PENGERTIAN
secara etimologi at-taflis berarti pailit(muflis) atau jatuh miskin.
Dalam hukum positif, kata pailit mengacu kepada keadaan orang yang
terlilit oleh hutang.
Dalam bahasa fiqih, kata yang digunakan untuk
pailit adalah iflas (berarti : tidak memiliki harta/fulus).
secara terminologi,at-taflis hutang seseorang yang menghabiskan
seluruh hartanya hingga tidak ada yang tersisa sedikitpun baginya karena
digunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Sedangkan at-taflis
(penetapan pailit) didefinisikan oleh para ulama fiqih :
keputusan hakim yang melarang seorang bertindak hukum atas hartanya.
HUKUM
TAFLIS
At-taflis adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh kekayaannya habis
hingga tidak tersisa untuk membayar hutang.
Hukum-hukumnya :
1.Dikenakan al hajru jika para kreditur menghendakinya. (abu hanifah berpendapat tidak
dikenakan aljahru).
2.Seluruh assetnya dijual untuk melunasi hutang, kecuali pakaian dan makanan.
Jika seorang kreditur menemukan barangnya dalam kondisi utuh tanpa cacat, maka
ia berhak mengambilnya daripada kreditur lain, dengan syarat ia tidak pernah
mengambil dari uang hasil penjualan barang tersebut. Jika ia pernah mengambil, maka
haknya sama dengan kreditur yang lain. Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,
barangsiapa menemukan barangnya di orang yang telah bangkrut, maka ia lebih
berhak terhadapnya. (HR.Muttafaq alaih).
PAILIT
Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqih tentang penetapan seseorang jatuh pailit dan
statusnya berada dibawah pengampuan, apakah perlu ditetapkan melalui keputusan hakim
atau tidak. Ulama malikiyah, dalam persoalan ini, memberikan pendapat secara rinci.
1.
Sebelum seseoarang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang berhak melarang
orang yang jatuh palit itu bertindak hukum terhadap sisa hartanya dan membatalkan
seluruh tindakan hukum yang membawa mudharat kepada hak-hak mereka, seperti
mewasiatkan harta, menghadiahkan dan melakukan akad mudharabah.
2.
Persoalan utang piutang in tidak diajukan kepada hakim, dan antara yang berutang
dengan orang-orang yang memberi utang dapat melakukan ash-shulh (perdamaian). Dalam
kaitan dengan ini, orang yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan bertindak hukum yang
bersifat pemindahan hak milik sisa hartanya seperti, wasiat, hibah, dan kawin.
3.
Pihak yang memberi hutang mengajukan gugatan (seluruhnya atau sebagiannya)
kepada hakim agar orang yang berhutang itu dinyatakan jatuh pailit, serta mengambil sisa
hartanya untuk membayar utang-utangnya. Gugatan tersebut diajukan besrtakan bukti
bahwa hutang yang ia miliki melebihi sisa hartanya dan hutang tersebut telah jatuh tempo
pembayarannya
STATUS
HUKUM
Para ulama fiqh juga mempersoalkan status hukum orang yang jatuh pailit.
Apakah seseorang yang telah dinyatakan pailit harus berada dibawah pengampuan
hakim atau harus ditahan atau dipenjara. Dalam persoalan ini terdapat perbedaan
pendapat ulama fiqh.
Imam hanifah berpendapat bahwa orang yang jatuh pailit
tidak dinyatakan sebagai orang yang berada dibawah pengampuan, sehingga ia
tetap dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Dengan kata lain beliau
mengatakan seseoarang yang jatuh pailit karena terlilit utang tidak boleh
ditahan/dipenjarakan, karena memenjarakan seseorang berarti mengekang
kebebasannya terhadap makhluk merdeka.
Dalam hal ini hakim boleh memerintahkan untuk melunasi utang-utang itu,
apabila perintah hakim ini tidak diikuti, maka hakim boleh menahannya sampai
lunas hutang tersebut dan menyuruh si pailit agar menjual sisa dari hartanya untuk
melunasi hutang itu.
Apabila seseorang telah dinyatakan pailit oleh hakim, maka para ulama fiqh
sepakat bahwa segala tindak hukum si pailit dinyatakan tidak sah, harta yang
berada ditangan seorang yang pailit menjadi hak para pemberi piutang, dan
sebaiknya kepailitanya diumumkan kapada khalayak ramai, agar khalayak lebih
berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang yang pailit tersebut.
Ulama hanafiyah mengemukakan bahwa seorang hakim boleh melakukan
penahanan sementara pada orang yang pailit tersebut, apabila memenuhi 4 syarat
berikut :
1. Utangnya telah jatuh tempo pembayaran
2. Diketahui bahwa orang yang pailit ini mampu untuk membayar utang-utangnya,
tetapi tidak ia lakukan, sesuai dengan hadist rasulullah yang menyatakan :
saya berhak untuk menahan sementara orang yang enggan membayar
utangnya, karena perbuatan itu bersifat zalim.(HR. bukhari dan muslim).
3. Orang yang jatuh pailit itu bukan ayah atau ibu dari orang yang pemberi piutang
4. Orang yang memiliki piutang mengajukan tuntutn kepada hakim agar orang yang
jatuh pailit itu dikenakan penahanan sementara
AKIBAT
HUKUM
Ada empat hukum yang terkait dengan hajr terhadap orang yang berhutang yang jatuh pailit
sebagai berikut :
1. Keterkaitan hak orang-orang yang member hutang dengan harta bendanya (penghutang yang
pailit ).
2. Larangan membelanjakan hartanya ketika terkena hajr, namun pembelanjaan yang dilakukan
sebelum terkena hajr tetap boleh .
3. Seorang hakim berhak menjual hartanya dan membayarkannya kepada orang-orang yang
memberikannya hutang. Pembagiannya dimulai dariorang yang mempunyai gadai padannya.
Hakim membayarkannya lebih kecil dari hutangnya atau sesuai dengan harga barang yang
digadaikan. Kemudian hakim baru membayarkan hutang-hutangnya yang lain dengan cara
yang adil.
4. Orang yang mendapati hartanya ditangan pihak penghutang yang jatuh pailit lebih berhak
atas harta itu dari pada pemberi hutang yang lain. Hal ini jika barang dagangan masih ada
dan belum rusak sedikitpun serta tidak bertambah. Selain itu, jika penjual belum menerima
harganya dan jika tidak ada orang mempunyai hak atas harta itu,seperti hak hibah,syufah dan
lain sebagainya.
PENCABUTAN STATUS
Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan illatnya.
Apabila ada illatnya maka hukum berlaku, dan apabila illatnya hilang maka hukum itu tidak
berlaku. Dalam persoalan orang yang dinyatakan jatuh pailit dan berada dalam status
dibawah pengampuan. Apabila hartanya yang ada telah dibagikan kepada pemberi piutang
oleh hakim apakah statusnya sebagai orang yang dibawah pengampuan hapus dengan
sendirinya. Dalam hal ini jumhur ulama fiqh berpendapat :
Ulama syafiiah dan hanabilah mengemukakan bahwa apabila harta sipailit telah
dibagi kepada pemberi piutang sesuai dengan perbandingannya, dan sekalipun tidak lunas,
maka status di bawah pengampuan dinyatakan dihapus, karena sebab yang menjadikan ia
berada dibawah pengampuan telah hilang.
Sebagian ulama syafiiah dan hanabilah berpendapat juga bahwa status orang pailit
sebagai orang yang berada dibawah pengampuan tidah hapus, kecuali dengan keputusan
hakim, karena penetapannya sebagai orang yang berstatus dibawah pengampuan didasarkan
pada keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus dengan keputusan hakim.