Anda di halaman 1dari 9

Pendahuluan

Tirotoksikosis adalah suatu gangguan endokrin yang terjadi akibat peningkatan kadar
hormon tiroid (T3, T4, atau keduanya) dan efek dari peningkatan tersebut dapat mempengaruhi
hampir seluruh organ dalam tubuh. Tirotoksikosis juga dikatakan sama dengan hipertiroidisme.
Tirotoksikosis (hipertiroid) dan hipotiroid merupakan suatu gangguan endokrin khususnya pada
tiroid yang cukup sering ditemukan, namun prevalensi terjadinya tirotoksikosis lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hipotiroid.
Epidemiologi
Tirotoksikosis merupakan suatu kelainan endokrin metabolik yang mengenai sekitar 2%
wanita dan 0,2% pria, sehingga dapat dikatakan wanita memiliki kecendrungan mengalami
tiroksikosis 10 kali lebih besar dibandingkan pria. Tirotoksikosis dapat ditemukan pada
kelompok variasi umur yang berbeda, dan pada masing-masing kelompok umur gejala klasik dan
tanda yang dialami oleh pasien dapat berbeda (Ambali, 2007).
Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya tirotoksikosis dapat dibagi menjadi dua, yaitu tirotoksikosis
dengan uptake radioiodine yang tinggi dan tirotoksikosis dengan uptake radioiodine yang rendah
(Elston et al, 2005).

Tirotoksikosis dengan uptake radioiodine tinggi

a. Graves disease (Autoimun)


Graves disease merupakan penyebab tirotoksikosis yang paling sering dan banyak dijumpai.
Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang dapat dibedakan secara klinis dengan bentuk
lain dari hipertiroid dengan adanya goiter difus yang tidak nyeri (90%), opthalmopathy (60%),
myxoedema pretibial (1-5%). Penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak, dan frekuensi
meningkat pada puncaknya di dekade ke-empat, setelah umur tersebut prevalensi terjadinya
penyakit ini akan menurun. Wanita 10 kali lebih sering terkena dan terdapat kemungkinan
riwayat keluarga yang berkaitan dengan gangguan tiroid maupun kelainan autoimun endokrin
lainnya.
1

b. Toxic multinodular goiter


c. Toxic nodular goiter
d. Toxic thyroid adenoma
Tirotoksikosis dengan uptake radioiodine rendah
a. Tiroiditis
Subakut
Postpartum
Drug-induced (interferon, amiodarone)
Radiasi
e. Hipertiroid eksogenous (iatrogenik, iodine induced)
f. Penyebab lain yang jarang terjadi meliputi tumor troptoblastic dan tumor kelenjar
pituitary yang kan menyebabkan produksi dan pengeluaran thyrois stimulating hormon
(TSH) yang berlebih serta produksi tiroksin ektopik (Ambali, 2007).

Patofisiologi
Hipertiroidisme dari penyakit Graves dimediasi oleh kerja TSH reseptor antibodi dari
tirosit. Pada penyakit Graves TSH reseptor antibodi atau pada penyakit ini dikenal dengan
thyroid stimulating antibody (TsAb) akan mengikat kepada reseptor dan mengaktifkan reseptor
TSH (thyroid stimulating hormone). TSH reseptor antibodi akan berikatan dengan reseptor TSH
pada kelenjar tiroid, sehingga akan terjadi peningkatan cyclic AMP dependent dan kemudian
merangsang epitel folikular kelenjar tiroid untuk menghasilkan tiroksin (T4) dan triiodotironin
(T3) sekaligus merangsang terjadinya hipertrofi dan hiperplasia dari kelenjar tiroid. Selanjutnya
Thyroid Stimulating Antibodi dan reseptor TSH akan merangsang proses inflamasi dengan
pengeluaran faktor-faktor inflamasi (sitokin) interleukin-1, interferon- dan tumor necrosis factor
(TNF-) yang kemudian akan merangsang ekspresi molekul adhesi CD54 dan molekul
regulator CD40 dan HLA kelas II sehingga akan terjadi proses inflamasi pada sel (Falgarone et
al, 2013). Pada penyakit Graves kelainannya terletak pada TsAb bekerja dengan meniru kerja
dari TSH secara terus menerus, sehingga terjadi biosintesis dan sekresi hormone tiroid yang
berlebih dan pada akhirnya dapat menyebabkan tirotoksikosis. Reseptor antibodi TSH pada
penyakit Graves juga dapat menstimulasi proliferasi dari tirosit, yang akan berujung kepada
terjadinya goiter (Ambali, 2007).
Anamnesis:
2

Pada saat melakukan anamnesis terhadap pasien tiroksikosis perlu ditanyakan gejalagejala yang mengarah kepada hasil hipertiroid. Pasien dapat mengeluhkan tanda kecemasan,
iritabilitas, palpitasi, penurunan berat badan dan gejala lainnya yang berhubungan dengan
kenaikan aktifitas simpatis (Iagaru et al, 2007).
Secara umum gejala dan tanda yang dapat dialami oleh pasien dengan tiroksikosis adalah sebagai
berikut:
Gejala:

Hiperaktifitas dan iritabilitas


Berat badan menurun
Berkeringat yang berlebih
Palpitasi
Rasa lelah dan lesu
Diare
Poliuria
Siklus menstruasi yang terganggu

Tanda:

Takikardia
Goiter
Tremor
Kelemahan pada otot
Lid lag
Ginekomastia
Atrial Fibrilasi

Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan awal yang pertama dilakukan adalah pemeriksaan
secara umum. Pemeriksaan umum pada pasien dengan gangguan tiroid meliputi pemeriksaan
tinggi dan berat badan, dimana pada hipertiroid akan terlihat adanya penurunan berat badan
akibat peningkatan aktivitas metabolisme. Selain itu pada pemeriksaan pasien dengan
tiroksikosis akan didapatkan ekstremitas yang teraba hangat dan lembab, serta pada gangguan
hipertiroid sering timbul tanda khas berupa myxoedema dan eksoftalmus.
3

Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan lokal, dimulai dengan


inspeksi apakah terdapat luka, asimetrisitas maupun pembesaran pada leher. Jika ditemukan
adanya pembesaran pada leher maka untuk memastikan apakah kelenjar tiroid yang membesar
maka pasien diminta untuk menelan. Jika pembesaran kelenjar tersebut ikut naik pada saat
menelan maka dapat dipastikan kelenjar yang mengalami pembesaran tersebut merupakan
kelenjar tiroid. Pada saat dilakukan palpasi dapat teraba adanya vascular thrill yang dapat
menandakan adanya peningkatan aliran darah tiroidal, yang dapat dikonfirmasi dengan
ditemukan adanya bruit pada saat auskultasi (Jayakumar, 2011).
Pemeriksaan Penunjang:
Setelah melakukan pemeriksaan fisik, untuk membantu menegakkan diagnosis akan
dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang umumnya dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis dan memonitor hasil terapi pada kelainan tiroid adalah
pengukuran kadar serum T3, T4, dan TSH pada darah. Pada pasien dengan tirotoksikosis akan
ditemukan kadar serum TSH yang rendah dan terlihat adanya peningkatan kadar T4 bebas (free
tiroksin) atau triiodothyronine (T3 bebas) maupun peningkatan kedua kadar hormon. Selain itu
dapat dilakukan pemeriksaan lain tambahan berupa ultrasonography untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai nodul, ukurannya, isi dari pembesaran kelenjar tersebut dan juga efek tekanan
terhadap bagian tubuh disekitarnya (Jayakumar, 2011).

Gambar 1. Alur Diagnosis Hipertiroidisme. Diambil dari Reid JR and Wheeler SF. 2005.
Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment. American Family Physician. Vol. 72, No. 4.

Tatalaksana Non Farmakologi


Pada pasien tirotoksikosis, pemberian terapi non farmakologis meliputi meminimalisir
konsumsi zat makanan yang tinggi iodium, karena pada pasien tirotoksikosis kadar hormone
tiroid sangat tinggi. Selain modifikasi diet, pasien dapat menjalani psikoterapi untuk mengurangi
kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Iagaru et al, 2007).
Tatalaksana Farmakologi
Tatalaksana dari tirotoksikosis atau hipertiroid tergantung dari penyebab dan tingkat
keparahan dari penyakit tersebut. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam memberikan
5

pengobatan meliputi umur pasien, ukuran goiter, kondisi pasien, dan juga pengobatan yang
diinginkan oleh pasien. Tujuan dari terapi untuk tiroksikosis adalah untuk memperbaiki kondisi
hipermetabolik dengan efek samping yang minimal dan angka terjadinya hipotiroid yang rendah.
Penggunaan beta-blocker dan iodide digunakan sebagai tambahan terapi, dimana terapi utama
pada pasien tiroksikosis meliputi pemberian obat anti tiroid, radioaktif iodine, dan pembedahan
untuk hipertiroid yang persisten. Masing-masing terapi dapat memberikan hasil yang
memuaskan jika digunakan secara tepat dan optimal (Reid et al, 2005).

Obat Anti Tiroid

Prinsip kerja obat anti tiroid adalah dengan menghambat organifikasi dari iodine, sehingga
akan menyebabkan supresi level hormon tiroid. Methimazole dan Propylthiouracil (PTU)
merupakan jenis obat yang sering digunakan dalam terapi tiroksikosis. Relaps biasanya terjadi
pada pasien yang merokok, pasien dengan goiter yang berukuran besar dan pasien dengan
peningkatan level thyroid-stimulating antibody pada saat akhir terapi (Reid et al, 2005).
a. Methimazole
Methimazole biasanya obat terpilih yang digunakan pada pasien yang tidak hamil karena
alasan harga yang cukup rendah, waktu paruh yang cukup lama, dan angka insidens efek
samping hematologi yang lebih rendah. Dosis pemakaian awal bervariasi dari 15 hingga 30 mg
per hari, dan dapat dikombinasikan dengan pemberian beta blocker. Pemberian beta blocker
dapat dikurangi setelah penggunaan empat hingga delapan minggu dan dosis methimazole
disesuaikan dengan status klinis serta hasil pemeriksaan bulanan kadar T3 dan T4 bebas,
sehingga akhirnya mencapai kondisi eutiroid dan diberikan dosis maintenance sebesar 5 hingga
10 mg per hari. Setelah pemberian obat anti tiroid dihentikan, pasien dimonitor setiap 3 bulan
pada tahun pertama untuk menghindari terjadinya relaps. Jika relaps terjadi, maka radioactive
iodine maupun pembedahan dianjurkan, meskipun pemberian obat anti tiroid dapat diberikan
ulang kembali (Reid et al, 2005).
b. Propylthiouracil (PTU)
Penggunaan PTU lebih dipilih pada pasien hamil karena penggunaan methimazole pada saat
kehamilan sering dikaitkan dengan kelainan kongenital pada bayi. Dosis awal pemberian PTU
6

adalah 100 mg diberikan tiga kali sehari dengan dosis maintenance 100 hingga 200 mg per hari.
Tujuan pemberian PTU adalah menetapkan kadar T4 bebas dalam level yang normal (Reid et al,
2005).
c. Beta Blocker
Penggunaan beta blocker digunakan untuk mengurangi keluhan hipertroid yang berhubungan
dengan adanya peningkatan aktivitas simpatis seperti tremor, palpitasi, intoleransi terhadap
panas, dan kecemasan. Non-selektif beta blocker seperti propranolol lebih sering digunakan
karena mempunyai efek langsung terhadap hipermetabolisme. Terapi dengan propranolol dimulai
dengan dosis 10 hingga 20 mg diberikan setiap 6 jam. Dosis dapat dinaikkan hingga semua
symptom dapat terkontrol. Pada beberapa kasus, dosis 80 hingga 320 mg per hari dikatakan
efektif (Reid et al, 2005).

Iodides

Iodides bekerja dengan memblok konversi tiroksin (T4) menjadi triiodothyronine (T3) dan
menginhibisi pelepasan hormon. Iodides digunakan jika beta blocker tidak cukup untuk
mengendalikan hipertiroid, dan penggunaannya tidak rutin untuk hipertiroidisme karena efek
samping terhadap hormon jika diberikan dalam jangka waktu yang lama. Dosis yang digunakan
biasanya 1 g per hari dan dapat digunakan hingga 12 minggu (Reid et al, 2005).

Radioactive Iodine

Penggunaan radioactive iodine merupakan terapi pilihan untuk kebanyakan pasien dengan
penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Terapi ini tidak mahal, sangat efektif, dan aman.
Dosis aman untuk terapi ini masih sering diperdebatkan, karena pemberian dosis tinggi biasanya
memberikan hasil terapi yang baik namun risiko terjadinya hipotiroid cukup besar.

Pembedahan

Pembedahan dapat dilakukan atas beberapa indikasi dan juga atas permintaan pasien terkait
dengan estetika. Pembedahan yang paling sering dilakukan terkait dengan tiroksikosis adalah
subtotal tiroidektomi. Pembedahan ini membiarkan sebagian jaringan tiroid dan mengurangi
risiko terjadinya hipotiroid sebanyak 25%, namun hipertiroid persisten atau rekuren terjadi pada
7

8% dari jumlah pasien. Total tiroidektomi dilakukan pada pasien dengan tingkat keparahan
penyakit yang cukup besar dan pasien dengan ukuran goiter yang besar (Reid et al, 2005).
Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada pasien tirotoksikosis merupakan efek dari
pengobatan dengan obat anti tiroid, yaitu Agranulositosis. Risiko terjadi komplikasi ini tinggi
pada bulan pertama dan lebih sering pada penggunaan PTU dibandingkan Methimazole. Onset
terjadinya agranulositosis sering mendadak, sehingga pasien perlu diedukasi untuk segera
menghentikan konsumsi obat jika mengalami demam mendadak atau sakit tenggorokan.
Pemantauan secara ketat terhadap jumlah sel darah putih diperbolehkan untuk deteksi awal
agranulositosis (Reid et al, 2005).
Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan hipertiroidisme umumnya baik jika diberikan pengobatan
secara tepat. Meskipun sudah diberikan pengobatan secara maksimal, beberapa manifestasi dari
penyakit ini bersifat irreversibel, seperti pada mata, jantung dan juga komplikasi psikologis.
Pasien yang diberikan terapi untuk hipertiroid meningkatkan risiko mortalitas, dan juga
meningkatkan risiko mortalitas dari tiroid, kardiovaskular, penyakit serebrovaskular, dan juga
fraktur pelvis. Pasien dianjurkan untuk melakukan screening terhadap faktor risiko osteoporosis
dan juga aterosklerosis. Pasien yang sudah mendapatkan terapi hipertiroid sebelumnya memiliki
insidens lebih tinggi mengalami obesitas dan resistensi insulin.
Edukasi
Pasien harus dimonitor setelah pemberian terapi hipertiroid apapun, terutama untuk tiga
bulan pertama. Setelah satu tahun, pasien dimonitor secara berkala meskipun sudah tidak ada
gejala lagi (asimptomatik). Pasien juga diberikan edukasi mengenai risiko terjadinya
kekambuhan (relaps) dan late-onset hipotiroid (Reid et al, 2005).

Daftar Pustaka
8

Ambali, AA. 2007. Thyrotoxicosis-A Review. Middle-East Journal of Scientific Research 2. (34): 98-103. [online]. Available from: www.idosi.org/mejsr/mejsr2(3-4)/2.pdf. Accessed on:
9 Desember 2014.
Elston, MS and Conaglen JV. 2005. Thyrotoxicosis: Pathophysiology, assessment and
management.

NZFP.

Vol.

32,

no.

6.

[online].

Available

from:

www.rnzcgp.org.nz/assets/documents/Publications/Archive-NZFP/Dec-2005-NZFP-Vol32-No-6/ElstonDec05.pdf. Accessed on: 9 Desember 2014.


Falgarone G, Hesmathi H, Cohen R, et al. 2013. Role of Emotional Stres in the Pathophysiology
of Graves Disease. European Journal of Endocrinology. Vol. 168. Pp R13-R18. [online].
Available from: www.eje-online.org/content/168/1/R13.full.pdf. Accessed on: 9 Desember
2014.
Iagaru A and McDougall R. 2007. Treatment of Thyrotoxicosis. The Journal of Nuclear
Medicine.

Vol.

48,

No.

3.

[online].

Available

from:

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17332615. Accessed on: 9 Desember 2014.


Jayakumar RV. 2011. Clinical Approach to Thyroid Disease. JAPI. Vol. 59. [online]. Available
from: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21823256. Accessed on: 9 Desember 2014.
Reid JR and Wheeler SF. 2005. Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment. American Family
Physician. Vol. 72, No. 4. [online]. Available from:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16127951. Accessed on: 9 Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai