PEMBAHASAN
3.1
Jembatan berdiri di atas 4 pilar silinder beton. Setiap pilar ditopang oleh dua
buah fondasi sumuran. Kedalaman fondasi adalah 8 meter, dasar fondasi berada 9.5
meter di bawah mercu pilecap. Sebuah groundsill ditempatkan di hilir jembatan untuk
menstabilkan dasar sungai dengan cara mencegah degradasi dasar sungai dan
mempertahankan posisi dasar sungai sejajar dengan mercu groundsill.
Permasalahan di Jembatan Kebonagung berawal pada 1997 saat groundsill
mengalami kerusakan, jebol sepanjang 2 meter di sisi kiri. Setelah perbaikan,
kerusakan lain yang lebih parah terjadi, yaitu separuh bentang di sisi kanan runtuh.
Hal ini menyebabkan aliran air berbelok dan terkonsentrasi di bagian yang runtuh
sehingga memicu degradasi dasar sungai di bagian ini. Upaya penanganan telah
dilakukan dengan penempatan blok beton di bagian groundsill yang runtuh, namun
upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Sebagian blok beton hanyut karena tidak mampu
menahan gaya dinamik aliran air.
Blok beton yang dipakai untuk menutup bagian groundsill yang patah, namun
tidak sepenuhnya berhasil.
Kerusakan groundsill disebabkan ketidak-mampuan groundsill menahan gaya
hidrodinamik aliran air. Selain struktur tubuh groundsill yang tampaknya hanya
berupa pasangan batu kali, ketiadaan lantai hilir merupakan telah menyebabkan
groundsill tidak memiliki pelindung terhadap gerusan dasar sungai di hilirnya.
Gambar 3.7. Bagian Groundsill yang masih tersisa pada tahun 2006
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-kebonagungsleman-yogyakarta/
#4, pilar paling barat, yang merupakan bagian thalweg (alur utama, bagian terdalam
sungai), jejak gerusan lokal tidak dapat diketahui karena dasar sungai tidak tampak.
Namun, kita dapat memperkirakan bahwa di fondasi pilar #4 ini pun hampir pasti
terjadi pula gerusan lokal.
Sebagai bagian dari kajian dan desain rehabilitasi Jembatan Kebonagung, pada
2006 telah dilakukan pengukuran profil dasar sungai di sekitar jembatan, termasuk
pengukuran dasar sungai di sekeliling pilar #4. Pengukuran dasar sungai di sekitar
pilar ini dilakukan dengan teknik echosounding. Pengukuran dilakukan dari atas
pilecap. Akses ke lokasi pengukuran adalah dengan cara turun dan naik dengan panjat
tali (rappeling). Hasil echosounding menunjukkan bahwa akibat degradasi dasar
sungai dan gerusan lokal, dasar sungai di sekitar pilar #4 hampir mencapai dasar
fondasi sumuran, sekira 1.5 m di atas dasar fondasi sumuran. Hal ini tentu saja sangat
membahayakan keamanan jembatan. Risiko kegagalan fondasi sangat besar.
Bina Marga DIY sebagai autoritas jalan dan jembatan tingkat provinsi telah
mengupayakan rehabilitasi Jembatan Kebonagung dengan melakukan perencanaan
teknis
(Detailed
Engineering
Design, DED)
perlindungan
jembatan.
Hasil
Lantai bronjong batu kali untuk melindungi pilar atau pondasi dari ancaman
gerusan lokal, foto diambil pada November 2007, saat musim hujan pertama setelah
lantai bronjong selesai dipasang.
Gambar 3.12. Lantai bronjong di pilar jembatan, foto diambil pada 2010,
pada saat itu groundsill telah dibangun di lokasi sekira 260 meter dari jembatan
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatankebonagung-sleman-yogyakarta/
Jembatan telah mengalami beberapa alih fungsi dan rehabilitasi, antara lain
pengalihan fungsi dari jembatan lori menjadi jembatan jalan raya pada 1951,
penggantian lantai jembatan dari lantai kayu menjadi lantai beton pada 1962,
penggantian gelagar dari baja menjadi komposit (17 bentang) dan beton slab (40
bentang) serta perlebaran dari 3.3 m menjadi 5.5 m pada 1979-1985. Struktur bawah
jembatan (pilar dan fondasi) tidak pernah berubah, tetap seperti aslinya.
Pada tahun 2000, dua dari 58 pilar jembatan turun (ambles) yang terjadi dalam
dua hari berurutan. Pilar #25 turun pada 20 April 2000 dan pilar #26 turun pada hari
berikutnya. Sebelum peristiwa ini, sebuah truk tronton bermuatan semen melintasi
jembatan pada 19 April 2000. Menyusul peristiwa ini, sebuah jembatan darurat tipe
bailey dipasang di atas bentang yang turun untuk membuka akses jembatan.
Gambar 3.17. Pilar #25 dan #26 ambles pada 21 April 2000
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-sradakan-bantulyogyakarta/
Pilar #25 dan #26 ambles pada 21 April 2000, jembatan darurat dipasang
untuk membuka akses kendaraan ringan melewati jembatan.
Kegagalan fondasi dan pilar Jembatan Srandakan tidak terjadi secara tiba-tiba.
Jembatan ini mulai menampakkan tanda-tanda mengalami permasalahan sejak akhir
dasa warsa 80-an dan berlanjut selama era 90-an. Degradasi dasar sungai merupakan
sumber pertama timbulnya permasalahan. Pada masa itu, degradasi dasar sungai
terjadi hampir di sepanjang alur Sungai Progo. Dengan membandingkan gambar
rencana jembatan pada 1925 dan posisi dasar sungai terhadap lantai jembatan pada
awal 2000, tampak bahwa dasar sungai turun 3 m. Bukti lain bahwa dasar sungai
turun juga dapat diamati pada menggantungnya Intake Sapon yang berada lebih
kurang 2 km ke arah hulu Jembatan Srandakan.
Gambar 3.18. Degradasi dasar sungai di Jembatan Srandakan pada tahun 1990.
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-sradakan-bantulyogyakarta/
Gambar 3.20. Hasil pemantauan elevasi muka air dan dasar sungai di Jembatan
Srandakan pada 2000 dibandingkan dengan data desain jembatan tahun 1925.
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-sradakan-bantulyogyakarta/
Data hasi pantauan elevasi muka air dan dasar sungai di Jembatan Srandakan
pada 2000 yang dibandingkan dengan data desain jembatan pada 1925, elevasi diukur
terhadap lantai jembatan.
Faktor kedua penyebab kegagalan pilar Jembatan Srandakan adalah gerusan
lokal di sekitar fondasi dan pilar jembatan. Gerusan lokal di sekitar fondasi dan pilar
jembatan ini tampak jelas. Jembatan Srandakan pada musim kemarau 2002, terlihat
dengan jelas jejak gerusan lokal berupa cekungan dasar sungai di sisi hulu pilar
jembatan. Dengan demikian, gerusan lokal terjadi pada tahun-tahun sebelum itu,
sebelum peristiwa penurunan fondasi/pilar jembatan pada 2000.
Faktor ketiga penyebab kegagalan pilar adalah peningkatan volume kendaraan
yang melintas Jembatan Srandakan. Pengukuran pada 1984 menunjukkan LHR 5ribu, meningkat menjadi 15-ribu pada 1995, dan mencapai 20-ribu pada 2000.
Upaya-upaya perlindungan fondasi dan pilar jembatan telah dilakukan sejak
dasa warsa 90-an. Pada awal 90-an, pembangunan groundsill di sisi hilir jembatan.
Pada 1997-1999, dilakukan upaya pengamanan fondasi dan pilar jembatan dengan
cara menyelimuti bagian fondasi yang telah menyembul di atas dasar sungai serta
membuat lantai (apron) di hilir pilar. Selimut dan lantai hilir dibuat dari konstruksi
bronjong. Upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Justru selimut bronjong telah
mempersempit alur sungai. Jarak bebas antar pilar mengecil dari 9 m menjadi 7 m di
bagian atas selimut bronjong dan bahkan menjadi tinggal 1 m di bagian dasarnya.
Penyempitan alur meningkatkan kecepatan aliran yang pada gilirannya memperbesar
gerusan lokal di sekitarnya. Gerusan lokal juga bertambah dalam akibat pembesaran
dimensi fondasi/pilar+selimut.
Gambar 3.21. Selimut dan lantai hilir dari konstruksi bronjong sebagai upaya
pengamanan pilar jembatan, dikerjakan pada periode 1997-1999.
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-sradakan-bantulyogyakarta/
Gambar 3.23. Lantai hiir telah diperbaiki pasca pilar #25-26 ambles.
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-sradakan-bantulyogyakarta/
Groundsill Srandakan di hilir Jembatan Srandakan yang dibangun pada 20012003 telah berhasil menaikkan dasar sungai di Jembatan Srandakan sehingga
kembali pada elevasi pilecap Jembatan Srandakan I (jembatan lama)
Gambar 3.26. Groundsill Srandakan, dirancang dengan debit Q50 = 2780 m3/s,
mercu pada +9.50 m dan MAB +11.70 m.
Sumber: http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-sradakan-bantulyogyakarta/
Jembatan masih dapat difungsikan untuk lalu lintas ringan dengan rehabilitasi
pada bentang yang mengalami penurunan,
Atau kalau pun tidak dilakukan rehabilitasi, maka jembatan ini dapat menjadi
tempat pembelajaran mengenai problematika jembatan yang ditimbulkan
oleh degradasi dasar sungai dan gerusan lokal.
3.2
gaya
guling
bekerja yaitu momen guling < dari momen tahan dan dari hasil perbandingan
kedua momen tersebut menunjukan > dari safety factor yang telah di tentukan
yaitu 1,5.
4) Analisa Momen Geser yang bekerja pada bangunan Groundsill
Groundsill
Bantar
di Kali Progo
aman terhadap
gaya geser
karena
koefisien
geser dengan perbandingan gaya yang bekerja secara vertikal dan horizontal >
safety factor yaitu 1,5.
5) Analisa Daya Dukung Tanah pada bangunan Groundsill
Groundsill