Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh
Riza Wardhilah
0808151257
Pembimbing:
dr. Enny Lestari , Sp.S
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Fungsi luhur memungkinkan manusia dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani sesuai dengan nilai moral yang berlaku, berkembang pada manusia melalui
mekanisme neuronal yang memungkinkan penyadaran dan pengenalan segala sesuatu
yang berasal dari dunia diluar dirinya, sehingga menjadi pengalaman dan miliknya yang
dapat dimanfaatkan untuk mengekpresikan dirinya kepada dunia luar secara adekuat.
Fungsi luhur dalam keadaan normal merupakan fungsi integritas tertinggi otak yang
dapat dinilai.
2.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulis dalam referat ini adalah sebagai berikut:
1. Melengkapi tugas kepanitraan klinik senior pada bagian ilmu penyakit saraf RSUD
Arifin Achmad, Pekanbaru.
2. Menguraikan tentang penyakit gangguan fungsi luhur terutama demensia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Bagian otak yang berhubungan dengan fungsi emosi adalah sistem limbik, dan yang
mengurusi emosi adalah hipokampus, amigdala, corpus mamillare, nuclei anterior thalamus,
dan girus singulatus.
4. Fungsi kognitif
Fungsi kognisi adalah suatu proses mental untuk memperoleh pemahaman/pengertian
terhadap sesuatu dalam proses berpikir sehingga melahirkan tindakan. rangkaian proses
kognisi diantaranya sensasi, persepsi, asosiasi, pikiran, perhatian, pertimbangan, memori.
Sindrom Lobus
1. Sindrom lobus frontalis
a. Kerusakan area 44 (broca) afasia motorik
b. Kerusakan daerah prefontal (9, 10, 11, 12)
1) Gangguan tingkah laku
2) Hilangnya sikap pantas teerhadap sekitarnya
3) Kurangnya pengendalian diri
4) Kurang inisiatif dan kreasi
5) Tabulla (masa bodoh)
6) Bersenang hati yang tidak sesuai (eforia)
7) Berkelakar tidak pada tempatnya (witzelsucht)
8) Menangis, tertawa, yang cepat berantian tanpa perasaan sedih dan gembira.
2. Sindrom lobus parientalis
a. Kerusakan pada area 5 dan 7 (pusat asosiasi, perabaan), tidak mengenal perabaan
atau agnosia taktil.
b. Kerusakan pada area 40 (astereo gobsis) yaitu hilangnya kemampuan mengenal
dengan sensibilitas taktil, seperti tidak bisa membedakan bentuk, ukuran, dan susunan
objek.
3. Sindrom lobus oksipitalis
a. Kerusakan pada area 7 (buta central)
b. Kerusakan pada area 18 dan 19 (dominan korpus kulosum posterior)
c. Kerusakan pada lobus oksipitalis dominan yaitu agnesia warna tetapi tidak sama
dengan buta warna
d. Kerusakan pada bagian inferior lobus oksipitalis temporalis bilateral yaitu tidak
mengenal wajah orag yang dikenal tetapi apabia mendengar suaranya akan mengenal
orang itu
e. Kerusakan pada bagian inferolateral lobus okspitalis dominan adalah simul taknosa
yaitu tidak mengenal suatu objek secara utuh tetapi mengenal objek itu secara detail.
4. Sindrom lobus temporalis
a. Kerusakan pada pusat otak primer area 14 dan 42 yaitu tuli central atau kortikal,
b. Kerusakan pada area wernicke yaitu aphasa sensoris,
c. Kerusakan pada temporalis kiri yaitu gangguan memori verbal dan agnosia musik
Demensia
Menurut International Classification of Deases 10th revision (ICD-10) demensia
merupakan suatu keadaan perburukan fungsi intelektual meliputi memori dan proses berfikir,
sehingga mengganggu aktivitas sehari-sehari. Gangguan khas mempengaruhi registrasi,
penyimpanan, dan pengambilan kembali informasi, dalam hal ini harus terdapat gangguan
berfikir dan reasoning disamping memori. Sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada
penyakit serebrovaskuler, dan pada kondisi lain yang mengenai otak.
Demensia cenderung berkembang terutama pada orang tua. Sekitar 5% sampai 8%
dari semua orang di atas usia 65 tahun mengalami demensia. Prevalensi paling tinggi di
Amerika Latin (8,5%), dan prevalensi paling rendah dalam empat sub-Sahara Afrika (2% 4%). Diperkirakan 35,6 juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia pada tahun 2010,
dengan angka diperkirakan hampir dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta pada
tahun 2030 dan 115,4 juta pada tahun 2050. Pada tahun 2010, 58% dari semua orang dengan
demensia tinggal di negara berpendapatan menengah ke bawah, dengan proporsi ini
diperkirakan meningkat menjadi 63% pada tahun 2030 dan 71% pada tahun 2050.
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan
struktur otak, sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
Demensia Alzheimer
Saat ini, penyakit Alzheimer merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada
populasi lansia dan menduduki peringkat ke 4 sebagai penyebab kamatian. Lima puluh
sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah
kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di
transmisikan sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori,
kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.
Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak;
meskipun demikian, demensia Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis
setelah penyebab demensia lain telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.
Penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, namun ada beberapa
faktor yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya demensia tipe ini sebagai berikut:
a.
Faktor genetik
Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat
keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor
genetik dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut.
b.
c.
Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer.
Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih
besar daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki
dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak
memiliki gen tersebut.
d.
Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer
menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel
serebri. Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal
dan protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga
terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas ditemukan pada penyakit
Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada penyakit lain.
e.
Neurotransmitter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer
adalah asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada
penyakit Alzheimer. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada Alzheimer
adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.
Adapun demensia Alzheimer dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
2. Disfungsi eksekutif
kesulitan berbelanja
Pemeriksaan Neurologi :
Pada stadium ringan dan sedang jarang ditemukan deficit neurologis fokal.
Pemeriksaan neurologis penting untuk menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyebabkan
demensia.
Tabel Gambaran demensia akibat penyakit (degeneratif) lain
Pemeriksaan Neuropsikologi :
Pemeriksaan status mental merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk
menilai defisit kognitif tetapi bukan satu-satunya metode untuk menentukan diagnosis.
Pemeriksaan neuropsikologi harus dinilai secara komprehensif dengan informasi dari
caregiver termasuk penilaian fungsional, pemeriksaan neurologi dan juga pemeriksaan
penunjang.
Adapun berbagai instrumen pemeriksaannya adalah :
1. Mini Mental State Examination (MMSE), untuk menilai defisit kognitif secara
cepat. Pemeriksaan ini menilai orientasi, memori, bahasa, dan kemampuan
visuospasial dengan nilai maksimal 30.
Skor :
Pemeriksaan elektrolit
Pemeriksaan glukosa
2. Pemeriksaan radiologi
MRI atau Ct-Scan otak alah pemeriksaan radiologi yang utama. Pada
penderita Alzheimer, MRI atau CT-scan akan menunjukkan atrofi
serebral atau kortikal yang difus.
3. EEG
Pemeriksaan ini menunjukkan penurunan aktivitas alfa dan peningkatan aktivitas
teta yang menyeluruh.
4. Pungsi lumbal
2. VaD subkortikal
a. Lesi iskemik substansia alba
b. infark lakuner subkortikal
c. infark non lakuner subkortikal
3. VaD tipe campuran
Mekanisme demensia vaskular :
a. Degenerasi yang disebabkan faktor genetic, peradangan, atau perubahan biokimia.
b. Aterosklerosis, infark thalamus, ganglia basalis, jaras serebral, dan area di sekitarnya.
c. Trauma, lesi di serebral terutama di lobus frontalis dan temporalis, korpus kalosum, dan
mesensefalon.
d. Kompresi, TIK meningkat, dan hidrosefalus kronis
Diensefalon dan lobus temporalis lebih dominan untuk memori jangka panjang
dibandingkan dengan korteks lainnya. Kegagalan dalam tes fungsi verbal (afasia)
berhubungan dengan gangguan di hemisfer serebral dominan, khususnya di bagian
perisilvian dari lobus frontalis, temporalis, dan parientalis. Kehilangan kemampuan
membaca dan berhintung berhubungan dengan lesi di hemisfer serebri dominan bagian
posterior. Gangguan menggambar dan membangun bentuk sederhana dan kompleks
dengan balok, tongkat, serta mengatur gambar, biasanya terjadi bila terdapat lesi di
lobus parientalis hemisfer serebri nondominan
Manifestasi klinis :
Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang mengganggu kegiatan
harian seseorang seperti: mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar, dan
kecil. Pada demensia jenis ini tidak didapatkan gangguan kesadaran. Gejala dan disabilitas
telah timbul paling sedikit 6 bulan pasca stroke.
Untuk menentukan demensia diperlukan kriteria yang mencakup :
a. Kemampuan intelektual menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan dan
lingkungan.8
b. Defisit kognitif selalu melibatkan memori, biasanya didapatkan gangguan berpikir
abstrak, menganalisis masalah, gangguan pertimbangan, afasia, apraksia, kesulitan
konstruksional, dan perubahan kepribadian.
c. Kesadaran masih baik
Defisit neurologic fokal pada pemeriksaan fisik sesuai dengan gejala stroke
3. Terdapat hubungan antara kedua gangguan diatas (1 atau lebih keadaan dibawah ini) :
Awitan demensia berada dalam kurun waktu 3 bulan pasca stroke
Defisit kognisi yang progresif dan bersifat stepwise
Probable VaD subkortikal
1. Sindroma kognisi meliputi:
Sindroma
diseksekusi,
gangguan
formulasi
tujuan,
inisiasi
perencanaan,
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium ( darah, hematologi faktor resiko stroke)
2. Radiologis ( foto thorak, radioimaging)
3. Computed tomography
a. VaD pasca stroke
Infark
Perdarahan intrasrebral
Perdarahan subarachnoid
b. VaD subkortikal
Penatalaksanaan Demensia :
Non Farmakologis
Untuk mempertahankan fungsi kognitif meliputi:
A. Program adaptif dan restorative yang dirancang individual
Orientasi realitas
Reminiscence
B. Edukasi pengasuh
C. Intervensi lingkungan
Fasilitas aktivitas
Terapi cahaya
Terapi musik
Pet therapy
Bersosialisasi
Farmakologis
Tabel jenis, dosis dan efek samping obat-obatan demensia
Tabel jenis, dosis dan efek samping obat-obatan untuk gangguan psikiatrik dan perilaku pada
demensia
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Iswari Mega. Anatomi Fisiologi dan Neorologi Dasar. Padang: UNP Press. 2010.
3.
4.
Misbach J, Hamid BA, Mayza A, Saleh KM, Buku pedoman standar pelayanan medis
dan standar prosedur operasional Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta, Juni 2006.
5.
Prof. DR, Mahar Mardjono; Prof.DR, Priguna Sidharta; neurolgi klinis dasar; Dian
rakyat; 2009 Bab VI halaman 211-213.
6.
Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001
Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26
7.
Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga University
Press. 2005.193