PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari
1.2
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi serangan
Tujuan Khusus
1. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi masyarakat khususnya
ibu di kelurahan tersebut guna menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
tentang dispepsia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
(pencernaan).9
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators,
dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama
dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III
Klasifikasi Dispepsia
Pendekatan Diagnostik
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan
organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan
ke arah dyspepsia fungsional. Penting diingat bahwa dyspepsia fungsional
merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benarbenar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke dalam ulcer-like
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2
subklasifikasi
di
atas,
didiagnosis
sebagai
dispepsia
nonspesifik.
Faktor Resiko
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami
Mekanisme Patologis
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan
lambung,
infeksi
Helicobacter
pylori,
dismotilitas
gastrointestinal,
dan
hipersensitivitas viseral.11
Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dyspepsia hingga kini
masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan
terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di
bawah ini:11
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan
lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa
yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric
compliance yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan
depresi.
a. Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.11
b. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan
infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk
10
lambung,
akomodasi
fundus
terganggu,
distensi
antrum,
11
gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dyspepsia fungsional. Hal ini
membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam patofi siologi dispepsia.11
e. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga
diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang.11
f. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya
disritmia
mioelektrik
lambung
pada
pemeriksaan
12
2.1.6
Pengelolaan
Pedoman
terbaru
pengelolaan
uninvestigated
dyspepsia
13
14
penyebab
organik.
Apabila
kemungkinan
tersebut
telah
Pencegahan
15
16
Prognosis
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional
ujian setiap blok, dalam hal ini dicatat dalam 5 kali ujian blok. Setiap blok rata
17
rata terdapat 3 kali ujian, yaitu ujian praktikum, ujian Clinical Skill Lab atau
OSCE, dan ujian teori.
2.3
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan.29
Talley dan kawan-kawan melakukan case control study terhadap pasien
dispepsia fungsional dan dispepsia organik, menyimpulkan dijumpainya pasienpasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang lebih neurotik, depresi
daripada kelompok kontrolnya. Gangguan psikis atau konflik emosi yang
menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan perubahan
fisiologis dan biokemis seseorang.30
Perubahan fisiologis ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada
sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun.31
Demikian juga Haug TT, dan kawan-kawannya yang membandingkan
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan dan stress pada pasien dispepsia fungsional
dan pasien ulkus yang diteliti dimana sebelumnya pasien-pasien tersebut
mengalami peristiwa-peristiwa ketegangan (stress) dalam kehidupan selama 6
bulan sebelumnya. Ditemukan pasien-pasien dengan dispepsia fungsional
mempunyai tingkat yang lebih tinggi keadaan kecemasannya, psikopathologi,
depresi dan keluhan somatik yang berbeda-beda (lebih somatisasi).32
b. Pola makan
Pola makan adalah suatu sistem, cara kerja atau usaha untuk
mengkonsumsi makanan.33
Beberapa penyebab yang menimbulkan terjadinya dispepsia fungsional,
yaitu faktor diet dan lingkungan, ambang rangsang persepsi, sekresi asam
lambung, infeksi Helicobacter pylori.33
19
20
Hipotesis Penelitian
H0 : Tidak ada pengaruh antara tingkat strees, pola makan, dan kualitas tidur
dengan kejadian dispepsia pada masa ujian.
21
Ha : ada pengaruh antara tingkat strees, pola makan, dan kualitas tidur dengan
kejadian dispepsia pada masa ujian.
2.5
Kerangka Teori
2.6
Dasar Dasar Variabel pada Penelitian
Serangan dyspepsia dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah :
1. Tingkat strees dapat mempengaruhi frekuensi serangan dispepsia, dimana hal
tersebut dapat terjadi karena kecemasan, kelelahan, depresi atau stress
emosional. Ditemukan pasien-pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai
tingkat yang lebih tinggi keadaan kecemasannya, psikopathologi, depresi dan
keluhan somatik yang berbeda-beda.32
2. Pola makan khususnya pada masa ujian sangat berpengaruh pada dispepsia
yang bisa saja menyerang. Makanan-makanan yang merangsang saluran
pencernaan seperti makanan pedas, terlalu manis, terlalu asin atau asam perlu
dihindari, termasuk meminum minuman yang mengandung alkohol atau
kaffein seperti kopi. Keteraturan makan dan kecukupan gizi mahasiswa juga
berpengaruh terhadap timbulnya dispepsia.34
3. Kualitas tidur menentukan kualitas istirahat yang sangat berpengaruh bagi
kesehatan mahasiswa pada saat menghadapi ujian. Kondisi kurang tidur
banyak dijumpai pada mahasiswa. Bagi mahasiswa, kurang tidur ini
mempengaruhi kondisi kesehatan dan menyebabkan banyak efek antara lain
konsentrasi berkurang, penyakit banyak menyerang antara lain terjadinya
gangguan pencernaan termasuk dispepsia.38
2.8
Kerangka Konsep
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep variabel
yang diteliti sebagai berikut :
Tingkat
Stress
Frekuensi
Serangan
Dispepsia
pada
Mahasiswa FK
UMI angkatan
22
Pola
Makan
Kualitas
Tidur
Keterangan :
= Variabel independent
= Variabel dependent
Ser
ang
an
Gambar 3.1
Dys
Kerangka Konsep
pep
2.9 sia
Variabel Penelitian
pad
Variabel Bebas
a
Variabel
Mabebas dalam penelitian ini, yaitu :
has
a. Tingkat stress
iswmakan
b. Pola
c. Kualitas
Tidur
a
Variabel Terikat
FK terikat pada penelitian ini adalah frekuensi serangan dyspepsia pada masa
Variabel
UMI
ujian.ang
2.10 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
kat
anpenelitian ini, variabel yang diteliti didefinisikan sebagai berikut :
Dalam
201
0
23
=2
Kadang-kadang
=1
Tidak
=0
24
Kriteria Objektif :
Tingkat stress tinggi (1)
: Jika
tidak
pernah
atau
kadang-kadang
Pertanyaan Negatif :
Ya
=1
Ya
=0
Tidak
=0
Tidak
=1
25
Kriteria Objektif
Pola makan sehat (1)
Pola makan tidak sehat (2) : Jika frekuensi makan tidak teratur sering
mengkonsumsi menu yang tidak sehat. Dengan
menjawab 50 % pertanyaan tentang pola
makan.
6) Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah tidur ideal yang yang tidak harus memiliki kuantitas
yang tinggi, seperti yang dikatakan oleh Carol Ash, direktur kesehatan Sleep
for Life, di Hillsboroughm N.J, tetapi dapat dinilai dari nyenyaknya tidur.
Untuk menilai kualitas tidur dinilai dari 10 nomor kuisioner dengan dua jenis
pertanyaan :
Pertanyaan Positif :
Pertanyaan Negatif :
Sering
=2
Sering
=0
Kadang-kadang
=1
Kadang-kadang
=1
Tidak
=0
Tidak
=2
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
angkatan 2010
3.3
Populasi dan Sampel
1. Populasi
27
28
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
: Fakultas Kedokteran
2. Alamat
3. No.Telp/fax
4. Kota
: Makassar
5. Provinsi
: Sulawesi Selatan
4.2
sekarang adalah :
1. Dekan
2. Wakil Dekan I
3. Wakil Dekan II
5. Wakil Dekan IV
4.3
30
kompetensi
segenap
civitas
akademika
yang
dan CCTV, terdiri atas : Ruang kuliah, ruang Computer Based Test (CBT),
Clinical Skill Laboratory (CSL), ruang Problem Based Learning (PBL),
laboratorium
terpadu,
laboratorium
anatomi,
laboratorium
komputer,
perpustakaan, ruang senat Ibnu Sina, Aula Aisyah, ruang Medical Education
Unit, ruang dosen, Rumah Sakit Pendidikan Ibnu Sina, ruang Clinical
Education Unit (CEU), kantin, Gedung Student Center dan sarana olahraga.
4.5
31
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Penelitian
Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan pada tanggal
Persentase (%)
19 20
27
18.4
21 22
116
78.9
23 24
2.7
Jenis
Laki Laki
40
27.2
Kelamin
Perempuan
107
72.8
147
100.0
Umur
Total
sumber
: Data Primer
Jumlah
62
44
41
147
Persentase (%)
42.2
29.9
27.9
100.0
: Data Primer
sumber
Tingkat Stres
Tinggi
Jumlah
81
Persentase (%)
55.1
Rendah
Total
66
147
44.9
100.0
: Data Primer
33
Jumlah
61
86
147
Persentase (%)
41.5
58.5
100.0
Jumlah
64
83
147
Persentase (%)
43.5
56.5
100.0
34
Tabel 5.6. Pengaruh Tingkat Stress terhadap Dispepsia pada Masa Ujian
Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
Frekuensi Dispepsia
Tingkat
Stress
Tinggi
N
Tinggi
54
Rendah
Total
Rendah
%
Tidak
Mengalami
N
%
Total
N
81
55
36
55
66
45
41
28
147 100
67
N
22
27
12
22
33.0
62
42
44
30
P
value
0,000
0,621
Grafik 5.1. Pengaruh Tingkat Stress yang Tinggi terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
Grafik 5.2. Pengaruh Tingkat Stress yang Rendah terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
35
Dari hasil analisis uji korelasi sederhana dengan metode pearson seperti
terlihat pada tabel 5.6 didapatkan 54 orang dengan frekuensi dispepsia tinggi
disertai tingkat stress tinggi, 22 orang dengan frekuensi dispepsia rendah disertai
tingkat stress tinggi, dan 5 orang tidak menglami dispepsia dengan tingkat stress
tinggi. Pada 66 orang dengan tingkat stres rendah didapatkan 8 orang memiliki
frekuensi serangan dispepsia tinggi, 22 orang memiliki serangan dispepsia rendah,
dan 36 orang tidak mengalami serangan dispepsia. Korelasi antara frekuensi
serangan dispepsia dengan tingkat stress (r) adalah 0,621. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi serangan dispepsia dengan
tingkat stress. Sedangkan arah hubungan adalah positif karena nilai r positif,
berarti semakin tinggi tingkat stress maka semakin meningkatkan frekuensi
serangan dispepsia.
2. Pengaruh Pola Makan terhadap Dispepsia
Tabel 5.7. Pengaruh Pola Makan terhadap Dispepsia pada Masa Ujian
Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
36
Frekuensi Dispepsia
Pola
Makan
Sehat
Tidak
Sehat
Total
Tinggi
N
3
59
62
%
4,9
68,6
42,2
Rendah
N
23
21
44
%
37,7
24,4
29,9
Tidak
Mengalami
N
%
35 57,4
6
6,98
41
27,8
Total
N
61
86
41,5
147
58,5
100
P
value
0,000
-0,682
Grafik 5.3. Pengaruh Pola Makan yang Sehat terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
Grafik 5.4. Pengaruh Pola Makan yang Tidak Sehat terhadap Dispepsia
pada Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
37
Dari hasil analisis uji korelasi sederhana dengan metode pearson seperti
terlihat pada tabel 5.7 didapatkan 61 orang dengan pola makan sehat dan 86 orang
dengan pola makan tidak sehat. Dari 61 orang yang dinyatakan memiliki pola
makan yang sehat, didapatkan 3 orang dengan frekuensi serangan dispepsia tinggi,
23 orang frekuensi serangan dispepsia rendah, dan 35 orang tidak mengalami
serangan dispepsia. Korelasi antara frekuensi serangan dispepsia dengan pola
makan (r) adalah -0,682. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat
antara frekuensi serangan dispepsia dengan pola makan. Sedangkan arah
hubungan adalah negatif karena nilai r negatif, berarti semakin tidak sehat pola
makan maka semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.
Tinggi
N
5
57
62
%
7.8
68.7
42.2
Rendah
N
25
19
44
%
39.1
23.0
30.0
Total
Tidak
Mengalami
N
%
N
%
34 53.1
64 43,5
7
8.4
83 56,5
41 27.9 147 100.0
P
value
0,000
-0.635
Grafik 5.5. Pengaruh Kualitas Tidur yang Baik terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
38
Tabel 5.6. Pengaruh Kualitas Tidur yang Tidak Baik terhadap Dispepsia
pada Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
39
5.2
5.2.1
Pembahasan
Dispepsia
Dari hasi penelitian diperoleh bahwa sebagian besar mahasiswa
mengalami frekuensi serangan dispepsia yang tinggi (42,2%). El-Serag dan Talley
(2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan uninvestigated dyspepsia,
setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia fungsional. 17
Hal ini dapat dikategorikan sebagai dispepsia yang terjadi pada masa ujian disertai
dengan faktor-faktor yang mencetuskan munculnya dispepsia.
Menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut:
40
perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati,
yang berlangsung sedikitnya dalam tiga bulan terakhir, dengan awal mula gejala
sedikitnya timbul enam bulan sebelum diagnosis.10
Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini
masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan
terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti sekresi
asam lambung yang berlebihan, Helicobacter pylori, dismotilitas, ambang
rangsang persepsi, disfungsi autonom, aktivitas mioelektrik lambung, peranan
hormonal, diet dan faktor lingkungan, psikologis, serta factor genetik.11
5.2.2 Pengaruh Tingkat Stress terhadap Dispepsia
Dari hasil uji chi-square didapatkan p value < 0,05 yang berarti terdapat
hubungan antara tingkat stress dengan dispepsia. Berdasarkan uji korelasi dengan
metode pearson menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi
serangan dispepsia dengan tingkat stress. Semakin tinggi tingkat stress maka
semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.
Dari faktor psikologis, adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya
penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah
pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada
upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas.11
Morrel (1991) menyimpulkan keluhan dispepsia, merupakan keluhan yang
berarti dari pasien-pasien dengan adanya gangguan psikiatri, terutama anxietas,
depresi atau ciri kepribadian.29
41
5.2.3
hubungan antara pola makan dengan dispepsia. Berdasarkan uji korelasi dengan
metode pearson menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi
serangan dispepsia dengan pola makan. Semakin tidak sehat pola makan maka
semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.
Salah satu penyebab yang menimbulkan terjadinya dispepsia fungsional,
yaitu faktor diet dan lingkungan.33 Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering
terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibanding kasus kontrol.11
Makan tidak teratur, frekuensi makan 2 kali per hari, memiliki kebiasaan
minum minuman berkarbonasi atau minuman yang mengandung kafein seperti
kopi, dan mengkonsumsi lemak <30% akan lebih berisiko sering mengalami
gejala dispepsia.34
5.2.4
hubungan antara kualitas tidur dengan dispepsia. Berdasarkan uji korelasi dengan
metode pearson menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi
serangan dispepsia dengan kualitas tidur. Semakin tidak baik kualitas tidur maka
semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti
lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan
aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur.
Menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan berbagai tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah
dalam tidurnya. Kondisi kurang tidur pun banyak dijumpai pada mahasiswa. Bagi
42
BAB VI
PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis
menyimpulkan bahwa,
1. Frekuensi serangan dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI
angkatan 2010 yang paling dominan
adalah
Saran
43
Agar
dapat
memahami
tentang
dispepsia
dengan
mengelola
dan
DAFTAR PUSTAKA
44
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
45
8.
9.
10.
11.
12.
Halder SL, Locke GR 3rd, Schleck CD, Zinsmeister AR, Melton LJ 3rd,
Talley NJ. Natural history of functional gastrointestinal disorders: a 12-year
longitudinal population-based study. Gastroenterology.2007;133:799-807.
13.
14.
46
15.
16.
17.
El-Serag HB, Talley NJ. Systematic review: the prevalence and clinical
course of functional dyspepsia. Aliment Pharmacol Ther. 2004;19:643-54.
18.
Talley NJ, Haque M, Wyeth JW, Stace NH, Tytgat GN, Stanghellini V, et
al. Development of a new dyspepsia impact scale: the Nepean Dyspepsia
Index. Ailment Pharmacol Ther.1999;13(2):225-35.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Declan Wash. T, 2001. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta
47
26.
Rice, P.L. (1998). Stress and health. Third Edition. Moorhead State
University: Brooks/Cole Publishing Company.
27.
Rice, P.L. (1998). Stress and health. Third Edition. Moorhead State
University: Brooks/Cole Publishing Company.
28.
Prabowo,
H.
(1998).
Pengantar
psikologi
lingkungan.
Jakarta:
Gunadarma.
29.
30.
31.
32.
T.T. Haug, et all.: Live events and stress in patient with Functional
Dispepsia compare with patients with Duodenal Ulcer and Healthy Control,
Scand.Journal Gastroenterology no.30(6), 1995: 524 430.
33.
34.
35.
48
36.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2007. Aktivitas Otak-Tidur. Dalam Buku Ajar
Fisiologi kedokteran-ed.9. Jakarta: EGC.
37.
38.
39.
Czeisler, C.A., Richardson, G.S., Martin, J.B. 1999. Gangguan Tidur dan
Irama Sirkadian. Jakarta: EGC.
49