Anda di halaman 1dari 7

Fitnah dan Suara Wanita

Mar'ah Muslimah
22/6/2012 | 02 Shaban 1433 H | Hits: 1.988

Oleh: Tim dakwatuna.com

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com - Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau


agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan
haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita, memberikan
haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan
wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak
perempuan.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya
sebagai istri. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan
memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam memuliakan wanita,
memberikan haknya, dan memelihara serta melindunginya sebagai
anggota masyarakat.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif)
dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak
akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas
yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk
laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat
kembali surat al-Baqarah: 35)
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam, baik Al-Quran
maupun As-Sunnah shahihah, yang mengatakan bahwa wanita
(Hawa; penj.) yang menjadi penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari
surga dan menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak,

sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Bahkan AlQuran menegaskan bahwa Adamlah orang pertama yang dimintai
pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha: 115-122).
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang
merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya
serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara.
Padahal, syariat Islam sendiri telah menempatkan wanita pada
proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai
perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai ibu.
Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita tersebut
sering disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam),
padahal Islam bebas dari semua itu. Orang-orang yang bersikap
demikian kerap menisbatkan pendapatnya dengan hadits Nabi SAW
yang berbunyi: Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian
langgarlah (selisihlah).
Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu). Tidak ada nilainya sama
sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau dari segi ilmu (hadits).
Yang benar, Nabi SAW pernah bermusyawarah dengan istrinya,
Ummu Salamah, dalam satu urusan penting mengenai umat. Lalu
Ummu Salamah mengemukakan pemikirannya, dan Rasulullah pun
menerimanya dengan rela serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran
Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering menisbatkan
kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa Wanita itu jelek segalagalanya, dan segala kejelekan itu berpangkal dari wanita.
Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia bukan dari logika
Islam, dan bukan dari nash.
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Quran
selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah, wanita beriman
dengan laki-laki beriman, wanita yang taat dengan laki-laki yang taat,
dan seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
Suara Wanita

Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya


tidak boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau
mahramnya. Sebab, suara dengan tabiatnya yang merdu dapat
menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.
Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran,
mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Quran memperbolehkan laki-laki
bertanya kepada istri-istri Nabi SAW dari balik tabir? Bukankah istriistri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat
daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang
diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain
mereka? Namun demikian, Allah berfirman:
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (QS. al-Ahzab: 53)
Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah tentu
memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum
mukmin: istri-istri Nabi). Mereka biasa memberi fatwa kepada orang
yang meminta fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits
bagi orang yang ingin mengambil hadits mereka.
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi SAW di hadapan
kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi
pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang
menyangkal pendapat Umar ketika Umar sedang berpidato di atas
mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia
mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui kesalahannya
sendiri seraya berkata, Semua orang (bisa) lebih mengerti daripada
Umar.
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang
sudah tua (Nabi Syuaib; ed.) yang berkata kepada Musa, sebagai
dikisahkan dalam Al-Quran:
Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi
balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami
(QS. al-Qashash: 25)

Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga


berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada mereka:
Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita itu
menjawab, Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum
penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya),
sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.
(QS. al-Qashash: 23)
Selanjutnya, Al-Quran juga menceritakan kepada kita percakapan
yang terjadi antara Nabi Sulaiman AS dengan Ratu Saba, serta
percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi
peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya,
sebagaimana pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk
menarik laki-laki, yang oleh Al-Quran diistilahkan dengan al-khudhu
bil-qaul (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah:
Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya,
dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. al-Ahzab: 32)
Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa membangkitkan
nafsu orang-orang yang hatinya berpenyakit. Namun, dengan ini
bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan
setiap laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:
Dan ucapkanlah perkataan yang baik
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits
dengan salah. Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang
diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Nabi SAW bersabda:
Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih
membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.

Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits di atas mereka
artikan dengan wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau
musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan,
penyakit, kelaparan, dan ketakutan. Mereka melupakan suatu
masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah (diuji) dengan
kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah
berfirman:
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) . (QS. al-Anbiya: 35)
Al-Quran juga menyebutkan harta dan anak-anak yang merupakan
kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya sebagai fitnah yang
harus diwaspadai, sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu) (QS. at-Taghabun: 15)
Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan (QS. al-Anfal: 28)
Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang harta atau anakanak melalaikan manusia dari kewajiban kepada Tuhannya dan
melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anakanakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS.
al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh harta dan
anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah oleh wanita, terfitnah
oleh istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka
dari perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan kepentingankepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari
kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini Al-Quran
memperingatkan:
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah
kamu terhadap mereka (QS. at-Taghabun: 14)

Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk


membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan
dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang
dikhawatirkan dapat menghancurkan akhlak, mengotori harga diri,
dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita di sini seperti
peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta,
kemakmuran, dan kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan
dalam hadits shahih:
Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi
yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu
sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas
kamu memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlombalomba memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya
sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya. (Muttafaq alaih dari
hadits Amr bin Auf al-Anshari)
Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah SAW hendak
menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru memohon perlindungan
kepada Allah dari kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan
dengan kekafiran. Juga tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai
umatnya mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena
beliau sendiri pernah bersabda:
Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik (HR. Ahmad 4:197
dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim
mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan komentar Hakim ini
disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dengan hadits di atas, Rasulullah SAW hanya menyalakan lampu
merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan) yang
licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke
dalam jurang tanpa mereka sadari.

Maraji: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/06/21222/fitnah-dan-suarawanita/#ixzz1yxc4Y500

Anda mungkin juga menyukai