OLEH :
RISKY SEPTIANA
ASRI BUANA CITRA DEWI
PEMBIMBING :
BAB I
PENDAHULUAN
morbiditas
dan
mortalitas
pada
peyakit
ini
dihasilkan
dari
glomerulonefritis dan hal ini berkaitan dengan manifestasi ginjal akut dan kronis. Hematuria
transient timbul pada 9% pasien. Insufisiensi renl timbul kurang dari 2%, dan end-stage renal
failure timbul kurang dari 1%. Meskpiun jarang, perdarahan pulmonar seringkali merupakan
komplikasi yang fatal dari HSP. HSP tidak biasa pada orang dengan kulit hitam, baik di
Afrika maupun Amerika. Laki-laki : wanita = 1,5-2 : 1. Kebanyakan pasien (75%) adalah
anak-anak usia 2-14 tahun. Usia median onset adalah 4-5 tahun. Berikut adalah tinjauan
pustaka dan laporan kasus tentang HSP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Epidemiologi
Di US, 75% dari HSP timbul pada anak-anak usia 2-14 tahun. Insiden kelompok umur
adaah 14 kasus per 100.000 populasi. Meskipun tidak ada laporan berbeda dalam
insidensi HSP di berbagai negara, satu sumber menyatakan bahwa timbulnya
glomerulonefritis yang dihasilkan dari HSP bervariasi antar negara. HSP menimbulkan
18-40% dari penyakit glomerular di Jepang, Perancis, Italia, dan Australia sementara lesi
glomerular bertanggung jawab hanya untuk 2-10% di US, Canada, dan United Kingdom.
Kebanyakan
morbiditas
dan
mortalitas
pada
peyakit
ini
dihasilkan
dari
glomerulonefritis dan hal ini berkaitan dengan manifestasi ginjal akut dan kronis.
Hematuria transient timbul pada 9% pasien. Insufisiensi renl timbul kurang dari 2%, dan
end-stage renal failure timbul kurang dari 1%. Meskpiun jarang, perdarahan pulmonar
seringkali merupakan komplikasi yang fatal dari HSP. HSP tidak biasa pada orang
dengan kulit hitam, baik di Afrika maupun Amerika. Laki-laki : wanita = 1,5-2 : 1.
Kebanyakan pasien (75%) adalah anak-anak usia 2-14 tahun. Usia median onset adalah 45 tahun.
Umumnya HSP merupakan benign self-limited disorder; < 5% kasus menjadi kronis;
hanya < 1 % kasus berkembang menjadi gagal ginjal .
d. Patofisologi
Patogenesis PHS belum diketahui secara pasti, namun secara umum diakui sebagai
akibat deposisi imun kompleks akibat polimer IgA1 pada kulit, saluran gastrointestinal,
dan kapiler glomerulus. Keadaan patognomonik pada nefritis Henoch-Schonlein adalah
deposisi IgA dan C3 yang ditemukan pada mesangial glomerulus. Penemuan patogenesis
tersebut membedakan nefritis Henoch-Schonlein dengan nefropati IgA. Pada pasien
sehat, IgA banyak ditemukan pada sekret mukosa namun dalam konsentrasi yang relatif
rendah. Imunoglobulin A memiliki dua isotipe, yaitu IgA1 dan IgA2. Imunoglobulin A1
memiliki hinge region yang terdiri dari lima oligosakarida yang mengandung serinelinked N-acetylgalactosamine (Ga1NAc) dan galaktosa yang nantinya akan tersialasi.
Sekitar 60% IgA dalam sekret adalah IgA2 yang umumnya berupa polimer sedangkan
IgA serum umumnya berupa IgA1 yang 90% berupa monomer. Pada nefritis Henoch-
Schonlein ditemukan deposisi kompleks imun dengan predominasi IgA1 namun tidak
ditemukan IgA2.
Deposisi kompleks imun IgA terjadi berdasarkan peningkatan sintesis IgA atau
penurunan klirens IgA. Peningkatan sintesis IgA oleh sistem imun mukosa sebagai respon
terhadap paparan antigen pada mukosa dipikirkan merupakan mekanisme yang terjadi
pada PHS. Hiperaktivitas sel B dan sel T terhadap antigen spesifik dilaporkan berperan
dalam terjadinya PHS dan nefropati IgA. Antigen tersebut antara lain berupa antigen
bakteri, protein dalam makanan seperti gliadin, dan komponen matriks ekstraselular
seperti kolagen dan fibronektin. Beberapa studi mengemukakan terdapat peningkatan
produksi IgA dalam sel mukosa dan tonsil, sedangkan studi lainnya mendapatkan
penurunan produksi IgA dalam sel mukosa namun terjadi peningkatan produksi IgA
dalam sumsum tulang. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kadar IgA serum yang
meningkat sampai 40%-50%. Selain itu, juga didapatkan gangguan pengikatan IgA1 oleh
reseptor asialoglycoprotein di hati, yang berfungsi pada klirens IgA dari sirkulasi.
Kompleks imun IgA dalam kapiler dapat merupakan akibat deposisi kompleks imun
yang berasal dari sirkulasi ataupun pembentukan kompleks imun in situ dalam
glomerulus. Bukti klinis menemukan bahwa kompleks imun dalam sirkulasi bukan
merupakan satu-satunya penyebab terjadinya deposisi kompleks imun, misalnya deposisi
IgA dalam mesangium tetap ditemukan walau tidak ditemukan IgA dalam sirkulasi (50%
kasus). Kadar IgA di sirkulasi yang tinggi tidak cukup menyebabkan terjadi deposisi IgA
dalam mesangium. Dibuktikan pada pasien dengan HIV atau mieloma dengan kadar IgA
yang rendah tidak memiliki deposit kompleks imun IgA pada mesangium. Perubahan
pada struktur biokimia IgA merupakan penyebab terjadi deposisi IgA dalam kapiler. Pada
PHS dan nefropati IgA, IgA1 serum menunjukkan abnormalitas pada region Oglycosylated, yaitu hilangnya terminal galaktosa pada IgA1 sirkulasi. Selain itu, pada sel
B juga ditemukan defek pada -1,3- galactosyltransferasi. Kelainan glikosilasi pada
hinge region, akan menyebabkan perubahan pada stuktur IgA1 dan menyebabkan
perubahan terhadap interaksi pada matriks protein, reseptor IgA, dan komplemen.
Kelainan terebut akan menyebabkan terjadi deposit di dalam mesangium dan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Kelainan kulit dapat pula ditemukan di wajah dan tubuh, dapat berupa lesi petekie
dan ekimotik, dapat disertai rasa gatal (pruritic rash).
Keluhan perut ditemukan pada 35-85% kasus; biasanya timbul sesudah kelainan kulit
(1-4 minggu sesudah onset). Nyeri perut dapat berupa kolik abdomen di periumbilikal,
disertai mual dan muntah (85%). Pada 2-3% kasus dapat ditemukan intususepsi ileoilial
atau ileokolonal. Diare berdarah dapat menyertai pruritic rash. Pada 20-50% kasus
ditemukan angioedema wajah (kelopak mata, bibir) dan ekstremitas (punggung tangan
dan kaki).
Kelainan ginjal ditemukan pada 50% kasus anak yang lebih besar dan 25 %
ditemukan pada anak usia < 2 tahun; < 1 % berkembang menjadi gagal ginjal. Biasanya
7
terjadi setelah 3 bulan onset penyakit atau 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya
kelainana kulit yang persisten sampai 2-3 bulan biasanya berhubungan dengan nefropati
atau penyakit ginjal berat. Mungkin ditemukan hematuri dengan proteinuri derajat ringan
sampai berat; dapat terjadi sindrom nefrotik. Risiko nefritis meningkat pada usia onset di
atas 7 tahun, lesi purpura menetap, keluhan abdomen yang berat dan penurunan faktor
XIII. Jarang terjadi oliguri dan hipertensi. Kelainan skrotum menyerupai testicular
torsion; edema skrotum dapat terjadi pada awal penyakit (2-35%). Kelainan susunan saraf
pusat dan paru-paru jarang terjadi.
f. Diagnosis
A. Kriteria American College of Rheumatology 1990:
Bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala, yaitu:
1. Palpable purpura non trombositopenia
2. Onset gejala pertama < 20 tahun
3. Bowel angina
4. Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula
g. Diagnosis Banding
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC); endokarditis; pankreatitis; meningitis
dan ensefalitis pada anak; torsi testis; purpura trombositopenik.
h. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Purpura Henoch-Schonlein berdasarkan
Kadar ureum dan kreatinin dapat meningkat, menunjukkan kelainan fungsi ginjal atau
dehidrasi. Pada 10-20% penderita ditemukan hematuri atau proteinuri. Ditemukan darah
pada feses.
Dapat
dilakukan
pemeriksaan
ultrasonografi
abdomen
untuk
mendiagnosis
i. Penatalaksanaan
Pada dasarnya tidak ada pengobatan spesifi k untuk HSP. Untuk mengurangi nyeri
dapat diberikan golongan NSAIDs seperti ibuprofen atau parasetamol 10 mg/kgBB. Jika
terjadi edema dilakukan elevasi tungkai. Beri diet lunak selama terdapat keluhan perut
seperti muntah dan nyeri perut.
Pertimbangkan pemberian kortikosteroid pada kondisi sangat berat seperti sindrom
nefrotik menetap, edema, perdarahan saluran cerna, nyeri abdomen berat, keterlibatan
susunan saraf pusat dan paru. Lama pemberian berbeda-beda, Faedda menggunakan
metilprednisolon 250-750 mg/hari/iv selama 3-7 hari dikombinasikan dengan
siklofosfamid 100-200 mg/hari untuk fase akut HSP yang berat; dilanjutkan dengan
prednison oral 100-200 mg selang sehari dan siklofosfamid 100-200 mg/hari selama 3075 hari sebelum siklofosfamid dihentikan langsung dan tapering off steroid hingga 6
bulan.
Penderita dengan nyeri perut hebat, perdarahan saluran cerna atau penurunan fungsi
ginjal, memerlukan perawatan di rumah sakit.
j. Prognosis
Prognosis baik pada sebagian besar kasus, sembuh pada 94% kasus anak-anak dan
89% kasus dewasa (beberapa kasus memerlukan terapi tambahan). Rekurensi dapat
terjadi pada 10-20% kasus, umumnya pada anak yang lebih besar dan dewasa; < 5%
penderita berkembang menjadi HSP kronis. Keluhan nyeri perut pada sebagian besar
penderita biasanya sembuh spontan dalam 72 jam.
10
BAB III
LAPORAN KASUS
: 29 Desember 2013
No. RM
: 061016
Diagnosis Masuk
Tanggal Pemeriksaan
: 30 Desember 2013
IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama Lengkap
: An. M Syarki
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 3 tahun
Agama
: Islam
Alamat
Identitas Keluarga
Identitas
Ibu
Ayah
Nama
Ny. S
Tn. M
Umur
28 tahun
30 tahun
Pendidikan
SMP
SMA
Pekerjaan
IRT
Wiraswasta
HETEROANAMNESIS
Keluhan Utama : Kaki bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Praya dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan kaki
bengkak sejak hari Sabtu (28/12/2013). Awalnya timbul bintik-bintik kecil kemerahan
pada kaki, kemudian mulai muncul bercak-bercak yang lebih besar, dan akhirnya kaki
menjadi bengkak dan terasa nyeri. Nyeri pada persendian (+). Pasien juga dikeluhkan
nyeri pada perut sejak hari Selasa (24/12/2013). Sejak perut terasa nyeri, pasien tidak bisa
makan karena setiap masuk makanan, pasien langsung muntah. Pada hari itu, pasien tidak
11
bisa BAB. Kemudian esoknya (25/12/2013) pasien BAB berwarna hitam dengan
konsistensi lunak, darah (+), lendir (-), frekuensi 4 kali. Pasien tidak dikeluhkan
demam. Batuk (-), pilek (-). BAK (+) 3-4 kali sehari, warna kuning jernih, darah (-), nyeri
saat BAK (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
-
PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum
: sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
12
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
: 28 x/menit
Suhu
: 36,5oC
Status Gizi
BB
: 13 kg
PB
: 96 cm
LK
: 45 cm
BB/PB
BB/U
= - 1,05 (Normal)
PB/U
= - 1,08 (Normal)
Status Generalis
Kepala/Leher
Bentuk
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
Thoraks
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Cor
Inspeksi
Palpasi
: thrill (-)
13
Abdomen :
Inspeksi
Perkusi
Palpasi
: nyeri tekan (+) di epigastrium, H/L/R tak teraba, turgor kulit normal,
Ekstremitas Bawah
Pemeriksaan
Dextra
Sinistra
Dextra
Sinistra
Akral hangat
Edema
Nyeri tekan
Pucat
Refleks Fisiologis
Refleks Patologis
Kekuatan Otot
Palpable purpura
5
-
5
-
RESUME
Pasien laki-laki, 3 tahun, keluhan edema sejak hari Sabtu (28/12/2013). Awalnya timbul
banyak ptekie pada kaki, kemudian mulai muncul purpura, dan akhirnya kaki menjadi edema
dan terasa nyeri. Arthralgia (+). Pasien juga dikeluhkan nyeri abdomen sejak hari Selasa
(24/12/2013). Pada hari itu, pasien tidak bisa BAB. Kemudian esoknya (25/12/2013) pasien
melena dengan konsistensi lunak, darah (+), lendir (-), frekuensi 4 kali. Pasien tidak
dikeluhkan demam. Batuk (-), pilek (-). Hematuria (-). Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
KU sedang, kesadaran compos mentis, nadi 140 x per menit, RR 28 kali per menit, suhu
14
36,5C, pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan epigastrium, dan pada ektremitas
bawah ditemukan banyak ptekie dan palpable purpura.
ASSESMENT
Henoch Schonlein Purpura (HSP)
dd : ITP
PLANNING
- Planning Diagnostik
Darah lengkap, HDT, feses lengkap, urinalisis, BUN SC
Darah Lengkap (tanggal 29/12/2013)
WBC
: 16,2 x 103/L
NEU
: 8,90
LYM
: 5,64
MONO
: 1,23
EOS
: 0,220
BASO
: 0,244
HGB
: 13,2 g/dl
RBC
: 5,25 x 106/L
HCT
: 38,8 %
MCV
: 73,9 fl
MCH
: 25,2 pg
MCHC
: 34,1 g/dl
PLT
: 713 x 103/L
GDS
: 116 mg%
BUN SC (30/12/2013)
Ureum
: 14,5 mg/dl
Kreatinin
: 0,50 mg/dl
15
Mikroskopis
Warna : coklat
Eritrosit : -
Konsitensi : padat
Leukosit : -
Lendir : -
Epitel : -
Darah : -
Urinalisis (31/12/2013)
Warna
: kuning
Sedimen
Kejernihan
: jernih
Eritrosit
:-
BJ
: 1.005
Leukosit
:0-5
pH
:8
Epitel
:0-5
Protein
:-
Silinder
:-
Glukosa
:-
Kristal
:-
Keton
:-
Bilirubin
:-
Urobilinogen : Nitrit
:-
Darah
:-
Leukosit
:-
16
- Planning Terapi
Prognosis
Dubia ad bonam
17
DAFTAR PUSTAKA
Cassidy JT, Petty RE. Leukocytoclastic vasculitis: Henoch-Schonlein purpura. In: Cassidy JT,
Petty RE,Laxer RM,dkk.Textbook of Pediatrics Rheumatology 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2005; 496-501.
Mills JA, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, Arend WP, et al. The American
College of Rheumatology 1990 Criteria for the Classification of Henoch-Schonlein
purpura. Arthritis Rheum. 1990; 33:1114-21.
Soepriadi M,Setiawan B.Henoch Schonlein purpura.Pedoman diagnosis dan terapi ilmu
kesehatan anak.edisi ke-3.Bandung: Bagian IKA FK Unpad,2005; 167-9.
http://emedicine.medscape.com/article/780452
http://www.patient.co.uk/doctor/Henoch-Schonlein-Purpura-(HSP).htm
http://www.rheumatology.org/publications/classifi cation/hsp.asp
18