Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari

seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke


dokter.1
Salah satu penyebab yang diduga meningkatkan dispepsia adalah faktor
psikis. Bentuk dispepsia depresi yang paling sering adalah Dispepsia Non-Ulkus
(DNU). Sejak dulu DNU sering dihubungkan dengan psikosomatis terutama
apabila gejala tersebut berhubungan dengan kecemasan, kelelahan, depresi atau
stress emosional sehingga disebut dengan dispepsi fungsional. Hal inilah yang
diduga sering terjadi pada mahasiswa, apalagi pada masa-masa ujian, dispepsia
paling sering muncul.2
Banyak yang mengatakan bahwa stress mencetuskan keluhan dispepsia.
Beberapa studi mengatakan stress yang lama menyebabkan perubahan aktifitas
vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster. Sedangkan kurang
lebih 50% pasien dengan dispesia fungsional melaporkan keluhan mereka
berkaitan dengan makanan. Makanan dianggap memicu sekresi asam lambung.
Kopi juga dapat memperberat dispepsia, namun apakah caranya dengan berfungsi
sebagai iritan nonspesifik langsung ataupun dengan mempresipitasi refluks
gastroduodenal masih belum jelas. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau
obat pereda nyeri atau rematik juga dapat menyebabkan gangguan gejala serupa.
hal ini berkaitan dengan dosis.3,4,5

Dispepsia Non-Ulkus (DNU) atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia


kronik atau berulang, berlangsung lebih dari satu bulan dan sedikitnya selama
25% dalam kurun waktu tersebut gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan
penyakit organik yang bisa menerangkan gejala tersebut secara klinis, biokimia,
endoskopi (tidak ada ulkus, tidak ada oesophagitis, dan tidak ada keganasan) atau
radiografi.6,7
Kepribadian pasien DNU menyerupai Sindrom Kolon Iriatif dan dispepsia
organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih
nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal (GI) seperti nyeri
muskuloskeletal, sakit kepala dan mudah letih. Gambaran psikologik DNU
ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan kronik.8
Berkaitan dengan tingginya angka kejadian dispepsia fungsional pada usia
muda, maka perlu diadakan penelitian terhadap kelompok umur muda yang rentan
terhadap penyakit tersebut, dalam hal ini pada mahasiswa. Mahasiswa S1 yang
rata-rata berusia 19-23 tahun tergolong usia dewasa muda dengan tingkatan stress
yang cukup tinggi, terutama mahasiswa kedokteran. Tingkat stress yang paling
tinggi dialami mereka adalah pada masa ujian. Pada masa ini, perhatian
mahasiswa pola makan menurun, dan waktu tidur berkurang. Semua keadaan ini
disinyalir mempresipitasi terjadinya serangan dispepsia.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian


ini yaitu apakah faktor faktor yang mempengaruhi frekuensi serangan dispepsia
pada masa ujian mahasiswa FK UMI, khususnya angkatan 2010.
1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1

Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi serangan

dispepsia pada masa ujian Mahasiswa FK UMI angkatan 2010.


1.3.2

Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi dan frekuensi serangan dispepsia pada masa ujian


mahasiswa FK UMI angkatan 2010 menurut gejala subjektif.
b. Mengetahui pengaruh tingkat stress terhadap frekuensi serangan dispepsia
dengan mahasiswa FK UMI angkatan 2010 pada masa ujian
c. Mengetahui pengaruh pola makan terhadap frekuensi serangan dispepsia
dengan mahasiswa FK UMI angkatan 2010 pada masa ujian
d. Mengetahui pengaruh kualitas tidur terhadap frekuensi serangan dispepsia
1.4

dengan mahasiswa FK UMI angkatan 2010 pada masa ujian


MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi masyarakat khususnya
ibu di kelurahan tersebut guna menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
tentang dispepsia.

2. Bagi instansi pemerintah dan instansi terkait lainnya


Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi instansi terkait dan
pemerintah dalam melihat kendala kendala dalam masyarakat yang

merupakan halangan dalam mencapai tujuan pemerintah dalam mengatasi


masalah masalah kesehatan dan pendidikan.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan bagi peneliti sebagai pengalaman
berharga dan wadah latihan untuk memperoleh wawasan dan pengetahuan
dalam rangka penerapan ilmu pengetahuan yang telah diterima di bangku
perkuliahan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

2.1.1

Tinjauan Umum tentang Dispepsia


Batasan dan Epidemiologi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan peptein

(pencernaan).9
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators,
dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama
dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III

terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu


atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat
kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam tiga
bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul enam bulan sebelum
diagnosis.10
Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik
klinis sehari-hari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007,
ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun
1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri mulai gencar
dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di
dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai
penyakit maag. Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki
tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan
kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan
bahwa satu dari lima pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi
H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.11,12,13,14
2.1.2

Klasifikasi Dispepsia

Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan


dispepsia fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil
dieksklusi.15
Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kelompok, yakni postprandial
distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome
mewakili kelompok dengan perasaan begah setelah makan dan perasaan cepat
kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih
konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya
postprandial distress syndrome. Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan
untuk membedakan antara gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable
bowel syndrome (IBS), dan dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit banyak
disebabkan oleh ketidakseragaman berbagai institusi dalam mendefinisikan
masing-masing entitas klinis tersebut.16
El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien
dengan uninvestigated dyspepsia, setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki
diagnosis dispepsia fungsional.17
Talley secara khusus melaporkan sebuah sistem klasifikasi dispepsia, yaitu
Nepean Dyspepsia Index, yang hingga kini banyak divalidasi dan digunakan
dalam penelitian di berbagai negara, termasuk baru-baru ini di China.18
2.1.3

Pendekatan Diagnostik
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah

adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan
organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,

sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan
ke arah dyspepsia fungsional. Penting diingat bahwa dyspepsia fungsional
merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benarbenar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke dalam ulcer-like
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2
subklasifikasi

di

atas,

didiagnosis

sebagai

dispepsia

nonspesifik.

Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara


dyspepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas,
dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan
didapatkan tanda-tanda bahaya.15,18
Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of
Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional.
Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional.19
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan


timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna
bagian atas [SCBA])
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam tiga bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya enam bulan sebelum
diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu

2. Nyeri timbul berulang


3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfingter Oddi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin
timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
2.1.4

Faktor Resiko
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami

dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok,


konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah dengan prevalensi
H.pylori tinggi.20
2.1.5

Mekanisme Patologis
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan

dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam

lambung,

infeksi

Helicobacter

pylori,

dismotilitas

gastrointestinal,

dan

hipersensitivitas viseral.11
Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dyspepsia hingga kini
masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan
terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di
bawah ini:11
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan
lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa
yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric
compliance yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan
depresi.
a. Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.11
b. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan
infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk

10

melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif


yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.11
c. Dismotilitas
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan
beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan
pengosongan

lambung,

akomodasi

fundus

terganggu,

distensi

antrum,

kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal.11


Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus),
tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses
yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat
mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas.10
d. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai
mempunyai hipersensitifitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau
duodenum, meskipun mekanisme pastinya masih belum dipahami.11
Hipersensitifitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting
pada semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien
dengan dyspepsia fungsional. Mekanisme hipersensitifitas ini dibuktikan melalui
uji klinis pada tahun 2012.11
Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung
pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil tingkat keparahan

11

gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dyspepsia fungsional. Hal ini
membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam patofi siologi dispepsia.11
e. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga
diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang.11
f. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya

disritmia

mioelektrik

lambung

pada

pemeriksaan

elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi


peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.11
g. Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dyspepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan,
progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal.11
h. Diet dan faktor lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibanding kasus kontrol.11
i. Psikologis

12

Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan


mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus
berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya menghubungkan
factor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak didapatkan
kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dyspepsia fungsional ini,
walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang
tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dyspepsia
fungsional.11
j. Faktor genetik
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring
dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi
antara polimorfisme gengen terkait respons imun dengan infeksi Helicobacter
pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.11

2.1.6

Pengelolaan
Pedoman

terbaru

pengelolaan

uninvestigated

dyspepsia

merekomendasikan pemeriksaan Helicobacter pylori dilakukan terlebih dahulu


sebelum dilakukan pengobatan terhadap infeksi tersebut.12
American College of Gastroenterology Guidelines for the Management of
Dyspepsia (2005), mengemukakan pentingnya mendeteksi tanda-tanda bahaya

13

(alarming features) pada pasien dengan keluhan dispepsia. Apabila didapatkan


tanda-tanda bahaya (seperti gejala dispepsia yang baru muncul pada usia lebih
dari 55 tahun, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya,
anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah, disfagia progresif, odinofagia, perdarahan,
anemia, ikterus, massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga
dengan kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan
keganasan), tindakan esofagogastroduodenoskopi untuk keperluan diagnostik
sangat dianjurkan. Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2
tindakan yang dapat dilakukan: (1) Test-and-treat: untuk mendeteksi ada tidaknya
infeksi Helicobacter pylori dengan uji noninvasif yang tervalidasi disertai
pemberian obat penekan asam bila eradikasi berhasil, tetapi gejala masih tetap
ada, (2) Pengobatan empiris menggunakan proton-pump inhibitor (PPI) untuk 4-8
minggu.17
American College of Physicians menyatakan bahwa pengobatan empiris
menggunakan obat antisekresi ini merupakan tulang punggung utama pengobatan
dispepsia dan masih dipraktikkan secara luas hingga saat ini. Alternatif :
(1)dianjurkan untuk mengobati populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori
tingkat sedang sampai tinggi (>10%), sedangkan alternatif (2) disarankan pada
populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori rendah.17
Sebuah studi di Denmark (2011) telah berhasil menerapkan test-and-treat
secara massal dengan cara melakukan urea breath test (UBT) di rumah-rumah.
Namun, dalam upaya eradikasi H. Pylori, perlu diwaspadai adanya resistensi
tehadap pengobatan antibiotic yang diberikan; dalam studi di Spanyol (2012),

14

ditemukan peningkatan resistensi terhadap levofl oksasin yang hampir menyamai


tingkat resistensi terhadap klaritromisin.17
Selanjutnya, langkah yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan
kemungkinan

penyebab

organik.

Apabila

kemungkinan

tersebut

telah

disingkirkan, untuk makin mengoptimalkan pengelolaan pasien dispepsia


fungsional, perlu diketahui subklasifikasi dispepsia fungsional tersebut. Apabila
ditemukan ulcer-like dyspepsia, pengobatan antasida, antagonis reseptor H2, dan
PPI sangat dianjurkan. Apabila didapatkan dysmotility-like dyspepsia, pengobatan
dengan agen prokinetik merupakan pilihan yang lebih baik.13
Mengingat adanya hubungan dengan faktor psikosomatis pada pasien
dispepsia fungsional, patut dipertimbangkan pemberian obat-obat psikotropik dan
intervensi secara psikologis, sekalipun bukti keuntungan terapi ini belum secara
ekstensif didapatkan.17
Terapi terbaru, seperti ekstrak herbal STW 5, masih memerlukan
penelitian preklinis yang intensif sebelum dapat digunakan.15
Guo (2011) melaporkan efektivitas akupunktur dalam meningkatkan
motilin plasma, frekuensi elektrogastrografik, pengosongan lambung, dan
meredakan gejala-gejala dispepsia fungsional, terlebih bila dikombinasikan
dengan obat-obat yang sudah ada.17
2.1.7

Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut :


1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

15

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko


dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada
masyarakat mengenai :
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali
dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.21
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan
gizi dan penyediaan air bersih.22
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang
diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang
diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya.23
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang
beralkohol, kopi serta merokok.24,25
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan


pengobatan segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment). Pengobatan Segera
(Prompt Treatment) berupa :
a. Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah
makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam
porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak
merangsang peningkatan dalam lambung dan kemungkinan dapat menetralisir
asam HCL.
b. Perbaikan keadaan umum penderita

16

c. Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.


d. Penjelasan penyakit kepada penderita.
e. Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan penderita dispepsia adalah
antasida, antikolinergik, sitoprotektif dan lain-lain.25
3. Pencegahan Tertier25
a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita
dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama
dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke
masyarakat.
2.1.8

Prognosis
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional

memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu


dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih
sering dialami oleh individu dyspepsia fungsional.10
Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama
yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk
mengalami depresi dan gangguan psikiatris.10
2.2

Tinjauan Umum tentang Masa Ujian


Masa ujian adalah rentang waktu dimana mahasiswa harus menghadapi

ujian setiap blok, dalam hal ini dicatat dalam 5 kali ujian blok. Setiap blok rata

17

rata terdapat 3 kali ujian, yaitu ujian praktikum, ujian Clinical Skill Lab atau
OSCE, dan ujian teori.
2.3

Tinjauan Umum tentang Mahasiswa FK UMI Angkatan 2010


Mahasiswa FK UMI angkatan 2010 adalah Mahasiswa yang sedang

menempuh pendidikan dan mengikuti semester berjalan di Fakultas Kedokteran


Universitas Muslim Indonesia yang memulai proses belajarnya dimulai pada
tahun 2010.
2.4
Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian
a. Tingkat stress
Stres adalah suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan-perubahan
lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengancam atau
merusak terhadap keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Sedangkan
menurut WHO (2003), stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor
psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan).27,28
Stres adalah respon manusia yang bersifat nonspesifik terhadap setiap
tuntunan kebutuhan yang ada dalam dirinya (Pusdikakes Depkes. RI). Stres
dewasa ini digunakan secara bergantian utuk menjelaskan berbagai stimulus
dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku
dan subjektif terhadap stres. Konteks yang menjembatani pertemuan antara
individu dengan stimulus yang membuat stres sebagai sistem.28
Morrel (1991) menyimpulkan keluhan dispepsia, merupakan keluhan yang
berarti dari pasien-pasien dengan adanya gangguan psikiatri, terutama anxietas,
depresi atau ciri kepribadian.29
Walaupun patofisiologi timbulnya keluhan fisik yang berhubungan dengan
gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan, namun sudah
18

terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan.29
Talley dan kawan-kawan melakukan case control study terhadap pasien
dispepsia fungsional dan dispepsia organik, menyimpulkan dijumpainya pasienpasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang lebih neurotik, depresi
daripada kelompok kontrolnya. Gangguan psikis atau konflik emosi yang
menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan perubahan
fisiologis dan biokemis seseorang.30
Perubahan fisiologis ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada
sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun.31
Demikian juga Haug TT, dan kawan-kawannya yang membandingkan
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan dan stress pada pasien dispepsia fungsional
dan pasien ulkus yang diteliti dimana sebelumnya pasien-pasien tersebut
mengalami peristiwa-peristiwa ketegangan (stress) dalam kehidupan selama 6
bulan sebelumnya. Ditemukan pasien-pasien dengan dispepsia fungsional
mempunyai tingkat yang lebih tinggi keadaan kecemasannya, psikopathologi,
depresi dan keluhan somatik yang berbeda-beda (lebih somatisasi).32
b. Pola makan
Pola makan adalah suatu sistem, cara kerja atau usaha untuk
mengkonsumsi makanan.33
Beberapa penyebab yang menimbulkan terjadinya dispepsia fungsional,
yaitu faktor diet dan lingkungan, ambang rangsang persepsi, sekresi asam
lambung, infeksi Helicobacter pylori.33

19

Ditemukan ada pengaruh pola makan terhadap dispepsia fungsional. Pola


makan yang tidak teratur mungkin menjadi predisposisi untuk gejala
gastrointestinal yang menghasilkan hormon-hormon gastrointestinal yang tidak
teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya motilitas gastrointestinal.34
Keteraturan makan, frekuensi makan, kebiasaan minum minuman
berkarbonasi, dan konsumsi lemak berhubungan nyata dengan frekuensi
munculnya gejala dispepsia. Contoh makan tidak teratur, frekuensi makan 2 kali
per hari, memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi atau minuman yang
mengandung kafein seperti kopi, dan mengkonsumsi lemak <30% akan lebih
berisiko sering mengalami gejala dyspepsia.34
c. Kualitas tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan
gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,
konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering
menguap atau mengantuk.35
Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang cukup agar
tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh
melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada
dalam kondisi yang optimal. Pola tidur yang baik dan teratur memberikan efek
yang bagus terhadap kesehatan.36
Menurut Lanywati (2001), kebutuhan tidur yang cukup, ditentukan selain
oleh jumlah faktor jam tidur (kuantitas tidur), juga oleh kedalaman tidur (kualitas
tidur).37

20

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti


lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan
aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur. Selain itu, menurut
Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak
menunjukkan berbagai tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah
dalam tidurnya. Kondisi kurang tidur pun banyak dijumpai pada mahasiswa. Bagi
mahasiswa, kurang tidur ini mempengaruhi kondisi kesehatan dan menyebabkan
banyak efek antara lain konsentrasi berkurang, penyakit banyak menyerang antara
lain terjadinya gangguan pencernaan termasuk dispepsia.37,38
Kebutuhan waktu tidur bagi setiap orang adalah berlainan, tergantung pada
kebiasaan yang dibawa selama perkembangannya menjelang dewasa, aktivitas
pekerjaan, usia, kondisi kesehatan dan lain sebagainya. Kebutuhan tidur pada
dewasa 6-9 jam untuk menjaga kesehatan, usia lanjut 5-8 jam untuk menjaga
kondisi fisik karena usia yang semakin senja mengakibatkan sebagian anggota
tubuh tidak dapat berfungsi optimal, maka untuk mencegah adanya penurunan
kesehatan dibutuhkan energi yang cukup dengan pola tidur yang sesuai. Waktu
tidur yang kurang dari kebutuhan dapat mempengaruhi sintesis protein yang
berperan dalam memperbaiki selsel yang rusak menjadi menurun. Kelelahan,
meningkatnya stres, kecemasan serta kurangnya konsentrasi dalam aktivitas
seharihari adalah akibat yang sering terjadi apabila waktu tidur tidak
tercukupi.38,39
2.5

Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak ada pengaruh antara tingkat strees, pola makan, dan kualitas tidur
dengan kejadian dispepsia pada masa ujian.
21

Ha : ada pengaruh antara tingkat strees, pola makan, dan kualitas tidur dengan
kejadian dispepsia pada masa ujian.
2.5
Kerangka Teori
2.6
Dasar Dasar Variabel pada Penelitian
Serangan dyspepsia dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah :
1. Tingkat strees dapat mempengaruhi frekuensi serangan dispepsia, dimana hal
tersebut dapat terjadi karena kecemasan, kelelahan, depresi atau stress
emosional. Ditemukan pasien-pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai
tingkat yang lebih tinggi keadaan kecemasannya, psikopathologi, depresi dan
keluhan somatik yang berbeda-beda.32
2. Pola makan khususnya pada masa ujian sangat berpengaruh pada dispepsia
yang bisa saja menyerang. Makanan-makanan yang merangsang saluran
pencernaan seperti makanan pedas, terlalu manis, terlalu asin atau asam perlu
dihindari, termasuk meminum minuman yang mengandung alkohol atau
kaffein seperti kopi. Keteraturan makan dan kecukupan gizi mahasiswa juga
berpengaruh terhadap timbulnya dispepsia.34
3. Kualitas tidur menentukan kualitas istirahat yang sangat berpengaruh bagi
kesehatan mahasiswa pada saat menghadapi ujian. Kondisi kurang tidur
banyak dijumpai pada mahasiswa. Bagi mahasiswa, kurang tidur ini
mempengaruhi kondisi kesehatan dan menyebabkan banyak efek antara lain
konsentrasi berkurang, penyakit banyak menyerang antara lain terjadinya
gangguan pencernaan termasuk dispepsia.38
2.8
Kerangka Konsep
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep variabel
yang diteliti sebagai berikut :

Tingkat
Stress

Frekuensi
Serangan
Dispepsia
pada
Mahasiswa FK
UMI angkatan

22

Pola
Makan
Kualitas
Tidur

Keterangan :
= Variabel independent

= Variabel dependent
Ser
ang
an
Gambar 3.1
Dys
Kerangka Konsep
pep
2.9 sia
Variabel Penelitian
pad
Variabel Bebas
a
Variabel
Mabebas dalam penelitian ini, yaitu :
has
a. Tingkat stress
iswmakan
b. Pola
c. Kualitas
Tidur
a
Variabel Terikat
FK terikat pada penelitian ini adalah frekuensi serangan dyspepsia pada masa
Variabel
UMI
ujian.ang
2.10 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
kat
anpenelitian ini, variabel yang diteliti didefinisikan sebagai berikut :
Dalam
201
0

23

1) Frekuensi Serangan Dispepsia

Frekuensi serangan dispepsia adalah berapa kali gejala subyektif dispepsia


pada 5 kali masa ujian.
Kriteria objektif :
Frekuensi tinggi(1)
: Jika mahasiswa angkatan 2010 FK UMI mengalami
Frekuensi rendah (2)

serangan dispepsia > 2 kali dalam 5 kali ujian


: Jika mahasiswa angkatan 2010 FK UMI mengalami

Tidak mengalami (3)

serangan dispepsia 2 kali dalam 5 kali ujian


: Jika mahasiswa angkatan 2010 FK UMI tidak

mengalami serangan dispepsia dalam 5 kali ujian.


2) Masa Ujian Angkatan 2010 FK UMI
Masa ujian adalah rentang waktu dimana mahasiswa harus menghadapi ujian
setiap blok, dalam hal ini dicatat 5 kali dalam ujian blok.
3) Jenis Kelamin
Sampel terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang mengalami
serangan dispepsia.
4) Tingkat stress
Tingkat stress adalah seberapa besar stress mempengaruhi frekuensi serangan
dispepsia yang dialami Mahasiswa FK UMI angkatan 2010 pada masa ujian
yang dapat mempengaruhi seseorang secara psikologis atau sosial, seperti
timbulnya kecemasan, kelelahan, depresi atau stress emosional. Untuk menilai
stressnya dinilai dari 10 nomor kuisioner dengan skoring :
Sering

=2

Kadang-kadang

=1

Tidak

=0

Jumlah nilai maksimal untuk tingkat stress adalah 20.

24

Kriteria Objektif :
Tingkat stress tinggi (1)

: Jika sering mengalami gejala subyektif stress


pada masa ujian. Dengan menjawab > 50 %
pertanyaan tentang tingkat stress.

Tingkat stress rendah (2)

: Jika

tidak

pernah

atau

kadang-kadang

mengalami gejala subyektif stress pada masa


ujian. Dengan menjawab 50 % pertanyaan
tentang tingkat stress.
5) Pola makan
Pola makan adalah suatu sistem, cara kerja atau usaha untuk mengkonsumsi
makanan. Dengan demikian, pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai
suatu cara atau usaha untuk melakukan kegiatan makan secara sehat. Jadi pola
makan juga ikut menentukan kesehatan bagi tubuh kita. Pola makan tidak
hanya mengartikan keteraturan jadual tetapi juga kualitas makanan dan
porsinya.
Untuk menilai pola makan dinilai dari 10 nomor kuisioner dengan dua jenis
pertanyaan :
Pertanyaan Positif :

Pertanyaan Negatif :

Ya

=1

Ya

=0

Tidak

=0

Tidak

=1

Jumlah nilai maksimal untuk pola makan adalah 10.

25

Kriteria Objektif
Pola makan sehat (1)

: Jika frekuensi makan teratur dan sering


mengkonsumsi menu sehat. Dengan menjawab
> 50 % pertanyaan tentang pola makan.

Pola makan tidak sehat (2) : Jika frekuensi makan tidak teratur sering
mengkonsumsi menu yang tidak sehat. Dengan
menjawab 50 % pertanyaan tentang pola
makan.
6) Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah tidur ideal yang yang tidak harus memiliki kuantitas
yang tinggi, seperti yang dikatakan oleh Carol Ash, direktur kesehatan Sleep
for Life, di Hillsboroughm N.J, tetapi dapat dinilai dari nyenyaknya tidur.
Untuk menilai kualitas tidur dinilai dari 10 nomor kuisioner dengan dua jenis
pertanyaan :
Pertanyaan Positif :

Pertanyaan Negatif :

Sering

=2

Sering

=0

Kadang-kadang

=1

Kadang-kadang

=1

Tidak

=0

Tidak

=2

Jumlah nilai maksimal untuk kualitas tidur adalah 20.


Kriteria Objektif
Baik (1)

: Jika merasa segar saat bangun tidur. Dengan menjawab >


50 % pertanyaan tentang kualitas tidur.

26

Tidak baik (2)

: Jika hanya kadang-kadang atau tidak merasa segar saat


bangun tidur. Dengan menjawab 50 % pertanyaan
tentang kualitas tidur.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mempelajari faktor-faktor yang


mempengaruhi frekuensi serangan dispepsia pada masa ujian mahasiswa FK UMI
angkatan 2010.
3.2

Lokasi dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran UMI ruang kelas

angkatan 2010
3.3
Populasi dan Sampel
1. Populasi

27

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subjek penelitian, yaitu


semua mahasiswa angkatan 2010 FK UMI. Populasi meliputi seluruh
karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek yang diteliti bukan hanya
jumlah obyek/subyek yang dipelajari.
2. Sampel
Sampel atau populasi studi merupakan hasil pemilihan studi dari populasi
untuk memperoleh karakteristik populasi. Sampel mencerminkan representativitas
karakter populasinya akan tetapi tidak berarti identik dengan seluruh karakter
populasi. Tetapi cukup identik dengan beberapa karakter populasi yang akan
dipelajari dalam penelitian. Teknik sampling merupakan proses seleksi sampel
yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada sehingga jumlah sampel
akan mewakili keseluruhan populasi yang ada Dalam penelitian ini sampelnya
adalah mahasiswa FK UMI angkatan 2010. Teknik samplingnya menggunakan
non probability/ non random sampling dengan cara total sampling (sampling
jenuh) yaitu menggunakan seluruh anggota populasi sebagai sampel.
3.4

Instrumen dan Penelitian


Dalam penelitian ini instrument yang digunakan adalah kuisioner (daftar

pertanyaan) dan Komputer dengan program Statistical Product and Service


Solution (SPSS), sebagai alat bantu dalam mengumpulkan data serta mengolah
data hasil penelitian.

28

BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1

Gambaran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muslim


Indonesia
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia (FK-UMI),

didirikan di Makassar, pada tanggal 8 Juni 1992. Sejak 21 tahun didirikannya,


FK UMI telah meluluskan 1.300 orang dokter. Awal berdirinya, FK UMI
memulai kegiatan akademik dengan jumlah yang sangat sedikit (45 orang)
hingga saat ini mampu menampung hingga lebih dari 1.250 mahasiswa yang
aktif baik di pre-klinik (tahapak akademik) dan klinik (tahap profesi).
Letaknya yang sangat strategis baik secara geografis maupun ekonomis,
mempunyai fasilitas Rumah Sakit Pendidikan sendiri (RS Ibnu Sina) yang
letaknya berhadapan dengan kampus UMI, menjadikan fakultas ini mempunyai
prospek yang sangat baik dalam konsep pengembangan keterampilan klinik,
pengenalan lebih dini dengan masalah klinik, dan pelayanan kesehatan primer
di masa mendatang.
Berikut uraian tentang gambaran umum Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia:
1. Nama Fakultas

: Fakultas Kedokteran

2. Alamat

: Jln.Urip Sumoharjo km.5 Makassar

3. No.Telp/fax

: (0411) 443280 / (0411) 432730


29

4. Kota

: Makassar

5. Provinsi

: Sulawesi Selatan

4.2

Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia


Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia periode

sekarang adalah :
1. Dekan

: Prof.dr.H. Syarifuddin Wahid, PhD, Sp.PA (K), Sp.F,


DFM

2. Wakil Dekan I

: Dr.dr.Hj. Siti Maisuri T. Chalid, Sp.OG(K)

3. Wakil Dekan II

: dr.Hj. Suliati P. Amir, Sp.M

4. Wakil Dekan III

: Dr.dr.H. Nasrudin A. M, Sp.OG

5. Wakil Dekan IV

: Drs. Muh. Said P, M.Ag

4.3

Visi dan Misi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Adapun visi dan misi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia


adalah sebagai berikut :
Visi:

Menjadi program studi yang menghasilkan dokter yang bermutu,


bermartabat dengan dijiwai nilai-nilai islam, mengabdi kepada
kepentingan umat dan kemakmuran bangsa secara berkelanjutan
melalui penerapan prinsip tata kelola tang baik.

Misi : 1. Meningkatkan mutu kegiatan Tti Dharma Perguruan Tinggi


berlandaskan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) dan
nilai-nilai islam.

30

2. Mengembangkan dan memperkuat manajemen program studi yang


mandiri, berkarakter dan mempunyai tata kelola yang baik.
3. Meningkatkan

kompetensi

segenap

civitas

akademika

yang

bercirikan profesionalitas dan bermartabat.


4.4

Sarana dan Prasarana Fakultas Kedokteran Universitas Muslim


Indonesia
Gedung berlantai IV yang dilengkapi AC, sound system, multimedia,

dan CCTV, terdiri atas : Ruang kuliah, ruang Computer Based Test (CBT),
Clinical Skill Laboratory (CSL), ruang Problem Based Learning (PBL),
laboratorium

terpadu,

laboratorium

anatomi,

laboratorium

komputer,

perpustakaan, ruang senat Ibnu Sina, Aula Aisyah, ruang Medical Education
Unit, ruang dosen, Rumah Sakit Pendidikan Ibnu Sina, ruang Clinical
Education Unit (CEU), kantin, Gedung Student Center dan sarana olahraga.
4.5

Staf Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia saat ini memiliki

dosen dengan kompetensi ahli di bidangnya masing-masing. Dan didukung


oleh 40 Orang guru besar, 51 dosen begelar doktoral/PhD, 21 dokter setingkat
master, 50 orang dokter spesialis 2, 59 orang dokter spesialis 1, sebanyak 85
orang dosen tetap, dan tenaga dosen luar biasa dari Departemen Kesehatan.

31

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1

Hasil Penelitian
Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan pada tanggal

2 Januari 2014 4 Januari 2014 pada Mahasiswa Fakultas`Kedokteran UMI,


dengan jumlah responden yang mengisi kuisioner adalah sebanyak 147 orang
responden. Berdasarkan jawaban kuisioner yang telah dikumpulkan dan dianalisa,
maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan dibawah ini.
5.1.1 Karakteristik Umum Responden
Tabel 5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin
Jumlah

Persentase (%)

19 20

27

18.4

21 22

116

78.9

23 24

2.7

Jenis

Laki Laki

40

27.2

Kelamin

Perempuan

107

72.8

147

100.0

Umur

Total
sumber

: Data Primer

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden terbanyak pada kelompok umur


21-22 tahun, yaitu sebanyak 116 orang (78,9%), kemudian mahasiswa dengan
kelompok 19-20 tahun, yaitu sebanyak 27 orang (18,4%), dan kelompok umur
23-24 tahun dengan jumlah 4 orang (2,7%). Dari tabel tesebut juga menunjukkan
bahwa responden terbanyak adalah responden dengan jenis kelamin perempuan,
yaitu sebanyak 107 orang (72,8%), dan responden laki laki sebanyak 40 orang
(27,2%).
32

5.1.2 Frekuensi Dispepsia


Tabel 5.2.
Distribusi Frekuensi Serangan Dispepsia Pada Masa
Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
Frekuensi
Tinggi
Rendah
Tidak Mengalami
Total
sumber

Jumlah
62
44
41
147

Persentase (%)
42.2
29.9
27.9
100.0

: Data Primer

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa subjek yang mengalami dispepsia adalah


berjumlah 106 orang (72,1%), dimana subjek yang mengalami serangan dispepsia
frekuensi tinggi yaitu sebanyak 62 orang (42,2%) dan subjek yang mengalami
serangan dispepsia frekuensi rendah sebanyak 44 orang (29,9%). Sementara
subjek yang tidak mengalami dispepsia berjumlah 41 orang (27,9%).

5.1.3 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Dispepsia


1. Tingkat Stres
Tabel 5.3. Distribusi Tingkat Stres pada Masa Ujian Fakultas
Kedokteran UMI Angkatan 2010

sumber

Tingkat Stres
Tinggi

Jumlah
81

Persentase (%)
55.1

Rendah
Total

66
147

44.9
100.0

: Data Primer

33

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa mempunyai


tingkat stress yang tinggi pada masa ujian yaitu sebanyak 81 orang (55,1%), dan
sebagian kecil mahasiswa mempunyai tingkat stress yang rendah pada masa ujian
dengan jumlah 66 orang (44,9%).
2. Pola Makan
Tabel 5.4. Distribusi Pola Makan pada Masa Ujian Fakultas Kedokteran
UMI Angkatan 2010
Pola makan
Sehat
Tidak Sehat
Total

Jumlah
61
86
147

Persentase (%)
41.5
58.5
100.0

sumber : Data Primer

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa mempunyai pola


makan yang tidak sehat yaitu sebanyak 86 orang (58,5%), dan sebagian kecil
mahasiswa mempunyai pola makan yang sehat dengan jumlah 61 orang (41,5%).
3. Kualitas Tidur
Tabel 5.5.
Distribusi Kualitas Tidur pada Masa Ujian Fakultas
Kedokteran UMI Angkatan 2010
Kualitas Tidur
Baik
Jelek
Total

Jumlah
64
83
147

Persentase (%)
43.5
56.5
100.0

sumber : Data Primer

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa mempunyai


kualitas tidur yang jelek yaitu sebanyak 83 orang (56,5%), dan sebagian kecil
mahasiswa mempunyai kualitas tidur yang baik dengan jumlah 64 orang (43,5%).
5.1.4

Pengaruh Faktor Faktor yang Mempengaruhi Dispepsia

1. Pengaruh Pola Makan terhadap Dispepsia

34

Tabel 5.6. Pengaruh Tingkat Stress terhadap Dispepsia pada Masa Ujian
Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
Frekuensi Dispepsia
Tingkat
Stress

Tinggi
N

Tinggi

54

Rendah
Total

Rendah
%

Tidak
Mengalami
N
%

Total
N

81

55

36

55

66

45

41

28

147 100

67

N
22

27

12

22

33.0

62

42

44

30

P
value

0,000

0,621

Grafik 5.1. Pengaruh Tingkat Stress yang Tinggi terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010

Grafik 5.2. Pengaruh Tingkat Stress yang Rendah terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010

35

Dari hasil analisis uji korelasi sederhana dengan metode pearson seperti
terlihat pada tabel 5.6 didapatkan 54 orang dengan frekuensi dispepsia tinggi
disertai tingkat stress tinggi, 22 orang dengan frekuensi dispepsia rendah disertai
tingkat stress tinggi, dan 5 orang tidak menglami dispepsia dengan tingkat stress
tinggi. Pada 66 orang dengan tingkat stres rendah didapatkan 8 orang memiliki
frekuensi serangan dispepsia tinggi, 22 orang memiliki serangan dispepsia rendah,
dan 36 orang tidak mengalami serangan dispepsia. Korelasi antara frekuensi
serangan dispepsia dengan tingkat stress (r) adalah 0,621. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi serangan dispepsia dengan
tingkat stress. Sedangkan arah hubungan adalah positif karena nilai r positif,
berarti semakin tinggi tingkat stress maka semakin meningkatkan frekuensi
serangan dispepsia.
2. Pengaruh Pola Makan terhadap Dispepsia
Tabel 5.7. Pengaruh Pola Makan terhadap Dispepsia pada Masa Ujian
Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010

36

Frekuensi Dispepsia
Pola
Makan
Sehat
Tidak
Sehat
Total

Tinggi
N
3
59
62

%
4,9
68,6
42,2

Rendah
N
23
21
44

%
37,7
24,4
29,9

Tidak
Mengalami
N
%
35 57,4
6
6,98
41

27,8

Total
N
61
86

41,5

147

58,5
100

P
value

0,000

-0,682

Grafik 5.3. Pengaruh Pola Makan yang Sehat terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010

Grafik 5.4. Pengaruh Pola Makan yang Tidak Sehat terhadap Dispepsia
pada Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010

37

Dari hasil analisis uji korelasi sederhana dengan metode pearson seperti
terlihat pada tabel 5.7 didapatkan 61 orang dengan pola makan sehat dan 86 orang
dengan pola makan tidak sehat. Dari 61 orang yang dinyatakan memiliki pola
makan yang sehat, didapatkan 3 orang dengan frekuensi serangan dispepsia tinggi,
23 orang frekuensi serangan dispepsia rendah, dan 35 orang tidak mengalami
serangan dispepsia. Korelasi antara frekuensi serangan dispepsia dengan pola
makan (r) adalah -0,682. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat
antara frekuensi serangan dispepsia dengan pola makan. Sedangkan arah
hubungan adalah negatif karena nilai r negatif, berarti semakin tidak sehat pola
makan maka semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.

3. Pengaruh Kualitas Tidur terhadap Dispepsia


Tabel 5.8 Pengaruh Kualitas Tidur terhadap Dispepsia pada Masa Ujian
Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
Frekuensi Dispepsia
Kualitas
Tidur
Baik
Tidak Baik
Total

Tinggi
N
5
57
62

%
7.8
68.7
42.2

Rendah
N
25
19
44

%
39.1
23.0
30.0

Total
Tidak
Mengalami
N
%
N
%
34 53.1
64 43,5
7
8.4
83 56,5
41 27.9 147 100.0

P
value

0,000

-0.635

Grafik 5.5. Pengaruh Kualitas Tidur yang Baik terhadap Dispepsia pada
Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010
38

Tabel 5.6. Pengaruh Kualitas Tidur yang Tidak Baik terhadap Dispepsia
pada Masa Ujian Fakultas Kedokteran UMI Angkatan 2010

39

Dari hasil analisis korelasi sederhana dengan metode pearson seperti


terlihat pada tabel 5.8 didapatkan 64 orang memiliki kualitas tidur baik an 83
orang memiliki kualitas tidr buruk. Dari 64 orang dengan kualitas tidur baik,
didapatkan 5 orang memiliki frekuensi serangan dispepsia tinggi, 25 orang
memiliki frekuensi serangan dispepsia rendah, dan 34 orang tidak mengalami
dispepsia. Dari 83 orang dengan kualitas tidur buruk, diperoleh 57 orang dengan
frekuensi serangan dispepsia tinggi, 19 orang dengan frekuensi serangan dispepsia
rendah, dan 7 orang tidak mengalami dispepsia. Korelasi antara frekuensi
serangan dispepsia dengan kualitas tidur (r) adalah -0,635. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi serangan dispepsia dengan
kualitas tidur. Sedangkan arah hubungan adalah negatif karena nilai r negatif,
berarti semakin tidak baik kualitas tidur maka semakin meningkatkan frekuensi
serangan dispepsia.

5.2
5.2.1

Pembahasan
Dispepsia
Dari hasi penelitian diperoleh bahwa sebagian besar mahasiswa

mengalami frekuensi serangan dispepsia yang tinggi (42,2%). El-Serag dan Talley
(2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan uninvestigated dyspepsia,
setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia fungsional. 17
Hal ini dapat dikategorikan sebagai dispepsia yang terjadi pada masa ujian disertai
dengan faktor-faktor yang mencetuskan munculnya dispepsia.
Menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut:

40

perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati,
yang berlangsung sedikitnya dalam tiga bulan terakhir, dengan awal mula gejala
sedikitnya timbul enam bulan sebelum diagnosis.10
Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini
masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan
terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti sekresi
asam lambung yang berlebihan, Helicobacter pylori, dismotilitas, ambang
rangsang persepsi, disfungsi autonom, aktivitas mioelektrik lambung, peranan
hormonal, diet dan faktor lingkungan, psikologis, serta factor genetik.11
5.2.2 Pengaruh Tingkat Stress terhadap Dispepsia

Dari hasil uji chi-square didapatkan p value < 0,05 yang berarti terdapat
hubungan antara tingkat stress dengan dispepsia. Berdasarkan uji korelasi dengan
metode pearson menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi
serangan dispepsia dengan tingkat stress. Semakin tinggi tingkat stress maka
semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.
Dari faktor psikologis, adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya
penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah
pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada
upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas.11
Morrel (1991) menyimpulkan keluhan dispepsia, merupakan keluhan yang
berarti dari pasien-pasien dengan adanya gangguan psikiatri, terutama anxietas,
depresi atau ciri kepribadian.29
41

5.2.3

Pengaruh Pola Makan terhadap Dispepsia


Dari hasil uji chi-square didapatkan p value < 0,05 yang berarti terdapat

hubungan antara pola makan dengan dispepsia. Berdasarkan uji korelasi dengan
metode pearson menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi
serangan dispepsia dengan pola makan. Semakin tidak sehat pola makan maka
semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.
Salah satu penyebab yang menimbulkan terjadinya dispepsia fungsional,
yaitu faktor diet dan lingkungan.33 Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering
terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibanding kasus kontrol.11
Makan tidak teratur, frekuensi makan 2 kali per hari, memiliki kebiasaan
minum minuman berkarbonasi atau minuman yang mengandung kafein seperti
kopi, dan mengkonsumsi lemak <30% akan lebih berisiko sering mengalami
gejala dispepsia.34
5.2.4

Pengaruh Kualitas Tidur terhadap Dispepsia


Dari hasil uji chi-square didapatkan p value < 0,05 yang berarti terdapat

hubungan antara kualitas tidur dengan dispepsia. Berdasarkan uji korelasi dengan
metode pearson menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara frekuensi
serangan dispepsia dengan kualitas tidur. Semakin tidak baik kualitas tidur maka
semakin meningkatkan frekuensi serangan dispepsia.
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti
lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan
aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur.
Menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan berbagai tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah
dalam tidurnya. Kondisi kurang tidur pun banyak dijumpai pada mahasiswa. Bagi

42

mahasiswa, kurang tidur ini mempengaruhi kondisi kesehatan dan menyebabkan


banyak efek antara lain konsentrasi berkurang, penyakit banyak menyerang antara
lain terjadinya gangguan pencernaan termasuk dispepsia.37,38

BAB VI
PENUTUP
6.1

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis

menyimpulkan bahwa,
1. Frekuensi serangan dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI
angkatan 2010 yang paling dominan

adalah

yang mengalami serangan

dispepsia frekuensi tinggi pada masa ujian.


2. Tingkat stress sangat berpengaruh terhadap terjadinya serangan dispepsia pada
masa ujian.
3. Pola makan sangat berpengaruh terhadap terjadinya serangan dispepsia pada
masa ujian.
4. Kualitas tidur sangat berpengaruh terhadap terjadinya serangan dispepsia pada
masa ujian.
6.2

Saran

1. Bagi Mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI

43

Agar

dapat

memahami

tentang

dispepsia

dengan

mengelola

dan

mengendalikan penyebab dispepsia dan dapat menghindari serta mencegah


serangan dispepsia pada masa ujian dengan meningkatkan kualitas belajar dan
kesiapan fisik dalam menghadapi ujian melalui belajar lebih dulu sebelum
ujian, menjaga frekuensi makan dengan baik dan tetap teratur, mengkonsumsi
makanan yang sehat, serta memiliki tidur yang cukup dan berkualitas pada
masa ujian.
2. Pimpinan dan Dosen Fakultas Kedokteran UMI
Agar dapat lebih berpartisipasi aktif dalam memberikan informasi tentang
dispepsia, cara mencegah, menangani dan mengelola dispepsia.
3. Instansi Pemerintah Kota Makassar
Lebih meningkatkan kualitas kinerja program kesehatan yang ada di kota
Makassar terutama memberikan informasi tentang dispepsia.
4. Bagi penelitian lain
Sebagai data pendukung bagi peneliti lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
44

1.

Manan C. Sindrom Dispepsia. Dalam: Mansyur M. ed. Dispepsia. Jakarta:


Yayasan Penerbit IDI, 2004.

2.

Friedman HH, Mehta SJ, Indigestion, Gaseousness and Flatulence. Dalam:


Problem-Oriented Medical Diagnosis. Boston/Toronto: Little, Brown and
Company, 2008.

3.

Soemanto R. Gangguan Gastro Intestinal Yang Berhubungan Dengan


Emosi. Simposium Penatalaksanaan Gangguan Psikosomatik, Surabaya, 19
Januari 2005

4.

Manan C. Penyakit-penyakit yang Berhubungan Dengan Asam Lambung.


Simposium New Perspective in the Management of Acid Related Disease,
Surabaya, 15 September 2007.

5.

Adi P, Wasiati N, Soeroso Y, Oesman N. Terapi Penderita Dispepsia


Pemakai Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Pertemuan Ilmiah
Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15
September 2007.

6.

Lambert JR. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia A


Debate for. Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of North
America. Philadelphia: W.B. Saunders, 2003.

7.

Soemoharjo S. Mengenal Lebih Dekat Helicobacter Pylori Dan Penyakit


Gastroduodenal. Mataram, 2007.

45

8.

Mc. Callum RW. Evolving Approach to Dyspepsia and Nonulcer


Dyspepsia. Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI,
PEGI. Surabaya, 15 September 2007.

9.

Bonner GF. Upper gastrointestinal evaluation related to the pelvic fl oor.


In: Davila GW, Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor Dysfunction.
1st ed. Springer-Verlag London Limited;2006. p. 67-8.

10.

Talley NJ, Colin-Jones D, Koch KL, Koch M, Nyren O, Stanghellini V.


Functional dyspepsia: a classifi cation with guidelines for diagnosis and
management. Gastroenterol Int. 1991;4:145.

11.

Djojodiningrat D. Dispepsia fungsional. In: Sudoyo AW, Setyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 354-6.

12.

Halder SL, Locke GR 3rd, Schleck CD, Zinsmeister AR, Melton LJ 3rd,
Talley NJ. Natural history of functional gastrointestinal disorders: a 12-year
longitudinal population-based study. Gastroenterology.2007;133:799-807.

13.

Lacy BE, Talley NJ, Camilleri M. Functional dyspepsia: Time to change


clinical trial design. Am J Gastroenterol. 2010;105:2525-9.

14.

Dahlerup S, Andersen RC, Nielsen BS, Schjodt I, Christensen LA, Gerdes


LU, et al. First-time urea breath tests performed at home by 36,629 patients: a
study of Helicobacter pylori prevalence in primary care. Helicobacter.
2011;16(6):468-74.

46

15.

Montalto M, Santoro L, Vastola M, Curigliano V, Cammarota G, Manna R,


et al. Functional dyspepsia: defi nition, classifi cation, clinical and therapeutic
management. [Article in Italian]. AnnItal Med Int. 2004 Apr-Jun;19(2):84-9.

16.

Quigley EM, Keohane J. Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol. 2008;


24:692-7.

17.

El-Serag HB, Talley NJ. Systematic review: the prevalence and clinical
course of functional dyspepsia. Aliment Pharmacol Ther. 2004;19:643-54.

18.

Talley NJ, Haque M, Wyeth JW, Stace NH, Tytgat GN, Stanghellini V, et
al. Development of a new dyspepsia impact scale: the Nepean Dyspepsia
Index. Ailment Pharmacol Ther.1999;13(2):225-35.

19.

Appendix B: Rome III Diagnostic criteria for functional gastrointestinal


disorders. Am J Gastroenterol. 2010;105:798801.

20.

Tack J, Bisschops R, Sarnelli G. Pathophysiology and treatment of


functional dyspepsia. Gastroenterology. 2004;127:1239-55.

21.

Sulaiman. A, 1990. Gastroenterologi Hepatologi. CV. Agung Seto, Jakarta

22.

Tehuteru. SE, 2004. Penatalaksanaan Infeksi Helicobacter Pylori Pada


Anak. Majalah Kedokteran Trisakti, Universa Medicine Volume 23 No.23

23.

Oswari. E, 2003. Penyakit dan Penanggulangannya. Percetakan Gaya


Baru, Jakarta

24.

Friedman. S, 2003. Current Diagnosis And Treatment In Gastroenterology.


Mc Graw Companies, United States

25.

Declan Wash. T, 2001. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta

47

26.

Rice, P.L. (1998). Stress and health. Third Edition. Moorhead State
University: Brooks/Cole Publishing Company.

27.

Rice, P.L. (1998). Stress and health. Third Edition. Moorhead State
University: Brooks/Cole Publishing Company.

28.

Prabowo,

H.

(1998).

Pengantar

psikologi

lingkungan.

Jakarta:

Gunadarma.
29.

Llyod G.G. : Depression and Gastrointestinal and Liver Disorders in


Depression and physical Illness, Vol.6, John Wiley & Sons, England, 1997:
293 302.

30.

Kaplan H.I., Sadock B.J., Grebb J.A. : Mood disorder in synopsis of


Psychiatry,VIIth Edition, Baltimore, Williams and Wilkins, 1995 : 516-55

31.

Mudjadid E. : Permasalahan Gangguan psikomatik Dalam Ruang Lingkup


Penyakit Dalam, Simposium Gangguan Psikomatik di Bidang Penyakit
dalam.Medan, Juni 2001, : 1 8.

32.

T.T. Haug, et all.: Live events and stress in patient with Functional
Dispepsia compare with patients with Duodenal Ulcer and Healthy Control,
Scand.Journal Gastroenterology no.30(6), 1995: 524 430.

33.

Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional.Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam.


Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 2009. hlm. 529-532.

34.

Haapalahti M, Mykkanen H, Tikkanen S, Kokkonen J. Food habits in 10


11-year-old children with functionalgastro-intestinal disorders. European
Journal of Clinical Nutrition. 2004; 58 : 10161021.

35.

Kelly, T. 2005. Rahasia Alami Tidur yang Berkualitas. Jakarta: Erlangga.

48

36.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2007. Aktivitas Otak-Tidur. Dalam Buku Ajar
Fisiologi kedokteran-ed.9. Jakarta: EGC.

37.

Lanywati, E. 2001. Insomnia, Gangguan Sulit Tidur. Jakarta: EGC.

38.

Lee, K.A. 1997. An Overview of Sleep and Common Sleep Problems.


ANNA Journal.

39.

Czeisler, C.A., Richardson, G.S., Martin, J.B. 1999. Gangguan Tidur dan
Irama Sirkadian. Jakarta: EGC.

49

Anda mungkin juga menyukai