PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Rute per oral merupakan pemberian obat yang paling umum dalam penelitian dan
pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi pemberian oral tidak selalu
menghasilkan efek yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien. Obat yang absorpsinya
tidak baik di saluran gastrointestinal dan tidak stabil oleh enzim proteolitik merupakan
beberapa masalah pada pemberian obat pada rute oral. Beberapa obat menyebabkan iritasi
lokal pada lambung atau saluran gastrointestinal atas atau membutuhkan dosis lebih dari 500
mg. Populasi pasien tertentu, umumnya anak-anak, orang tua dan pasien yang sulit menelan,
seringnya kesulitan untuk mengonsumsi tablet dan kapsul oral. Sebagai tambahan,
pengobatan beberapa penyakit paling baik dilakukan dengan pemberian langsung pada
tempat yang sakit, umumnya pada penyakit di mata, mulut, dermal, rongga oral, dan jaringan
anorektal. Pemberian oral dapat digunakan untuk tujuan drug targeted untuk jaringan yang
terkena penyakit, namun terpaparnya seluruh kompartemen tubuh pada pemberian obat
melalui oral tidak efisien dan bisa memicu efek yang tidak diinginkan.
Pemberian obat rektal dapat diterima baik untuk penghantaran obat lokal dan sistemik.
Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit local pada area anorektal
juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari pemberian oral. Obat-obat yang
mengalami metabolismee lintas pertama ketika diberikan oral, masalah ini dapat diatasi
dengan pemberian obat tersebut melalui rute rektal. Formulasi penghantaran obat melalui
rektal terdapat dalam berbagai bentuk sediaan, antara lain supositoria, gel, aerosol, busa
(foam), krim maupun controlled release. Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat
menjadi rute pemberian yang umumnya diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat
rektal untuk penggunaan tertentu dan masalah terapeutik tertentu memberikan rute
penghantaran obat alternatif yang dapat sukses diterapkan dalam terapi obat.
1.2.Rumusan Masalah
a. Bagaimana mekanisme pelepasan obat pada penghantaran obat melalui rektum?
b. Bagaimana mekanisme absorpsi obat pada penghantaran obat melalui rektum?
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Anatomi Pembuluh Darah di Rektum, 1: vena tengah rektal; 2 : tunica muscularis :
stratum longitudinal; 3: otot levator ani; 4: vena inferior rektal; 5 : otot sfingter ani externus; 6 :
vena superior rektal; 7 dan 8 : plexus venosus rektalis (submukosus); 9 : kulit; 10 : vena
marginalis (Aulton,2007)
Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini
kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika
kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk
buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di
mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang
lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi
c. Gel/Busa/Salep
Penggunaan bentuk sediaan gel, busa (foams) atau salep untuk pemberian rektal
dapat memberikan manfaat yang melebihi formulasi cair karena retensi bentuk sediaan
pada saluran rektal mengurangi masalah kepatuhan pasien. Pelepasan obat dengan bentuk
sediaan semisolid biasanya terbatas untuk indikasi lokal seperti hemorrhoid dan radang
perut bawah (proctitis). Pelepasan obat dan aksi farmakologik setelahnya biasanya lebih
cepat dengan formulasi semisolid dibandingkan dengan supositoria padat karena tidak
ada waktu tunda (lag time) untuk pelelehan atau pelarutan. Miyazaki dkk, meneliti
tentang gel thermoreversible dari polisakarida xyloglucan yang diperoleh dari biji
tamarind. Cairan yang mengandung 1-2 % xyloglukan membentuk gel pada temperatur
27-32C. Suhu kemudian diturunkan dengan peningkatan konsentrasu xyloglukan. Profil
pelepasan in vitro untuk indometasin dan diltiazem dikarakterisasi. Pelepasan
indometasin yang lambat dari gel secara in vitro dibuktikan secara in vivo dimana
diperoleh puncak absorpsi yang lebih luas dan waktu tinggal yang lebih panjang. Dari
hasil penelitian tersebut diperoleh tidak ada perbedaan bioavailibilitas yang signifikan
antara formulasi gel thermal dengan supositoria konvensional indometasin.
Ryu dkk meneliti tentang supositoria mukoadhesif cair yang dikombinasikan
dengan senyawa bioadhesif dengan polimer thermal gelling. Hidroksipropilselulosa,
polivinilpirolidon, carbopol, polikarbofil dan natrium alginate digunakan sebagai polimer
bioadhesif dalam polimer thermal gelling yang terdiri atas poloxamer 407 dan poloxamer
188. Suhu saat terjadi gel antara 30-36C diperoleh dengan tekanan mukoadhesif antara
430-5800 dyne/cm2. Dengan propanolol sebagai senyawa model, bioavailabilitas
meningkat dengan peningkatan tekanan mukoadhesif dan jarak migrasi bentuk sediaan
diturunkan. Dengan demikian tidak terdapat hubungan langsung antara bioavailabilitas
dan suhu terbentuknya gel. Natrium alginat dan polikarbofil memberikan tekanan
mukoadhesif terbesar dan memberikan perbaikan yang signifikan pada bioavailabilitas
propranolol.
diterima pada uji klinis pada manusia untuk penghantaran terkontrol antipirin dan
teofilin. Sistem penghantaran osmotik terkontrol juga terbukti berguna untuk
penghantaran obat yang berefek sistemik dibandingkan dengan pemberian intravena.
Karena ukuran keterterimaan total dari formulasi rektal secara signifkan melebihi ukuran
yang mungkin untuk formulasi oral, pemberian rektal untuk tujuan pelepasan terkontrol
memberikan manfaat yang signifikan. Faktor yang membatasi adalah kebutuhan untuk
menginkoporasikan zat pengontrol yang dirancang untuk mengatur pelepasan obat yang
secara sgnifikan akan meningkatkan ukuran total dari bentuk sediaan. Bentuk sediaan
untuk orang dewasa yang dapat diterima adalah sampai 2,5 g, jumlah obat yang bisa
diformulasi dalam bentuk sediaan pelepasan terkontrol bisa 2-3 kali lebih besar dari
formulasi oral. Untuk beberapa zat terapeutik, jumlah obat yang lebih tinggi ini
memberikaan keuntungan yang tidak diperoleh lewat rute oral.. Pengembangan dan
pemasaran bentuk sediaan rektal pelepasan terkontrol masih belum menguntungkan
karena masih enggannya pasien untuk menggunakan rute ini dan masalah kepatuhan
pasien.
untuk mempertahankan konsentrasi obat yang lebih tinggi daripada di usus halus. Sisi
negatifnya bagi potensi absorpsi, kompleks persimpangan interselular lebih ketat di kolon
dan rektum dibadingkan usus halus, yang bisa menurunkan kesempatan bagi obat-obat
yang larut dalam air dan berukuran kecil untuk berpermeasi ke ruang interselular dan
mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik tanpa melewati membran selular.
b. Biokimia
Metabolisme selular dari obat, saat mereka melewati sawar mukosa pada rektum
atau kolon, dapat diharapkan sama seperti pada usus halus karena peralatan dasar
metabolic intraselular sama pada sel epitel. Perbedaan utama pada metabolisme obat
terjadi pada enzim-enzim dimana obat terpapar pada lumen usus dan membran apical dari
lapisan sel epitel. Karena kolon dan rektum tidak memiliki fungsi cerna, tidak terdapat
enzim lumen, yang secara aktif diekskresikan oleh usus halus bagian atas. Sehingga, obat
yang tidak stabil oleh enzim proteolitik seperti peptida dan protein memiliki stabilitas
yang lebih besar jika dilepaskan pada rektum atau kolon bagian bawah.
Penelitian yang dilakukan Saffran et al. menunjukkan bahwa vasopressin, peptida
yang menjadi subyek hidrolisis proteolitik, lebih aktif ketika diberikan melalui rute rektal
dibandingkan rute oral. Absorpsi rektal yang signifikan pada hormon pertumbuhan dan
insulin juga ditunjukkan dengan bantuan zat peningkat absorpsi. Pembawa untuk vitamin
juga terdapat pada jaringan usus halus. Pembawa ini tidak terdapat pada mekanisme
transport di jaringan kolon dan rektal sehingga senyawa seperti asam amino, sakarida dan
vitamin dan senyawa lain yang memiliki struktur yang mirip dan membutuhkan pembawa
untuk absorpsinya mengurangi absorpsinya di rektal. pH pada kompartemen rektal
umumnya netral, antara 7 sampai 8, dengan kapasitas dapar yang minimal jika
dibandingkan dengan usus halus. Supositoria atau larutan diformulasi untuk
mempertahankan pH spesifik yang bertujuan untuk mengoptimalksan absorpsi obat pada
pH tersebut. Hal ini menguntungkan untuk obat yang sifat permeasinya optimal pada pH
mendekati netral. Hal yang perlu diingat adalah untuk menjaga pH permukaan membrane
epitel, pada rentang pH 6,0-6,5.
b. Rute rektal aman dan nyaman bagi pasien usia lanjut dan muda
c. Pengenceran obat diminimalkan karena volume cairan residu rendah
d. Rektum umumnya kosong
e. Adjuvant absorpsi memiliki efek lebih jelas daripada di saluran pencernaan bagian atas
f. Enzim degradatif dalam lumen rektal beradapadakonsentrasi yang relatif rendah
g. Terapi dapat dengan mudah dihentikan
h. Eliminasi lintas-pertama (first-pass elimination) obat oleh hati dihindari sebagian
Rute rektal sering digunakan ketika pemberian bentuk sediaan melalui mulut tidak sesuai,
misalnya, dengan adanya mual dan muntah, pada pasien tidak sadar, jika menderita penyakit
pada
pencernaan
bagian
atas
yang
dapat
mempengaruhi
absorpsi
obat,
atau
jika rasa obat tidak menyenangkan atau tidak stabil oleh asam.
pembawa. Kelarutan obat dalam pembawa, ukuran partikel obat, kapasitas penyebaran
pembawa, viskositas pembawa dan eksipien pada suhu rektum, dan kemungkinan retensi
obat oleh eksipien, semua itu dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan dan selanjutnya
absorpsi obat. Lebih jauh lagi, pKa obat, pH cairan rektum, adanya dapar, dan kapasitas
dapar pada cairan rektum juga koefisien partisi dari obat mempengaruhi absorpsi obat
dan harus dipertimbangkan saat memformulasi supositoria atau bentuk sediaan rektal
yang lain. Suhu penyimpanan, waktu dan kondisi penyimpanan ditemukan memberikan
efek baik pada stabilitas dan sifat pelepasan obat dari bentuk sediaan rektal. Setiap
pertimbangan faktor-faktor di atas menyebabkan kesulitan dalam formulasi, pembuatan
dan distribusi dari sediaan rektal.
e. Biaya
Supositoria dan bentuk sediaan rektal lain memerlukan biaya yang lebih banyak untuk
penyiapan dan pencampuran dibandingkan tablet sederhana.
Gambar 2. Mekanisme Pelepasan Zat Aktif dari Basis Supositoria (Aulton, 2007)
Secara rektal supositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap oleh
mukosa dalam rektum. Aksi kerja awal dapat diperoleh secara cepat, karena obat diabsorpsi
melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam sirkulasi darah, serta terhindar dari
pengrusakan obat dari enzim didalam saluran gastro-intestinal dan perubahan obat secara
biokimia didalam hepar. Obat yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak
melalui hati dahulu hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang
mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif.
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
a. lewat pembuluh darah secara langsung
b. lewat pembuluh getah bening
c. lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.
Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung lewat inferior dan vena
intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena iliaca ke vena cava inferior.
Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan dimulai dari vena haemorrhoidalles
inferior terutama vena haemorrhoidalles superior menuju vena porta melalui vena
mesentricum inferior. Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu
10
melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre dan Regnier
pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.
Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeabel sempurna. Penyerapan rektum
kadang-kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu penyerapan juga tergantung pada
derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak dapat diberlakukan secara umum. Bahkan
bebrapa obat tertentu tidak diserap oleh mukosa rektum. Banyak obat yang tidak diresorbsi
secara teratur dan lengkap dari rektum, sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral
dan digunakan pada rektum kososng, akan tetapi setelah obat diresorbsi efek sistemisnya
lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah
dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati pada peredaran
darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan FPE (first pass effect). Pengecualian
adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena rektalis superior disalurkan ke
vena portae dan kemudian ke hati, misalnya thiazinamium.dengan demikian penyebaran obat
di dalam rektum yang tergantung dari basis supositoria yang digunakan, dapat menentukan
rutenya kesirkulasi darah. Supositoria dan salep juga sering kali digunakan untuk efek lokal
pada gangguan poros-urus, misalnya wasir.
11
Absorpsi obat melalui epitel rektal melibatkan dua rute transport yaitu rute transelular
dan rute paraselular. Mekanisme pengambilan pada rute transelular bergantung pada
lipofilisitas sedangkan rute paraselular adalah difusi obat melalui ruang antara sel-sel
epithelial. Absorpsi rektal dari obat bergantung pada beberapa sifat obat seperti koefisien
partisi dan ukuran molecular. Koefisien partisi yang kecil, ukuran molecular yang besar,
muatan dan kemampuan pembentukan ikatan hydrogen yang tinggi adalah faktor-faktor yang
menyebabkan absorpsi yang rendah dari obat. Faktor lainnya adalah adanya feses yang bisa
mengubah absorpsi obat. Larutan, suspensi dan supositoria merupakan bentuk sediaan yang
umum untuk pemberian rektal. Kandungan rektal umumnya bersifat basa dan larutan basa
biasanya cepat diserap dibandingkan larutan yang bersifat asam. Larutan berair dan alkohol
diserap dengan cepat sedangkan suspensi dan supositoria absorpsinya lambat dan kontinyu.
Metode utama yang digunakan untuk memperbaiki absorpsi rektal dari obat termasuk :
absorpsi obat yang ditentukan. Tetapi konsentrasi obat berhubungan dangan laju
penlepasan obat dari basis supositoria. Adanya surfaktan dapat atau tidak dapat
mempermudah absorpsi tergantung pada konsentrasi dan interaksi obat yang mungkin
terjadi. Ukuran partikel obat secara langsung berhubungan dengan laju absorpsi.
Koefisien partisi, ukuran molekular, muatan (terionisasi-tidak terionisasi) dan
kemampuan pembentukan ikatan hydrogen merupakan faktor fisika kimia obat yang
mempengaruhi absorpsi obat di rektum.
Partisi pH
Mekanisme absorpsi dari rektum sama dengan bagian bagian pada saluran
gastrointestinal, yaitu difusi pasif. Obat diserap paling baik melalui mukosa rektal
dalam bentuk tidak terionisasi atau netral. Obat-obat dengan koefisien partisi yang
tinggi (lebih lipofilik) cenderung diabsorpsi lebih baik. Jika obat bisa berada dalam
13
bentuk tidak terionisasi pada pH fisiologik, faktor-faktor lainnya tetap, maka absorpsi
bisa diperbaiki.
Kelarutan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, volume cairan dalam rektum sangat kecil.
Pada banyak kasus, dipercaya bahwa obat harus dilarutkan dulu dalam cairan rektal
agar dapat diabsorpsi. Hal ini membutuhkan kelarutan obat yang sangat tinggi untuk
obat bisa diserap dengan efisien dari rektum. Voigt dan Falk melaporkan hubungan
langsung antara kelarutan dalam air dengan kecepatan pelepasan untuk 35 senyawa
yang berbeda. Umumnya, ketika senyawa berada dalam bentuk kelarutan yang
relative rendah (asam netral) atau dalam bentuk yang lebih larut air (contohnya,
garam natrium), kelarutannya lebih tinggi dan kecepatan melarutnya juga lebih tinggi
dalam cairan rektal, sehingga absorpsinya lebih baik. Faktor ini harus diseimbangkan
dengan fakta bahwa bagian yang tidak terionisasi cenderung lebih cepat melewati
mukosa rektal. Kelarutan obat juga mempengaruhi pemilihan basis supositoria atau
pembawa lainnya. Umumnya, obat harus memiliki kecenderungan yang kecil untuk
tetap tinggal dalam pembawa saat pembawanya meleleh atau melarut. Oleh karena itu
biasanya disarankan bahwa obat-obat yang larut air paling baik diberikan dalam
pembawa yang berlemak dan senyawa yang lebih lipofilik pada pembawa yang larut
air.
Ukuran molekular
Semakin kecil ukuran molekul obat, semakin siap atau cepat obat tersebut diabsorpsi.
Untuk molekul-molekul yang besar, beberapa tipe transport terfasilitasi atau
penggunaan zat peningkat penetrasi (penetration enhancers) dapat meningkatkan
absorpsi obat dari rektum juga rute penghantaran obat yang lain.
Muatan
Molekul yang bermuatan kurang efektif untuk melewati mukosa rektal dibandingkan
molekul yang netral. Hal ini bisa diatasi dengan memodifikasi pH atau dengan
mengizinkan zat yang bermuatan untuk berinteraksi dengan molekul atau ion yang
lain yang membantu menetralisir muatan. Pasangan ion, sebagai contoh, dapat
digunakan untuk mengatasi masalah ini. Dari sudut pandang kelarutan zat yang
14
Adsorpsi non-spesifik
Sifat permukaan dari padatan dapat mempengaruhi secara signifikan obat tersebut
ketika mencapai antarmuka antara pembawa dan cairan rektal. Jumlah pembasahan,
yang ditunjukkan dengan sudut kontak, yang terjadi atau berubah pada saat tegangan
antarmuka akibat interaksi dengan surfaktan dalam pembawa atau cairan rektal bisa
berefek pada disolusi dan selanjutnya absorpsi obat. Hal ini seringnya meningkatkan
ketersediaan obat. Di sisi lain, adsorpsi atau pembentukan kompleks dengan surfaktan
dapat menurunkan ketersediaan obat an absorpsinya.
absorpsi rektal dari senyawa bobot molekul rendah melalui rute transelular.
Berbagai salisilat, dietil etilen malonat, dan berbagai macam asam-asam lemak
ditemukan meningkatkan absorpsi baik melalui rute paraselular dan transelular.
Pemberian obat rektal cocok menggunakan zat peningkat absorpsi.
Dengan
menggunakan
zat-zat
seperti
asilkarnitin
dan
asilkolin,
kinerja dari supositoria solid rektal harus memiliki profil pelepasan dari kedua zat
tersebut (obat dan enhancer agents) sehingga menambah kerumitan dalam proses
formulasi.
Kontrol pH
pH cairan rektal memiliki efek yang penting dalam absorpsi obat dari
rektum. Karena cairan rektal memiliki kapasitas dapar yang relative rendah dan
volume cairan rektal yang kecil, dapat diperkirakan bahwa kandungan bentuk
sediaan rektal akan sangat mengontrol pH rektum selama pemberian. Berdasarkan
hal ini, formulator dapat menggunakan karakteristik pH dari obat dan
memasukkan dapar yang cocok dan bahan tambahan lain dalam bentuk sediaan
untuk mengontrol pH. Suatu penelitian melaporkan bahwa larutan dengan
kapasitas dapar 0,1 sudah cukup untuk mempertahankan pH sekitar 5,9 selama
perfusi pada manusia. Pada penelitian ini, pH kembali ke nilai normal dengan
kecepatan sekitar 1,5 unit pH per menit, yang diikuti dengan pengeluaran
perfusat. Tubuh tampaknya mencoba untuk mempertahankan pH pada permukaan
penyerapan tetapi dibutuhkan sedikit waktu untuk mengembalikan pH ke pH
16
Solubilizing agents
Diperkirakan bahwa solubilizing agents dapat meningkatkan kecepatan
pelepasan obat dari basis supositoria, mungkin dengan memodifikasi viskositas
dan tegangan antarmuka pembawa dengan cairan rektal. Sebagai tambahan
solubilizing agent atau surfaktan juga dapat memberi efek pada penyalutan mucus
dari membrane rektal. Zat ini dapat meningkatkan absorpsi dengan mengurangi
ketebalan lapisan yang harus dilewati oleh obat atau bertindak seperti penetration
enhancer dengan meningkatkan permeabilitas membrane dengan merusak
mukosa rektal. Nishihata dkk melaporkan bahwa natrium lauril sulfat berinteraksi
dengan fraksi lipoidal dari membran rektal dengan efek yang irreversible dalam
waktu yang singkat. Untuk basis yang berminyak, solubilisasi, dengan
pengurangan viskositas pembawa, dapat memperbaiki penghantaran obat rektal
Viscosity modifiers
Tekanan lumen pada mukosa rektal bisa bekerja sebagai shearing stress dan
mempengaruhi sifat rheologis dari zat yang memiliki sifat plastik atau
pseudoplastis. Viskositas merupakan hal yang sangat penting untuk pelepasan
obat dari supositoria ketika bahan yang meleleh merupakan cairan Newtonian.
Umumnya, semakin rendah viskositas, semakin cepat dan semakin sempurna
pelepasan obat dari pembawa dan semakin tinggi absorpsi obat.
Turunan enamin
17
Terdapat begitu banya penelitian mengenai aksi dari asam amino enamin (fenilalanin dan
fenilglisin) dari betadiketon (etilasetoasetat) untuk meningkatkan absorpsi rektal. Karena
enamin absorpsinya cepat dan kemampuan pengkhelat dari etilasetoasetat dan turunan
enamin, banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan turunan enamin
sebagai bahan tambahan untuk membantu absorpsi obat. Pembentukan asam amino
dengan etilasetoasetat dalam larutan air meningkat dengan peningkatan pH larutan. Kerja
peningkat absorpsi dari turunan enamin pada absorpsi rektal tikus dari CMZ (antibiotic
hidrofilik) bergantung pada kemampuan pembentukan enamin. Kerja dari enamin terjadi
selama periode yang pendek disebabkan karena absorpsi enamin yang sangat cepat dan
degradasi pada tempat aksi (hidrolisis pada fase air). Peningkatan insulin dalam serum
setelah pemberian rektal dari supositoria insulin yang mengandung enamin terjadi sangat
cepat, tetapi hilangnya insulin dalam serum juga terjadi sangat cepat. Ketika supositoria
enamin tanpa insulin diberikan setelah 20 menit pemberian supositoria insulin yang
mengandung enamin, peningkatan konsentrasi insulin dalam serum diamati setelah
pemberian kedua supositoria enamin. Hasilnya adalah periode waktu selama enamin
meningkatkan absorpsi rektal insulin sangat pendek. Studi detail mengenai mekanisme
untuk kerja enamin sebagai bahan tambahan belum dilaporkan.
Enamin bisa meningkatkan absorpsi rektal dari senyawa dengan bobot molekul yang
relative besar seperti insulin bahkan kerjanya lebih kuat pada obat yang bobot
molekulnya relative kecil. Perhatian utama untuk turunan enamin dalam penggunaannya
untuk pengembangan formulasi adalah stabilitas enamin sendiri. Pada banyak kasus,
enamin bisa mengalami hidrolisis yang sangat cepat pada nilai pH netral atau lebih
rendah dan pada basis supositoria yang mengandung lembap.
di
lumen
rektal
ditingkatkan
oleh
salisilat
pada
konsentrasi
%.
18
Bioavailabilitas rektal dari antibiotic bergantung baik pada konsentrasi bahan pembantu
dan bentuk sediaan. Basis lipofilik supositoria merupakan pembawa yang baik untuk
penghantaran beberapa obat antibiotic yang menghasilkan biovailabilitas rektal yang
baik. Penggunaan basis lipofilik supositoria akan memudahkan untuk mempertahankan
konsentrasi yang tinggi dari bahan pembantu di kompartemen rektal jika dibandingkan
denan mikro enema yang larut air, karena salisilat lebih mudah larut jika diberikan dalam
bentuk garam natrium.5MSA telah dilaporkan merupakan bahan peningkat absorpsi yang
lebih kuat jika dibandingkan dengan salisilat. Pelelehan basis trigliserida terjadi sangat
cepat, oleh karena itu pelepasan dan pelarutan baik bahan pembantu dan antibiotic juga
terjadi sangat cepat pada saluran rektal. Baik salisilat dan 5MSA meningkatkan absorpsi
rektal dari insulin, heparin, gastrin dan pentagastrun yang diberikan dalam bentuk
mikroenema pada tikus.
Kerja salisilat yang menghambat agregasi sel bila dihubungkan dengan kerja adjuvant
dari salisilat dalam meningkatkan rute transport paraselular pada konsentrasi salisilat
yang tinggi. Salisilat menghambat agregasi sel dengan dua mekanisme, yaitu salisilat
dapat memodifikasi fungsi permukaan sel yang disebabkan oleh pengikatan aresenazo III
dan/atau inaktivasi calmodulin dengan menurunkan konsentrasi Ca2+ pada sitosol.
Salisilat terutama diangkut melalui sel-sel epitel pada konsentrasi rendah, namun salisilat
dalam konsentrasi tinggi diangkut lewat rute interselular yang dicapai pada dosis
terapeutik. Salisilat dan 5MSA menghambat metabolisme dari laktat menjadi piruvat
pada siklus TCA. Oleh karena itu, pemberian salisilat atau 5MSA dengan insulin dalam
supositoria bisa memicu efek terapeutik sinergis demikian juga dengan efek peningkat
absorpsi. Salisilat dan 5MSA merupakan adjuvant yang aman yang telah dibuktikan
melalui studi sitologi.
Asam-asam lemak
Ada banyak laporan mengenai kerja peningkat (enhancers) dari asam-asam lemak pada
absorpsi rektal dan usus halus. Asam-asam lemak rantai sedang menunjukkan kerja yang
paling efektif sebagai adjuvant yang membantu absorpsi pada ampisilin dan
antibiotic hidrofilik untuk penghantaran rektal. Kerja peningkat absorpsi dari asam-asam
lemak bergantung pada koefisien partisi. Koefisien partisi optimal adalah log P =4,2.
19
Pengambilan asam-asam lemak ke dalam jaringan rektal merupaka faktor kunci potensi
asam-asam lemak sebagai adjuvant pembantu absorpsi.
formulasi yang diberikan, dengan hasil paling baik diberikan oleh mikroenema
aqueous (20 ml pada pH 4). Sebaliknya faktor pH pada mikroenema parasetamol
tidak penting. Parasetamol sangat baik diabsorpsi ketika diberikan intrarektal,
walaupun absorpsinya lebih lambat dibandingkan larutan oral. Indometasin diserap
sangat cepat ketika diberikan secara rektal, walaupun bioavailabilitasnya lebih rendah
dari kapsul oral. Naproksen, ibuprofen dan ketoprofen sangat baik diabsorpsi melalui
rektal. Diflunisal memiliki bioavailabilitas 55 % jika diberikan dalam bentuk suspensi
rektal, namun bisa ditingkatkan menjadi 70-80% menggunakan kosolven (glikofural)
atau dengan didapar pada pH 7,0. Pengontrolan pH penting untuk mengoptimalkan
kelarutan dari berbagai obat, sebagai contoh, kodein, ketika diberikan dalam larutan
pada pH 9, absorpsinya lebih baik dibandingkan dengan pada pH 4,3.
4) Antiemetik
Antiemetik yang diberikan oral memiliki banyak kekurangan sehinggal pemberian
rektal dari alizaprid, prometazin dan metoklorpramid diteliti. Pemberian rektal
alizaprid dalam bentuk supositoria menghasilkan rata-rata bioavailabilitas 61 %
dibandingkan bolus intravena. Baik alizaprid dan prometazin memiliki profil absorpsi
yang lebih lambat pada pemberian rektal dibandingkan pemberian oral dan
intramuscular. Prometazin juga meyebabkan iritasi rektal yang cukup signifikan. Pada
manusia, mikroenema aqueous memberikan absorpsi yang sangat cepat dan
bioavailabilitas absolute sempurna. Keuntungan lain dari pemberian metoklorpramid
secara rektal adalah tidak terjadinya metabolisme lintas pertama.
5) Zat Antibakteri
Metronidazol digunakan luas untuk profilaksis dan pengobatan infeksi bakteri
anaerob. Untuk alasan praktis dan ekonomi, dikembangkan formulasi rektal
metronidazol. Obat ini diserap dengan sangat cepat tetapi tidak sempurna dalam
formulasi suspensi. Ampisilin penyerapannya tidak baik pada rektum dan dapat
menyebabkan iritasi mukosa dan diare.
6) Xantin
Absorpsi teofilin dari larutan rektal sama dengan larutan oral, danumumnya terjadi
sangat cepat dan sempurna. Meskipun demikian, absorpsi dari supositoria bisa
bervariasi dan tidak sempurna. Menariknya, teofilin sangat baik diabsorpsi ketika
22
diberikan melalui rectal osmotic delivery device, meskipun jumlah air yang tersedia
di rektum sangat rendah.
7) Obat-obat pada penyakit inflammatory bowel disease
Mesalazine adalah zat yang aktif secara local dari sulfasalazin yang digunakan dalam
pengobatan inflammatory bowel disease. Obat ini dilepaskan dari bentuk sediaan oral
di kolon oleh bakteri yang memecah ikatan azo. Obat ini sering diberikan dalam
bentuk enema, umumnya pada pasien dengan penyakit ulcerative colitis pada kolon.
8) Obat kardiovaskular
Penghantaran obat kecepatan terkontrol dari nifedipin oleh osmotic delivery device
pada sukarelawan sehat menghasilkan konsentrasi plasma tunak, dengan penurunan
tekanan darah tanpa menyebabkan takikardia reflex.
23
BAB III
PEMBAHASAN
Supositoria padat merupakan bentuk sediaan konvensional yang paling sering digunakan
untuk pemberian obat rektal. Bentuk sediaan supositoria merupakan 98 % bentuk sediaan
rektal yang tersedia di pasaran, bentuk sediaan lainnya termasuk enema rektal, larutan dan
krim rektal. Supositoria memberikan banyak keuntungan dibandingkan sediaan oral dan
parenteral, antara lain pencegahan metabolism lintas pertama, dapat digunakan pada pasien
yang sulit menelan, anak-anak dan orang tua, kemudian kurang menimbulkan nyeri. Namun
supositoria padat yang konvensional sering menimbulkan rasa kurang nyaman bagi pasien
dan penolakan dari pasien untuk menggunakannya. Selain itu, jika pada pemberian
supositoria padat tanpa sifat mukoadhesif, sediaan mencapai ujung kolon, maka obat akan
mengalami metabolism lintas pertama. Dari sudut pandang industri, supositoria padat juga
cukup sulit untuk diproduksi dan ditangani karena membutuhkan proses pemanasan untuk
melelehkan supositoria dan pengisiannya ke dalam wadah.
Untuk mengatasi masalah-masalah dari bentuk sediaan rektal yang konvensional seperti
supositoria padat maka dikembangkan sistem penghantaran obat rektal yang baru seperti
supositoria cair yang membentuk gel pada suhu tubuh dan memiliki sifat mukoadhesif
maupun supositoria sustained release (SR) untuk mempertahankan kadar obat dalam darah.
Reanmongkol dkk (2011) meneliti tentang sifat fisikokimia, pelepasan in vitro dan in
vivo serta evaluasi dari supositoria tramadol HCl dan gel rektal tramadol HCl. Supositoria
tramadol dibuat dengan dua formula dengan basis yang berbeda yaitu Witepsol dan PEG,
sedangkan gel rektal tramadol dibuat dua formulasi menggunakan basis poloxamer dan basis
hidroksietilselulosa.
Hasil pengujian in vitro pelepasan obat, supositoria Tramadol dengan basis PEG
menunjukkan pelepasan Tramadol yang cepat dan sempurna, dalam waktu 15 menit
sedangkan basis Witepsol pelepasan Tramadol 93 % dalam waktu 120 menit. Pelepasan
Tramadol dari gel rektal sangat cepat dan sempurna baik dengan basis poloxamer dan
hidroksietilselulosa, waktu pelepasan obat adalah 15 menit untuk kedua basis hal ini
disebabkan karena baik Tramadol HCl dan basis larut dalam air sehingga pelepasannya
cepat. Gel rektal menggunakan poloxamer memiliki kekuatan gel yang lebih baik
24
Gambar 2. Persentase Tramadol HCl yang dilepaskan dari basis supositoria PEG dan
Witepsol H15 pada berbagai waktu.
Penggunaan poloxamer sebagai basis supositoria cair juga diteliti oleh Abbas, dkk (2013)
yang meneliti tentang pembuatan supositoria cair yang menjadi gel in situ dari Klorokuin
fosfat. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat formulasi supositoria cair yang
membentuk gel pada suhu tubuh, memiliki kekuatan gel yang sesuai sehingga tidak bocor
dari anus setelah pemberian dan memiliki gaya biadhesif sehingga tidak mencapai ujung atas
25
kolon dan mencegah terjadinya metabolisme lintas pertama. Poloxamer digunakan karena
larutannya menunjukkan fenomena reverse thermal gelation yaitu pada suhu rendah
berbentuk larutan dan membentuk gel pada saat suhu meningkat. Poloxamer juga tidak
menyebabkan kerusakan pada membrane mukosa. Selain itu pada formula ditambahkan
polimer mukoadhesif seperti PVP K 30, Carbopol 934 P dan Polycarbophil untuk
memperbaiki waktu retensi dalam rectum.
Penggunaan polimer bisa menyediakan banyak adhesive sites dan rantai polimer untuk
interpenetrasi dengan musin dan menghasilkan kekuatan mukoadhesif yang lebih besar.
Mekanisme peningkatan efek mukoadhesif dari polimer yang berbeda-beda mungkin
berhubungan dengan pengikatan hydrogen antara basis supositoria cair dengan membrane
mukosa lewat gugus karboksil pada polimer mukoadhesif.
Tabel 1. Suhu pembentukan gel, kekuatan gel, daya mukoadhesif dan persentase kandungan
obat dari Klorokuin fosfat pada gel in situ
Hasil pengujian pelepasan obat secara in vitro menunjukkan bahwa dengan peningkatan
konsentrasi polimer mukoadhesif dari 0,3% b/b sampai 0,9% b/b difusi obat menurun dari
100,48 % menjadi 98,52 % untuk PVP; 96,52 % menjadi 90,45 % untuk Carbopol 934 P; dan
95,2 menjadi 89,06 % untuk Polycarbophil.
26
Pada formulasi yang mengandung Carbopol dan Polycarbophil pelepasan obat menurun
dengan peningkatan konsentrasi polimer tetapi pada PVP tidak terjadi penurunan pelepasan
obat dengan peningkatan konsentrasi polimer. Polycarbophil memiliki penghambatan tertingi
yang disebabkan karena kekuatan mukoadhesif dan viskositasnya yang tinggi. Struktur gel
lebih rapat dan bertindak sebagai barrier yang resisten untuk pelepasan obat. Formulasi yang
mengandung Carbopol 934P memperlihatkan kecepatan pelepasan obat yang sedang selama
periode 8 jam. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa difusi merupakan mekanisme utama
dari pelepasan obat supositoria cair dan karena nilai koefisien difusi yang diamati berada
27
pada rentang 0,339 dan 0,671 mengindikasikan bahwa pelepasan obat dari formulasi
mengikuti mekanisme transport Fickian.
Ranjita dan Kamalinder (2010) meneliti tentang supositoria Parasetamol menggunakan
basis Suppocire dengan atau tanpa bahan tambahan surfaktan. Hasil pengujian in vitro
pelepasan obat, disolusi obat dari basis Suppocire tanpa surfaktan lambat tetapi dengan
penambahan surfaktan seperti Labrasol, SLS, DOSS dan aerosil terjadi peningkatan
pelepasan obat.
Kecepatan pelepasan obat dari supositoria dipengaruhi oleh karakteristik dari bahan
tambahan yang digunakan, suhu leleh basis, suhu rectum dan karakteristik hidro-lipofilik dari
supositoria. Karakteristik pelepasan obat yang rendah tidak hanya disebabkan karena
degradasi obat atau interaksinya dengan basis. Faktor penting lainnya yang dapat
mempengaruhi pelepasan obat adalah sifat penyerapan air dari basis yang dapat memfasilitasi
penetrasi media disolusi ke dalam basis yang menyebabkan pembasahan dan desorpsi yang
memadai bagi obat. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sifat hidrofilik dari basis Suppocire
membantu pelepasan obat parasetamol.
Konsentrasi
(% w/w)
0,5 dan 1
0,5 dan 1
2 dan 5
1
10
1 dan 2
2 dan 5
2
28
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan, pelepasan
obat menurun. Hal ini disebabkan karena micellar entrapment dari obat, yang menyebabkan
perlambatan pelepasan obat. Meskipun surfaktan pada konsenrasi optimum tidak
mempengaruhi pelepasan obat, inkorporasnya ke dalam supositoria masih berguna karena
memiliki efek yang mempercepat absorpsi obat.
29
adanya zat ampifilik dapat menghasilkan vesikula niosomal selama proses hidrasi, sehingga
bentuk ini bisa disebut supositoria proniosomal.
Pelepasan Atenolol dari basis supositoria yang berbeda-beda ditunjukkan pada gambar 2.
Berdasarkan gambar 2 jelas bahwa obat pelepasannya baik pada basis hidrofilik maupun
hidrofobik. Persentase obat yang dilepaskan setelah 4 jam adalah 103.8%, 91.3%, 88.8%, and
85.1% from WH15, PEGIII, PEGII, and PEGI. Hasil ini mungkin dikarenakan Atenolol
memiliki koefisien partisi yang rendah (log Poctanol/water=0.23) sehingga merupakan obat
yang sangat hidrofilik. Selain dari hasil pengujian juga terlihat jelas bahwa perbedaan dalam
31
pelepasan obat tidak menggunakan basis PEG dengan konsentrasi yang bervariasi. Hanya
terdapat perbedaan 6 % antara basis dengan pelepasan tertinggi (PEG III) dan basis dengan
pelepasan terendah (PEG I).
pembuatan supositoria SR. Hasil pengujian menyatakan bahwa baik basis PEG hidrofilik dan
basis lipofilik witepsol cocok digunakan untuk formulasi supositoria SR untuk Atenolol.
Untuk mengontrol pelepasan Atenolol dari basis supositoria, digunakan HPMC dan Sp60/CH
dan hal ini dievaluasi. Hasil evaluasi terdapat pada gambar 3-6. Penambahan HPMC pada
basis supositoria PEG III dengan konsentrasi 10 % dan 20 % menunjukkan pola yang sama
dengan yang diperoleh menggunakan formula PEG III murni. Namun pada konsentrasi
HPMC 30 %, pelepasan Atenolol menurun sampai 50 % setelah 4 jam.
Hasil sebelumnya dikarenakan peningkatan hidrofilisitas dari basis PEG karena
penambahan HPMC pada konsentrasi yang lebih rendah, sedangkan konsentrasi HPMC yang
tinggi menyebabkan viskositas matriks meningkat membentuk struktur jaringan dan
menghalangi difusi obat. Penambagan HPMC pada WH15 menunjukkan pola yang lebih baik
dimana pelepasan Atenolol secara linear menurun dengan peningkatan konsentrasi HPMC.
Pelepasan Atenolol menurun dari 94 % menjadi 22 % ketika konsentrasi HPMC ditingkatkan
dari 5 % sampai 30 % pada basis WH15.
Penurunan kecepatan pelepasan obat disebabkan karena modifikasi viskositas yang
dimiliki oleh sifat gelling
dalam kelarutan obat dalam campuran lemak sebelum rekonstitusi dengan dapar yang
melekatkan obat pada lapisan ganda lemak. Ketika Atenolol melekat pada lapisan ganda, ia
akan berkompetisi dengan kolesterol untuk posisi pada struktur lapisan ganda dan hal ini
menyebabkan penurunan efisiensi penjebakan obat dengan peningkatan konsentrasi
kolesterol. Pelepasan Atenolol dari supositoria proniosomal bisa dijelaskan berdasarkan
efisiensi penjebakan obat. Gambar 5 menunjukkan penurunan yang besar pada kecepatan
pelepasan Atenolol ketika Span 60 diinkorporasikan ke dalam supositoria PEG dengan tidak
adanya kolesterol (sekitar 17 % setelah 4 jam). Persentase pelepasan Atenolol meningkat
sampai 38 % setelah 4 jam ketika kolesterol ditingkatkan sampai 50 % dari konsentrasi
lemak total. Dengan peningkatan persentase obat yang tidak terjebak kecepatan pelepasan
Atenolol meningkat.
Inkorporasi Span 60 ke dalam basis lemak WH15 tidak membentuk niosom selama
hidrasi karena media minyak yang berlebihan yang menghambat penggabungan surfaktan
menjadi struktur lapisan ganda (Gambar 1). Emulsi terbentuk dan mempengaruhi pelepasan
Atenolol. Gambar 6 menunjukkan penurunan kecepatan pelepasan Atenolol dari 103 %
menjadi 34 % ketika Span 60 ditambahkan pada basis WH15 dengan tidak adanya kolesterol.
Sekali lagi, penambahan kolesterol meningkatkan kecepatan pelepasan obat dari 34 % pada
konsentrasi kolesterol 0 % sampai 96 % pada konsentrasi kolesterol 50 %. Hal ini disebabkan
karena meningkatnya lipofilisitas basis ketika kolesterol ditambahkan (Figure 6). Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya koefisien partisi obat yang rendah menyebabkan
pelepasan obat yang sangat cepat dari basis lemak.
33
34
Dari hasil penelitian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa sediaan supositoria Sustained
Release dapat digunakan untuk meningkatkan absorpsi dan memperpanjang serta
mempertahankan kadar obat dalam darah dan efek farmakologinya. Supositoria SR dapat
dibuat dengan polimer mukoadhesif seperti HPMC, teknologi proniosomal dalam basis
hidrofilik PEG atau emulsifikasi basis witepsol dengan Span 60. Supositoria tipe
proniosomal yaitu campuran witepsol dengan Span 60 dan campuran witepsol dengan HPMC
menunjukkan sediaan yang tidak mengiritasi, pelepasan yang lambat dan memperpanjang
efek antihipertensi dari Atenolol yang lebih baik dibandingkan pemberian oral maupun rektal
dari formula pelepasan cepat.
Pengembangan sistem penghantaran obat rektal telah menghasilkan bentuk sediaan rektal
yang tidak hanya dalam bentuk supositoria padat yang konvensional dan memiliki banyak
masalah dari segi formulasi, produksi dan kenyamanan penggunaan pasien. Bentuk sediaan
sistem penghantaran obat rektal yang telah dikembangkan antara lain supositoria cair gel in
situ dan supositoria sustained release yang memiliki kelebihan dibanding sediaan rektal
konvensional dalama hal pengaturan kecepatan pelepasan obat, peningkatan absorpsi dan
bioavailabilitas obat.
35
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penghantaran obat rektal bertujuan antara lain untuk mencegah kerusakan obat di
saluran gastrointestinal, menghindari efek metabolisme lintas pertama dan untuk pasien
yang kesulitan untuk menelan. Formulasi untuk penghantaran obat rektal antara lain
supositoria padat, enema, larutan, suspensi, gel, salep dan sediaan controlled release.
Penghantaran obat rektal bisa menjadi alternatif pemberian obat untuk meningkatkan
absorpsi dan bioavailabilitas obat.
Nasib obat dalam tubuh ketika diberikan dalam bentuk sediaan supositoria padat
adalah basis supositoria meleleh atau melarut dan melepaskan zat aktif, kemudian zat
aktif melarut dalam cairan rektum, kemudian diserap pada membran mukosa rectum
menuju sirkulasi sistemik atau memberi efek lokal. Dalam bentuk supositoria cair,
penambahan poloxamer akan membuat supositoria berbentuk gel ketika masuk ke dalam
rectum karena peningkatan suhu sehingga mencegah terjadinya kebocoran dan mencegah
sediaan mencapai ujung atas kolon, gel melarut dalam cairan rectum kemudian obat
dilepaskan melalui mekanisme difusi.
DAFTAR PUSTAKA
of
Novel
Drug
Delivery.
Diakses
jun2013/1.%20Research%20article
dari
http://www.ijndd.com/apr-
IJNDD%20Apr-Jun%202013_60-
of
Pharmaceutical
Science
Review
and
Research.
Diakses
dari
Journal
of
American
Science
2012.
Diakses
dari
absorption.
Asian
Pharma
Press.
http://www.asianpharmaonline.org/AJPS/6_AJPS_2_4_2012.pdf
Diakses
pada
tanggal
dari
20
November 2014
Ranjita,S. Kamalinder,S. 2010. In vitro Release of Paracetamol from Suppocire
Suppositories: Role of Additives. Malaysian Journal of Pharmaceutical Science. Diakses
dari http://web.usm.my/mjps/mjps08012010/mjps08012010_6.pdf pada tanggal 06
Desember 2014
Swarbrick, J. 2007. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. Informa Healthcare. New
York.
Washington,N. dkk. 2001. Physiological Pharmaceutics : Barriers to drug absorption.Taylor
& Francis. London
37