Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ISBN : 978-602-7509-50-4
Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra
Aditya Bakti. Hlm. 69.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan
Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hlm. 116
3
Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam jurnal kajian
putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Hlm. 67.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Hlm. 6
5
Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 157
6
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang. Hlm. 20.
ISBN : 978-602-7509-50-4
dalam sistem peradilan pidana?; dan (2) Bagaimanakah penegakan hukum tindak
pidana korupsi oleh KPK dalam era reformasi?
II. Pembahasan
1.
ISBN : 978-602-7509-50-4
penegak hukum yang lain. Oleh karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi sering
disebut sebagai lembaga yang super body.
Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Yang dimaksud kekuasaan manapun adalah kekuatan
yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau
anggota Komisi secara indivudial dari pihak eksekutif, legislative, pihak-pihak lain
yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dari situasi ataupun
dengan alasan apapun. Sedangkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Melihat kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi seperti diuraikan di atas
terlihat bahwa lembaga ini memiliki independensi yang lebih dibanding dengan
kepolisian dan kejaksaan. Padahal lembaga ini kewenangannya mencakup
kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yaitu berwenang untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi.
Kepolisian dan Kejaksaan relative kurang independen dalam melaksanakan tugasnya
karena kedua lembaga ini berada dalam struktur kekuasaan eksekutif, oleh karena itu
kedua lembaga ini akan mengalami suatu konflik antara fungsi dan tugas yudisial
dengan kepentingan politik, yaitu pada saat melaksanakan fungsi dan tugas
penegakan hukum berhadapan dengan adanya perintah dari pihak eksekutif yang
bertentangan dengan fungsi dan tugasnya tersebut.
Secara teoritis keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah merupakan
lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (Legislatively entrusted
power). Pembentukan Lembaga ini di era transisi pada prinsipnya akibat ketidak
percayaan masyarakat terhadap lembaga konvensional yang ada seperti kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini
terlihat dalam salah satu konsideran dibentuknya Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatakan bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dapat
diartikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kontek penegakan hukum
tindak pidana korupsi bersifat transisi saja dan akan berfungsi sebagai trigger
mechanism bagi lembaga konvensional untuk berbenah diri menghadapi tuntutan
reformasi. Ketika lembaga konvensional yang ada telah berhasil melakukan
pembenahan secara internal dan mulai mendapatkan kepercayaan kembali oleh
masyarakat sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan, namun
sebaliknya apabila Lembaga konvensional tersebut tidak mampu memperbaiki
kinerjanya dalam pemberantasan korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap
dipertahankan.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi apabila dilihat dari sudut desain
kelembagaan masuk dalam kerangka proportional model yaitu merupakan desain
ISBN : 978-602-7509-50-4
George Junus Aditjondro. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang
Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta. Hlm. 35.
8
Muladi. 1995. Ibid. Hlm. 16.
ISBN : 978-602-7509-50-4
terdiri dari fungsi-fungsi yang dimiliki oleh sub sistem peradilan pidana seperti
fungsi penyelidikan dan penyidikan, fungsi penuntutan, dan fungsi mengadili. Fungsi
mengadili ada pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang
keberadaannya didasarkan pada Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Dalam Era Reformasi
Penegakan hukum pidana yang menurut Barda Nawawi Arief identik dengan
fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum
pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana
dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana
yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana. 9 Apabila
dikaitkan dengan pendapat Lawrence Friedman10 tentang sistem hukum yang terdiri
dari subsansi, struktur dan kultur hukum maka penegakan hukum pidana adalah
merupakan upaya untuk membuat substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Penegakan hukum tindak pidana
korupsi dapat diartikan pula sebagai konkritisasi terhadap sistem hukum yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu usaha untuk mewujudkan substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi secara konkret.
Substansi hukum yang berkaitan dengan upaya pemberatasan tindak pidana
korupsi yang pertama kali muncul sejak reformasi dan dimulainya masa transisi dari
kehidupan politik yang otoriter menuju kehidupan politik yang demokratis adalah di
keluarkannya Tap MPR. No. IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian, dalam kurun
waktu kurang dari setahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru
mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang
professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah
untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan
adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas
Negara.11
Perbedaan utama antara kedua Ketetapan MPR tadi adalah bahwa ketetapan
bulan November 1999 menyebut nama bekas presiden Republik Indonesia yang
kedua. Butir (d) ketetapan itu menyatakan bahwa Usaha-usaha untuk
menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme mesti dilakukan melalui investigasi
terhadap semua orang yang dicurigai melakukan praktek-praktek tersebut, baik itu
bekas pejabat atau pejabat yang sekarang, keluarga dan teman-teman mereka,
termasuk bekas presiden Soeharto, atau dari sector swasta/konlomerat, dengan tetap
berpegang pada prinsip asumsi tak bersalah dan hak asasi manusia. 12
ISBN : 978-602-7509-50-4
Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dijadikan landasan hukum pembentukan
undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yaitu dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam bagian
mengingat kedua undang-undang tersebut menyebutkan salah satunya adalah Tap
MPR No. IX/MPR/1998.
Produk perundang-undangan lain yang merupakan respon terhadap tuntutan
reformasi dalam rangka pemberantasan korupsi adalah :
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
d. Disamping itu juga ada TIMTAS Tipikor yang dipimpin oleh JAMPIDSUS waktu
itu yaitu Hendarman Supanji yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Korupsi.
Pembentukan perundangan-undangan menunjukkan adanya respon positif
dari penyelenggara Negara baik eksekutif maupun legislatif untuk mengakomodir
semangat masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kondisi
demikian merupakan konsekuensi logis adanya perubahan kehidupan politik yang
mengarah pada kehidupan politik yang demokratis pada era reformasi baik itu ketika
rezim Habibie, Megawati, Gus Dur maupun SBY yang sedang berkuasa.
Melihat pada penjelasan di atas tampak bahwa secara substantive telah ada
upaya positif untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun
demikian apabila dicermati substansi dari beberapa peraturan perundang-undangan
yang ada menunjukkan adanya upaya setengah hati dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Hal ini terlihat dari tidak dicantumkannya ketentuan peralihan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebelum di rubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan
bahwa pelaku tindak pidana yang diadili pada saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 masih berlaku tapi belum di sidangkan tidak dapat diadili. Kasus nyata
mengenai ketidakjelasan antara Undang-undang yang lama menuju undang-undang
yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus
penuntutan terhadap Hakim Mahkamah Agung yang di dakwa menerima
suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut oleh Penuntut Umum
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tetapi dakwaan itu tidak dapat
ISBN : 978-602-7509-50-4
diterima oleh hakim karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 oleh Pasal 44
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.13
Adapun ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahu 1999 sebagai berikut:
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan
tidk berlaku.
Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tidak dapat diterapkan karena dalam hukum pidana berlaku asas retro aktif yang
merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Dalam Hukum pidana asas ini merupakan
asas yang fundamental dan essensial.14 Asas ini di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
yang menentukan tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya.15Asas
Legalitas, sebagaimana karakter aslinya, mengandung tujuh aspek yang dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undangundang;
b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;
c. tidak dipidana hanya berdasar kebiasaan;
d. Tidak ada rumusan delik yang kuran jelas (syarat lex certa);
e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
f. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan dalam undang-undang; dan
g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.16
Respon positif dari penyelenggara Negara baik dari eksekutif maupun
legislatif terhadap tuntutan reformasi ternyata melahirkan hukum (Undang-Undang)
yang tidak mencerminkan keadilan masyarakat dan dalam hal tertentu kebutuhan
membangun hukum dan perundang-undangan memang seringkali merupakan
permainan politik elit.17 Hal ini menimbulkan kesan adanya upaya setengah hati
dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi, karena para koruptor yang telah
berhasil mengeruk uang rakyat yang dilakukan pada masa berlakunya undangundang Nomor 3 Tahun 1971 terlepas dari jerat hukum.
Upaya pemberantasan korupsi di era reformasi menampakan adanya rivalitas
antara pihak yang mempunyai semangat memberantas korupsi dengan pihak-pihak
yang menghendaki status quo. Rivalitas ini terlihat adanya berbagai upaya untuk
13
ISBN : 978-602-7509-50-4
menghambat upaya pemberantasan Korupsi. Dalam kerangka pikir dalam sub bab di
atas telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong dalam
extraordinary crime maka upaya-upaya yang dilakukan untuk memberantas tindak
pidana korupsi harus secara luar biasa pula. Salah satu upayanya yaitu dengan
membentuk instrument hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument),
sepanjang instrument yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan atau
menyimpang dengan pelbagai standar yang berlaku secara universal.18
Berbagai instrument hukum yang luar biasa telah di keluarkan, diantaranya
adanya amanat dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 43 ayat (1) yang memberikan
amanat agar dalam waktu 2 (dua) Tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Struktur Hukum dalam
sistem hukum pemberantasan korupsi berupa Komisi Pemberantasan Korupsi
merupakan salah satu instrument hukum yang luar biasa dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dikatakan luar biasa karena lembaga ini mempunyai
kewenangan yang sangat besar dalam upayanya melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Selain itu dalam Pasal 27 Undang-undang tersebutpun ada amanah
untuk membentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung dalam hal
ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Penyelesaian perkara
korupsi yang harus didahulukan dibanding perkara-perkara yang lain sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 25.
Adanya prioritas dalam penyelesaian perkara korupsi dibanding dengan
perkara lainnya adalah juga instrument hukum yang luar biasa karena menurut
Harkristuti Harkrisnowo19 bahwa:
a. Kasus korupsi harus didahulukan dalam proses peradilan pidana dibanding
dengan kasus-kasus lainnya, dan;
b. Kasus korupsi harus didahulukan dari kasus ikutan yang berkenaan dengan
korupsi tersebut (misalnya, pencemaran nama baik).
Makna yang dikandung dalam ketentuan ini sudah sangat jelas, yakni bahwa:
a. Kasus korupsi merupakan kasus yang sangat merugikan Negara dan masyarakat
Indonesia, karenanya harus didahulukan;
b. Kasus korupsi harus ditempatkan dalam prioritas tertinggi dalam agenda para
penegak hukum, dan
c. Dituntut keseriusan dari para penegak hukum untuk secara sungguh-sungguh
menjalankan tugasnya itu melakukan proses peradilan terhadap korupsi. 20
18
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
22
Satjipto Rahardjo.1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung. Hlm. 82.
23
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 23 Maret 2001, Varia Peradilan Tahun 2001
Jimly Asshiddiqie, Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP
No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan Pengadfilan.
24
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi oleh KPK dalam sistem peradilan
pidana menunjukkan adanya persaingan antara pihak-pihak yang ingin
mempertahankan status quo (keadaan tetap seperti semula) dan pihak-pihak yang
menghendaki adanya upaya yang maksimal dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. Oleh karena itu penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terlihat
secara setengah hati. Kesimpulan demikian terlihat dari adanya berbagai upaya
penghambatan terhadap gerak laju pemberantasan tindak pidana korupsi seperti tidak
mencatumkan aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; adanya upaya judicial review
terhadap lembaga-lembaga super body yang mempunyai kewenangan yang luar biasa
dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti judicial review
terhadap TGTPK dan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; keengganan
lembaga legislatif untuk melakukan pembahasan terhadap RUU Tipikor; dan
dihapuskannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi
oleh Mahkamah Konstitusi.
B. Saran
1.
2.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam
MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan
Aksara. Yogyakarta.
Arief, Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung.
Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji
Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan
Pengadfilan.
Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi
Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial.
Hamzah, 2005. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam
jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1.
Moeljatno, 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum
Pidana. Citra Aditya Bakti.
Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan
Kritik Idiologi. Nuansa. Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta.
----------------. 1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung.
Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta.
Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 Tentang
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
B. Upaya luar biasa versus upaya melemahkan
Pemerintah telah menunjukkan iktikad baiknya dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi yang dapat dilihat dengan dikeluarkannya instrument hukum
sebagai landasan pemberatasan tindak pidana korupsi. Namun dalam pelaksanaannya
ternyata banyak kendala yang dihadapi sehingga terkesan adanya upaya setengah hati
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian pula dalam perjalanan upaya
pemberantasan tidak pidana korupsipun terkesan ada upaya-upaya yang
melemahkannya Hal ini dapat dilihat dengan tidak mencantumkannya ketentuan
peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi sebelum dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001.
Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan
bahwa pelaku tindak pidana yang dilakukan pada saat Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 masih berlaku tapi belum disidangkan tidak dapat di adili.
Kasus nyata mengenai ketidak jelasan transisi atau adanya perubahan antara
undang-undang yang lama menuju undang-undang yang baru tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus penuntutan terhadap Hakim Mahkamah
Agung yang di dakwa menerima suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut
oleh Penuntut Umum berdasarkan Undang-undng Nomor 3 Tahun 1971, tetapi
dakwaan itu tidak dapat diterima oleh hakim karena Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 oleh Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 Pasal 44 sudah dinyatakan tidak
berlaku, sedangkan undang-undang yang baru yaitu undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tidak dapat diterapkan dengan alasan tidak boleh berlaku surut (retro aktif).
Padahal apabila dicermati lebih jauh dalam hukum pidana dikenal asas lex specialis
derogat legi generale. Berdasarkan asas tersebut sebetulnya ketika undang-undang
yang baru tidak mengatur pasal peralihan hendaknya dikembalikan kepada ketentuan
yang bersifat umum yaitu ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam
perundang-undangan sesudah tindak pidana terjadi, dipakai undang-undang yang
paling menguntungkan / meringankan terdakwa. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada
alasan untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika UU
Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku.
Tindakan lain yang dipandang sebagai upaya pelemahan upaya pemberantasan
korupsi adalah adanya upaya yudicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2000 tentang TGTPK yang mengabulkan permohonan pemohon. Keputusan
yang mengabulkan permohonan pemohon yudicial review bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat. Karena Mahkamah Agung lebih mengutamakan rechtsmatigheid
(kepastian hukum) dibandingkan prinsip yang lain yaitu doelmatigheid (tujuan
hukum). Padahal hukum didalamnya mengandung tujuan yang hendak dicapai, yang
diidealkan memberi manfaat bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai, tujuan
atau manfaat tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara
dan prosedur yang bersifat tekhnis.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
sengaja serta putusan bebas itu terjadi karena kesengajaan hakim dengan memainkan
hukum maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi.
Dalam hal putusan bebas terjadi karena lemahnya pembuktian yang terjadi
tanpa kesengajaan, kesalahan terjadi pada tahap pemeriksaan di luar pengadilan yaitu
tahap penyidikan maupun penuntutan. Penyidik dan penuntut umum tidak dapat
mencari alat bukti yang kuat guna mendukung pembuktian sehingga ketika di uji di
depan pengadilan dakwaannya lemah. Dalam hal demikian hakim harus menjatuhkan
putusan bebas walaupun persepsi yang ada di masyarakat berbeda. Hakim bukanlah
alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum. Ketika penuntut umum
tidak bisa membuktikan hakim harus berani memutus bebas. Oleh karena itu dalam
kondisi yang demikian yang dikritisi/di eksaminasi jangan hanya lembaga pengadilan
saja melainkan lembaga penuntut umum dan lembaga penyidikan. Kecuali kalau
putusan bebas itu karena kesengajaan hakim dengan cara memainkan hukum.
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan, sedangkan Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut di duga sebagai pelaku tindak
pidana. Pengertian di muka menunjukkan bahwa tersangkapun dapat juga dikatakan
sebagai orang yang belum tentu bersalah karena baru dugaan saja dan pada prinsipnya
terdakwa adalah tersangka sehingga terdakwapun juga orang yang belum tentu
bersalah Oleh karena itu sesuai asas presumption of innocence tersangka maupun
terdakwa wajib diperlakukan layaknya seperti orang yang belum bersalah dengan cara
menghormati hak-hak tersangka atau terdakwa yang diberikan oleh undang-undang.
Hal ini berarti kalau alat-alat bukti yang di ajukan untuk mendukung pembuktian
lemah mengakibatkan dugaan itu salah demikian juga sebaliknya.
Tugas hakim adalah memeriksa perkara, mengadili dan menjatuhkan putusan
bukan sebagai alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, sehingga
hakim tidak harus memenuhi tuntutan jaksa, karena jaksa dan terdakwaa adalah para
pihak yang diadili oleh hakim. Hakim berada di tengah-tengah para pihak.dan
memeriksa secara objektif dan professional. Seorang tersangka yang dihadapkan ke
pengadilan belum tentu bersalah, oleh karena itu KUHAP telah menyediakan tiga
bentuk putusan dalam perkara pidana, yaitu pemidanaan, putusan bebas (virjspraak),
lepas dari segala tuntutan hukum (onlsag van alle rechtsvervolging).
Seorang terdakwa dimana perbuatan yang didakwakan bisa dibuktikan oleh
jaksa penuntut umum dengan di dukung oleh alat bukti yang sah dan minimum alat
bukti yang ditentukan undang-undang telah terpenuhi serta hakim yakin harus, di
kenakan pemidanaan. Sebaliknya apabila jaksa penuntut umum tidak dapat
membuktikan kesalahan terdakwa maka harus di putus bebas (vrijspraak), sedangkan
kalau perbuatan terdakwa terbukti namun ternyata bukan tindak pidana, atau ada
alasan pemaaf maupun pembenar kepada terdakwa dapat dijatuhkan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
C. Simpulan
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary
crime) oleh karena itu perlu upaya yang luar biasa (extra ordinary legal instrumen)
pula dalam memberantas tindak pidana korupsi.. Penggunaan upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi secara luar biasa hendaknya jangan mengurangi indepensi
hakim dalam menjalankan tugasnya, memeriksa, mengadili dan menjatuhkan
ISBN : 978-602-7509-50-4
keputusan. Hakim tidak bisa di salahkan ketika telah melaksanakan tugasnya secara
objektif dan professional kemudian menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa
korupsi, sebaliknya kalau putusan bebas tersebut terjadi karena adanya kesengajaan
melemahkan dakwaan oleh jaksa penuntut umum maupun karena ada ketidak
profesionalan hakim maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Daftar Pustaka
Serikat putra Jaya, Nyoman. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum
Pidana, 2008, Citra Aditya Bakti;
Junus Aditjondro, George. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencuri
Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku I di terbitkan oleh Yayasan
Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2002;
Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review Kajian atas putusan Permohonan Hak Uji Materiil
terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK dalam jurnal kajian putusan
pengadilan DICTUM, L e l P 1;
Soetarto, Soerjono. Hukum Acara Pidana, 1995, Badan Penerbit Universitas Diponegoro;
Samosir, C. Djisman, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, 1986, Bina Cipta;
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
ISBN : 978-602-7509-50-4
I. Pendahuluan
Pada akhir-akhir ini wajah penegakan hukum sangat carut marut, gambaran
demikian ini mengilustrasikan bahwa penegakan hukum sangat sulit untuk diwujudkan
sebagaimana yang dicita-citakan oleh masyarakat. Carut marutnya penegakan hukum
menggambarkan betapa para aparat penegak hukum (law enforcement officials)
disetiap subsistem peradilan dan mereka yang berada di luar subsistem tersebut
terlibat di dalamnya dalam jual beli keadilan (hukum). Menurut hukum mereka yang
ikut dalam kegiatan jual beli dikenal dan bahkan diakui dan dilindungi keberadaanya
sesuai dengan kaidah hukum dagang yang berlaku di Indonesia yaitu sebagai makelar
atau komisioner. Tetapi mengenai perantara (makelar) yang melakukan jual beli
keadilan (hukum) yang selanjutnya dikenal sebagai markus (makelar kasus) dalam
proses penegakan hukum dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Melakukan
kegiatan jual beli hukum oleh penegak hukum termasuk perantaranya (makelar) pada
akhir-akhir ini menjadi marak diperbincangkan dan terbuka secara umum diawali
kasus cicak versus buaya kemudian mangkin menghangat dengan timbulnya kasus
S j versus S D yang mengilustrasikan betapa keterlibatan institusi dan aparat
penegak hukum dalam proses penegakan hukum baik Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, dan Pengacara/advokad bahkan subjek hukum yang berada di luar sistem
peradilan pidana.
Makelar kasus (markus) pada hakikatnya mencerminkan pengertian intervensi
terhadap suatu proses administrasi peradilan, dalam hal ini proses penegakan hukum.
Berbeda dengan proses intervensi lainnya yang mungkin bertujuan positif, markus
berkonotasi negative, yaitu dengan cara memenangkan klien dengan segala cara
demi mencapai kepentingan dan tujuan dari orang yang diperantarainya. Perlu digaris
bawahi bahwa target markus tidak selalu harus berupa tindakan yang menyimpang
dari hukum, tetapi juga, seperti dalam dunia perdagangan, tampil sebagai makelar
yang profesional, dengan menjembatani kepentingan pihak-pihak terkait. Walau dalam
prakteknya sudah telanjur dipersepsikan jelek, markus tidak selalu membela yang
salah, tetapi juga membela yang benar (korban).
Uraian ini agar lebih fokus, maka dibatasi pada pembahasan markus dalam arti
yang negatif, yang berupaya melakukan intervensi untuk menghasilkan tindakan dari
penegak hukum dalam membuat keputusan, atau perlakuan pejabat penegak hukum
yang menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku (rekayasa hukum). Tindakan
penegak hukum di sini mencakup seluruh rangkaian kegiatan, dari penyidikan
termasuk penangkapan, penahanan sampai penjatuhan putusan pengadilan. Proses
tersebut melibatkan seluruh tahapan roses peradilan, dan pejabat pada lembagalembaga publik yang menyelesaikan sengketa. Pemahaman atas markus juga harus
dibedakan dari sikap dan perbuatan pejabat penegak hukum yang menginisiasi
penyimpangan. Secara moral, tindakan mereka menuntut pertanggungjawaban yang
lebih berat karena mengkhianati profesi, sehingga dapat dikenakan dua bentuk
tindakan hukum, yaitu pelanggaran pidana dan kode etik.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Kerja sama antara markus dan pejabat yang diintervensi dibangun dengan
menggunakan instrumen barang dan/atau jasa, baik dalam bentuk tunai (uang/materi
lain) maupun janji, seperti promosi, mutasi ke tempat/jabatan basah, pendidikan dan
jabatan, bahkan jabatan sambilan pada dan/atau pemberian saham perusahaan. Pelaku
markus umumnya merupakan predikat untuk mereka yang biasa atau mencari nafkah
dengan pekerjaan memakelari kasus. Peranan tersebut umumnya dimainkan oleh
pengacara-pengacara namun dapat juga tidak selamanya sebagai pengacara, tetapi
yang penting memiliki kedudukan atau akses kepada pihak-pihak yang memiliki
wewenang untuk menyelesaikan kasus tersebut. Peranan markus dimainkan oleh
pengacara, pengusaha, dan orang biasa yang menjalin hubungan akrab dengan
petinggi hukum, kerja sama mereka dilakukan dengan modus-modus antara lain
mengurangi, mengatur, dan merekayasa berkas berita acara sehingga seolah-olah
dipersalahkan tetapi karena pembuktian lemah dapat dipastikan akan dibebaskan oleh
hakim, meringankan atau menghilangkan pasal yang dituduhkan, menerbitkan SP3
(surat perintah penghentian penyidikan) surat ketetapan penghentian penuntutan
SKPP), dan mem-peti-es-kan perkara. Pada tahap terakhir, target yang dituju adalah
hukuman bebas atau ringan, memenangkan perkara yang salah, penuntut umum tidak
melakukan upaya hukum, dan lain-lain. Dalam hal menyangkut imbalan (uang), kasus
yang biasanya di-makelar-kan adalah perkara dengan kerugian materi yang besar.
Semakin besar nilai materinya, semakin tinggi pejabat yang dilibatkan. Oleh karena itu
dalam praktik kasus yang dimarkuskan biasanya perkara yang yang memiliki multi
dimensi. Misalnya perkara yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) berdemensi money laundering, organized crime
ataupun corporate crime dimana pelaku dan perbuatanya digolongkan white collar
crime (WCC).
Perkara demikian ini memang sulit dan tidak mudah penegakan hukumnya
sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi (1993) disebabkan beberapa hal yaitu; low
visibility, complexity, diffusion of responsibility, diffusion of victimized. Constrain
detection and prosecution, ambigos laws, ambiguos offender. Kasus atau perkara yang
secara substansial dan formal sangat sulit untuk diidentifikasi, sehingga memasuki
daerah kelabu (grey area) dan akibatnya memberi kesempatan bagi markus serta aparat
penegak hukum untuk bermain atau merekayasa didalamnya.
Menyangkut perkara tertentu, tidak semua pejabat penegak hukum terlibat dalam
pergulatan markus, baik karena peluang menangani perkara tertentu (yang menjadi
obyek markus) tidak dimiliki setiap personel (tergantung distribusi oleh pimpinan)
maupun karena keengganan personel tertentu yang ingin memuliakan profesinya
(kendali moral). Hanya sebagian kecil dari mereka, tetapi biasanya terpelihara dengan
baik dalam posisinya karena berhasil menjadi kaya dan dengan kekayaannya berhasil
membangun kolusi dengan atasan/petinggi, termasuk pejabat pada manajemen
personalia. Ihwal karakter demikian, dapat dikatakan bahwa praktik markus lebih
banyak terjadi dalam kehidupan di kota daripada di pedalaman yang mencerminkan
pola hidup komunitarian.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Selain itu, orang luar yang ditengarai dekat dengan aparat juga menjadi bagian
dari makelar kasus. Masyarakat yang mengharapkan keadilan dan kepastian hukum
dapat terwujud dalam proses peradilan akan kecewa dan marah bahkan dapat
menimbulkan ketidak percayaan baik kepada lembaga maupun pada aparatur, karena
aparat penjaga keadilan (oknum) yang tergabung dalam lembaga negara pemegang
amanat penegakan hukum ini justru menodai rasa keadilan itu sendiri dengan
merekayasa apa itu kesalahan dan kebenaran. Siapa yang benar dan salah bisa diatur
sesuai pesanan, asalkan ada uang Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) , takaran tuntutan
bahkan putusan, bisa dibeli.
Makelar kasus yang termasuk dalam kelompok mafia peradilan ada sejak lama
di Indonesia. Kemunculannya marak di zaman orde baru. Hanya saja selama ini
keberadaannya seolah tersembunyi. Masyarakat yang sebenarnya sudah tahu rahasia
umum ini terkesan harus memendam dalam amarah dan melupakan masalah besar
penegakan hukum ini karena kesulitan untuk membuktikan fakta kejahatan luar biasa
ini dilapangan, apalagi untuk menyelesaikan. Masyarakat dibungkam dan didustai
dengan rekayasa dan percaloan keadilan oleh penguasa domain hukum. Beberapa
waktu yang lalu, melalui penyiaran rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo
Widjadja oleh Mahkamah Konstitusi dalam persidangan Uji Materi UU KPK
masyarakat kembali ditunjukkan dengan fakta vulgar yang kembali mengingatkan
bahwa makelar kasus dalam penegakan hukum kita semakin kronis. Bahkan metode
yang dilakukan sudah sangat berkelas dan sistematis dengan melibatkan pejabat
penegak hukum pula. Kalau dibiarkan dan tidak segara diberantas, kita tidak tahu akan
apa jadinya pada negara ini.
II. Permasalahan
Bagaimanakah upaya penanggulangan dan penegakan hukum terhadap makelar
kasus dalam sistem peradilan di Indonesia?
III. Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas pengertian makelar sendiri berarti
merupakan perantara antara pembeli dengan penjual. Makelar yang sudah mengenal
baik si pembeli dan si penjual, maka keberhasilan akan sebuah transaksi akan
semakin besar. Dengan pengertian makelar di atas, maka untuk pengertian makelar
kasus, atau markus dapat di artikan sebagai seorang perantara yang mengenal
penjahat sekaligus memiliki hubungan dengan penegak keadilan, dan biasanya
makelar kasus memberikan informasi yang ia dapat tentang pelaku, dan kemudian
makelar kasus akan memberitahukan informasi tersebut kepada para penegak hukum
atas keterdekatanya dengan penegak hukum tersebut.
Makelar kasus adalah kejahatan luar biasa yang tentunya membutuhkan upaya
penyelesaian yang luar biasa pula. Friedman (1984; 4), mengungkapkan bahwa
bagaimanapun penegakan hukum sebuah bangsa mutlak ditentukan oleh substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum negara setempat. Adapun upaya yang
seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut.
ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Diperlukan upaya hukum luar biasa untuk memberantas kejahatan luar biasa,
makelar kasus dan mafia peradilan. Penyadapan oleh KPK perlu didukung tidak
hanya untuk mengungkap kasus korupsi an sich namun juga praktek makelar
kasus dan mafia peradilan.
2. Reformasi aturan hukum yang ada, Harus disusun aturan mengenai peberantasan
mafia peradilan, khususnya mengenai pembuktian dan alat bukti yang berkenaan
dengan praktek makelar kasus dan mafia peradilan. Pembuktian terbalik dapat
digunakan sebagai alternatif pembuktian pelaku mafia kasus.
3. Bersihkan semua lembaga penegak Hukum mulai dari Kepolisian, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kejaksanaan, Pengadilan dari seluruh tingkatan,
demikian pula lembaga pofesi advokat yang mencoba bermain dalam makelar
kasus maupun mafia peradilan. Berikan sanksi pidana berat bahkan ancaman
hukuman mati bagi aparat penegak hukum yang melakukan praktek makelar kasus
maupun mafia peradilan. Pembenahan Lembaga pengawasan penegakan hukum
seperti komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan agar lebih independent, efektif dan
akuntable. Hal ini sebagai upaya memberantas makelar kasus dan mafia peradilan
guna mewujudkan mimpi bangsa untuk penegakan hukum yang adil dan
berwibawa.
4. Benahi budaya hukum masyarakat melalui pendidikan hukum. Mengingat makelar
kasus terjadi tidak hanya bermula dari penegak hukum melainkan juga lemahnya
kesadaran hukum yang berakibat pada penyimpangan perilaku masyarakat ketika
berhadapan dengan kasus hukum.
5. Peran pers yang merdeka untuk memberikan pencerahan dan keterbukaan
informasi terkait dengan penegakan hukum akan sangat bermanfaat dalam rangka
pemberantasan makelar kasus dan mafia peradilan.
Tentunya langkah-langkah luar biasa diatas akan mampu memberantas makelar
kasus di Indonesia dengan catatan terdapat komitmen kuat dari seluruh komponen
bangsa untuk terus berikhtiar dan tentunya harus diawali dengan semangat political
will dari pemerintah selaku pemegang amanat kedaulatan rakyat.
Akhir-akhir ini penistaan terhadap institusi peradilan, antara lain kasus hakim
TUN Medan, (Kompas 18 April 2011), karena hakim dianggap sebagai benteng
terakhir dalam mendapatkan keadilan menyebabkan dimungkinkan masyarakat
pesimis terhadap kemampuan peradilan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
dalam penegakan hukum. Penyakit ketidakadilan yang mengidap pengadilan di
Indonesia membuat masyarakat menjadi tidak percaya terhadap putusan pengadilan.
Pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan terhormat dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu institusi ini harus diisi oleh orang
orang yang terpercaya dan dapat menjamin tegaknya hukum.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
juru tulis, termasuk hakim sendiri, dapat menawarkan advis itu ke pihak yang
berkepentingan. Kepolisiaan Daerah (Polda) metro jaya Kombes Pol Rikwanto
(republika,senin hari 4 juni 2012) Telah meringkus dua pelaku makelar kasus yang
telah memperoleh uang hasil kejahatan hingga mencapai Rp 1,4 Milyiar, dengan
melakukan penyelidikan dan pengembangan kasus yang ahirnya diketahui
melibatkan beberapa orang dalam melakukan aksinya, bahkan sampai sekarang
tersangka masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Tidak bisa dibantah kalau
praktik mafia peradilan di Tanah Air sudah merasuk hingga ke semua lini dalam
struktur aparat peradilan itu sendiri. Pengawasan internal, baik pengawasan oleh
atasan langsung maupun pengawasan fungsional, termasuk pengawasan eksternal
dari lembaga-lembaga lain, masih dirasakan lemah dan kurang efektif. Sistem
internal memiliki perspektif yang bisa diharapkan berperan optimal, terutama
dalam kaitan dengan solidaritas internal yang begitu kental, khususnya dalam jajaran
kepolisian. Sementara itu, pengawasan masyarakat belum mendapat tempat yang
layak dalam sistem pengawasan lembaga-lembaga penegak hukum, terutama belum
terbukanya akses publik yang memadai. Masalah anggaran merupakan faktor internal
yang paling dominan menerangkan fenomena markus. Aspek pertama dari faktor ini
menyangkut dukungan anggaran operasional, terutama yang dialokasikan pada unitunit lapangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Diakui bahwa telah
terjadi peningkatan yang berarti atas alokasi anggaran badan-badan penegak hukum,
tetapi cenderung diprioritaskan untuk kepentingan satuan-satuan organisasi yang
dipimpin langsung pejabat-pejabat tinggi terutama pada manajemen puncak.
Akibatnya, petugas unit-unit operasional terpaksa harus membebani atau
mengharap kontribusi warga guna menjamin tetap berjalannya roda organisasi dalam
melayani masyarakat.
Aspek anggaran kedua menyangkut pemenuhan kebutuhan penghasilan
personel. Faktor ini menjadi paling dominan di antara semua variabel, karena juga
memberi pengaruh melalui faktor-faktor yang disebut terdahulu. Faktor pengawasan
organisatoris dan pengendalian diri yang lemah serta faktor lingkungan sosial (daya
tarik) tidak lepas dari pengaruh penghasilan personel. Faktor ini pula bahkan yang
mendorong terjadinya penyalahgunaan anggaran operasional. Walau demikian, tidak
berarti semua personel penegak hukum mengatasi kekurangan penghasilannya
dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam kondisi dunia abu-abu semacam inilah, mustahil penanggulangan
markus dan semua jenis korupsi dalam tubuh penegak hukum, terutama Polri,
kejaksaan dan pengadilan dapat berjalan efektif dan membawa perubahan yang
mendasar. Apalagi sekadar melalui mekanisme Satgas, bahkan melalui pekerjaan
KPK sekalipun, sepanjang mereka hanya berperan sebagai pemadam kebakaran atau
obat naspro.
IV. Kesimpulan
Mafia peradilan menjadi gambaran carut-marutnya dunia hukum di Indonesia yang
terjadi di semua tempat dan berbagai tingkatan. Mulai pola yang sederhana hingga
rumit, melibatkan uang recehan hingga miliaran rupiah. Tujuannya, keuntungan bagi
ISBN : 978-602-7509-50-4
pemain di dalamnya, bahkan pemerasan menjadi umum dilakukan oleh aparat untuk
mengubah status tersangka menjadi saksi.
V. Saran
Markus ataupun mafia peradilan harus diberantas secara structural tidak hanya
ditekankan pada institusi/lembaga hukumnya saja tetapi juga aparaturnya dari sistem
peradilan pidana dengan mendapat pengawasan atau melibatkan masyarakat sebagai
wasmas, dan kemudian diijatuhi hukuman yang berat sehingga menimbulkan efek
penjeraan Wasmas. Serta tidak lupa untuk membentuk aparatur yang profesional
beriman dan taqwa dalam menjalankan profesinya.
Daftar Pustaka
Husin, Kadri. 2010. Diktat Materi Kuliah Tindak Pidana Ekonomi di Bidang Perbankan.
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
L.M. Friedman. 1984. The Legal System; A Social Science Perspective. New York,
Russel Sage Foundation.
Muladi. 1993. Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan White Collar
Crime. Makalah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Rahardjo, Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta.
Republika, 2012 edisi 4 juni, Jakarta.
Kompas, 2012 edisi April, Jakarta.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
tersebut adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi dimana ada yang mengetahui
telah terjadi korupsi tetapi tidak melaporkan pihak yang berwajib, ada yang
mengetahui tapi tidak merasa tahu, ada yang mau melaporkan tapi dilarang, ada yang
boleh tapi tidak berani, ada yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya
kuasa tapi tidak mau, sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi
tidak mau untuk melapor pada yang berwajib. Tindak pidana korupsi yang
merupakan tindak pidana khusus dalam penangananya diperlukan suatu kerja sama
dengan pihak lain, untuk dapat diselesaikan perkaranya oleh jaksa. Jaksa sebagai
penyidik merangkap sebagai penuntut umum dalam penanganan tindak pidana
korupsi. Maka untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama
dengan pihak lain yang terkait. Kerja sama dengan pihak lain ini disebut dengan
hubungan hukum, karena dalam melakukan kerja sama dalam suatu aturan atau
hukum yang sifatnya pasti. Hubungan hukum dengan pihak lain itu dapat berupa
perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintahan. Hubungan hukum dengan
perseorangan misalnya dengan seseorang saksi, seorang tersangka, seorang
penasehat hukum. Hubungan hukum dengan badan hukum misalnya dengan
Perusahaan Terorganisasi dimana tersangka melakukan tindakan korupsi. Sedangkan
hubungan hukum dengan instansi pemerintahan lain dapat dengan sesama penegak
hukum yaitu Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun Instansi
lain yang bukan penegak hukum yaitu Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Bank, Kantor Pos dan lain-lain.
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi tidak bisa
bekerja sendiri dengan mengandalkan kemampuan aparat kejaksaan tanpa kerja sama
dengan instansi lain. Menurut peraturan yang berlaku, penyidik tindak pidana
korupsi adalah Jaksa dan Polisi, sehingga dibutuhkan kerja sama antara kedua
penegak hukum ini yang harus saling mendukung dan saling membantu untuk
berhasilnya penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam kerja sama sering menjadi
kelemahan dalam pemberantasan tindak pidana. Maka dari itu peran Jaksa sangat
diperlukan dalam menangani tindak pidana korupsi. Diharapkan jaksa bisa membuat
inisiatif agar korupsi tidak terjadi.
Seiring dengan kinerja kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, hal tersebut pada praktiknya tidak dapat berjalan dengan baik. Beberapa
media massa menilai Kejaksaan masih lamban dalam menangani perkara-perkara
tindak pidana korupsi. Hal tersebut tentu saja membuat geram para aktifis
pemberantasan korupsi yang tergabung dalam berbagai organisasi kemasyarakatan
(LSM). Berbagai kritik dan kecaman terhadap kinerja Kejaksaan pun mulai
bermunculan. Seperti halnya pada penyidikan kasus dugaan korupsi proyek
pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada
pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh Kejaksaan
Tinggi Lampung sampai saat ini belum terselesaikan. Pada kasus tersebut,
masyarakat menilai bahwa Kejaksaan di nilai lamban dalam mengusut kasus tersebut
karena terlalu lama membuang waktu untuk melakukan penyidikan.
Tidak sigapnya Kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi dalam
menangani kasus dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur
tersebut tentu saja menuai kontroversi dan kritikan dikalangan para aktifis dan LSM
ISBN : 978-602-7509-50-4
yang mendukung adanya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di
Indonesia. Kontoversi ini muncul akibat adanya perbandingan penyelesaian kasus
yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Lampung, yakni antara kasus dugaan proyek
pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dengan kasus korupsi pada pengadaan
pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung. Pada dasarnya kasus tersebut hampir
serupa, akan tetapi pada kenyataannya penanganan yang dilakukan oleh Kejaksaan
Tinggi Lampung lebih cepat pada kasus korupsi pengadaan pembelian solar di
lingkungan PDAM dari pada kasus pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009. Hal
tersebut dapat dilihat dengan telah diselesaikannya berkas penyidikan dan telah
dilimpahkannya perkara korupsi pembelian solar di lingkungan PDAM ke
pengadilan pada bulan September 2012, padahal kasus tindak pidana korupsi proyek
pembangunan jalan lintas timur tersebut di mulai sejak Tahun 2009.
Perbedaan yang timpang dalam penyelesaian kedua kasus korupsi tersebut
membuat Kejaksaan seakan tidak serius dalam menangani setiap kasus korupsi yang
masuk ke tubuh instansi Kejaksaan, khususnya Kejaksaan Tinggi Lampung,
sehingga menyebabkan berlarutnya penyelesaian kasus korupsi yang ada. Hal
tersebut tentu saja menyebabkan adanya penumpukan kasus, yang pada akhirnya
berujung pada di peti eskannya sebagian kasus yang tidak dapat diselesaikan
secara maksimal. Seharusnya, dengan adanya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, hal tersebut dapat di minimalisir. Pada Inpres
Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan Negara Republik Indonesia menginstruksikan
kepada jajaran dibawahnya, termasuk Instansi Kejaksaan, agar mempercepat
penanganan perkara-perkara korupsi yang terjadi di Indonesia dengan membangun
kerjasama yang terkait dengan seluruh instansi yang tergabung dalam Kabinet
Indonesia Bersatu dalam penanganan dan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi.
Selain itu Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 juga mengamanatkan bahwa penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan sidang pegadilan terhadap tindak pidana korupsi harus didahulukan dari
perkara lain guna penyelesaian secepatnya, hal ini seharusnya menjadi dasar yang
kuat bagi Kejaksaan untuk segera menangani perkara korupsi yang masuk ke
Kejaksaan. Kedua dasar hukum tersebut merupakan landasan yang kuat bagi
Kejaksaan untuk mengoptimalkan kinerjanya demi menegakkan hukum yang ada di
Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pertanyaan penelitian yang akan dikaji
adalah: (1) Apa kendala dalam penyelesaian proses penyidikan pemberantasan tindak
pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak
pidana korupsi pada pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 20102011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung; (2) Bagaimana upaya percepatan
proses penyidikan pemberantasan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan
jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada pengadaan pembelian
solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung.
ISBN : 978-602-7509-50-4
II. Pembahasan
A. Gambaran Umum Kasus Korupsi
1. Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Pembelian Solar di Lingkungan PDAM Tahun
2010-2011
Kasus dugaan korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun
2010-2011 ini bermula dari temuan Kejaksaan Tinggi Lampung yang dilaporkan
pada tanggal 10 Mei 2012 oleh Ferly Sarkowi, S.H., selaku Kasi Intelijen Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung.
Atas adanya laporan tersebut, Kejaksaan Negeri Lampung mengeluarkan Surat
Perintah Penyidikan Nomor: PRINT- DIK-01/N.8.10/Fd.1/05/2012 yang
memerintahkan kepada Teguh Hariyanto, S.H, Elis Mustika, S.H., Eka Aftarini, S.H.
M.H, M. Fachrudin Syuralaga, S.H. M.H, Anton Salahudin, S.H., Taufiq Ibnugroho,
S.H., Z.M. Yeni, S.H, dan Irfansyah, S.H selaku penyidik pada Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung untuk melaksanakan penyidikan terhadap adanya dugaan Tindak
Pidana Korupsi dalam pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun
Anggaran 2010 dan 2011.
Adapun mekanisme pembelian solar berdasarkan Peraturan direksi Nomor
KU/1580/PDAM/1/VI 2007 dan Perubahan Kedua Peraturan Direksi Nomor
KU/2418/ PDAM /03/VIII/2010 tanggal 23 Agustus 2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa di Lingkungan PDAM Way Rilau Kota
Bandar Lampung sebagai berikut:
a. Bagian yang membutuhkan (Bagian Produksi) membuat Permintaan Pembelian
(PP) ditujukan ke Bagian Umum.
b. Bagian Umum membuat Daftar Permintaan Barang (DPB) untuk selanjutnya
diserahkan kepada Direksi untuk mendapatkan persetujuan pembelian dari Direksi
selanjutnya dikembalikan lagi kebagian Kabag Pembelian
c. Bagian pembelian membuatkan order pembelian dalam blanko Order pembelian
yang ditujukan kepada ; pertama kebagian keuangan lalu pada bagian keuangan
diberikan informasi anggaran apakah dana tersebut ada atau tidak berdasarkan
pengumuman yang diperoleh dari Pertamina berapa jumlahnya, biasa nya bagian
pembelian melampirkan harga solar dari Pertamina, karena harga solar selalu
berubah-ubah maka bagian keuangan minta dilampirkan harga solar dari
pertamina.
d. Kepala Bagian umum membuat permintaan UMK (uang Muka Kerja) dengan
persetujuan Direksi Umum dan Direktur Utama dengan melampirkan:
PP (Permintaan Pembelian).
DPB (Daftar Permintaan Barang).
Informasi Anggaran.
Harga jual dari Pertamina untuk harga solar.
e. Setelah UMK (Uang Muka Kerja) ditanda tangani oleh Direksi lalu diserahkan
kebagian Pembelian selanjutnya bagian pembelian mengambil uang ke Bendahara
dan bendahara mengeluarkan cek atau uang tunai untuk pembelian solar kepada
Bagian Pembelian.
f. Selanjutnya Blanko order beserta infomasi anggaran yang telah diparaf oleh
Kabag Keuangan dibawa oleh bagian keuangan ke Direksi (direktur umum dan
ISBN : 978-602-7509-50-4
direktur Utama) lalu oleh Direktur Umum diberikan paraf di blangko Order dan
menyetujui Direktur Utama dengan ditandatangani olehnya
g. Setelah dilakukan pembelian solar bagian umum membuat pertanggungjawaban
berupa pembuatan voucher pembayaran atas solar dengan melengkapi:
Order pembelian.
Laporan penerimaan barang.
Tanda terima barang dan dilengkapi dengan syarat-syarat sebelumya.
h. Setelah lengkap semua berkas dibukukan kebagian akuntansi kemudian bagian
akutansi memberikan paraf lalu berkas diserahkan kepada Kabag Keuangan dan
dengan ditandatangani Voucher tersebut sebagai mengetahui bahwa kelengkapan
voucher sudah cukup, lalu setelah ditandatangani dan disetujui oleh Direksi
kemudian berkas diberikan ke bendahara untuk pertanggungjawaban.
Bahwa
tugas dan wewenang terdakwa selaku Kasubag pembelian
dilingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung berdasarkan Peraturan
Walikota Bandar Lampung No.76 tahun 2008 tentang struktur organisasi PDAM
Way Rilau Kota Bandar Lampung antara lain:
1) Membantu Kepala Bagian Umum pada Bidangnya.
2) Melaksanakan pembelian kebutuhan oprasional Perusahaan sesuai permintaan
bagian di lingkungan PDAM Way Rilau.
3) Menyerahkan barang barang yang diminta kepada unit pemakai.
4) Menerima/ membuat tanda terima barang.
5) Membuat Laporan bulanan.
6) Melaksanakan tugas tugas yang diberikan oleh Kabag Umum
Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Tim Penyidik Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung, ditemukan penyimpangan dalam proyek Kasus dugaan
korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM tersebut, baik pada tahun
2010 dan tahun 2011 dengan membuat pertanggungjawaban fiktif pembelian solar di
kantor PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dengan menggunakan harga
industri dengan data sebagai berikut:
Tabel 1. Pembelian Solar Tahun 2010 Berdasarkan Tanda Terima Voucer.
No
Urut
No.
Voucer
Pembelian
Tanggal
Voucer
Jumlah
Liter
Harga Beli
Ongkos
Angkut
Jumlah
Pembayaran
2
291
No.
Voucer
Ongkos
Angkut
3
292
1
1
4
12/04/2010
5
15.000
6
97,277,895
7
1,350.000
8 = 6+7
98,627,895
439
440
27/05/2010
10.000
70,390.000
900.000
71.290.000
664
665
23/07/2010
10.000
65.030.000
900.000
65.930.000
800
801
30/08/2010
20.000
130.620.000
1.800.000
132.420.000
1161
1162
29/11/2010
15.000
102.540.000
1.350.000
103.890.000
70.000
465.857.895
6.300.000
472.157.895
ISBN : 978-602-7509-50-4
No.
Voucer
Tanggal
Voucer
Jumlah
Liter
Harga Beli
Ongkos
Angkut
Jumlah
Pembayaran
2
69
No. Voucer
Ongkos
Angkut
3
70
1
1
4
1/2/2011
5
15.000
6
119.685.000
7
1.350.000
8 = 6+7
121.035.000
217
218
16/3/2011
15.000
128.385.000
1.350.000
129.735.000
424
425
30/05/2011
15.000
146.730.000
1.350.000
148.080.000
592
593
19/07/2011
10.000
89.200.000
900.000
90.100.000
763
764
24/08/2011
10.000
89.930.000
900.000
89.830.000
943
944
28/10/2011
12.000
107.232.000
1.080.000
108.312.000
957
958
1/11/2011
43.000
384.248.000
3.870.000
388.118.000
1179
1180
23/12/2011
10.000
80.600.000
900.000
81.500.000
130.000
1.145.010.000
11.700.000
1.156.710.000
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
perhgitungan Ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan.
Untuk mengoptimalkan dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pembatasan Waktu Penyelesaian Berkas Perkara Tahap Penyidikan.
Dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi secara tegas tidak diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan berapa lama penyidikan harus selesai
dilaksanakan, namun sebaiknya dapat dilakukan secara cepat dengan mengacu
kepada Azas yang mengatur perlindungan terhadap seluruh harkat dan martabat
manusia yang tercantum didalam Hukum Acara Pidana antara lain yaitu harus
dilakukan dengan Cepat, Sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur. Namun
sebaiknya didalam penyelesaian dapat mengacu kepada waktu penahanan
tersangka dalam tahap Penyidikan harus sudah dapat diselesaikan paling lambat
selama 120 (seratus dua puluh) hari sebagaimana yang tercantum dalam pasal 24
KUHAPdan Pasal 29 KUHAP.
2. Tersangka Tindak Pidana Korupsi harus dilakukan Penahanan.
Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat penanganan perkara
tindak pidana kurupsi tentunya tersangka harus dilakukan penahanan, karena
dengan dilakukan penahanan terhadap tersangka maka Penyidik terikat dengan
batas waktu Penahanan seperti yang tercantum didalam pasal 24 dan 29 KUHAP
selama paling lama 120 (seratus dua puluh hari) apabila tidak maka tersangka
akan lepas demi hukum dan konsekuensinya Penyidik akan mendapat sanksi
secara administratif dan akan mempengaruhi kariernya. Apabila dalam proses
Penyidikan tersangka tidak dilakukan penahanan maka Penyidik secara moral
tidak di batasi waktu, sehingga penyelesaiannya akan berlarut-larut.
3. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.
Salah satu unsur dalam perkara tindak pidana korupsi adalah Merugikan
Keuangan Negara maka untuk dapat menentukan apakah perbuatan tersebut
merugikan keuangan negara atau tidak masih tergantung instansi lain yaitu dari
hasil Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pelaksanaan dari hasil audit BPK maupun
BPKP tersebut memerlukan waktu yang lama sehingga sangat mempengaruhi
penyelesaian penanganan tindak pidana koropsi dalam tahap penyidikan.
Disisi lain untuk mempercepat penanganannya Penyidik melakukan penghitungan
sendiri jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan tersebut, hal tersebut
dilakukan karena dianggap perkara tersebut mudah pembuktiannya dari segi
kerugian keuangan negara dan tidak perlu penghitungan dari Audit BPK maupun
BPKP, tetapi apabila ditinjau dari segi pembuktian maka dapat mengurangi satu
alat Bukti dalam pembuktian di persidangan yaitu alat bukti beryupa AHLI karena
penghitungan kerugian Negara yang dilakukan oleh Penyidik tidak termasuk alat
bukti keterangan Ahli. Untuk itu dalam rangka mengoptimalkan upaya penyidikan
perkara tindak pidana korupsi sesuai dengan Inpres No.5 tahun 2004 tersebut
sangat diperlukan koordinasi antara penyidik dengan Auditor dalam hal ini BPK
maupun BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan atau dengan
melakukan suatu terobosan birokrasi dengan membuat satuan tugas yg merupakan
satu atap.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Winardi, J. 2005. Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemen, Raja
Grafindo: Jakarta.
Makalah
Chanifuddin. Lemahnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Karya Tulis Diklat
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jakarta.
Hiariej, Eddy O.S. 2008. Nuansa korupsi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006,
dalam buku Menyelamatkan Uang Rakyat (Kajian Akademik Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006). Pukat Korupsi FH UGM: Yogyakarta.
Internet
Adhani, Rachmat. Survey Internasional: Indonesia Masih Paling Korup. Global Future
Institude. www.theglobal-review.com. 18 November 2010.
Alamsyah, Holid. Kejahatan dan Pelanggaran dalam KUHP. Blogspot. www. Holidemkaen.blogspot.com. 10 Desember 2011.
Nusantaraku. Memalukan.. Indonesia Negara Terkorup Asia Tenggara. Nusantara
News. www. nusantaranews.wordpress.com. 18 November 2010.
Saleh, Abdul Rahman. Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan
Nasional. Komisi Hukum Nasional. www. Komisihukum.go.id. 14 Januari 2011.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ibid.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Pasal 159 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat dikenai sanksi berupa
penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau
restitusi jika tidak menaati mekanisme pengawasan perda pajak daerah yang telah
diatur dalam UU No 28 Tahun 2009.
Pengawasan terhadap perda pajak daerah kabupaten/kota yang dilakukan oleh
pemerintah daerah pada dasarnya merupakan bentuk dari penegakan hukum yang
sifatnya preventif dalam penaatan peraturan perundang-undangan dibidang pajak
daerah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, akan dibahas lebih
lanjut mengenai pengawasan dan pembatalan perda mengenai pajak daerah sebagai
bentuk penegakan hukum preventif yang dilakukan pemerintah.
B. Pengaturan Pajak Daerah Dalam Peraturan Daerah
Menurut P.J.A Adriani, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan,29 sedangkan
menurut Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara herdasarkan
undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal
(kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum, dengan penjelasan sebagai berikut: Dapat
dipaksakan artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan
menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan;
terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbalbalik tertentu, seperti
halnya dengan retribusi.30
Mardiasmo memberikan definisi pajak beserta persyaratan pemungutannya.
Pajak merupakan iuran masyarakat yang sifatnya dipaksakan, maka agar dalam
pemungutannya tidak mengalami hambatan atau perlawanan dari masyarakat maka
harus memenuhi syarat sebagai berikut:31
1. Pemungutan pajak harus adil.
2. Pemungutan pajak harus bersarkan hukum.
3. Pemungutan pajak harus tidak mengganggu perekonomian.
4. Pemungutan pajak harus efisien.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, pajak
terbagi menjadi pajak yang di pungut oleh pemerintah dan pajak yang dipungut oleh
29
R. Santoso Brotodihardjo, SH. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika Aditama, Bandung. Cet
Pertama Edisi Keempat, 2003, hlm 2.
30
Ibid, Santoso Brotodihardjo, hlm 6.
31
Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003. hlm 21.
ISBN : 978-602-7509-50-4
pemerintah daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah,
pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni:
1. Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi.
2. Pajak Daerah yang dipungut oleh kabupaten /kota.
Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang didefinisikan Pasal 1 angka
10 UU No. 28 Tahun 2002. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.
Secara lebih spesifik perpajakan daerah diartikan oleh K. J. Davey, yaitu:32
1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintahan Daerah dengan pengaturan dari daerah
sendiri.
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya
dlakukan oleh Pemerintahan Daerah.
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil
pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan
tambahan (opsen) oleh Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 28 Tahun 2009, dibedakan jenis pajak daerah
yang dipungut oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pembedaan itu adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
2. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
32
Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 1988, hlm 39.
ISBN : 978-602-7509-50-4
h.
i.
j.
k.
33
Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005, hlm
10.
34
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan.
35
Ibid, Pasal 7 Ayat (1).
36
Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, 2011,
hlm 12.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity yang mandiri, bukan hubungan
internal dari intitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata
menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Hubungan pengawasan hanya
dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang.
Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan
atau berdasarkan undang-undang.37
Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonom yaitu
pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief
toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum dan tindakan tertentu
organ pemerintahan daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang
mengesahkan (goedkeuring), sedangkan pengawasan represif adalah wewenang
pembatalan (vernietiging) atau penangguhan (schorsing).38 Konteks pengawasan
kaitannya dengan perda pajak daerah juga terbagi menjadi preventif dan represif.
Pengawasan yang sifatnya preventif berkenaan dengan pengawasan rancangan
peraturan daerah tentang pajak daerah, sedangkan pengawasan yang sifatnya represif
berkaitan dengan pengawasan peraturan daerah mengenai pajak daerah setelah
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan berlaku bagi masyarakat.
Pengawasan terhadap perda pajak yang telah berlaku oleh pemerintah
merupakan bentuk penegakan hukum yang bersifat preventif. Menurut Jimly,39
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu
menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam
pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum
(legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen
budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang
tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance)
aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga,
kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun
kultur atau budaya hu-kum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap,
keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam
perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang
disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak
hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang
37
Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU Otonomi Daerah,
2005, hlm 28.
38
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII.
Jogjakarta. 2001.
39
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1.
ISBN : 978-602-7509-50-4
menjadi objek kajian peneliti.40 Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan
hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu
sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan
ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya
sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 41
Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam
upaya pemenuhan peraturan (compliance) dan secara represif melalui pemberian
sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi perbuatan melanggar peraturan.42
Upaya pemenuhan peraturan dan pemberian sanksi tersebut pada dasarnya merupakan
esensi dari penegakan hukum. Upaya preventif dalam rangka pemenuhan peraturan
dapat dilakukan melalui pengawasan dan pembinaan oleh pejabat administrasi negara
(aspek hukum administrasi), sedangkan upaya represif dilakukan melalui pemberian
sanksi atau jalur pengadilan. Pada pengawasan pajak daerah, pemerintah melakukan
penegakan hukum yang sifatnya preventif untuk pemenuhan peraturan, dalam hal ini
ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 yang mengatur mengenai pajak daerah.
Pengaturan pengawasan terhadap perda pajak daerah diatur dalam UU No. 28
Tahun 2009. Pengawasan terhadap perda pajak daerah memiliki dua bentuk, yaitu
preventif dan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda
pajak daerah yang mekanismenya diatur dalam Pasal 157 UU No. 28 Tahun 2009
yang berupa kewajiban dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyampaikan
Raperda kepada Gubernur dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi apakah sesuai
dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi, sebelum ditetapkan menjadi Perda.
Pengawasan represif dilakukan terhadap perda yang telah ditetapkan dan dalam
bentuk pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mekanismenya diatur dalam
diatur dalam Pasal 158 UU No. 28 Tahun 2009. Baik pengawasan terhadap perda
yang sifatnya preventif maupun represif merupakan bentuk dari penegakan hukum
preventif sepanjang tidak berlanjut ke badan peradilan.
Pengawasan represif terhadap Perda pajak daerah kabupaten/kota (dapat dilihat
pada ragaan 1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:43
1. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah ditetapkan.
40
Lawrence M, Friedman, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7.
Dalam Turiman Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah,
hlm 2.
41
Ibid, hlm 1.
42
Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis, Penerbit Unila,
2011, hlm 34.
43
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Menkeu
Diterima
Perda Pajak
44
Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, Peraturan
Daerah dimaksud dinyatakan berlaku, Ibid.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.
1977.
Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003.
Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2005.
Nur, Turiman Fachturahman, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan,
Makalah.
Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU
Otonomi Daerah, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
ISBN : 978-602-7509-50-4
A. Pendahuluan
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya,
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan
produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan
gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta
penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang
fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.46
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh
karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan
penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin
kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap
bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan
gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.47
Setiap orang mendambakan bangunan gedung sebagai tempat tinggal/tempat
usaha yang aman, tidak terganggu atau rusak oleh oleh peristiwa alam seperti banjir,
gempa bumi, bahaya kebakaran, sehat dan nyaman untuk dihuni serta memenuhi
fungsi
sebagai
tempat
kegiatan.
Demikian
juga
mempunyai
hak
kepemilikan/penggunaan yang sah dari aspek kepastian hukumnya. Dimana bangunan
gedung merupakan bagian dari lingkungan maka diharapkan keberadaannya tidak
merusak lingkungannya, lokasinya sesuai dengan tata ruang yang ditetapkan, tertib,
teratur serta memberikan kontribusi keindahan dan harmonis terhadap lingkungannya.
Untuk mendukung pemenuhan fungsi bangunan gedung tersebut, pendirian bangunan
gedung harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:
a. persyaratan status hak atas tanah,
b. status kepemilikan bangunan gedung, dan
c. izin mendirikan bangunan.
Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi:
46
47
ISBN : 978-602-7509-50-4
Boedi Harsono (a), Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2003, hlm 24.
49
Ibid, hlm 267.
ISBN : 978-602-7509-50-4
3) Hak Jaminan Atas Tanah: Hak Tanggungan (Pasal 23, 33, 39, 51 UUPA dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).
Hak-hak atas tanah individu yang terdiri dari hak atas tanah primer dan
hak atas tanah sekunder yang telah dipetakan di atas dapat menjadi pemenuhan
syarat dalam mendirikan bangunan gedung. Penjelasan macam-macam hak
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hak Milik50
Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat fungsi sosial.
Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak
Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak Milik merupakan
hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Katakata terkuat dan terpenuh mempunyai maksud untuk membedakannya
dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lainnya yaitu
untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki,
hak miliklah yang terkuat dan terpenuh.
b. Hak Guna Usaha51
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan
pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak guna usaha diberikan untuk jangka
waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang
hak dengan mengingat keadaan perusahaannya.
c. Hak Guna Bangunan52
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Hak
Guna Bangunan diatur dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996. Jangka waktu untuk HGB adalah 30 tahun dan dapat
diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan
50
Berasal dari bahasa Belanda Eigendom recht yang berarti hak atas benda, untuk menikmati benda itu
secara bebas dan menguasainya secara mutlak. Hak milik dibatasi oleh Undang-undang dan hak
kebendaan orang lain. Algra et all, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,
Binacipta, Bandung, 1983, hlm 114.
51
Berasal dari bahasa Belanda Erfpacht yang berarti hak kebendaan untuk selama waktu yang ditentukan
atau yang tidak ditentukan menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik
orang lain dengan kewajiban akan membayar sewa tahunan, bunga hak usaha baik berupa uang maupun
berupa hasil atau pendapatan. Ibid, hlm 122.
52
Berasal dari bahasa Belanda Opstal yang berarti hak kebendaan untuk mengerjakan atau mempunyai
gedung, bangunan atau tanaman di atas pekarangan orang lain, biasanya dengan pembayaran tahunan.
Ibid, hlm 369.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
seseorang harus dapat membuktikan kepemilikan tanah yang akan menjadi lokasi
didirikannya bangunan gedung adalah miliknya atau yang bersangkutan telah
mendapat izin pemanfaatan tanah oleh pemilik tanah yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bangunan gedung menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2002 adalah
wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan/atau air, yang
berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun
kegiatan khusus lainnya.
Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan
budaya, serta fungsi khusus. Penjelasan dari masing-masing fungsi tersebut
berdasarkan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:
a. Bangunan gedung fungsi hunian meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal,
rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
b. Bangunan gedung fungsi keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan
kelenteng.
c. Bangunan gedung fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran,
perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan
penyimpanan.
d. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk
pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan
umum.
e. Bangunan gedung fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir,
instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh
menteri.
Bangunan gedung harus diselenggarakan dengan berlandaskan pada asas
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan
lingkungannya. Asas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan
gedung dapat diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta
sebagai wadah kegiatan manusia yang memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang
berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan. Asas keselamatan
dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan
bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan
pemilik dan pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di
sekitarnya, di samping persyaratan yang bersifat administratif. Asas keseimbangan
dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan gedung berkelanjutan
tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan
gedung. Asas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan
bangunan gedung dapat mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung
ISBN : 978-602-7509-50-4
Persyaratan ini diatur juga dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
54
Penjelasan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2002.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Hak-hak tersebut harus dibuktikan dengan status kepemilikan atas tanah yang berupa
sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Bangunan
gedung juga dapat didirikan dengan Izin pemanfaatan yang pada prinsipnya
merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang
hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
Penempatan status hak atas tanah sebagai persyaratan dalam mendirikan
bangunan gedung pada dasarnya merupakan salah satu bentuk upaya penegakan
hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya persoalan hukum
dikemudian hari.55 Jimly berpendapat bahwa,56 Penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum
itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya
itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan,
aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.57
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan law enforcement ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan penegakan hukum dalam arti luas dan dapat pula
digunakan istilah penegakan peraturan dalam arti sempit.58
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai
keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
55
Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam upaya pemenuhan peraturan
(compliance) dan secara represif melalui pemberian sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi
perbuatan melanggar peraturan. Lihat Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif
Holistik Ekologis, Penerbit Unila, 2011, hlm 34.
56
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1.
57
Ibid.
58
Ibid.
ISBN : 978-602-7509-50-4
dengan dikembangkannya istilah the rule of law versus the rule of just law atau
dalam istilah the rule of law and not of man versus istilah the rule by law yang
berarti the rule of man by law. Dalam istilah the rule of law terkandung makna
pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the rule of law and not of man
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara
hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah
the rule by law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang
menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.59
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan
hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan
pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.
Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada
gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para
pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat
dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus
dijalankan itu dibuat. 60 Kaitannya dengan pendirian bangunan gedung, pembentuk
UU No. 28 Tahun 2002 menginginkan bangunan gedung dapat diselenggarakan
dengan baik sesuai dengan syarat administratif dan teknisnya agar dapat memberikan
kepastian, kenyamanan, keselamatan sesuai dengan fungsinya.
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi
oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua,
faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses
pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas.
Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.61
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh
dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses.
Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, terdapat tiga unsur utama yang terlibat dalam
59
Ibid.
Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hlm. 24-25. Dalam Turiman
Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah, hlm 3.
61
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto,
1983, Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm.: 4-5.
60
ISBN : 978-602-7509-50-4
62
ISBN : 978-602-7509-50-4
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4532.
ISBN : 978-602-7509-50-4
http://ditjenpas.go.id/pas2/article/article.php?id=152;
ISBN : 978-602-7509-50-4
1.645 anak, pada tahun 2006 berjumlah 1.814 anak, padatahun 2007 berjumlah
2.149 anak, pada tahun 2008 berjumlah 2.726 anak, pada tahun 2009 berjumlah
2.536 anak yang menjadi tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga
pemasyarakatan di seluruh Indonesia.64 Kemudian pada tahun 2008 di provinsi Jawa
Timur tercatat anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak
pidana) tersebar di seluruh Rumah tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan untuk
orang dewasa sebanyak 2.026.65 Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak
anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di
tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan
mengalami tindak kekerasan.
Seorang anak yang melakukan tindak pidana wajib disidangkan dipengadilan
khusus anak yang berada di lingkungan peradilan umum, dengan proses khusus serta
pejabat khusus yang memahami masalah anak, mulai dari penangkapan, penahanan,
proses mengadili dan pembinaan. Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan,
meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung
merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan
ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma
(cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief,66 bahwa hukum
perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana
(kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.
Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana dari Komite Hak Anak PBB,
angka perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali (reconviction
rate) orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia
pelaku. Reconviction rate yang tertinggi, terlihat pada anak-anak, yaitu mencapai 50
(lima puluh) persen. Angka itu lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi pidana penjara
dari pada pidana bukan penjara, hal ini dikarenakan tingginya jumlah anak yang
dipenjara kerena kejahatan ringan, dicampurnya tahanan anak bersama orang dewasa
dan batas yang terdapat dalam Undang-Undang Peradilan Anak sangatlah rendah 8
(delapan) tahun, karena itu harus dinaikkan agar lebih rasional menjadi 12 (dua
belas) tahun sesuai dengan Beijing Rules.67
Pada tanggal 30 Juli 2012 Presiden Republik Indonesia mensahkan UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai
perubahan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya
disingkat UU SPPA). UU SPPA tersebut memuat ketentuan mengenai diversi dan
restorative justice, dimana tindak pidana yang ancamannya dibawah 7 (tujuh) tahun
bisa didiversi atau diselesaikan diluar proses peradilan pidana serta mewajibkan
pendekatan keadilan restoratif dimana melibatkan pelaku (Anak yang Berhadapan
64
ISBN : 978-602-7509-50-4
dengan Hukum), keluarga korban, orang tua pelaku dan pihak lain yang terkait
dengan motivasi untuk mengutamakan penyelesaian masalah secara bersama-sama
tanpa mengedepankan pembalasan. Diversi juga wajib diupayakan disetiap proses
hukum oleh penegak hukum dengan dituangkan didalam kesepakatan diversi dan
pelaksanaannya diawasi oleh penegak hukum.
Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip nondiskriminasi
yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan
terhadap anak, termasuk terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Oleh karena
itu diperlukan suatu sistem peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat proses
penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional. Muncul suatu
pemikiran atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan atau biasa disebut
ide diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan
permasalahan
anak
dan justru
dalam Lembaga
Pemasyarakatan rawan
terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Hal inilah yang mendorong ide
diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu solusi yang
sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Oleh
karenanya, penulis akan membahas ketentuan diversi dan restorative justice yang
dimuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diperoleh rumusan masalah yakni:
Bagaimana ketentuan diversi dan keadilan restoratif sebagai upaya penanggulangan
delinkuensi anak di Indonesia ?
3. Pembahasan
a. Diversi dalam Penanganan Anak Delinkuen
Masalah delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan
perlu segera diatasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Terdapat dua kategori
perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni
status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak
yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang
melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut,
membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan criminal offences adalah perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan
atau anak yang melakukan tindak pidana.
Menurut Sudarto dalam Paulus Hadi Suprapto, penanggulangan delinkuensi
anak erat kaitannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal
sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak
operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non
penal.68 Lebih lanjut, menurut Paulus Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau
jalur hukum pidana cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan
stigma pada anak. Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan
dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh kepolisian,
proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan oleh hakim, dan
68
Paulus Hadisuprapto. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak
Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hlm. 4;
ISBN : 978-602-7509-50-4
Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective
Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf
70
Paulus Hadisuprapto,2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang :
Bayumedia Publishing. Hal 208;
71
Lihat Pasal 1 angka (2) dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012;
ISBN : 978-602-7509-50-4
72
1. Help juvenils lern from their mistake through early intervention; 2. Repairs the harm caused to
familes, victims and community; 3. Incorporates parents, guardians and lessons from everyday life; 4.
Equips and encourages juveniles to make responsible decisions; 5. Creates a mechanism to collect
restitution for victims; 6. Hold youth accountable for the opportunity to keep their record clean;7. Allows
eligible offenders the opportunity to keep their record clean; 8. Reduces burden on court sistem and jails;
9. Curbs juvenile crime http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017
ISBN : 978-602-7509-50-4
tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.73 Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.
b. Keadilan Restoratif bagi Anak yang Berhadapan degan Hukum
Keadilan restoratif (restoratif justice) memiliki cara pandang yang berbeda
dalam menyikapi masalah delinkuensi anak. Menurut Fruin J.A., dalam Paulus
Hadisuprapto, peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau
reaksi terhadap pelaku delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan
keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah
bahwa diperolehnya keadilan, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan
seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara
memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.74
Menurut Tony F. Marshall restorative justice adalah : Restorative Justice is a
process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to
deal with the aftermath of the offence and its implications for the future. Keadilan
restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di
masa yang akan datang.75
Menurut Pasal 1 angka 6 UU SPPA pengertian mengenai Keadilan Restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
dan bukan pembalasan.76
Penanganan dalam hal anak yang bermasalah dengan hukum, konsep
pendekatan Restorative Justice System menjadi sangat penting karena menghormati
dan tidak melanggar hak anak. Restorative Justice System setidak-tidaknya bertujuan
untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak
dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang
melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap
belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan hukum, seperti yang disebutkan dalam Konvensi Hak-Hak
Anak pasal 40 ayat 3 huruf (a): 6 " Bilamana perlu dan dikehendaki, langkah-langkah
73
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 yakni Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali
untuk: (a) tindak pidana yang berupa pelanggaran; (b) tindak pidana ringan; (c) tindak pidana tanpa
korban; atau (d) nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
74
Paulus Hadisuprapto. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang:
Bayumedia Publishing. Hal 225;
75
Tony F. Marshall. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office, Information &
Publications Group;
76
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
ISBN : 978-602-7509-50-4
untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa menggunakan proses peradilan, asalkan
hak-hak asasi dan kaidahkaidah hukum tetap diharmonisasi sepenuhnya.
Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya
dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin
menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang berhadapan
dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya yang dilakukan dengan
pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara umum, prinsip-prinsip keadilan
restoratif adalah :
1. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian yang
ditimbulkan oleh kesalahannya;
2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;
3. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman
sebaya;
4. Menciptakan
forum
untuk
bekerjasama
dalam
menyelesaikan
masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan
reaksi sosial yang formal. 77
Metode yang dipakai dalam restorative justice adalah musyawarah pemulihan
dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masing-masing, ditambah
wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili lingkungan dimana tindak pidana
dengan pelaku anak tersebut terjadi.78 Dengan adanya dukungan dari lingkungan
setempat untuk menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat
menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan
kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan
masyarakat. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini adalah
anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem peradilan anak
yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat. 79 Apabila dilihat dari posisi
terdakwa dan korban, maka restorative justice tidak lain dari suatu bentuk mediasi
yang bertujuan mencapai win-win solution seperti dalam perkara keperdataan.80
Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sebenarnya telah lama
dipraktekkan masyarakat adat Indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau
dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaannya. Apabila
terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang (termasuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan anak), penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal
tanpa melibatkan aparat negara di dalamnya. Ukuran keadilan bukan berdasarkan
77
Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual Pelatihan untuk
Polisi. Jakarta. hal 357;
78
Lihat Pasal 8 (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 bahwa: Proses Diversi dilakukan melalui
musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan
Restoratif.
79
Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective
Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf.
80
Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika Hukum, Perum
Percetakan Negara RI, Jakarta. Hal 8;
ISBN : 978-602-7509-50-4
keadilan retributif berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan
keinsyafan dan pemaafan.
Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum Restorative Justice
(Keadilan Restoratif) adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang
menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan
anak yang bermasalah dengan hukum, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah metode
penyelesaian sengketa yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Hukum acara
perdata kita sudah mengenal adanya suatu Lembaga Damai untuk menyelesaikan
sengketa perdata lebih dari seratus tahun lalu.81 Sifat dasar dari mediasi juga sama
dengan mekanisme musyawarah. Karena itu penggunaan mediasi penal diharapkan
bisa diterima kalangan professional hukum dan masyarakat umum dengan baik dan
berjalan secara efektif. Dengan demikian apabila hakim berkeyakinan perkara anak
yang diperiksanya telah memenuhi syarat-syarat/kriteria Restorative Justice dapat
dilakukan mediasi penal dengan cara pendekatan Restorative Justice di ruang mediasi
yang dihadiri pihak-pihak terkait (Pelaku/Orang Tua, Korban/Orang Tua, PK BAPAS,
Pembimbing Kemasyarakatan. Jaksa Anak, Hakim Anak, Perwakilan Komunitas
Masyarakat/RT/RW/Kepala Desa/Guru/ Tokoh Agama). Adapun syarat-syarat/kriteria
Restorative Justice sebagai berikut:
1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.
2. Persetujuan dari pihak korban/keluarga dan adanya keinginan untuk memaafkan
pelaku.
3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara
musyawarah dan mufakat.
4. Kwalifikasi tindak pidana ringan
5. Pelaku belum pernah dihukum.
Proses restorative justice pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari
proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya
merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan
cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Berdasarkan perundang-undangan yang
diuraikan dan situasi kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian
masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan
restoratif (restorative justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi
penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk mengefektifkan
restorative justice dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan
hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu aparat penegak
hukum, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Tanpa sosialisasi tersebut maka
penerapan restorative justice menjadi sulit diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian
masalah anak yang berhadapan dengan hukum.
5. Kesimpulan
Dicantumkannya ketentuan mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
merupakan suatu pencerahan terhadap penanggulangan delinkuensi anak. Penerapan
ketentuan diversi dan keadilan restoratif ini adalah hal yang penting untuk
dipertimbangkan, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai
81
ISBN : 978-602-7509-50-4
pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum sehingga menghindarkan
anak dari stigma sebagai anak nakal. Metode diversi dan restorative justice menjadi
solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak,
karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan
terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak-hak anak, perlindungan anak dan
kesejahteraan anak.
6. Saran
Berdasarkan uraian pembahasan diversi dan keadilan restoratif dapat menjadi
salah satu upaya untuk penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum,
namun dalam pelaksanaannya perlu koordinasi dengan aparat penegak hukum,
keluarga, lingkungan sekolah maupun tokoh masyarakat disamping itu perlu adanya
sosialisasi terutama Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sisten Peradilan
Pidana Anak bagi penegak hukum agar pelaksanaan diversi dan keadilan restoratif
menjadi lebih efektif.
Daftar Pustaka
Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika
Hukum, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta;
F. Marshall, Tony. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office,
Information & Publications Group;
Hadisuprapto, Paulus. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif :
Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro;
----------, Paulus. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang
: Bayumedia Publishing;
Marlina, 2007, Peradilan Anak Di Indonesia, Pustaka Abadi, Bandung.
Nawawi Arief, Barda. 1994. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang;
Reksodiputro, Mardjono. 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat pada
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato
Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada FH
UI, Jakarta;
Riyanto, Agus, 2006, Keadilan Untuk Anak Perlindungan Terhadap Anak yang
Berhadapan dengan Hukum Kompilasi Instrumen Internasional, UNICEF,
Jakarta.
Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual
Pelatihan untuk POLISI. Jakarta;
http://www.Ditjenpas.go.id/index.php ? Option = com_content & task = view&id
=34&Itemid =45>, diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2009 pukul
20.00wib;
http://www.menegpp.go.id/, diakses pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 pukul
10.00 wib;
http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf.Santi Kusumaningrum. Keadilan
bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective Environment;
http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017 ;
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Penyelesaian perkara pidana dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap pra-ajudikasi meliputi
penyidikan dan penuntutan, tahap ajudikasi yakni pemeriksaan perkara di persidangan, dan tahap pascaajudikasi yaitu eksekusi dan pengawasan putusan pengadilan.
83
Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (ed), Law And The Behavioral Sciences, The BobbsMerril Company, New York. 1966. Hlm. 903
84
Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.01.PW.07.03 Tahun 1982.
85
J.M. van Bemmelen, 1950. Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff. Hlm. 2. Lihat juga Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.
Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm.19.
ISBN : 978-602-7509-50-4
bagaimana tata cara pemeriksaan perkara pidana mulai tahap penyidikan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan. Ketentuan hukum acara pidana tersebut diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dan dalam berbagai undang-undang khusus seperti antara lain,
Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pada prinsipnya substansi hukum acara pidana baik yang diatur dalam KUHAP,
maupun yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan tersebut berkaitan dengan
penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi86 atau proses peradilan pidana yang
dapat dibagi dalam tiga tahapan87 yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap
ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap
ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang penting karena pada tahap tersebut
adanya proses pembuktian menurut hukum oleh hakim untuk menentukan apakah
terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan
oleh jaksa penuntut umum kepadanya.
Adanya HAP khusus yang diatur dalam berbagai undang-undang di luar
KUHAP tersebut disebabkan beberapa asas dan tata cara pemeriksaan perkara pidana
berdasarkan KUHAP dirasakan tidak mampu lagi untuk dijadikan sarana untuk
memberantas tindak pidana khusus. Sebagai contoh mengingat KUHAP menganut
asas oral debat yaitu pemeriksaan perkara harus dihadiri oleh terdakwa, maka asas ini
tidak bisa digunakan untuk memeriksa perkara yang terdakwanya tidak ditemukan
atau tidak diketahui keberadaanny pada tindak pidana ekonomi atau tindak pidana
korupsi. Oleh karena itu untuk mengatasi kondisi ini maka baik Undang-Undang
Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maupun undang-undang tindak pidana khusus
lainnya mengatur tentang peradilan inabsensi yaitu peradilan yang digelar tanpa
dihadiri oleh terdakwanya. Namun demikian keterkaitan antara KUHAP dengan
undang-undang HAP khusus tersebut bersifat lex specialis derogate lex ganaralis
yaitu sepanjang HAP khusus tidak mengatur sendiri maka ketentuan KUHAP tetap
digunakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum acara
pidana adalah untuk mempertahankan hukum pidana materiel. Agar HAP dapat
86
Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas
penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap
formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap
pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Undip. Semarang. Hlm. 13.
87
Tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka penyidikan yang
dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap
ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan
oleh lembaga Peradilan, dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap
terpidana yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk pidana
hilang kemerdekaan.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas
penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap
formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap
pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Undip. Semarang. Hlm. 13.
89
Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI. Jakarta. Hlm. 34. Bandingkan pendapat
Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 74.
ISBN : 978-602-7509-50-4
yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang suatu tindakpidana dan menemukan
pelakunya. Untuk membuat terang dan menemukan pelakunya pada tindak pidana
khusus, dirasakan betapa sulitnya untuk mencari dan mendapatkan bukti-bukti
sehubungan dengan karakteristik dan modus operandi kejahatan luar biasa tersebut,
seperti bersifat terselubung (white color crime), menggunakan
teknologi,
profesionalitas pelaku, terorganisasi dan bersifat transnasional.
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hukum acara pidana sebagai landasan
bekerjanya peradilan pidana telah mengalami perubahan yaitu semula berdasarkan
Herzien Inlandsch Reglement disingkat HIR atau Reglemen Bumiputra (Indonesia)
Yang Dibaharui Staatsblad 1941 Nomor 44 yang berlakunya sampai tahun 1981.
HIR tersebut dipandang sudah tidak sesuai dengan alam Indonesia merdeka, maka
undang-undang tersebut lalu digantikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP. KUHAP merupakan ketentuan umum (lex ganeralis) acara pidana
dan diorientasikan sebagai sarana untuk menanggulangi tindak pidana (kejahatan
biasa/warungan) yang terdapat di dalam KUHP. Sedangkan terhadap tindak pidana di
luar KUHP, efektivitas KUHAP dirasakan sudah tidak mampu menanggulanginya.
Hal ini sesuai dengan alasan adanya kriminalisasi di luar KUHP yaitu: (a) sistem
KUHP tidak mampu menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan kerah putih (white
collar crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime); (b) adanya kondisi yang
mendesak untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan baru; (c) sifat kejahatan baru
tersebut harus ditanggulangi secara khusus tidak bisa mengikuti pola KUHP. Bahkan
saat ini untuk memberantas tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pun, KUHAP
dirasakan sudah tidak mampu. Oleh karena itu sudah sepatutnya Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia agar segera membahas Rancangan Undang-Undang
(RUU) KUHAP Baru yang masuk sebagai salah satu program legislasi nasional
(prolegnas) untuk disahkan menjadi undang-undang.
Untuk memberantas modus operandi dari kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) tersebut, membutuhkan model hukum acara pidana khusus yang dibangun
berdasarkan prinsip praduga bersalah (presumption of guilt). Hal ini mengingat adanya
ketidakmampuan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
sebagaimana yang dianut KUHAP dalam memberantas modus kejahatan tersebut.
Prinsip praduga bersalah itu secara operasional seperti yang dipraktikkan oleh model
proses peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yakni Crime
Control Model (CCM). Dalam CCM kewajiban untuk bekerja seefisien mungkin
menjadi syarat utama, sehingga ditolerir adanya kesalahan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum sampai tingkat tertentu dalam menentukan apakah seseorang bersalah.
Ini disebabkan CCM memiliki asumsi bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses
peradilan pidana ada kemungkinan bersalah dan karenanya penggunaan kekuasaan
pada tangan aparat penegak hukum harus semaksimal mungkin. Oleh sebab itu pada
model ini ada kekhawatiran bahwa para petugas yang dituntut bekerja secara efisien
tersebut akan mengabaikan hak asasi manusia. Penggunan model CCM ini tentunya
diikuti adanya tuntutan terhadap aparat penegak hukum untuk bekerja secara
professional dan bertanggung jawab karena beresiko dapat dipidananya bagi aparat
yang dengan sengaja melakukan perbuatan pelanggaran terhadap hak asasi orang yang
diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) juncto
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
ISBN : 978-602-7509-50-4
Kehakiman. Hal ini mengingat menurut Muladi bahwa CCM tidak cocok diterapkan
karena model ini memandang penjahat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi
atau diasingkan, ketertiban umum berada di atas segala-galanya dan tujuan
pemidanaan adalah pengasingan. Untuk itu model sistem peradilan pidana yang cocok
bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada daad dader strafrecht yang
disebut model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu
yang memperhatikan kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu,
kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.90
Walaupun model CCM dipandang kurang cocok, namun berkaca pada kurang
maksimalnya cara-cara pemberantasan kejahatan yang bersifat luar biasa maka
penggunaan model CCM tersebut dapat ditolerir sepanjang bertujuan untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi
Manusia Universal Perserikatan Bangsa Bangsa yang menegaskan bahwa pembatasan
hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan untuk melindungi hakhak asasi yang lebih luas asal diatur dalam bentuk undang-undang.
Namun demikian agar penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana tidak
menimbulkan dampak negatif, maka harus memperhatikan 3 (tiga) kebijakan dasar
dalam penegakan hukum pidana yaitu: (1) kebijakan tentang perbuatan-perbuatan
terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau
merugikan; (2) kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku
perbuatan terlarang dan sistem penerapannya; (3) kebijakan tentang
prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum
pidana. Kebijakan pertama dan kedua masuk dalam lingkup hukum pidana materiil,
sedangkan kebijakan ketiga masuk dalam bidang hukum pidana formil.91 Oleh karena
itu adanya kebijakan kriminalisasi dalam hukum pidana materiel juga harus diikuti
adanya kebijakan dalam bidang hukum pidana formil sebagai dasar
prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum
pidana.
Berkaitan dengan alasan di atas dan berkaca dari kurang maksimalnya caracara penegakan hukum pidana konvensional terutama dalam menghadapi modus
operandi tindak pidana saat ini yang bersifat sistemik dan meluas serta cenderung
merupakan extra ordinary crimes92, sekaligus untuk menjawab adanya kekhawatiran
pelanggaran terhadap HAM yang tidak terkendali, maka diperlukan adanya model
baru penegakan hukum pidana yang berbasis pada prinsip-prinsip hukum progresif
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak-hak ekonomi dan sosial
rakyat di atas kepentingan dan hak-hak individu tersangka atau terdakwa.93
90
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Undip. Semarang. Hlm. 5.
Ibid. Hlm. 198
92
Sistem peradilan pidana dapat bersifat kriminogen manakala terjadi kriminalisasi yang tidak terkendali,
tujuan pidana yang tidak jelas, effektivitasnya terbatas dan adanya disparitas pidana, Muladi, Kapita
Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Hlm. 24-25.
93
Menurut perspektif hukum progresif bahwa hukum bertujuan membahagiakan manusia. Bandingkan
dengan pendapat Barda Nawawi Arief bahwa konsep pemidanaan yang berorientai pada orang (konsep
pemidanaan individual/personal) lebih mengutamakan filsafat pembinaan/perawatan si pelaku kejahatan
(The treatment of offenders) yang melahirkan pendektan humanistik, ide individualisasi pidana dan
tujuan pemidanaan yang berorientasi pada perbaikan si pembuat. Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek
91
ISBN : 978-602-7509-50-4
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.
Hlm.49.
94
.Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,
Mandar Maju, Bandung. Hlm. 13.
95
Yudi Kristiana, 2009. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. Hlm 55.
96
Moh. Mahfud MD. 2007. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm 146.
97
Yudi Kristiana, 2009. Op.cit. Hlm. 35.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
terlibat dalam suatu perkara, dan lain sebagainya. Selain itu ketentuan hukum acara
pidana khusus tersebut juga harus diorientasikan secara khusus untuk memberantas
semua modus operandi kejahatan extra ordinary crimes, seperti: (1) badan hukum
dapat diadili; (2) orang yang turut melakukan (turut serta) di luar negeri dapat diadili
di Indonesia; (3) adanya kewenangan penegak hukum untuk merampas barang
bergerak yang tidak berwujud; (4) adanya kewenangan penegak hukum untuk
merampas barang2 bukti bagi tersangka yang telah meninggal dunia; (5) dapatnya
dihukum orang yang tidak dikenal dengan peradilan in absentia; (6) dapatnya
dirampas barang2 bukan milik terdakwa, dan lain sebagainya.
Begitu juga apabila dilihat dari aspek strukturnya, maka terhadap lembaga
penegak hukum sebagai penyelenggara HAP khusus tersebut pembentukannya harus
diorientasikan sesuai dengan karakteristik kejahatan tertentu, sehingga baik status,
tugas dan wewenangnya juga disesuaikan dengan kejahatan yang kan diberantasnya.
Sebagai contoh terhadap tindak pidana korupsi idealnya sistem peradilan pidananya
bersifat khusus, sehingga penyidikan, penuntutan, dan persidangan bahkan lembaga
eksekusinya pun dibedakan dengan lembaga penegak hukum pada umumnya.
Artinya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) hanya dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyidikan dan penuntutannya,
sedangkan persidangannya dilakukan oleh hakim pengadilan tipikor, serta lembaga
pemasyarakatan khusus tipikor.
Selain itu HAP khusus tersebut harus juga dapat mengoptimalkan peran serta
ahli (pakar) berbagai bidang ilmu dan masyarakat pada umumnya untuk membantu
aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan tertentu. Untuk itu perlu
adanya ketentuan HAP yang mewajibkan aparat penegak hukum pada tiap tingkatan
pemeriksaan untuk meminta pendapat ahli bidang tertentu sebelum mengambil
keputusannya dan adanya ketentuan yang melindungi kepentingan hukum
masyarakat yang telah berperanserta dalam mengungkap kejahatan khusus tersebut.
Perwujudan HAP khusus untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan
yaitu untuk proses penyidikan berupa antara lain penggunaan upaya paksa harus
bersifat imperatif atau wajib, sedangkan bentuk-bentuk upaya paksanya diperbanyak
jika dibandingkan dengan bentuk upaya paksa yang ada dalam KUHAP. Apabila
dalam KUHAP bentuk upaya paksanya berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan penyitaan dan pemeriksaan surat, maka pada HAP khusus bentuk
upaya paksanya selain seperti yang terdapat di dalam KUHAP, juga ditambah seperti
penyadapan, pemblokiran rekening bank tanpa melalui prosedur birokrasi, penutupan
sementara kegiatan suatu perusahaan, dan lain sebagainya. Sedangkan
pelaksanaannya dilakukan oleh aparat penegak hukum dari lembaga yang dibentuk
khusus untuk kepentingan tertentu seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan
asumsi aparat penegak hukum tersebut memiliki pengetahuan khusus (ahli) terhadap
jenis kejahatan yang menjadi domainnya.
Untuk kepentingan persidangan, proses pembuktiannya selain memperbanyak
jenis alat bukti seperti yang terdapat di dalam KUHAP yaitu: keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, juga menerima alat bukti
yang menggunakan sarana teknologi seperti rekaman hasil penyadapan, rekaman
CCTV, dan lain sebagainya termasuk menggunakan sistem pembuktian terbalik.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Fungsi surat dakwaan dan tuntutan jaksa hanya sebagai dasar awal untuk mengadili
terdakwa, sedangkan hakim dengan kewajibannya untuk mempelajari dan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5
UU Kekuasaan Kehakiman, bebas untuk membuktikan terdakwa bersalah walaupun
pasal-pasal sebagai dasar menyatakan kesalahan terdakwa tidak dirumuskan secara
limitatif di dalam surat dakwaan. Sedangkan lembaga pelaksananya adalah
pengadilan khusus seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan HAM, Pengadilan
Ekonomi dan sebagainya. Berkaitan dengan alasan di atas, maka sudah sewajarnya
adanya hukum acara pidana khusus yang terdapat di dalam berbagai undang-undang
khusus saat ini, seperti antara lain pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dan lain sebagainya.
III. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. KUHAP lebih ditujukan untuk menanggulangi kejahatan (tindak pidana) yang
bersifat umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP;
2. Adanya kriminalisasi di luar KUHP berimplikasi perlu adanya hukum acara
pidana khusus yang hubungannya dengan KUHAP berifat lex specialis,
sedangkan kedudukan KUHAP bersifat lex ganeralis;
3. Perlu adanya ketentuan di dalam KUHAP sebagai dasar hukum keberlakuan
KUHAP terhadap HAP Khusus di luar KUHP;
4. Tidak semua tindak pidana di luar KUHP penanggulangannya menggunakan HAP
Khusus; HAP Khusus hanya untuk tindak pidana khusus;
5. HAP khusus, tidak bersifat kodifikasi terhadap semua tindak pidana di luar
KUHP, melainkan tersebar di dalam masing-masing undang-undang yang
mengatur tindak pidana khusus;
6. HAP khusus tersebut hanya diorientasikan untuk pemberantasan tindak pidana
khusus tertentu;
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.
Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,
Mandar Maju, Bandung. 2004.
Bemmelen, J.M. van, Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. sGravenhage: Martinus Nijhoff. 1950.
Friedman, Lawrence M. dan Macaulay, Stewart (ed), Law And The Behavioral Sciences,
The Bobbs-Merril Company, New York. 1966.
Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
1985.
Kristiana, Yudi. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan
dan Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. 2009.
Mahfud MD, Moh.. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
2007.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip. 1995.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi) UI. Jakarta. 1994.
Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung.
----------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Perkembangan Delik Kesusilaan di
Bidang Cyber (Cyber Sex), Ceramah Umum di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta, 15 Maret
2006, hlm. 1. Bahan ceramah/makalah ini juga pernah disampaikan pada Seminar Kejahatan Seks
melalui Cyber Crime dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban, FH UNSWAGATI,
di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005, hlm. 1.
101
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 253 dan
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 237.
102
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, editor Taftazani, The
Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 201.
103
Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat
perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan
teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini,
dalam Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 1.
104
Muladi,..op. cit., hlm. 203.
105
Australian High Tech Crime Center tahun 2003 membagi hitech crime secara kasar dalam dua
kategori, yaitu (a) crimes committed with or against computers or communication systems; (b) traditional
ISBN : 978-602-7509-50-4
most recent type of crime106 dan cyber crime is part of the seamy side of the
Information Society (cyber crime merupakan bagian sisi paling buruk dari
Masyarakat Informasi)107.
Semakin berkembangnya cyber crime terlihat pula dari munculnya berbagai
istilah seperti economic cyber crime, EFT (Electronic Funds Transfer) crime, cybank
crime, internet banking crime, on-line business crime, cyber/electronic money
laundering, hitech WWC (white collar crime), internet fraud (antara lain bank fraud,
credit card fraud, on-line fraud), cyber terrorism, cyber stalking, cyber sex, cyber
pornography, cyber defamation, cyber-criminals, dan sebagainya.
Dengan semakin berkembangnya cyber crime, sangatlah wajar masalah ini
sering dibahas di berbagai forum nasional dan internasional. Kongres PBB mengenai
The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders108 (yang diselenggarakan
tiap 5 tahun) telah pula membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres
VIII/1990 di Havana, Kongres X/2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI/2005 di
Bangkok (tanggal 18-25 April 2005). Dalam background paper lokakarya
Measures to Combat Computer-related Crime Kongres XI PBB dinyatakan, bahwa
teknologi baru yang mendunia di bidang komunikasi dan informasi memberikan
bayangan gelap (a dark shadow) karena memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk
eksploitasi baru, kesempatan baru untuk aktivitas kejahatan, dan bahkan bentukbentuk baru dari kejahatan.109
Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat
perhatian berbagai kalangan, adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan110 yang
terjadi di ruang maya (cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah
pornografi, mucikari/calo, dan pelanggaran kesusilaan/ percabulan/perbuatan tidak
senonoh/zina. Semakin maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat
dengan munculnya berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child
pornography), on-line pornography, cyber sex, cyber sexer, cyber lover, cyber
romance, cyber affair, on-line romance, sex on-line, cybersex addicts, cyber sex
offender. Khususnya masalah cyber child pornography, dalam Konvensi
Cybercrime Dewan Eropa 2001 di Budapest (yang juga ikut ditandatangani oleh
negara-negara di luar Eropa, antara lain: Jepang, Kanada, USA, dan Afrika Selatan)
sudah disepakati untuk dikriminalisasi.
crimes which are largely facilitated by technology, dalam Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum
Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 126.
106
V.D. Dudeja, Cyber Crimes and Law, Volume 2, 2002, p. v, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 1.
107
Data Protection Working Party, Council of Europe, Opinion 4/2001 On the Council of Europes Draft
Convention on Cyber-crime, adopted on 22 March 2001, 5001/01/EN/Final WP 41, p. 2, dalam Barda
Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 1.
108
Dalam Kongres XI, judul kongres berubah menjadi Congress on Crime Prevention and Criminal
Justice, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 2.
109
Dokumen United Nations A/CONF.203/14, Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and
Criminal Justice, Bangkok, 18-25 April 2005, Background paper, Workshop 6: Measures to Combat
Computer-related Crime: The worldwide multiplication of new information and communication
technologies also casts a dark shadow: it has made possible new forms of exploitation, new opportunities
for criminal activity and indeed new forms of crime, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum
Pidana.....ibid., hlm. 2.
110
Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi .....op. cit., hlm. 11.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Dunia maya (cyber/virtual world) atau internet dan World Wide Web (WWW)
saat ini sudah sangat penuh (berlimpah) dengan bahan-bahan pornografi atau yang
berkaitan dengan masalah seksual. Menurut perkiraan, 40 % dari berbagai situs di
WWW menyediakan bahan-bahan seperti itu.111 Bahkan dinyatakan Peter David
Goldberg,112 bahwa sex merupakan topik paling populer di internet (the most popular
topic on the internet).113 Pernyataan ini mirip dengan pendapat Mark Griffiths,114
bahwa sex merupakan topik yang paling banyak dicari di internet (sex is the most
frequently searched-for topic on the Internet).115 Selanjutnya, Goldberg
mengemukakan pula, bahwa perdagangan bahan-bahan porno melalui internet sudah
mencapai milyaran dollar US per tahun, sekitar 25 % pengguna internet mengunjungi
lebih dari 60.000 situs sex tiap bulan, dan sekitar 30 juta orang memasuki situs sex tiap
hari.116
Gambaran singkat di atas tentunya cukup meresahkan/ memprihatinkan,
karena tidak mustahil bisa juga terjadi di Indonesia. Beredarnya foto hubungan seksual
seorang siswi di Sampit, Jember atau kasus video mesum mirip Ariel dan Luna Maya
beberapa waktu yang lalu, yang direkam dengan kamera digital dan disebarkan
melalui MMS (multy media message) merupakan salah satu contoh penyalahgunaan
teknologi maju. Rekaman dan beredarnya perbuatan mesum ini tentunya sangat
meresahkan, karena kemajuan teknologi ternyata tidak digunakan sebagai sarana
positif untuk meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi justru digunakan sebagai sarana
negatif yang dapat membawa dampak negatif. Keprihatinan terhadap dampak negatif
dari teknologi maju ini, pernah diungkapkan pula oleh Arthur Bowker, seorang ahli
computer crime dari Amerika yang menyatakan antara lain, bahwa teknologi maju
telah meningkat menjadi way of life masyarakat kita, namun sangat disayangkan,
teknologi maju ini menjadi alat/sarana pilihan bagi para pelaku cybersex (cybersex
offender)117. Donna Hughes mengaitkan keprihatinannya dengan krisis hak asasi
manusia (HAM), bahwa eksploitasi sex terhadap wanita dan anak-anak merupakan
krisis hak-hak asasi/kemanusiaan global (a global human rights crisis) yang semakin
meningkat dengan penggunaan teknologi baru. Teknologi informasi dan komunikasi
Lihat Gloria G. Brame, Boot Up and Turn On, 1996, gloria-brame.com/glory/journ7. htm, dalam
Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12.
112
Nua Internet Surveys 2001, Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12.
113
Peter David Goldberg, An Exploratory Study About the Impacts that Cybersex (The Use of the Internet
for Sexual Purposes) is Having on Families and The Practices of Marriage and Family Therapists,
2004, (pedrogoldberg@aol.com), dalam Barda Nawawi Arief, ....., ibid., hlm. 12.
114
Freeman-Longo&Blanchard, 1998, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12.
115
Mark Griffiths, Sex on the Internet: observations and implications for Internet sex addiction, Journal
of Sex Research, Nov, 2001, mark.griffiths@ntu.ac.uk, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid, hlm. 12.
116
Peter David Goldberg, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12.
117
Art Bowker and Michael Gray, An Introduction to the Supervision of the Cybersex Offender,
www.uscourts.gov Publishing Information: Advanced Technologies are increasingly becoming a way of
life for our society. Computers are found in every home, school, and business, with more and more
individuals going "online" every day. Unfortunately, these advanced technologies (computers, scanners,
digital cameras, the Internet, etc.) are becoming the tool of choice for the "cybersex offender.", dalam
Barda Nawawi Arief,.....ibid., hlm. 14.
111
ISBN : 978-602-7509-50-4
telah digunakan sebagai fasilitator untuk perdagangan dan eksploitasi seksual para
wanita dan anak-anak dengan berbagai cara.118
Mengingat cyber crime sudah sangat meresahkan/memprihatinkan itu, maka
sudah seharusnya Pemerintah RI perlu segera membangun suatu sistem penegakan
hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan mayantara (cyber crime) di
Indonesia.
B. Pembahasan
Menurut Peter David Goldberg, cybersex adalah penggunaan internet untuk
tujuan-tujuan seksual (the use of the Internet for sexual purposes)119. Senada
dengan ini, David Greenfield mengemukakan, bahwa cybersex adalah menggunakan
komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual ("using the computer
for any form of sexual expression or gratification"). Dikemukakan juga olehnya,
bahwa cybersex dapat dipandang sebagai kepuasan/ kegembiraan maya ("virtual
gratification), dan suatu bentuk baru dari keintiman (a new type of intimacy")120.
Patut dicatat, bahwa hubungan intim atau keintiman (intimacy) itu dapat juga
mengandung arti hubungan seksual atau perzinahan.121 Ini berarti, cybersex
merupakan bentuk baru dari perzinahan.
Dalam ensiklopedia bebas Wikipedia dinyatakan, bahwa cybersex atau
computersex adalah pertemuan sex secara virtual/maya antara dua orang atau lebih
yang terhubung melalui jaringan internet dengan mengirimkan pesan-pesan seksual
yang menggambarkan suatu pengalaman seksual. Cybersex/computersex merupakan
bentuk permainan-peran (role-playing) antara para partisipan yang berpura-pura atau
menganggap dirinya melakukan hubungan seksual secara nyata, dengan
menggambarkan sesuatu untuk mendorong perasaan/fantasi seksual mereka. Cybersex
ini terkadang disebut juga dengan istilah cybering.122 Menurut Greenfield dan
Orzack, cybering ini dimasukkan dalam penggolongan cybersex yang berupa Online
Sexual Activity (OSA) karena dengan cybering itu, salah seorang atau kedua orang
yang saling berfantasi itu dapat melakukan masturbasi (onani).123 Bahkan menurut
Lihat Bela Bonita Chatterjee, Human Rights and the Cyber Sex Trade, antara lain: the sexual
exploitation of women and children is a global human rights crisis that is being escalated by the use of
new technologiesICTs (information and communication technologies) are being used as facilitators for
the trafficking and sexual exploitation of women and children in various ways, sumber internet, dalam
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 8.
119
Peter David Goldberg, pedrogoldberg@aol.com, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 8.
120
Gloria G. Brame, gloria-brame.com/glory/journ7.htm, dalam Barda Nawawi Arief, ibid., hlm. 9.
121
Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, 2000, halaman 328. Dalam kamus
Hornby, 1963, halaman 517, disebut dengan istilah illicit sexual relations, dalam Barda Nawawi Arief,
.....ibid., hlm. 9.
122
Wikipedia, the free encyclopedia, (en.wikipedia.org/wiki/Cybersex): Cybersex or computer sex is a
virtual sex encounter in which two or more persons connected remotely via a computer network send one
another sexually explicit messages describing a sexual experience, by describing their actions and
responding to their chat partners in a mostly written form designed to stimulate their own sexual feelings
and fantasies.It is a form of role-playing in which the participants pretend they are having actual
sexual intercourse,.Cybersex is sometimes colloquially called "cybering", d dalam Barda Nawawi
Arief, .....ibid., hlm. 9.
123
Lihat dalam Peter D. Goldberg; Greenfield dan Orzack mendefinisikan cybering sebagai direct use
by two people who share the same fantasy while one or both masturbate, dalam Barda Nawawi Arief,
.....ibid., hlm. 9.
118
ISBN : 978-602-7509-50-4
124
Kenneth Allen, Cyber-Sex A Review and Implications of the Situation, (home.earthlink. net), dalam
Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10.
125
Michael G. Conner, Psy.D, Internet Addiction & Cyber Sex, (www.CrisisCounseling. org): Cybering",
or sex on the Internet, is defined as the consensual sexual discussion on-line for the purpose of
achieving arousal or an orgasm, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10.
126
Lihat antara lain Peter David Goldberg disebutnya dengan istilah feelings of betrayal, hurt, rejection,
devastation, abandonment, loneliness, shame, jealousy, loss of self-esteem, humiliation; isolate
themselves from their partners or parents; affect the familys sense of mutuality; dalam Barda Nawawi
Arief, .....ibid., hlm. 11.
127
Peter David Goldberg menyatakan, bahwa children reported stress symptoms as a result of exposure to
pornography on the Internet. They reported feeling jumpy, irritable, having difficulty going to sleep,
losing interest in activities, staying away from the Internet, unable to stop thinking about what
happened (Mitchell, Finkelhor, and Wolak (2003), dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11.
128
Arthur Bowker, Michael Gray , The cybersex offender and children, FBI Law Enforcement
Bulletin,The, March, 2005 : digital pornographic images have a longer duration of harm for victims
than nonelectronic materials, www.findarticles.com, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11.
ISBN : 978-602-7509-50-4
129
Gloria G. Brame, op. cit. dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12.
Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi.....op. cit., hlm. 63.
131
Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64.
132
Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64.
130
ISBN : 978-602-7509-50-4
133
134
ISBN : 978-602-7509-50-4
136
Pengertian/ruang lingkup budaya hukum didasarkan pada Renstra (Rencana Strategik) pembangunan
hukum nasional Repelita VI (1994-1999) yang pernah merinci Pembangunan budaya hukum nasional
dalam 5 sektor : (1) Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; (2) Pembinaan Kesadaran
hukum & perilaku taat hukum; (3) Pengembangan/ pembinaan perpustakaan, penerbitan dan
informatika hukum; (4) Pengembangan dan pembinaan profesi hukum; (5) Pengembangan dan
pembinaan pendidikan hukum, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional
Indonesia, Kuliah Umum pada Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UBH, Padang, 16 Mei
2009, hlm. 6.
Pembaharuan/pembangunan hukum merupakan suatu kegiatan berlanjut (sustainable activity) atau
merupakan konsep berlanjut (sustainable concept/idea). Pembaharuan/ pembangunan hukum pada
hakikatnya
merupakan
pembaharuan/pembangunan
yang
berkelanjutan
(sustainable
reform/sustainable development). Di dalam pembaharuan/ pembangunan hukum selalu terkait dengan
perkembangan/pembangunan masyarakat
yang berkelanjutan maupun perkembangam yang
berkelanjutan dari kegiatan/aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide
dasar/konsepsi intelektual. Jadi law reform terkait erat dengan sustainable society/development,
sustainable intellectual activity,sustainable intellectual phylosophy,sustainable intellectual
conceptions/basic ideas, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum..ibid., hlm. 10.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
2.
Pendekatan Juridis-Kontekstual
Pendekatan yang berorientasi dalam melakukan penegakan hukum pidana
berlandaskan hukum positif (KUHP/WvS dan sebagainya), tetapi dalam konteks
bangnas/bangkumnas/siskumnas. Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat dalam
kenyataan sering dipisahkan antara masalah penegakan hukum (law enforcement)
dengan masalah pembaharuan/pembangunan hukum (law reform and development).
Padahal penegakan hukum pidana merupakan bagian (sub-sistem) dari keseluruhan
sistem/kebijakan penegakan hukum nasional, yang pada dasarnya juga merupakan
bagian dari sistem/kebijakan pembangunan nasional.
Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam arti
penegakan in abstracto dan in concreto merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan
sistem (penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang
kebijakan pembangunan nasional (national development policy). Ini berarti,
penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law making/law
reform) dan penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement) seharusnya
bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional
(bangnas)143 dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan) hukum nasional.
Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk
pada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda
dengan penegakan hukum pidana seperti di zaman Belanda karena kondisi lingkungan
atau kerangka besar hukum nasional (national legal framework) sebagai tempat
dioperasionalisasikannya WvS sudah berubah. Menjalankan WvS di Belanda atau di
zaman penjajahan Belanda, tentunya berbeda dengan di zaman RI.144 Ini berarti,
penegakan hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya
harus memperhatikan juga rambu-rambu umum proses penegakan hukum dan keadilan
dalam sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana positif harus berada dalam
konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/national legal
framework), dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas. Inilah baru dapat
dikatakan penegakan hukum di Indonesia.
3. Pendekatan juridis (berwawasan) global/komparatif
Pendekatan pemikiran hukum yang berorientasi pada wawasan global/
komparatif memang pada umumnya diperlukan dalam masalah pembaharuan hukum
(law reform), khususnya dalam pembuatan UU (kebijakan legislatif/ formulasi).
Namun tidak mustahil untuk dimanfaatkan dalam masalah penegakan hukum
(kebijakan judikatif/judisial), mengingat :
bapakmu dan kaum kerabatmu; janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari
kebenaran/keadilan); Al-Maidah:8 (janganlah kebencianmu kepada suatu kaum/golongan, mendorong
kamu berlaku tidak adil); Asy-Syuura:15 (perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati
terhadap orang yang tidak seagama), dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid.,
hlm. 22.
143
Setiap kebijakan di bidang apapun (bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan
sebagainya) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional, dalam
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 23.
144
Identik dengan tidak sama menjalankan mobil di Semarang dengan di Jakarta. Walaupun punya SIM,
bisa kena tilang kalau orang Semarang tidak menguasai kondisi lingkungan dan rambu-rambu di
Jakarta, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 24.
ISBN : 978-602-7509-50-4
a. Adanya asas nasional aktif dalam KUHP, yaitu Pasal 5 ayat 1 ke-2, bahwa aturan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di
luar Indonesia melakukan salah-satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan
menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, diancam
dengan pidana.
b. Adanya beberapa ketentuan dalam UU di luar KUHP yang memperluas jurisdiksi
teritorial ke luar wilayah Indonesia.
c. Banyaknya UU yang berasal dari meratifikasi berbagai ketentuan/dokumen
internasional.
d. Adanya berbagai UU tentang perjanjian bilateral; dan perjanjian timbal balik
dalam masalah pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
(antara lain UU No. 1 Tahun 2006 dan UU No. 8 Tahun 2006);
e. Adanya perkembangan cybercrime yang merupakan transborder/ transnational
crime.
Kondisi perundang-undangan di atas dan perkembangan hitech
crime/cybercrime, mengisyaratkan perlunya pendekatan pemikiran hukum yang
berorientasi pada wawasan global/komparatif. Di samping itu, ada pendapat
Soedarto145 bahwa pendekatan global/komparatif juga dapat membawa sikap kritis
terhadap sistem hukum sendiri dan pendapat Soerjono Soekanto146 dapat juga untuk
pemecahan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat.
C. Simpulan
1. Sistem penegakan hukum pidana cyber crime pada hakikatnya merupakan suatu
sistem penegakan substansi hukum di bidang hukum pidana cyber crime meliputi
hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana.
2. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan
mayantara (cyber crime) di Indonesia, yaitu adanya keterjalinan erat
(keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen)
yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal structure),
dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses
penegakan hukum cyber crime terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma
hukum/peraturan
perundang-undangan
(komponen
substantif/normatif),
lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta
mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen
kultural).
3. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi cyber crime dilihat
dari bidang substansi hukum pidana meliputi substansi hukum pidana materiel
(materielle strafrecht), yaitu (a) KUHP dan peraturan perundang-undangan khusus
lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
145
Lihat pendapat Soedarto, dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo, ed.
2-7, 2008, hlm. 17.
146
Lihat pendapat Soerjono Soekanto, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan ....., ibid.,
hlm. 29.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
undang-undang nasional tentang hak cipta. Dalam kurun waktu yang relatif pendek,
Pemerintah Indonesia telah melakukan empat kali perubahan UUHC, yaitu:
1. Tahun 1982 diterbitkan UUHC Nomor 6 Tahun 1982.
2. Tahun 1987 diterbitkan UUHC Nomor 7 Tahun 1987.
3. Tahun 1997 diterbitkan UUHC Nomor 12 Tahun 1997.
4. Tahun 2002 diterbitkan UUHC Nomor 19 Tahun 2002.
Istilah hak cipta sesungguhnya tidak berasal dari terjemahan bahasa
Belanda auteursrecht yang berarti hak pengarang atau bahasa Inggris copyrights
yang berarti hak menyalin atau hak memperbanyak. Istilah hak cipta sengaja dipilih
agar tidak hanya para pengarang tetapi juga pelukis dan lain-lain.153 Dengan
demikian, istilah pencipta untuk memperluas cakupannya.
Arti pencipta menurut UUHC 2002 adalah seorang atau beberapa orang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Konsep ini memiliki
cakupan sangat luas, baik subjek maupun objeknya. Pencipta sebagai subjek hukum
dalam UUHC 2002 dapat bersifat individual atau kelompok, termasuk yang
membentuk suatu badan usaha. Begitu pun, objek hukum yang menurut UUHC 2002
disebut dengan ciptaan ialah hasil setiap karya dari pencipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Cakupan dari
ciptaan ini pun sangat luas dan beragam jenisnya.
Tidak semua karya intelektual seseorang merupakan ciptaan yang dapat
memperoleh hak cipta. Menurut UUHC ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi
agar suatu karya cipta dapat menjadi objek hak cipta, yaitu:
1. karya cipta itu bukan berupa ide atau inspirasi (idea; inspiration);
2. berbentuk nyata (fixation; real), dapat dilihat, dibaca, didengar, dan diraba;
3. bersifat khas (unique), karena berbentuk khusus atau spesial;
4. merupakan kesatuan atau padu (compact) atau berupa karya yang utuh;
5. bersifat pribadi (personal) yang melekat pada penciptanya;
6. bersifat asli (original) dari pencipta atau derivatif atau turunan dari karya yang
asli.
Karya cipta yang masih berupa ide atau gagasan yang belum dapat dilihat,
dibaca, dan didengar (idea: picture in the mind; inspiration: influence arousing
creative activity in literature, music, art) belum dapat dikategorikan sebagai ciptaan,
sehingga tidak diberikan perlindungan hukum menurut UUHC. Karya cipta semacam
itu, harus dijaga kerahasiaannya, agar pihak lain tidak menggunakannya secara
sepihak. Nanti, setelah seluruh proses penciptaan selesai, baru dipublikasikan atau
diumumkan sehingga orang lain mengetahuinya.
Hak cipta pada hakikatnya adalah seperangkat hak yang dimiliki oleh
pencipta. Menurut UUHC 2002, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Leiden: A.W. Sijthoffs
Uitgeversmaatshappij N.V. dan PT Gunung Agung, 1960, hlm. 2793.
153
J.C.T. Simorangkir, Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982), Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982,
hlm. 5-7.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Jill McKeough dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition, Sydney:
Butterworths, 1997, hlm. 119.
155
Ibid., hlm. 123.
156
Paul Torremans dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition, London: Butterworths,
1998, hlm. 212.
157
McKeough dan Stewart, Intellectual, hlm. 16-19.
ISBN : 978-602-7509-50-4
hak merek dan paten yang muncul setelah didaftarkan. Menurut Pasal 5 UUHC 2002
ada dua kategori pencipta. Pertama, pencipta adalah orang yang namanya terdaftar
dalam daftar umum ciptaan pada kantor direktorat jenderal HKI. Kedua, pencipta
adalah orang yang namanya disebut dalam ciptaannya atau diumumkan.
Meski pendaftaran hak bukan merupakan syarat keberadaan hak cipta, namun
pendaftaran hak diperlukan. Melalui pendaftaran dapat memudahkan untuk
membuktikan bahwa pencipta adalah orang yang memiliki hak cipta. Apabila terjadi
sengketa, sertifikat hak cipta yang diperoleh dapat digunakan sebagai alat bukti
sehingga ada kejelasan dan kepastian tentang saat munculnya hak cipta. Sering kali,
para seniman pencipta lagu tidak mempedulikan tentang saat munculnya hak cipta
pada lagu ciptaannya. Biasanya, sengketa hak cipta baru muncul setelah lagu yang
mirip dengan ciptaannya dibawakan atau dinyanyikan oleh orang lain dalam suatu
acara.
Munculnya hak cipta merupakan momentum untuk menentukan awal atau
dimulainya masa perlindungan hukum bagi hak cipta. Masa perlindungan atau
jangka waktu perlindungan hak cipta dalam UUHC 2002 ditentukan berdasarkan
subjek dan objek. Ditinjau dari subjek hak cipta, dibedakan antara orang sebagai
pencipta dan badan hukum sebagai pemilik atau pemegang hak cipta. Ditinjau dari
objek hak cipta, dibedakan antara ciptaan yang bersifat asli (original) dan turunannya
atau derivatif (derivative). Berdasarkan kategori tersebut, maka jangka waktu
perlindungan hak cipta menurut UUHC 2002, yaitu:
1. Ciptaan yang asli, antara lain seperti karya sastra (literary), drama (dramatic),
musik (musical), dan karya artistik (artistic work)158 yang dimiliki oleh orang,
masa perlindungan berlangsung selama hidup dan 50 tahun setelah meninggal
dunia.
2. Ciptaan yang derivatif, antara lain seperti program komputer (computer program),
sinematografi (film), rekaman suara (sound recordings), penyiaran
(broadcasting), perwajahan (layout)159 berlaku selama 50 tahun sejak diumumkan
atau diterbitkan. Begitu pun, apabila dimiliki oleh suatu badan hukum berlaku 50
tahun sejak diumumkan.
Jangka waktu perlindungan yang terlalu lama untuk beberapa jenis karya cipta
sesungguhnya tidak efektif. Program komputer misalnya, masa perlindungan selama
50 tahun terlalu lama, karena penciptaan program-program komputer baru sangat
cepat, seperti program Windows yang dikembangkan oleh Microsoft. Alih-alih
jangka waktu 50 tahun, masa lima tahun saja usia program komputer sudah terhitung
kuno. Masyarakat pengguna program komputer cenderung menyesuaikan atau
mengikuti program yang baru tentunya.
Perlindungan hukum dilakukan untuk mencegah dan mengatasi pelanggaran
hak cipta yang umumnya dapat berupa:
1. perbuatan yang melanggar hak moral pencipta dengan memanfaatkan hak cipta
milik orang lain secara tanpa izin, seperti mengutip, mencontek, atau plagiarime;
158
159
ISBN : 978-602-7509-50-4
160
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: PT Alumni, 2005, hlm.
135.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Apabila situasi dan kondisi semacam itu terus dibiarkan oleh aparat penegak
hukum, yang mangalami kerugian bukan hanya para pencipta atau pemegang hak
cipta tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Karena, para pencipta enggan membuat
karya cipta yang indah, bermutu dan bernilai seni tinggi. Pada akhirnya, sikap dan
perbuatan semacam itu dapat menciptakan iklim yang tidak sehat atau terjadi
degradasi moral. Karena, pembajakan dan plagiat sesungguhynya merupakan
tindakan atau perbuatan yang melanggar etika dan moral.
IV. Penutup
Perkembangan daya intelektual manusia cenderung meningkat, karena faktor
manusia dan teknologi yang didorong oleh tingkat persaingan yang tinggi pula.
Karya-karya intelektual pada masa mendatang akan semakin banyak bermunculan
dengan beragam jenis atau macam. Namun sayang, perkembangan yang positif itu
terancam dengan lemahnya tindakan hukum untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak cipta.
Ditinjau dari aspek pengaturan hukum untuk memberikan pedoman atau
panduan dalam memberikan perlindungan hukum, dipandang sudah memadai.
Namun, tindakan hukum yang nyata yang belum optimal atau tidak efektif. Akankah,
kita menunggu pihak asing untuk meminta atau mendesak Pemerintah Indonesia agar
melindungi karya-karya cipta mereka yang dipasarkan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Colston, Catherine. Principles of Intellectual Property Law. London: Cavendish
Publishing Limited, 1999.
Engelbrecht, A. dan E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen
Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesi, atau Kitab UndangUndang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar
1945 Republik Indonesia. Leiden: A.W. Sijthoffs Uitgeversmaatshappij N.V. dan
PT Gunung Agung, 1960.
McKeough, Jill dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition.
Sydney: Butterworths, 1997.
Phillips, Jeremy dan Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Fourth
Edition. London: Butterworths LexisNexix, 2001.
Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT
Alumni, 2005
Sasongko, Wahyu. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar
Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007.
Simorangkir, J.C.T. Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982). Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1982.
Snow, Gordon M. Testimony, <http://www.fbi.gov/news/testimony/intellectual-property-lawenforcement-efforts>, diakses tanggal 15 November 2011.
Torremans, Paul dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition. London:
Butterworths, 1998.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2007, Hlm. 8
ISBN : 978-602-7509-50-4
jaminan hak asasi manusia. UUD 1945 hanya berisi tujuh butir ketentuan yang juga
tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia162. Namun setelah
perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan
hak asasi warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami banyak perubahan yang
sangat mendasar163. Namun jika diperhatikan dengan sungguh-sunguh hanya ada 1
ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas
HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaanya itu. 164 ini berarti bahwa Setiap orang berhak
atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun
boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut
atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya.
Namun, negara (cq. Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/
menjalankan agama atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati,
melindungi, menegakkan dan memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan,
ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum.
Pasal 29 UUD 1945 selain merupakan persoalan Hak Asasi Manusia di bidang
kebebasan beragama juga merupakan dasar hubungan agama dan negara di dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaan yang menarik terhadap
masalah hubungan agama dan negara adalah mestikah agama mengatur negara dan
negara harus mengatur agama? Bagaimana sesunguhnya jarak ideal antara agama
dengan negara/ bagaimana pula hubungan agama dengan hak asasi manusia ?
B. Hubungan Negara dan Agama
Hubungan agama dan negara sebenarnya telah lama terjadi dalam realitas
sejarah yang cukup lama. Dalam perkembangan peradaban manusia, agama
senantiasaa memilki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara selalu
mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman sebagaimana
dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara
keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat
yang lain mengalami ketegangan. Hubungan antar agama dan negara tidak berdiri
sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya. Puncak
162
Pasal 27 Ayat (1) (2) , Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1) dan Pasal 34
UUD 1945
163
Pasal 27 Ayat (1) (2), Pasal 28, 28 A, Pasal 28 B Ayat (1) (2), Pasal 28 C Ayat (1) (2), Pasal 28D Ayat
(1) (2) (3) (4), Pasal 28 E (1) (2) (3), Pasal 28F, Pasal 28 G (1) (2), Pasal 28 H (1) (2) (3) (4), Pasal 28 I
(1) (2) (3) (4) (5), Pasal 29 Ayat (2)
164
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal-Pasal UUD 1945 bukanlah rumusan tentang HAM atau human rights,
melainkan hanya ketentuan ketentuan mengenai hak warga Negara atau citizensrights atau biasa juga
disebut the citizens constitusional rigts. Hak konstitusional warga Negara hanya berlaku bagi orangorang yang berstatus sebagai warga Negara, sedangkan bagi warga Negara asing tidak dijamin. Satusatunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraanya adalah Pasal
29 Ayat (2). Jimly Assddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kapaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm 584.
ISBN : 978-602-7509-50-4
hubungan antara agama dan negara terjadi ketika konsep Kedaulatan Tuhan
(theocracy) dimana pelaksaknaanya diwujudkan dalam diri raja. Kedaultan Tuhan dan
Kedaulatan Raja berhimpitan satu sama lain sehingga kekuasaan raja sangat absolut.
Kekuasan raja yang sangat absolut tersebut mengungkung peradaban manusia seperti
yang terjadi pada abad pertengahan. Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekulerisme
yang beruasaha memisahkan agama (gereja) dan negara.165
Di Indonesia ada tiga macam pemikiran yang berkembang mengenai hubungan
antara agama dan negara, pertama, pemikiran yang menghendaki pemisahan antara
agama dengan sistem ketetanegaraan166. Kedua, pemikiran yang melihat hubungan
yang saling membutuhkan antara agama dan negara167. Ketiga, pemikiran yang
menghendaki agama dan negara adalah satu dengan negara yang tidak dapat
dipisahkan168.
1. Tipologi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Sejarah mencatat, bahwa agama dan negara adalah dua institusi yang sangat
berpengaruh pada perkembangan kehidupan manusia. Hanya untuk kedua hal
tersebut manusia bersedia mengorbangkan dirinya, hanya untuk memperoleh gelar
sahid atau syuhada dalam pandangan agama, atau untuk gelar pahlawan atau patriot
dalam pandangan negara. Kedudukan agama dan negara yang sama kuat, tidak
jarang diantara keduanya, terjadi. Pertama, rivalitas di antara keduanya dalam
kurun waktu tertentu, dimana masing-masing saling meniadakan (antogonistik).
Kedua, sebaliknya terjadi perkoncoan atau kolusi atau hubungan simbiotik
antara agama dan negara, dimana antara keduanya saling memanfaatkan dan pada
saat tertentu ingin memperalat.169
Hubungan antara agama dan negara dalam kontek ke-Indoneisan dibagi
dalam empat tipologi yaitu.
1. tumbuhnnya kerajaan Perelak dan Samudera Pasai di Aceh. Di kerajaan ini
hukum negara adalah hukum agama.
2. pertarungan antara hukum adat dan hukum agama (Islam) di Sumatera Barat.
Disebabkan tidak adanya kerajaan besar yang bisa memenangkan yang adat
atau syariah. Perang Paderi merupakan puncak pertarungan antara hukum adat
dan hukum agama (Islam). Di sini terjadi permasalahan karena hukum Islam
akan dijadikan hukum negara tetapi masyarakat menolak, mengigat mereka
165
Menurut Budhy Munawar-Rahman, sekulerisme lahir dari otoriterisme agama (gereja) yang bersekutu
dengan penguasa (negara) sehingga memasung kebebasan beragama. Budhy Munawar-Rahman,
sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif dan perkembangan diskursusnya, Grasindo,
Jakarta, 2010, hlm, XX1.
166
Jajim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama hlm, 1
167
Ibid, hlm, 1
168
Ibid, hlm, 1
169
Model pertama terjadi pasca tumbangya Khilafah Utsmaniyah di Turki, sedangkan model kedua terjadi
pada masa kerajaan majapahit, dimana secara bergantian terjadi pemberian legitimasi antara agama dan
negara. Kerajaan Majapahit lahir lantaran agama memberikan legitimasi kepadanya, sebaliknya agama
juga dilindungi oleh negara. Silih berganti pemberian legitimasi juga terjadi pada Kerajaan Mataram,
tapatnya ketika Walisanga memegang peran dominan di kerajaan. Ibid, hlm, 45.
3.
4.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Taufik Abdulah yang dikutif oleh Mamun Murod Al-Brebesy , Ibid, hlm,47.
Ibid hlm, 47. Dalam pemikiran politik islam, ada tiga paradigma hubungan agama dan negara, pertama
paradigma bersatunya agama dan negara. Yakni pemerintahan negara diselengarakan atas kedaulatan
ISBN : 978-602-7509-50-4
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Kencana, Jakarta, 2010,
hlm, 129.
173
Ibid, hlm, 130
174
Ibid, hlm, 131
175
Musdah Mulia, Negara Islam, KataKita, Jakarta, 2010, hlm, 21-23
ISBN : 978-602-7509-50-4
M. Husein Haikal mengemukan pendapat bahwa di dalam Al-quran dan sunah tidak ditemukan aturanaturan yang lansung dn rinci mengenai persoalan kenegaraan, yang ada hanyalah seperangkat tata nilai
etika yang dapat dijadikan pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku menusia dalam kehidupan dan
pergaulan dengan sesamanya, yang juga memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan hidup bernegara.
Nilai-nilai yang dimaksud adalah prinsip tauhid, sunatullah, dan prinsip persamaan.. Ibid , Musdah Mulia,
hlm, 21-23
177
Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003, hlm.
42
178
Ibid,hlm, 42.
179
Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan adanya pengaruh agama dalam
membangun negara salah satunya dapat ditelusuri melalui karangan Muhammad Husain Haekal,
Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003, hlm. 203.
180
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 1617. Mengenai materi Piagam Jakarta dapat dibaca antara lain dalam buku Piagam Madinah dan
Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
yang Majemuk yang diterbitkan UI Press, Jakarta, 1995. Buku ini berasal dari disertasi Ahmad Sukardja
(Prof, DR)
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia
yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada
di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang
BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada
tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1
Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut,
persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara
golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam
menghendaki negara berdasarkan Syariat Islam, namun golongan nasionalis tidak
setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kese-pakatan dengan
ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan
Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945..
Dalam membahas hubungan antara Negara dengan Agama Islam tersebut
kiranya layak dipertimbangkan berbagai pemikiran dari kalangan intelektual Islam.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kalangan intelektual Islam modern mengenai
hubungan antara agama dengan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga teori
utama. Pemikiran pertama, menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak
harus dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif
mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Menurut pandangan
ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam termasuk dalam
pengelolaan negara dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara
secara resmi harus didasarkan pada syariat Islam. Teori ini antara lain dikemukakan
oleh antara lain Abdul Ala Maududi (1903-1979) (Khurshid, 1990), Sayyid Quth
(1906-1966) dan para ideolog lain dari Ikhwan al-Muslimin. Baik Jamaat-Islami
maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan fundamentalis. Saudi Arabia,
Iran dan Pakistan dapat dilihat sebagai contoh dari negara Islam dalam tipe ini.
Mereka mengembangkan ideologi bahwa kesatuan negara dan agama
dimanifestasikan dalam qhitoh politiknya bahwa Islam adalah al-din wa al-daulah
(agama dan negara).181
Pemikiran kedua, negara dan agama harus dipisahkan, dan dalam hal ini
agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Dalam hubungan negara harus tidak
ada campur tangan agama dalam urusan-urusan politik. Konstitusi negara tidak
harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai-nilai sekuler. Contoh dari teori ini
adalah pada negara Turki Modern di bawah Kemal Attaturk182.
Pemikiran ketiga, menghendaki pemisahan resmi antara negara dan agama,
sehingga negara tidak didasarkan atas Islam namun negara tetap memberikan
perhatian terhadap atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain,
181
182
Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat Pancasila,2010,hlm, 10
Berkes, The Development of Seculerism in Turkey, Mc. Gill University Press 1964.
sebagaimana dikutip Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat
Pancasila,2010, Ibid. hlm. 10
ISBN : 978-602-7509-50-4
negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada dalam wilayahnya. Ketiga
kemungkinan hubungan agama dengan negara tersebut nampaknya dapat
memberikan gambaran atas pilihan-pilihan yang dapat menentukan semua
karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Muslim dan bagaimana negara
harus dijalankan dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas. Dalam
hubungan ini Ali Abdul al-Raziq (1888-1966), menegaskan bahwa khalifah pada
hakikatnya bukan rezim agama, namun rezim keduniaan tanpa landasan agama.
Raziq berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para
khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah
menjadi seorang raja dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau
negara. Beliau adalah sebagai utusan Tuhan dan tidak pernah menjadi pemimpin
politik183. Menurut Raziq bahwa Islam tidak menentukan suatu rezim tertentu dan
tidak memaksakan umat Islam untuk mengikuti sistem tertentu dari pemerintahan
yang ada, tetapi Islam memberikan kebebasan penuh untuk mengatur negara sesuai
dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di mana kita berada dengan
mempertimbangkan pembangunan sosial kita dan kebutuhan zaman.
Formulasi hubungan negara dengan agama Islam dalam proses pendirian
negara Indonesia memang tidak secara historis dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran teori-teori tersebut. Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945,
yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama seluruh bangsa
Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indone-sia) yang
diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya.
Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945,
Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini
dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur,
tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi para pemeluknya. Pada pertemuan bersejarah tersebut,
kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi
Ketuhanan yang Maha Esa.
Kedua, Respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978
Pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh
Islam merasa keberatan, namun kemudian menerimanya.
Ketiga, ketika pada tahun 1982 Pemerintah mengajukan Pancasila sebagai
asas tunggal bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia.
Kebijaksanaan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam, bahkan terdapat
beberapa ormas yang dibekukan karena menolak asas tersebut.
Berdasarkan perkembangan respons umat Islam atas Pancasila sebagai dasar
Filsafat negara, yang diaktualisasikan oleh pemerintah saat itu, maka munculah
Muhamad Imarah, Al Islam wa Uslul al-Hukm Li Ali Abd al-Raziq, edisi ke 2, al-Muassasah alArabiyah li al-Dirasat wa al-Nashr, Beirut, 1998, sebagaimana dikutip, Kaelan, M.S.2010. Ibid, hlm, 10
183
ISBN : 978-602-7509-50-4
berbagai sikap dan penilaian terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi
bangsa dan negara Indonesia, yang hasilnya menimbulkan kerancuan pemahaman
tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia.
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa [Pasal 29 ayat (1) UUD
1945] serta penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam
Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan
kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di
antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena
sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya setelah Ketuhanan Yang
Maha Esa pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita
bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan
persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang
menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan
persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada
di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan
bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebab yang pertama atau causa
prima dan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara
bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.184 Ini berarti, Ketuhanan Yang Maha Esa
harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat,
negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga
berkesimpulan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dibaca sebagai satu
kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam
kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial;
184
Kesimpulan Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta yang lengkap dapat dilihat dalam Satya
Arinanto, Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila (Tesis Program Pascasarjana Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.
ISBN : 978-602-7509-50-4
(4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang
adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan
sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia
(berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila
harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang
Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan),
keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa juga harus
dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan
menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu,
Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme
Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk
beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama
(atheis). Kata tidak menjamin ini sudah sangat dekat dengan pengertian tidak
membolehkan, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal,
melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sila pertama dan
utamanya, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menjadi landasan hukum
dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa Negara
Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Negara Republik
Indonesia berkewajiban melindungi warga negaranya agar dapat menjalankan
hukum agamanya yang Berketuhanan Yang Maha Esa, dalam sistem kenegaraan
Pancasila adalah makna bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan
merupakan Negara Islam, bukan pula Negara Gereja, dan bukan pula Negara
Hindu, bukan Negara Buddha, bukan Negara Konghucu, atau bukan Negara Agama
apa pun, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan suatu negara
Theokrasi dan bukan pula suatu negara Sekularistis tetapi negara beragama dan
negara yang harus melindungi umat yang beragama.Negara Indonesia sebagai
negara hukum, dipertegas lagi dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa Negara
Berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa Jadi, Negara Indonesia adalah negara
hukum yang berdasarkan atas KeTuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai Negara Pancasila kita tidak menganut paham sekuler, sehingga
Negara dan pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan perikehidupan
beragama kita. Karena itu pemerintah tidak menempatkan usaha dan bagi
pembinaan dan pemgembangan kehidupan beragama sebagai masalah masyarakat
dan umat beragama semata-mata. Dilain pihak, Negara kita juga bukan Negara
Agama dalam arti didasarkan pada salah satu agama. Dalam hubungan ini, maka
ISBN : 978-602-7509-50-4
Negara tidak mengatur dan tidak inigin mencampuri urusan syariah dan ibadahibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing.185
Menyadari arti pentingnya agama dalam pembangunan nasional maka
Pemerintah juga menaruh perhatian yang serius dalam pembangunan kehidupan
beragama. Pembangunan di bidang kehidupan beragama bertujuan agar kehidupan
beragama itu selalu menuju ke arah yang positif dan menghindari serta mengurangi
ekses-ekses negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman
masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan kehidupan beragama,
terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama,
karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan
antar umat beragama.
Sesuai dengan prinsip Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa
yang dikatakan Samuel P. Huntington bahwa:
betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik,
diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan
ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak
ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, masih bertahan
hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya
kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan.186
Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan
kerohanian yang dalam yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti
Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. John Locke
menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan
dalam konteks kekuasaan legislasi.
These are the bounds which the trust that is put in them by the society and the law
of God and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all
forms of government.187
Oleh karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar
kepada negara, yaitu dalam bentuk kerohanian yang dalam yang disadari atau
tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara
juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agamaagama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip
185
187
Ibid
ISBN : 978-602-7509-50-4
mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil alamin)188, untuk terus
ditebarkan sebagai kerohanian yang dalam kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus
dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling
memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan kerohanian yang dalam
sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Penataan hubungan antara
agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling
mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk
hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga
negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang
mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya
kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktekpraktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan
norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi
negara.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang
khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di
dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi. Para pendiri negara
bangsa ini menyadari bahwa kausa materialis negara Indonesia adalah pada
bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu adalah bangsa
yang religius, yang mengakui adanya Dhzat Yang Maha Kuasa, yaitu Tuhan, dan
hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai warga negara
adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Adanya ketentuan bahwa negara
berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa, menunjukan bahwa negara mempunyangi
kewajiban dan tanggung jawab untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan
religius rakyat kepada meyakini, meresapi, serta menghayati adanya Tuhan Yang
Maha Esa, ini berarti negara Indonesia adalah negara beragama bukan negara yang
berdasarkan agama tertentu dan juga bukan negara sekuler, adalah negara
beragama. Negara beragama adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hatta menempatkan Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar moral
ditempatkan di atas, sebagai Sila Pertama. Dengan demikian, Hatta mencita-citakan
negara dan pemerintahan akan mempunyai dasar yang kokoh. Dengan pola
pemerintahan yang berpegang pada nilai moral yang tetinggi, maka akan tercapai
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi menurut Hatta, dasar keTuhanan Yang Maha Esa, adalah dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita,
yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil
dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan
dalam perbuatan dan praktek hidup dari dasar cita-cita dan amal ke-Tuhanan Yang
Maha Esa. Ke- Tuhanan Yang Maha Esa bukan lagi sekedar hormat-menghormati
188
Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu
(Nabi Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Moh. Hatta. Pengertian Pancasila seperti dikutip olej Ahmad Zubaidi.Paham Idiologi Pancasila
Mengenai Hubungan Antara Negara Dan Agama. Tesis. Program Studi Pengkajian Ketahanan
Nasional, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. 1993,hlm, 115
190
Ibid
191
Abdulkadir Besar. Cita Negara Persatuan dan Konsep Kekuasaan Serta Konsep Kebebasan Yang
Terkandung di Dalamnya. Seperti dikutip oleh Ahmad Zubaidi. Ibid. Hlm. 118
ISBN : 978-602-7509-50-4
menghapus sama sekali ciri negara agama yang dikemukakan oleh kalangan Islam.
Rumusan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab mencerminkan
warna negara sekuler dari aspirasi pihak kebangsaan yang dimodifikasi dalam
bentuk Pancasila192.
Lebih lanjut, Abdulkadir Besar menyatakan, ditinjau dari sudut negara
agama, Piagam Jakarta memiliki ciri dari negara agama, yaitu bahwa negara ikut
bertanggung jawab mengenai pembinanaan kehidupan beragama. Sedangkan
ditinjau dari sudut negara sekuler, Piagam Jakarta juga menunjukkan
kesekulerannya, yaitu bahwa keikutsertaan negara dalam campur tangan masalah
agama, tidak sampai berwatak campur tangan terhadap kesakralan (kesucian)
agama193.
Dengan demikian, lanjut Abdul Kadir Besar, makna sejarah dari Piagam
Jakarta yang dituangkan dalam bentuk Pembukaan UUD 1945 adalah bahwa
Piagam Jakarta itu telah menetapkan Negara Republik Indonesia sebagai Negara
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, bukan dalam pengertian negara agama,
dan bukan negara sekuler. Dengan demikian tipe Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil da beradab tetap
menghidupkan makna yang terkandung di dalam Piagam Jakarta,yang memadukan
tipe negara agama dan tipe negara sekuler194
Dalam hal ini Mantan Presiden Soeharto menegaskan:195
Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukanlah negara
Teokrasi, negara kita bukanlah Negara Agama; bukan negara yang
berdasarkan diri pada agama tertentu
Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara beragama, yaitu:
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang
mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis atau mencantumkan nilai-nilai
agama, yakni:
1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut
agamanya.
3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama
di bawah Mahkamah Agung.
4. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta
192
Ibid
Ibid
194
Ibid
195
Ibid, hlm, 11
193
ISBN : 978-602-7509-50-4
penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.
6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia....
7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara beragama diakui melalui
pernyataan putusan hakim bahwa Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Sejak kemerdekaan, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit
mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang
berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan
bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008
tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi berpandangan bahwa: Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan
ajaran agamanya masing-masing.
Kelima, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional Tahun 1999-2000 memberikan peran pada agama sebagai landasan dalam
pembangunan nasional:
Memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral,
spritual dan etika dalam penyelenggaran negara serta mengupayakan agar
segala perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama
Negara beragama adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya
tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang
berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat
menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga
warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama
lain.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Pancasila dan UUD 1945 yang menentukan bahwa negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah diartikan bahwa negara harus dibangun atas
dasar prinsip prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara memberikan peran
agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. negara Pancasila adalah yang
kita anut dan kita berpendapat bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan
negara sekuler, tetapi negara yang memberikan tempat terhormat kepada agamaagama yang ada di Indonesia.
Secara filosofis negara mempunyai tugas fasif terhadap masalah agama.
Negara hanya memberikan jaminan kepada seluruh penduduk untuk secara
merdeka menjalankan ajaran agamanya. Negara tidak boleh membuat berbagai
larangan dan hambatan bagi setiap penduduk untuk menjalankan ajaran agamanya.
Bahkan negara harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap penduduk
untuk menlaksanakan ajaran agamanya. Posisi agama dalam negara kita sangat
spesifik ditinjai dari sosiologis, filosofis,dan historis dari negara kita. Walaupun
secara fasif masalah agama adalah menjadi tugas negara, sudah banyak hal yang
memang dalam kenyataan secara kehidupan kenegaraan kita mengenai agama
diatur juga oleh negara seperti UU tentang Peradilan Agama, UU tentang
Perkawinan, UU tentang Sistim Pendidkan Nasional, UU tentang Wakaf.
Pancasila sebagai falsafah dan dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, dimana masing-masing silanya merupakan kesatuan yang utuh dan
bermuara dari kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa
Notonegoro menjelasakan:
Pancasila secara formil sebagai norma hukum dasar positif, objektif dan
subjektif adalah mutlak tidak dapat dirubah dengan jalan hukum, demikian
pula secara materil Pancasila mutlak tidak dapat dirubah disebabkan
kehidupan, kemasyarakatan kebudayaan termasuk kefilsafatan, kesusilaan,
keagamaan merupakan sumber hukum positif, yang unsur-unsur intinya telah
ada dan hidup sepanjang masa adalah justru sekarang merupakan sila-sila dari
Pancasila, sehingga Pancasila disamping sifatnya kenegaraan juga
mempunyai sifat adat kebudayaan (kultur) dan sifat keagamaan (religius)196.
UUD 1945 terdapat kata-kata dan kalimat-kalimat yang dapat diartikan
secara jelas sebagai kata-kata atau kalimat-kalimat keagamaan seperti: Alinea
ketiga Pembukaan UUD yang menyebut Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pasal 9 UUD yang
mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya. Pasal 24
ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah
Mahkamah Agung. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
196
Notonegoro, Beberapa Hal Mengenai Pancasila, Universitas Pancasila, Jakarta, 1972 hlm, 24
ISBN : 978-602-7509-50-4
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Pasal 29 ayat (1)
UUD bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat (3)
UUD bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia.... Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kata-kata dan
kalimat-kalimat tersebut menunjukan ciri-ciri keagamaan dari naskah UUD 1945,
sehingga dapat kita artikan bahwa negara Indonesia tidak memisahkan agama dari
negara, berbeda dengan negara-negara Eropa dan Amerika yang sekuler yang
memisahkan urusan negara dengan agama. Negara USA sebagai negara liberal
yang sekuler, dalam hukum negara positifnya tidak mencantumkan agama resmi
dan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dikesampingkan. diantaranya dapat
dilihat di dalam konstitusi (Tahun 1789) yang menyebutkan; ..... Ujian agama
tidak boleh pernah ada sebagai persyaratan untuk jabatan apapun..., dan
Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang berkenaan dengan suatu
pendirian agama, atau melarang ibadah yang bebas.197
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila, dimana sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu
dengan agama, tidak terpisah karena negara, seperti dikatakan Roeslan
Abdoelgani198 :
Secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan
mengembangkan agama,khususnya melalui departemen agama. Tidak pula
menyatu dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama
tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu
agama. Secara lazim dikatakan Indonesia bukan negara sekuler dan juga
bukan negara agama.
Selain dalam Pancasila, Penjelasan UUD 1945 juga menegaskan salah satu Pokok
Pikiran, khususnya Pokok Pikiran Ke-4, menegaskan :
Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam pembukaan ialah
negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus
mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara untuk memelihara budi perkerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Menurut Abdulkadir Besar, konsekuensi logis dari ketentuan UUD 1945
tersebut adalah bahwa Negara Indonesia ikut bertanggung jawab mengenai
ketakwaan setiap warga negaranya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya,
197
Pasal 6 Butir 3 Konstitusi USA 1789, Pasal I (Dalam Pasal-Pasal Tambahan) Konstitusi USA 1789,
Prajudi Atmosudirjo (ed), Galia Indonesia, 1986
198
Op. Cit, Yudi Latif. Hlm 95
ISBN : 978-602-7509-50-4
Abdulkadir Besar. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Dasar 194 5Sebagaimana dikutip oleh Agung
Ali Fahmi, Implementasi Kebebasan Beragama Menurut UUD, Tesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, 2010,hlm, 67
200
Op. cit Yudi Latif, hlm, 101
201
Mohammad Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,Jakarta, 2004,
hlm,93
202
Ibid, hlm, 93
203
Ibid, hlm 94
204
Ibid, hlm, 94
ISBN : 978-602-7509-50-4
Negara Indonesia bukanlah terbentuk atas perjanjian bermasyarakat dari individuindividu yang bebas atau dari status naturalis ke status civil dengan perlindungan
terhadap civil rights. Tetapi, Indonesia terbentuk karena atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
Negara Hukum Pancasila menurut Padmo Wahjono adalah: Suatu kehidupan
berkelompok bangsa Indonesia, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas
dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Dengan demikian, dari
pendapat tersebut dalam negara Indonesia yang berdasarkan pancasila kerangka
jaminan kebebasan beragama itu mempunyai pengertian :
a) Kebebasan beragama di Indonesia bermakna yang positif sehingga
pengingkaran kepada Tuhan Yang Maha Esa (Atheisme) ataupun sikap yang
memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan,
b) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara, Negara Republik
Indonesia tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara baik secara
mutlak maupun nisbi yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar
1945205.
C. Kesimpulan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga
tidak menyatu dengan agama. Negara secara aktif dan dinamis membimbing,
menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama. Agama tidak pula menyatu
dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan
tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim
dikatakan Indonesia bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama.
Hubungan agama dan negara adalah saling membutuhkan.
Daftar Pustaka
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana,
2007
Kartohadiprodjo, Soediman. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Bandung, 2009
----------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, PT
Bhuana Ilmu Populer, 2008
----------, Menuju Negara Hukum Yang Demokrasi, Jakarta, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Konstitusi, 2008
----------, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung, Mijan, 1997,
205
Ibid, hlm, 94
ISBN : 978-602-7509-50-4
Filasafat
Pancasila
ISBN : 978-602-7509-50-4
Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus Agama
Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang, RaSail, 2009.
Lerner, Natan. Sifat dan Standart Minimun Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan,
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Seberapa Jauh?, Yogyakarta, Kanesius,
2010,
Mulia, Musdah. Negara Islam, Jakarta, KataKita, 2010,
Munawar-Rahman, Budhy. sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif
dan perkembangan diskursusnya, Jakarta, Grasindo, 2010,
Noer, Deliar. Islam dan Politik, Jakarta : Yayasan Risalah, 2003
Notonegoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta, Bina Aksara,1983,
Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Jakarta
Kencana, 2010,
Ratu Perwiranegara, Alamsyah. Pembinaan Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta,
PT. Karya Unipress, 1982
Roem, Mohammad dan Salim, Agus. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya
Pancasila, Jakarta, Bulan Bintang, 1977
Singka Subekti, Valina.
Persada, 2008.
Soemantri, Sri. Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar yang berlaku dan
Pernah berlaku di Indonesia, dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Indonesia, Bandung, Alumni, 1992,
Strong. C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (terjemahan),
Nusamedia, 2004
Bandung, PT
ISBN : 978-602-7509-50-4
206
207
Lily Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?, CV. Ramaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 49.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 170 171.
ISBN : 978-602-7509-50-4
3. Pembahasan
A. Terbentuknya Hukum dalam Masyarakat
3.1. Aliran Sociological Jurisprudence
Melalui Optic Critical Legal Study, G.W. Paton,208 melancarkan kritik
terhadap penggunaan istilah Sociological dalam aliran Sociological Jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound (Anglo Amerika) dan Eugen Ehrlich (Eropa
Kontinental) sebagai kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih suka
menggunakan istilah Functional School. Dengan menggunakan istilah tersebut,
Paton ingin menghindari kerancuan antara Ilmu Hukum Sosiologis (Sociological
Jurisprudence) dan Sosiologi Hukum (Sociology of Law).
Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah Sosiologi Hukum
berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan social sebagai suatu
keseluruhan, dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara
umum) dan Ilmu Politik. Titik berat penyelidikan Sosiologi Hukum terletak pada
masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Ilmu Hukum
Sosiologis memfokuskan kajiannya pada hukum dan memandang masyarakat dalam
kaitannya dengan hukum.209
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (living llaw of the
peoples). Aliran Ilmu Hukum Sosiologis ini memmisahkan secara tegas antara hukum
positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul
sebagai reaksi (dialektika antara tesis-- Positivisme Hukum) dan antitesisdari
Mazhab Sejarah.
Sebagaimana diketahui, Positivisme hukum memandang tiada hokum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver). Sebaliknya mazhab
sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan perkembangan
masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua
mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya
sama pentingnya. Printis atau peletak dasar (pionir) aliran Sociological Jurisprudence
ini antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
Eugen Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Menurutnya, hukum positif
baru akan memiliki daya berlaku yang efektif bila berisikan atau selaras dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.210 Di sini jelas bahwa Eugen Ehrlich berbeda
pendapat dengan penganut positivisme hukum.
Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya bahwa titik sentral
perkembangan hukum tidak terletak pada Undang-undang, putusan hakim, atau ilmu
hukum, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk
hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti dikatakan oleh
G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951, hlm., 17 21.
Bandingkan, Purnadi Purbacaraka dan Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan ke-4, CV. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1990, hal; Lihat pula, Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum,
Gramedia, Jakarta, 1995, hlm., 178.
210
Lily Rasjidi., Op.cit, hlm., 55.
208
209
ISBN : 978-602-7509-50-4
Friedman211, bahwa Ehrlich sendiri pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan
ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarkat modern.
Critical Legal Theory dari W. Friedman atas pendirian Ehrlich demikian itu
adalah sejalan dengan perkembangan masyarakat internasional kontemporer, yang
menganggap bahwa hukum kebiasaan (custom) sebagai sumber utama hukum
(internasional) sudah digantikan oleh perjanjian internasional (convention or treaty).
Sehubungan dengan itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi peranan kebiasaan
sebagai sumber hukum utama212 yakni : (1) Adanya pergeseran sumber hukum
internasional yang utama custom menjadi convention atau treaties; (2) Materi yang
diatur oleh hukum internasional semakin lama semakin banyak yang menyangkut
social ekonomis di samping soal politis; (3) Tendensi hukum internasional dewasa ini
lebih berorientasi ke arah mencegah konflik bersenjata daripada mengatur masalah
pertikaian bersenjata itu sendiri.
Bergesernya pengutamaan sumber hukum (internasional) dari customary
menjadi convention, treaty, agreement ataupun contract, cukup beralasan, sebab
masyarakat modern yang serba kompleks dewasa ini, di samping tetap menginginkan
lebih terjaminnya kepastian hukum karena dibuat dalam bentuk tertulis, juga melalui
perjanjian, persetujuan ataupun kontrak (tertulis) yang berfungsi sebagai 213: (a)
Merumuskan/menyatakan (declare) atau menguatkan kembali (confirm or restate)
aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law);
(b) Mengubah/ menyempurnakan (modifiy) ataupun menghapuskan (abolish) kaidahkaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang
akan datang (for regulating future conducts); (c) Membentuk kaidah-kaidah hukum
internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya.
Kembali kepada ajaran Roscoe Pound, sebagaimana dinyatakan oleh
Soerjono Soekanto214, bahwa Pound dapat dipandang sebagai pelopor Ilmu Hukum
Sosiologis yang memberikan dan mengembangkan konsep-konsep baru dalam
mempelajari hukum dalam masyarakat. Perihal apa yang diberikan dan konsep-konsep
baru apa yang dikembangkan, dapat ditelusuri pada tulisan Roscoe Pound dalam
bukunya The Scope and Purpose of The Sociological Jurisprudence. Dalam
hubungan ini, Satjipto Rahardjo215, menyebutkan :
Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah
penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat
dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan
yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai
lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut
sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada
penggunaan hukum sebagai suatu instrumen.
211
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, terjemahan M. Arifin,
CV. Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm.104.
212
Baca, Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, penerbit: PT.Binacipta, Bandung, 1992, hlm.,
35.
213
Syahmin AK., Ibid., hlm., 78.
214
Soerjono Soekanto., Op.cit., hlm., 30.
215
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 168.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Penerbit: Kanisius, Yogyakarta,
1988, hlm., 175.
217
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 269.
ISBN : 978-602-7509-50-4
jadi sebagai sarana untuk menggerakkan masyarakat ke arah tujuan yang telah
ditentukan. Dengan perkataan lain, bahwa pendekatan secara policy oriented ini lebih
menekankan pada hukum internasional yang ada (is). Ketimbang seharusnya ada
(ought).
Hal lain yang menonjol dari pendekatan policy oriented ialah penekanannya
pada proses pembentukan hukum (internasional). Dalam hukum internasional ini harus
diperhatikan seluruh proses penguasa dalam menentukan keputusan pada percaturan
dunia, dan proses di mana penguasa dan pengawas bersatu untuk penerapannya.
Dengan demikian, penekanannya tidak hanya pada peraturannya sendiri atau
penerapannya sendiri, melainkan kedua-keduanya. Demikian juga bukan pada
penguasa (authority) sendiri atau pada pengawasan (control) sendiri, tetapi baik pada
penguasa maupun pada pengawas.
Meskipun demikian, sayangnya bila kita mengkaji secara seksama mengenai
penerapan Policy Oriented ini dalam bidang hukum internasional --tentunya melalui
Optic Critical Legal Studymaka kita akan menemukan kelemahannya, yaitu pada
prinsipnya pendekatan Policy Oriented membahas terlalu jauh dan berakhir dengan
menyamakan hukum internasional dengan keseluruhan proses sosial dan politik dunia.
B. Hukum Nasional Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional
Mochtar Kusumaatmadja,218 dalam tulisannya Pembinaan Hukum Dalam
Rangka Pembangunan Nasional, menyatakan bahwa:
Pembangunan di sini tentunya yang dimaksudkan adalah pembangun an dalam arti luas yang meliputi segala bidang kehidupan
masyarakat. Masyarakat yang sedang membangun bercirikan perubahan dan peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk
menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan teratur. Karena baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan
tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses
pembangunan. Dalam proses pembangunan itu peranan hukum adalah sebagai sarana pembangun an masyarakat.
ISBN : 978-602-7509-50-4
221
222
ISBN : 978-602-7509-50-4
Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Hukum dan
Pembangunan No.4, Thn ke-ix, Edisi: Juli 1979, hlm., 358.
224
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 8-9
ISBN : 978-602-7509-50-4
Lihat Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media, Bandung.
Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres 1977.Karena yang sering kali
terjadi adalah penzaliman atas agama-agama yang memiliki semangat besar untuk disebarkan ditempat
tertentu (karena agama yang dapat memberikan toleranasi pada agama lainnya tidak terlalu memikirkan
tentang penyebaran agamanya sendiri), maka harus ada hukum sipil yang baik, jika negara sudah cukup
puas dengan agama yang tidak menghalangi pendirian agama lainnya. Maka, inilah prinsip pokok
undang-undang politik suatu agama : jika negara memiliki kebebasan untuk menerima dan menolak
agama baru, sebaiknya agama baru tersebut di tolak. Kalaupun diterima sebaiknya diberikan toleransi.
hlm 332.
226
Liza Wahyunita dan Abd. Qadir Muslim, 2010. Memburu Akar Pluralisme Agama. Malang UINMALIKI PRESS. hlm 29
227
Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit: Konstitusi
Press. hlm 25.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Syahmin AK., Hukum Internasional Publik (Dalam Kerangka Studi Analitis), Jilid 1, Penerbit: PT.
Binacipta, Bandung, 1992, hlm. 1.
229
Hingga Juli 2011, telah bergabung 193 negara ke dalam lembaga internasional Perserikatan Bangsabangsa (PBB), diakses pada tanggal 8 Desember 2012.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
saling berhubungan dengan anggota lain dalam masyarakat internasional, maka antar
mereka saling mengadakan harmonisasi hukum nasionalnya masing-masing.
Daftar Pustaka
Latif, Abdul dan Ali, Hasbi. Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Black, Donald., The Behavior of Law, New York, Academic Press, 1976.
G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951.
Huijbers, Theo., Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Yogyakarta:
Kanisius, 1988.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit:
Konstitusi Press. 2005.
Rasjidi, Lily. Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Rasjidi, Lily dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993.
Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media,
Bandung. Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres
1977.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Bandung: PT. Binacipta, 1975.
-----------., Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum, Bandung: PT.
Binacipta, 1976.
Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang,
Hukum dan Pembangunan No.4 Thn ke-IX, Edisi: Juli 1979.
Sri Setianingsih, Hukum Internasional dan Hukum Nasional Sebagai Sarana
Pembangunan Masyarakat Internasional, Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn
ke-XXVI, Edisi: Agustus 1996.
Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, Bandung: Binacipta, 1992.
-----------., Hukum Internasional Publik, Jilid 4, Bandung: PT.Binacipta, 1997.
Unger, Roberto Mangabeira, Law in Modern Society, Toward A Criticism of Social
Theory, New York, Free Press, 1986.
W. Friedman, Teori Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, Terjemahan M.
Arifin, Jakarta: CV Rajawali Press, 1990.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Supriyono, Melembagakan Bisnis Beretika, Sebuah Prespektif Empiris, LOS DIY, Yogyakarta, 2008,
hlm. 2
231
Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 69
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
236
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun
secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan;
Substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemerikaan pengadilan, kecuali
laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan
di pengadilan;
Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan
dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu
yang patut;
Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan;
Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman;
Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliaasi
oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau
Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.
Melalaikan Kewajiban
Dalam proses pemebrian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak
kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi kewajiban
dan tanggung jawabnya.
Kelompok Kedua adalah bentuk-bentuk maladminstrasi yang mencerminkan
keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok
ini terdiri dari persekongkolan, kolusi dan neotisme, bertindak tidak adil, dan nyatanyata berpihak.
a. Persekongkolan
Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan,
kecurangan, melawan hukum sehingga masyarkat merasa tidak memperoleh
pelayann secara baik.
b. Kolusi dan Nepotisme
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Lihat dalam Laporan dua tahunan (Biannual Report) 2005-2007, LOS DIY, Yogyakarta, 2007, hlm. 48
Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya, makalah, disampaikan dalam Seminar dan
Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan
Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003.
241
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Perspektif Hukum Pidana di
Indonesia (Suatu Kajian Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan)
Diah Gustiniati Maulani dan Maya Shafira
I. PENDAHULUAN
Meningkatnya intensitas diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi di
Indonesia. Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class
citizen makin terpuruk akhir-akhir ini dengan adanya berbagai kekacauan, yang
menciptakan korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara
fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (pelecehan, teror) maupun
ekonomis (di PHK). Tindak pidana yang sering menimpa pada perempuan adalah
perkosaan. Setiap kasus perkosaan tidak terjadi begitu saja, itu tidak dapat dilihat
sebagai kasus yang berdiri sendiri. Sebab perkosaan terkait erat dengan kondisi sosiokultural dari sebuah masyarakat. Perkosaan selalu melibatkan dua pihak yaitu pelaku
dan korban yang dalam sejarah masyarakat mana pun, pelaku lazimnya adalah lakilaki dan korban adalah perempuan.
Berdasarkan data yang di dapat dari Lembaga Advokasi Perempuan Damar
Lampung mencatat, ada 206 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan di Lampung
pada tahun 2008. Kasus tersebut didominasi pemerkosaan, pencabulan, dan
penganiayaan. Dari 206 kasus tersebut, terdapat 105 kasus pemerkosaan, 39 kasus
pencabulan, dan 32 kasus penganiayaan. Dari pengamatan Damar, kasus pemerkosaan
justru lebih banyak dilakukan masyarakat dengan strata sosial dan tingkat intelektual
tinggi yang pelakunya masih keluarga atau orang terdekat dari korban.
Usia korban yang rentan pemerkosaan antara 6 dan 18 tahun (63%), usia
remaja (18,33%) gambaran ini menunjukkan korban pemerkosaan pada saat keadaan
lemah, fisik sedang tumbuh, dan psikologis baru berkembang. Cara yang dilakukan
oleh pelaku perkosaan biasanya dengan mengancam akan membunuh, menipu,
mengiming imingi korban, dengan uang dan lain-lain, biasanya bila korban
merupakan anak-anak. Perkosaan pada usia rentan ini berdampak negatif bagi korban,
yaitu trauma sepanjang hidup, merasa minder, dan menyalahkan diri sendiri.
Meskipun sudah banyak sekali kasus perkosaan terjadi, namun masih banyak faktor
yang menyebabkan sulitnya kasus perkosaan disidang.
Munculnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan korban, di mana korban adalah seseorang yang mengalami Penderitaan fisik,
mental, dan / atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu Tindak Pidana,
ternyata kurang maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Hal ini
terlihat dengan adany kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada
aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor,
diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui
oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa
dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu
saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga
ISBN : 978-602-7509-50-4
berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat.242
Berdasarkan hal di atas, maka munculah suatu permasalahan yang akan
dibahas berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia dengan melihat kepada
kebijakan-kebijakan regulasi yang ada mampu mengatasi masalah tindak kekerasan
(pemerkosaan) terhadap perempuan serta faktor-faktor penghambat upaya
perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan.
II. Pembahasan
A. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan dalam
Perspektif Hukum Pidana di Indonesia
Korban merupakan suatu akibat yang timbul karena adanya sebab ( causa )
yang mendahuluinya. Mustahil akan terjadi suatu akibat tanpa adanya sebab yang
menjadi dasar timbulnya akibat tersebut. Sebab ( causa ) tersebut berupa peristiwa
atau kejadian yang terwujud dalam bentuk keadaan atau perbuatan. Peristiwa yang
berwujud keadaan misalnya gempa bumi, banjir, longsor, dan lain sebagainya,
sedangkan peristiwa yang berwujud perbuatan misalnya tindak pidana yang dilakukan
oleh manusia, meliputi tindak pidana yang dilarang dalam undang-undang maupun
perbuatan yang belum dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana
namun dirasakan oleh masyarakat telah melanggar nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Setiap tindak pidana dapat menimbulkan korban, korban dari kejadian yang
pertama disebut korban alami ( natural victim ) sedangkan korban dari kejadian yang
terakhir disebut korban kejahatan ( criminal victim ). Selanjutnya yang disebut korban
disini terbatas pada korban kejahatan ( criminal victim ), karena korban alami tidak
diliputi hukum pidana. Adapun yang dimaksud korban kejahatan menurut adalah
mereka yang menderita jasmani dan rohani, material dan immaterial sebagai akibat
dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi penderita.243
Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime, yaitu :
1) Korban Langsung ( Direct Victims ) yaitu korban yang langsung mengalami dan
merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai
berikut :
a) Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.
b) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,
kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia.
c) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum
pidana.
d) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
242
243
Arif Gosita, 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan hlm 45. Akademika Presindo. Jakarta.
Arif Gosita, 1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta http: VIVAnews.com,15
Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 ).
ISBN : 978-602-7509-50-4
2) Korban Tidak Langsung ( Indirect Victims ) yaitu timbulnya korban akibat dari turut
campurnya seseorang dalam membantu korban langsung
( directvictims )
atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi
korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban
langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat.
Selanjutnnya berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan secara yuridis
formal definisi perkosaan itu dapat dilihat dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). yaitu :
"Barang.siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia karena perkosaan diancam
dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun".
Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perkosaan harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
a. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
b. Memaksa seorang perempuan;
c. Yang bukan istrinya;
d. Untuk bersetubuh.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikemukakan pengertian korban
perkosaan adalah: Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek).
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan seorang laki-laki yang
diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285 KUHP, sehingga korban
pemerkosaan itu harus memenuhi unsur di atas.
Tindak pidana pemerkosaan yang korbannya didominasi oleh kaum
perempuan selalu berada pada pihak yang lemah dan terkadang merasa dikecewakan.
Karena dengan memberikan sanksi yang berat atau setimpal terhadap pelaku dianggap
sudah memberikan keadilan yang cukup bagi korban. Padahal lebih dari itu upaya
perlindungan terhadap korban pun harus diperhatikan dan menjadi permasalahan yang
serius terhadap kajian viktimologi. Tindak pidana di bidang kesusilaan seperti
contohnya tindak pidana pemerkosaan memberikan dampak yang buruk terhadap para
korban yang biasanya didominasi oleh kaum hawa (perempuan). Oleh karenanya
diperlukan upaya yang maksimal dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
korban tindak pidana pemerkosaan.
Berkaitan dengan tindak pidana perkosaan dengan perempuan sebagai
korbannya, maka yang dimaksud dengan korban adalah:
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita244
Pengertian korban di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 285
KUHP, maka pengertian korban perkosaan adalah : Korban perkosaan harus seorang
wanita, tanpa batas umur. Mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan
seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285
KUHP, sehingga korban pemerkosaan itu harus memenuhi unsur tersebut.
244
ISBN : 978-602-7509-50-4
245
ISBN : 978-602-7509-50-4
melupakan peristiwa yang dialami olehnya. Tetapi mau tidak mau hal ini mesti
dilakukan demi kepentingan korban dan kelancaran dalam proses peradilan pidana.
Perlindungan yang diberikan kepada perempuan selaku korban tindak pidana
secara umum dapat berupa pemberian hak dan kewajiban yang meliputi:247
1. Hak Korban
a.
b.
c.
d.
e.
f. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan
dirinya;
g. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku, bila
melapor ke dan menjadi saksi;
h. Korban berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum;
i. Korban berhak mempergunakan upaya hukum.
2. Kewajiban Korban
a. Korban tidak main hakim sendiri;
b. Berpatisipasi dalam masyarakat mencegah terjadinya/timbulnya korban lebih
banyak lagi;
c. Korban berkewajiban mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri,
maupun oleh orang lain;
d. Korban wajib ikut serta membina sipelaku;
e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri agar tidak menjadi korban lagi;
f. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan si pelaku;
g. Berkewajiban memberi kesempatan kepada pelaku untuk memberi
kompensasi secara bertahap atau sesuai dengan kemampuannya;
h. Berkewajiban menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada
jaminan.
Berkaitan dengan hal di atas apabila kita telaah lebih lanjut maka terhadap
upaya perlindungan korban dalam bentuk hak-hak korban tindak pidana khususnya
sebagai korban tindak pidana pemerkosaan, maka hak-hak tersebut dapat dikatakan
cukup sebagai langkah awal perlindungan terhadap korban. Tetapi hak-hak tersebut
dapat dikhususkan lagi terutama hak mendapatkan kompensasi yang lebih terhadap
penderitaan baik fisik maupun psikis yang sulit untuk diberikan kepada korban
pemerkosaan.
Sebagai bahan perbandingan di bawah ini diberikan contoh pemberian
kompensasi di Inggris yaitu sebagai berikut:248
247
248
ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Seorang wanita yang diserang dan diperkosa di sebuah gang yang gelap dan
dirawat di rumah sakit selama dua bulan mendapat kompensasi 582
poundstreling;
2. Seorang wanita yang menderita shock karena penyerangan seksual sehingga tidak
dapat bekerja lagi mendapat 2.020 pounds;
3. Seorang gadis yang mengalami pelecehan penyerangan seksual mendapat 251
pounds.
Pemberian kompensasi tersebut tentunya juga bergantung kepada
kemampuan dan kondisi masing-masing negara. Hal ini juga tentunya relevan dengan
tersangka/terdakwa yang memperoleh perlindungan dan bantuan dari negara untuk
memperoleh rehabilitasi, ganti rugi dan bantuan hukum secara cuma-Cuma walau dalam
hal-hal tertentu, maka wajar bila korban juga mendapatkan yang sama akan
perlindungan hak-haknya.Terlebih jika dilihat dari tujuan dan tanggung jawab negara
untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Hak korban
akan ganti kerugian pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang
kesejahteraan/jaminan sosial (social security).249
Selanjutnya terkait dengan kewajiban pihak korban sepertinya diuraikan di
atas tidaklah tepat apabila kewajiban tersebut dilakukan oleh seorang perempuan selaku
korban tindak pidana pemerkosaan. Mungkin dalam tindak pidana lainnya dapat untuk
dilaksanakan. Mengingat bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang
menderita baik lahir maupun batin yang pemulihannya tidak semudah pemulihan
korban tidak pidana lainnya misalnya seperti korban pencurian yang hanya dilihat dari
segi materilnya saja. Sedangkam korban pemerkosaan memerlukan tindakan yang
khusus untuk dapat dipulihkan secara maksimal/total.
Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban
tindak pidana dapat tercermin dalam ketentuan pasal-pasal yang ada dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. (HAM). Walaupun tidak
secara nyata mengatur tentang perlindungan korban tetapi tersirat dalam ketentuan pasal
3, 5, 17, 29, dan 30 undang-undang tersebut, yang diantaranya mengatur tentang:250
1.
Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh bantuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaannya (Pasal 5 ayat (1));
2. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan hak miliknya (Pasal 29 ayat (1));
3. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30).
Selanjutnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
secara khusus lebih mangatur perlindungan korban pada Bab V, Pasal 34 dan
dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam
Pasal 35 Bab VI. Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM dan Peraturan pemerintah
Nomor 3 Tahun 2002 menjabarkan pengertian dari kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi.
249
250
Ibid hlm. 67
Bambang Waluyo, 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi hlm. 64. Sinar Grafika. Jakarta.
ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku
tindak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya.
2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian, untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian
biaya untuk tindakan tertentu.
3. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula misalnya kehormatan,
nama baik, jabatan atau hak-hak lainnya.
Selanjutnya upaya perlindungan terhadap perempuan selaku korban tindak
pidana dapat terlihat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dimana dalam Pasal 10 menentukan:
Korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pemerintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkatan
proses pemeriksaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Pelayanan bimbingan rohani;
Selain dari hal di atas, upaya perlindungan korban tindak pidana khususnya
KDRT tidak hanya berasal dari diri si korban saja, tetapi juga ada kewajiban warga
masyarakat untuk melindungi korban tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15
UU Penghapusana KDRT:
Setiap orang yang mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib
melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat;
d. Membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan.
Upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana
juga dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dimana Pasal 5 menentukan:
(1) Seorang saksi dan korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
e. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
f. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
g. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
ISBN : 978-602-7509-50-4
h.
i.
j.
k.
l.
ISBN : 978-602-7509-50-4
khusus mengatur tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana yang apabila kita
cermati perlindungan korban tersebut sepertinya lebih berorientasi kepada perempuan
sebagai korban tindak pidana. Hal ini secara khusus dapat mengakomodir ketentuan
ketentuan tentang perlindungan perempuan sebagai korban tindak pidana khususnya
pemerkosaan yang secara khusus belum ada pengaturan yang khusus mengatur
perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan. Tetapi dengan adanya undangundang tersebut setidaknya dapat dijadikan sebagai pedoman dan acuan dalam rangka
memberikan perlindungan kepada perempuan sebagai korban tindak pidana
pemerkosaan.
B. Faktor-faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum terhadap korban
tindak pidana pemerkosaan
Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum adalah:252
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan
hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
dan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang dirasakan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berkaitan dengan faktor-faktor penghambat dalam upaya pemberian
perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan
diawali dengan melihat kepada faktor hukum. Faktor hukum atau undang-undang bukan
merupakan faktor yang dominan karena walaupun ketentuan secara khusus terhadap
perlindungan korban tindak pidana perkosaan tidak spesifik tetapi hanya tersebar sacara
umum dan dalam penerapannya dapat mengakomodir dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan sebagai
korban tindak pidana yang tercantum diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Selanjutnya hambatan dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dapat dilihat dari tingkat
penyidikan. Kendala yang dihadapi biasanya dari masyarakat atau orang tua bahkan
korban takut dan malu untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib karena ini juga
berkaitan dengan aib keluarga.
Pada umumnya fenomena kasus KDRT bisa diakomodir terhadap kasus
tindak pidana pemerkosaan karena mempunyai spesifikasi sendiri, yaitu:253
252
Soerjono Soekanto, 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo
Persada. Jakarta. hlm. 5.
ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Terjadinya tindak pidana pemerkosaan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban
saja, sehingga kurang aadanya saksi maupun alat bukti lainnya yang memenuhi
ketentuan pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP;
2. Pihak korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa membuka aibnya sendiri
terutama terhadap kasus yang berhubungan dengan seksual;
3. Keterlambatan laporan dari korban atas terjadinya kasus pemerkosaan akan
berpengaruh terhadap tingkat kesukaran penyidik dalam melakukan proses
penyidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti.
Hambatan dari korban atau keluarga seperti: korban takut akan ancaman dari
pelaku, keterlambatan melaporkan baik oleh korban maupun oleh keluarganya karena
menyangkut masalah aib keluarga. Hambatan dari masyarakat karena kurangnya rasa
kepedulian terhadap korban pemerkosaan sehingga menganggap bahwa ini merupakan
aib keluarga dan oleh karena itu cukup diselesaikan dengan para anggota keluarga.
Misalkan jika dihubungkan dengan Pasal 15 UU Penghapusan KDRT, maka pendapat ini
bertentangan dimana dalam pasal tersebut ditentukan bahwa Setiap orang yang
mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya
sesuai dengan batas kemampuannya untuk: dapat mencegah berlangsungnya tindak
pidana; dapat memberikan perlindungan kepada korban; dapat memberikan pertolongan
darurat; dan dapat membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan.
Selanjutnya hambatan berupa sarana dan prasarana terutama berkaitan dengan biaya
seperti: ketentuan biaya visum et repertum harus dikeluarkan oleh pihak korban (dalam
korban KDRT), sehingga korban yang tidak mampu merupakan suatu hambatan dalam
mencari keadilan.
III. Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan bahwa:
1. Upaya-upaya perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak
pidana perkosaan walaupun tidak secara khusus diatur dalam peraturan tersendiri
namun secara umum bentuk perlindungan tersebut dapat berupa kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi terhadap korban tindak pidana sebagaimana tercermin
dan tersurat dalam setiap pasal-pasal yang ada dalam undang-undang yang
berorientasi kepada perlindungan korban khususnya terhadap perempuan
sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik
Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
2. Faktor-faktor penghambat pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana
perkosaan secara intern terdapat pada diri korban sendiri bahkan keluarganya, dan
253
ISBN : 978-602-7509-50-4
secara ektern dapat berasal dari masyarakat dan negara yang dalam hal ini terkait
dengan tidak adanya secara khusus peraturan/undang-undang yang mengatur
tentang perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana
pemerkosaan. Yang selama ini secara umum diatur dalam undang-undang yang
berorientasi pada perlindungan korban tindak pidana sebagaimana yang diuraikan
di atas.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah: Terhadap
upaya-upaya perlindungan korban khususnya perempuan sebagai korban tidak pidana
pemerkosaan walaupun tidak secara tegas dan khusus ada peraturan atau undangundang yang mengaturnya, maka diharapkan para aparat penegak hukum, pemerintah,
masyarakat serta korban sendiri bisa mengaplikasikan berbagai bentuk upaya-upaya
perlindungan yang sudah tersirat dan tersurat dalam beberapa ketentuan undangundang yang sudah mengatur tentang perlindungan korban secara umum.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Gosita, Arif. 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan. Akademika presindo. Jakarta
----------.1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakartahttp:
VIVAnews.com,15 Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 )
Loqman, Loebby. 2002. HAM dalam HAP. Datacom. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Soeroso, Moerti Hadiati. 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif
Yuridis Viktimologis. Sinar Grafika. Jakarta.
Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Sinar Grafika.
Jakarta.
Damar, Lembaga Advokasi Perempuan Anti Kekerasan. Catatan Akhir Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Erna Dewi
I. Pendahuluan
Dewasa ini, internet telah membentuk masyarakat dengan dunia baru, yaitu
masyarakat dunia yang tidak lagi dihalangi oleh batas-batas territorial antara negara
yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali.Internet membawa pada dunia tanpa
pembatasan dan menembus batas kedaulatan negara, 254 masyarakat baru dengan
kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun dibalik itu semua,
internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru diantaranya muncul kejahatan
yang lebih canggih dalam bentuk cyber crime.
Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan
masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Bahkan Volodymyr
Golubev menyebutnya sebagai the new form of anti-social behavior255 Perbuatan
yang menyangkut cyber crime harus ditangani secara serius, karena dampak dari
perbuatan itu sangat luas dan banyak merugikan perekonomian masyarakat, sehingga
apabila tidak ditanggulangi secara dini akan berkembang dan jika tidak terkendali
dampaknya akan sangat fatal bagi kehidupan masyarakat.
Di Indonesia sampai saat ini belum ada rumusan baku tentang definisi cyber
crime, namun demikian bukan berarti sistem hukum nasional tidak mengenal cyber
crime. Fenomena cyber crime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini berbeda
dengan kejahatan pada umumnya. Karena cyber crime dapat terjadi tanpa diperlukan
interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Begitu juga halnya dengan
modus kejahatan dalam dunia maya memang agak sulit dimengerti oleh orang-orang
yang tidak menguasai pengetahuan teknologi informasi. Sebab salah satu unsur dari
cyber crime adalah penggunaan teknologi informasi dalam modus operandinya. Sifat
inilah yang membuat cyber crime berbeda dengan tindak pidana lainnya. Namun
demikian, kejahatan yang terjadi sebenarnya adalah kejahatan biasa (konvensional)
dan masih memungkinkan diselesaikan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam masalah
cyber crime ada beberapa rumusan pidana tradisional yang dapat digunakan, yaitu:
a.
Pencurian
b.
Penggelapan
c.
Pembukaan Rahasia
d.
Pemalsuan
e.
Pengancaman
f.
Pornografi
g.
Penghasutan
h.
Pelecehan Seksual
i.
Penghinaan
j.
Penyebaran kabar bohong256
Kejahatan computer/dunia maya (cyber crime) merupakan kejahatan yang
potensial di masa akan datang seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan
254
Agus Raharjo, 2003. Cyber crime di Indonesia, jurnal studi kepolisian hlm.17
Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber
crime di Indonesia hlm. 1.
256
Harkristuti Harkrisnowo, tt. Cyber crime dalam Perspektif Hukum Pidana. Fakultas Hukum UI. Jakarta
255
ISBN : 978-602-7509-50-4
manusia terhadap teknologi computer. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan
teknologi computer, termasuk didalamnya pertukaran informasi antar bank, transaksi
bank dengan klien, atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.257Kehadiran computer
dan internet yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalitas perbuatan dan
akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini.
Pada kenyataannya dari hari kehari, cyber crime kian meningkat baik dari
segi kuantitas maupun kualitasnya, walaupun masuknya teknologi informasi di
Indonesia masih tergolong rendah, namun ternyata nama Indonesia sudah begitu
popular dalam kejahatan di dunia maya, bahkan berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh sebuah perusahaan sekuriti berbasis texas, clear commerce, tahun 2000 lalu,
menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal
carder terbesar di dunia.Menurut majalah Time edisi 23 september 2002, banyak situs
internet yang tidak mudah untuk dibobol. Namun ternyata carder Indonesia memiliki
reputasi tinggi dalam praktek pembobolan situs ini.258
Sedangkan dalam survey lain yang dilakukan oleh AC. Nioelsen tahun 2001,
mencatat Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia dan keempat di Asia
dalam cyber crime, karena dicap sebagai sarang teroris dunia maya, banyak alamat IP
(internet protocol) Indonesia yang sempat di blokir.259sehingga orang Indonesia yang
ingin berbelanja melalui internet tidak dipercaya lagi oleh pemilik-pemilik situs
belanja online di luar negeri.
Meningkatnya kejahatan dunia maya ini tidak diimbangi dengan perangkat
maupun sumberdaya manusia penegak hukum yang propesional dalam menangani
kasus atau kejahatan tersebut, keadaan demikian yang sekaligus merupakan salah satu
hambatan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Adapun fokus pada tulisan ini adalah menganalisis pengaruh perkembangan
cyber crime terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia. Permasalahan dalam
tulisan ini terdiri dari: (a)Bagaimanakah perkembangan Cyber Crime saat ini: (b)
Bagaimanakah pengaruh perkembangan Cyber Crime terhadap penegakan hukum
pidana.
II. Pembahasan
A. Pengertian Cyber Crime dan Perkembangannya
Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan
masa kini yang mendapat perhatian luas dai dunia international.Volodymyr
Golubev menyebutnya sebagai the new form of anti-social behavior.260Beberapa
sebutan lain yang cukup terkenl diberikan kepada jenis kejahatan baru ini di dalam
berbagai tulisan, antara lain sebagai kejahatan dunia maya (cyber space/ virtual
space offence), dimensi baru dari high tech crime, dimensi baru dari transnational
crime, dan dimensi baru dari white collar crime (wcc).
.Cyber crime (selanjutnya disingkat cc) merupakan salah satu sisi gelap
dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negative sangat luas bagi
257
Sutanto, Hermawan Sulistyo, dan Tjuk Sugiarso. 2005. Cyber crime motif dan penindakan dalam Arif
zahrulyani.hlm. 6.
258
Ibid hlm. 7.
259
Goegle, mengatur duniarimba raya. 2007. Dalam Arif Zahrulyani op cit. hlm. 7.
260
Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber
crime di Indonesia Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 1.
ISBN : 978-602-7509-50-4
seluruh bidang kehidupan modern saat ini.261sampai saat ini belum ada definisi
yang baku mengeai cyber crime itu sendiri, akan tetapi akan dipaparkan bebrapa
pengertian cyber crime yang sering digunakan. Seperti dalam Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas dinyatakan, bahwa kejahatan dunia maya (Cyber
crime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan computer
atau jaringan computer menjadi alat, sarana atau tempat terjadinya kejahatan.
Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain, penipuan lelang secara
online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan
identitas, pornogerafi anak, dan lain-lain.262
The oxford reference online mendifinisikan cyber crime as crime
committed over the internet.263(cc adalah kejahatan yang dilakukan terhadap
internet. Kemudian the encyclopedia Britannica memberikan pengertian cyber
crime as any crime that is commited by means of special knowledge or expert use
of computer technology.264(cc adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
memiliki pengetahuan khusus atau keahlian dalam menggunakan teknologi
computer.
Menurut Roger Leroy Miller dan Gaylord A.Jentz a cyber crime is a
crime that occurs in the virtual community of the internet, as opposed to the
physical world. Selanjutnya keduanya menyatakan, bahwa the location of
cyber crime cyberpace raises new issues in the investigation of crimes and the
prosecution of perpetrators.265 Dalam makalah cyber crime yang disampaikan
oleh ITAC (Information Tecnology Association of Canada) pada International
Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millenium Congress di Quebec pada
tanggal 19 September 2000, yang menyatakan bahwa, Cyber crime is a real and
growing threat to economic and social development around the world.
Information technology touches every aspect of human life and so can
electronically enabled crime.266 Masalah cyber crime ini sudah dua kali
diagendakan yaitu pada onres VIII/1990 di Havana dan pada Kongres X/2000 di
Wina.267
Menurut Muladi Cyber crime merupakan suatu istilah umum yang
pengertiannya mencakup berbagai tindak pidana yang dapat ditemukan dalam
KUHP atau perundang-undangan pidana lainnyayang menggunakan teknologi
computer sebagai suatu komponen sentral. Cyber crime ertupa tindakan sengaja
merusak property, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik atas kekayaan
intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak dan pencurian.268
Berdasarkan uraian di atas, maka Cyber crime mempunyai pengertian
yang cukup luas yaitu kejahatan komputer dengan jaringan computer sebagai
261
Ibid hlm. 2.
Goegle tentang kejahatan dunia maya
263
www.crimr-research.org/library/cybercriminal.html.
264
ibid
265
Roger Leroy dan Gayloid A.Jentz. Law for E-commerce, Thompsonj Learning, United States. 2002.
(dalam Arif zahrulyani).2009. hlm.99.
266
ITAC, IIIC Common View Paper on:Cyber Crime, IIIC 2000 Millenium Congress (dalam Barda NA.
opcit hlm. 2.).
267
ibid
268
Agus raharjo,ibid. Hlm. 228.
262
ISBN : 978-602-7509-50-4
unsur utamanya yang dapat juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional
dimana computer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau
memungkinkan kejahatan itu terjadi. Pada perkembangannya cyber crime (tindak
pidana mayantara)269 sering dibahas di berbagai forum internasional, yaitu pada
Konres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders yang telah membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres
VIII/1990 di Havana, Kongres X /2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI
/2005 di Bangkok (tanggal 18-25 April). Di samping itu telah ada pula Konvensi
Cyber Crime Dewan Eropa (Council of Europe Cyber Crime Convention) yang
ditanda tangani di Budapest pada tanggal 23 November 2001 oleh berbagai
negara, termasuk Kanada, Jepang, Amerika, dan Afrika Selatan.270
Kongres dan Konvensi Internasional tersebut, didahului atau diikuti
dengan berbagai pertemuan dan kajian ilmiah lainnya di berbagai negara yang
sulit untuk dihitung, dari berbagai kajian itu ada yang meresahkan perkembangan
cyber crime terutama dibidang kesusilaan dan eksploitasi seksual, antara lain
dengan diadakannya The First World Congress Against Commercial Sexual
Exploitation of Children di Stockholm, 27-31 Agustus 1996, dan International
Conference on Combatting Child Pornography on the Internet, Vienna,
Hofburg, 29 September- 1 Oktober 1999.
Perhatian terhadap masalah cyber crime ini juga berkembang di Indonesia
terutama dengan diadakan berbagai seminar nasional, sebagaimana yang ditulis
oleh Barda NA. dalam Buku Tindak Pidana Mayantara yang merupakan
himpunan dari makalah yang disampaikan pada delapan seminar nasional yang
diadakan sejak tahun 2001 sampai tahun 2005
B. Pengertian Penegakan Hukum
Menurut G. Radbruch, pada hakekatnya hukum mengandung ide atau
konsep-konsep abstrak, yaitu ide tentang keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial termasuk dalam kelompok yang abstrak. Bertolak dari hakekat
(nilai dasar) hukum tersebut, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide yang bersifat abstarak menjadi kenyataan. Proses
perwujudan ide-ide inilah yang merupakan hakekat penegakan hukum.271Agar
ide-ide tersebut dapat diwujudkan, tentu saja dibutuhkan suatu organisasi, dalam
hal ini peranan negaralah yang diperlukan untuk membentuk lembaga-lembaga
seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Walaupun lembagalembaga tersebut mempunyai fungsi yang berbeda namun tujuannya sama yaitu
menegakkan hukum dalam masyarakat. Karena tanpa lembaga-lembaga tersebut
hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dijalankan sebagai mana
mestinya.
Sistem penegakan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sistem
penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan
hukum administrasi negara. Masing-masing sistem penegakan hukum tersebut
didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut alat
269
Barda NA. 2007. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja
Grapindo Persada. Jakarta.
270
Barda NA. ibid
271
Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru Bandung. Hlm..16.
ISBN : 978-602-7509-50-4
penegak hukum (aparatur) yang mempunyai aturan sendiri-sendiri. Hal ini berarti
ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam
penegakan hukum. Biasanya yang dimaksud dengan alat penegak hukum
hanyalah kepolisian dan kejaksaan, akan tetapi kalau penegak hukum itu diartikan
secara luas, maka penegakan hukum itu juga menjadi tugas dari pembentuk
undang-undang, Hakim dan instansi Pemerintah272, bahkan masyarakat,
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap
warganegara wajib bela negara. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi suatu kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain
adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan
hukum itu.273
Inti dan arti penegakan hukum dari sisi lain terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terkandung di dalam kaidah yang mantap
dan mengejawantahkan sikap dan tindakan sebagai rangkaian penyatuan nilai
tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan
memantapkan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.274 Dengan
demikian penegakan hukum merupakan suatu proses pelaksanaan hukum oleh
aparatur penegak hukum, yang mencakup usaha-usaha pencegahan hingga
tindakan penjatuhan sanksi.
Penegakan hukum pidana erat sekali hubungannya dengan hukum acara
pidana, dimana pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam bagian
sistem peradilan pidana yang merupakan jaringan kerja yang melibatkan hukum
pidana materil (substantive), hukum acara pidana (hukum pidana formal) dan
hukum pelaksanaan pidana dalam rangka mencapai suatu tujuan, baik tujuan
jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang yaitu ingin
mewujudkan kesejahteraan sosial.
Penegakan hukum (law enforcement) telah mempunyai kekuatan (force)
yang diperlukan dalam menegakan hukum. Bila perlu dapat digunakan kekerasan
untuk memaksa seseorang agar mematuhi hukum sehingga tercipta suatu
keserasian hidup antara ketertiban dan ketentraman, sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi.Sedangkan penegakan hukum pidana adalah upaya untuk
menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi
kenyataan, yaitu hukum pidana, yang menurut Van Hamel adalah keseluruhan
dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan
hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht)
dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan
tersebut.275
272
Sudarto, 1986. kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. menurut beliau penegakan hukum tidak
lain adalah proses sdiskresi (discretion process) yaitu proses penyesuaian antara harapan dan kenyataan.
Hlm. 16.
273
Rahardjo. Op cit. hlm. 24.
274
Soerjona Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali hal 2. dari
faktor-faktor tersebut dapat dikaji factor-faktor penghambat penegakan hukum pada umunya dan
penegakan hukum terhadap narkoba khususnya sesuai dengan focus dari tulisan ini.
275
Sudarto, 1986. Kapita selekta hukum pidana Alumni. Bandung. hlm. 60.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
278
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
orang (sindikat) untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan jalan pintas meskipun
perbuatan tersebut termasuk dalam kategori kejahatan menjadi pemicu maraknya
Kejahatan pemalsuan uang. Mengingat pentingnya fungsi dan kedudukan mata uang,
setiap negara mempunyai kebijakan berkaitan dengan peredaran mata uang. Tujuan
kebijakan pengedaran mata uang adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
uang dalam jumlah yang cukup, menjaga kualitas uang layak edar dan menanggulangi
pemalsuan uang. Pemalsuan uang akan terus berkembang selama uang masih masih
dipakai sebagai alat transaksi.
Adapun sanksi bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dinyatakan dalam Pasal
244 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa meniru atau memalsu mata uang
atau kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli
dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Selanjutnya Pasal 245 menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja mengedarkan
mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata
uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya
sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun
barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas
yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan
sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun280.
Salah satu kasus terkait pemalsuan uang yaitu kasus setra sari, yaitu kasus
pemalsuan uang yang diperkirakan sebesar 4 miliar rupiah dalam bentuk 50.000-an
rupiah, dilakukan dengan cara-cara yang sangat canggih dan menghasilkan uang palsu
yang nyaris sempurna,dapat dijadikan betapa berbahayanya kejahatan pemalsuan
uang. Dalam kasus yang diperiksa oleh PN Jakarta Pusat, para pelakunya adalah
oknum anggota Badan Intelijen Negara, sebuah lembaga yang mempunyai otoritas
tinggi dalam mengungkap kejahatan besar yang terjadi di Indonesia. Dalam kasusu
tersebut dibuktikan bahwa pelaku bukan dari kalangan ekonomi lemah atau kelas
bawah,tetapi dilakukan oleh berpendidikan. Kasus tersebut membuktikan bahwa
kejahatan pemalsuan uang terjadi secara terorganisir.
Penegakan hukum terhadap kasus pemalsuan uang juga dinilai masih belum
berjalan baik.Hal ini dibuktikan dengan rendahnya sanksi yang dijatuhkan oleh
pengadilan.Contoh dalam kasus setra sari tersebut, terdakwanyan hanya dihukum satu
tahun.Penjatuhan sanksi yang sangat rendah sesungguhnya tidak sesuai dengan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dalam
KUHP.Oleh karenanyan dianggap perlu upaya penggulangan untuk memberantas
kejahatan yang dianggap banyak merugikan perekonomian Negara tersebut.
Permasalahan yang akan diangkat adalah Bagaimanakah penanggulangan Kejahatan
terhadap pemalsuan uang sebagai upaya penegakan hukum pidana?
A. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
280
ISBN : 978-602-7509-50-4
281
2.
Tahap Aplikasi
Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh
aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam
tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan
Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang.
Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada
nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap
yudikatif.
3.
Tahap Eksekusi
Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas
menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat
Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan
Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan
Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus
berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh
pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.
Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109.
282
Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang, 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha.
Jakarta.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Ketiga tahap Penegakan Hukum Pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau
proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus
merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber
dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum
pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila
sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk
masa-masa yang akan datang283.
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan
(politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:
1. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Penal.
Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana
yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu : (a) Perbuatan apa yang
seharusnya dijadikan tindak pidana; (b) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau
dikenakan kepada pelanggar.
2. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi
penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,
namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya
kejahatan284.
B.Ketentuan Hukum terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan
Pengedarannya
Menurut sistem hukum pidana, kejahatan terhadap mata uang dan uang
kertas adalah berupa kejahatan berat285. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan
yang mendukung pernyataan itu, yakni:
1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7
bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku
II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15
tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12
tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6
tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara
maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4
bulan dua minggu (Pasal 249).
2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas
universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang
283
Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109.
284
Arief, Barda Nawawi, 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT.
Citra Aditya Bhakti. Bandung. Hlm. 158.
285
Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung. Hlm. 21-22.
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
289
ISBN : 978-602-7509-50-4
ISBN : 978-602-7509-50-4
d) Ovtical Variable ink : tidak berubah warna bila dillihat dari sudut
pandang tertentu
e) Rectoverso
: jika diterawang kearah cahaya tidak beradu tepat
menjadi logo Bank Indonesia
f) Bahan uang
: terasa licin dan memendar dibawah sinar
ultraviolet
d. Sosialiasi keaslian mata uang rupiah tersebut bertujuan untuk lebih mengenalkan
mata uang rupiah yang asli kepada masyarakat, serta meningkatkan kewaspadaan
masyarakat terhadap kemungkinan menjadi korban pemalsuan uang dan peredaran
uang palsu. Bagi masyarakat, khususnya pedagang atau orang-orang yang bekerja
dengan kegaiatan transaksi uang secara langsung dapat bisa membeli alat khusus
yang bermanfaat untuk mendeteksi keaslian uang292.
Upaya preventif lain yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan tatap muka
dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara
sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu
yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Namun
demikian Bank Indonesia tetap harus bekerja sama dengan berbagai instansi untuk
pencegahan dan penanggulangan uang palsu seperti Botasupal,
Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan serta masyarakat secara luas, sesuai dengan tetap
berpedoman kepada fungsi dan peran masing-masing instansi penegak hukum
tersebut.
2. Upaya Penal Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Uang dan Peredaran Uang
Palsu
Upaya penal penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang
palsu yang dilakukan oleh kepolisian adalah dengan melaksanakan penyelidikan untuk
mendapatkan bukti-bukti yang kuat dalam menentukan apakah suatu perbuatan
termasuk sebagai Kejahatan atau bukan. Dalam penyelidikan ini, rangkaian tindakan
penyelidik bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai Kejahatan, tidak untuk mencari/menemukan tersangka. Ketika pihak
kepolisian sudah mendapat cukup bukti bahwa suatu perbuatan termasuk dalam
Kejahatan maka dilakukan penyidikan.
Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana menurut cara yang
diatur di dalam undang-undang293. Penyelidikan dalam hukum acara pidana yang
mengatur tindakan dan cara-cara mengungkap bukti-bukti agar dari suatu peristiwa
pidana dapat diketahuhi tersangkanya dan juga bagaimana agar orang yang disangka
telah melanggar hukum pidana materil tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Setiap
melakukan penyidikan sesungguhnya penyidik membuat hipotesa yang merupakan
interpretasi dari data dan fakta yang siperoleh selanjutnya disusun dan dirangkai
hingga dapat disimpulkan pelakunya. Pada waktu melakukan penyidikan, pihak
kepolisian dituntut untuk bekerja secara obyektif dan jujur, menafsirkan temuan fakta
292
293
Ibid.
F.AGYYA..2010. KUHAP. Asa Mandiri. Jakarta.
ISBN : 978-602-7509-50-4
secara obyektif untuk kemudian disusun secara sistematis, sehingga secara obyektif
pula dapat ditentukan terbukti atau tidak.
Bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana meliputi berbagai
ketentuan tentang data penyidikan, diketahuinya terjadinya delik, pemeriksaan di
tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahanan sementara,
penggeledahan, pemeriksaan atau investegasi, berita acara (penggeledahan, interogasi,
dan pemeriksaan di tempat), penyitaan dan pelimpahan perkara. Pemeriksaan
penyidikan adalah pemeriksaan dimuka pejabat penyidik dengan menghadirkan
tersangka, saksi atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan
langsung dengan tersangka, para saksi, atau ahli. Penyidikan merupakan rangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti294. Dengan bukti yang dikumpulkan, Kejahatan
yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi
pelaku Kejahatan yang sedang disidik.
Kejahatan pemalsuan uang merupakan Kejahatan khusus, sehingga penyidik
perlu menghadirkan seorang atau lebih saksi ahli untuk turut membantu kelancaran
proses penyidikan. Oleh karena itu pihak kepolisian meminta bantuan saksi ahli dari
Kepala Bank Indonesia Cabang Lampung untuk menunjuk stafnya, guna dimintai
keterangan sebagai saksi ahli Kejahatan pemalsuan uang.
Hal ini dilaksanakan sesuai dengan tujuan pokok penyidikan yaitu untuk
menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. Penyidik harus bekerja secara
obyektif, tidak sewenang-wenang dengan tetap menghormati Hak Azasi Manusia dan
asas praduga tidak bersalah. Beberapa tahapan penyidikan yang dilakukan untuk
mengungkap kasus Kejahatan pemalsuan uang, yaitu:
a) Pemeriksaan di tempat kejadian, yaitu memeriksa tempat kejadian perkara
terjadinya Kejahatan pemalsuan uang
b) Pemanggilan atau penangkapan tersangka, setelah jelas dan cukup bukti awal maka
pihak kepolisian melakukan pemanggilan atau penangkapan terhadap tersangka
pelaku Kejahatan pemalsuan uang
c) Penahanan sementara, setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka maka
dilakukan penahanan terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan uang
d) Penyitaan, melakukan kegiatan penyitaan berbagai barang bukti yang akan
memperkuat pemberkasan atau berita acara .
e) Pemeriksaan, dilakukan untuk menambah atau memperkuat bukti-bukti bahwa telah
terjadi Kejahatan pemalsuan uang. Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di
muka pejabat penyidik dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi atau ahli.
Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan langsung dengan tersangka,
para saksi, atau ahli.
f) Pemeriksaan di muka penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik, setelah dapat
mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang diduga sebagai
tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya peristiwa pidana atau oleh
karena berdasar laporan ataupun berdasar pengaduan dan menduga peristiwa itu
294
Ibid.
ISBN : 978-602-7509-50-4
Ibid.
Ibid.
ISBN : 978-602-7509-50-4
bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk
menuntut pelaku Kejahatan pemalsuan uang.
Selain itu Hakim Pengadilan dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang
pengadilan, melihat dari beberapa aspek, yaitu:
a) Kesalahan pelaku Kejahatan
Hal tersebut merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku
Kejahatan tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku Kejahatan harus ditentukan secara
normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat
harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif
dari kesengajaan dan niat itu adalah hakim. Hakimlah yang harus menilai suatu
perbuatan in concreto dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga,
seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan juga keadaan pribadi
pelaku Kejahatan. Jadi segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut pelaku
sendiri harus diteliti dengan seksama. Untuk menentukan niat dari pelaku
Kejahatan dapat digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain.
Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-Undang atau dari luar UndangUndang, yaitu dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya
dilakukan maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa terdapat
unsur sengaja. Misalnya di dalam KUHP ada ketentuan bahwa dalam Kejahatan
harus ada niat. Di luar Undang-Undang pun ada aturan-aturan yaitu berupa
kebiasaan atau dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus diindahkan oleh
seseorang. Dalam kasus tersebut bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
harus berdasarkan atas bukti pemeriksaan perkara dan keterangan saksi-saksi
bahwa pelaku melakukan Kejahatan dan sebagaimana diatur di dalam KUHP.
b) Motif dan tujuan dilakukannya suatu Kejahatan
Dalam kasus Kejahatan diketahui bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan
tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
c) Cara melakukan Kejahatan
Bahwa pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan Kejahatan tersebut. Memang terapat unsur niat di
dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
d) Sikap batin pelaku Kejahatan
Bahwa sikap batin itu tidak dapat diukur dan dilihat. Tidaklah mungkin diketahui
bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya, maka haruslah
ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran
sikap batin orang pada umumnya, apabila ada dalam situasi yang sama dengan
pelaku tersebut. Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah
dan rasa penyesalan atas perbuatannya, serta berjanji tidak akan mengulangi
perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada
keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan yang baik. Hal
tersebut juga menjadi faktor pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan pidana.
e)
ISBN : 978-602-7509-50-4
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku Kejahatan juga sangat
mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,
misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari
keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang
saja (kalangan kelas bawah).
f) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Kejahatan
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan dengan
tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas
juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi
pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab,
juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.
Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
g) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku Kejahatan,
juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut,
membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan
mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan
berguna. Penjatuhan pidana terhadap pelaku dilakukan untuk memperbaiki
kesalahan yang diperbuat.
h) Pandangan masyarakat terhadap Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku
Dalam kasus ini masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu
perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar
pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan
perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut
dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan
keadilan juga kepastian hukum bagi seseorang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan
penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dilakukan secara preventif dan represif.
Upaya preventif dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan sosialisasi keaslian
uang, penggantian desain uang secara berkala dengan menggunakan teknologi
pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan tatap muka dengan berbagai
lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian
uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan Bank
Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC).
Sementara itu upaya represif penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksanaan dan
pengadilan, sesuai dengan sistem peradilan pidana di Indonesia yang melibatkan
berbagai institusi atau badan hukum yang masing-masing memiliki fungsi sendirisendiri. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan
berpengaruh pada badan yang lainnya. Sistem peradilan pidana dilaksanakan untuk
menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan
pelaku yang melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya atau dapat
menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang
palsu.
ISBN : 978-602-7509-50-4
C. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu penanggulangan kejahatan pemalsuan uang
dilakukan secara nonpenal dan penal. Upaya nonpenal dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan melakukan sosialisasi keaslian uang, penggantian desain uang secara berkala
dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan
tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam
rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang
Rupiah Palsu yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC).
Sementara itu upaya penal dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari
kepolisian, kejaksanaan dan pengadilan dalam tahapan sistem peradilan pidana di
Indoensia yang bertujuan menjatuhkan pidana terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan
uang dan mencegah serta menanggulangi masyarakat menjadi korban pemalsuan uang,
menyelesaikan kasus kejahatan dan menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan
pemalsuan uang dan peredaran uang palsu.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
----------. 2001. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung.
Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta.
Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.
Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia Pradya
Paramitha. Jakarta.
F.Agyya..2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Asa Mandiri.Jakarta
----------. 2010. . Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Asa
Mandiri.Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran,
Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah.
Sumber Lain
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan. Volume 3 No. 1. April 2005 Direktorat
Pengedaran Uang. Perlunya Pengaturan Mata Uang dalam Undang-Undang
Tersendiri. Volume 3. No. 1 April 2005.
Tim Perundang-Undangan dan Pengkajian Hukum. 2005. Paradigma Baru dalam
Menghadapi Kejahatan Mata Uang (Pola Pikir, Pengaturan, dan Penegakan
Hukum). Direktorat Hukum Bank Indonesia. Jakarta.
Brosur Uang Kertas Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2001.
Materi Penataran Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2004.
ISBN : 978-602-7509-50-4