Pendahuluan
Saat ini di tanah air telah terbit dan berlaku berbagai perundangan dan
peraturan yang menyangkut profesi medis antara lain Undang Undang RI
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang Undang RI
Nomor RI 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional,
Undang Undang RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Layanan Publik (termasuk
kesehatan), Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, Undang Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, dan terakhir Undang Undang Nomor RI 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit.
Inti dari tujuan Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yakni:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien (patient safety)
2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan
3. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.
dan inti tujuan Undang Undang Nomor RI 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit yakni:
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit; dan
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Disampaikan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta, 15 Januari 2009
1
Sejak tanggal 1 Januari 2010 telah berlaku implementasi modus keempat
dalam era liberalisasi perdaganan jasa bidang kesehatan untuk negara
kawasan Asia Tenggara sesuai dengan perjanjian kerjasama ASEAN Mutual
Recognition Arrangement on Medical Practitioners (MRA-MP). 1 Ada 4 tujuan
dalam MRA-MP yakni:
1. mengatur mobilitas praktisi dokter di wilayah ASEAN;
2. meningkatkan dan mengembangkan kerja sama pertukaran informasi
antar profesi medis;
3. meningkatkan mutu kualifikasi dan standar layanan dan;
4. kerjasama pendidikan dan pelatihan profesi medis
Sebelumnya WHO Regional Eropa telah melakukan uji coba suatu instrumen
yang akan digunakan untuk menilai kinerja mutu (performamce) rumah sakit
oleh WHO regional Eropa yang dinamakan Performance Assessment Tools for
Hospital (PATH).4,5,6,7 Kedua instrumen tersebut kemungkinan besar akan
diterapkan oleh seluruh rumah sakit di dunia sebagaimana halnya program
WHO World Alliance for Patient Safety – Move Program sebagai world class
hospitals’ benchmarking. Untuk mengantisipasi hal tersebut diatas
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor: 659/MENKES/PER/VIIII/2009 tentang Rumah Sakit Indonesia
Kelas Dunia pada tanggal 14-08-2009.
1
ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Medical Practitioners, 2004.
2
The Joint Commission - Health care at the crossroads: Guiding principles for the development of
the hospital of the future , November 20, 2008.
3
The Joint Commission and The Joint Commission Resources - What does the future hold for
hospital care across the globe? The Hospital of the future . Florida, April 26-27, 2007.
4
WHO Regional Office for Europe. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the dimensions. January 2003
5
WHO Regional Office for Europe. How can hospital performance can be measured and monitored.
August 2003.
6
WHO Regional Office for Europe. PATH (Performance Assessment Tools for Quality Improvement
in Hospitals). 2007.
7
WHO Regional Office for Europe. Assuring the quality of care in the European Union. 2008
2
Keberadaan profesi medis di rumah sakit sangat penting dan strategis dalam
menentukan arah pengembangan dan kemajuan suatu rumah sakit. Maka
pengorganisasian dan pemberdayaan profesi medik dalam atau wadah Komite
Medik sangat penting untuk membangun dan memajukan rumah sakit tersebut
baik dari segi pelayanan maupun pendidikan dan penelitian. Peran dan fungsi
Komite Medik di rumah sakit adalah menegakkan etik dan mutu profesi
8,9
medik. Yang dimaksud dengan etik profesi medik disini adalah mencakup
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) 10, Kode Etik Penelitian
Kedokteran Indonesia (untuk saat ini dapat diadopsi dan digunakan Kode Etik
11
Penelitian yang dipakai oleh institusi pendidikan) dan untuk rumah sakit
pendidikan ditambah dengan Kode Etik Pendidikan Kedokteran Indonesia
(untuk sementara ini bagi profesi medik dapat mengacu kepada KODEKI). 4
Pada makalah ini akan dibahas mengenai pengorganisasian dan peran komite
medik dalam meningkatkan kualitas pelayanan, pedidikan dan penelitian di
rumah sakit untuk mewujudkan rumah sakit bertaraf setingkat rumah sakit
kelas dunia (World Class Hospital) sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor: 659/MENKES/PER/VIIII/2009 tentang
Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia pada tanggal 14-08-2009 (Gambar 1).
8
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/SK/Menkes/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal
Staf Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit.
9
Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI Nomor HK 00.06.1.4.2895 tanggal 23
Mei 2007 tentang Fungsi, Tugas dan Wewenang Komite Medis di Rumah Sakit.
10
Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 8 huruf f dan penjelasannya.
11
Komunikasi pribadi dengan Prof. DR. Dr. FA. Moeloek, Sp.OG (Ketua Konsil Kedokteran) Rabu 16 Mei
2007.
3
Komite Medik
Menegakkan Etik dan Mutu Profesi
Ciri ciri untuk menjadi kelas dunia tersebut terdiri dari spektrum
performance sebagai berikut12:
12
UK Cabinet Office. Excellence and fairness – achieving world class. London, 2008.
4
dalam rangka pengakuan telah memenuhi standar yang telah ditentukan.
Akreditasi merupakan langkah kedua dari 3 langkah dalam program quality
assurance . Program quality assurance terdiri dari:
1. Standarisasi – meliputi kriteria yang terukur ( measurable) dan
indikator satuan waktu (time-frame).
2. Akreditasi – dilakukan setelah yang akan dinilai melaksanakan penilian
diri (self-assessment) maksimal 2 (dua) kali terlebih dahulu.
3. Kegiatan mutu berkesinambungan (contiuous quality improvement)
dengan mempergunakan kaidah mutu (Plan-Do-Check-Action) dalam
rangka mempertahankan dan atau meningkatkan mutu.
Alangkah tepatnya bila Komite Medik RS Jantung Harapan Kita – sebagai satu
satunya pusat jantung nasional Indonesia - bersiap untuk mengantisipasi hal
tersebut di atas dengan menyesuaikan situasi dan kondisi sebgai institusi
rumah sakit pelayanan jantung terkemuka di tanah air dan sebagai rumah
sakit pendidikan ke arah kombinasi sistem di luar tersebut dengan
merangkum sistem yang telah ada dan berjalan saat ini di tanah air.
Mengingat demikian luasnya dimensi mutu, maka pada pada kesempatan ini
akan dibahas mengenai manajemen mutu yang diperuntukan bagi para
pengelola rumah sakit, profesi di Komite Medik dan pengelola pendidikan
program studi Ilmu Kardiologi di RS Jantung Harapan Kita Jakarta.
13
WHO and WFME. WHO/WFME guidelines for accreditation of basic medical education. Geneva/Copenhagen,
2005.
5
Pengorganisasian Komite Medik RS Jantung Harapan Kita Jakarta
Peran dan fungsi serta wewenang Komite Medik di rumah sakit adalah
menegakkan etik dan mutu profesi medis. Sedangkan tugas dan fungsi dari
Kelompok Staf Medis (KSM)/Staf Medis Fungsional (SMF) adalah
melaksanakan kegiatan pelayanan medis, pendidikan, penelitian dan
pengembangan keilmuannya yang berpedoman pada ketetapan Komite Medik
atas etika profesi medis dan mutu keprofesian medis berbasis bukti. Jadi
profesi Medis dalam melaksanakaan profesinya berdasarkan falsafah meliputi
etika, mutu dan evidence-based medicine. 14,15
Yang dimaksud dengan etik profesi medik disini adalah mencakup Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI)16, Kode Etik Penelitian Kedokteran
Indonesia (untuk saat ini dapat diadopsi dan digunakan Kode Etik Penelitian
17
yang dipakai oleh institusi pendidikan) dan untuk rumah sakit pendidikan
ditambah dengan Kode Etik Pendidikan Kedokteran Indonesia (untuk
sementara ini bagi profesi medik dapat mengacu kepada KODEKI).4
Sedangkan istilah mutu profesi medik itu sendiri dapat ditinjau dari
berbagai sudut yang berbeda tergantung dari nilai pandang (perspektif) dan
norma norma yang berlaku serta disepakati secara konsensus. Dapat ditinjau
dari segi profesi medis, perawat, manajer, birokrat maupun konsumen
pengguna jasa pelayanan sarana kesehatan (Quality is different things to
different people based on their belief and norms). 18
14
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/SK/Menkes/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal
Staf Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit.
15
Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI Nomor HK 00.06.1.4.2895 tanggal 23
Mei 2007 tentang Fungsi, Tugas dan Wewenang Komite Medik di Rumah Sakit.
16
Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 8 huruf f dan penjelasannya.
17
Komunikasi pribadi dengan Prof. DR. Dr. FA. Moeloek, Sp.OG (Ketua Konsil Kedokteran) Rabu 16 Mei
2007.
18
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.
6
menilai progresivitas dan kinerja (performance) dalam bentuk indikator
indikator yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
19
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan
pada seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-
ased Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung
Bidakara Jakarta 30 Mei 2000.
20
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures,
clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen &
Administrasi Rumah Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
21
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
22
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalaman materi
rapat kerja RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
23
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance.
Presented at the plenary session in World IPA, Beijing 23rd July 2001.
7
Sedangkan evolusi sistem layanan kesehatan di rumah sakit secara prinsipnya
mulai dari yang bercirikan ’doing things cheaper’ dalam hal ini efficiency pada
tahun 1970an pada waktu krisis keuangan dan gejolak OPEC, kemudian
ekonomi mulai pulih dan masyarakat menuntut layanan kesehatan bercirikan
’doing things better’ dalam hal ini quality improvement . Selama dua dekade
tersebut manajemen bercorak ’doing things right’ yang merupakan kombinasi
’doing things cheaper’ dan ’doing things better’. Ternyata prinsip ’doing
things right’ tidak memadai mengikuti perkembangan kemajuan teknologi
maupun tuntutan masyarakat yang semakin kritis; dan prinsip manajemen
‘doing things right’ tersebut telah ketinggalan zaman dan dianggap sebagai
prinsip dan cara manajemen kuno. Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi
dibutuhkan tidak hanya ’doing things right’, akan tetapi juga diperlukan
prinsip manajemen ‘doing the right things’ (dikenal sebagai increasing
effectiveness) sehingga kombinasi keduanya disebut sebagai prinsip
manajemen layanan modern ‘doing the right things right’ . (Gambar 3). 24,25,26,
11-13
Gambar 3. Evolusi prinsip manajemen layanan kesehatan.
24
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
25
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
26
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.
8
Konsep Peraturan Interna Staf Medis Rumah Sakit (Medical Staff Bylaws)
Gambar 4. Konsep dan Filosofi Komite Medik RS: Etika, Mutu dan Evidence-
based Medicine (EBM)
Kontruksi Peraturan Interna Staf Medis Rumah Sakit (Medical Staff Bylaws)
Sub Komite adalah kelompok kerja di bawah Komite Medik yang dibentuk
untuk mengatasi masalah khusus. Anggota Sub Komite terdiri dari staf medis
dan tenaga profesi lainnya secara ex-officio. Komite Medik sekurang
kurangnya terdiri dari beberapa Sub komite antara lain Sub Komite
Kredensial, Sub Komite Etik dan Mutu, Sub Komite Pendidikan dan Penelitian
dan sebaginya sesuai kebutuhan.
27
Firmanda D. Sistem Komite Medik RS Fatmawati, 20 Februari 2003.
9
Prinsip-prinsip pengorganisasian :
10
a. Mempunyai kredibilitas yang tinggi dalam profesinya;
b. Mengusai segi ilmu profesinya dalam jangkauan, ruang
lingkup, sasaran dan dampak yang luas;
c. Peka terhadap perkembangan perumahsakitan;
d. Bersifat terbuka, bijaksana dan jujur;
e. Mempunyai kepribadian yang dapat diterima dan disegani di
lingkungan profesinya;
f. Mempunyai integritas kelimuan dan etika profesi yang tinggi.
1. Bisa dijabat oleh dokter purna waktu atau dokter paruh waktu yang dipilih
secara demokratis oleh Ketua-ketua kelompok staf medis.
2. Surat Keputusan Pengangkatan Wakil Ketua Komite Medik tergantung
posisi Komite Medik di dalam struktur organisasi rumah sakit. Komite
Medik dibawah Direktur RS maka SK pengangkatan oleh Direktur RS,
Komite Medik sejajar dengan Direktur RS maka surat keputusan
pengangkatan Wakil Ketua Komite Medik oleh Pemilik RS.
3. Wakil Ketua Komite Medik dapat menjadi Ketua Sub Komite.
c. Sekretaris :
Anggota Komite Medik terdiri dari semua Ketua kelompok staf medis.
11
2. Pembentukan Komite Medik di RS Swasta ditetapkan dengan Surat
Keputusan Direktur rumah sakit apabila Komite Medik dibawah Direktur
rumah sakit dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemilik rumah
sakit/Governing Board apabila Komite Medik dibawah Pemilik rumah sakit
dan sejajar dengan Direktur rumah sakit.
3. Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua
Komite Medik diatur dalam Perturan Internal Staf Medis (Medical Staff
Bylaws ) di rumah Sakit.
12
7. Melakukan koordinasi dengan Direktur Medis dalam melaksanakan
pemantauan dan pembinaan pelaksanaan tugas kelompok staf medis.
8. Meningkatkan program pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta
penelitian dan pengembangan dalam bidang medis.
9. Melakukan monitoring dan evaluasi mutu pelayanan medis antara lain
melalui monitoring dan evaluasi kasus bedah, penggunaan obat (drug
usage), farmasi dan terapi, ketepatan, kelengkapan dan keakuratan
rekam medis, tissue review, mortalitas dan morbiditas, medical care
review/peer review/audit medis melalui pembentukan sub komite-sub
komite
10. Memberikan laporan kegiatan kepada Direktur rumah sakit dan atau
pemilik rumah sakit.
13
Kewajiban Komite Medik
14
Sumber Daya
Untuk memperlancar tugas sehari-hari perlu tersedia ruangan pertemuan dan
komunikasi bagi Komite Medik dan kelompok staf medis dan ada tenaga
administrasi penuh waktu yang dapat membantu Komite Medik dan kelompok
staf medis. Biaya operasional Komite Medik dibebankan pada anggaran rumah
sakit.
SUB KOMITE
Dalam melaksanakan tugasnya Komite Medik dibantu oleh sub komite. Sub
Komite dibentuk disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit.
Sub komite tersebut dapat terdiri dari:
1. Sub Komite Peningkatan Mutu Profesi Medis
2. Sub Komite Kredential
3. Sub Komite Etika dan Disiplin Profesi
4. Sub Komite lainnya yang dianggap perlu, antara lain Sub Komite/Komite
farmasi dan terapi, Sub Komite/Komite rekam medis dan Sub
Komite/Komite pengendalian infeksi nosokomial rumah sakit, Sub Komite
Transfusi Darah, dan lain-lain.
15
Rincian komposisi, fungsi, tugas, wewenang dan tanggungjawab masing
masing sub komite sebagai berikut :
16
c. Tugas :
i. Melakukan review permohonan untuk menjadi anggota staf
medis rumah sakit secara total obyektif, adil, jujur dan
terbuka.
ii. Membuat Rekomendasi hasil review berdasarkan kriteria
yang ditetapkan dan sesuai dengan kebutuhan staf medis
di rumah sakit.
iii. Membuat laporan kepada Komite Medik apabila
permohonan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam
Perturan Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws ) di
Rumah Sakit.
iv. Melakukan review kompetensi staf medis dan memberikan
laporan dan rekomendasi kepada Komite Medik dalam
rangka pemberian clinical privileges , reapoinments dan
penugasan staf medis pada unit kerja.
v. Membuat rencana kerja Sub Komite Kredensial.
vi. Melaksanakan rencana kerja Sub Komite Kredensial.
vii. Menyusun tata laksana dan instrumen kredensial,
viii. Melaksanakan kredensial dengan melibatkan lintas fungsi
sesuai kebutuhan,
ix. Membuat laporan berkala kepada Komite Medik.
d. Wewenang : Melaksanakan kegiatan keredensial secara adil, jujur
dan terbuka secara lintas sektoral dan lintas fungsi sesuai
kebutuhan
e. Tanggung Jawab : Bertanggung jawab kepada Komite Medik
Etika profesi terkait dengan masalah moral yang baik dan moral yang buruk,
karena itu etika profesi merupakan dilema norma internal, sedangkan disiplin
profesi terkait dengan perilaku pelayanan dan pelanggran standar profesi.
a. Komposisi : Sub Etika dan Disiplin Profesi terdiri dari Ketua, Wakil
Ketua dan Anggota yang dipilih dari anggota Kelompok Staf Medis.
b. Fungsi : Melaksanakan kebijakan Komite Medik dibidang etika dan
disiplin profesi medis.
c. Tugas :
i. Membuat rencana kerja.
17
ii. Melaksanakan rencana kerja.
iii. Menyusun tatalaksana pemantauan dan penanganan
masalah etika dan disiplin profesi.
iv. Melakukan sosialisasi yang terkait dengan etika profesi
dan disiplin profesi.
v. Mengusulkan kebijakan yang terkait dengan bioetika
vi. Melakukan koordinasi dengan komite etik rumah sakit
vii. Melakukan pencatatan dan pelaporan secara berkala
d. Wewenang :
i. Melakukan pemantauan dan penanganan masalah etika
profesi
ii. kedokteran dan disiplin profesi dengan melibatkan lintas
sektor dan
iii. lintas fungsi sesuai kebutuhan.
e. Tanggung Jawab : Bertanggung jawab kepada Komite Medik.
18
kerja Ketua kelompok staf medis dengan Direktur RS dan Direktur
Medis/Penanggung Jawab Pelayanan Medis sehingga terjadi tranparansi
dalam melaksanakan kegiatan. Pada prinsipnya secara administrasi staf medis
dibawah Direktur rumah sakit. Namun secara fungsional sebagai profesi
bertanggung jawab kepada Komite Medik melalui Ketua kelompok staf medis.
Kewenangan
Kewenangan masing-masing anggota kelompok staf medis disusun oleh Ketua
kelompok staf medis dan kemudian diusulkan oleh Ketua Komite Medik kepada
Direktur Utama RS untuk dibuatkan surat keputusannya.
Tanggung jawab.
Kelompok staf medis mempunyai tanggung jawab yang terkait dengan mutu,
etik dan pengembangan pendidikan staf medis. Tanggung jawab tersebut
sebagai berikut :
1. Memberikan rekomendasi melalui Ketua Komite Medik/Sub Komite
Kredensial kepada Direktur Utama RS terhadap permohonan
penempatan dokter baru di rumah sakit yang diatur dalam Medical Staf
Byla ws rumah sakit. Penempatan dokter di RS berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Utama RS. Untuk membuat surat keputusan
tersebut Direktur Utama RS perlu meminta masukan dari organisasi
staf medis/sub komite kredensial meallaui Ketua Komite Medik.
19
2. Melakukan evaluasi penampilan kinerja praktek dokter berdasarkan data
yang komprehensif. Evaluasi penampilan kinerja praktek dokter
dilakukan melalui peer review , audit medis atau program quality
improvement.
3. Memberikan rekomendasi melalui Ketua Komite Medik/Sub Komite
Kredensial kepada Direktur Utama RS terhadap permohonan
penempatan ulang dokter di rumah sakit yang diatur dalam Peraturan
Internal Staf Medis ( Medical Staff Bylaws ) di Rumah Sakit.
Penempatan ulang dokter di RS berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Utama RS. Untuk membuat surat keputusan tersebut Direktur
RS/Pemilik perlu meminta masukan dari organisasi staf medis/sub
komite kredensial.
4. Memberi kesempatan bagi para dokter untuk mengikuti “continuing
professional development “ (CPD). Masing-masing kelompok staf medis
wajib mempunyai program CPD bagi semua anggotanya .
5. Memberikan masukan kepada Direktur RS melalui Ketua Komite Medik,
hal-hal yang terkait dengan praktek kedokteran. Kelompok staf medis
mempunyai tangggung jawab memberikan masukan kepada Direktur
medis/Direktur RS mengenai hal-hal yang terkait dengan praktik
kedokteran. Misalnya mengenai perkembangan ilmu dan teknologi
kedokteran, temuan terapi yang baru, dan lain-lain.
6. Memberikan laporan melalui Ketua Komite Medik kepada Direktur
Medis/Direktur RS Kelompok staf medis diharapkan dapat memberikan
laporan secara teratur minimal satu tahun sekali kepada Direktur
RS/Direktur Medis melalui Komite Medik. Laporan tersebut antara lain
meliputi hasil pemantauan indikator mutu klinik, hasil evaluasi kinerja
praktek klinis, pelaksanaan program pengembangan staf dan lain-lain.
7. Melakukan perbaikan (up-dating) standar prosedur operasional dan
dokumen terkaitnya. Standar prosedur operasional dan dokumen terkait
lainnya perlu disempurnakan secara berkala sehingga sesuai dengan
situasi dan kondisi.
Kewajiban
1. Menyusun Standar Prosedur Operasional pelayanan medik yang terdiri
dari :
a. Standar Prosedur Operasional bidang administrasi/manajerial
antara lain meliputi pengaturan tugas rawat jalan, pengaturan
tugas rawat inap, pengaturan tugas jaga, pengaturan tugas rawat
20
intensif, pengaturan tugas di akamr operasi, kamar bersalin dan
lain sebagainya, pengaturan visite/ronde, pertemuan klinik,
presentasi kasus (kasus kematian, kasus sulit, kasus langka, kasus
penyakit tertentu), prosedur konsultasi, dan lain-lain.
b. Penyusunan Standar Prosedur Operasional ini dibawah koordinasi
Direktur Rumah Sakit/Direktur Medis.
c. Standar Prosedur Operasional pelayanan medik bidang
keilmuan/keprofesian adalah standar pelayanan medis. Masing-
masing kelompok menyusun standar pelayanan medis minimal untuk
10 jenis penyakit. Penyusunan Standar Prosedur Operasional ini
dibawah koordinasi Komite Medik
2. Menyusun indikator mutu klinis: Masing masing kelompok staf medis
menyusun minimal 3 (tiga) jenis indikator mutu output atau outcome .
3. Menyusun uraian tugas dan kewenangan untuk masing-masing anggotanya.
Salah satu titik lemah profesi dan organisasi Komite Medik dalam
melaksanakan fungsi dan perannya di rumah sakit adalah bidang manajemen
mutu (quality management), maka selanjutnya akan dibahas menyinggung hal
tersebut.
21
di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is different things to
different people based on their belief and norms). 28
Dalam pengelolaan suatu sarana kesehatan rumah sakit seorang manajer akan
(bahkan harus) membuat suatu ‘keputusan’ dalam penyelenggaraan rumah
sakit tersebut. Keputusan tersebut akan mempunyai dampak, terhadap pasien
itu sendiri dan lingkungannya (dalam hal ini keluarga, masyarakat dan
penyandang dana atau asuransi) serta lingkungan dimana pelayanan kesehatan
tersebut diberikan/diselenggarakan (dari segi dimensi tempat: poliklinik
rawat jalan, ruang gawat darurat, rawat inap, ruang perawatan intensif, ruang
operasi dan lain lain; sedangkan dari segi dimensi fungsi: akan
menggerakan/utilisasi mulai dari registrasi unit rekam medis, penunjang
laboratorium, farmasi, bank darah, unit gizi, laundri, penyediaan air,
penerangan listrik dan sebagainya sampai proses pasien itu pulang sembuh
dan kembali kontrol atau kembali kepada perujuk asal atau keluar rumah sakit
melalui kamar jenazah) dan penyelesaian administrasi keuangan. Ini adalah
satu proses dalam satu sistem sarana pelayanan kesehatan yang berlangsung
secara simultan dan berurutan atas konsekuensi ‘keputusan’ diatas. Biaya atau
dana untuk tenaga medis (dokter) hanya sekitar 20% dari seluruh anggaran
yang dikeluarkan oleh satu sarana penyelenggara kesehatan (rumah sakit),
sedangkan 80% lainnya sangat berhubungan dengan ‘keputusan’ tersebut.
28
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence 2000;
4(3):19-23.
22
Gambar 5. Ruang lingkup kualifikasi penguasaan materi bagi pemimpin rumah
11-12
sakit dan Komite Medik.
23
Istilah efesiensi sangat berhubungan erat antara inputs dan proses,
sedangkan efektifitas berhubungan dengan proses dan hasil. Sedangkan
istilah, definisi dan dimensi akan efisiensi juga belum ada kesepakatan yang
jelas dan eksplisit – tergantung dari berbagai perspektif. Efisiensi dapat
digolongkan kepada efisiensi tehnik (technical efficiency), efisiensi
produksi/hasil (productive efficiency) dan efisiensi alokatif
(allocative/societal efficiency) termasuk didalamnya bidang market dan
kesehatan. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan tidak hanya ’doing things
right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen ‘doing the right things’
(dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga kombinasi keduanya
disebut sebagai prinsip manajemen layanan modern ‘doing the right things
right’. (Gambar 6). 29,30,31,
29
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
30
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
31
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.
24
Perkembangan akan ‘mutu’ itu sendiri dari cara ‘inspection’, quality control,
quality assurance sampai ke total quality sangat bervariasi sesuai dengan
perkembangan ilmu. Jepang menggunakan istilah quality control untuk
seluruhnya, sedangkan di Amerika memakai istilah ‘ continuous quality
improvement ’ untuk ‘total quality ’ dan Inggris memakai istilah quality
assurance untuk ‘quality assurance’, ‘continuous quality improvement’ maupun
untuk ‘ total quality’ dan tidak membedakannya. (Lihat Gambar 8).
Evolusi perkembangan mutu itu sendiri berasal dari bidang industri pada awal
akhir abad ke sembilan belas dan awal abad ke dua puluh di masa perang dunia
pertama. Pada waktu itu industri senjata menerapkan kaidah ‘ inspection’
dalam menjaga kualitas produksi amunisi dan senjata. Kemudian Shewart
mengembangkan dan mengadopsi serta menerapkan kaidah statistik sebagai
‘quality control’ serta memperkenalkan pendekatan siklus P-D-S-A (Plan, Do,
25
Study dan A ct) yang mana hal ini kemudian dikembangkan oleh muridnya
Deming sebagai P-D-C-A (Plan, D o, Check dan A ction). Kaidah PDCA ini
menjadi cikal bakal yang kemudian dikenal sebagai ‘generic form of quality
system’ dalam ‘quality assurance’ dari BSI 5751 (British Standards of
Institute) yang kemudian menjadi seri EN/ISO 9000 dan 14 000. (Lihat
Gambar 9).
26
peningkatan mutu dalam rangka memenuhi kebutuhan/tuntutan konsumen
pengguna jasa organisasi organisasi tersebut. (‘ Process driven’ dan ‘customer-
focused oriented’) . Ini merupakan suatu tingkat tertinggi dalam upaya
organisasi tersebut untuk mencapai tingkat dunia ( World Class Quality
Health Care ).33 Secara ringkas ada 5 struktur komponen utama dalam Total
Quality Management (TQM) yakni understanding the customer,
understanding the hospital’s business, quality systems, continuous quality
improvement dan quality tools. (Lihat Gambar 10).
33
Firmanda D. Total Quality Management in Healthcare (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.
27
basic statistics process control/ SPC (Lihat Gambar 11), dan quality
assurance dengan ketiga kompenen utamanya yang terdiri setting standards,
checking the standards (audit and accreditation) dan continuous quality
improvement (CQI).
Gambar 11. Seven basic statistics process control (SPC) dari Total Quality
Management (TQM).
28
Quality Assurance (QA)
Quality Assurance (QA) adalah tahap ke tiga dan yang paling penting dalam
perkembangan mutu suatu institusi/organisasi menuju tingkat yang lebih luas
dan tinggi (‘total quality’). QA itu sendiri terdiri dari beberapa komponen
34,35
sebagai berikut ;
1. Standar
34
Nabitz U, Klazinga N, Walburg J. The EFQM excellence model: European and Dutch experiences
with the EFQM approach in health care. Int J Qual Health Care 2000;12(3): 191-201.
35
Shaw CD. External quality mechanisms for health care: summary of the ExPERT project on visitatie,
accreditation, EFQM and ISO assessment in European countries. Int J Qual Health Care 000;12(3):
169-75.
36
Donabedian A. The quality of care: how can it be assessed ? JAMA 1988; 260:1743-8.
37
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.
38
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
29
Gambar 12. Hubungan antara tujuan dan objekif suatu organisasi/ institusi
dalam hal standar, kriteria dan indikator mutu berdasarkan pendekatan
tehnik Donabedian dan Maxwell.
30
Gambar 13. Contoh Implementasi Hubungan Tehnik Donabedian dan Maxwell
dalam hal standar, kriteria dan indikator mutu.
31
2. Audit dan Akreditasi
Audit dapat dilaksanakan dalam 3 tahap dengan maksud dan tujuan yang
berbeda. 39,40,41
Audit pertama (1st Party Audit) sebagai ‘internal audit’ atau ‘self
assessment’ untuk penilaian promotif dalam rangka deteksi dini dan
melakukan perbaikan/peningkatan standar (‘corrective action’). Audit
pertama ini dilakukan dan diselesaikan pada tingkat UPF/SMF masing masing
st
(1 Party Medical Audit) dengan melibatkan seluruh dokter UPF/SMF dan
pelaksanaan audit tersebut dipimpin oleh Koordinator Etik dan Mutu
UPF/SMF; Bila perlu dapat mengundang jajaran struktural/manajerial dimana
st
pelayanan tersebut berlangsung ( 1 Party Managerial Audit).
Audit ke dua ( 2nd Party Medical Audit) dilakukan oleh Tim Etik dan Mutu
Komite Medis terhadap kasus medis yang tidak dapat diselesaikan pada
tingkat audit pertama atau kasus tersebut melibatkan antar profesi Medis
(beberapa UPF/SMF), melibatkan tim tim lintas fungsi maupun lintas
manajerial dengan koordinasi dengan Komite Mutu Rumah Sakit..
Audit ke tiga (3rd Party Audit) merupakan ‘external audit/peer review’ yang
dilakukan oleh pihak ketiga dari satu badan independen yang berwenang
memberikan penilaian pendekatan sistem (‘system-approached’) dan
memberikan rekomendasi terakreditasi untuk menyelenggarakan pelayanan
ataupun pendidikan suatu bidang tertentu (‘scope’) selama sekian tahun untuk
di akreditasi kembali.
39
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.
40
Lawrence JJ, Dangerfield B. Integrating professional reaccreditation and quality award. Qual Assur
Education 2001; 9(2):80-91.
41
Coyle YM, Battles JB. Using antecedents of medical care to develop valid quality of care measures.
Int J Qual Health Care 1999;11(1): 5-12.
32
Gambar 14. Hubungan antara standar dengan audit
33
3. Continuous Quality Improvement (CQI)
34
Gambar 16. Hubungan Kinerja (performance) dengan Quality Control (QC)
dan Quality Improvement (CQI)
35
Variasi Quality Assurance (QA) : Clinical Governance
Konsep garis besar ‘ Clinical Governance (CG)’ dikatakan sebagai upaya dalam
rangka continuous quality improvement (CQI) berdasarkan pendekatan
integrasi Evidence-based Medicine ( EBM), Evidence-based Health Car
(EBHC) dan Evidence-based Policy yang terdiri dari empat aspek utama dari
enam aspek yaitu professional performance, resource use (efficiency), risk
management dan patients’ satisfaction.
Clinical Governance (CG) adalah suatu cara (sistem) upaya menjamin dan
meningkatkan mutu pelayanan secara sistematis dalam satu organisasi
penyelenggara pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang efisien. Clinical
42
Donaldson L. Championing patient safety: going global – a resolution by the World Health Assembly.
Qual Saf Health Care 2002; 11:112.
43
US Department of Health and Human Services. US and UK sign agreements to collaborate on health
care quality. 10 October 2001.
44
World Health Organization. World Health Organization Executive Board Resolution EB109.R16, 18
January 2002.
45
Moss F, Barach P. Quality and safety in health care: a time of transition. Qual Saf Health Care
2002;11:1.
46
Leach DC. Changing education to improve patient care. Qual Health Care 2001; 10:54-8.
47
Lilford RJ. Patient safety research: does it have legs? Qual Saf Health Care 2002; 11:113-4.
48
Firmanda D. The evolution and roles of Evidence-based Health Policy in Health Service Management.
Presented in seminar and discussion panel on “Evidence-based Policy for the era of Indonesian
Health Decentralized System in 21st Century”. Center for Public Health Research, Faculty of
Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta 1st March 2001.
49
Scally G, Donaldson LJ. Clinical governance and the drive for quality improvement in the new NHS in
England. BMJ 1998; 317(7150):61-5.
50
Heard SR, Schiller G, Aitken M, Fergie C, Hall LM. Continuous quality improvement: educating
towards a culture of clinical governance. Qual Health Care 2001; 10:70-8.
51
Sausman C. New roles and responsibilities of chief executives in relation to quality and clinical
governance. Qual Health Care 2001;10(Suppl II):13-20.
36
governance is “a framework through which organisations are accountable for
continuously improving the quality of their services and safeguarding high
standards of care by creating an environment in which excellence in clinical
care will flourish.” 52
Agar keempat komponen utama tersebut dapat terlaksana dengan baik dan
hasil yang optimum, maka dalam rencana strategisnya ditekankan akan ‘mutu’
dari segi ‘input’. Sudah seyogyanya pelayanan kesehatan/kedokteran
terstruktur dan dengan baik serta diselenggarakan secara simultan dan
berkesinambungan melalui suatu sistem dan subsistem yang jelas dan
konsisten dalam hal kebijakan ( policy) dan panduan (manual).53,54,55, 56
52
Buetow SA, Roland M. Clinical governance: bridging the gap between managerial and clinical
approaches to quality of care. Qual Health Care 1999;8:184-190.
53
Groll R, Baker R, Moss F. Quality improvement research: understanding the science of change in
health care – essential for all who want to improve health care and education. Qual Saf Health Care
2002; 11:110-1.
54
Pittilo RM, Morgan G, Fergy S. Developing programme specifications with professional bodies and
statutory regulators in health and social care. Qual Assur Education 2000; 8(4):215-21.
55
Ancarani A, Capaldo G. Manegement of standarised public services: a comprehensive approach to
quality assessment. Managing Service Qual 2001;11(5):331-41.
56
Carroll JS, Edmondson AC. Leading organisational learning in health care. Qual Saf Health Care
2002;11:51–6.
37
Mekanisme ‘pengambilan keputusan’ sangat penting dan secara langsung akan
mempengaruhi sistem penyelenggaraan sarana kesehatan maupun
penatalaksanaan pasien secara individu dan ataupun maupun kelompok.
Adapun pengambilan keputusan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor
(Gambar 17).
Evidence Values
B
A
Resources
38
Sedangkan yang dimaksud ‘bermanfaat’ (usefullness) adalah ketepatan
memanfaatkan berbagai sumber informasi yang relevan dalam penulusuran
bukti/eviden yang sahih dan mutakhir dalam waktu yang relatif singkat untuk
menegakkan diagnosis dan skrining, menentukan prognosis dan memberikan
terapi dalam penatalaksanaan pasien sebagai individu maupun kelompok serta
penyelenggaraan layanan kesehatan. Secara ringkas komponen struktur
tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:
57
Bozic KJ, Pierce RG, Hendon JH. Current concept review of health technology assessment – basic principles and
clinical applications. Journal of Bone and Joint Surgery 2004; 86(6):1305-13.
58
Battista RN, Hodge MJ. The evolving paradigm of health technology assessment: reflections for the millennium.
CMAJ 1999; 160(60):1464-7.
59
European Network for Health Technology Assessment www.eunethta.net (accessed on August 26, 2008).
39
2. Analisis ekonomi (economic analysis),
3. Analisis dampak terhadap sistem layanan kesehatan (analysis of impact on
health care system).
60
Firmanda D. Pedoman implementasi HTA di RS fatmawati. Disampaiakan pada Sidang Pleno Komite Medik RSUP
Fatmawati, Jakarta 2 Juni 2008.
40
Gambar 19. Kerangka konsep implementasi evidence-based dan HTA dikaitkan
dengan sistem pembiayaan dan Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. 13
Pada saat seorang dokter lulus dari institusi pendidikan akan mendapat
ijasah dan sertifikat kompetensi sebagai tanda lulus dan pengakuan
kemampuan kompetensinya sebagai individu dokter dan berhak untuk
mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk waktu 5 tahun sesuai
61
dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang Undang
Praktik Kedokteran62 . Pertanyaan akan timbul;
61
Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61.
62
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 7 dan Pasal 8.
41
1. Apakah dokter tersebut dapat melaksanakan dan mempertahankan
serta bahkan meningkatkan kompetensi profesinya selama waktu
tersebut?
2. Apakah dokter tersebut dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan Standar Profesi dan
Standar Pelayanan Medik dalam rangka memenuhi salah satu dari
falsafah tujuan dasar Undang Undang Praktik Kedokteran yakni
melaksanakan praktik kedokteran yang memberikan perlindungan dan
keselamatan pasien?63,64
3. Apakah dokter tersebut telah dapat memberikan pelayanan sesuai
dengan Clinical Pathways dan kajian varians dari Sistem Pembiayaan
berdasarkan metode DRGs Casemix untuk melaksanakan praktik
65,66,67
kedokteran secara kendali mutu dan biaya?
Disini letak akan pentingnya dimensi tempat, waktu dan individu profesi dalam
meninjau kinerja (performance ) keprofesiannya. Kinerja atau performance
tersebut tercermin dalam satu buku seperti log book individu atau di negara
luar dikenal sebagai PYA (Penultimate Year Assessment) Form atau dalam
bentuk portolio profesi dokter tersebut.68, 69
63
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1.
64
Firmanda D. Standar Fasilitas dalam penetapan kompetensi profesi di sarana pelayanan kesehatan. Disampaikan
dalam Semiloka Standar Fasilitas Rumah Sakit berkaitan dengan Undang Undang Praktik Kedokteran.
Diselenggarakan oleh Konsorsium Pelayanan Medik (KPM) Dirjen Bin Yan Medik Depkes RI di Hotel Mulia Jakarta
7 Februari 2006.
65
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 ayat 1.
66
Firmanda D. Integrated Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di
rumah sakit. Disampakan p ada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan
Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan
Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005.
67
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam
rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.
68
Royal College of Paediatrics and Child Health. Guide to Penultimate Year Assessment. London, 2004.
69
Royal College of Medicine. Implementation of Penultimate Year Assessment. London 2004.
70
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 1 dan penjelasannya.
71
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Bab IV
Subsistem Upaya Kesehatan.
42
audit medis72 yang dilaksanakan oleh organisasi profesi73 , untuk tingkat
rumah sakit oleh kelompok seprofesi (SMF) dan Komite Medik. 74
72
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 2 dan penjelasannya.
73
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 3 dan penjelasannya.
74
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah
Sakit.
75
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 1 dan penjelasannya.
76
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 79 huruf b.
77
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 2 dan penjelasannya.
78
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 47 Ayat 2.
79
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 48.
80
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 12.
43
sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit/klinik) – maka tinggal disepakati
oleh anggota profesi terkait dan disahkan penggunaannya di sarana pelayanan
kesehatan oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan tersebut.
44
Gambar 20. Langkah umum dalam kajian literatur melalui pendekatan
evidence-based, tingkat evidens dan rekomendasi dalam bentuk standar
pelayanan medis dan atau standar prosedur operasional.23-24
45
Berikut adalah langkah langkah contoh dalam membuat Pedoman/Standar
Pelayanan Medis dalam hal menegakkan diagnosis berdasarkan pendekatan
Evidence-based Medicine (EBM).
46
Contoh:
Pasien anak A, 10 tahun dengan keluhan sakit tenggorokan dan demam, serta
didapatkan eksudat dan pembesaran kelejar getah bening. Prevalensi
penyakit tersebut 40%. Hasil uji antigen terhadap strep: positif. Dalam
leaflet tertulis bahwa cara uji tersebut mempunyai sensitifitas 90% dan
spesifisitas 90%. Kemungkinan anak terebut mengidap penyakit disebabkan
Streptokokus?
Langkah Langkah:
Prevalens
40%
(Pre-test probability)
40% = 40/(100-60) =
Rasio Odds 40:60
(Pre-test Odds Ratio) 4:6
X RK X 9
36:6 = 36/(36+6) =
36/42
Probability 0.86
(Post-test probability) 86%
47
Untuk memudahkan mengenai hubungan sensitifitas, spesifisitas dan rasio
kemungkinan positif (positive likelihood ratio) dalam memilih penunjang
pemeriksaan diagnostik (untuk profesi medis) dan pihak manajerial dalam
menentukan pemilihan dan pengadaan alat penunjang dapat digunakan table
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 21 berikut.
Sedangkan untuk obat obatan dilihat dari nilai NNT dan NNH (numbers
needed to treatment/harm), disamping adanya kebijakan (policy) yang
mengahruskan/mengutamakan produk dalam negeri atau PMDN atau PMA
48
yang membuka pabrik perusahaannya di tanah air – sehingga sirkulasi
keuangan dan konsumsinya terjadi di dalam negeri termasuk nilai tambah
(value added) seperti fiskal, pajak dan membuka/menambah lapangan kerja –
sehingga leading economic index kita meningkat dan daya beli masyarakat
(purchasing power parity) bertambah serta ekonomi negara rebound keluar
dari krisis keuangan global ( down-ward spiral effects ).
81
Firmanda D. Sistem Komite Medik RSUP Fatmawati Jakarta, 2003.
49
Format Standar Pelayanan Medis
Nomor : .............................................................
SMF/Divisi : .............................................................
Rumah Sakit : ...........................................................
1. Judul/topik : ……………………………………………………
2. Tanggal/Nomor/Update: ………………../………………../……………….
7. Hasil Telaah/Rekomendasi:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………….dst
50
Menjaga mutu layanan medis (dalam hal ini quality assurance di bidang profesi
medis) yang mencakup standar pelayanan medis, audit medis dan peningkatan
mutu berkesinambungan. Maka diperlukan suatu instrumen yang dapat
merangkum seluruh kegiatan dan upaya tersebut di atas dalam
penyelenggaraan layanan kesehatan di rumah sakit melalui Clinical Pathways.
Clinical Pathways
82
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan pada
seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence- based
Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung Bidakara
Jakarta 30 Mei 2000.
83
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures, clinical
guidelines, pathways of care and evidence -based medicine. What are they? J Manajemen & Administrasi Rumah
Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
84
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke -2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
85
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalam-an materi rapat kerja
RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
86
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance. Presented at
rd
World IPA, Beijing 23 July 2001.
87
Komite Medik RS Fatmawati. Sistem Komite dan Sistem SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
88
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah
sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
89
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global Health Journal
2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
90
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and implementation.
Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
91
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999; 1(1):43-9.
92
Firmanda D. Editorial: Profesionalisme. Medicinal 2000; 1(1):6.
93
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor Dokumen
HK.00.07.1.256 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.201 tanggal 10 Mei 2005.
94
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor Dokumen
HK.00.07.1.257 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.202 tanggal 10 Mei 2005.
51
Pelayanan secara by names95,96 yang telah ada dengan Standar Pelayanan
Medis dari seluruh 20 SMF 97 melalui Clinical Pathways.6-98 untuk
mengantisipasi berbagai kegiatan program WHO dalam patient safety di atas
(Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007 dan Safe Surgery Save
Lives 2008).
Definisi
95
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49 tanggal
28 Februari 2003.
96
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49 tanggal
28 Februari 2003.
97
Komite Medik RS Fatmawati. Standar Pelayanan Medis 20 SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
98
Disampaikan pada First Indonesian-Malaysian Casemix Conference 2006. Diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Goodway Hotel Batam, 21-23 November 2006.
99
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem
DRGs Casemix di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS
Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
100
Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs
Casemix di rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik
Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi
Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix
Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005.
101
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical
Pathways
Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati,
Jakarta 2006.
52
b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata,
laboratoris dan farmasis)
c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan
perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian
(untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit
emergensi).
d. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien
secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk
dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai
varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit
penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors) .
g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.
102
Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: indikator mutu rekam medik dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI
di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni 2006.
53
Pasien) yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan Buku Petunjuk
Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit103 dan sensus
harian untuk:
a. Penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat.
b. Penetapan lama hari rawat.
3. Untuk variabel tindakan dan obat obatan mengacu kepada Standar
Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar
Formularium yang telah ada di rumah sakit setempat, Bila perlu
standar standar tersebut dapat dilakukan revisi sesuai kesepakatan
setempat.
4. Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD 9 CM
untuk hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF masing
26
masing.
Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran serta
efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar profesi di
SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan rawat inap,
ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/PICU/NICU) dan sarana penunjang
(instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi keuangan, radiologi dan
sebagainya).
1. Profesi Medis – mempersiapkan Standar Pelayanan Medis (SPM/SPO)
sesuai dengan bidang keahliannya. Profesi Medis dari setiap divisi
berdasarkan data dari rekam medis diatas - mempersiapkan
SPM/SPO, bila belum ada dapat menyusun dulu SPM/SPOnya sesuai
kesepakatan.
2. Profesi Rekam Medis/Koder – mempersiapkan buku ICD 10 dan ICD 9
CM, Laporan RL1 sampai dengan 6 (terutama RL2). Profesi Rekam
Medis membuat daftar 5 - 10 penyakit utama dan tersering dari setiap
divisi SMF/Instalasi dengan kode ICD 10 serta rerata lama hari rawat
berdasarkan data laporan morbiditas RL2.
3. Profesi Perawat – mempersiapkan Asuhan Keperawatan.
4. Profesi Farmasi – mempersiapkan Daftar Formularium, sistem unit
dose dan stop ordering.
5. Profesi Akuntasi/Keuangan – mempersiapkan Daftar Tarif rumah sakit
103
Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah
Sakit. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.
54
Gambar 23. Keterkaitan dan keterpaduan antar profesi dalam menyusun
Clinical Pathways.
Jadi bila dihubungkan antara mutu (quality) dan efisiensi pembiayaan layanan
kesehatan rumah sakit – dari segi hal mencegah pemborosan dari hal yang
mubazir secara elimating waste, efisiensi disini adalah sebagai komponen
mutu; dan mutu bila ditinjau dari segi azas manfaat (net benefit) akan
menjadi salah satu bagian dari efisiensi disamping bagian lainnya yaitu biaya
sumber atau inputs (resource costs) – maka secara ringkas sebagai suatu
formula:
55
Efisiensi layanan kesehatan = azas manfaat (net benefit)
biaya sumber (resource costs)
Gambar 24. Contoh format umum Clinical Pathways untuk RSUP Hasan
Sadikin Bandung
Untuk tingkat direksi dan manajer rumah sakit untuk segi azas manfaat (net
benefit) di atas dapat dicapai dalam hal menentukan pengadaan sarana (obat,
56
alat kesehatan penunjang diagnostik dan terapeutik/operasi, ruangan, laundri,
makanan pasien dan sebagainya) berdasarkan pendekatan :
Sedangkan deviasi dari isi komponen Clinical Pathways dicatat sebagai dalam
kolom varians dan ditindak lanjuti sebagai variance tracking dengan
st nd
menggunakan mekanisme audit medis tingkat pertama atau kedua (1 and 2
Party Medical Audit) sesuai dengan Pedoman Audit Medis Komite Medik RS
Fatmawati 105,106,107,108 dan Panduan Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/
Keselamatan Pasien (Clinical Risks Management and Patient Safety) Komite
109
Medik RS Fatmawati dengan cara Root Cause Analysis (RCA), Failure
Mode of Effective Analysis (FMEA) atau Probability Risks Assessment (PRA)
serta Panduan Health Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati.110
104
Kenagy JW, Berwick DM, Shore MF. Service quality in healthcare. JAMA 1999:281(7):
661-5.
105
Firmanda D. Pedoman Audit Medis Komite Medik RS Fatmawati. Jakarta 1999.
106
Firmanda D. Pelaksanaan Audit Medik. Disampaikan dalam Semiloka Pelaksanaan Audit Medik di RSUD
Dr. Soetomo, Surabaya pada tanggal 11 Desember 2003.
107
Firmanda D. Pengalaman Komite Medis RS Fatmawati dalam melaksanakan Audit Medis. Disampaikan dalam Temu
Karya I: Implementasi Good Clinical Governance di bidang Pelayanan Medis, Jakarta 27 September 2004.
108
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit.
109
Firmanda D. Panduan Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien ( Clinical Risks Management and
Patient Safety ) Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2005.
110
Firmanda D. Panduan Health Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2006.
57
Pelaksanaan Audit Medis
58
Tingkat audit tersebut dapat:
a. Audit medis tingkat pertama oleh/di SMF Bedah ( First Party
Medical Audit) karena ………………………………………………………………………………
b. Audit manajemen tingkat pertama oleh/di Instalasi Emergensi
(First Party Managerial Audit ) karena .....................................................
c. Audit medis tingkat kedua oleh/di Komite Medik (cq. Sub Komite
Etik dan Mutu Profesi - Second Party Medical Audit)
karena……………………………………………………………………………………………………………
59
d. Audit medis tingkat kedua oleh/di Komite Medik (cq. Sub Komite
Pengendalian Infeksi - Second Party Medical Audit)
karena……………………………………………………………………………………………………………
60
c. Audit medis tingkat pertama oleh/di SMF Penyakit Dalam (First
Party Medical Audit) karena ……………………………………………………………………
d. Audit medis tingkat pertama oleh/di SMF Jantung ( First Party
Medical Audit) karena ………………………………………………………………………………
e. Audit manajemen tingkat pertama oleh/di Instalasi Rawat Inap
(First Party Managerial Audit ) karena .....................................................
f. Audit manajemen tingkat pertama oleh/di Instalasi Bedah (First
Party Managerial Audit ) karena .....................................................
g. Audit manajemen tingkat pertama oleh/di Instalasi Laboratorium
Klinik (First Party Managerial Audit) karena .........................................
h. Audit manajemen tingkat pertama oleh/di Instalasi Radiologi
(First Party Managerial Audit ) karena .....................................................
i. Audit manajemen tingkat pertama oleh/di Instalasi Transfusi
Darah ( First Party Managerial Audit) karena ........................................
j. Audit manajemen tingkat pertama oleh/di Instalasi Rwat Intensif
(First Party Managerial Audit ) karena ........................................
k. Audit medis tingkat kedua oleh/di Komite Medik (cq. Sub Komite
Etik dan Mutui - Second Party Medical Audit) karena………………………..
61
Tabel 1: Jenis, Ruang Lingkup, Penanggung Jawab dan Kriteria/Indikator Mutu dalam Mekanisme Audit
62
Proses Audit Medik
3. Bentuk :
a. Tingkat SMF – First Party Audit ( Self – Assessment )
……. minggu / kali
Dipimpin : Koordinator Etik dan Mutu SMF
Sekretaris : Koordinator Pelayanan Medik dan Diklit SMF
Penyaji : dokter yang memegang kasus
Peserta : seluruh staf medis SMF
Hasil : - alternatif pemecahan masalah
- salinan dikirim ke Komite Medik
63
Mekanisme :
Informasi kasus/data dapat dari:
1. Jajaran Direktur Pelayanan Medik RSF
2. Komite Etik dan Hukum RSF
3. Sub Komite Etik dan Mutu Komite Medik
4. Tim Rekam Medis Komite Medik
5. Manajer Instalasi
6. Ketua SMF
1. Ketua Komite Medik dan Ketua Sub Komite Etik dan Mutu memilih dan
menetapkan kasus berdasarkan data / kasus ( < 2 hari )
2. Ketua Komite Medik menetapkan tanggal pelaksanaan diskusi tingkat
Komite dan membuat surat undangan ( < 2 hari )
3. Ketua Komite Medik menginformasikan secara tertulis kepada Ketua
SMF kasus terkait (< 2 hari ) untuk membahas kasus tersebut pada
tingkat SMF (proses sesuai dengan Sistem SMF masing masing) dan
mempersiapkannya untuk pembahasan tingkat Komite Medik (< 2
minggu sejak surat Ketua Komite Medik diterima )
4. Ketua SMF menyerahkan berkas / formulir kepada Ketua Komite
Medik 4 hari sebelum diskusi tingkat Komite Medik.
5. Tingkat Komite Medik :
Pembukaan oleh Ketua Komite Medik ( 5 menit )
Diskusi : moderator Ketua Tim Etik dan Mutu Komite Medik
Penyajian kasus : 15 menit
Diskusi : ( 20 menit )
Kesimpulan : ( 5 menit )
Penutup : Ketua Komite Medik ( 5 menit ) dan Direktur ( 5 menit )
6. Resume dan laporan tertulis : Sekretaris Komite Medik
64
Formulir 1
Tidak
No Sesuai Keterangan
Sesuai
1. Pelaksanaan SPM/SOP/CP kasus SPM/SOP/CP
tsb ada / tidak ada
2. Diagnosis Kerja
3. Rencana tindakan ( penunjang )
4. Diagnosis pasti
5. Terapi
Keterangan: SPM = standar/Pedoman Pelayanan Medis, SPO= standar prosedur operasional, CP= clinical pathways
Kesimpulan : …………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
Saran : …………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
65
Formulir 2
ST
I PARTY MANAGERIAL AUDIT
Instalasi : ………………………………………..
Tanggal : ………………………………………..
Waktu : Pukul ……….. sampai pukul ……..
Yang hadir : ……….. orang ( daftar hadir terlampir )
Kasus :
Kesimpulan : …………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
Saran : …………………………………………………………………………………………………………………
66
2nd PARTY AUDIT
TANGGAL : ………………………………
I. IDENTITAS KASUS
II. PEMBAHASAN
DIAGNOSIS
URAIAN MASALAH SOP/SPM
PENATALAKSANAAN
URAIAN MASALAH SPM/SOP
( ) ( )
67
Oleh karena itu diperlukan satu instrumen yang dapat merangkum seluruh
kegiatan yang diberikan kepada pasien selama dirawat di rumah sakit melalui
suatu sistem layanan yang jelas dan terukur serta dapat memberikan
kepastian jaminan mutu dan biaya serta hasil yang dapat dipertanggung
jawabkan secara profesi maupun administrasi keuangan. Hasil dalam
instrumen tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar perencanaan rumah
sakit berikutnya.
68
Disamping itu Clinical Pathways dapat dipergunakan sebagai alat untuk
implementasi PATH (Performance Assessment Tools for Hospitals)
sebagaimana dapat dilihat hubungan antar keduanya pada Gambar 25 berikut.
111
Firmanda D. How to develop Safety and Patient Centredness for Clinical Effectiveness. Disampaikan pada
Hospital Management 3 yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI di
Grand Angkasa Hotel International, Medan 11 Agustus 2008.
69
IMPLEMENTASI PERAN KOMITE MEDIK
Melalui sidang pleno 112 Komite Medik telah diajukan dan ditetapkan tentang
Konsep Patient Safety yang diimplementasikan di rumah sakit (Gambar 26).
Gambar 26. Kerangka Konsep Patient Safety Komite Medik RSUP Fatmawati
Impact dalam kerangka konsep tersebut terdiri dari 3 aspek yang terukur
yakni cedera (injury), infeksi nosokomial dan tuntutan litigasi (perdata dan
pidana). Dalam implementasi di rumah sakit harus dilaksanakan secara
terpadu dan terintegrasi - dipersiapkan mulai dari tingkat sistem sampai
tingkat individu profesi sebagaimana dalam Gambar 27 berikut.
112
Sidang Pleno Komite Medik adalah rapat rutin tertinggi dalam mekanisme pengambilan keputusan
kebijakan untuk profesi medis yang diadakan setiap hari Senin jam 12.30-13.30 dan dihadiri oleh seluruh
Ketua SMF serta dipimpin oleh Ketua Komite Medik (Lihat Sistem Komite Medik RSUP Fatmawati 2003).
70
Gambar 27. Alur pembagian tugas dalam rangka Patient Safety di rumah
sakit.
Sesuai dengan kewenangan Komite Medik di rumah sakit, agak sulit untuk
menilai kepastian kompetensi seorang profesi - terutama untuk profesi yang
banyak mengandalkan ketrampilan dan tergantung kepada fasilitas peralatan
medis. Bila sarana/fasilitas peralatan rumah sakit tersebut tidak atau
kurang memadai untuk menunjang kinerja ( performance) profesi, maka selain
ketrampilan klinis profesi itu sendiri akan berkurang bahkan hilang dan bila
tetap ’dipaksakan’ dengan fasilitas yang tidak sesuai dan memadai; maka
dengan secara langsung akan meningkatkan risiko ketidakamanan pasien
(insecure of patients safety) di rumah sakit dan risiko akan ligitasi
meningkat. Jenis medical errors seperti ini dapat dikategorikan sebagai
latent errors atau system errors dan dengan sendirinya akan terjadi active
71
errors. Bila ini terjadi, maka filosofi tujuan dasar dari Undang Undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit - yakni memberikan
perlindungan dan keselamatan pasien tidak akan terwujud. Bila keadaan ini
terus berlanjut tanpa ada upaya perbaikan dan peningkatan fasilitas serta
kompetensi sesuai dengan standar, maka secara keseluruhan rentetan ini
sudah menjadi suatu system failure yang kelak sangat sulit untuk dapat
survive dan berkembang dalam rangka antisipasi modus keempat dari
perjalanan globalisasi WTO yang telah diratifikasi.
72
Gambar 29. Beberapa panduan dan pedoman Komite Medik RSUP Fatmawati
Dalam menilai risiko klinis yang telah dan akan terjadi secara sistm Komite
Medik RSUP Fatmawati membuat Manajemen Risiko Klinis (Clinical Risks
Management) dengan langkah langkah sebagaimana dalam Gambar 30.
Sedangkan untuk tingkat individu profesi medis, mulai dari proses rekrutmen
penerimaan dokter sampai kepada tingkat individual performance pelaksanaan
praktik kedokteran sehari hari di rumah sakit. Adapun alur rekrutmen tenaga
medis dapat dilihat dalam Gambar 31 dari Lampiran Prosedur tentang
Penilaian Kredensial Tenaga Medis di RSUP Fatmawati. 113 Kebutuhan dan
kriteria akan tenaga medis di setiap SMF disesuaikan dengan hasil analisis
dan rencana kebutuhan dari SMF serta dilakukan setiap tahun. Sebagaimana
contohnya dapat dilihat dalam Gambar 32.
113
RSUP Fatmawati Nomor Dokumen HK 00.07.1.143 tanggal 12 Mei 2003 revisi HK 00.07.1 484 tanggal
17 April 2007 tentang Prosedur Penilaian Kredensial Tenaga Medis di RSUP Fatmawati.
73
Gambar 30. Langkah langkah Manajemen Risiko Klinis (Clinical Risks
Management) Komite Medik RSUP Fatmawati.
11
Gambar 31. Mekanisme alur rekrutmen tenaga medis di RSUP Fatmawati.
74
Gambar 32. Contoh analisis dan kriteria kebutuhan tenaga medis di salah satu
SMF di RSUP Fatmawati untuk tahun 2006 sampai dengan tahun 2018.
Hasil dari kedua tahap tersebut berupa Berita Acara dan Rekomendasi yang
bersifat rahasia sebagai bahan pertimbangan peneimaan atau penolakan
tenaga medis tersebut Gambar 34 dan 35.
75
Gambar 33. Proses rekrutmen tenaga medis di RSUP Fatmawati.
76
Gambar 34. Berita Acara Penilaian Kredensial tenaga medis di RSUP
Fatmawati.
77
Gambar 35. Rekomendasi hasil penilaian kredensial tenaga medis.
78
Sedangkan selama tenaga medis dokter tersebut melaksanakan praktik
kedokteran sehari hari di rumah sakit terikat dengan Sistem SMF dan
Sistem Komite Medik dengan portfolio ruang lingkup dalam aspek pelayanan
dan pendidikan kedokteran (Gambar 36) dan contoh (Gambar 37 dan 38)
serta format portfolio individual risk assessment (Gambar 39) dibawah.
79
Gambar 38. Contoh uraian tugas dalam portfolio dokter di salah satu SMF.
Gambar 39. Format Penilaian Risiko Medis Individu (Individual Medical Risks
Assessment)
80
Ilustrasi monitoring Komite Medik RSUP Fatmawati beberapa contoh kasus
serta penanganannya melalui pendekatan format Patient Safety (Gambar 40).
Gambar 40. Laporan kasus pengaduan, manajemen risiko klinis (Clinical Risks
Management) dan Patient Safety.
81
Gambar 41. Contoh hasil evaluasi dari Individual Portfolio tentang Kode Etik
Kedokteran Indonesia untuk periode tahun 2006.
82
3. Bila dari kedua mekanisme di atas ada ditemukan unsur hukum, maka
akan diadakan koordinasi dengan Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit
serta Direksi Rumah Sakit.
5. Informasi satu pintu: Bila ada kasus pengaduan kasus, ketiga jajaran
(Komite Medik, Komite Etik dan Hukum, dan Direksi) segera melakukan
rapat koordinasi sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing
masing, serta memutuskan segala pernyataan maupun klarifikasi adalah
melalui satu pintu dan dilaksanakan oleh petugas yang diberikan
kewenangan (biasanya dalam hal ini Humas Rumah Sakit – sedangkan
Komite Medik beserta Komite Etik dan Hukum memberikan masukan
sesuai tugas dan fungsinya).
Titik penting (crucial point) adalah pada clinical pathways sebagai entry
point dalam melaksanakan kegiatan praktik profesi kedokteran sehari hari di
rumah sakit – baik untuk tingkat sistem maupun individu – dalam rangka
kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana diamanatkan dalam Undang
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dengan tujuan
memberikan perlindungan kepada pasien/masyarakat (patient safety), profesi
kedokteran sendiri dan meningkatkan mutu pelayanan serta mutu kompetensi
profesi.
Sedangkan mengenai Clinical Pathways itu sendiri secara sekilas dapat dilihat
berbagai ilustrasi contoh akan manfaat dari implementasi Clinical Pathways
dalam Gambar 42 sampai 47 berikut.
83
Gambar 41. Hubungan Clinical Pathways dengan Clinical Risks Management/
Patient Safety dan kegiatan Health/High Impact Interventions (HII) di
RSUP fatmawati.
84
Gambar 42. Hubungan Clinical Pathways dengan jasa dokter dan kinerja
individu.
85
Gambar 44. Hubungan Clinical Pathways dengan audit medis dan surveilans
infeksi nosokomial
86
Gambar 46. Hubungan Clinical Pathways dengan perlindungan hukum dan risiko
tanggung gugat.
87
RS Jantung Harapan Kita sebagai Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran dan
Kedokteran Spesialis
Penutup
88
RS Jantung Harapan Kita Jakarta telah masuk evolusi tingkat tinggi dan siap
bersaing untuk masuk memenuhi kriteria tingkat World Class Hospitals .114
114
Firmanda D. Pedoman Penilaian Kinerja (Performance) Rumah sakit Kelas Dunia (World
Class Hospitals) . Disampaikan pada Pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan RS
Kelas Dunia (World Class Hospital) , Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di
Yogyakarta Plaza Hotel, Yogyakarta 22–23 Desember 2008.
http://www.scribd.com/doc/9799224/Dody-Firmanda-2008-World-Class-Hospital-DF-
Pedoman-Penilaian-RS-Tingkat-Global
89
Dr. Dody Firmanda, SpA, MA.
Ketua Komite Medis
RS Fatmawati
04 Oktober 2004
Pendahuluan
Staf medis adalah merupakan tenaga yang mandiri, karena setiap dokter memiliki
kebebasan profesi dalam mengambil keputusan klinis pada pasien. Dalam
memutuskan tindakan medis maupun pemberian terapi kepada pasien harus
dilakukan atas kebebasan dan kemandirian profesi dan tidak boleh atas pengaruh
atau tekanan pihak lain. Kebebasan profesi bukan diartikan kebebasan yang
penuh, namun masih harus tetap terikat dengan standar profesi, standar
kompetensi dan standar pelayanan medis.
Di sisi lain, staf medis dalam memberikan pelayanan tidak terikat dengan jam
kerja, khususnya untuk kasus gawat darurat. Tenaga kesehatan lainnya yang
bekerja di rumah sakit terikat dengan jam dinas dan jam kerja, yang diatur sesuai
jadwal dinasnya dan peraturan kepegawaian rumah sakit. Selain itu tenaga
kesehatan lainnya terikat dengan unit kerja dan bertanggung jawab terhadap
kepala unit kerja. Sebagai contoh : tenaga perawat yang dinas poliklinik, selama
satu hari perawat tersebut akan memberikan pelayanan di poliklinik. Namun
untuk staf medis dalam waktu satu hari bisa berpindah tempat kerja lebih dari
satu. Di pagi hari, staf medis tersebut bisa memberikan pelayanan di poliklinik
atau unit rawat jalan, di siang hari bisa di unit rawat inap dan di malam hari bisa
di unit kamar operasi. Jadi staf medis kecuali staf medis yang bekerja di
penunjang medis mobilitasnya sangat tinggi. dalam memberikan pelayanan
sesuai dengan standar. Karena itu peraturan kepegawaian rumah sakit tidak dapat
diterapkan seluruhnya untuk staf medis. Oleh karena itu perlu ada peraturan
tersendiri yang dapat mengatur staf medis secara internal.
Di lain pihak, profesi medis diharapkan dapat melakukan self governing, self
controlling dan self disciplining, Tujuan pengaturan diri sendiri tersebut adalah
untuk menjaga mutu staf medis. Sejalan hal tersebut untuk menjaga mutu staf
medis maka rumah sakit memerlukan medical staff bylaws
1
Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medis RS Fatmwati, 4 Oktober 2004 jam 12.30-13.30 WIB
1
2. Pengertian Medical staff bylaws
Konstitusi adalah produk hukum tertinggi dalam suatu Negara, karena itu istilah
konstitusi terlalu tinggi jika digunakan juga untuk rumah sakit.
Statuta saat ini lazim digunakan untuk Perguruan Tinggi. Isitlah statuta berasal
dari Belanda statutan yang berarti anggran dasar perkumpulan. Di samping itu,
The New Grolier Webster International Dictionary menjelaskan arti Statuta
dalam bahasa Inggris sebagai „ A Permament rule or law enacted by the
governing body of a corporation or institution”
Untuk rumah sakit, istilah statuta sudah digunakan dalam Keputusan Menkes No.
297/Menkes/SK/VI/1999 tentang Statuta RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo.
Untuk staf medis, istilah statuta kurang tepat karena penggunaan statuta sering
dikaitkan dengan badan hukum institusi sedangkan staf medis tidaklah berbentuk
badan hukum, karena itu istilah statuta tidak tepat digunakan untuk medical staff
bylaws. Mengingat belum ada terjemahan secara tepat maka istilah medical staff
bylaws tidak diterjemahkan
Mengacu kepada pengertian bylaws rumah sakit yang merupakan produk hukum
dari suatu organ yang lebih tinggi dari direktur rumah sakit, dan konsekuensi
logisnya adalah bylaws tersebut tidak memuat hal-hal yang bersifat teknis
manajerial seperti halnya “standard operating procedure (SOP)” suatu “technical
task” tertentu atau “job description” seseorang. Maka medical staff bylaws rumah
sakit juga dapat diartikan merupakan produk hukum tertinggi di staf medis.
Karena itu medical staff bylaws tidak mengatur standar operating prosedur (SOP)
atau ketentuan teknis lainnya.
2
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan pengertian
medical staff bylaws sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan staf medis dalam medical staff bylaws adalah dokter
dan dokter gigi.
3. Fungsi
Medical staff bylaws mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Menggambarkan pengorganisasian staf medis di rumah sakit.
b. Memuat prosedur persyaratan dan penerimaan tenaga medis di rumah sakit
c. Mengatur mekanisme peer review, reapoinment, kewenangan yang
diberikan (clinical privileges) dan pendisiplinan.
d. Memuat prosedur pengajuan permohonan sebagai staff medis
e. Sebagai acuan pemberian pelayanan berdasarkan standar profesi dan kode
etik profesi medis.
4. Tujuan
Medical staff bylaws mempunyai tujuan sebagai berikut :
Umum :
Sebagai pedoman staf medis dalam rangka menuju ‘self-governance’ untuk
mencapai ‘Good Clinical Governance’
Khusus :
a. Tercapainya kerjasama yang baik antara staf medis dengan pemilik rumah
sakit atau yang mewakili dan antara staff medis dengan Direktur/ Pimpinan
rumah sakit.
3
b. Tercapainya sinergisme antara manajemen dan profesi medis untuk
kepentingan pasien.
c. Terciptanya tanggung jawab staf medis terhadap mutu pelayanan medis di
rumah sakit.
Medical staff bylaws adalah “tailor made” dan medical staff bylaws adalah
merupakan peraturan yang mengatur staf medis. Mengacu kedua hal tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa walaupun medical staff bylaws bersifat “tailor
made”, namun tetap diperlukan acuan hal-hal apa saja yang perlu diatur di dalam
medical staff bylaws dengan tujuan untuk menjaga mutu profesi medis.
Mengingat staf medis adalah profesi mandiri maka dalam menyusun medical staff
bylaws perlu pula memperhatikan ciri-ciri profesi.. Selain itu, sebagaimana
diuraikan diatas bahwa medical staff bylaws, adalah tailor made maka materi
dan substansi tidak mungkin disamakan antara satu rumah sakit dengan rumah
sakit lainnya., Namun paling tidak harus ada subtansi minimal yang harus
dicantumkan dalam medical staff bylaws tersebut.
Substansi minimal tersebut meliputi substansi inti (core content) dan substansi
khusus local (local specifics). Core content adalah nilai-nilai fundamental yang
dianut secara universal dalam menjalankan profesi medis, seperti asas-asas etika
medis, asas-asas profesionalisme (kompetensi, efikasi, aman bagi pasien),
pelayanan yang bermutu (quality, efficiency, equity), akuntabilitas dan sebaginya.
Local spesifict adalah hal-hal yang khusus berlaku dalam lingkungan rumah sakit
tertentu. Misalnya rumah sakit pemerintah tentu berbeda dengan rumah sakit
swasta yang dokternya semua dokter tidak tetap.
Berdasarkan hal tersebut diatas substansi medical staf laws sebagai berikut:
Umum :
• Uraian tentang staf medis, kelompok staf medis dan komite medis yang ada di
rumah sakit
• Uraian tentang garis-garis besar tugas dan tanggung jawab staf medis
• Pernyataan tentang kewajiban bagi semua staf medis untuk mentaati dan
menjalankan ketentuan-ketentuan etika profesi medis, etika rumah sakit,
hospital staff bylaws rumah sakit dan peraturan-peraturan pelaksana yang
ditetapkan berdasar pada medical staff bylaws ini.
4
• Menetapkan standar pelayanan medis yang dibuat oleh kelompok staf medis.
• Menentukan kebijakan umum dalam melaksanakan good medical/clinical
governance
• Mengusulkan rencana pengembangan sumber daya manusia dan teknologi
untuk profesi medis.
Yang diatur didalam aturan staff medis adalah kewajiban staf medis yang terkait
dengan pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit, antara lain sebagai
berikut:
• Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang pasien
masuk dan pasien pulang. Misalnya untuk pasien masuk staf medis
mempunyai kewajiban membuat diagnose masuk dan rencana pelayanan dan
untuk pasien pulang harus melengkapi resume medik.
• Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit di unit gawat
darurat, pelayanan intensif, kamar operasi, kamar bersalin dan lain
sebagainya.
• Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang rekam
medis.
• Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang
informed consent
• Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang obat dan
formularium rumah sakit.
5
CONTOH ATAU MODEL TENTANG FORMAT DAN SUBTANSI
PENDAHULUAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bab I adalah glosari yang memuat penjelasan tentang istilah-istilah dan konsep-konsep
yang digunakan dalam medical staff bylaws.
BAB II
NAMA, TUJUAN, TANGGUNG JAWAB
Nama :
Memuat jati diri organisasi staf medis RS FATMAWATI yang terdiri dari nama, jenis
dan kelas rumah sakit, lokasi/alamat.
Tujuan :
Yang dimaksud tujuan disini adalah tujuan dari pengorganisasian staf medis. Untuk
mengisi pasal ini dapat melihat Pedoman Pengorganisasian Staf Medis dan Komite Medis
di Rumah sakit.
Tanggung Jawab :
Yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah tanggung jawab organisasi staf medis
kepada Direktur rumah sakit dan Pemilik/Governing Board. Acuan tanggung jawab bisa
dilihat di pedoman pengorganisasian staf medis dan komite medis di rumah sakit.
BAB III
PENGANGKATAN STAF MEDIS DAN PENGANGKATAN KEMBALI
Dalam bab ini diuraikan bahwa Kelompok Staf Medis (KSM) wajib membuat tata cara
dan persyaratan (administrasi dan kompetensi) untuk pengangkatan staf medis dan
pengangkatan kembali. Acuan penyusunan adalah standar profesi dan standar kompetensi
yang dikembangkan oleh masing-masing perhimpunan profesi. Dalam pengangkatan dan
pengangkatan kembali staf medis agar dibuat aturan apa dan bagaimana peran dan tugas
sub komite kredensial, komite medis, ketua Kelompok Staf Medis dan Direktur
Pelayanan Medik/Penanggung jawab bidang pelayanan medik
6
BAB IV
KATEGORI STAF MEDIS
Kategori staf medis di rumah sakit terkait dengan status hubungan kerja, kewenangan dan
tanggung jawab staf medis tersebut. Kategori staf medis antara lain : dokter tetap,
organik, paruh waktu, tamu, spesialis konsultan, staf pengajar, dokter umum di unit
gawat darurat, dokter umum di unit pelayanan intensif dan lain sebagainya. Masing-
masing katagori agar dijelaskan pengertiannya, kualifikasi, hak dan tanggung jawabnya.
BAB V
KEWENANGAN KLINIS
(CLINICAL PRIVILEGES)
BAB VI
PEMBINAAN
Bab VI ini mengatur pembinaan melalui tindakan korektif yang terkait dengan
pelaksanaan pemberian kewenangan klinis (clinical privileges). Hal-hal yang perlu diatur
antara lain adalah bagaimana melakukan investigasi, pelaporan, penangguhan dan lain
sebagainya.
BAB VII
PENGORGANISASIAN STAF MEDIS
Bab ini mengatur mengenai pengorganisasian staf medis, yang diatur antara lain adalah :
- bagaimana staf medis dikelompokkan,
- tugas dan fungsi staf medis,
- kewajiban staf medis untuk hadir di rapat,
- kualifikasi dan persyaratan untuk menjadi anggota staf medis,
- tanggung jawab staf medis terhadap mutu pelayanan medis
7
BAB VIII
KOMITE MEDIS DAN SUB KOMITE
Bab VIII ini menguraikan tentang organisasi, tugas, fungsi dan masa jabatan komite
medis dan sub komite yang ada di bawah komite medis. Ada 3 (tiga) sub komite yang
wajib ada dibawah komite medik yaitu Sub Komite Peningkatan Mutu Profesi Medis,
Sub Komite Kredensial dan Sub Komite Etika Profesi. Rumah sakit dapat membentuk
sub komite lainnya, namun 3 (tiga) sub komite tersebut diatas harus ada. Sub komite lain
yang dapat dibentuk oleh rumah sakit adalah Patient Care Evaluation, Utilization
Review, Pendidikan berkelanjutan, Rekam medis, Farmasi, terapi dan nutrisi, evaluasi
penggunaan obat, Review prosedur operasi, invasive dan non invasive, Review
penggunaan darah, Pengendalian infeksi, Emergency Preparedness Planning dan Safety
BAB IX
RAPAT
Bab ini mengatur mengenai rapat yaitu : jadwal rapat rutin, kapan perlu ada rapat khusus,
ketentuan jumlah quorum persyaratan rapat, notulen rapat, prosedur rapat dan peserta
rapat, persyaratan menghadiri rapat dan lain sebagainya
BAB X
KERAHASIAAN DAN INFORMASI MEDIS
Bab ini mengatur tentang kerahasiaan pasien dan pemberitahuan informasi medis.
Pengaturan ini terkait dengan hak dan kewajiban rumah sakit, dokter, dan pasien.
BAB XI
MONITORING
Pelaksanaan monitoring terhadap etik dan mutu diatur pada bab ini. Mulai dari siapa yang
akan melaksanakan, bagaimana melaksanakan, bagaimana laporan monitoring dibuat dan
ditindak lanjuti.
BAB XII
ADOPTION DAN AMENDEMENTS
Yang diatur disini terkait dengan pemberlakukan standar dan pedoman, pelayanan. Bab
ini juga mengatur review dan revisi bylaws, berapa tahun sekali bylaws perlu direview
dan direvsi. Siapa yang mempunyai kewenangan untuk melakukan review dan revisi
bylaws, bagaimana mekanisme amandements dan lain sebagainya.
8
Lampiran Medical Staf Bylaws
Contoh format model tersebut diatas adalah contoh format model yang minimal, rumah
sakit dapat mengembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit.
Langkah-langkah penyusunan medical staff bylaws ini, diharapkan dapat sebagai acuan
bagi rumah sakit dalam menyusun medical staff bylaws-nya masing-masing., Ada hal-hal
yang harus diperhatikan dalam menyusun medical staff bylaws yaitu :
9
juga mengkaji, menelaah dan mengevaluasi semua peraturan dan perundangan
tersebut apakah sudah kadaluwarsa, apakah ada duplikasi apakah saling bertentangan
dan lain-lain.
1. Pembentukan Tim Penyusun: Tim penyusun medical staff bylaws ini terdiri dari :
seluruh Ketua SMF.
2. Pertemuan tim penyusun - Tujuan pertemuan tim penyusun ini adalah :
a. Mengetahui dan memahami medical staff bylaws.
b. Terbentuknya komitmen tim penyusun
c. Agar tersusun rencana kerja dan prosedur kerja
d. Penyusunan medical staff bylaws sesuai pedoman
3. Melakukan legal audit: Legal audit sebaiknya dilakukan oleh tim penyusun.
Dalam melakukan legal audit bisa meminta bantuan dari luar (konsultan) namun
bisa dilakukan oleh rumah sakit sendiri terutama bagi rumah sakit yang telah
mempunyai bagian hukum dalam struktur organisasinya.
4. Penyusunan draft medical staff bylaws: Draft disusun dengan mengacu badan
hukum pemilik rumah sakit, perundangan-undangan tentang kesehatan dan
perumahsakitan serta hasil dari legal audit.
5. Pembahasan draft: Pembahasan draft dilakukan oleh staff medis dan komite
medis.
6. Penyempurnaan draft medical staff bylaws
7. Finalisasi medical staff bylaws: Finalisasi dilakukan berupa adanya penetapan
medical staff bylaws dari pemilik
8. Sosialisasi medical staff bylaws: Sosialisasi ini dilakukan kepada seluruh staf
medis di rumah sakit
9. Monitoring dan evaluasi: Monitoring dan evaluasi pelaksanaan medical staff
bylaws dilakukan sesuai dengan pengawasan yang diatur pada medical staff
bylaws.
10