Anda di halaman 1dari 68

FASILITASI DAN ATURAN PERDAGANGAN

PROSEDUR NOTIFIKASI WTO


UNTUK

T R A N S PA R A N S I
KEBIJAKAN IMPOR
TER KAIT BIDANG PER DA GANGAN
KEWAJIBAN POKOK INDONESIA SEBAGAI A NGGOTA
ORGANISASI PERDAGANG AN DUNIA
(WORLD TRADE ORGANIZ ATION)

SULISTYO WIDAYANTO

ANALIS KEBIJAKAN PERDAGANGAN

DIREKTORAT KERJASAMA MULTILATERAL


DIREKTORAT JENDERAL KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA 2011

Buku ini adalah tinjauan atas salah satu pelaksanaan kerjasama perdagangan
multilateral Indonesia dalam World Trade Organization mengenai (WTO) notifikasi
terkait kebijakan impor. Tujuan umumnya adalah memberi gambaran bagi para
pembaca mengenai aspekaspek notifikasi baik dari sisi tujuan, kemanfaatan, dan
mekanismenya. Tujuan khususnya adalah sebagai pengantar atas tata cara melakukan
notifikasi sebagaimana ditetapkan oleh Persetujuan Import Licensing Procedure WTO.
Pemahaman mengenai notifikasi ini perlu untuk mengamankan kebijakan impor yang
terkati bidang perdagangan dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh WTO.

Diterbitkan oleh :
Direktorat Kerjasama Multilateral
Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional
Kementerian Perdagangan
Gedung II Lantai 7, Jalan M.I. Ridwan Rais 5, Jakarta 10110
Telepon +6221-3840139 Fax +6221-3847273
Website: http://ditjenkpi.depdag.go.id/
September 2011

ii

Daftar Isi
Kata Pengantar ...
BAGIAN I

KEBIJAKAN IMPOR DALAM SISTEM PERDAGANGAN


MULTILATERAL.........................................................
A. Kebijakan Perdagangan tentang Persetujuan Ijin Impor.........
B. Penggolongan Jenis Tata Niaga Impor...................
C. Kebijakan Impor RI. ....................................

v
1
1
4
8

BAGIAN II

KETENTUAN UMUM PROSEDUR NOTIFIKASI .


A. Pemahaman Umum Prosedur Notifikasi .....
B. Pokok-pokok Substansi Ijin Impor.................................................

10
10
13

BAGIAN III

TATA CARA PERSYARATAN KEWAJIBAN NOTIFIKASI


KEBIJAKAN IMPOR.......................
A. Jenis Kebijakan yang Wajib di Notifikasi
B. Kewajiban Notifikasi Kebijakan Impor .........
C. Matriks Kewajiban Notifikasi Agreement on Imoprt Licensing
Procedures WTO......

15

PASAL-PASAL AGREEMENT on IMPORT LICENSING


PROCEDURES YANG MEMUAT KETENTUAN
TENTANG NOTIFIKASI.....
Notifikasi menurut Pasal 1.4(a)...
Prosedur-prosedur Tinjauan Kebijakan menurut Pasal 7.1...............
Notifikasi menurut Pasal 7.3...................................................................
Notifikasi menurut Pasal 8.2(b)..............................................................
Kuesioner tentang Prosedur Perijinan Impor Annex ...

19

BAGIAN V

PERSETUJUAN TENTANG PROSEDUR


PERSETUJUAN IMPOR .

25

BAGIAN VI

CONTOH NOTIFIKASI KEBIJAKAN DAN


PERATURAN TERKAIT IJIN IMPOR .....
A. Contoh Notifikasi Catatan Kaki No. 5 Pasal 2 Ayat 2
B. Contoh Notifikasi Menurut Pasal 1.4(A) Dan 8.2(B) ....
C. Contoh Notifikasi Jawaban Untuk Kuesioner Prosedur
Perijinan Impor ....................................
D. Contoh Notifikasi Pasal 5.1-5.4 tentang Prosedur Pengajuan
Perijinan .
E. Contoh Notifikasi Pasal 5.5 tentang Notifikasi Kebijakan Impor
Negara Lain........
F. Contoh Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing
WTO...

33

BADAN-BADAN WTO TUJUAN NOTIFIKASI DAN


LEMBAGA NOTIFIKASI DI INDONESIA .

37

BAGIAN IV

BAGIAN VI

15
17
18

19
20
20
20
21

33
33
35
35
35
36

iii

A. Badan Badan WTO Tujuan Notifikasi ...


B. Lembaga Notifikasi di Indonesia ....

37
38

Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 1.4(A) dan Pasal 8.2(B)
Agreement on Import Licensing
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 7.3 Agreement on Import
Licensing......
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 5.1-5.4 Agreement on Import
Licensing.......................................................
Contoh Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing...............

41

LAMPIRAN :

43
47
53

iv

KATA PENGANTAR
Indonesia adalah salah satu pendiri /orginal member dari Organisasi Perdagangan Dunia
atau World Trade Organization (WTO) yang secara resmi berdiri sejak 1 Januari 1995. WTO adalah
sebutan nama bagi satu-satunya organisasi perdagangan multilateral dan sekaligus sebagai sebutan
untuk nama perangkat ketentuan perdagangan multilateral yang menjadi pedoman bagi
pembuatan kebijakan terkait bidang perdagangan. Persetujuan WTO mencakup seperangkat
kesepakatan tentang hak-hak para anggotanya untuk mengatur dan membuat sendiri peraturan
pelaksana dalam rangka memperluas, mempertahankan dan mengamankan hak-hak akses pasar
ekspornya di seluruh anggota WTO dan pengamanan akses pasar domestik. WTO menetapkan
pedoman pembuatan kebijakan mengenai tata cara perlindungan dan pengamanan konsumen dan
industri dalam negeri dari persaingan dengan produk impor.
Anggota WTO menyepakati bahwa setiap kebijakan terkait bidang perdagangan yang
dituangkan ke dalam undang-undang, peraturan, maupun regulasi wajib dilakukan melalui
prosedur yang transparan sehingga Anggota WTO lainnya dapat mengetahuinya. Prosedur
transparansi pembuatan kebijakan perdagangan ini ditempuh melalui kegiatan notifikasi yakni
kewajiban untuk menyampaikan, menyebarluaskan, mengumumkan dan mempublikasikan setiap
tindakan, kebijakan, perundang-undangan, dan peraturan menyangkut perdagangan baik yang
akan, sedang, atau telah diterapkan dan atau diubah.
Pemenuhan kewajiban notifikasi ini penting karena Ketentuan WTO adalah bagian dari
perundang-undangan nasional Indonesia yakni dengan telah diratifikasinya Ketentuan WTO ke
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Melalui notifikasi
Indonesia mengamankan dan memanfaatkan ketentuan WTO dan sekaligus merupakan
pernyataan kepada dunia bahwa iklim usaha di Indonesia terprediksi dan dapat dipercaya. Salah
satu instrument kebijakan perdagangan yang wajib diamankan adalah kebijakan terkait bidang
impor sebagai gerbang depan akses pasar domestik Indonesia. Oleh karena itu, pemenuhan
kewajiban notifikasi terkait kebijakan impor secara benar dan mengikuti prosedur yang berlaku di
WTO menjadi syarat mutlak. Hal ini berlaku demi pengamanan ekonomi nasional.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, untuk mempermudah pemenuhan kewajiban
notifikasi kebijakan impor maka disusun buku pedoman teknis mengenai Tata Cara Notifikasi
WTO tentang Kebijakan Impor terkait bidang perdagangan. Buku pedoman ini bertujuan
memberikan pemahaman di kalangan pejabat mengenai ketentuan di dalam Agreement on Import
Licensing WTO, beserta kewajiban notifikasi. Pemahaman mengenai notifikasi Tata Niaga Impor
ini juga bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik pembuatan peraturan di bidang perijinan
impor baik untuk kepentingan verifikasi, pembuatan regulasi serta peraturan. Pengenalan
karakteristik kebijakan impor akan memudahkan pembuat kebijakan menetapkan prosedur
langkah-langkah pembuatan peraturan impor dan koordinasi antar instansi pemerintah terkait.
Jakarta, September 2011
Sulistyo Widayanto1

1 Isi buku ini semata adalah pengungkapan pikiran atas nama pribadi penuilis Sulistyo Widayanto
(wsulistyo@gmail.com) dan tidak serta merta dapat dianggap mewakili pandangan Kementerian Perdagangan atau
Pemerintah Republik Indonesia. Mengutip atau meng-copy sebagian isi dari buku ini diperkenankan sepanjang
mencantumkan nama penulis sebagai pemegang hak cipta yang dilindungi Undang Undang.

Bagian

KEBIJAKAN IMPOR DALAM SISTEM


PERDAGANGAN MULTILATERAL

Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) harus memperoleh kemanfaatan
dari keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. Persetujuan WTO mencakup seperangkat
kesepakatan tentang hak-hak para anggotanya untuk mengatur dan membuat sendiri peraturan
pelaksana dalam rangka memperluas, mempertahankan dan mengamankan hak-hak akses pasar
ekspornya di seluruh anggota WTO dan pengamanan akses pasar domestik. WTO menetapkan
pedoman pembuatan kebijakan mengenai tata cara perlindungan dan pengamanan konsumen dan
industri domestic dari persaingan dengan produk impor. Cara pemanfaatan terbaik diantaranya adalah
memahami prosedur, tatacara berikut pengimplementasian pengaturan perdagangan terkait dengan
aspek penerbitan ijin impor.
A. Kebijakan Perdagangan tentang Persetujuan Ijin Impor
Sejak menjadi anggota WTO Indonesia telah melaksanakan penyesuaian
berbagai peraturan kebijakan perdagangannya menurut ketentuan World Trade
Organization/WTO. Kebijakan perdagangan yang menyangkut perijinan import (import
licensing) termasuk salah satu peraturan yang harus berpedoman pada Persetujuan tentang
Perijinan Impor (Agreement on Import Licensing WTO atau disebut juga dengan istilah Import
Licensing Agreement/ILA. Persetujuan ini mengharuskan setiap Anggota membuat
peraturan kebijakan impor sesederhana mungkin, transparan, proses cepat, dan
terprediksi. Meskipun demikian, upaya penyesuaian kebijakan impor tersebut menghadapi
beberapa kendala.
1. Transparansi sebagai Tuntutan Era Perdagangan Global
Indonesia mempunyai kedudukan penting dalam pergaulan perdagangan
internasional. Salah satu buktinya adalah bahwa Indonesia termasuk ke dalam kelompok
negara G-202. Sebagai forum ekonomi, G-20 saat ini lebih banyak menjadi ajang
konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional.
Meskipun demikian, dalam prakteknya aspek perdagangan menjadi issue yang jauh lebih
G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian
besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20)
Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun
kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia.
Tujuan pembentukan G-20 ini adalah untuk mewadahi Negara industri dan berkembang secara bersama
sama mendiskusikan berbagai masalah kunci di bidang ekonomi dunia. Latar belakang pembentukan forum
ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G-7 mengenai
kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusankeputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingankepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir
90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia. Sumber informasi
website Wikipedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/G-20_ekonomi_utama [9 Desember 2009]
2

menonjol dibanding aspek moneternya. Di antara anggota G- 20 terdapat pertemuan


yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri
maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah
pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang
tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja terutama masalah kebijakan impor yang
menyangkut akses pasar.
Kebijakan impor Indonesia akan selalu menjadi perhatian utama dunia. Hal
tersebut terkait dengan besar dan luasnya kondisi dan potensi pasar dalam negeri yang
terus bertumbuh yang dimiliki Bangsa Indonesia. Kebijakan impor hampir selalu menjadi
issue yang sangat sensitive terutama bila dikaitkan dengan upaya liberalisasi hubungan
kerjasama perdagangan internasional. Kebijakan impor Indonesia akan secara langsung
akan berpengaruh terhadap kelancaran arus akses pasar ekspor negara lain yang terikat
perjanjian perdagangan dengan Indonesia. Di Indonesia tujuan pembuatan kebijakan
impor disusun berdasarkan pada upaya perlindungan kepentingan nasional yang terkait
dengan aspek kesehatan keselamatan, keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa.
Keterikatan pada kerjasama perdagangan internasional WTO telah menuntut agar
Indonesia bersikap transparan dalam pembuatan kebijakan impor. Pada saat yang sama,
tuntutan transparansi juga datang dari pemangku dalam negeri terutama importir. Di
dunia yang teknologi informasinya semakin maju hampir tidak ada lagi ruang untuk
menyembunyikan informasi. Oleh karena itu pemenuhan kewajiban notifikasi3 sangat
relevan untuk memenuhi tuntutan transparansi.
2. Wilayah Kepabeanan Indonesia adalah Pasar Dunia
Di dunia ini selalu ada dua pandangan berlawanan tentang kesepakatan
perdagangan dunia WTO. Satu pihak menganggap bahwa kesepakatan perdagangan
dunia itu sebagai ancaman, namun satu pihak lainnya justru menganggap sebagai peluang
bagi perkembangan industri domestik. Keduanya tidak ada yang salah.
Mempertentangkan keduanya menjadi tidak relevan lagi, karena faktanya WTO telah
menjadi rejim perdagangan dunia sehingga pasar domestik setiap Anggota WTO
terintegrasi ke dalam pasar dunia. Hal yang harus disadari saat ini adalah bahwa sejak
menjadi anggota WTO, dunia adalah pasar ekspor produk Indonesia dan sebaliknya
Indonesia adalah pasar tujuan ekspor seluruh Anggota WTO. Oleh karena itu setiap
perubahan kebijakan impor di Indonesia otomatis akan serta merta mendapat tanggapan
Anggota WTO karena berarti pula perubahan terhadap akses pasar produk mereka.
Reaksi terhadap perubahan kebijakan impor adalah suatu hal yang wajar. Setiap anggota
WTO termasuk Indonesia mempunyai kepentingan untuk diyakinkan agar setiap
kebijakan impor Anggota WTO harus fair, tidak digunakan sebagai proteksi terselubung
yang dapat mendistorsi pasar dan konsisten dengan Agreement on Import Licensing Procedures.
Kebijakan impor Indonesia tidak hanya menjadi perhatian negara mitra dagang
tetapi juga pemangku kepentingan dalam negeri. Tidak transparannya pembuatan
kebijakan impor akan mudah menimbulkan dugaan bahwa kebijakan itu dibuat demi
3 Notifikasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota WTO untuk mengumumkan dan
mempublikasikan setiap kebijakan, perundang-undangan, dan peraturan yang menyangkut perdagangan yang akan
diterapkan. Notifikasi ini dilakukan oleh setiap anggota WTO ke Sekretariat WTO. Notifikasi ini dilakukan berdasar
subject dan diatur menurut masing-masing jenis kebijakan, namun demikian anggota WTO tidak dapat dituntut atas
notikasi yang dilakukan. Ketentuan notifikasi WTO secara umum di atur dalam Decision on Notifications Procedures. The
Legal Text. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, Cambride University Press,
2003, p.388 - 389.

mendukung keuntungan sekelompok kepentingan tertentu saja. Melalui media massa,


masyarakat non-produsen hingga anggota DPR bahkan mudah mengeluarkan kecaman
terhadap kebijakan impor. Masalah domestik pada akhirnya juga akan menjadi masalah
internasional. Terganggunya kinerja impor akan mengganggu pula kinerja suplai ekspor
negara mitra dagang. Importir dalam negeri seringkali merupakan representasi dari posisi
negara mitra dagang yang mengekspor ke Indonesia.
3. Kebijakan Impor sebagai Instrument Pengamanan
Pemerintah RI memanfaatkan kebijakan impor sebagai instrument strategis untuk
menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor
dipakai sebagai instrumen menertibkan arus barang masuk memagari kepentingan
nasional dari pengaruh masuknya barang-barang negara lain. Pemerintah mendapat
mandat dalam membuat kebijakan impor untuk memagari kepentingan nasional dengan
tujuan untuk menjaga dan mengamankan dari aspek K3LM (Kesehatan Keselamatan,
Keamanan, Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan
pendapatan petani, mendorong penggunaan dalam negeri, dan meningkatkan ekspor non
migas.4
Namun demikian, dalam pelaksanaannya banyak pejabat Pemerintah mengalami
kesulitan menghadapi kritik dan kecaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sejumlah peraturan impor masih dianggap bermasalah baik oleh negara mitra dagang
maupun dari pemangku kepentingan dalam negeri. Negara mitra dagang menganggap
bahwa kebijakan impor Indonesia sebagai proteksi terselubung dan mendistorsi pasar.
Dalam sidang ILA WTO, tanggal 30 April 2009, sejumlah negara mitra dagang utama
yakni Amerika Serikat, Uni Eropa dan Canada mempermasalahkan Permendag
No.56/M-DAG/PER/12/2008 tentang ketentuan impor untuk produk-produk tertentu.
Ketiganya meminta klarifikasi atas kebijakan No.56/2008 tersebut karena mereka
mengganggap bahwa kebijakan itu tidak bertujuan untuk import licensing procedures.
Amerika Serikat juga masih mempermasalahkan peraturan impor tekstil sebagaimana
termuat di dalam SK No. 732/MPP/Kep/10/2002 dan bersama Kanada meminta
klarifikasi tertulis dengan tumpang tindihnya peraturan tersebut dengan Permendag No.
56/2008. Indonesia diminta untuk menyesuaikan dengan ketentuan WTO karena
peraturan tersebut karena mendistorsi pasar dan tidak konsisten dengan ILA WTO demi
memproteksi industri tekstil domestik.
Kebijakan impor beras juga dipertanyakan oleh Thailand yakni Surat
Keputusan/SK Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/2005 mengenai tata
niaga impor beras untuk melindungi petani pada saat musim panen. SK larangan impor
beras pada musim panen demi melindungi petani ini tidak merujuk ketentuan WTO yang
berlaku. Dalam sidang tersebut Thailand menyatakan belum menerima jawaban tertulis
atas pertanyaan yang mereka sampaikan melalui WTO.
Intensitas tuntutan transparansi kebijakan impor Indonesia sebagaimana
tercermin dalam Sidang Committee on Import Licensing Procedures WTO tersebut
memperlihatkan bahwa Pemerintah RI menghadapi kesulitan dalam menanggapinya
terutama jika dikaitkan dengan komitmen persetujuan perdagangan dunia WTO.
Pengertian kebijakan impor dan K3LM diambil dari definisi Barang Larangan dan Pembatasan Impor dari website
Bea dan Cukai dalam
http://beacukaibatam.net/index.php?option=com_content&view=article&id=139&Itemid=107&showall=1 [13
Desember 2009].
4

Semestinya kesulitan itu tidak perlu ada ada mengingat adanya mandat dan tujuan yang
jelas dalam pembuatan kebijakan impor.
Munculnya berbagai masalah tersebut kemungkinan diduga berasal dari adanya
kendala mentransformasikan garis-garis besar ketentuan Import Licensing WTO ke
dalam bentuk peraturan pelaksananya. Masalah tersebut juga diperberat oleh
kompleksitas ketentuan AIL - WTO, belum meratanya pengetahuan mengenai ILA WTO, sering terjadinya pergantian struktur dan pejabat pemerintah; serta adanya kendala
teknis untuk pembuatan dan penyebarluasan peraturan.
B. Penggolongan Jenis Kebijakan Tata Niaga Impor.
Kebijakan tata niaga impor dapat dikatakan sebagai kebijakan dengan beban
terberat di era WTO. Kebijakan ini disebut klasik karena ketentuan tata niaga impor
berdasarkan ILA adalah pengaturan kebijakan perdagangan barang.
1.

Komitmen RI tentang Akses Pasar Barang di WTO.

Dalam sejarahnya, sebelum WTO Indonesia hanya mengikat tarif (bound) hanya
9,4 persen dari keseluruhan tariff. Namun sejak berlakunya WTO 1 Januari 1995,
Indonesia mengikatkan dalam komitmen perdagangan barangnya dengan memperluas
menjadi 94,6 persen dari keseluruhan tarif produk barang. Dengan komitmen tersebut
terdapat 8877 jenis produk diikat pada level tertinggi sebesar 40 persen dan tidak boleh
lebih tinggi lagi. Tarif tertinggi terikat rata rata dalam komitmen Indonesia adalah di
bawah 40 persen kecuali untuk komoditi pertanian. Tarif terikat rata-rata sebesar 40
persen pada saat itu dianggap cukup memadai untuk melindungi industri
domestik.5Daftar komitmen RI mengenai akses perdagangan barang terdapat di dalam
buku yang disebut Schedudle of Market Access Commitmen on Goods XXI atau dikenal
dengan Schedule XXI.6
Indonesia tidak mengkonsesikan seluruh produk industrinya dalam komitmen
kesepakatan WTO. Masih terdapat sebanyak 505 jenis tarif yang sebagian besar termasuk
dalajm kendaraan bermotor dan baja. Sektor lainnya yang dikecualikan dari ketentuan
import WTO adalah pesawat terbang, senjata dan amunisi, barang kesenian dan barang
antik, serta rambut palsu dan bunga artifisial. Indonesia juga berkomitmen untuk
menghapus 171 surcharges selama 10 (sepuluh) tahun yang berakhir hingga tahun 2004. 7
Di bidang non-tariff import barriers (NTBs) Indonesia berkomitmen untuk
menghapus 98 jenis non-tariff import barriers selama 10 tahun dan berakhir tahun 2004.
Komitmen RI ke WTO untuk menghapus NTBs ini menyangkut produk besi dan baja.
Meskipun demikian, RI mengecualikan dalam komitmennya untuk tidak menghapus 90
item jenis NTBs yang sebagian besarnya adalah kendaraan bermotor dan sektor baja.
Indonesia juga mengecualikan sejumlah regulasi impor seperti persyaratan untuk

5 Lihat tulisan Stephen L. Magiera, Reading in Indonesia Trade Policy 1991 2002, dalam artikel mengenai The
Uruguay Round: Indonesias Market Access Offer for Industrial Commodities, USAID Trade Implementation Policy Projects, Jakarta
2003, page 27 1 3.
6 Daftar Schedule XXI dapat diakses dalam website Direktorat Jenderal KPI dalam
http://ditjenkpi.depdag.go.id
7 Stephen L. Magiera, op.cit.

mendapatkan persetujuan pemerintah sebelum melakukan impor dan impor barang


modal tidak dalam keadaan baru.8
2. Perijinan Impor Otomatis.
Agreement on Import Licensing Procedures membedakan jenis perijinan impor
berdasarkan peruntukan pihak yang berhak mendapatkan ijin dan jangka waktu
pemrosesan pengurusan perijinan. Kedua jenis kebijakan prosedur perijinan didalam ILA,
yaitu peraturan yang bersifat Automatic; dan yang Non-automatic Licensing. Menurut Artikel
2 ILA, Automatic Import Licensing menjabarkan bahwa setiap permohonan terhadap
kebijakan impor harus diperlakukan sama karena apabila tidak akan menjadi sebuah
batasan/restrictive by-laws. Tujuan dari AIL otomatis ini secara umum dapat dikatakan
sebagai pendukung keperluan sistem statistik.
Definisi perijinan import otomatis adalah perijinan yang dapat diberikan secara
untuk pengimporan secara umum dan perijinan otomatis ini keperluan statistik dan
pengumpulan informasi aktual. Pasal 2.1 Persetujuan Prosedur Perijinan Impor WTO
menyebutkan:
...automatic import licensing (licensing maintained to collect statistical and other factual
information on import) is defined as import licensing where the approval of the application is
granted in all cases.. 9
Terdapat prakondisi untuk menggolongkan suatu perijinan impor sebagai
otomatis yakni jika terpenuhi persyaratan bahwa prosedur perijinan otomatis tersebut
tidak diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak yang menghambat impor.
Perijinan tersebut juga tidak boleh mendiskriminasi pemohon ijin. Setiap orang dalam hal
ini berhak untuk mendapatkan ijin impor dan mengajukan permohonan untuk
mendapatkan ijin asal memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Pemberian Persetujuan Impor otomatis menurut Pasal 2.2.a harus memenuhi
ketentuan bahwa persetujuan tersebut dapat diberikan kapan saja pada hari kerja sebelum
pelaksanaan pemeriksaan kepabeanan dan jangka waktu penerbitan proses pemberian ijin
harus sudah diselesaikan dalam waktu sepuluh hari kerja. Adapun Pasal 2.2.b
menyebutkan bahwa perijinan impor otomatis diperlukan hanya jika prosedur lainnya
tidak ada dan harus segera dihapuskan kalau ketentuan untuk pengaturan administratif
baru sudah tersedia10 atau
..automatic import licensing may be necessary whenever other appropriate procedures are not
available. It is to be removed as soon as the circumstances which have given rise to its
introduction no longer prevail..
3. Pemberian ijin impor Non-automatic Import Licensing.
Pasal 3.1 Persetujuan Prosedur Perijinan Impor menyebutkan pengertian
perijinan impor non-otomatis sebagai pemberian perijinan impor yang tidak termasuk di
dalam definiisi perijinan impor otomatis. Sasaran penggunaan persetujuan non-otomatis
Stephen L Magiera, ibid.
Diambil dari presentasi Sam Laird, Import Licensing, The World Bank Office Jakarta and Ministry of Trade
Jakarta, 10-11 December 2009.
10 Untuk memperjelas pemahaman tentang persyaratan perijinan import otomatis ini agar diperiksa lagi
Agreement on Import Licensing Procedures WTO dalam versi bahasa Inggris. Tulisan ini melampirkan versi Bahasa Indonesia
dari Persetujuan Prosedur Perijinan Impor WTO.
8
9

ini adalah untuk mengatur dan mengadministrasikan tata niaga dalam bentuk pembatasan
kuantitatif yang sesuai ketentuan hukum WTO.
Ketentuan yang harus dipenuhi dalam pemberian ijin impor non-otomatis adalah
bahwa tidak boleh menimbulkan dampak yang menghambat dan mendistorsi
perdagangan. Pasal 3.2 menyebutkan bahwa perizinan non-otomatis tidak boleh
berakibat membatasi atau menggangu impor yang menambah pembatasan yang sudah
ada. Prosedur-prosedur perizinan non-otomatis harus, dari segi ruang lingkup dan masa
berlakunya, sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan dengan prosedur tersebut, dan
harus tidak lebih membebankan secara administratif daripada yang sungguh-sungguh
perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan.
Ketentuan lainnya yang berlaku adalah bahwa tiap kebijakan impor non-otomatis
harus dipublikasikan dan memuat informasi mengenai tujuan, pengecualian, jumlah
kuota, tanggal pembukaan dan penutupan dan pengaturan tentang pengalokasian
pemberian kuota kepada negara. Publikasi itu harus diumumkan setidaknya 21 hari
sebelum tanggal berlaku efektif. Pasal 3.5.e menyebutkan bahwa tidak boleh ada
diskriminasi pemberian ijin. Setiap penolakan harus disertai dengan penjelasan dari
pejabat berwenang dan pemohon berhak mengajukan banding. Proses pengajuan
permohonan harus selesai dalam 30 hari. Namun demikian, untuk persetujuan
permohonan secara simultan dapat diberikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 60 hari.
Peraturan impor non-otomatis ini menjadi pilihan bagi negara untuk menjaga
mengawasi arus asal barang impor, dan juga dipilih untuk mengendalikan arus import
barang (misalnya: quota). Biasanya ijin impor non-otomatis ini diberlakukan antara lain
terhadap impor tumbuhan dan hewan, barang berbahaya, bahan peledak, barang yang
diawasi seperti minuman beralkohol, bahan kimia serta limbah berbahaya.
Non-automatic Import Licensing (NAL) dibuat untuk mengendalikan arus
barang masuk. Umumnya tindakan yang dilakukan sebagai pelaksanaan dari NAL ini
berbentuk kuota atau Quantitive Restriction (QR). Tindakan pembatasan impor melalui
alokasi kuantitative ini dilakukan Pemerintah antara lain untuk melindungi balance of
payment, melindungi produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis dengan
barang yang diimpor, dan atau untuk mengendalikan impor bahan penolong yang bersifat
multifungsi dan terdapat potensi untuk disalahgunakan bagi tindakan yang
membahayakan. Meskipun QR ini harus diterapkan secara bijaksana dan fair, serta harus
most favored nations atau tanpa ada pengecualian. Penerapan tindakan QR harus
digunakan secara hati-hati berdasarkan alasan-alasan tertentu yang logis terutama bila
yang digunakan adalah alasan untuk menjaga kepentingan Public Morals. Alasan agama
tidak dapat digunakan. Pembatasan kuantative sering digunakan sebagai filter untuk
produk yang tarif bea masuknya sudah 0%.
C.

Kebijakan Impor RI

Dimuka telah sekilas disebutkan bahwa kebijakan Impor RI merupakan bagian


dari kebijakan perdagangan untuk memagari kepentingan nasional dari pengaruh
masuknya barang-barang impor negara lain. Memagari kepentingan nasional yang
dimaksud adalah memagari kepentingan nasional terhadap faktor-faktor kesehatan,
keselamatan, keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa. Pemerintah mendapat
mandat dalam membuat kebijakan impor untuk memagari kepentingan nasional dengan
tujuan untuk menjaga dan mengamankan dari aspek K3LM (Kesehatan Keselamatan,
6

Keamanan, Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan


pendapatan petani, mendorong penggunaan dalam negeri, dan meningkatkan ekspor non
migas.
a. Dasar Rujukan Hukum
Dasar hukum yang dipakai sebagai acuan pembuatan kebijakan impor adalah
Keputusan Presiden No. 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan Tanggung Jawab
Menteri Perdagangan dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri. Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan RI No. 229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan
Umum di Bidang Impor. Keputusan lain yang menjadi dasar hukum kebijakan impor
adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/7/1997
mengenai Barang yang diatur tata niaga impornya. Kesepakatan Persetujuan WTO dalam
hal ini Agreement on Import Licensing Procedures dan GATT 1994 meskipun tidak
semuanya tersurat dalam kebijakan impor namun juga menjadi acuan karena telah
diratifikasinya Ketentuan WTO dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 mengenai
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Organisasi
Perdagangan Dunia).
Kebijakan Nasional Lainnya, antara lain Undang-Undang No.23/1997 tentang
Lingkungan Hidup, Undang-Undang No.22/1997 tentang Narkotika. Dan UndangUndang No.8/1992 tentang Perlindungan Konsumen.
Pembuatan peraturan dan Penetapan kebijakan impor Indonesia dilakukan
dengan rujukan berdasarkan WTO Rules: Artikel XX (General Exceptions), Artikel XXI
(Security Exceptions), AIL, Konvensi-konvensi internasional; dan Kebijakan Nasional
terkait lainnya. Perumusan kebijakan impor dilakukan melalui persiapan bahan
pertimbangan keputusan berupa masukan dari Stakeholders (swasta, LSM, anggota DPR
dan masyarakat umum) kemudian melakukan analisa dampak dari sebuah keputusan.
Berdasarkan jenisnya, kebijakan impor Indonesia yang dikategorikan sebagai
Automatic Licensing adalah sebesar + 91,4 % (dari seluruh pos HS Indonesia). Sisanya adalah
kebijakan jenis Non-automatic licensing adalah sebesar + 8,6% yang diberlakukan terhadap
sejumlah komoditi barang seperti minuman beralkohol, Nitrocellulose (bahan peledak),
beras, prekursor, cakram optik dan intankasar.
b.

Tantangan Pelaksanaan Mandat dalam Kebijakan Impor RI.

Di dalam pelaksanaannya, kebijakan impor RI sering mengundang pertanyaan dari


negara mitra dagang baik untuk sekedar permintaan klarifikasi, penjelasan, atau tuntutan
agar kebijakan yang dibuat harus segera dicabut. Menghadapi masalah seperti ini, pejabat
Indonesia dituntut untuk mampu memberikan tanggapan tanpa mengorbankan mandat
untuk melindungi kepentingan nasional. Meskipun demikian, sering kali
kekurangpahaman Indonesia mengenai Agreement on Import Licensing WTO menyebabkan
pejabat Indonesia mengalami kesulitan untuk menanggapinya. Akibatnya, negara yang
mempertanyakan akan terus menerus mengejar jawaban dan dengan mencocokkan
rujukan berdasar ILA.
Ketidak jelasan pembedaan ijin impor otomatis dan non-otomatis ini juga
menyulitkan penjaga border yakni Pihak Bea Cukai untuk menentukan boleh tidaknya
barang masuk mengingat terdapat prosedur dan kelengkapan dokumen yang harus
menyertainya terutama yang menyangkut perijinan.

Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa kepentingan nasional harus diletakkan di
atas segala-galanya termasuk dalam pembuatan kebijakan impor. Namun demikian,
kebijakan RI dibuat dengan judul yang mudah mengundang reaksi negara mitra dagang.
Beberapa kebijakan impor menggunakan formulasi nama kebijakan dengan terminologiterminologi yang termasuk sensitive di WTO dan ketidakcocokan alasan yang dipakai
sebagai konsideran pembuatan kebijakan lisensi impor. Salah satu contohnya adalah
Keputusan Menperindag No.64/MPP/Kep/9/2002 mengenai impor gula. Dalam
konsideran disebutkan bahwa tujuan dari pemerintah Indonesia mengeluarkan SK
tersebut adalah untuk melindungi petani gula miskin, melindungi kesehatan masyarakat
dan meningkatkan pendapatan petani gula di pedesaan. SK tersebut menggunakan dasar
pertimbangan yang rancu dan tidak berkaitan langsung dengan AIL, karena konsideran
yang dipakai adalah subsidi dan alasan untuk melindungi kesehatan adalah untuk SPS.
Keadaan ini menimbulkan kecurigaan negara mitra dagang seolah Indonesia memiliki
rencana terselubung dibalik konsideran tersebut.
Adapun contoh penggunaan terminologi yang sensitive dalam peristilahan WTO
adalah Permendag No.56/M-DAG/PER/12/2008 tentang ketentuan impor untuk
produk-produk tertentu. Judul tersebut sudah berbunyi dan mengindikasikan adanya
diskriminasi dan hambatan perdagangan tidak perlu. Padahal bila ditinjau lebih dalam
Permendag No. 56 tersebut adalah pengaturan mengenai penunjukan pelabuhan
pelabuhan tertentu sebagai akses pasar masuk barang impor. Penunjukan pelabuhan ini
lebih netral dan lebih dekat pengertian impor otomatis yang tujuannya adalah pengaturan
dan ketertiban administrasi. Tidak mengherankan bila semua negara mitra dagang yang
mempunyai kepentingan perdagangan dengan Indonesia akan mudah bereaksi dan justru
ingin mengetahui lebih dalam dan rinci.
Masalah lain yang sering menimbulkan kendala di bidang penerapan kebijakan
impor adalah seringkalinya terjadi perubahan peraturan impor. Hal yang sering tidak
disadari oleh pejabat adalah rujukan dari pejabat yang dianggap berwenang yang baru dan
adanya perbedaan waktu untuk melakukan penyesuaian daru aturan lama serta
pendistribusian aturan baru tersebut ke seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut di atas terdapat usulan untuk membentuk export and import
policy team yang dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan anggota dari Kementerian
Perdagangan, Keuangan, Pertanian, Ditjen Bea & Cukai, Badan Karantina. Tim ini
beranggotakan pejabat pembuat kebijakan yang terkait dengan masalah impor. Meskipun
demikian, hingga saat ini usulan tersebut belum mendapat tanggapan.
c. Kebijakan Impor Mitra dagang sebagai Sumber Informasi Peluang
Kebijakan Import Licensing dalam kenyataannya tidak hanya dipakai sebagai
instrument untuk melindungi industri dan pasar domestik, namun juga dapat
dimanfaatkan untuk memperluas, mengamankan, dan meningkatkan akses pasar produk
domestik di luar negeri. Indonesia dapat menggunakan Import Licensing untuk membuka
akses pasarnya. Cara terbaik untuk memanfaatkan Persetujuan Perijinan Impor WTO
adalah secara agresif mempelajari peraturan Import Licensing yang dimiliki oleh negara lain
melalui notifikasi yang mereka lakukan.
Terdapat ketentuan Persetujuan Perijinan Impor yang menyatakan adanya
perlakuan khusus (misalnya kemudahan dalam bentuk persyaratan atau waktu) yang
diberikan ke negara berkembang di dalam menerbitkan persetujuan Import Licensing. Hal

ini bisa dijadikan loop hole karena, adanya kata-kata special consideration dimana
pengertian special consideration tidak pernah diutarakan secara jelas.
Apabila Indonesia menemukan ketidakkonsistenan import licensing dari negara
mitra dagang, maka hal yang perlu dilakukan adalah mendiskusikan melalui pendekatan
bilateral demi untuk mengamankan akses pasar terlebih dulu. Namun apabila pendekatan
bilateral tidak membuahkan solusi maka bisa digunakan adalah pendekatan regional, dan
jika gagal maka yang terakhir perlu dilakukan adalah pendekatan multilateral.
Pemanfaatan Persetujuan Perijinan Impor yang tidak kalah pentingnya adalah
mempelajari dari cara negara lain merespon kebijakan impor yang dipermasalahkan oleh
negara lain. Salah satu caranya adalah dengan memodifikasi peraturan yang
dipermasalahkan atau dengan menyampaikan kembali notifikasi dengan format dan
tujuan yang berbeda. Hal semacam ini pernah dilakukan oleh Australia di dalam kondisi
yang sangat noticeable oleh negara anggota lainnya.

-- 000 ---

Bagian
KETENTUAN UMUM PROSEDUR NOTIFIKASI
A.

Pemahaman Prosedur Notifikasi

Mengingat berbagai masalah kebijakan impor tersebut di atas, tulisan ini berupaya
untuk mengulas masalah tantangan kebijakan impor Indonesia di forum WTO. Tulisan
ini bertujuan untuk mencari solusi masalah kesesuaian Pembuatan Kebijakan Import
menurut Agreement on Import Licensing. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan
pemahaman di kalangan pejabat mengenai ketentuan di dalam Agreement on Import Licensing
WTO, beserta kewajiban notifikasi. Pemahaman mengenai agreement ILA WTO penting
untuk dapat mengidentifikasi karakteristik pembuatan peraturan di bidang perijinan
impor baik untuk kepentingan verifikasi pra pengapalan maupun pembuatan regulasi.
Pengenalan karakteristik kebijakan impor akan memudahkan pembuat kebijakan
menetapkan prosedur langkah-langkah pembuatan peraturan impor dan koordinasi antar
instansi pemerintah terkait.
Kementerian Perdagangan bukan satu-satunya pembuat kebijakan impor. Namun
demikian, Kementerian Perdagangan adalah pihak paling berkompeten dengan
pembuatan kebijakan impor dan harus mampu mengenali dan melaksanakan tugas-tugas
yang bersifat koordinasi dalam pembuatan kebijakan menyangkut impor. Tulisan ini
disusun untuk dapat memberi kontribusi untuk memperkecil dan meniadakan kendalakendala didalam mentransformasikan garis-garis besar ketentuan AIL WTO ke dalam
bentuk peraturan pelaksananya di Indonesia serta contoh-contoh dokumen notifikasi
yang telah disampaikan RI ke WTO.
1.

Ketentuan Prosedur Notifikasi Tata Niaga Impor ke WTO

Persetujuan tentang prosedur perijinan tata niaga impor (Agreement on Import


Licensing WTO ) sebagai bagian dari Kesepakatan WTO secara umum harus difahami
sebagai pengaturan atas hak-hak yang setiap anggota dan sebagai pedoman dan acuan
dalam pembuatan peraturan pelaksana dari kebijakan impor yang akan diberlakukan.
Indonesia dalam hal ini harus memandang Persetujuan Perijinan Impor WTO sebagai
hak Indonesia untuk pelaksanaan tujuan kebijakan nasional yang terkait dengan baik
untuk menjaga K3LM maupun untuk tujuan terkait lainnya. Namun demikian,
penggunaan hak pengaturan tata niaga impor itu memunculkan kewajiban yakni harus
sejalan dengan ketentuan Import Licensing WTO dan transparan melalui notifikasi.
a.

Definisi dan Tujuan


Import Licensing merupakan prosedur administratif yang digunakan sebagai
persyaratan didalam pengajuan permohonan atau dokumentasi tertentu kepada badan
administrasi yang berwenang dan harus dipenuhi sebelum proses impor barang.
Persetujuan Import Licensing (ILA) adalah bagian dari Single Undertaking Putaran Uruguay
dan terdapat di Annex A GATT 1994. Definisi Import Licensing WTO menyebutkan
sebagai berikut:

10

...Import licensing can be defined as administrative procedures requiring submission of an


application or other documentation (other than those required for customs purposes) to the
relevant administrative body as prior condition for importation of goods..11
Tujuan dari Import Licensing Agreement/ILA antara lain adalah untuk: a.
mempermudah dan menjamin transparansi terhadap prosedur kebijakan impor, b. sistem
administrasi yang adil dan transparan dan, c. mencegah terjadinya efek restrictive dan
distortive di dalam peraturan impor.
..The main objective of the Agreement are to simplify and bring transparency to import
licensing procedures, to ensure their fair and equitable application and administration, and to
prevent procedures applied for granting import licenses for having in themselves, restrictive or
distortive effects on imports..
2.

Dasar Hukum

Setiap anggota WTO wajib untuk menyampaikan notifikasi kebijakan impor


setiap satu tahun 1 (satu) kali setiap akhir bulan September. Notifikasi ini akan direview
oleh Committee on Import Licensing setiap 2 (dua) tahun satu kali. Keberadaan Persetujuan
ILA ini sering dirasakan sebagai beban yang merupakan tekanan negara maju terhadap
negara berkembang. Meskipun demikian, setiap anggota WTO yang merasa dirugikan
akses pasarnya oleh kebijakan impor negara mitra dagangnya, maka anggota yang
dirugikan tersebut dapat menggunakan notifikasi ini sebagai sarana untuk menekan
anggota WTO yang dituju dan terlebih lagi bagi anggota yang belum melakukan
kewajiban notifikasi mereka.
Tidak melakukan notifikasi tidak serta merta bisa dapat dianggap sebagai
pelanggaran terhadap ILA. Meskipun demikian, anggota yang tidak memenuhi kewajiban
notifikasi tersebut suatu saat akan dipaksa untuk memenuhinya. Salah satu cara
memaksa adalah dengan mengirimkan daftar pertanyaan mengenai kebijakan impor yang
tidak dinotifikasikan. Tanpa melalui WTO setiap negara dapat memperoleh informasi
tentang kebijakan impor yang berlaku di negara mitra dagangnya melalui perwakilan
masing-masing. Keadaan ini dialami Indonesia.
Melakukan notifikasi segera ke Sekretariat WTO akan jauh lebih menguntungkan
daripada menunda atau tidak melakukan notifikasi sama sekali. Suatu anggota WTO yang
mengajukan pertanyaan terhadap notifikasi anggota WTO lainnya dapat dianggap sebagai
indikasi bahwa anggota yang harus menjawab pertanyaan tersebut memiliki nilai
ekonomis yang tinggi terhadap anggota penanya. Anggota yang melakukan notifikasi
tidak dapat dipersengketakan karena notifikasi yang disampaikan ke WTO. Sengketa
mengenai Kebijakan Impor Licensing dapat terjadi apabila aplikasi atau penerapan import
licensing mengakibatkan terjadinya nullification dan impairment bagi anggota WTO
lainnya. Pelanggaran di dalam Import Licensing tidak terdapat sanksi yang harus dipenuhi
oleh pelanggar, kecuali mengganti kebijakan import licensing sesuai dengan rambu-rambu
yang telah ditetapkan dalam ILA, sehingga import licensing dimaksud sesuai dengan WTO.
Terdapat 3 (tiga) ketentuan yang menjadi dasar hukum dari notifikasi ketentuan
tata niaga impor yakni:

Diambil dari sumber presentasi Sam Laird, Import Licensing, The World Bank Office Jakarta and Ministry of Trade
Jakarta, 10-11 December 2009.
11

11

i.

GATT Article VIII mengenai bea dan formalitas terkait dengan importasi dan
eksportasi. Segala prosedur pemberian ijin impor yang tidak bersifat spesifik terkait
dalam Article VIII GATT ini. Paragraf 1(c) menetapkan aturan umum yang
mewajibkan setiap Anggota untuk membuat prosedur dan penetapan formalitas
perijinan impor atau export harus sesederhana dan seminimal mungkin dalam
pengurusan persyaratan dokumentasi yang harus dipenuhi. Menurut paragraf 2, tiap
negara wajib meninjau kembali segala peraturan dan regulasinya atas permintaan
Anggota WTO lainnya. Sementara itu paragraf 3 menyebutkan larangan bagi anggota
WTO untuk mengenakan sanksi penolakan hanya karena kekurangan kecil dalam
pemenuhan persyaratan.

ii. GATT Article X tentang Publikasi dan Tertib Administrasi Regulasi


Perdagangan12. Dalam hal ini
Undang-undang, regulasi, keputusan yang
berketetapan hukum, dan segala ketentuan umum yang wajib dipatuhi yang
dikeluarkan Pemerintah, mempunyai kaitan dengan klasifikasi atau perhitungan nilai
produk untuk kepentingan kepabeanan, atau untuk tingkat pabean, pajak atau
pungutan lainnya, atau sebagai prasyarat, restriksi atau larangan impor atau ekspor
atau atas transfer untuk pembayaran sesuatu, atau yang dapat membawa pengaruh
terhadap penjualan, distribusi, transportasi, asuransi, inspeksi pergudangan, pameran,
pemrosesan, atau campuran atau penggunaan lain, harus dipublikasikan sesegera
mungkin sedemikian rupa sehingga pemerintah dan para pedagang dapat
segera memahami hal-hal tersebut di atas. Suatu persetujuan yang mempunyai
dampak terhadap kebijakan perdagangan internasional yang berlaku antar
Pemerintah atau dengan suatu badan Pemerintah Negara Anggota WTO lainnya atau
antar Pemerintah atau dengan badan Pemerintah Negara bukan anggota WTO juga
harus dinotifikasikan. Ketentuan dalam paragraf ini tidak mengharuskan
Pemerintah untuk mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia. Tidak ada
satupun Anggota WTO diperbolehkan untuk memberlakukan terlebih dahulu suatu
ketentuan mengenai tingkat bea masuk atau pungutan lain atas impor yang
dilaksanakan secara serempak atau memberlakukan keharusan yang menimbulkan
beban, resktriksi atau larangan impor, atau transfer yang terkait dengan pembayaran
sebelum diumumkan secara resmi. Setiap Anggota harus mengatur sedemikian rupa
secara seragam, adil, dan masuk akal atas setiap undang-undang, regulasi, keputusan
dan pengaturan atas hal-hal yang dicantumkan di dalam paragraf 1 Pasal ini. Setiap
Anggota harus segera membentuk atau melembagakan badan penyelesaian sengketa
atau pertimbangan hukum atau suatu prosedur praktis dengan tujuan antara lain,
untuk dapat segera mengadakan pertimbangan dan koreksi tindakan keadministrasian
terkait dengan hal-hal yang menyangkut kepabeanan.
iii. Pasal- Pasal Notifikasi Import Licensing Procedures WTO. Pasal-pasal yang
mewajibkan notifikasi kebijakan tata niaga impor sangat kompleks dan akan dibahas
secara tersendiri di dalam bagian II. Pasal-pasal notifikasi terse but adalah Article
1.4(a)13, Article 7.3, 1Article 8.2(b)14, Article 5.1-5.4, Article 5.5, dan Footnote 5 to Article 2.2.
Untuk keperluan keabsahan rujukan hukum agar melihat teks aselinya dalam Article X
Publication and Administration of Trade Regulation, dalam The Legal Text. The Results of the Uruguay
Round of Multilateral Trade Negotiations, Cambride University Press, 2003, p. 436.
13 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4
(a) dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan
menyampaikan bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format
12

12

B.

Pokok Pokok Substansi Ijin Impor


Sebagai penutup, para pembuat kebijakan impor Indonesia perlu lebih
memperhatikan ketentuan yang terdapat pada Agreement on Import Licensing WTO.
Indonesia perlu mengganti atau mengubah serta menotifikasikan kembali beberapa
peraturan impor sesuai ketentuan WTO. Dalam hal issue penyelundupan, Indonesia
perlu menunjukkan bahwa apabila terdapat faktor penyelundupan dengan jumlah yang
sangat besar dan dengan keadaan dimana bea dan cukai tidak dapat mengontrol hal
tersebut maka artikel XX.d dapat dijadikan alasan. Indonesia perlu pula mengkoreksi
sistem AL dan NAL dalam sistem perijinan impor yang berlaku secara tepat dan jelas
agar dikemudian hari Indonesia tidak akan diajukan ke DSB WTO karena adanya
misplacing antara AL dengan NAL.
Terakhir, Indonesia perlu segera menyampaikan pandangan mengenai definisi
national security yang di dalam GATT 1994 mungkin dipandang dari sudut pandang yang
berbeda dengan negara maju. Bagi negara berkembang seperti Indonesia rakyat adalah hal
pertama yang harus dilindungi. Komoditi sensitif yang terkait dengan keamanan pangan
nasional seperti beras dan gula perlu dilindungi agar masyarakat tetap dapat
menikmatinya (baik konsumen maupun petani).
Cara terbaik untuk mengamankan kebijakan impor Indonesia adalah dengan
memenuhi kewajiban notifikasi semua prosedur impor yang berlaku di Indonesia ke
Committee on Import Licensing WTO. Adapun tata cara melakukan notifikasi perlu
memperhatikan pemenuhan informasi mengenai kebijakan prosedur impor sebagaimana
tercantum dalam panduan notifikasi prosedur perijinan impor yang dikeluarkan oleh
Sekretariat WTO yang telah kami terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Namun
demikian, untuk melakukan notifikasi maka yang perlu menjadi pegangan adalah
dokumen WTO aselinya yang berbahasa Inggris yang salah satunya adalah Technical
Cooperation Handbook on Notification Requirements; Agreement on Import Licensing
Procedures, WT/CT/NOTIF/LIC/1, 15 October 1996 dan dokumen WTO lainnya
yang terkait.

Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi akan
memberitahu Sekretariat, perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah
mereka notifiikasikan sebelumnya.
14 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal
1.4 (a) dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan
menyampaikan bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format
Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi
menyajpaikan indikasi kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan
terhadap kebijakan yang telah mereka notifikasikan sebelumnya.
13

Bagian
TATA CARA PERSYARATAN KEWAJIBAN
NOTIFIKASI KEBIJAKAN IMPOR

Bagian ini berisi pedoman teknis mengenai tata cara pemenuhan persyaratan
kewajiban notifikasi kebijakan pemberian ijin impor sebagaimana diamanatkan oleh the
Agreement on Import Licensing Procedures (LIC).
A.

Jenis Kebijakan yang Wajib Dinotifikasi

Persetujuan Prosedur Perijinan WTO mengatur tata cara notifikasi kebijakan


impor berdasarkan aspek-aspek terkait dengan pemenuhan persyaratan impor dan
transparansi. Berikut ini adalah pasal-pasal dalam Persetujuan yang menjadi rujukan
notifikasi:
Publikasi Tata cara Permohonan Ijin Article 1.4(a)15
Setiap anggota harus melakukan notifikasi ke Komite Import Licensing semua
sumber informasi terkait dengan publikasi mengenai prosedur perijinan impor, dan
menyampaikan salinan publikasi tersebut ke Sekretariat (WTO). Dalam hal tidak
tersedianya publikasi yang berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis dan Spanyol), maka
setiap Anggota WTO harus menyediakan, ringkasan dan terjemahan tersebut ke dalam
bahasa resmi WTO. Anggota WTO lainnya dapat meminta terjemahan penuh apabila
menghendakinya, atau berupaya memperoleh informasi tambahan melalui basis pendekatan
bilateral. Bilamana terjadi issue yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral, maka issue
dimaksud boleh disampaikan ke Komite Lisensi Impor agar menjadi perhatian bersama
seluruh anggota.
Anggota (WTO) yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus
menentukan sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round
Code tetap berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau
apabila mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru. Komite Prosedur
Perijinan Impor WTO, pada pertemuan hari ini tanggal 12 Oktober 1995, menetapkan
batas akhir pada tanggal 12 Januari 1996 bagi seluruh anggota WTO yang ada untuk
pertama kalinya membuat notifikasi atas Persetujuan ini
1.

2.

Kuesioner Kebijakan Impor yang Berlaku1 (Article 7.3)

Tiap anggota (WTO) harus menyerahkan berkas lengkap notifikasi pada tanggal 30
September tiap tahunnya, kuesioner mengenai prosedur perijinan import sebagaimana
termuat dalam dokumen G/LIC/3, Annex .

15 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4 (a)
dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan
bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2.
Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi akan memberitahu
Sekretariat, perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka
notifiikasikan sebelumnya.

14

Isi kuesioner mencakup perijinan impor dan prosedur administrative terkait


(semacam visa teknis, sistem pengawasan, rancangan patokan harga minimum, dan tinjauan
administrative lainnya). Setiap Anggota WTO harus menyediakan informasi yang terkait
dengan tujuan dan cakupan perijinan, undang-undang, regulasi dan kewajiban
administrative lainnya yang terkait dengan tata niaga, prosedur untuk aplikasi dan
memperoleh penerbitan ijin dari sistem yang bersifat restriktif maupun yang non-restriktif,
alokasi kuota, periode proses aplikasi, masa berlaku perijinan, institusi yang mempunya
kewenangan, persayaratan dokumentasi untuk mengajukan aplikasi, importer tertentu yang
dianggap pantas mendapat hak untuk mengajukan permohonan perijinan, kondisi perijinan
dan formalitas nilai pertukaran asing.
Tiap anggota WTO harus menentukan sendiri jawaban atas masih berlaku tidaknya
prosedur perijinan yang berlaku sebelumnya di bawah GATT 1947 dengan setelah
berlakunya Persetujuan WTO, yakni apakah perubahannya saja yang perlu dinotifikasi atau
harus menotifikasi secara keseluruhan.
3. Anggota Bukan Penanda tangan Tokyo Round. (Article 8.2(b)16)
Tiap angota WTO harus menginformasikan kepada Komite mengenai segala
perubahan undang-undang dan regulasi yang relevan terkait dengan Persetujuan ini dan
pegnadiministrasian undang-undang dan regulasi dimaksud. Notifikasi pertama yang harus
dilakukan oleh Anggota bukan Penanda tangan Tokyo Round Code menurut Pasal 8.2(b)
harus memuat teks lengkap undang-undang dan regulasi terkait yang mempunyai relevansi
dengan kepentingan Anggota lainnya sejak Persetujuan WTO mulai berlaku.
Dalam hal tidak tersedianya publikasi yang berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis
dan Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus menyediakan, ringkasan dan terjemahan
tersebut ke dalam bahasa resmi WTO. Anggota WTO lainnya dapat meminta terjemahan
penuh apabila menghendakinya, atau berupaya memperoleh informasi tambahan melalui
basis pendekatan bilateral. Bilamana terjadi issue yang tidak dapat diselesaikan secara
bilateral, maka issue dimaksud boleh disampaikan ke Komite Lisensi Impor agar menjadi
perhatian bersama seluruh anggota.
Anggota WTO yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus menentukan
sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round Code tetap
berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau apabila
mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru.
Komite Prosedur Perijinan Impor WTO, pada pertemuan hari ini tanggal 12
Oktober 1995, menetapkan batas akhir pada tanggal 12 Januari 1996 bagi seluruh anggota
WTO yang ada untuk pertama kalinya membuat notifikasi atas Persetujuan ini
4.

Prosedur Pengajuan Perijinan - Article 5.1-5.4

Para Anggota yang melembagakan prosedur perijinan atau perubahan-perubahan


atas prosedur tersebut harus melakukan notifikasi ke Komite dalam waktu 60 hari sejak
16 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4 (a)
dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan
bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2.
Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi menyajpaikan indikasi
kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah
mereka notifikasikan sebelumnya.

15

dipublikasikan. Notifikasi dimaksud harus memuat informasi yang termasuk dalam daftar
sebagaimana diatur dalam Pasal 5.2 (yakni, daftar produk yang ditataniagakan, kontak point
untuk informasi yang absah, instnasi yang memberikan rekomendasi; tanggal dan nama
publikasi diterbitkannya prosedur perijinan tersebut; indikasi otomatis tidaknya prosedur
perijinan tersebut sesuai definisi Pasal 2 dan 3; bilamana perijinan itu bersifat otomatis,
maka harus ada penjelasan mengenai tujuan dari tataniaga; namun apabila bersifat nonotomatis, maka harus ada penjelasan ketentuan yang diterapkan melalui perijinan tersebut;
harus juga diindikasikan jangka waktu pengaturan prosedur perijinan dimaksud yang dapat
diperkirakan batas waktunya, namun jika tidak bias maka harus ada penjelasan mengenai
alas an tidak adanya informasi yang dapat diberikan). Setiap anggota WTO harus
menotifikasi ke Committee on Import Licensing Procedures segala publikasi yang terkait.
5.

Notifikasi Kebijakan Impor Negara Lain - Article 5.5

Setiap Anggota WTO yang beranggapan bahwa Anggota WTO lainnya belum
menotifikasikan prosedur tata-niaga atau perubahan terhadap kebijakan tata niaga tersebut
menurut Pasal 5.1 5.3, dapat mengangkat masalah ini untuk meminta perhatian Anggota
WTO lainnya, dan apabila notifikasi semacam itu belum dilakukan, maka Negara yang
bersangkutan harus segera melakukan notifikasi atau perubahan terhadap kebijakan yang
telah dinotifikasikan.
6.

Penundaan Kebijakan Impor WTO. - Footnote 5 to Article 2.2

Catatan kaki No. 5 atas Pasal 2.2 memungkinkan Negara berkembang yang bukan
penandatangan Tokyo Round Code untuk menunda selama tahun, penerapan ketentuan
termaktub pada Pasal 2.2(a)(ii) dan (a)(iii) yang terkait dengan ijin otomatis.
7.

Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing WTO

Tiap Anggota WTO dapat meminta klarifikasi tentang Peraturan Impor Anggota
WTO lainnya dengan menotifikasi pertanyaan mereka ke Committee on Import Licensing
WTO. Anggota yang menerima pertanyaan juga wajib menotifikasi jawaban atau
tanggapannya ke Committee on Import Licensing agar semua Anggota WTO
mengetahuinya. Berikut ini adalah contoh pertanyaan dan tanggapan atas kebijakan impor
Indonesia yang telah dinotifikasi ke WTO.
B.

Kewajiban Notifikasi Kebijakan Impor

Matriks berikut ini adalah keterangan ringkas untuk memeriksa dengan cepat jenis
peraturan atau kebijakan yang perlu dinotifikasi sesuai agreement on import licensing procedures
(AILP) WTO. Kolom pertama adalah pasal pasal dalam agreement yang menjadi dasar
hukum dari notifikasi; kolom kedua adalah jenis ketentuan yang perlu dinotifikasi. Kolom
ketiga adalah periodisasi kapan harus melakukan notifikasi. Kolom keempat adalah format
notifikasi, kolom kelima adalah pihak yang melakukan notifikasi, serta kolom keenam
adalah alamat tujuan notifikasi.
Meskipun demikian, pedoman dasar yang harus dipenuhi bagi penyampaian
notifikasi adalah pengutamaan transparansi tanpa harus mengorbankan kepentingan untuk
mengamankan kebijakan impor itu sendiri. Hal yang perlu diingat adalah bahwa isi bahan
notifikasi harus diperiksa dan disetujui oleh instansi atau otoritas yang menerbitkan
perijinan, sehingga maksud dari transparansi itu tercapai tanpa membahayakan kebijakan.
16

C.

Matriks Kewajiban Notifikasi Agreement on Import Licensing Procedures WTO

Persyaratan
notifikasi

Jenis ketentuan

Periodisasi

Format

Yang menotifikasikan

Tujuan ke

1.

Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 1.4 (a)

Nama publikasi yang memuat


peraturan dan informasi yang
relevan dengan penerbitan
Prosedur Perijinan Impor/
ILP; salinan dari publikasi
dimaksud.

Notifikasi pertama harus


dilakukan begitu Negara
tersebut menjadi anggota
WTO; (sedangkan)
perubahan-perubahannya
dinoti-fikasikan secara ad hoc

Tidak Ada

Anggota WTO

Sekretariat WTO

2.

Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 5.1-5.4

Prosedur baru mengenai


perijinan impor atau
perubahan tentang hal
tersebut; publikasi memuat
informasi yang relevan

Dalam waktu 60 hari sejak


diterbitkan

Pasal 5.2

Anggota WTO
- ad hoc

Komite Import
Licensing

3.

Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 5.5
(reverse notification)

Prosedur perijinan impor yang


tidak dinotifikasikan atau
perubahan tentang hal tersebut

Ad hoc

Tidak Ada

Anggota WTO
- ad hoc

Komite Import
Licensing

4.

Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 7.3

Jawaban atas kuesioner


tentang prosedur perijinan
impor

Setiapo Tahun, per tgl.


30 September

G/LIC/3,
Annex

Anggota WTO

Komite Import
Licensing

5.

Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 8.2(b)

Undang-undang/regulasi dan
prosedur administrative dan
perubahannya

Teks lengkap perun-dangan


sejak menjadi anggota
WTO; pe-rubahannya ad hoc

Tidak Ada

WTO Members

Komite Import
Licensing

6.

Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 2.2
(footnote 5)

Penundaan penerapan
menurut ketentuan Psl.
2.2(a)(ii) dan (iii)

Sejak berlakunya
Persetujuan WTO bagi
anggota

Tidak Ada

Negara Berkembang
bukan penanda
tangan the Tokyo
Round Code; ad hoc

Komite Import
Licensing

Item

17

Bagian
PASAL PASAL AGREEMENT on IMPORT
LICENSING PROCEDURES YANG MEMUAT
KETENTUAN TENTANG NOTIFIKASI

Keputusan tentang tata cara dan prosedur menyampaikan notifikasi peraturan


perijinan impor ditetapkan dalam Sidang Committee on Import Licensing Procedures pada tanggal
12 Oktober 1995. Sidang tersebut dihadiri oleh Anggota WTO dan Komite Prosedur
Perijinan Impor (Committee of Import Licensing) menyetujui bahwa para Anggota WTO
akan menerapkan prosedur notifikasi dan tinjauan kebijakan dari Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor. Berikut ini keputusan Committee on Import Licensing Procedures atas pasal
pasal dalam agreement on licensing procedures WTO yang menjadi dasar hukum dari kewajiban
notifikasi kebijakan impor.
A.

Notifikasi menurut Pasal 1.4(a)17

1.
Para Anggota harus melakukan notifikasi ke Komite sumber-sumber informasi
terkait dengan prosedur perijinan import yang dipublikasikan, dan harus menyampaikan
dan menyerahkan salinan publikasi tersebut ke Sekretariat.
2.
Anggota (WTO) yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus
menentukan sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round
Code tetap berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau
apabila mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru.
3.
Anggota (WTO) yang bukan penandatangan Tokyo Round Code harus melakukan
notifikasi lengkap.
4.
Bagi yang sudah menjadi Anggota WTO, maka notifikasi harus dibuat pada tanggal
12 Januari 1996.18
5.
Dalam hal tidak tersedianya publikasi yang berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis
dan Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus menyediakan, ringkasan dan terjemahan
tersebut ke dalam bahasa resmi WTO. Anggota WTO lainnya dapat meminta terjemahan
penuh apabila menghendakinya, atau berupaya memperoleh informasi tambahan melalui
basis pendekatan bilateral. Bilamana terjadi issue yang tidak dapat diselesaikan secara
bilateral, maka issue dimaksud boleh disampaikan ke Komite Lisensi Impor agar menjadi
perhatian bersama seluruh anggota.
17Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite
menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka
dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur
Perijinan Impor, tiap delegasi menyampaikan indikasi kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan
yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka notifikasikan sebelumnya.
18Konsultasi

informal akan diselenggarakan oleh Pimpinan Sidang untuk menentukan batas waktu jatuh
tempo pemenuhan notifikasi yang harus dilakukan para Anggota di masa mendatang.

18

Salinan publikasi yang disampaikan Anggota akan disimpan di Sekretariat untuk


keperluan konsultasi bagi delegasi yang mempunyai kepentingan. Para Anggota akan
diberitahu oleh Sekretariat secara periodic setiap notifikasi yang disampaikan ke Sekretariat.
B.

Prosedur-prosedur Tinjauan Kebijakan menurut Pasal 7.1

1.
Komite harus menyelenggarakan sidang untuk melakukan tinjauan (review) terhadap
penerapan dan berlakunya Persetujuan Perijinan Impor setiap dua tahun sekali dengan
mengacu pada laporan faktual yang dipersiapkan oleh Sekretariat.
C.

Notifikasi menurut Pasal 7.319

1.
Anggota harus menjawab lengkap Kuesioner Prosedur Perijinan Impor pada
tanggal 30 September setiap tahunnya (lihat Annex).20
2.
Tiap anggota WTO harus menentukan sendiri jawaban atas masih berlaku tidaknya
prosedur perijinan yang berlaku sebelumnya di bawah GATT 1947 dengan setelah
berlakunya Persetujuan WTO, yakni apakah perubahannya saja yang perlu dinotifikasi atau
harus menotifikasi secara keseluruhan.
D.

Notifikasi menurut Article 8.2(b)3

1.
Notifikasi pertama yang harus dilakukan oleh Anggota bukan Penanda tangan
Tokyo Round Code menurut Pasal 8.2(b) harus memuat teks lengkap undang-undang dan
regulasi terkait yang mempunyai relevansi dengan kepentingan Anggota lainnya sejak
Persetujuan WTO mulai berlaku.
2.
Anggota WTO yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus menentukan
sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round Code tetap
berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau apabila
mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru.
3.
Bagi yang sudah menjadi Anggota WTO, maka notifikasi harus dibuat pada tanggal
12 Januari 1996.21
4.
Jika tidak tersedia perundangan yang berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis dan
Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus menyediakan ringkasan notifikasi ke dalam
bahasa resmi WTO. Anggota WTO lainnya dapat meminta terjemahan penuh apabila
menghendakinya, atau berupaya memperoleh informasi tambahan melalui basis pendekatan
bilateral. Bilamana terjadi issue yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral, maka issue
dimaksud boleh disampaikan ke Komite Lisensi Impor agar menjadi perhatian bersama
seluruh anggota.
19Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite
menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka
dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur
Perijinan Impor, tiap delegasi menyampaikan indikasi kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan
yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka notifikasikan sebelumnya
20Aselinya termuat dalam dokumen GATT 1947 di dalam L/3515, dan untuk selanjutnya telah direvisi oleh
Komite Import Licensing pada sidang hari ini tanggal 12 October 1995 dan dimuat didalam dokumen
G/LIC/2.
21Konsultasi informal akan diselenggarakan oleh Pimpinan Sidang untuk menentukan batas waktu jatuh
tempo pemenuhan notifikasi yang akan harus dilakukan para Anggota.

Salinan publikasi yang disampaikan Anggota akan disimpan di Sekretariat untuk


keperluan konsultasi bagi delegasi yang mempunyai kepentingan. Para Anggota akan
diberitahu oleh Sekretariat secara periodic setiap notifikasi yang disampaikan ke Sekretariat.
E.

Kuesioner tentang Prosedur Perijinan Impor Annex 22

Selain notifikasi, setiap Anggota WTO secara reguler wajib menyampaikan


tanggapan atas kuesioner terkait dengan berbagai prosedur dan peraturan impor yang
masih berlaku di negara masing masing. Kuesioner berikut ini di susun untuk
memperoleh kejelasan informasi mengenai perijinan impor dan prosedur23 administrasi
sejenis yang masih berlaku dan diterapkan di wilayah kepabeanan menurut ketentuan
GATT 1994. Bilamana terdapat perbedaan prosedur atau metode perijinan impor atau
kesamaan prosedur administrative yang berlaku dengan membedakan kategori produk,
Negara pemasok, atau importasi, maka hal tersebut harus dijelaskan secara terpisah sesuai
dengan masing-masing pertanyaan yang paling relevan.
Berikut ini adalah pertanyaan pertanyaan yang harus dijawab oleh Indonesia
dalam mengisi kuesioner untuk dinotifikasi ke Committee on Import Licensing Procedures
berdasar Pasal. 7.3. Meskipun demikian, isian atau jawaban kuesioner yang akan dinotifikasi
harus menggunakan bahasa WTO yakni antara lain bahasa Inggris. Adapun format serta
penomoran jawaban harus sesuai dengan dokumen WTO yakni G/LIC/2.
1.

Garis Besar Sistem

Berikan gambaran singkat tiap sistem perijinan secara umum, dan secara khusus,
jawablah pertanyaan berikut ini dengan keterkaitannya, letakkan urut-urutan setiap materi
yang terkait dengan sistem dimaksud, dan gunakan referensi silang apabila ada unsureunsur yang telah dijelaskan tersebut juga berlaku di sistem lainnya.
2.

Tujuan dan Cakupan Perijinan Tata Niaga

Identifikasi tiap sistem perijinan yang masih berlaku dan jelaskan dengan
mengelompokkan produk apa saja yang tercakup di dalamnya.
i.

Terhadap produk yang berasal dan datang dari Negara mana saja sistem perijinan
tersebut diberlakukan?

ii. Apakah ijin impor tersebut bertujuan untuk membatasi kuantitas atau nilai impor, dan
jika tidak, tujuan dari perijinan tersebut? Apakah ada cara lain yang bisa dilakukan
untuk memenuhi tujuan dari ketentuan impor tersebut dan jika ada ketentuan apa yang
berlaku? Mengapa ketentuan alternative tersebut belum diterapkan?
iii. Kutip undang-undang, regulasi dan atau ketentuan administrative yang mendasari
berlakunya perijinan impor dimaksud. Apakah perijinan ini wajib menurut undangundang? Apakah undang-undang mengamanatkan adanya ketentuan pelaksanaan
mengenai jenis produk yang ditataniagakan perijinan impornya? Apakah dimungkinkan
bagi pemerintah (atau lembaga yang berwenang) untuk menghapuskan sistem tersebut
tanpa persetujuan legislatif?
22Teks

yang termuat di sini sama dengan yang termuat di dalam dokumen G/LIC/2.

23Prosedur

serupa termasuk visa teknis, sistem pengawasan, patokan harga minimum, dan pemeriksaan
administrative lainnya yang mempunyai pengaruh terhadap kondisi mengimpor.

20

3.

Prosedur

Untuk produk-produk yang ditataniagakan dengan pembatasan kuantitas maupun


nilai impornya (baik itu berlaku global atau terbatas pada asal Negara tertentu atau apakah
ketentuan tersebut ditetapkan secara bilateral atau unilateral):
i.

Apakah informasi mengenai alokasi kuota dan formalitas permohonan perijinan


tersebut di atas dipublikasikan, dan dimana? Jika tidak, bagaimana para importir
lain dapat mengetahui kemungkinan ada peluang bagi mereka untuk
mendapatkan publikasi dimaksud? Apakah publikasi dimaksud bisa diberikan
kepada pemerintah atau kantor perwakilan dan promosi dagang Negara
pengekspor? Apakah jumlah keseluruhan yang dikuotakan itu dipublikasikan?
Jumlah alokasi barang bagi tiap Negara? Jumlah maksimum kuota yang
dialokasikan bagi tiap-tiap importir? Bagaimana cara mengajukan permohonan
untuk pengecualian atau bebas dari keharusan perijinan tersebut?

ii.

Bagaimana penentuan besarnya kuota: atas dasar perhitungan tahunan,


semesteran, atau kuartalan? How is the size of the quotas determined: on a yearly, sixmonthly or quarterly basis? Apakah ada ketentuan mengenai pemberian kuota
diberikan tahunan, namun penerbitan ijin impor harus diperbarui setiap enam
bulan atau kuartalan? Bila ketentuan dimaksud ada, apakah importir harus
memperbarui perijinannya setiap semesteran atau kuartalan?

iii. Apakah perijinan itu untuk memilah sebagian barang tertentu atau hanya untuk
produsen domestic dari barang sejenis? Langkah-langkah apa yang harus
dilakukan untuk menjamin bahwa surat ijin pengalokasian tersebut benar-benar
untuk impor? Apakah alokasi yang tidak terpakai itu menjadi kuota tambahan
untuk periode impor berikutnya? Apakah nama-nama importir yang memegang
perijinan tersebut dimaklumatkan kepada wakil pemerintah dan badan promosi
ekspor dari Negara pengekspor berdasarkan permintaan? Jika tidak, apa
alasannya? (Sebutkan produk yang terkait dengan jawaban atas pertanyaan
tersebut di atas).
iv. Dari waktu sejak diumumkannya pembukaan kuota, sebagaimana disebutkan
pada paragraf I di atas, bagaimana pengaturan tenggang waktu pengajuan
permohonan perijinan?
v.

Bagaimana ketentuan mengenai jangka waktu minimum dan maksimum dalam


proses pengajuan permohonan?

vi. Berapa waktu yang paling cepat, antara penerbitan ijin dengan pembukaan
periode waktu impor yang diijinkan?
vii. Apakah ditentukan bahwa permohoan ijin impor itu harus melalui lembaga
tunggal? Atau apakah harus melalui beberapa instansi untuk mendapatkan visa,
keterangan atau persetujuan? Jika demikian, bagaimana tatacaranya? Apakah
importer harus menghubungi lebih dari satu instansi yang turut mengatur?
viii. Jika persyaratan perijinan tidak terpenuhi, atas dasar apa penentuan alokasinya?
Yang diberi yang mengajukan terlebih dahulu? Berdasar pencapaian sebelumnya?
Apakah ada batas maksimum alokasi bagi tiap pemohon dan, jika ada, bagaimana

dasar penentuannya? Bagaimana bunyi ketentuan yang berlaku bagi importir


baru? Apakah pemohon diperiksa secara simultan atau berdasarkan pengajuan
surat permohonan yang telah masuk?
ix. Apabila suatu negara pengekspor memberlakukan kuota bilateral atau tata niaga
ekspor, apakah perijinan impor juga berlaku untuk kasus semacam itu? Jika ada,
apakah perijinan tersebut bersifat otomatis?
x.

Dalam hal impor dibolehkan asal berdasar ijin ekspor saja, bagaimana cara negara
pengimpor mengetahui dampak yang diakibatkan oleh negara pengekspor agar
dapat dipahami kedua negara?

xi. Apakah ada perijinan yang diterbitkan asal produk-produk dimaksud harus
diekspor dan tidak dijual di pasar domestik?
Apabila tidak ada pembatasan tingkat jumlah impor produk atau impor dari negara
tertentu:
i.

Apa saja yang harus dipersiapkan agar perijinan terpenuhi? Dapatkah ijin impor
diperoleh dalam jangka waktu singkat atau ketika barang akan masuk ke pelabuhan
tanpa adanya ijin sebelumnya (contohnya untuk hal-hal diluar kesengajaan).

ii. Apakah mengajukan permohonan untuk mempercepat pemberian perijinan?


iii. Apakah ada pembatasan yang berkaitan dengan periode waktu antara permohonan
perijinan dan atau pengimporan? Jika ada, jelaskan.
iv. Apakah dasar pertimbangan permohonan ijin ditentukan oleh suatu lembaga
tunggal? Atau apakah permohonan itu harus disampaikan atau melalui lembaga
instansi lain seperti visa, rekomendasi atau persetujuan? Jika ya, bagaimana caranya?
Apakah importir harus menghubungi lebih dari satu instansi?
Keadaan bagaimanakah yang dapat mengakibatkan bahwa permohonan untuk
memperoleh perijinan ditolak dimana penolakan itu terjadi bukan karena tidak dapat
memenuhi criteria umum? Apakah alasan penolakan itu diberitahukan kepada pemohon?
Apakah pemohon berhak untuk mengajukan banding atas penolakan tersebut, dan jika ya,
apa nama lembaga dan bagaimana prosedurnya?
4.

Kelaikan Importir untuk mengajukan Permohonan Ijin

Apakah setiap orang, perusahaan atau lembaga layak untuk mengajukan


permohonan ijin impor:
i. untuk sistem tataniaga yang terbatas?
ii. untuk sistem tataniaga yang umum?
Jika tidak, apakah ada sistem pendaftaran bagi perorangan atau perusahaan yang
memungkinkan bagi mereka melakukan kegiatan impor? Perorangan atau perusahaan apa
yang laik melakukan kegiatan impor? Apakah ada biaya pendaftaran? Apakah ada publikasi
daftar importir yang mempunyai hak impor?

22

5.

Dokumen dan Persyaratan lain yang diperlukan untuk mengajukan


Permohonan Ijin

Informasi macam apakah yang dibutuhkan untuk pengajuan permohonan?


Tunjukkan contoh formulirnya. Dokumen apa sajakah yang diperlukan bagi importir untuk
diajukan dalam permohonan?
Dokumen apa sajakah yang harus diserahkan pada saat melakukan kegiatan impor?
Apakah ada biaya yang dikenakan terhadap permohonan atau pengurusan
administrasi? Jika ada, berapa besar biayanya atau pungutannya?
Apakah keharusan untuk menyerahkan desposit atau pembayaran dimuka terkait
dengan penerbitan perijinan tersebut? Jika ada, berapa jumlah atau tingkatannya, apakah
uang tersebut dapat dibayarkan kembali, periode retensinya dan tujuan dari keharusan
tersebut.
6.

Kondisi Perijinan

Berapa lama masa berlakunya perijinan? Apakah masa berlaku perijinan dapat
diperpanjang? Bagaimana caranya?
Apakah ada denda penalti bagi yang tidak memanfaatkan perijinan atau jatah yang
ditentukan oleh perijinan tersebut?
Apakah hak perijinan tersebut dapat dipindahtangankan ke sesama importir? Jika
dapat, apakah ada pembatasan atau kondisi yang harus dipenuhi dalam pemindahtanganan?
Apakah ada kondisi kondisi lain yang harus dilampirkan untuk penerbitan suatu
perijinan:
i. untuk produk-produk yang terkena pembatasan kuantitas?
ii. untuk produk-produk yang tidak terkena pembatasan kuantitas?
7.

Other Procedural Requirements

Apakah ada prosedur lain yang harus diikuti, selain perijinan impor atau prosedur
administratif sejenis, sebelum melakukan kegiatan impor?
Apakah nilai tukar asing otomatis disediakan oleh otoritas perbankan untuk barangbarang yang akan diimpor? Apakah suatu perijinan merupakan kondisi untuk memperoleh
nilai tukar asing? Apakah nilai tukar asing selalu tersedia untuk membiayai perijinan yang
diterbitkan? Formalitas apa saja yang harus dipenuhi untuk memperoleh nilai tukar asing?

Bagian
PERSETUJUAN TENTANG PROSEDUR
PERIZINAN IMPOR

Berikut ini adalah alih bahasa dari Agreement on Import Licensing Procedures, the Legal
Texts. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Agreement. (Final Act). WTO. Alih
bahasa atau terjemahan ini sekedar membantu pembaca memahami isi Persetujuan.
Meskipun demikian, untuk penginterpretasian pasal per pasal, para pembaca harus
merujuk pada sumber otentik yaitu pada Persetujuan yang berbahasa Inggris.
Para Anggota,
Sehubungan dengan Perundingan Perdagangan Multilateral;
Menginginkan melanjutkan tujuan-tujuan
Persetujuan Umum Tarif dan
Perdagangan/PUTP (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) 1994;
Mempertimbangkan kebutuhan tertentu dibidang perdagangan, pembangunan, dan
keuangan Negara-negara Anggota berkembang;
Menimbang kemanfaatan perizinan impor yang otomatis untuk tujuan-tujuan
tertentu dan bahwa perizinan tersebut hendaknya tidak dipergunakan untuk membatasi
perdagangan;
Menimbang bahwa perizinan impor dapat dipergunakan untuk menyelenggarakan
tindakan seperti yang diberlakukan menurut ketentuan-ketentuan PUTP 1994;
Menimbang ketentuan-ketentuan PUTP 1994 sebagaimana diberlakukan terhadap
prosedur perizinan impor;
Menginginkan untuk memastikan bahwa prosedur-prosedur perizinan impor tidak
dipergunakan dalam cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kewajiban PUTP
1994;
Menimbang bahwa arus perdagangan internasional mungkin dapat dihambat oleh
penggunaan prosedur-prosedur perizinan impor secara tidak wajar;
Diyakinkan bahwa perizinan impor, khususnya perizinan impor non-otomatis,
hendaknya dilaksanakan dengan cara yang bersifat transparen dan pasti;
Menimbang bahwa prosedur-prosedur perizinan impor non-otomatis hendaknya
tidak lebih membebankan secara administratif daripada prosedur yang sungguh-sungguh
perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan;
Menginginkan untuk menyederhanakan, dan menjadikan transparen, prosedur dan
praktek administratif yang digunakan di dalam perdagangan internasional, dan untuk
memastikan pelaksanaan dan pengadministrasian prosedur dan praktek tersebut secara
wajar dan adil;
Menginginkan untuk menyediakan mekanisme konsultasi serta penyelesaian yang
cepat, efektif, dan adil terhadap sengketa yang ditimbulkan dari Persetujuan ini.

24

Dengan ini sepakat sebagai berikut:


Pasal 1
Ketentuan-ketentuan Umum
1. Untuk maksud Persetujuan ini, perizinan impor berarti prosedur-prosedur
administratif24 yang digunakan untuk menjalankan rezim perizinan impor yang
mewajibkan pengajuan permohonan atau dokumentasi lain (kecuali yang diwajibkan
untuk keperluan bea dan cukai) kepada instansi administratif yang berwenang sebagai
pra-syarat untuk pengimporan ke dalam kawasan bea dan cukai Negara pengimpor.
2. Para Anggota harus memastikan bahwa prosedur-prosedur administratif yang
digunakan untuk melaksanakan rezim perizinan impor telah sesuai dengan ketentuanketentuan PUTP 1994 yang relevan, termasuk segala lampiran dan protokolnya,
sebagaimana ditafsirkan di dalam Persetujuan ini, dengan tujuan mencegah distorsi
perdagangan yang mungkin timbul dari pelaksanaan prosedur-prosedur tersebut yang
tidak wajar, dengan mempertimbangkan tujuan pembangunan ekonomi dan
kebutuhan keuangan dan perdagangan dari Negara-Para Anggota berkembang.25
3. Peraturan-peraturan untuk prosedur perizinan
pelaksanaannya dan diatur secara adil dan merata.

impor

harus

netral

dalam

4. (a) Peraturan-peraturan dan segala informasi berkaitan dengan prosedur untuk


pengajuan permohonan, termasuk persyaratan yang perlu dipenuhi oleh perorangan,
perusahaan, dan lembaga untuk membuat permohonan tersebut, instansi (-instansi)
administratif yang harus dihubungi, dan daftar-daftar produk yang dikenakan
persyaratan perizinan harus ditertibkan, di tempat-tempat yang diberitahukan kepada
Komite Perizinan Impor sebagaimana tercantum di dalam Pasal 4 (selanjutnya
disebut "Komite" di dalam Persetujuan ini), sedemikian rupa agar para pemerintah26
dan pedagang dapat mengetahuinya. Penerbitan itu harus dilakukan, bila dapat
dijalankan, 21 hari sebelum tanggal mulai berlakunya persyaratan yang dimaksud,
tetapi dalam hal mana pun tidak melewati tanggal berlakunya. Setiap pengecualian,
penyimpangan atau perubahan dalam atau dari peraturan-peraturan berkaitan dengan
prosedur perizinan atau daftar produk-produk yang dikenakan persyaratan perizinan
harus juga diterbitkan dengan cara yang sama dan dalam jangka waktu yang sama
sebagaimana ditentukan di atas. Salinan terbitan-terbitan ini juga harus disampaikan
kepada Sekretariat.
(b) Negara-Para Anggota yang hendak menyampaikan komentar secara tertulis harus
diberi kesempatan apabila dimohon untuk membahas komentar-komentar tersebut.
Para Anggota yang bersangkutan harus mempertimbangkan sepantasnya komentar
itu dan hasil pembahasan.
5. Formulir permohonan dan, apabila ada, formulir perpanjangan harus sesederhana
mungkin. Dokumentasi dan informasi yang dianggap benar-benar diperlukan guna
24

Tiada hal di dalam Persetujuan ini yang dapat ditafsirkan bermaksud bahwa dasar, ruang lingkup atau masa berlakunya suatu
tindakan yang sedang dilaksanakan melalui prosedur perizinan menjadi dipertanyakan menurut Perjanjian ini.
25Tidak ada satupun dalam Persetujuan ini dapat dianggap dapat mempengaruhi dasar, cakupan tindakan yang akan diterapkan oleh
suatu prosedur perijinan sebagai pokok yang dipertanyakan menurut Persetujuan ini.

Untuk tujuan Persetujuan ini, maka istilah pemerintah termasuk otoritas yang berwenang Masyarakat
Eropa.
26

menjalankan secara wajar sistem


dipersyaratkan dalam permohonan.

perizinan

yang

bersangkutan

mungkin

6. Prosedur-prosedur permohonan dan, apabila ada, prosedur perpanjangan harus


sesederhana mungkin. Para pemohon harus diberikan jangka waktu yang wajar bagi
pengajuan permohonan izin. Apabila ada tanggal penutupan jangka waktu tersebut
hendaknya tidak kurang dari 21 hari disertai ketentuan bagi perpanjangan dalam
keadaan jumlah permohonan yang diterima dalam jangka waktu itu belum cukup.
Apabila benar-benar diperlukan untuk menghubungi lebih dari satu instansi
administratif, para pemohon hendaknya tidak perlu menghubungi lebih dari tiga
instansi administratif.
7. Tidak ada permohonan yang boleh ditolak karena adanya kesalahan dokumentasi
yang kecil yang tidak mengubah data-data pokok yang tercantum di dalam
permohonan tersebut. Denda tidak boleh dikenakan lebih besar daripada yang
diperlukan sebagai peringatan dalam hal adanya kelalaian atau kesalahan di dalam
dokumentasi atau prosedur yang jelas dilakukan tanpa maksud pemalsuan atau
kesengajaan.
8. Impor-impor yang diizinkan tidak boleh ditolak karena adanya perbedaan kecil dalam
nilai, jumlah atau beratnya dibandingkan dengan yang tercantum pada izinnya yang
disebabkan oleh perbedaan yang terjadi dalam pengiriman, perbedaan yang mungkin
terjadi dalam pemuatan barang secara besar-besaran, dan perbedaan kecil lainnya
yang sesuai dengan praktek-praktek niaga yang normal.
9. Devisa yang diperlukan untuk membayar impor yang diizinkan harus tersedia bagi
pemegang izin atas dasar yang sama dengan importir-importir dari barang-barang
yang tidak memerlukan izin impor.
10. Berhubungan dengan pengecualian demi keamanan, ketentuan-ketentuan Pasal XXI
PUTP 1994 berlaku.
11. Ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini hendaknya tidak mensyaratkan Negara
manapun untuk memberikan informasi rahasia yang dapat menghambat pelaksanaan
hukum atau sebaliknya bertentangan dengan kepentingan umum atau akan merugikan
kepentingan perusahaan, umum atau swasta.
Pasal 2
Perizinan Impor Otomatis27
1.
Perizinan impor otomatis berarti perizinan impor dimana persetujuan atas
permohonan diberikan dalam semua kasus, dan yang sesuai dengan persyaratan Ayat 2(a).
2.
Ketentuan-ketentuan yang berikut28 sebagai tambahan atas Ayat 1 sampai dengan
11 Pasal 1 dan Ayat 1 Pasal ini, akan berlaku terhadap prosedut-prosedur perizinan impor
otomatis:

27Prosedur-prosedur

perizinan impor yang memerlukan keamanan, tetapi yang tidak berakibat membatasi impor, dianggap tercakup di
dalam ruang lingkup Ayat 1 dan 2.

Negara sedang Berkembang selain anggota negara berkembang yang sudah menjadi anggota Persetujuan
Prosedur Perijinan Impor 12 April 1979, yang mempunyai kesulitan untuk memenuhi ketentuan subparagraf (a)(ii) dan (a)(iii) diperbolehkan, melalui notifikasi ke Komite, menunda penerapan sub-paragraf ini
28

26

(a) prosedur-prosedur perizinan otomatis tidak boleh di administrasikan dengan cara


yang berakibat membatasi impor yang dikenakan perizinan otomatis. Prosedurprosedur perizinan otomatis akan dianggap berakibat membatasi perdagangan
kecuali, antara lain:
(i) setiap perorangan, perusahaan atau lembaga yang memenuhi persyaratan
hukum Para Anggota pengimpor untuk melakukan kegiatan impor produkproduk yang dikenakan perizinan otomatis berhak sama untuk memohon dan
mendapat izin impor;
(ii) permohonan-permohonan izin dapat diajukan pada setiap hari kerja sebelum
pengeluaran barang melalui bea dan cukai;
(iii) permohonan izin bilamana diajukan dalam bentuk yang tepat dan lengkap
disetujui segera sesudah diterimanya, sejauh hal itu layak secara administratif,
tetapi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 hari kerja;
(b)

Negara-negara mengakui bahwa perizinan impor otomatis mungkin diperlukan


bilamana prosedur-prosedur lain yang tepat tidak tersedia. Perizinan impor otomatis
dapat dipertahankan selama keadaan yang menyebabkan pelaksanaannya masih
berlaku dan selama maksud administratif yang mendasarinya tidak dapat dicapai
dengan cara yang lebih tepat.
Pasal 3
Perizinan Impor Non-Otomatis

1. Ketentuan-ketentuan berikut, sebagai tambahan terhadap yang ada dalam Ayat 1


sampai dengan 11 Pasal 1, akan berlaku terhadap prosedur-prosedur perizinan impor
non-otomatis. Prosedur perizinan impor non-otomatis berarti perizinan impor yang
tidak tercakup di dalam definisi yang tercantum dalam Ayat 1, Pasal 2.
2. Perizinan non-otomatis tidak boleh berakibat membatasi atau menggangu impor yang
menambah pembatasan yang sudah ada. Prosedur-prosedur perizinan non-otomatis
harus, dari segi ruang lingkup dan masa berlakunya, sesuai dengan tindakan yang
dilaksanakan dengan prosedur tersebut, dan harus tidak lebih membebankan secara
administratif daripada yang sungguh-sungguh perlu untuk mengatur tindakan yang
bersangkutan.
3. Dalam hal persyaratan perizinan untuk maksud selain pelaksanaan pembatasan
kuantitatif, Para Anggota harus menerbitkan informasi yang cukup agar Para Anggota
lain dan para pedagang dapat mengetahui dasar pemberitahuan dan/atau penjatahan
izin yang bersangkutan.
4. Apabila suatu Para Anggota memberikan kemungkinan bagi per-seorangan,
perusahaan atau lembaga untuk memohon pengecualian atau penyimpangan dari
suatu syarat izin, Para Anggota itu harus mencantumkan fakta tersebut di dalam
informasi yang diterbitkan menurut Pasal 1 ayat 4 ditambah dengan informasi
mengenai cara melakukan permohonan yang dimaksud dan, jika mungkin, penjelasan
tentang keadaan yang memungkinkan permohonan itu dapat dipertimbangkan.

tetapi tidak boleh lebih dari dua tahun dari tanggal mulai berlakunya Persetujuan WTO bagi negara
tersebut.

5.

(a) Para Anggota harus memberikan, atas permintaan setiap Para Anggota yang
berkepentingan di dalam perdagangan produk yang bersangkutan, segala informasi
yang ada hubungannya mengenai :
(i) administrasi pembatasan-pembatasan yang bersangkutan;
(ii) izin-izin impor yang telah diberikan selama periode yang belum lama
berlalu;
(iii) penyebaran izin tersebut di antara negara-negara pemasok;
(iv) jika dapat dilaksanakan, statistik-statistik impor (yaitu nilai dan/atau
volume) produk-produk yang dikenakan perizinan impor. Para Anggota
berkembang tidak akan diharapkan menanggung beban administratif atau
finansial tambahan untuk penyediaan statistik.
(b) Para Anggota yang melaksanakan kuota melalui cara perizinan harus
menerbitkan jumlah keseluruhan kuota yang akan ditetapkan menurut
kuantitas dan/atau nilai, tanggal pembukaan dan tanggal penutupan kuota, dan
perubahan tanggal tersebut, dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan di
dalam Pasal 1 ayat 4 dan sedemikian rupa agar para pemerintah dan pedagang
dapat mengetahuinya;
(c) dalam halnya kuota dijatahkan di antara negara-negara pemasok, Para Anggota
yang menerapkan pembatasan harus dengan segera memberitahukan semua
Para Anggota lain yang berkepentingan di dalam pemasokan produk yang
bersangkutan mengenai bagian kuota yang telah dijatah, menurut kuantitas
atau nilai, kepada berbagai negara pemasok; dan informasi tersebut harus
diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 1 ayat
4, dan sedemikian rupa agar para pemerintah dan pedagang dapat
mengetahuinya;
(d) bilamana terjadi keadaan yang menyebabkan diperlakukan-nya tanggal
pembukaan kuota yang lebih dini, informasi yang disebut di dalam Pasal 1 ayat
4 hendaknya diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan di dalam
Pasal 1 ayat 4, dan sedemikian rupa agar para pemerintah dan pedagang dapat
mengetahuinya;
(e) setiap perseorangan, perusahaan atau lembaga yang memenuhi persyaratan
hukum dan administratif dari Para Anggota pengimpor harus sama berhak
untuk memohon dan dipertimbangkan untuk suatu izin. Apabila permohonan
izin tidak disetujui, pemohon harus atas permintaannya, diberi tahu alasan
penolakan tersebut, dan berhak naik banding atau mendapat peninjauan
terhadap keputusan itu sesuai dengan perundang-undangan atau prosedur
dalam negarei Anggota pengimpor;
(f) jangka waktu untuk memproses permohonan harus, kecuali apabila tidak
mungkin karena alasan di luar kekuasaan Para Anggota yang bersangkutan,
tidak melebihi 30 hari bilamana setiap permohonan dipertimbangkan menurut
urutan bila permohonan diterima, yaitu yang diterima dulu ditangani dulu, dan
tidak melebihi 60 hari bilamana semua permohonan dipertimbangkan secara
bersama-sama. Dalam hal yang kedua ini, jangka waktu pemrosesan
permohonan akan dianggap mulai pada hari setelah tanggal penutupan jangka
waktu permohonan yang diumumkan;

28

(g) masa berlakunya izin harus jangka waktu yang wajar dan tidak boleh begitu
pendek sehingga menghalangi impor. Masa berlakunya izin tidak boleh
menghalangi impor dari tempat yang jauh, kecuali dalam keadaan khusus bila
impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek yang tidak
diduga terlebih dahulu.
(h) dalam mengatur kuota, Para Anggota tidak boleh menghambat pelaksanaannya
pengimporsan sesuai dengan izin yang telah dikeluarkan, dan tidak boleh
menghalangi penggunaan kuota sepenuhnya;
(i) dalam mengeluarkan izin-izin, Para Anggota harus mempertimbangkan
kepatuhan mengeluarkan izin untuk produk dalam jumlah ekonomis;
(j) dalam menjatahkan izin, Para Anggota hendaknya mem-pertimbangkan
kinerja impor si pemohon. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan apakah
izin-izin yang diberikan kepada pemohon pada masa lampau telah
dimanfaatkan sepenuhnya selama jangka waktu terakhir yang diambil
sebagai contoh. Dalam halnya izin tersebut tidak dimanfaatkan
sepenuhnya, Para Anggota harus menyelidiki penyebabnya dan penyebab
tersebut harus dipertimbangkan dalam penjatahan izin baru. Pembagian
izin yang wajar di antara para pengimpor baru harus juga dipertimbangkan,
dengan memperhatikan kepatuhan mengeluarkan izin untuk produk dalam
jumlah ekonomis. Dehubungan dengan itu, pertimbangan khusus
hendaknya diberikan kepada para pengimpor yang mengimpor produkproduk yang berasal dari Para Anggota negara berkembang dan, pada
khususnya Para Anggota terbelakang;
(k)

dalam hal kuota diatur melalui izin yang tidak dijatahkan di antara negaranegara pemasok, pemegang izin29 harus bebas untuk memilih sumber impor.
Dalam halnya kuota dijatahkan di antara negara-negara pemasok, izin yang
bersangkutan harus secara jelas menyatakan negara atau negara-negara yang
dimaksud;

(l)

dalam hal menerapkan Ayat 8, Pasal 1, penyesuaian-penyesuaian imbalan


dapat dilaksanakan dalam penjatahan yang akan datang bilamana jumlah
impor melebihi tingkat untuk suatu izin sebelumnya.
Pasal 4
Kelembagaan-kelembagaan

Dengan ini didirikan Komite Perizinan Impor yang terdiri atas wakil dari tiap-tiap
Para Anggota. Komite ini harus memilih sendiri Ketua dan Wakil Ketuanya dan harus
mengadakan rapat apabila diperlukan untuk tujuan memberikan Para Anggota
kesempatan berkonsultasi mengenai hal apapun yang berhubungan dengan pelaksanaan
Persetujuan ini atau pencapaian tujuan-tujuannya.
Pasal 5
Pemberitahuan
1. Bagi Para Anggota yang menyelenggarakan prosedur perizinan atau perubahan dalam
prosedur-prosedur itu, harus menyampaikan pemberitahuan kepada Komite tentang
29

Kadangkala disebut sebagai pemegang kuota.

hal-hal tersebut dalam jangka waktu 60 hari setelah penerbitannya.


2. Pemberitahuan tentang penyelenggaraan prosedur perizinan impor harus mencakup
informasi-informasi berikut:
(a) daftar produk yang dikenakan prosedur perizinan;
(b) tempat yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi mengenai pemenuhan
syarat;
(c) instansi (-instansi) administratif untuk pengajuan permohonan;
(d) tanggal dan nama terbitan dimana prosedur perizinan diterbitkan;
(e) indikasi sifat prosedur perizinan apakah otomatis atau tidak, sesuai dengan
definisi-definisi di dalam Pasal 2 dan 3 di atas;
(f) dalam halnya prosedur perizinan impor otomatis, penjelasan mengenai tujuantujuan administratifnya;
(g) dalam halnya prosedur perizinan impor non-otomatis, penjelasan mengenai
tindakan yang dilaksanakan melalui prosedur perizinan; dan
(h) perkiraan lamanya prosedur perizinan apabila dapat diperkirakan secara agak
tepat, dan apabila tidak, sebabnya informasi itu tidak dapat disediakan.
3. Pemberitahuan tentang perubahan di dalam prosedur perizinan impor harus
menunjukkan unsur-unsur yang disebut di atas bilamana terjadi perubahan di dalam
unsur tersebut.
4. Para Anggota harus memberitahukan Komite mengenai terbitan-terbitan yang akan
memuat informasi sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 1 ayat 4.
5. Setiap Anggota yang berkepentingan menganggap bahwa Anggota lain belum
menyampaikan pemberitahuan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan ayat 1 sampai
dengan 3, tentang prosedur perizinan atau perubahannya dapat meminta perhatian
Para Anggota lain itu kepada masalah tersebut. Bilamana sesudah itu pemberitahuan
tidak segera disampaikan, Para Anggota yang pertama dapat menyampaikan
pemberitahuan tentang prosedur perizinan atau perubahannya, termasuk segala
informasi yang relevan dan tersedia.
Pasal 6
Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa.
Konsultasi dan penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan setiap masalah
yang mempengaruhi operasi Persetujuan ini harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan
Pasal XXII dan XXIII PUTP 1994, sebagaimana dijelaskan dan diterapkan dengan
Kesepakatan tentang Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Understanding).
Pasal 7
Peninjauan
1. Komite harus meninjau apabila diperlukan, tetapi sekurang-kurangnya dua tahun
sekali, pelaksanaan dan operasi Persetujuan ini, dengan mempertimbangkan tujuantujuannya serta hak dan kewajiban yang tercantum di dalamnya.
2. Sebagai dasar peninjauan Komite, Sekretariat akan menyiapkan sebuah laporan
faktual berdasarkan informasi yang diberikan menurut Pasal 5, jawaban terhadap

30

kuesioner tahunan tentang prosedur perizinan impor30, dan informasi lain yang
relevan yang tersedia baginya. Laporan tersebut akan menyajikan ringkasan informasi
tersebut di atas, khususnya yang menunjukkan perubahan atau perkembangan selama
periode yang ditinjau, dan mencakup informasi lain mana pun yang disetujui Komite.
3. Negara-negara Anggota wajib mengisi secara cepat dan lengkap kuesioner tahunan
tentang prosedur perizinan impor.
4. Komite akan memberitahukan Dewan Perdagangan Barang-barang tentang
perkembangan selama jangka waktu yang dalam peninjauan.
Pasal 8
Ketentuan-ketentuan Penutup
Penangguhan
1.
Penangguhan tidak dapat diajukan berkaitan dengan ketentuan mana pun di dalam
Persetujuan ini tanpa persetujuan dari Para Anggota yang lain.
Perundang-undangan Dalam Negeri
2.

30

(a)

Setiap Para Anggota harus memastikan, selambat-lambatnya pada tanggal


mulai berlakunya Persetujuan WTO bagi Anggota itu, penyesuaian peraturan,
perundang-undangan, dan prosedur administratifnya dengan ketentuanketentuan Persetujuan ini.

(b)

Setiap Para Anggota harus memberitahukan Komite tentang perubahan


mana pun di dalam peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan
Persetujuan ini dan perubahan di dalam pelaksanaan peraturan dan
perundang-undangan tersebut.

Aselinya tercantum dalam dokumen GATT 1947 dalam dokumen L/3515 tanggal 23 Maret 1971

Bagian

CONTOH NOTIFIKASI KEBIJAKAN DAN


PERATURAN TERKAIT IJIN IMPOR

Berikut ini adalah contoh atau sample dari notifikasi Agreement on Import Licensing
Procedures WTO yang pernah dilakukan Indonesia ke Sekretariat WTO. Contoh contoh
berikut ini adalah salinan dari notifikasi Indonesia yang telah diterbitkan oleh Sekretariat
WTO berikut penjelasan dalam bahasa Indonesia tentang maksud dari masing masing pasal
mengenai notifikasi sebagaimana termuat dalam Persetujuan Perijinan Impor WTO.
A. Contoh Notifikasi Catatan Kaki No. 5 Pasal 2 Ayat 2
Indonesia hingga saat ini belum atau tidak pernah melakukan notifikasi berdasar
Catatan Kaki No. 5 Pasal 2 ayat 2. Untuk membuat notifikasi tersebut, dapat menggunakan
contoh kalimat sebagai berikut:
In accordance with footnote 5 to Article 2.2 of the Agreement on Import Licensing Procedures,
[Indonesia] wishes to delay the application of the provisions of Article 2.2 (a)(ii) and (a)(iii) by not more
than two years..
B. Contoh Notifikasi Menurut Pasal 1.4(A) Dan 8.2(B)
Untuk membuat notifikasi berdasarkan pasal 1.4(A) dan 8.2(B), dapat
menggunakan contoh kalimat sebagai berikut:
I have the honour to notify that rules and all information relating to import licensing procedures applicable
in [name of country] are published in the Import Licensing Bulletin and the Government Gazette of [name
of country]
Article 1.4(a)31 tentang Publikasi Tata cara Permohonan Ijin
Setiap anggota harus melakukan notifikasi ke Komite Import Licensing semua sumber
informasi terkait dengan publikasi mengenai prosedur perijinan impor, dan menyampaikan
salinan publikasi tersebut ke Sekretariat (WTO). Dalam hal tidak tersedianya publikasi yang
berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis dan Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus
menyediakan, ringkasan dan terjemahan tersebut ke dalam bahasa resmi WTO. Anggota
WTO lainnya dapat meminta terjemahan penuh apabila menghendakinya, atau berupaya
memperoleh informasi tambahan melalui basis pendekatan bilateral. Bilamana terjadi issue
yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral, maka issue dimaksud boleh disampaikan ke
Komite Lisensi Impor agar menjadi perhatian bersama seluruh anggota.
1.

Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4 (a) dan 8.2 (b)
untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan bilamana
dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban
atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi akan memberitahu Sekretariat, perubahan-perubahan yang telah
mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka notifiikasikan sebelumnya.
31

32

Anggota (WTO) yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus
menentukan sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round
Code tetap berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau
apabila mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru. Komite Prosedur Perijinan
Impor WTO, pada pertemuan hari ini tanggal 12 Oktober 1995, menetapkan batas akhir
pada tanggal 12 Januari 1996 bagi seluruh anggota WTO yang ada untuk pertama kalinya
membuat notifikasi atas Persetujuan ini. Contoh notifikasi RI untuk memenuhi kewajiban
Pasal 1.4(a) dapat dilihat dan diakses dari website WTO dalam dokumen
G/LIC/N/1/IDN/1 tanggal 2 November 1998 (Lampiran 1).
2.

Article 8.2(b)32 tentang Anggota Bukan Penanda tangan Tokyo Round.

Tiap anggota WTO harus menginformasikan kepada Komite mengenai segala


perubahan undang-undang dan regulasi yang relevan terkait dengan Persetujuan ini dan
pegnadiministrasian undang-undang dan regulasi dimaksud. Notifikasi pertama yang harus
dilakukan oleh Anggota bukan Penanda tangan Tokyo Round Code menurut Pasal 8.2(b)
harus memuat teks lengkap undang-undang dan regulasi terkait yang mempunyai relevansi
dengan kepentingan Anggota lainnya sejak Persetujuan WTO mulai berlaku.
Dalam hal tidak tersedianya publikasi yang berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis
dan Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus menyediakan, ringkasan dan terjemahan
tersebut ke dalam bahasa resmi WTO. Anggota WTO lainnya dapat meminta terjemahan
penuh apabila menghendakinya, atau berupaya memperoleh informasi tambahan melalui
basis pendekatan bilateral. Bilamana terjadi issue yang tidak dapat diselesaikan secara
bilateral, maka issue dimaksud boleh disampaikan ke Komite Lisensi Impor agar menjadi
perhatian bersama seluruh anggota.
Anggota WTO yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus menentukan
sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round Code tetap
berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau apabila
mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru. Komite Prosedur Perijinan Impor
WTO, pada pertemuan hari ini tanggal 12 Oktober 1995, menetapkan batas akhir pada
tanggal 12 Januari 1996 bagi seluruh anggota WTO yang ada untuk pertama kalinya
membuat notifikasi atas Persetujuan ini. Contoh notifikasi RI untuk memenuhi kewajiban
Pasal 8.2(b) dapat dilihat dan diakses dari website WTO dalam dokumen
G/LIC/N/1/IDN/1 tanggal 2 November 1998 (Lampiran 1).

32 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4 (a)
dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan
bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2.
Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi menyajpaikan indikasi
kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah
mereka notifikasikan sebelumnya.

C. Contoh Notifikasi Jawaban Untuk Kuesioner Prosedur Perijinan Impor


Notifikasi Berlaku Menurut Pasal 7.3 Persetujuan Tentang Prosedur Perijinan
Impor
Tiap anggota (WTO) harus menyerahkan berkas lengkap notifikasi pada tanggal 30
September tiap tahunnya, kuesioner mengenai prosedur perijinan import sebagaimana
termuat dalam dokumen G/LIC/3, Annex . Isi kuesioner mencakup perijinan impor dan
prosedur administratif terkait (semacam visa teknis, sistem pengawasan, rancangan patokan
harga minimum, dan tinjauan administrative lainnya). Setiap Anggota WTO harus
menyediakan informasi yang terkait dengan tujuan dan cakupan perijinan, undang-undang,
regulasi dan kewajiban administratif lainnya yang terkait dengan tata niaga, prosedur untuk
aplikasi dan memperoleh penerbitan ijin dari sistem yang bersifat restriktif maupun yang
non-restriktif, alokasi kuota, periode proses aplikasi, masa berlaku perijinan, institusi yang
mempunya kewenangan, persayaratan dokumentasi untuk mengajukan aplikasi, importer
tertentu yang dianggap pantas mendapat hak untuk mengajukan permohonan perijinan,
kondisi perijinan dan formalitas nilai pertukaran asing.
Tiap anggota WTO harus menentukan sendiri jawaban atas masih berlaku tidaknya
prosedur perijinan yang berlaku sebelumnya di bawah GATT 1947 dengan setelah
berlakunya Persetujuan WTO, yakni apakah perubahannya saja yang perlu dinotifikasi atau
harus menotifikasi secara keseluruhan. Contoh notifikasi RI untuk memenuhi kewajiban
Pasal 7.3 dapat dilihat dan diakses dari website WTO dalam dokumen
G/LIC/N/3/IDN/3, 27 November 2006 (Lampiran 2).

D. Contoh Notifikasi Article 5.1-5.4 tentang Prosedur Pengajuan Perijinan.


Para Anggota yang melembagakan prosedur perijinan atau perubahan-perubahan
atas prosedur tersebut harus melakukan notifikasi ke Komite dalam waktu 60 hari sejak
dipublikasikan. Notifikasi dimaksud harus memuat informasi yang termasuk dalam daftar
sebagaimana diatur dalam Pasal 5.2 (yakni, daftar produk yang ditataniagakan, kontak point
untuk informasi yang absah, instnasi yang memberikan rekomendasi; tanggal dan nama
publikasi diterbitkannya prosedur perijinan tersebut; indikasi otomatis tidaknya prosedur
perijinan tersebut sesuai definisi Pasal 2 dan 3; bilamana perijinan itu bersifat otomatis,
maka harus ada penjelasan mengenai tujuan dari tataniaga; namun apabila bersifat nonotomatis, maka harus ada penjelasan ketentuan yang diterapkan melalui perijinan tersebut;
harus juga diindikasikan jangka waktu pengaturan prosedur perijinan dimaksud yang dapat
diperkirakan batas waktunya, namun jika tidak bias maka harus ada penjelasan mengenai
alas an tidak adanya informasi yang dapat diberikan). Setiap anggota WTO harus
menotifikasi ke Komite Import Licensing Procedures segala publikasi yang terkait. Contoh
notifikasi RI untuk memenuhi kewajiban Pasal 5.1- 5.4 dapat dilihat dan diakses dari
website WTO dalam dokumen G/LIC/N/2/IDN/2/Add.1 6 July 2009,
G/LIC/N/2/IDN/2 15 May 2009, dan G/LIC/N/2/IDN/1 23 April 2003
(Lampiran 3).
E. Contoh Notifikasi Article 5.5 tentang Notifikasi Kebijakan Impor Negara Lain
Setiap Anggota WTO yang beranggapan bahwa Anggota WTO lainnya belum
menotifikasikan prosedur tata-niaga atau perubahan terhadap kebijakan tata niaga tersebut
menurut Pasal 5.1 5.3, dapat mengangkat masalah ini untuk meminta perhatian Anggota

34

WTO lainnya, dan apabila notifikasi semacam itu belum dilakukan, maka Negara yang
bersangkutan harus segera melakukan notifikasi atau perubahan terhadap kebijakan yang
telah dinotifikasikan.
F.

Contoh Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing WTO


Tiap Anggota WTO dapat meminta klarifikasi tentang Peraturan Impor Anggota
WTO lainnya dengan menotifikasi pertanyaan mereka ke Committee on Import Licensing
WTO. Anggota yang menerima pertanyaan juga wajib menotifikasi jawaban atau
tanggapannya ke Committee on Import Licensing agar semua Anggota WTO
mengetahuinya. Contoh pertanyaan dan tanggapan atas kebijakan impor Indonesia yang
telah dinotifikasi dan diakses dalam website WTO terdapat dalam G/LIC/Q/IDN/11
tanggal 5 Februari 2009 dan G/LIC/Q/IDN/14 tanggal 6 April 2009 (Lampiran 4).

Bagian
BADAN-BADAN WTO TUJUAN NOTIFIKASI
DAN LEMBAGA NOTIFIKASI DI INDONESIA

A.

Badan-Badan WTO Tujuan Notifikasi

1.
Berikut ini adalah badan-badan atau unit penanggung jawab di Sekretariat WTO
sebagai tempat dimana notifikasi ditujukan. Pengadministrasian notifikasi dilakukan oleh
Central Registry Notification atau CRN, namun badan, unit atau komite yang menerima
notifikasi dari anggota WTO adalah:
General Council
WTO Director General
Council for Trade in Goods
Council for Trade in Services
Concil for TRIPS
WTO Secretariat
Trade Policy Review Body
Berbagai Komite dalam WTO seperti: pertanian, market access, anti-dumping,
subsidies, safeguards, trade and development, import licensing, TRIMs, TRIPS, TBT, custom
valuation, rules of origin, RTA, dan SPS.
Beberapa lembaga penerima notifikasi yang bekerjasama dengan WTO adalah
ISO/IEC Information Center dan WIPO.
2.

Central Registry of Notification/CRN

CRN (Central Registry of Notification) adalah unit di dalam Sekretariat WTO


didirikan sebagai pelaksanaan dari Keputusan Menteri-menteri WTO mengenai prosedur
notifikasi atau the Decision on Notification Procedures. Tugas utamanya adalah
mengadministrasikan notifikasi yang mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
CRN melakukan pencatatan hal-hal yang berkenaan dengan notifikasi seperti
halnya tujuan, cakupan perdagangan, serta persyaratan yang harus dipenuhi Anggota
dalam melakukan notifikasi.
CRN melakukan pencatatan rujukan silang dan pengecekan (cross-reference) atas
notifikasi yang telah dilakukan Anggota dan kewajibannya.
Mengingatkan para Anggota untuk melakukan notifikasi secara reguler atas
notifikasi yang belum mereka lakukan.

36

3.

Area Notifikasi dan Alamat Tujuan Notifikasi WTO


Area

GATS

Alamat Tujuan
General Council, Council for Trade in Services

Balance of Payment

WTO Secretariat, General Council

Agriculture

Committee on Agriculture

Antidumping

Committee on Antidumping

Subsidies

Committee on SCM

Safeguards

Committee on Safeguards, Council for Trade in Goods

Import Licensing

Committee on Import Licensing, WTO Secretariat

Market Access/Tariff & NonTariff Measures

WTO Secretariat, Council for Trade in Goods, Committee


on Market Access

Pre-Shipment Inspection

Council for Trade in Goods

10

Regional Trade Arrangements

11

Rules of Origin

Committee on Trade and Development, Council for Trade


in Goods
Committee on Rules of Origin

12

Custom Valuation

Committee on Custom Valuation, WTO Director General

13

Sanitary and Phytosanitary

WTO Secretariat

14

State Trading Enterprises

Council for Trade in Goods

15

Technical Barriers to Trade

16

Trade Policy Review

Committee on TBT, ISO/IEC Information Center,


WTO Secretariat
Trade Policy Review Body

17

TRIMs

Committee on TRIMs, WTO Secretariat

18

TRIPS

Committee on TRIPS, WIPO

B.

Lembaga Notifikasi Di Indonesia

Berdasar ketentuan WTO, setiap negara anggota harus menunjuk salah satu
badan, lembaga, atau unit yang diberi kewenangan untuk menyampaikan notifikasi sesuai
Article X GATT ayat 3 dan berbagai pasal notifikasi di beberapa agreement. Lembaga yang
ditunjuk pemerintah ini dapat langsung melakukan notifikasi ke WTO Secretariat atau ke
unit di WTO tempat tujuan notifikasi.
Berikut ini adalah sejumlah otoritas yang telah ditunjuk oleh pemerintah
Indonesia untuk melakukan dan bertanggung jawab atas masalah notifikasi yakni:
1.

Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional (Ditjen KPI).

Kementerian Perdagangan bertanggung jawab mengkoordinasikan, mengingatkan


kepada instansi terkait, dan menanggapi hal-hal yang menyangkut pemenuhan kewajiban
notifikasi. Ditjen KPI atas nama Kementerian Perdagangan ini menjadi sumber informasi
nasional mengenai ketentuan tentang kewajiban notifikasi.
Badan Standardisasi Nasional33/BSN.

2.

BSN telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia secara resmi ke Sekretariat WTO
dan diberi kewenangan dan bertanggung jawab untuk melakukan dan menanggapi
notifikasi dalam kerangka Technical Barrier to Trade WTO yang menyangkut penerapan dan
prosedur standard baik yang berlaku secara nasional maupun yang berlaku di negara
anggota WTO.
Badan Karantina Pertanian34/BKN.

3.

BKN adalah lembaga di Kementerian Pertanian yang telah ditunjuk oleh


Pemerintah RI ke Sekretariat WTO sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk
menotifikasikan kebijakan, tindakan, atau peraturan yang menyangkut kesehatan manusia,
hewan, tumbuhan, dan karantina atau sanitary and phythosanitary.
4.

Bank Indonesia/BI.

BI telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia ke Sekretariat WTO sebagai


lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan untuk melakukan notifikasi berkaitan
dengan kebijakan perbankan dan lembaga keuangan di Indonesia.
5.

Perwakilan Tetap RI untuk WTO/PTRI di Jenewa.

PTRI Jenewa meskipun tidak ditunjuk secara resmi melalui surat Pemerintah RI
ke Sekretariat WTO, namun karena kedudukan dan fungsinya maka PTRI menjadi
lembaga yang mewakili Pemerintah RI untuk urusan notifikasi WTO. Meskipun
demikian, PTRI Jenewa dalam hal ini berfungsi sebagai lembaga untuk menyampaikan
seluruh notifikasi atas dasar pendelegasian dari Pusat dan berdasar masukan dari Pusat.
Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI)35

6.

33 Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia
sebagai entry point untuk notifikasi yang berkaitan dengan kebijakan standardisasi dan penerapannya.
Notifikasi yang dilakukan BSN ini adalah dalam rangka implementasi Agreement Technical Barrier to Trade
WTO.

Badan Karantina Nasional (BKN) adalah lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai
entry point untuk notifikasi yang berkaitan dengan kebijakan perkarantinaan. Notifikasi yang dilakukan BKN
ini adalah dalam rangka implementasi Agreement Sanitary and Phythosanitary WTO atau kebijakan yang
terkait pencegahan perkembangan penyakit yang terbawa oleh produk impor yang dapat mempengaruhi
kesehatan hewan, manusia dan tumbuhan.
34

Komite AntiDumping Indonesia (KADI) secara regular telah menyampaikan notifikasi ke


Committee on AntiDumping Practices berupa notifikasi laporan tengah tahunan (semi annual report) dan annual
report serta adhoc mengenai ada atau tidaknya tindakan antidumping dan countervailing measures yang
dilakukan KADI. Selain notifikasi semi annual report, KADI juga harus menotifikasikan peraturan dan
otoritas AntiDumping berikut alamatnya.
35

38

KADI mempunyai otoritas untuk menyampaikan notifikasi yang menyangkut


segala hal yang terkait dengan peraturan, prosedur, dan tindakan anti-dumping dan
subsidi seperti otoritas anti dumping, peraturan anti-dumping, semi annual, annual serta
publikasi terkait.
7.

Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia/ KPPI36

KPPI mempunyai otoritas untuk menyampaikan notifikasi yang menyangkut


segala hal yang terkait dengan peraturan, prosedur, dan tindakan safeguard seperti
otoritas safeguard, peraturan safeguard, annual report, serta publikasi terkait.
8.

State Trading Enterprise.

Badan Urusan Logistik (BULOG)37 dan Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh


(BPPC) adalah dua lembaga yang telah ditunjuk secara resmi oleh Pemerintah RI ke
Sekretariat WTO sebagai entitas state trading enterprise/ STE sesuai mandate dari Agreement
on State Trading Enterpirse WTO. Bulog dan BPPC mempunyai otoritas untuk
menyampaikan notifikasi yang menyangkut segala hal yang terkait dengan kedudukan
BULOG atau BPPC sebagai State Trading Enterprise/ STEs seperti otoritas STE, peraturan
prosedur STE serta publikasi terkait.

36 Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia/KPPI secara regular juga wajib menotifikasikan


laporan mengenai ada tidaknya tindakan safeguard baik ad hoc, semesteran, maupun tahunan. KPPI juga
harus menotifikasikan peraturannya dan lembaga, pejabat dan alamat.
37 Badan Urusan Logistik/BULOG dan BPPC hingga saat ini masih tercatat dan telah dinotifikasikan
oleh Pemerintah Indonesia sebagai State Trading Enterprise. Kedua badan ini sejak setelah reformasi tidak lagi
aktif melakukan notifikasi padahal keberadaan kedua STE ini memiliki posisi strategis dari segi
perdagangan. Notifikasi yang mereka lakukan adalah dalam rangka pemenuhan Agreement on State Trading
Enterprise WTO.

Daftar Pustaka.
Buku
The Legal Text. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations, Cambride University Press, 2003.
Magiera, Stephen L, Reading in Indonesia Trade Policy 1991 2002, USAID Trade
Implementation Policy Projects, Jakarta 2003.
Website
Badan Standardisasi Nasional, di http://www.bsn.go.id/
Badan Karantina Pertanian, di http://karantina.deptan.go.id/
Badan Urusan Logistik, di http://www.bulog.co.id/
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, di https://www.facebook.com/pages/KomitePengamanan-Perdagangan-Indonesia-KPPI/114256828634255
G 20. http://id.wikipedia.org/wiki/G-20_ekonomi_utama
Undang undang/ Regulasi/ Peraturan
Peraturan Menteri Perdagangan No.56/M-DAG/PER/12/2008 tentang Ketentuan Impor
Produk Tertentu, 24 Desember 2008.
Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 732/MPP/Kep/10/2002
tentang Tata Niaga Impor Tekstil, 22 Oktober 2002.
Surat Keputusan Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/2005 perihal pengaturan
masa tahun 2006, tanggal 28 Desember 2005.
Dokumen WTO
Indonesia - Schedudle of Market Access Commitmen on Goods XXI (Schedule XXI);
Technical Cooperation Handbook on Notification Requirements; Agreement on Import
Licensing Procedures, WT/CT/NOTIF/LIC/1, 15 October 1996;
Agreement on Import Licensing Procedure, Notification under Articles 1.4(a) and 8.2(b)
WTO G/LIC/N/1/IDN/1, 2 November 1998;
Agreement on Import Licensing Procedure,
G/LIC/N/2/IDN/1, 23 April 2003;
Agreement on Import Licensing Procedure,
G/LIC/N/3/IDN/3, 27 November 2006;

Notification
Notification

under
under

Articles
Articles

5,
7.3,

Agreement on Import Licensing Procedure, Replies from INDONESIA to Questions from


the
UNITED
STATES
and
the
EUROPEAN
COMMUNITIES;
G/LIC/Q/2/IDN/14, 6 April 2009;

40

Lampiran
Lampiran 1
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 1.4(A) dan Pasal 8.2(B)
Agreement on Import Licensing

WORLD TRADE

G/LIC/N/1/IDN/1
2 November 1998

ORGANIZATION
(98-4258)

ORIGINAL:
ENGLISH

Committee on Import Licensing

AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES


Notification under Articles 1.4(a) and 8.2(b)
INDONESIA
In a communication dated 27 October 1998, the Permanent Mission of Indonesia has
submitted a copy of each of the following Decrees of the Minister of Industry and Trade relevant
to import licensing38:
Decree No. 230/MPP/Kep/7/1997 of 4 July 1997: Goods Subject to the Import Trade
System;
Decree No. 406/MPP/Kep/11/1997 of 3 November 1997: Amendment of Attachment
No. 1 of Decree No. 230/MPP/Kep/7/1997;
Decree No. 25/MPP/Kep/1/1998 of 21 January 1998: Amendment of Decree
No. 230/MPP/Kep/7/1997;
Decree No. 111/MPP/Kep/1/1998 of 27 January 1998: Amendment of Decree
No. 230/MPP/Kep/7/1997;
Decree No. 106/MPP/Kep/2/1998 of 27 February 1998: Import Procedures for
Dangerous Materials; and
Decree No. 439/MPP/Kep/9/1998 of 22 September 1998: Amendment of Decree
No. 230/MPP/Kep/7/1997.

__________

38

Available for consultation in the Secretariat (Market Access Division) (English only).

WORLD TRADE

G/LIC/N/2/IDN/1
23 April 2003

ORGANIZATION

(03-2153)

Committee on Import Licensing

O R I G I N A L :

AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES


Notification under Article 5
INDONESIA
The following communication, dated 14 April 2003, has been received from the
Permanent Mission of Indonesia.
_______________
Pursuant to Article 5, paragraph 4 of the Agreement on Import Licensing Procedures,
I herewith submit the Decree of the Minister of Industry and Trade of the Republic of
Indonesia No. 732/MPP/Kep/10/2002, dated 22 October 2002, regarding Procedures for
Importing Textile, including several attachments39:
-

Attachment I: List of textile fabrics having their import procedures ruled

Attachment II: Statement: Plan of requirement of raw materials or auxiliary


materials and marketing of products

Attachment III: Approval as textile producer importer

Attachment IV: Realization of import by company as holder of textile producer


importer (IP textile)

39

Available for consultation in the Secretariat (Market Access Division) (in English only).

42

Lampiran 2
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 7.3 Agreement on Import
Licensing

WORLD TRADE

G/LIC/N/3/IDN/3
27 November 2006

ORGANIZATION
(06-5691)
Committee on Import Licensing

O R I G I N A L :
E N G L I S H

REPLIES TO QUESTIONNAIRE ON IMPORT LICENSING PROCEDURES40


Notification under Article 7.3 of the Agreement on Import Licensing Procedures
INDONESIA

The following communication, dated 30 October 2006, has been received from the
Delegation of Indonesia.
_______________
Products Subject to Import Licensing Administered by the Ministry of Trade

Outline of systems
1. Indonesian import licensing system is implemented in order to preserve national interest in
particular to protect health, safety, security, ecological environment and public moral. Other
primary objective of this regulation system is to meet certain socio-economic objectives, among
others, enhancing domestic competitiveness and preventing smuggling activities. The issuance and
approval of licences fall within the authority of the Ministry of Trade.
Purposes and coverage of licensing
2. All import products can automatically be imported and considered as automatic import licensing
except:
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
40

Alcoholic beverages;
Nitrocellulose;
Precursors;
Optical discs;
Rice;
White crystal sugar;
Consumption salt;
Unworked diamond

See document G/LIC/3, Annex, for the Questionnaire.

Those products as mentioned above are considered as non-automatic import


licensing.
3. The system applies to goods originating from all countries.
4. In general the system is not intended to restrict the quantity or value of imports. However, in
order to meet the nation's legitimate needs certain measures are taken to regulate the importation of
such product, inter alia, rice, white crystal sugar and consumption salt.
5. The import regulation system is fully based on the Trade Ordinance (Bedrijfsreglementerings
Ordonnantie) of 1934 and its amendments.
Other laws governing the importation of specific goods are:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Law No. 23 of 1992 on Public Health;


Law No. 6 of 1996 on Food;
Law No. 5 of 1997 on Psychotropic Substances;
Law No. 23 of 1997 on the Preservation of the Environment;
Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection;
The Explosive Ordinance (Explosiven Ordonnantie) of 1931 and its amendments;
Government Regulations No. 32 of 1998 on Small and Medium Enterprises and its
amendments:
No, licensing is not a statutory requirement

Yes , it does.

Yes, it is possible for the Government to abolish the system without


legislative approval.

Procedures
6. For products under restriction the quantity of imports is applicable globally.
I.

Yes, complete information concerning allocation of quotas and formalities of filing


applications for licences is published in the state gazette, national newspapers and
other publications.

II.

Quotas are determined on a yearly basis based on the production capacity of the
producer. Import licences will be issued based on the quotas allocated and
extendable.

III.

Licences are allocated to any producer, regardless of domestic or foreign company,


which has fulfilled all of the documentational and other requirements for application.
Unused quota allocations cannot be carried over to the succeeding year.

IV.

Applications for licences of rice, white crystal sugar, and consumption salt can be
filed immediately after the publication of the allocation of quotas. Applications for
other than those commodities are accepted at any time in the current year.

V.

Licences will be issued within 15 working days, at the maximum.

44

VI.

Importation could only be done immediately upon approval of the licences.

VII.

Consideration of licence applications is not only effected by the Ministry of Trade.


For certain commodities/goods, recommendations from relevant other Ministries or
agencies are required prior to the issuance of licences.

VIII.

Quota allocation is distributed upon the production capacity of each company.


Provision for new importers is not applicable. All applications are immediately
examined upon their receipt.
No imports are made into Indonesia under bilateral quotas or export restraint
arrangements.

IX.

X.

No imports are made into Indonesia on the basis of export permits.

XI.

No applicable.

7. Where there is no quantitative limit on the importation of a product or on imports from a


particular country:
Application for a licence can be made anytime before the arrival of the goods.
Licences can be obtained within a short-time limit.
Yes, a licence will be granted immediately upon completion of documentational and
other requirements.
No, there is no limitation of time
See answer nos. VI., VII.
8. In the case of the importation of rice, white crystal sugar and consumption salt, the licensing
authority may decline to grant an import licence should there be no more allocation of quotas or
time.
Eligibility of importers to apply for licence
9. (a) Under restrictive licensing systems only approved importers are eligible to apply for
licences.
(b)

Under non-restrictive systems, all persons, firms and institutions are eligible to apply
for licences.

Documentational and other requirements for application for licence


10. Documents required are:
(a) Copy of Company Registry Number (Tanda Daftar Perusahaan TDP).
(b) Copy of Industrial Business Licence (Izin Usaha Industri IUI).
(c) Copy of Taxpayer Registry Number (Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP).

(d) Copy of Importer Identity Number (Angka Pengenal Impor API).


(e) Letter of recommendations from related Ministries/Agencies.
11. Documents required are:
(a) Bill of Lading/Airway Bill
(b) Invoice
(c) Packing List
(d) Import Declaration
The importer should attach a copy of the import licence for customs clearance
purposes for commodities that require licences.
12. There is no licensing fee or administrative charge.
13. There is no deposit or advance payment requirements.
Conditions of licensing
14. The validity period of an import licence is one year at the maximum and can be extended.
15. There is no penalty.
16. The licences are not transferable.
17. No.
Other procedural requirements
18. No.
19. Yes. No particular licence is required to obtain foreign exchange for imports. Normal banking
procedures apply for obtaining foreign exchange.

--------------

46

Lampiran 3
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 5.1-5.4 Agreement on Import
Licensing

WORLD TRADE

G/LIC/N/2/IDN/2/Add.1
6 July 2009

ORGANIZATION
(09-3293)
O R I G I N A L :

Committee on Import Licensing

AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES


Notification under Article 5
INDONESIA
Addendum
The following communication, dated 29 June 2009, is being circulated at the request of
the delegation of Indonesia.
_______________
Pursuant to Article 5.3 of the Agreement on Import Licensing Procedures regarding
the changes in import licensing procedures, the Government of Indonesia is notifying to the
Committee on Import Licensing Procedures, relating to:
Regulation of the Minister of Trade No.21/M-DAG/PER/6/2009 dated June 2009 on
the Amendment of Regulation of the Minister of Trade No. 8/M-DAG/PER/2/2009 on the
Import of Iron or Steel41
(a)
List of products subject to licensing procedures
Reduced from the original 203 post tariff to 169 post tariff, where HS. 7311, 7318,
and 7321 are not included in the new regulation.
(b)
Date and name of publication where licensing procedures are published
Date: 11 June 2009;
Publication: Regulation of the Minister of Trade No.21/M-DAG/PER/6/2009
dated June 2009 on The Revision of Regulation of the Minister of Trade
No.8/M-DAG/PER/2/2009 on the Import of Iron or Steel.
(c) In the case of automatic import licensing procedures, their administrative purpose
In the new regulation, the clause that stated company applying for IP or IT of Iron or
Steel must provide their import plan for one year covering quality, kinds of goods,
tariff heading/HS 10 (ten) digits and destination port, is removed.

41

Available for consultation (Market Access Division) In English only (unofficial translation).

WORLD TRADE

G/LIC/N/2/IDN/2
15 May 2009

ORGANIZATION
(09-2391)
O R I G I N A L :

Committee on Import Licensing

AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES


Notification under Article 5
INDONESIA
The following communication, dated 28 April 2009, is being circulated at the request
of the delegation of Indonesia.
_______________
Pursuant to Article 5.2 of Agreement on Import Licensing Procedures regarding
institution of import licensing procedures, the Government of Indonesia is notifying42 to the
Committee on Import Licensing Procedures, relating to:
1.
2.

Regulation of the Minister of Trade No. 08/M-DAG/Per/2/2009 dated 18 February


2009 on Provisions on the Import of Iron or Steel, and
Regulation of Minister of Trade No. 56/M-DAG/PER/12/2008 dated 24 December
2008 on Provision of the Import of Certain Products.
_______________

42

Available for consultation (Market Access Division) in English only. (unofficial translation).

48

1.

Regulation of the Minister of Trade No. 08/M-DAG/Per/2/2009 dated 18


February 2009 on Provisions on the Import of Iron or Steel
(a)

List of products subject to licensing procedures:


Iron or steel, HS No. 7208, 7209, 7210, 7211, 7213, 7214, 7215, 7216, 7217, 7219,
7229, 7301, 7304, 7305, 7306, 7307, 7308, 7311, 7312, 7314, 7317, 7318, and 7321.

(b)

Contact point for information on eligibility:


- Director of Import, Directorate General of Foreign Trade, Ministry of Trade.
- Commercial Attach

(c)

Administrative body(ies) for submission of applications:


Director General of Foreign Trade, Ministry of Trade

(d)

Date and name of publication where licensing procedures are published:


18 February 2009, Regulation of Minister of Trade No. 08/M-DAG/PER/2/2009 on
Provisions on the Import of Iron or Steel.

(e) Indication of whether the licensing procedure is automatic or non-automatic according to


definitions contained in Articles 2 and 3:
Automatic.
(f)

In the case of automatic import licensing procedures, their administrative purpose:


In order to secure recognition as IP of Iron or Steel or stipulation of IT of Iron or Steel,
every company shall submit application to the Director General by enclosing the
following documents:
a. Importer Identity Number (API):
1. Producer Importer Identity Number/ Limited Importer Identity Number (APIP/API-T) in the case of the company being IP of Iron or Steel; or
2. General Importer Identity Number (API-U) in the case of the company being IT
or Iron or Steel;
b. Corporate Registry Number (TDP);
c. Taxpayer Code Number (NPWP);
d. Customs Identity Number (NIK);
e. Import plan for one year, covering quantity, kinds of goods, tariff heading/ HS 10
(ten) digits and destination port;
f. Technical consideration from the Director General of Metal, Machine, Textile and
Multifarious Industry, Ministry of Industry.
- The recognition as IP of Iron or Steel or stipulation of IT of Iron or Steel shall
apply for one year and may be extended.
- The extension shall be done by enclosing the following documents:
1. Import plan for one year, covering quantity, kinds of goods, tariff heading/ HS
10 (ten) digits and destination port;
2. Industry, Ministry of Industry, in the case of the kind and/or quantity of the
would-be imported goods exceeding the previous year.

(g)

In the case of non-automatic import licensing procedures, indication of the measure


being implemented through the licensing procedure; and

-----(h)

Expected duration of the licensing procedure if this can be estimated with some
probability, and if not, reason why this information cannot be provided:
This regulation shall come into force as from the date of stipulation and expire on
December 2010

2.
Regulation of Minister of Trade No. 56/M-DAG/PER/12/2008 dated December
24, 2008 on Provision of the Import of Certain Products.
(a)

List of products subject to licensing procedures:


- Electronic goods, HS No. 7321, 8413 and ex, 8414, 8415, 8418, 8419, 8450, 8471,
8509, 8516 and ex, 8517, 8518, 8519, 8521, 8527, 8528, 8529, 8539.
- Clothing, HS No. 6105, 6106, 6107, 6108, 6109, 6111,6112, 6114, 6203, 6204, 6205,
6206,6207, 6208, 6209, 6210, 6212, 6213, 6214, 6217, 6301, 6302, 6303.
Children Toy, HS No. 9503,
Footwear, HS No. 6401, 6402, 6403, 6404, 6405.
- Food and beverages, HS No. 1601, 1602,1603,1604,1605, 1704, 1806, 1901, 1902,
1904, 1905, 2007, 2008, 2009, 2101, 2104, 2105, 2201, 2202, 2402.

(b)

Contact point for information on eligibility:


- Director of Import, Directorate General of Foreign Trade, Ministry of Trade.
- Commercial Attach.

(c)

Administrative body(ies) for submission of applications:


Director General of Foreign Trade, Ministry of Trade.

(d)

Date and name of publication where licensing procedures are published:


24 December 2008, Regulation of Minister of Trade No. 56/M-DAG/PER/12/2008,
on Provision of the Import of Certain Products.

(e) Indication of whether the licensing procedure is automatic or non-automatic according to


definitions contained in Articles 2 and 3:
Automatic.
(f)

In the case of automatic import licensing procedures, their administrative purpose:


Application for securing the appointment as IT of Certain Products shall be submitted
in writing to the Director by enclosing the following copy documents of:
a. Importer Identity Number (API);
b. Corporate Registry Number (TDP);
c. Taxpayer Code Number (NPWP);
d. Special Importer Identity Number (NPIK) for certain products whose import is
subject to provision regarding NPIK;
e. Customs Identity Number (NIK);

50

f. Import plan for one year, covering quantity, kinds of goods, tariff heading/HS 10
(ten) digits and destination port.
(g)In the case of non-automatic import licensing procedures, indication of the measure being
implemented through the licensing procedure:
-------(h)
Expected duration of the licensing procedure if this can be estimated with some
probability, and if not, reason why this information cannot be provided:
The stipulation as IT of Certain Products shall apply until the expiration of this
regulation.

WORLD TRADE

G/LIC/N/2/IDN/1
23 April 2003

ORGANIZATION

(03-2153)

Committee on Import Licensing

O R I G I N A L :
E N G L I S H

AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES


Notification under Article 5
INDONESIA

The following communication, dated 14 April 2003, has been received from the
Permanent Mission of Indonesia.
_______________

Pursuant to Article 5, paragraph 4 of the Agreement on Import Licensing Procedures,


I herewith submit the Decree of the Minister of Industry and Trade of the Republic of
Indonesia No. 732/MPP/Kep/10/2002, dated 22 October 2002, regarding Procedures for
Importing Textile, including several attachments43:
-

Attachment I: List of textile fabrics having their import procedures ruled


Attachment II: Statement: Plan of requirement of raw materials or auxiliary
materials and marketing of products
Attachment III: Approval as textile producer importer
Attachment IV: Realization of import by company as holder of textile producer
importer (IP textile)
__________

43

Available for consultation in the Secretariat (Market Access Division) (in English only).

52

Lampiran 4
Contoh Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing

WORLD TRADE
ORGANIZATION

G/LIC/Q/IDN/14
6 April 2009

(09-1679)
Committee on Import Licensing

Original:

English

NOTIFICATION UNDER ARTICLES OF THE AGREEMENT ON


IMPORT LICENSING PROCEDURES FROM INDONESIA44
Replies from INDONESIA to Questions from the UNITED STATES
and the EUROPEAN COMMUNITIES45
The following communication, dated 23 March 2009, has been received from the
delegation of Indonesia.
_______________
Indonesia wishes to refer to the questions raised by the EU and the US concerning the
administrative procedures covering certain imports as laid out in Decree No. 56/MDAG/PER/12/2008 (Decree 56) which replaces Decree No. 44/M-DAG/PER/10/2008
(Decree 44).
Decree 56 entered into force on 1 February 2009. This decree is not intended to
create new non-automatic licensing procedures as importers are simply required to register
with the Ministry of Trade. The rejection of an application is not based on any form of
evaluation, but it reflects the failure to provide the basic information contained in Article 2(3)
of Decree 56. Where this information is supplied as required, the importer is automatically
registered within 7 working days.
With regard to the additional information sought, Indonesia wishes to respond as
follows in the order of the questions set:
Have the import licensing procedures foreseen under Regulation of the Trade Minister of the
Republic of Indonesia, Number 44/M-DAG/PER/10/2008, dated 31 October 2008 (Decree 44),
as modified by Regulation of the Trade Minister of the Republic of Indonesia, Number 56/MDAG/PER/12/2008, dated 24 December 2008 (Decree 56), been notified to the WTO Committee
on Import Licensing Procedures? If not, when will Indonesia do so?
Answer:
Regulation 56 is not an import licensing scheme as the purpose is only to register
importers. There is no import permit required with no restrictions on volume.
44

See Understanding on procedures for the Review of Notifications (G/LIC/4).

45

See document G/LIC/N/2/IDN/11.

For this reason the Regulation 56 is not notified to the WTO Committee on Import
Licensing.
We believe that the requirements of Decree 44 and 56 establish non-automatic import licensing
procedures as defined in Article 1 and Article 3 of the WTO Agreement on Import Licensing
Procedures. If Indonesia disagrees, please explain.
Answer:
Under Decree 44, the only element that may have been considered to contribute to an
impression of a non-automatic import licensing procedure is the requirement for an importer to
demonstrate past performance. However, this is no longer required under Decree 56. As long as
the basic information stipulated under Article 2(3) is provided, registration is granted within 7 days.
Once registered, import licences are issued automatically to the importer concerned for the validity
of the registration which is two years.
What are the measures that are being implemented by the Decree? Is the decree intended to limit
the quantity or affect the customs value of imports of the applicable goods?
Answer:
The measure is in the form of registering importers of the applicable goods. The
Regulation is not intended to limit the quantity or affect the customs value of imports of the goods
concerned.
Please clarify the objective of the Decree. (Is it to combat illegal trade, track imports, and/or
promote health and safety?)
Answer:
The Decree is designed to address illegal trade and safeguard health and safety through the
development of an effective tracking system. Where goods enter the country without being
declared, the requirements of pre inspection and import licences will help the Authority to identify
those products being marketed in Indonesia. The same system also allows for a more effective
tracking of products that may subsequently have to be withdrawn from circulation on health and
safety grounds.
With regard to alleged smuggling into Indonesia, can Indonesia provide figures, data,
studies, or other analysis demonstrating the extent of this problem, particularly with respect
to the products covered by the Decree?
Answer:
The very nature of smuggling means that it is not easy to provide figures, data or studies that
would reveal the extent of the problem being faced. However, those Members familiar with
Indonesia should understand that the problem faced is not "alleged" but real. The government
of Indonesia would welcome studies undertaken by the EU and the US as it is understood that
we all share the common goal of protecting legitimate trade.
How and according to what criteria have the products covered by the Decree been selected? Can
Indonesia share information on the process studies, analyses, and consultations that have
underpinned the selection of products?

54

Answer:
The selection of products is based on items that are the most sensitive to smuggling.
Please explain the criteria used by Indonesia for granting and/or allocating licences or
registering/designating importers. Of the applications received so far, how many have been
declined? Why?
Answer:
- The criteria is set out under Article 2.3 of Decree 56.
-

As of 2 February 2009 the status of applications received:


a. Electronics: approved 701; 133 rejected; 78 under process,
b. Toys: 256 approved; 60 rejected; 4 under process,
c. Food and beverages: 235 approved; 39 rejected; 16 under process,
d. Garment: 234 approved; 60 rejected; 9 under process,
e. Footwear: 211 approved; 26 rejected; 5 under process.

Under what circumstances would a license application be denied other than failure to submit
the necessary documents, as required in Article 2 of Decree 56?
Answer:
Applications would only be denied if the requirements of Article 2 of Regulation 56 are
not met.
Will the relevant authorities be consulting with domestic industries or business associations
in deciding whether or not to grant import license applications? Article 2.4 of the original
decree, Decree 44, appeared to reference such consultations.
Answer:
There is no consultation with the private sector on the granting of licences.
What studies and analysis have been made to ascertain that the measures in the Decree (import
licensing, pre-shipment inspection, port entry limitations, etc.) are the most appropriate and least
trade restrictive in terms of achieving the stated objective? Can Indonesia share this information?
Answer:
Extensive discussions upon relevant information available were undertaken at government
ministries. The focus of these discussions was how to establish a tracking system that would
fulfil the twin objective of reducing and facilitating the identification of smuggled goods as well
as being able to identify products that may have to be withdrawn from the market on health and
safety grounds. The adoption of a registration scheme that would be functional and efficient in
nature, upon which import licences would automatically be registered, combined with preshipment inspection was considered the least-trade restrictive means of achieving the objectives
set. Ports of entry were also chosen to ensure that the vast majority of imports are covered.

When will these import measures enter into force?


Answer:
Ministerial Regulations No. 56/M-DAG/PER/12/2008 (Decree 56) entered into force on
1 February 2009, except for textiles and apparel under HS 61-63, which entered into force on
1 January 2009.
Article 11 of Decree 56/2008 provides that the provisions are not applicable to the temporary
import of certain products. Are goods in transit therefore exempt from the provisions of the
decree?46
Regarding the requirements outlined in Article 2.3 of Decree 56, are importers required to submit
documents for each individual shipment, or can they complete one submission that is valid for
numerous shipments?
Answer:
The validity of registration is for two years. During this period, it is not required to submit
documents for each individual shipment.
Article 5 of Decree 56 restricts importation of certain importable products to only five sea ports
and all international airports. What is the justification for restricting imports to only five sea
ports? Why were these ports selected over others? Many importers choose another port if they are
willing to forego the facilities at the identified ports? If not, why not?
Answer:
The five ports were selected because of their infrastructure and combined together they
represent the ports of entry for the vast majority of imports into Indonesia. No other ports may be
chosen because it would dilute the effectiveness of the Decree in terms of tracking the goods.
Article 5, paragraph 2 of Decree 56 says that imports of Certain IT-Products for the needs of free
trade zones and free ports is governed by the rules and procedures concerning free trade zones and
free ports.
Does this mean that free trade zones and free ports are not subject to any of the requirements
of Decree 56, including registration and verification?
Answer:
The Authorities of free trade zones are free to decide whether to adopt the procedures
under Regulation 56, but they are not obliged to do so.
Some of the tariff lines are textile sector products, including apparel and made-up textile goods, as
well as alcoholic beverages.
How do the new import licensing requirements overlap or interact with other existing import
licensing requirements for the same products, particularly 19/M-DAG/PER/5/2005 for
textiles and apparel and 230/MPP/Kep/7/1997 for alcoholic beverages?

46

No reference was made to this question as contained in document G/LIC/Q/IDN/11.

56

What steps are being taken to minimize the burden on traders of duplicative non-automatic
licensing procedures? Upon implementation of Decree 56, will goods in HS chapters 61-63
be subject to two sets of registration requirements?
Answer:
There is no overlap on the requirements laid out for alcoholic beverages under
230/MPP/Kep/7/1997, because alcoholic beverages is not covered by Regulation 56.
Textiles and apparel (HS 61-639 are also covered under Regulation 56. However, the
Government will ensure there are no duplicates of procedures.
Article 6 of Decree 56 requires that every import of these products be subject to a verification or
Import Technical Investigation.
What specific issues are being investigated and verified?
Answer:
The technical verification at the port of exportation only covers the quantity and
specification the goods to be exported to Indonesia. Verification of the quality of the
goods will be conducted if it is necessary, such in the case of food and beverages.
Are there technical regulations that provide the basis for such investigations? If so, please
explain. Are there other reasons that form the basis for the investigations, consistent with
Indonesias WTO obligations?
Answer:
There are no technical regulations to provide the basis for the checking process at preshipment level. The verification is applied as part of the tracking system referred to.
What is the reason for requiring that every shipment be investigated? Why will it be
necessary to investigate products that are identical to products that have already been
investigated in previous shipments?
Answer:
Each consignment is checked to ensure that import licences are not missed.
What will the verification consist of, documentary and/or physical inspections?
Answer:
The verification will consist of documentary and physical checks.
What information and documents must be submitted for verification?
Answer:
The documents to be submitted for verification are those related to the quantity and
quality of the goods concerned.
In what form will physical inspections take place?
Answer:
Physical inspections will take place at the country of export. It may consist of visual
inspection of consignments and where applicable, samples taken to a laboratory.

How long is the whole verification process envisaged to take?


Answer:
On the basis that all documents required are submitted, the verification process will be
completed within one day provided that the application is made before 12 noon and the
following day if the application is made after 12 noon.
From the information received from appointed Surveyors (Succofindo and PT Surveyor
Indonesia) it seems that both the importer and the exporter must submit an application and
documentation for verification. If so, why? Why must the same documentation (e.g.
Taxpayer Number and Special Importer Identify Number) be submitted to both the Ministry
of Trade (in applying for a license) as well as to the surveyor (as part of the verification
process)? Why do the appointed surveyors require additional documentation to be
submitted (e.g. Trading License (SIUP))?
Answer:
Only the exporter is required to submit the application. Importer who applies for the
first time is required to simply submit information already required under Article 2(3) of
Decree 56 to confirm their status. This information is not subject to verification.
Will Indonesian Customs Authorities, for the purpose of customs clearance, also require the
documents submitted to the appointed surveyors for verification under the Decree, as well as
carrying out documentary and physical inspections?
Answer:
Customs officers will only require import licences and the surveyors report for clearing
goods. However, the Decree does limit the verification to essential documents to
minimise the financial burden on the commercial operators.
What costs will be associated with verification or investigation, as mentioned in Article
6.3?
Answers:
The cost of inspection is determined by the surveyor company. However, according to
the information provided to the Government the cost normally approximately 0.6% of
the FOB price.
What is the role of the surveyors? What are they? How are they appointed? Does Indonesia
already have approved surveyors in foreign ports?
Answers:
The surveyor is used to assist in the pre-inspection process. They are appointed by the
Government. The precondition of participation being set out in Article 7 of the Decree.
It is the obligation of the appointed surveyor to complete pre-inspection and they are
likely to fulfil thus function through counterparts abroad.
Please clarify the meaning of Article 11 of Decree 56, including Articles 11(c) and 11(d), which
appear to exempt certain business activities from the new requirements. What business activities
will be covered by the decree and which ones will be exempted? Why? How will Indonesian
customs determine the ultimate use of the imports?
Answer:
Exempted from this Decree:

58

a. Diplomatic goods or belongings of diplomats posted in Indonesia or for diplomatic


purposes in accordance with international agreement or protocol;
b. Goods or belongings of international organization or officials of such organization;
c. Goods or presents used for religious or public activities;
d. Goods for museum, zoo, or other non-commercial activities, which is open for public;
e. Goods for research and development activities;
f. Goods for handicapped people;
g. Weapons, ammunition, military equipment including its spare parts used for national
defence;
h. Goods or auxiliary goods used for producing products for the purpose of national
security;
i. Personal belongings/luggage of passengers, crew, cross-border where the value and
volume are limited;
j. Sample for export and not for traded.
k. Equipments which have been exported for the purpose of repairing, recondition and
quality testing and then imported again into Indonesia;
l. Equipments for human therapy, blood grouping and gen-net.;
m. Equipments for building and developing industry in the framework of implementing
investment policy or machines for developing industries for certain time-frame;
n. Equipments for preserving environment;
o. Sports goods imported by the highest body of sport organization;
p. Damaged equipment, quality degradation, destroyed, the decrease of volume or weight
naturally when carried into the Indonesian Custom Territory and when import approval
was given to use;
q. Goods owned by central and local government used for public interest;
r. Goods or equipments to be used for government project funded by foreign loan or foreign
grant.

WORLD TRADE

G/LIC/Q/IDN/11
5 February 2009

ORGANIZATION

(09-0544)

Committee on Import Licensing

Original:

English

IMPORT LICENSING SYSTEM OF INDONESIA


Questions from the UNITED STATES and the EUROPEAN COMMUNITIES
to INDONESIA

The following communication, dated 30 January 2009, is being circulated at the


request of the delegations of the United States and the European Communities.
_______________

Indonesia recently introduced new administrative procedures regulating imports of a


broad range of products including electronics, household appliances, textiles, apparel,
footwear, toys, and food and beverage products. The procedures are contained in the
Regulation of the Trade Minister of the Republic of Indonesia, Number 44/MDAG/PER/10/2008, dated 31 October 2008 (Decree 44), as modified by Regulation of the
Trade Minister of the Republic of Indonesia, Number 56/M-DAG/PER/12/2008, dated
24 December 2008 (Decree 56). The decree appears to create new non-automatic import
licensing requirements according to the definitions contained in the WTO Agreement on
Import Licensing Procedures. As of mid-December, as many as two hundred or so
applications for import licenses for the covered products have been rejected so far, according
to Indonesian news articles. We seek additional information from Indonesia about these new
requirements and submit the following questions:
1. Have the import licensing procedures foreseen under Regulation of the Trade Minister of the
Republic of Indonesia, Number 44/M-DAG/PER/10/2008, dated 31 October 2008 (Decree 44),
as modified by Regulation of the Trade Minister of the Republic of Indonesia, Number 56/MDAG/PER/12/2008, dated 24 December 2008 (Decree 56), been notified to the WTO Committee
on Import Licensing Procedures? If not, when will Indonesia do so?
2. We believe that the requirements of Decree 44 and 56 establish non-automatic import licensing
procedures as defined in Article 1 and Article 3 of the WTO Agreement on Import Licensing
Procedures. If Indonesia disagrees, please explain.
3. Please clarify the objective of the Decree. (Weve heard various explanations. Is it to combat
illegal trade, track imports, and/or promote health and safety?)
(a) With regard to alleged smuggling into Indonesia, can Indonesia provide figures,
data, studies, or other analysis demonstrating the extent of this problem,
particularly with respect to the products covered by the Decree?

60

4. How and according to what criteria have the products covered by the Decree been selected? Can
Indonesia share information on the process studies, analyses, and consultations that have
underpinned the selection of products?
5. Please explain the criteria used by Indonesia for granting and/or allocating licenses or
registering/designating importers. Of the applications received so far, how many have been
declined? Why?
(a)

Under what circumstances would a license application be denied other than


failure to submit the necessary documents, as required in Article 2 of Decree 56?

(b)

Will the relevant authorities be consulting with domestic industries or business


associations in deciding whether or not to grant import license applications?
Article 2.4 of the original decree, Decree 44, appeared to reference such
consultations.

6. What studies and analysis have been made to ascertain that the measures in the Decree (import
licensing, pre-shipment inspection, port entry limitations, etc.) are the most appropriate and least
trade restrictive in terms of achieving the stated objective? Can Indonesia share this information?
7. When will these import measures enter into force?
8. Article 11 of Decree 56/2008 provides that the provisions are not applicable to the temporary
import of certain products. Are goods in transit therefore exempt from the provisions of the
decree?
9. Regarding the requirements outlined in Article 2.3 of Decree 56, are importers required to submit
documents for each individual shipment, or can they complete one submission that is valid for
numerous shipments?
10. Article 5 of Decree 56 restricts importation of certain importable products to only five sea ports
and all international airports. What is the justification for restricting imports to only five sea ports?
Why were these ports selected over others? May importers choose another port if they are willing
to forego the facilities at the identified ports? If not, why not?
11. Article 5, paragraph 2 of Decree 56 says that imports of Certain IT-Products for the needs of
free trade zones and free ports is governed by the rules and procedures concerning free trade zones
and free ports.
(a)

Does this mean that free trade zones and free ports are not subject to any of the
requirements of Decree 56, including registration and verification?

12. Some of the tariff lines are textile sector products, including apparel and made-up textile goods,
as well as alcoholic beverages.
(a)

How do the new import licensing requirements overlap or interact with other
existing import licensing requirements for the same products, particularly 19/MDag/PER/5/2005 for textiles and apparel and 230/MPP/Kep/7/1997 for alcoholic
beverages?

(b)

What steps are being taken to minimize the burden on traders of duplicative nonautomatic licensing procedures? Upon implementation of Decree 56, will goods
in HS chapters 61-63 be subject to two sets of registration requirements?

13. Article 6 of Decree 56 requires that every import of these products be subject to a verification or
Import Technical Investigation.
(a)

What specific issues are being investigated and verified?

(b)

Are there technical regulations that provide the basis for such investigations? If
so, please explain. Are there other reasons that form the basis for the
investigations, consistent with Indonesias WTO obligations?

(c)

What is the reason for requiring that every shipment be investigated? Why will
it be necessary to investigate products that are identical to products that have
already been investigated in previous shipments?

(d)

What will the verification consist of, documentary and/or physical inspections?

(e)

What information and documents must be submitted for verification?

(f)

In what form will physical inspections take place?

(g)

How long is the whole verification process envisaged to take?

(h)

From the information received from appointed Surveyors (Succofindo and PT


Surveyor Indonesia) it seems that both the importer and the exporter must
submit an application and documentation for verification. If so, why? Why must
the same documentation (e.g. Taxpayer Number and Special Importer Identify
Number) be submitted to both the Ministry of Trade (in applying for a license)
as well as to the surveyor (as part of the verification process)? Why do the
appointed surveyors require additional documentation to be submitted (e.g.
Trading License (SIUP))?

(i)

Will Indonesian customs authorities, for the purpose of customs clearance, also
require the documents submitted to the appointed surveyors for verification
under the Decree, as well as carrying out documentary and physical inspections?

(j)

What costs will be associated with verification or investigation, as mentioned in


Article 6.3?

(k)

What is the role of the surveyors? What are they? How are they appointed?
Does Indonesia already have approved surveyors in foreign ports?

14. Please clarify the meaning of Article 11 of Decree 56, including Articles 11(c) and 11(d), which
appear to exempt certain business activities from the new requirements. What business activities
will be covered by the decree and which ones will be exempted? Why? How will Indonesian
customs determine the ultimate use of the imports?
__________

62

Anda mungkin juga menyukai