Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan Gratis dan Badan Hukum Pendidikan

(Melacak Akar Legalitas Privatisasi Pendidikan di Indonesia)

M Firdaus
RENCANA Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendid
ikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keber
atan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial da
n ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusi
a bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yan
g berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara
orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin m
elepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) g
ratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas
, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi
pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama se
kali.
Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyel
enggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun se
cara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dim
ulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "
kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar raky
at, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Si
sdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sum
ber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi
kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pe
ndidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang
yang ada.
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, A
yat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar
"kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggar
akannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1)
, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, sert
a menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentu
an umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daer
ah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar b
agi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah progra
m pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggun
g jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan
secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendi
dikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4),
"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperj
elas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas P

asal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar
berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut
biaya".
KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pela
ksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan k
etidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah N
asional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyed
iakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).
Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerinta
h (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat d
alam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyar
akat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar p
ada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, m
aupun masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pend
idikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam pen
yelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pend
idikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerint
ah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsi
p nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pem
erintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengopera
sian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat m
aupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tu
nggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap
dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa pene
rapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyeleng
gara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam
menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah in
gin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tang
gung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.
Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah mode
l privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang
sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi t
anggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. D
alam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan per
alatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat samp
ingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah
penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan me
ngalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 A
pril 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK.
Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastrukt
ur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". K
e depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila ko
ntraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. S
elain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi
beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, ya

ng terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaks


anaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, seb
ab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.
Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi p
enambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adany
a RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan m
enengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti
yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah
wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan
perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya
tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimi
liki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan
dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak.
Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khu
susnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU
dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidik
an dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal
itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD
1945....
M FirdausAktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan

Anda mungkin juga menyukai