Prosedur Notifikasi WTO PDF
Prosedur Notifikasi WTO PDF
T R A N S PA R A N S I
KEBIJAKAN IMPOR
TER KAIT BIDANG PER DA GANGAN
KEWAJIBAN POKOK INDONESIA SEBAGAI A NGGOTA
ORGANISASI PERDAGANG AN DUNIA
(WORLD TRADE ORGANIZ ATION)
SULISTYO WIDAYANTO
Buku ini adalah tinjauan atas salah satu pelaksanaan kerjasama perdagangan
multilateral Indonesia dalam World Trade Organization mengenai (WTO) notifikasi
terkait kebijakan impor. Tujuan umumnya adalah memberi gambaran bagi para
pembaca mengenai aspekaspek notifikasi baik dari sisi tujuan, kemanfaatan, dan
mekanismenya. Tujuan khususnya adalah sebagai pengantar atas tata cara melakukan
notifikasi sebagaimana ditetapkan oleh Persetujuan Import Licensing Procedure WTO.
Pemahaman mengenai notifikasi ini perlu untuk mengamankan kebijakan impor yang
terkati bidang perdagangan dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh WTO.
Diterbitkan oleh :
Direktorat Kerjasama Multilateral
Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional
Kementerian Perdagangan
Gedung II Lantai 7, Jalan M.I. Ridwan Rais 5, Jakarta 10110
Telepon +6221-3840139 Fax +6221-3847273
Website: http://ditjenkpi.depdag.go.id/
September 2011
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar ...
BAGIAN I
v
1
1
4
8
BAGIAN II
10
10
13
BAGIAN III
15
19
BAGIAN V
25
BAGIAN VI
33
37
BAGIAN IV
BAGIAN VI
15
17
18
19
20
20
20
21
33
33
35
35
35
36
iii
37
38
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 1.4(A) dan Pasal 8.2(B)
Agreement on Import Licensing
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 7.3 Agreement on Import
Licensing......
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 5.1-5.4 Agreement on Import
Licensing.......................................................
Contoh Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing...............
41
LAMPIRAN :
43
47
53
iv
KATA PENGANTAR
Indonesia adalah salah satu pendiri /orginal member dari Organisasi Perdagangan Dunia
atau World Trade Organization (WTO) yang secara resmi berdiri sejak 1 Januari 1995. WTO adalah
sebutan nama bagi satu-satunya organisasi perdagangan multilateral dan sekaligus sebagai sebutan
untuk nama perangkat ketentuan perdagangan multilateral yang menjadi pedoman bagi
pembuatan kebijakan terkait bidang perdagangan. Persetujuan WTO mencakup seperangkat
kesepakatan tentang hak-hak para anggotanya untuk mengatur dan membuat sendiri peraturan
pelaksana dalam rangka memperluas, mempertahankan dan mengamankan hak-hak akses pasar
ekspornya di seluruh anggota WTO dan pengamanan akses pasar domestik. WTO menetapkan
pedoman pembuatan kebijakan mengenai tata cara perlindungan dan pengamanan konsumen dan
industri dalam negeri dari persaingan dengan produk impor.
Anggota WTO menyepakati bahwa setiap kebijakan terkait bidang perdagangan yang
dituangkan ke dalam undang-undang, peraturan, maupun regulasi wajib dilakukan melalui
prosedur yang transparan sehingga Anggota WTO lainnya dapat mengetahuinya. Prosedur
transparansi pembuatan kebijakan perdagangan ini ditempuh melalui kegiatan notifikasi yakni
kewajiban untuk menyampaikan, menyebarluaskan, mengumumkan dan mempublikasikan setiap
tindakan, kebijakan, perundang-undangan, dan peraturan menyangkut perdagangan baik yang
akan, sedang, atau telah diterapkan dan atau diubah.
Pemenuhan kewajiban notifikasi ini penting karena Ketentuan WTO adalah bagian dari
perundang-undangan nasional Indonesia yakni dengan telah diratifikasinya Ketentuan WTO ke
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Melalui notifikasi
Indonesia mengamankan dan memanfaatkan ketentuan WTO dan sekaligus merupakan
pernyataan kepada dunia bahwa iklim usaha di Indonesia terprediksi dan dapat dipercaya. Salah
satu instrument kebijakan perdagangan yang wajib diamankan adalah kebijakan terkait bidang
impor sebagai gerbang depan akses pasar domestik Indonesia. Oleh karena itu, pemenuhan
kewajiban notifikasi terkait kebijakan impor secara benar dan mengikuti prosedur yang berlaku di
WTO menjadi syarat mutlak. Hal ini berlaku demi pengamanan ekonomi nasional.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, untuk mempermudah pemenuhan kewajiban
notifikasi kebijakan impor maka disusun buku pedoman teknis mengenai Tata Cara Notifikasi
WTO tentang Kebijakan Impor terkait bidang perdagangan. Buku pedoman ini bertujuan
memberikan pemahaman di kalangan pejabat mengenai ketentuan di dalam Agreement on Import
Licensing WTO, beserta kewajiban notifikasi. Pemahaman mengenai notifikasi Tata Niaga Impor
ini juga bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik pembuatan peraturan di bidang perijinan
impor baik untuk kepentingan verifikasi, pembuatan regulasi serta peraturan. Pengenalan
karakteristik kebijakan impor akan memudahkan pembuat kebijakan menetapkan prosedur
langkah-langkah pembuatan peraturan impor dan koordinasi antar instansi pemerintah terkait.
Jakarta, September 2011
Sulistyo Widayanto1
1 Isi buku ini semata adalah pengungkapan pikiran atas nama pribadi penuilis Sulistyo Widayanto
(wsulistyo@gmail.com) dan tidak serta merta dapat dianggap mewakili pandangan Kementerian Perdagangan atau
Pemerintah Republik Indonesia. Mengutip atau meng-copy sebagian isi dari buku ini diperkenankan sepanjang
mencantumkan nama penulis sebagai pemegang hak cipta yang dilindungi Undang Undang.
Bagian
Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) harus memperoleh kemanfaatan
dari keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. Persetujuan WTO mencakup seperangkat
kesepakatan tentang hak-hak para anggotanya untuk mengatur dan membuat sendiri peraturan
pelaksana dalam rangka memperluas, mempertahankan dan mengamankan hak-hak akses pasar
ekspornya di seluruh anggota WTO dan pengamanan akses pasar domestik. WTO menetapkan
pedoman pembuatan kebijakan mengenai tata cara perlindungan dan pengamanan konsumen dan
industri domestic dari persaingan dengan produk impor. Cara pemanfaatan terbaik diantaranya adalah
memahami prosedur, tatacara berikut pengimplementasian pengaturan perdagangan terkait dengan
aspek penerbitan ijin impor.
A. Kebijakan Perdagangan tentang Persetujuan Ijin Impor
Sejak menjadi anggota WTO Indonesia telah melaksanakan penyesuaian
berbagai peraturan kebijakan perdagangannya menurut ketentuan World Trade
Organization/WTO. Kebijakan perdagangan yang menyangkut perijinan import (import
licensing) termasuk salah satu peraturan yang harus berpedoman pada Persetujuan tentang
Perijinan Impor (Agreement on Import Licensing WTO atau disebut juga dengan istilah Import
Licensing Agreement/ILA. Persetujuan ini mengharuskan setiap Anggota membuat
peraturan kebijakan impor sesederhana mungkin, transparan, proses cepat, dan
terprediksi. Meskipun demikian, upaya penyesuaian kebijakan impor tersebut menghadapi
beberapa kendala.
1. Transparansi sebagai Tuntutan Era Perdagangan Global
Indonesia mempunyai kedudukan penting dalam pergaulan perdagangan
internasional. Salah satu buktinya adalah bahwa Indonesia termasuk ke dalam kelompok
negara G-202. Sebagai forum ekonomi, G-20 saat ini lebih banyak menjadi ajang
konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional.
Meskipun demikian, dalam prakteknya aspek perdagangan menjadi issue yang jauh lebih
G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian
besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20)
Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun
kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia.
Tujuan pembentukan G-20 ini adalah untuk mewadahi Negara industri dan berkembang secara bersama
sama mendiskusikan berbagai masalah kunci di bidang ekonomi dunia. Latar belakang pembentukan forum
ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G-7 mengenai
kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusankeputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingankepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir
90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia. Sumber informasi
website Wikipedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/G-20_ekonomi_utama [9 Desember 2009]
2
Semestinya kesulitan itu tidak perlu ada ada mengingat adanya mandat dan tujuan yang
jelas dalam pembuatan kebijakan impor.
Munculnya berbagai masalah tersebut kemungkinan diduga berasal dari adanya
kendala mentransformasikan garis-garis besar ketentuan Import Licensing WTO ke
dalam bentuk peraturan pelaksananya. Masalah tersebut juga diperberat oleh
kompleksitas ketentuan AIL - WTO, belum meratanya pengetahuan mengenai ILA WTO, sering terjadinya pergantian struktur dan pejabat pemerintah; serta adanya kendala
teknis untuk pembuatan dan penyebarluasan peraturan.
B. Penggolongan Jenis Kebijakan Tata Niaga Impor.
Kebijakan tata niaga impor dapat dikatakan sebagai kebijakan dengan beban
terberat di era WTO. Kebijakan ini disebut klasik karena ketentuan tata niaga impor
berdasarkan ILA adalah pengaturan kebijakan perdagangan barang.
1.
Dalam sejarahnya, sebelum WTO Indonesia hanya mengikat tarif (bound) hanya
9,4 persen dari keseluruhan tariff. Namun sejak berlakunya WTO 1 Januari 1995,
Indonesia mengikatkan dalam komitmen perdagangan barangnya dengan memperluas
menjadi 94,6 persen dari keseluruhan tarif produk barang. Dengan komitmen tersebut
terdapat 8877 jenis produk diikat pada level tertinggi sebesar 40 persen dan tidak boleh
lebih tinggi lagi. Tarif tertinggi terikat rata rata dalam komitmen Indonesia adalah di
bawah 40 persen kecuali untuk komoditi pertanian. Tarif terikat rata-rata sebesar 40
persen pada saat itu dianggap cukup memadai untuk melindungi industri
domestik.5Daftar komitmen RI mengenai akses perdagangan barang terdapat di dalam
buku yang disebut Schedudle of Market Access Commitmen on Goods XXI atau dikenal
dengan Schedule XXI.6
Indonesia tidak mengkonsesikan seluruh produk industrinya dalam komitmen
kesepakatan WTO. Masih terdapat sebanyak 505 jenis tarif yang sebagian besar termasuk
dalajm kendaraan bermotor dan baja. Sektor lainnya yang dikecualikan dari ketentuan
import WTO adalah pesawat terbang, senjata dan amunisi, barang kesenian dan barang
antik, serta rambut palsu dan bunga artifisial. Indonesia juga berkomitmen untuk
menghapus 171 surcharges selama 10 (sepuluh) tahun yang berakhir hingga tahun 2004. 7
Di bidang non-tariff import barriers (NTBs) Indonesia berkomitmen untuk
menghapus 98 jenis non-tariff import barriers selama 10 tahun dan berakhir tahun 2004.
Komitmen RI ke WTO untuk menghapus NTBs ini menyangkut produk besi dan baja.
Meskipun demikian, RI mengecualikan dalam komitmennya untuk tidak menghapus 90
item jenis NTBs yang sebagian besarnya adalah kendaraan bermotor dan sektor baja.
Indonesia juga mengecualikan sejumlah regulasi impor seperti persyaratan untuk
5 Lihat tulisan Stephen L. Magiera, Reading in Indonesia Trade Policy 1991 2002, dalam artikel mengenai The
Uruguay Round: Indonesias Market Access Offer for Industrial Commodities, USAID Trade Implementation Policy Projects, Jakarta
2003, page 27 1 3.
6 Daftar Schedule XXI dapat diakses dalam website Direktorat Jenderal KPI dalam
http://ditjenkpi.depdag.go.id
7 Stephen L. Magiera, op.cit.
ini adalah untuk mengatur dan mengadministrasikan tata niaga dalam bentuk pembatasan
kuantitatif yang sesuai ketentuan hukum WTO.
Ketentuan yang harus dipenuhi dalam pemberian ijin impor non-otomatis adalah
bahwa tidak boleh menimbulkan dampak yang menghambat dan mendistorsi
perdagangan. Pasal 3.2 menyebutkan bahwa perizinan non-otomatis tidak boleh
berakibat membatasi atau menggangu impor yang menambah pembatasan yang sudah
ada. Prosedur-prosedur perizinan non-otomatis harus, dari segi ruang lingkup dan masa
berlakunya, sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan dengan prosedur tersebut, dan
harus tidak lebih membebankan secara administratif daripada yang sungguh-sungguh
perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan.
Ketentuan lainnya yang berlaku adalah bahwa tiap kebijakan impor non-otomatis
harus dipublikasikan dan memuat informasi mengenai tujuan, pengecualian, jumlah
kuota, tanggal pembukaan dan penutupan dan pengaturan tentang pengalokasian
pemberian kuota kepada negara. Publikasi itu harus diumumkan setidaknya 21 hari
sebelum tanggal berlaku efektif. Pasal 3.5.e menyebutkan bahwa tidak boleh ada
diskriminasi pemberian ijin. Setiap penolakan harus disertai dengan penjelasan dari
pejabat berwenang dan pemohon berhak mengajukan banding. Proses pengajuan
permohonan harus selesai dalam 30 hari. Namun demikian, untuk persetujuan
permohonan secara simultan dapat diberikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 60 hari.
Peraturan impor non-otomatis ini menjadi pilihan bagi negara untuk menjaga
mengawasi arus asal barang impor, dan juga dipilih untuk mengendalikan arus import
barang (misalnya: quota). Biasanya ijin impor non-otomatis ini diberlakukan antara lain
terhadap impor tumbuhan dan hewan, barang berbahaya, bahan peledak, barang yang
diawasi seperti minuman beralkohol, bahan kimia serta limbah berbahaya.
Non-automatic Import Licensing (NAL) dibuat untuk mengendalikan arus
barang masuk. Umumnya tindakan yang dilakukan sebagai pelaksanaan dari NAL ini
berbentuk kuota atau Quantitive Restriction (QR). Tindakan pembatasan impor melalui
alokasi kuantitative ini dilakukan Pemerintah antara lain untuk melindungi balance of
payment, melindungi produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis dengan
barang yang diimpor, dan atau untuk mengendalikan impor bahan penolong yang bersifat
multifungsi dan terdapat potensi untuk disalahgunakan bagi tindakan yang
membahayakan. Meskipun QR ini harus diterapkan secara bijaksana dan fair, serta harus
most favored nations atau tanpa ada pengecualian. Penerapan tindakan QR harus
digunakan secara hati-hati berdasarkan alasan-alasan tertentu yang logis terutama bila
yang digunakan adalah alasan untuk menjaga kepentingan Public Morals. Alasan agama
tidak dapat digunakan. Pembatasan kuantative sering digunakan sebagai filter untuk
produk yang tarif bea masuknya sudah 0%.
C.
Kebijakan Impor RI
Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa kepentingan nasional harus diletakkan di
atas segala-galanya termasuk dalam pembuatan kebijakan impor. Namun demikian,
kebijakan RI dibuat dengan judul yang mudah mengundang reaksi negara mitra dagang.
Beberapa kebijakan impor menggunakan formulasi nama kebijakan dengan terminologiterminologi yang termasuk sensitive di WTO dan ketidakcocokan alasan yang dipakai
sebagai konsideran pembuatan kebijakan lisensi impor. Salah satu contohnya adalah
Keputusan Menperindag No.64/MPP/Kep/9/2002 mengenai impor gula. Dalam
konsideran disebutkan bahwa tujuan dari pemerintah Indonesia mengeluarkan SK
tersebut adalah untuk melindungi petani gula miskin, melindungi kesehatan masyarakat
dan meningkatkan pendapatan petani gula di pedesaan. SK tersebut menggunakan dasar
pertimbangan yang rancu dan tidak berkaitan langsung dengan AIL, karena konsideran
yang dipakai adalah subsidi dan alasan untuk melindungi kesehatan adalah untuk SPS.
Keadaan ini menimbulkan kecurigaan negara mitra dagang seolah Indonesia memiliki
rencana terselubung dibalik konsideran tersebut.
Adapun contoh penggunaan terminologi yang sensitive dalam peristilahan WTO
adalah Permendag No.56/M-DAG/PER/12/2008 tentang ketentuan impor untuk
produk-produk tertentu. Judul tersebut sudah berbunyi dan mengindikasikan adanya
diskriminasi dan hambatan perdagangan tidak perlu. Padahal bila ditinjau lebih dalam
Permendag No. 56 tersebut adalah pengaturan mengenai penunjukan pelabuhan
pelabuhan tertentu sebagai akses pasar masuk barang impor. Penunjukan pelabuhan ini
lebih netral dan lebih dekat pengertian impor otomatis yang tujuannya adalah pengaturan
dan ketertiban administrasi. Tidak mengherankan bila semua negara mitra dagang yang
mempunyai kepentingan perdagangan dengan Indonesia akan mudah bereaksi dan justru
ingin mengetahui lebih dalam dan rinci.
Masalah lain yang sering menimbulkan kendala di bidang penerapan kebijakan
impor adalah seringkalinya terjadi perubahan peraturan impor. Hal yang sering tidak
disadari oleh pejabat adalah rujukan dari pejabat yang dianggap berwenang yang baru dan
adanya perbedaan waktu untuk melakukan penyesuaian daru aturan lama serta
pendistribusian aturan baru tersebut ke seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut di atas terdapat usulan untuk membentuk export and import
policy team yang dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan anggota dari Kementerian
Perdagangan, Keuangan, Pertanian, Ditjen Bea & Cukai, Badan Karantina. Tim ini
beranggotakan pejabat pembuat kebijakan yang terkait dengan masalah impor. Meskipun
demikian, hingga saat ini usulan tersebut belum mendapat tanggapan.
c. Kebijakan Impor Mitra dagang sebagai Sumber Informasi Peluang
Kebijakan Import Licensing dalam kenyataannya tidak hanya dipakai sebagai
instrument untuk melindungi industri dan pasar domestik, namun juga dapat
dimanfaatkan untuk memperluas, mengamankan, dan meningkatkan akses pasar produk
domestik di luar negeri. Indonesia dapat menggunakan Import Licensing untuk membuka
akses pasarnya. Cara terbaik untuk memanfaatkan Persetujuan Perijinan Impor WTO
adalah secara agresif mempelajari peraturan Import Licensing yang dimiliki oleh negara lain
melalui notifikasi yang mereka lakukan.
Terdapat ketentuan Persetujuan Perijinan Impor yang menyatakan adanya
perlakuan khusus (misalnya kemudahan dalam bentuk persyaratan atau waktu) yang
diberikan ke negara berkembang di dalam menerbitkan persetujuan Import Licensing. Hal
ini bisa dijadikan loop hole karena, adanya kata-kata special consideration dimana
pengertian special consideration tidak pernah diutarakan secara jelas.
Apabila Indonesia menemukan ketidakkonsistenan import licensing dari negara
mitra dagang, maka hal yang perlu dilakukan adalah mendiskusikan melalui pendekatan
bilateral demi untuk mengamankan akses pasar terlebih dulu. Namun apabila pendekatan
bilateral tidak membuahkan solusi maka bisa digunakan adalah pendekatan regional, dan
jika gagal maka yang terakhir perlu dilakukan adalah pendekatan multilateral.
Pemanfaatan Persetujuan Perijinan Impor yang tidak kalah pentingnya adalah
mempelajari dari cara negara lain merespon kebijakan impor yang dipermasalahkan oleh
negara lain. Salah satu caranya adalah dengan memodifikasi peraturan yang
dipermasalahkan atau dengan menyampaikan kembali notifikasi dengan format dan
tujuan yang berbeda. Hal semacam ini pernah dilakukan oleh Australia di dalam kondisi
yang sangat noticeable oleh negara anggota lainnya.
-- 000 ---
Bagian
KETENTUAN UMUM PROSEDUR NOTIFIKASI
A.
Mengingat berbagai masalah kebijakan impor tersebut di atas, tulisan ini berupaya
untuk mengulas masalah tantangan kebijakan impor Indonesia di forum WTO. Tulisan
ini bertujuan untuk mencari solusi masalah kesesuaian Pembuatan Kebijakan Import
menurut Agreement on Import Licensing. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan
pemahaman di kalangan pejabat mengenai ketentuan di dalam Agreement on Import Licensing
WTO, beserta kewajiban notifikasi. Pemahaman mengenai agreement ILA WTO penting
untuk dapat mengidentifikasi karakteristik pembuatan peraturan di bidang perijinan
impor baik untuk kepentingan verifikasi pra pengapalan maupun pembuatan regulasi.
Pengenalan karakteristik kebijakan impor akan memudahkan pembuat kebijakan
menetapkan prosedur langkah-langkah pembuatan peraturan impor dan koordinasi antar
instansi pemerintah terkait.
Kementerian Perdagangan bukan satu-satunya pembuat kebijakan impor. Namun
demikian, Kementerian Perdagangan adalah pihak paling berkompeten dengan
pembuatan kebijakan impor dan harus mampu mengenali dan melaksanakan tugas-tugas
yang bersifat koordinasi dalam pembuatan kebijakan menyangkut impor. Tulisan ini
disusun untuk dapat memberi kontribusi untuk memperkecil dan meniadakan kendalakendala didalam mentransformasikan garis-garis besar ketentuan AIL WTO ke dalam
bentuk peraturan pelaksananya di Indonesia serta contoh-contoh dokumen notifikasi
yang telah disampaikan RI ke WTO.
1.
10
Dasar Hukum
Diambil dari sumber presentasi Sam Laird, Import Licensing, The World Bank Office Jakarta and Ministry of Trade
Jakarta, 10-11 December 2009.
11
11
i.
GATT Article VIII mengenai bea dan formalitas terkait dengan importasi dan
eksportasi. Segala prosedur pemberian ijin impor yang tidak bersifat spesifik terkait
dalam Article VIII GATT ini. Paragraf 1(c) menetapkan aturan umum yang
mewajibkan setiap Anggota untuk membuat prosedur dan penetapan formalitas
perijinan impor atau export harus sesederhana dan seminimal mungkin dalam
pengurusan persyaratan dokumentasi yang harus dipenuhi. Menurut paragraf 2, tiap
negara wajib meninjau kembali segala peraturan dan regulasinya atas permintaan
Anggota WTO lainnya. Sementara itu paragraf 3 menyebutkan larangan bagi anggota
WTO untuk mengenakan sanksi penolakan hanya karena kekurangan kecil dalam
pemenuhan persyaratan.
12
B.
Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi akan
memberitahu Sekretariat, perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah
mereka notifiikasikan sebelumnya.
14 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal
1.4 (a) dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan
menyampaikan bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format
Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi
menyajpaikan indikasi kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan
terhadap kebijakan yang telah mereka notifikasikan sebelumnya.
13
Bagian
TATA CARA PERSYARATAN KEWAJIBAN
NOTIFIKASI KEBIJAKAN IMPOR
Bagian ini berisi pedoman teknis mengenai tata cara pemenuhan persyaratan
kewajiban notifikasi kebijakan pemberian ijin impor sebagaimana diamanatkan oleh the
Agreement on Import Licensing Procedures (LIC).
A.
2.
Tiap anggota (WTO) harus menyerahkan berkas lengkap notifikasi pada tanggal 30
September tiap tahunnya, kuesioner mengenai prosedur perijinan import sebagaimana
termuat dalam dokumen G/LIC/3, Annex .
15 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4 (a)
dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan
bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2.
Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi akan memberitahu
Sekretariat, perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka
notifiikasikan sebelumnya.
14
15
dipublikasikan. Notifikasi dimaksud harus memuat informasi yang termasuk dalam daftar
sebagaimana diatur dalam Pasal 5.2 (yakni, daftar produk yang ditataniagakan, kontak point
untuk informasi yang absah, instnasi yang memberikan rekomendasi; tanggal dan nama
publikasi diterbitkannya prosedur perijinan tersebut; indikasi otomatis tidaknya prosedur
perijinan tersebut sesuai definisi Pasal 2 dan 3; bilamana perijinan itu bersifat otomatis,
maka harus ada penjelasan mengenai tujuan dari tataniaga; namun apabila bersifat nonotomatis, maka harus ada penjelasan ketentuan yang diterapkan melalui perijinan tersebut;
harus juga diindikasikan jangka waktu pengaturan prosedur perijinan dimaksud yang dapat
diperkirakan batas waktunya, namun jika tidak bias maka harus ada penjelasan mengenai
alas an tidak adanya informasi yang dapat diberikan). Setiap anggota WTO harus
menotifikasi ke Committee on Import Licensing Procedures segala publikasi yang terkait.
5.
Setiap Anggota WTO yang beranggapan bahwa Anggota WTO lainnya belum
menotifikasikan prosedur tata-niaga atau perubahan terhadap kebijakan tata niaga tersebut
menurut Pasal 5.1 5.3, dapat mengangkat masalah ini untuk meminta perhatian Anggota
WTO lainnya, dan apabila notifikasi semacam itu belum dilakukan, maka Negara yang
bersangkutan harus segera melakukan notifikasi atau perubahan terhadap kebijakan yang
telah dinotifikasikan.
6.
Catatan kaki No. 5 atas Pasal 2.2 memungkinkan Negara berkembang yang bukan
penandatangan Tokyo Round Code untuk menunda selama tahun, penerapan ketentuan
termaktub pada Pasal 2.2(a)(ii) dan (a)(iii) yang terkait dengan ijin otomatis.
7.
Tiap Anggota WTO dapat meminta klarifikasi tentang Peraturan Impor Anggota
WTO lainnya dengan menotifikasi pertanyaan mereka ke Committee on Import Licensing
WTO. Anggota yang menerima pertanyaan juga wajib menotifikasi jawaban atau
tanggapannya ke Committee on Import Licensing agar semua Anggota WTO
mengetahuinya. Berikut ini adalah contoh pertanyaan dan tanggapan atas kebijakan impor
Indonesia yang telah dinotifikasi ke WTO.
B.
Matriks berikut ini adalah keterangan ringkas untuk memeriksa dengan cepat jenis
peraturan atau kebijakan yang perlu dinotifikasi sesuai agreement on import licensing procedures
(AILP) WTO. Kolom pertama adalah pasal pasal dalam agreement yang menjadi dasar
hukum dari notifikasi; kolom kedua adalah jenis ketentuan yang perlu dinotifikasi. Kolom
ketiga adalah periodisasi kapan harus melakukan notifikasi. Kolom keempat adalah format
notifikasi, kolom kelima adalah pihak yang melakukan notifikasi, serta kolom keenam
adalah alamat tujuan notifikasi.
Meskipun demikian, pedoman dasar yang harus dipenuhi bagi penyampaian
notifikasi adalah pengutamaan transparansi tanpa harus mengorbankan kepentingan untuk
mengamankan kebijakan impor itu sendiri. Hal yang perlu diingat adalah bahwa isi bahan
notifikasi harus diperiksa dan disetujui oleh instansi atau otoritas yang menerbitkan
perijinan, sehingga maksud dari transparansi itu tercapai tanpa membahayakan kebijakan.
16
C.
Persyaratan
notifikasi
Jenis ketentuan
Periodisasi
Format
Yang menotifikasikan
Tujuan ke
1.
Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 1.4 (a)
Tidak Ada
Anggota WTO
Sekretariat WTO
2.
Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 5.1-5.4
Pasal 5.2
Anggota WTO
- ad hoc
Komite Import
Licensing
3.
Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 5.5
(reverse notification)
Ad hoc
Tidak Ada
Anggota WTO
- ad hoc
Komite Import
Licensing
4.
Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 7.3
G/LIC/3,
Annex
Anggota WTO
Komite Import
Licensing
5.
Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 8.2(b)
Undang-undang/regulasi dan
prosedur administrative dan
perubahannya
Tidak Ada
WTO Members
Komite Import
Licensing
6.
Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor, Psl. 2.2
(footnote 5)
Penundaan penerapan
menurut ketentuan Psl.
2.2(a)(ii) dan (iii)
Sejak berlakunya
Persetujuan WTO bagi
anggota
Tidak Ada
Negara Berkembang
bukan penanda
tangan the Tokyo
Round Code; ad hoc
Komite Import
Licensing
Item
17
Bagian
PASAL PASAL AGREEMENT on IMPORT
LICENSING PROCEDURES YANG MEMUAT
KETENTUAN TENTANG NOTIFIKASI
1.
Para Anggota harus melakukan notifikasi ke Komite sumber-sumber informasi
terkait dengan prosedur perijinan import yang dipublikasikan, dan harus menyampaikan
dan menyerahkan salinan publikasi tersebut ke Sekretariat.
2.
Anggota (WTO) yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus
menentukan sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round
Code tetap berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau
apabila mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru.
3.
Anggota (WTO) yang bukan penandatangan Tokyo Round Code harus melakukan
notifikasi lengkap.
4.
Bagi yang sudah menjadi Anggota WTO, maka notifikasi harus dibuat pada tanggal
12 Januari 1996.18
5.
Dalam hal tidak tersedianya publikasi yang berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis
dan Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus menyediakan, ringkasan dan terjemahan
tersebut ke dalam bahasa resmi WTO. Anggota WTO lainnya dapat meminta terjemahan
penuh apabila menghendakinya, atau berupaya memperoleh informasi tambahan melalui
basis pendekatan bilateral. Bilamana terjadi issue yang tidak dapat diselesaikan secara
bilateral, maka issue dimaksud boleh disampaikan ke Komite Lisensi Impor agar menjadi
perhatian bersama seluruh anggota.
17Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite
menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka
dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur
Perijinan Impor, tiap delegasi menyampaikan indikasi kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan
yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka notifikasikan sebelumnya.
18Konsultasi
informal akan diselenggarakan oleh Pimpinan Sidang untuk menentukan batas waktu jatuh
tempo pemenuhan notifikasi yang harus dilakukan para Anggota di masa mendatang.
18
1.
Komite harus menyelenggarakan sidang untuk melakukan tinjauan (review) terhadap
penerapan dan berlakunya Persetujuan Perijinan Impor setiap dua tahun sekali dengan
mengacu pada laporan faktual yang dipersiapkan oleh Sekretariat.
C.
1.
Anggota harus menjawab lengkap Kuesioner Prosedur Perijinan Impor pada
tanggal 30 September setiap tahunnya (lihat Annex).20
2.
Tiap anggota WTO harus menentukan sendiri jawaban atas masih berlaku tidaknya
prosedur perijinan yang berlaku sebelumnya di bawah GATT 1947 dengan setelah
berlakunya Persetujuan WTO, yakni apakah perubahannya saja yang perlu dinotifikasi atau
harus menotifikasi secara keseluruhan.
D.
1.
Notifikasi pertama yang harus dilakukan oleh Anggota bukan Penanda tangan
Tokyo Round Code menurut Pasal 8.2(b) harus memuat teks lengkap undang-undang dan
regulasi terkait yang mempunyai relevansi dengan kepentingan Anggota lainnya sejak
Persetujuan WTO mulai berlaku.
2.
Anggota WTO yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus menentukan
sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round Code tetap
berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau apabila
mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru.
3.
Bagi yang sudah menjadi Anggota WTO, maka notifikasi harus dibuat pada tanggal
12 Januari 1996.21
4.
Jika tidak tersedia perundangan yang berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis dan
Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus menyediakan ringkasan notifikasi ke dalam
bahasa resmi WTO. Anggota WTO lainnya dapat meminta terjemahan penuh apabila
menghendakinya, atau berupaya memperoleh informasi tambahan melalui basis pendekatan
bilateral. Bilamana terjadi issue yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral, maka issue
dimaksud boleh disampaikan ke Komite Lisensi Impor agar menjadi perhatian bersama
seluruh anggota.
19Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite
menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka
dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur
Perijinan Impor, tiap delegasi menyampaikan indikasi kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan
yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka notifikasikan sebelumnya
20Aselinya termuat dalam dokumen GATT 1947 di dalam L/3515, dan untuk selanjutnya telah direvisi oleh
Komite Import Licensing pada sidang hari ini tanggal 12 October 1995 dan dimuat didalam dokumen
G/LIC/2.
21Konsultasi informal akan diselenggarakan oleh Pimpinan Sidang untuk menentukan batas waktu jatuh
tempo pemenuhan notifikasi yang akan harus dilakukan para Anggota.
Berikan gambaran singkat tiap sistem perijinan secara umum, dan secara khusus,
jawablah pertanyaan berikut ini dengan keterkaitannya, letakkan urut-urutan setiap materi
yang terkait dengan sistem dimaksud, dan gunakan referensi silang apabila ada unsureunsur yang telah dijelaskan tersebut juga berlaku di sistem lainnya.
2.
Identifikasi tiap sistem perijinan yang masih berlaku dan jelaskan dengan
mengelompokkan produk apa saja yang tercakup di dalamnya.
i.
Terhadap produk yang berasal dan datang dari Negara mana saja sistem perijinan
tersebut diberlakukan?
ii. Apakah ijin impor tersebut bertujuan untuk membatasi kuantitas atau nilai impor, dan
jika tidak, tujuan dari perijinan tersebut? Apakah ada cara lain yang bisa dilakukan
untuk memenuhi tujuan dari ketentuan impor tersebut dan jika ada ketentuan apa yang
berlaku? Mengapa ketentuan alternative tersebut belum diterapkan?
iii. Kutip undang-undang, regulasi dan atau ketentuan administrative yang mendasari
berlakunya perijinan impor dimaksud. Apakah perijinan ini wajib menurut undangundang? Apakah undang-undang mengamanatkan adanya ketentuan pelaksanaan
mengenai jenis produk yang ditataniagakan perijinan impornya? Apakah dimungkinkan
bagi pemerintah (atau lembaga yang berwenang) untuk menghapuskan sistem tersebut
tanpa persetujuan legislatif?
22Teks
yang termuat di sini sama dengan yang termuat di dalam dokumen G/LIC/2.
23Prosedur
serupa termasuk visa teknis, sistem pengawasan, patokan harga minimum, dan pemeriksaan
administrative lainnya yang mempunyai pengaruh terhadap kondisi mengimpor.
20
3.
Prosedur
ii.
iii. Apakah perijinan itu untuk memilah sebagian barang tertentu atau hanya untuk
produsen domestic dari barang sejenis? Langkah-langkah apa yang harus
dilakukan untuk menjamin bahwa surat ijin pengalokasian tersebut benar-benar
untuk impor? Apakah alokasi yang tidak terpakai itu menjadi kuota tambahan
untuk periode impor berikutnya? Apakah nama-nama importir yang memegang
perijinan tersebut dimaklumatkan kepada wakil pemerintah dan badan promosi
ekspor dari Negara pengekspor berdasarkan permintaan? Jika tidak, apa
alasannya? (Sebutkan produk yang terkait dengan jawaban atas pertanyaan
tersebut di atas).
iv. Dari waktu sejak diumumkannya pembukaan kuota, sebagaimana disebutkan
pada paragraf I di atas, bagaimana pengaturan tenggang waktu pengajuan
permohonan perijinan?
v.
vi. Berapa waktu yang paling cepat, antara penerbitan ijin dengan pembukaan
periode waktu impor yang diijinkan?
vii. Apakah ditentukan bahwa permohoan ijin impor itu harus melalui lembaga
tunggal? Atau apakah harus melalui beberapa instansi untuk mendapatkan visa,
keterangan atau persetujuan? Jika demikian, bagaimana tatacaranya? Apakah
importer harus menghubungi lebih dari satu instansi yang turut mengatur?
viii. Jika persyaratan perijinan tidak terpenuhi, atas dasar apa penentuan alokasinya?
Yang diberi yang mengajukan terlebih dahulu? Berdasar pencapaian sebelumnya?
Apakah ada batas maksimum alokasi bagi tiap pemohon dan, jika ada, bagaimana
Dalam hal impor dibolehkan asal berdasar ijin ekspor saja, bagaimana cara negara
pengimpor mengetahui dampak yang diakibatkan oleh negara pengekspor agar
dapat dipahami kedua negara?
xi. Apakah ada perijinan yang diterbitkan asal produk-produk dimaksud harus
diekspor dan tidak dijual di pasar domestik?
Apabila tidak ada pembatasan tingkat jumlah impor produk atau impor dari negara
tertentu:
i.
Apa saja yang harus dipersiapkan agar perijinan terpenuhi? Dapatkah ijin impor
diperoleh dalam jangka waktu singkat atau ketika barang akan masuk ke pelabuhan
tanpa adanya ijin sebelumnya (contohnya untuk hal-hal diluar kesengajaan).
22
5.
Kondisi Perijinan
Berapa lama masa berlakunya perijinan? Apakah masa berlaku perijinan dapat
diperpanjang? Bagaimana caranya?
Apakah ada denda penalti bagi yang tidak memanfaatkan perijinan atau jatah yang
ditentukan oleh perijinan tersebut?
Apakah hak perijinan tersebut dapat dipindahtangankan ke sesama importir? Jika
dapat, apakah ada pembatasan atau kondisi yang harus dipenuhi dalam pemindahtanganan?
Apakah ada kondisi kondisi lain yang harus dilampirkan untuk penerbitan suatu
perijinan:
i. untuk produk-produk yang terkena pembatasan kuantitas?
ii. untuk produk-produk yang tidak terkena pembatasan kuantitas?
7.
Apakah ada prosedur lain yang harus diikuti, selain perijinan impor atau prosedur
administratif sejenis, sebelum melakukan kegiatan impor?
Apakah nilai tukar asing otomatis disediakan oleh otoritas perbankan untuk barangbarang yang akan diimpor? Apakah suatu perijinan merupakan kondisi untuk memperoleh
nilai tukar asing? Apakah nilai tukar asing selalu tersedia untuk membiayai perijinan yang
diterbitkan? Formalitas apa saja yang harus dipenuhi untuk memperoleh nilai tukar asing?
Bagian
PERSETUJUAN TENTANG PROSEDUR
PERIZINAN IMPOR
Berikut ini adalah alih bahasa dari Agreement on Import Licensing Procedures, the Legal
Texts. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Agreement. (Final Act). WTO. Alih
bahasa atau terjemahan ini sekedar membantu pembaca memahami isi Persetujuan.
Meskipun demikian, untuk penginterpretasian pasal per pasal, para pembaca harus
merujuk pada sumber otentik yaitu pada Persetujuan yang berbahasa Inggris.
Para Anggota,
Sehubungan dengan Perundingan Perdagangan Multilateral;
Menginginkan melanjutkan tujuan-tujuan
Persetujuan Umum Tarif dan
Perdagangan/PUTP (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) 1994;
Mempertimbangkan kebutuhan tertentu dibidang perdagangan, pembangunan, dan
keuangan Negara-negara Anggota berkembang;
Menimbang kemanfaatan perizinan impor yang otomatis untuk tujuan-tujuan
tertentu dan bahwa perizinan tersebut hendaknya tidak dipergunakan untuk membatasi
perdagangan;
Menimbang bahwa perizinan impor dapat dipergunakan untuk menyelenggarakan
tindakan seperti yang diberlakukan menurut ketentuan-ketentuan PUTP 1994;
Menimbang ketentuan-ketentuan PUTP 1994 sebagaimana diberlakukan terhadap
prosedur perizinan impor;
Menginginkan untuk memastikan bahwa prosedur-prosedur perizinan impor tidak
dipergunakan dalam cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kewajiban PUTP
1994;
Menimbang bahwa arus perdagangan internasional mungkin dapat dihambat oleh
penggunaan prosedur-prosedur perizinan impor secara tidak wajar;
Diyakinkan bahwa perizinan impor, khususnya perizinan impor non-otomatis,
hendaknya dilaksanakan dengan cara yang bersifat transparen dan pasti;
Menimbang bahwa prosedur-prosedur perizinan impor non-otomatis hendaknya
tidak lebih membebankan secara administratif daripada prosedur yang sungguh-sungguh
perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan;
Menginginkan untuk menyederhanakan, dan menjadikan transparen, prosedur dan
praktek administratif yang digunakan di dalam perdagangan internasional, dan untuk
memastikan pelaksanaan dan pengadministrasian prosedur dan praktek tersebut secara
wajar dan adil;
Menginginkan untuk menyediakan mekanisme konsultasi serta penyelesaian yang
cepat, efektif, dan adil terhadap sengketa yang ditimbulkan dari Persetujuan ini.
24
impor
harus
netral
dalam
Tiada hal di dalam Persetujuan ini yang dapat ditafsirkan bermaksud bahwa dasar, ruang lingkup atau masa berlakunya suatu
tindakan yang sedang dilaksanakan melalui prosedur perizinan menjadi dipertanyakan menurut Perjanjian ini.
25Tidak ada satupun dalam Persetujuan ini dapat dianggap dapat mempengaruhi dasar, cakupan tindakan yang akan diterapkan oleh
suatu prosedur perijinan sebagai pokok yang dipertanyakan menurut Persetujuan ini.
Untuk tujuan Persetujuan ini, maka istilah pemerintah termasuk otoritas yang berwenang Masyarakat
Eropa.
26
perizinan
yang
bersangkutan
mungkin
27Prosedur-prosedur
perizinan impor yang memerlukan keamanan, tetapi yang tidak berakibat membatasi impor, dianggap tercakup di
dalam ruang lingkup Ayat 1 dan 2.
Negara sedang Berkembang selain anggota negara berkembang yang sudah menjadi anggota Persetujuan
Prosedur Perijinan Impor 12 April 1979, yang mempunyai kesulitan untuk memenuhi ketentuan subparagraf (a)(ii) dan (a)(iii) diperbolehkan, melalui notifikasi ke Komite, menunda penerapan sub-paragraf ini
28
26
tetapi tidak boleh lebih dari dua tahun dari tanggal mulai berlakunya Persetujuan WTO bagi negara
tersebut.
5.
(a) Para Anggota harus memberikan, atas permintaan setiap Para Anggota yang
berkepentingan di dalam perdagangan produk yang bersangkutan, segala informasi
yang ada hubungannya mengenai :
(i) administrasi pembatasan-pembatasan yang bersangkutan;
(ii) izin-izin impor yang telah diberikan selama periode yang belum lama
berlalu;
(iii) penyebaran izin tersebut di antara negara-negara pemasok;
(iv) jika dapat dilaksanakan, statistik-statistik impor (yaitu nilai dan/atau
volume) produk-produk yang dikenakan perizinan impor. Para Anggota
berkembang tidak akan diharapkan menanggung beban administratif atau
finansial tambahan untuk penyediaan statistik.
(b) Para Anggota yang melaksanakan kuota melalui cara perizinan harus
menerbitkan jumlah keseluruhan kuota yang akan ditetapkan menurut
kuantitas dan/atau nilai, tanggal pembukaan dan tanggal penutupan kuota, dan
perubahan tanggal tersebut, dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan di
dalam Pasal 1 ayat 4 dan sedemikian rupa agar para pemerintah dan pedagang
dapat mengetahuinya;
(c) dalam halnya kuota dijatahkan di antara negara-negara pemasok, Para Anggota
yang menerapkan pembatasan harus dengan segera memberitahukan semua
Para Anggota lain yang berkepentingan di dalam pemasokan produk yang
bersangkutan mengenai bagian kuota yang telah dijatah, menurut kuantitas
atau nilai, kepada berbagai negara pemasok; dan informasi tersebut harus
diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 1 ayat
4, dan sedemikian rupa agar para pemerintah dan pedagang dapat
mengetahuinya;
(d) bilamana terjadi keadaan yang menyebabkan diperlakukan-nya tanggal
pembukaan kuota yang lebih dini, informasi yang disebut di dalam Pasal 1 ayat
4 hendaknya diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan di dalam
Pasal 1 ayat 4, dan sedemikian rupa agar para pemerintah dan pedagang dapat
mengetahuinya;
(e) setiap perseorangan, perusahaan atau lembaga yang memenuhi persyaratan
hukum dan administratif dari Para Anggota pengimpor harus sama berhak
untuk memohon dan dipertimbangkan untuk suatu izin. Apabila permohonan
izin tidak disetujui, pemohon harus atas permintaannya, diberi tahu alasan
penolakan tersebut, dan berhak naik banding atau mendapat peninjauan
terhadap keputusan itu sesuai dengan perundang-undangan atau prosedur
dalam negarei Anggota pengimpor;
(f) jangka waktu untuk memproses permohonan harus, kecuali apabila tidak
mungkin karena alasan di luar kekuasaan Para Anggota yang bersangkutan,
tidak melebihi 30 hari bilamana setiap permohonan dipertimbangkan menurut
urutan bila permohonan diterima, yaitu yang diterima dulu ditangani dulu, dan
tidak melebihi 60 hari bilamana semua permohonan dipertimbangkan secara
bersama-sama. Dalam hal yang kedua ini, jangka waktu pemrosesan
permohonan akan dianggap mulai pada hari setelah tanggal penutupan jangka
waktu permohonan yang diumumkan;
28
(g) masa berlakunya izin harus jangka waktu yang wajar dan tidak boleh begitu
pendek sehingga menghalangi impor. Masa berlakunya izin tidak boleh
menghalangi impor dari tempat yang jauh, kecuali dalam keadaan khusus bila
impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek yang tidak
diduga terlebih dahulu.
(h) dalam mengatur kuota, Para Anggota tidak boleh menghambat pelaksanaannya
pengimporsan sesuai dengan izin yang telah dikeluarkan, dan tidak boleh
menghalangi penggunaan kuota sepenuhnya;
(i) dalam mengeluarkan izin-izin, Para Anggota harus mempertimbangkan
kepatuhan mengeluarkan izin untuk produk dalam jumlah ekonomis;
(j) dalam menjatahkan izin, Para Anggota hendaknya mem-pertimbangkan
kinerja impor si pemohon. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan apakah
izin-izin yang diberikan kepada pemohon pada masa lampau telah
dimanfaatkan sepenuhnya selama jangka waktu terakhir yang diambil
sebagai contoh. Dalam halnya izin tersebut tidak dimanfaatkan
sepenuhnya, Para Anggota harus menyelidiki penyebabnya dan penyebab
tersebut harus dipertimbangkan dalam penjatahan izin baru. Pembagian
izin yang wajar di antara para pengimpor baru harus juga dipertimbangkan,
dengan memperhatikan kepatuhan mengeluarkan izin untuk produk dalam
jumlah ekonomis. Dehubungan dengan itu, pertimbangan khusus
hendaknya diberikan kepada para pengimpor yang mengimpor produkproduk yang berasal dari Para Anggota negara berkembang dan, pada
khususnya Para Anggota terbelakang;
(k)
dalam hal kuota diatur melalui izin yang tidak dijatahkan di antara negaranegara pemasok, pemegang izin29 harus bebas untuk memilih sumber impor.
Dalam halnya kuota dijatahkan di antara negara-negara pemasok, izin yang
bersangkutan harus secara jelas menyatakan negara atau negara-negara yang
dimaksud;
(l)
Dengan ini didirikan Komite Perizinan Impor yang terdiri atas wakil dari tiap-tiap
Para Anggota. Komite ini harus memilih sendiri Ketua dan Wakil Ketuanya dan harus
mengadakan rapat apabila diperlukan untuk tujuan memberikan Para Anggota
kesempatan berkonsultasi mengenai hal apapun yang berhubungan dengan pelaksanaan
Persetujuan ini atau pencapaian tujuan-tujuannya.
Pasal 5
Pemberitahuan
1. Bagi Para Anggota yang menyelenggarakan prosedur perizinan atau perubahan dalam
prosedur-prosedur itu, harus menyampaikan pemberitahuan kepada Komite tentang
29
30
kuesioner tahunan tentang prosedur perizinan impor30, dan informasi lain yang
relevan yang tersedia baginya. Laporan tersebut akan menyajikan ringkasan informasi
tersebut di atas, khususnya yang menunjukkan perubahan atau perkembangan selama
periode yang ditinjau, dan mencakup informasi lain mana pun yang disetujui Komite.
3. Negara-negara Anggota wajib mengisi secara cepat dan lengkap kuesioner tahunan
tentang prosedur perizinan impor.
4. Komite akan memberitahukan Dewan Perdagangan Barang-barang tentang
perkembangan selama jangka waktu yang dalam peninjauan.
Pasal 8
Ketentuan-ketentuan Penutup
Penangguhan
1.
Penangguhan tidak dapat diajukan berkaitan dengan ketentuan mana pun di dalam
Persetujuan ini tanpa persetujuan dari Para Anggota yang lain.
Perundang-undangan Dalam Negeri
2.
30
(a)
(b)
Aselinya tercantum dalam dokumen GATT 1947 dalam dokumen L/3515 tanggal 23 Maret 1971
Bagian
Berikut ini adalah contoh atau sample dari notifikasi Agreement on Import Licensing
Procedures WTO yang pernah dilakukan Indonesia ke Sekretariat WTO. Contoh contoh
berikut ini adalah salinan dari notifikasi Indonesia yang telah diterbitkan oleh Sekretariat
WTO berikut penjelasan dalam bahasa Indonesia tentang maksud dari masing masing pasal
mengenai notifikasi sebagaimana termuat dalam Persetujuan Perijinan Impor WTO.
A. Contoh Notifikasi Catatan Kaki No. 5 Pasal 2 Ayat 2
Indonesia hingga saat ini belum atau tidak pernah melakukan notifikasi berdasar
Catatan Kaki No. 5 Pasal 2 ayat 2. Untuk membuat notifikasi tersebut, dapat menggunakan
contoh kalimat sebagai berikut:
In accordance with footnote 5 to Article 2.2 of the Agreement on Import Licensing Procedures,
[Indonesia] wishes to delay the application of the provisions of Article 2.2 (a)(ii) and (a)(iii) by not more
than two years..
B. Contoh Notifikasi Menurut Pasal 1.4(A) Dan 8.2(B)
Untuk membuat notifikasi berdasarkan pasal 1.4(A) dan 8.2(B), dapat
menggunakan contoh kalimat sebagai berikut:
I have the honour to notify that rules and all information relating to import licensing procedures applicable
in [name of country] are published in the Import Licensing Bulletin and the Government Gazette of [name
of country]
Article 1.4(a)31 tentang Publikasi Tata cara Permohonan Ijin
Setiap anggota harus melakukan notifikasi ke Komite Import Licensing semua sumber
informasi terkait dengan publikasi mengenai prosedur perijinan impor, dan menyampaikan
salinan publikasi tersebut ke Sekretariat (WTO). Dalam hal tidak tersedianya publikasi yang
berbahasa WTO (yakni Inggris, Perancis dan Spanyol), maka setiap Anggota WTO harus
menyediakan, ringkasan dan terjemahan tersebut ke dalam bahasa resmi WTO. Anggota
WTO lainnya dapat meminta terjemahan penuh apabila menghendakinya, atau berupaya
memperoleh informasi tambahan melalui basis pendekatan bilateral. Bilamana terjadi issue
yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral, maka issue dimaksud boleh disampaikan ke
Komite Lisensi Impor agar menjadi perhatian bersama seluruh anggota.
1.
Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4 (a) dan 8.2 (b)
untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan bilamana
dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2. Berkenaan dengan jawaban
atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi akan memberitahu Sekretariat, perubahan-perubahan yang telah
mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah mereka notifiikasikan sebelumnya.
31
32
Anggota (WTO) yang menjadi penanda tangan Tokyo Round Code harus
menentukan sendiri sampai kapan notifikasi yang mereka lakukan berdasar Tokyo Round
Code tetap berlaku, batas waktu terjadinya perubahan yang harus mereka notifikasikan, atau
apabila mereka harus membuat notifikasi yang sama sekali baru. Komite Prosedur Perijinan
Impor WTO, pada pertemuan hari ini tanggal 12 Oktober 1995, menetapkan batas akhir
pada tanggal 12 Januari 1996 bagi seluruh anggota WTO yang ada untuk pertama kalinya
membuat notifikasi atas Persetujuan ini. Contoh notifikasi RI untuk memenuhi kewajiban
Pasal 1.4(a) dapat dilihat dan diakses dari website WTO dalam dokumen
G/LIC/N/1/IDN/1 tanggal 2 November 1998 (Lampiran 1).
2.
32 Hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian notifikasi sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 1.4 (a)
dan 8.2 (b) untuk keperluan sirkulasi dokumen, Komite menyepakati bahwa para delegasi akan menyampaikan
bilamana dimungkinkan - salinan notifikasi mereka dalam bentuk disket, dalam format Wordperfect 5.2.
Berkenaan dengan jawaban atas Kuesioner Prosedur Perijinan Impor, tiap delegasi menyajpaikan indikasi
kepada Sekretariat, mengenai perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan terhadap kebijakan yang telah
mereka notifikasikan sebelumnya.
34
WTO lainnya, dan apabila notifikasi semacam itu belum dilakukan, maka Negara yang
bersangkutan harus segera melakukan notifikasi atau perubahan terhadap kebijakan yang
telah dinotifikasikan.
F.
Bagian
BADAN-BADAN WTO TUJUAN NOTIFIKASI
DAN LEMBAGA NOTIFIKASI DI INDONESIA
A.
1.
Berikut ini adalah badan-badan atau unit penanggung jawab di Sekretariat WTO
sebagai tempat dimana notifikasi ditujukan. Pengadministrasian notifikasi dilakukan oleh
Central Registry Notification atau CRN, namun badan, unit atau komite yang menerima
notifikasi dari anggota WTO adalah:
General Council
WTO Director General
Council for Trade in Goods
Council for Trade in Services
Concil for TRIPS
WTO Secretariat
Trade Policy Review Body
Berbagai Komite dalam WTO seperti: pertanian, market access, anti-dumping,
subsidies, safeguards, trade and development, import licensing, TRIMs, TRIPS, TBT, custom
valuation, rules of origin, RTA, dan SPS.
Beberapa lembaga penerima notifikasi yang bekerjasama dengan WTO adalah
ISO/IEC Information Center dan WIPO.
2.
36
3.
GATS
Alamat Tujuan
General Council, Council for Trade in Services
Balance of Payment
Agriculture
Committee on Agriculture
Antidumping
Committee on Antidumping
Subsidies
Committee on SCM
Safeguards
Import Licensing
Pre-Shipment Inspection
10
11
Rules of Origin
12
Custom Valuation
13
WTO Secretariat
14
15
16
17
TRIMs
18
TRIPS
B.
Berdasar ketentuan WTO, setiap negara anggota harus menunjuk salah satu
badan, lembaga, atau unit yang diberi kewenangan untuk menyampaikan notifikasi sesuai
Article X GATT ayat 3 dan berbagai pasal notifikasi di beberapa agreement. Lembaga yang
ditunjuk pemerintah ini dapat langsung melakukan notifikasi ke WTO Secretariat atau ke
unit di WTO tempat tujuan notifikasi.
Berikut ini adalah sejumlah otoritas yang telah ditunjuk oleh pemerintah
Indonesia untuk melakukan dan bertanggung jawab atas masalah notifikasi yakni:
1.
2.
BSN telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia secara resmi ke Sekretariat WTO
dan diberi kewenangan dan bertanggung jawab untuk melakukan dan menanggapi
notifikasi dalam kerangka Technical Barrier to Trade WTO yang menyangkut penerapan dan
prosedur standard baik yang berlaku secara nasional maupun yang berlaku di negara
anggota WTO.
Badan Karantina Pertanian34/BKN.
3.
Bank Indonesia/BI.
PTRI Jenewa meskipun tidak ditunjuk secara resmi melalui surat Pemerintah RI
ke Sekretariat WTO, namun karena kedudukan dan fungsinya maka PTRI menjadi
lembaga yang mewakili Pemerintah RI untuk urusan notifikasi WTO. Meskipun
demikian, PTRI Jenewa dalam hal ini berfungsi sebagai lembaga untuk menyampaikan
seluruh notifikasi atas dasar pendelegasian dari Pusat dan berdasar masukan dari Pusat.
Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI)35
6.
33 Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia
sebagai entry point untuk notifikasi yang berkaitan dengan kebijakan standardisasi dan penerapannya.
Notifikasi yang dilakukan BSN ini adalah dalam rangka implementasi Agreement Technical Barrier to Trade
WTO.
Badan Karantina Nasional (BKN) adalah lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai
entry point untuk notifikasi yang berkaitan dengan kebijakan perkarantinaan. Notifikasi yang dilakukan BKN
ini adalah dalam rangka implementasi Agreement Sanitary and Phythosanitary WTO atau kebijakan yang
terkait pencegahan perkembangan penyakit yang terbawa oleh produk impor yang dapat mempengaruhi
kesehatan hewan, manusia dan tumbuhan.
34
38
Daftar Pustaka.
Buku
The Legal Text. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations, Cambride University Press, 2003.
Magiera, Stephen L, Reading in Indonesia Trade Policy 1991 2002, USAID Trade
Implementation Policy Projects, Jakarta 2003.
Website
Badan Standardisasi Nasional, di http://www.bsn.go.id/
Badan Karantina Pertanian, di http://karantina.deptan.go.id/
Badan Urusan Logistik, di http://www.bulog.co.id/
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, di https://www.facebook.com/pages/KomitePengamanan-Perdagangan-Indonesia-KPPI/114256828634255
G 20. http://id.wikipedia.org/wiki/G-20_ekonomi_utama
Undang undang/ Regulasi/ Peraturan
Peraturan Menteri Perdagangan No.56/M-DAG/PER/12/2008 tentang Ketentuan Impor
Produk Tertentu, 24 Desember 2008.
Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 732/MPP/Kep/10/2002
tentang Tata Niaga Impor Tekstil, 22 Oktober 2002.
Surat Keputusan Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/2005 perihal pengaturan
masa tahun 2006, tanggal 28 Desember 2005.
Dokumen WTO
Indonesia - Schedudle of Market Access Commitmen on Goods XXI (Schedule XXI);
Technical Cooperation Handbook on Notification Requirements; Agreement on Import
Licensing Procedures, WT/CT/NOTIF/LIC/1, 15 October 1996;
Agreement on Import Licensing Procedure, Notification under Articles 1.4(a) and 8.2(b)
WTO G/LIC/N/1/IDN/1, 2 November 1998;
Agreement on Import Licensing Procedure,
G/LIC/N/2/IDN/1, 23 April 2003;
Agreement on Import Licensing Procedure,
G/LIC/N/3/IDN/3, 27 November 2006;
Notification
Notification
under
under
Articles
Articles
5,
7.3,
40
Lampiran
Lampiran 1
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 1.4(A) dan Pasal 8.2(B)
Agreement on Import Licensing
WORLD TRADE
G/LIC/N/1/IDN/1
2 November 1998
ORGANIZATION
(98-4258)
ORIGINAL:
ENGLISH
__________
38
Available for consultation in the Secretariat (Market Access Division) (English only).
WORLD TRADE
G/LIC/N/2/IDN/1
23 April 2003
ORGANIZATION
(03-2153)
O R I G I N A L :
39
Available for consultation in the Secretariat (Market Access Division) (in English only).
42
Lampiran 2
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 7.3 Agreement on Import
Licensing
WORLD TRADE
G/LIC/N/3/IDN/3
27 November 2006
ORGANIZATION
(06-5691)
Committee on Import Licensing
O R I G I N A L :
E N G L I S H
The following communication, dated 30 October 2006, has been received from the
Delegation of Indonesia.
_______________
Products Subject to Import Licensing Administered by the Ministry of Trade
Outline of systems
1. Indonesian import licensing system is implemented in order to preserve national interest in
particular to protect health, safety, security, ecological environment and public moral. Other
primary objective of this regulation system is to meet certain socio-economic objectives, among
others, enhancing domestic competitiveness and preventing smuggling activities. The issuance and
approval of licences fall within the authority of the Ministry of Trade.
Purposes and coverage of licensing
2. All import products can automatically be imported and considered as automatic import licensing
except:
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
40
Alcoholic beverages;
Nitrocellulose;
Precursors;
Optical discs;
Rice;
White crystal sugar;
Consumption salt;
Unworked diamond
Yes , it does.
Procedures
6. For products under restriction the quantity of imports is applicable globally.
I.
II.
Quotas are determined on a yearly basis based on the production capacity of the
producer. Import licences will be issued based on the quotas allocated and
extendable.
III.
IV.
Applications for licences of rice, white crystal sugar, and consumption salt can be
filed immediately after the publication of the allocation of quotas. Applications for
other than those commodities are accepted at any time in the current year.
V.
44
VI.
VII.
VIII.
IX.
X.
XI.
No applicable.
Under non-restrictive systems, all persons, firms and institutions are eligible to apply
for licences.
--------------
46
Lampiran 3
Contoh Notifikasi Import Licensing Berdasarkan Pasal 5.1-5.4 Agreement on Import
Licensing
WORLD TRADE
G/LIC/N/2/IDN/2/Add.1
6 July 2009
ORGANIZATION
(09-3293)
O R I G I N A L :
41
Available for consultation (Market Access Division) In English only (unofficial translation).
WORLD TRADE
G/LIC/N/2/IDN/2
15 May 2009
ORGANIZATION
(09-2391)
O R I G I N A L :
42
Available for consultation (Market Access Division) in English only. (unofficial translation).
48
1.
(b)
(c)
(d)
(g)
-----(h)
Expected duration of the licensing procedure if this can be estimated with some
probability, and if not, reason why this information cannot be provided:
This regulation shall come into force as from the date of stipulation and expire on
December 2010
2.
Regulation of Minister of Trade No. 56/M-DAG/PER/12/2008 dated December
24, 2008 on Provision of the Import of Certain Products.
(a)
(b)
(c)
(d)
50
f. Import plan for one year, covering quantity, kinds of goods, tariff heading/HS 10
(ten) digits and destination port.
(g)In the case of non-automatic import licensing procedures, indication of the measure being
implemented through the licensing procedure:
-------(h)
Expected duration of the licensing procedure if this can be estimated with some
probability, and if not, reason why this information cannot be provided:
The stipulation as IT of Certain Products shall apply until the expiration of this
regulation.
WORLD TRADE
G/LIC/N/2/IDN/1
23 April 2003
ORGANIZATION
(03-2153)
O R I G I N A L :
E N G L I S H
The following communication, dated 14 April 2003, has been received from the
Permanent Mission of Indonesia.
_______________
43
Available for consultation in the Secretariat (Market Access Division) (in English only).
52
Lampiran 4
Contoh Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing
WORLD TRADE
ORGANIZATION
G/LIC/Q/IDN/14
6 April 2009
(09-1679)
Committee on Import Licensing
Original:
English
45
For this reason the Regulation 56 is not notified to the WTO Committee on Import
Licensing.
We believe that the requirements of Decree 44 and 56 establish non-automatic import licensing
procedures as defined in Article 1 and Article 3 of the WTO Agreement on Import Licensing
Procedures. If Indonesia disagrees, please explain.
Answer:
Under Decree 44, the only element that may have been considered to contribute to an
impression of a non-automatic import licensing procedure is the requirement for an importer to
demonstrate past performance. However, this is no longer required under Decree 56. As long as
the basic information stipulated under Article 2(3) is provided, registration is granted within 7 days.
Once registered, import licences are issued automatically to the importer concerned for the validity
of the registration which is two years.
What are the measures that are being implemented by the Decree? Is the decree intended to limit
the quantity or affect the customs value of imports of the applicable goods?
Answer:
The measure is in the form of registering importers of the applicable goods. The
Regulation is not intended to limit the quantity or affect the customs value of imports of the goods
concerned.
Please clarify the objective of the Decree. (Is it to combat illegal trade, track imports, and/or
promote health and safety?)
Answer:
The Decree is designed to address illegal trade and safeguard health and safety through the
development of an effective tracking system. Where goods enter the country without being
declared, the requirements of pre inspection and import licences will help the Authority to identify
those products being marketed in Indonesia. The same system also allows for a more effective
tracking of products that may subsequently have to be withdrawn from circulation on health and
safety grounds.
With regard to alleged smuggling into Indonesia, can Indonesia provide figures, data,
studies, or other analysis demonstrating the extent of this problem, particularly with respect
to the products covered by the Decree?
Answer:
The very nature of smuggling means that it is not easy to provide figures, data or studies that
would reveal the extent of the problem being faced. However, those Members familiar with
Indonesia should understand that the problem faced is not "alleged" but real. The government
of Indonesia would welcome studies undertaken by the EU and the US as it is understood that
we all share the common goal of protecting legitimate trade.
How and according to what criteria have the products covered by the Decree been selected? Can
Indonesia share information on the process studies, analyses, and consultations that have
underpinned the selection of products?
54
Answer:
The selection of products is based on items that are the most sensitive to smuggling.
Please explain the criteria used by Indonesia for granting and/or allocating licences or
registering/designating importers. Of the applications received so far, how many have been
declined? Why?
Answer:
- The criteria is set out under Article 2.3 of Decree 56.
-
Under what circumstances would a license application be denied other than failure to submit
the necessary documents, as required in Article 2 of Decree 56?
Answer:
Applications would only be denied if the requirements of Article 2 of Regulation 56 are
not met.
Will the relevant authorities be consulting with domestic industries or business associations
in deciding whether or not to grant import license applications? Article 2.4 of the original
decree, Decree 44, appeared to reference such consultations.
Answer:
There is no consultation with the private sector on the granting of licences.
What studies and analysis have been made to ascertain that the measures in the Decree (import
licensing, pre-shipment inspection, port entry limitations, etc.) are the most appropriate and least
trade restrictive in terms of achieving the stated objective? Can Indonesia share this information?
Answer:
Extensive discussions upon relevant information available were undertaken at government
ministries. The focus of these discussions was how to establish a tracking system that would
fulfil the twin objective of reducing and facilitating the identification of smuggled goods as well
as being able to identify products that may have to be withdrawn from the market on health and
safety grounds. The adoption of a registration scheme that would be functional and efficient in
nature, upon which import licences would automatically be registered, combined with preshipment inspection was considered the least-trade restrictive means of achieving the objectives
set. Ports of entry were also chosen to ensure that the vast majority of imports are covered.
46
56
What steps are being taken to minimize the burden on traders of duplicative non-automatic
licensing procedures? Upon implementation of Decree 56, will goods in HS chapters 61-63
be subject to two sets of registration requirements?
Answer:
There is no overlap on the requirements laid out for alcoholic beverages under
230/MPP/Kep/7/1997, because alcoholic beverages is not covered by Regulation 56.
Textiles and apparel (HS 61-639 are also covered under Regulation 56. However, the
Government will ensure there are no duplicates of procedures.
Article 6 of Decree 56 requires that every import of these products be subject to a verification or
Import Technical Investigation.
What specific issues are being investigated and verified?
Answer:
The technical verification at the port of exportation only covers the quantity and
specification the goods to be exported to Indonesia. Verification of the quality of the
goods will be conducted if it is necessary, such in the case of food and beverages.
Are there technical regulations that provide the basis for such investigations? If so, please
explain. Are there other reasons that form the basis for the investigations, consistent with
Indonesias WTO obligations?
Answer:
There are no technical regulations to provide the basis for the checking process at preshipment level. The verification is applied as part of the tracking system referred to.
What is the reason for requiring that every shipment be investigated? Why will it be
necessary to investigate products that are identical to products that have already been
investigated in previous shipments?
Answer:
Each consignment is checked to ensure that import licences are not missed.
What will the verification consist of, documentary and/or physical inspections?
Answer:
The verification will consist of documentary and physical checks.
What information and documents must be submitted for verification?
Answer:
The documents to be submitted for verification are those related to the quantity and
quality of the goods concerned.
In what form will physical inspections take place?
Answer:
Physical inspections will take place at the country of export. It may consist of visual
inspection of consignments and where applicable, samples taken to a laboratory.
58
WORLD TRADE
G/LIC/Q/IDN/11
5 February 2009
ORGANIZATION
(09-0544)
Original:
English
60
4. How and according to what criteria have the products covered by the Decree been selected? Can
Indonesia share information on the process studies, analyses, and consultations that have
underpinned the selection of products?
5. Please explain the criteria used by Indonesia for granting and/or allocating licenses or
registering/designating importers. Of the applications received so far, how many have been
declined? Why?
(a)
(b)
6. What studies and analysis have been made to ascertain that the measures in the Decree (import
licensing, pre-shipment inspection, port entry limitations, etc.) are the most appropriate and least
trade restrictive in terms of achieving the stated objective? Can Indonesia share this information?
7. When will these import measures enter into force?
8. Article 11 of Decree 56/2008 provides that the provisions are not applicable to the temporary
import of certain products. Are goods in transit therefore exempt from the provisions of the
decree?
9. Regarding the requirements outlined in Article 2.3 of Decree 56, are importers required to submit
documents for each individual shipment, or can they complete one submission that is valid for
numerous shipments?
10. Article 5 of Decree 56 restricts importation of certain importable products to only five sea ports
and all international airports. What is the justification for restricting imports to only five sea ports?
Why were these ports selected over others? May importers choose another port if they are willing
to forego the facilities at the identified ports? If not, why not?
11. Article 5, paragraph 2 of Decree 56 says that imports of Certain IT-Products for the needs of
free trade zones and free ports is governed by the rules and procedures concerning free trade zones
and free ports.
(a)
Does this mean that free trade zones and free ports are not subject to any of the
requirements of Decree 56, including registration and verification?
12. Some of the tariff lines are textile sector products, including apparel and made-up textile goods,
as well as alcoholic beverages.
(a)
How do the new import licensing requirements overlap or interact with other
existing import licensing requirements for the same products, particularly 19/MDag/PER/5/2005 for textiles and apparel and 230/MPP/Kep/7/1997 for alcoholic
beverages?
(b)
What steps are being taken to minimize the burden on traders of duplicative nonautomatic licensing procedures? Upon implementation of Decree 56, will goods
in HS chapters 61-63 be subject to two sets of registration requirements?
13. Article 6 of Decree 56 requires that every import of these products be subject to a verification or
Import Technical Investigation.
(a)
(b)
Are there technical regulations that provide the basis for such investigations? If
so, please explain. Are there other reasons that form the basis for the
investigations, consistent with Indonesias WTO obligations?
(c)
What is the reason for requiring that every shipment be investigated? Why will
it be necessary to investigate products that are identical to products that have
already been investigated in previous shipments?
(d)
What will the verification consist of, documentary and/or physical inspections?
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
Will Indonesian customs authorities, for the purpose of customs clearance, also
require the documents submitted to the appointed surveyors for verification
under the Decree, as well as carrying out documentary and physical inspections?
(j)
(k)
What is the role of the surveyors? What are they? How are they appointed?
Does Indonesia already have approved surveyors in foreign ports?
14. Please clarify the meaning of Article 11 of Decree 56, including Articles 11(c) and 11(d), which
appear to exempt certain business activities from the new requirements. What business activities
will be covered by the decree and which ones will be exempted? Why? How will Indonesian
customs determine the ultimate use of the imports?
__________
62