangis dan menyesal, berkabung
dalam cerita-cerita hampa. Sementara itu Susanti repot melayani mereka. Mulai dari memasaki
hingga mencucikan baju, tidak satupun anak-anak perempuan lain dikeluarga kami bersedia
membantunya. Paling hanya Samira yang sesekali membantu untuk menyapu, tapi kemudian
kembali sibuk mengetik di laptopnya. Karena bagi saudara-saudaraku yang lain, pekerjaan rumah itu
bukanlah level mereka lagi. Dengan uang yang mereka punya, mereka hanya perlu menyewa
beberapa orang pembantu untuk melakukan itu.
Kini, dua puluh tahun sudah berlalu. Kakak pertama kami, Salimah, telah menjadi tua di
Turki. Suaminya sudah meninggal, anak-anaknya pun sudah menyebar ke seantero dunia. Ia pun
telah menjadi sakit-sakitan.
Anaknya yang paling tua, Jihan, membawanya pulang ke Indonesia, ke rumah kami yang
kini ditinggali Susanti, suami, dan dua anaknya. Di sanalah Susanti kemudian merawat Kak Salimah
yang juga mendapat Diabetes Mellitus. Seperti merawat Emak, semua diurusi Susanti, mulai dari
merawat luka-luka hingga mengganti popok. Bukan berarti Susanti sama sekali tidak punya
pekerjaan. Ia bahkan sudah berstatus direktur poliklinik. Tapi, ia tetap membagi waktunya untuk
merawat Kak Salimah.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti, aku bangga pada Susanti. Bagiku, ialah anak
Emak yang paling sukses.