Anda di halaman 1dari 34

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1

Anatomi Hidung
Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung terhubung

dengan os. Frontale dan maksila melalui pangkal hidung yang dibentuk os. Nasalis. Hidung luar
berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela,
dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri
dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina prependikularis os
etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung
bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum. Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu
konka suprema, superior, media, dan inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior,
media, dan inferior.1

Gambar 1. Hidung Luar

Gambar 2. Cavum Nasi

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan karotis
eksterna (AKE).

Gambar 3. Pembuluh darah di daerah septum nasi.

Gambar 4. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.

Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri
ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan
pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari
septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri
maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis
superior.2
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina,
arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung
pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral
hidung. Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor,

ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus
Kiesselbach atau Littles area. Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka
media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis
posterior dan faringeal asendens.2
Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n. V1). Bagian
hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina.
Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan sensoris, juga membaerikan persarafan
vasomotor atau otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari
n.maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak do belakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari
permukaan bawah bulbus olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1

Gambar 5. Persarafan pada hidung

1.2

Definisi Epistaksis
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Penanganan

epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates.2
1.2

Epidemiologi Epistaksis
Epistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan kegawat daruratan yang umum

ditemukan di bagian telinga hidung dan tenggorokan. Epistaksis diperkirakan terjadi pada 7
14% populasi umum tiap tahun. Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan
kasus adalah sembuh sendiri dan tidak dilaporkan. Angka kejadian epistaksis meningkat pada
anak-anak umur dibawah 10 tahun, dan dewasa di atas 50 tahun. Laki-laki lebih sering
mengalami epistaksis dibanding wanita. Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu
kelainan.2
1.3

Etiologi Epistaksis
Epistaksis bisa disebabkan oleh kelainan lokal seperti trauma, kelainan anatomi, kelainan

pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing tumor, Pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.3
a. Trauma
Trauma ringan yang bisa menyebabkan epistaksis misalnya, mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras. Trauma yang lebih hebat yang
menimbulkan epistaksis seperti dipukul, kecelakaan lalu lintasatau jatuh. Epistaksis
sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam, dimana perdarahan bisa

terjadi si tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka
tersebut sedang mengalami pembengkakan.
b. Kelainan Pembuluh Darah
Pembuluh darah lebih tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit
c. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada kasus-kasus seperti rhinitis dan sinusitis
d. Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada
angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
e. Penyakit Kardiovaskuler
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosclerosis, nefritis
kronis sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis.
f. Kelainan darah
Kelainan darah yang bisa menyebabkan epistaksis antara lian leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemophilia
g. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik
herediter dan juga pada Von Willenbrand disease.
h. Infeksi Sistemik
Yang sering menyababkan epistaksis adalah demam berdarah. Selain itu juga demam
tifoid, influenza dan morbilli.
i. Perubahan Udara atau tekanan atmosfir

Epistaksis ringan biasanya bisa terjadi pada cuaca yang sangat dinginatau kering. Selain
itu juga bisa karena zat-zat kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya
mukosa hidung.
j. Gangguan Hormonal
Epistaksis bisa juga terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.

1.4

Diagnosis Epistaksis

1.4.1 Anamnesis
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung
berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Ditanyakan juga mengenai riwayat penyakit
seperti hipertensi, diabetes mellitus, gangguan perdarahan dalam keluarga, kelainan darah,
infeksi local atau sistemik. 4,5
1.4.2 Pemeriksaan Fisis
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan
alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kasa. Untuk pemeriksaan yang adekuat
pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja.
Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab

perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin
1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh
darah sehingga perdarahan dapat berhenti. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 4,5
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat
kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung
aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan
berupa.
o Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. 4,5

Gambar 6 - Rhinoskopi Anterior


o Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. 4,5
o Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. 4,5

1.4.3 Pemeriksaan Penunjang


o Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi 4,5
o Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya. 4,5

Gambar 7 . Tampilan endoskopi pada epistaksis posterior

o Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan. 4,5

1.5

Diagnosis Banding Epistaksis


Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari

hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang
kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius. 4,5

1.6

Penatalaksanaan Epistaksis
Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu perbaiki keadaan umum, cari

sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya


epistaksis. Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau
sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila
sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Selanjutnya, kompresi hidung dan menutup lubang hidung yang
bermasalah dengan kasa atau kapas yang telah direndam pada dekongestan topikal terlebih
dahulu. Penekanan langsung sebaiknya dilakukan terus-menerus setidaknya 5 menit atau sampai
20 menit. Miringkan kepala ke depan agar mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring,
hal ini untuk mencegah rasa mual dan obstruksi jalan nafas.3
Pedoman lain menjelaskan diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin
1:10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini
dibiarkan selama 10 15 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan
letaknya di bagian anterior atau posterior. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan,
perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan kearah septum selama beberapa menit.3

Menghentikan pendarahan
A.

Pendarahan anterior

1.

Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah
membatukkan darah dari tenggorokan. Epistaksis anterior yang ringan biasanya bisa
dihentikan dengan cara menekan cuping hidung selama 5-10 menit.

Gambar 8. posisi duduk agar darah tidak tertelan


2.

Kauterisasi
Jika tindakan diatas tidak mampu menghentikan perdarahan, maka dipasang tampon

anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidocain atau pantocain untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Lalu Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan nitras argenti perak 25 30%. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi
septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan
elektrokauter atau laser.3

Gambar 9. kauterisasi sumber perdarahan


3.

Tampon anterior
Bila dengan kaustik, perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan

pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur
betadin atau zat antibiotika. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah masuk dan tidak
menimbulkan pendarahan baru saat di masukan atau di cabut. Tampon di masukan sebanyak 2-4
buah, disusun dengan teratur

dan harus menekan asal pendarahan. Tampon dipertahankan

selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.

Gambar 10. Tampon anterior


B.

Pendarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi
dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri. 3
1.

Tampon Posterior

Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,
dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah
pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares
posterior).
Teknik pemasangan tampon bellocq
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai
tampak di orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat
pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik
keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
perdarahan, dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah
kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.2,3

Gambar 11. Tampon posterior


2. Balloon tamponade
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan
tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada
dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah
bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi
topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang
dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan
salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior.
Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi
tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan

mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.2,3

Gambar 12. Double Balloon terpasang

Gambar 13. Perbandingan Double Balloon


sebelum dan sesudah di kembangkan

3. Ligasi arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang
berat atau persisten.
Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi a. karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah
anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang
pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma di elevasi, m.

Sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju


selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna
dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila
epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi
dengan benang 3/0 silk atau linen. 3,4,5
Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris umumnya di lakukan oleh mereka yang ahli dalam teknik bedah
dan anatomi sehingga dapat mencapai fossa pterigomaksilaris. Prosedur ini dilakukan dengan
anastesi lokal atau umum. Sebelum operasi ini dilakukan perlu dibuat radiogram sinus
paranasalis. Pada mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi caldwell mulai dari garis tengah
hingga daerah gigi molar atas dua. Mukoperitoneum di angkat dari dinding atas sinus maksilaris,
sinus maksilaris di masuki dan sisa dinding diangkat sambil menjaga saraf intraorbita. Dinding
sinus posterior yang bertulang kemudian di angkat dengan hati-hatidan lubang ke dalam fosa
pterigomaksilaris di perbesar. Bila lubang sudah cukup besar, gunakan mikroskop operasi untuk
diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah di identifikasi dan klip logam di pasang pada arteri
maksilaris interna, spenopalatina dan palatina desensence. Luka di tutup dan tampon hidung
posterior diangkat. Suatu tampon hidung anterior yang lebih kecil mungkin masih diperlukan.
Jika terdapat bukti-bukti infeksi atau bila di takuti terjadi infeksi, dapat di buat suatu fenestra
antrum hidung saat melakukan prosedur.
Ligasi arteri etmoidalis anterior
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan ligasi
a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar
melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.

Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior.
Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. Sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid
eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi
periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis
sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. Etmoidalis anterior, dan
rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak
diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis
posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma. 3,4,5
1.7

Komplikasi Epistaksis
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.

Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air
mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan
melalui mulut terlalu kencang ditarik. 3
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan
akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah. 3
1.8

Pencegahan Epistaksis
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara

lain:4,5
a.

Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli,
pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan

ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama
20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b.

Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.

c.

Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6 cm ke dalam hidung.

d.

Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.

e.

Bersin melalui mulut.

f.

Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.

g.

Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti


aspirin atau ibuprofen.

h.

Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.

i.

Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan


menyebabkan iritasi.

1.9

Prognosis
90 % kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa

arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.4

BAB II
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. C

Umur

: 59 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


MR

: 88.23.29

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 59 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
tanggal 20 September 2014 dengan
Keluhan Utama :keluar darah dari hidung kiri 8 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang :

Keluar darah dari hidung kiri 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien
memberi makan burung, tiba-tiba darah merembes keluar dari lobang hidung kiri. Pasien
dibawa berobat ke RSUD Padang dan dipasang sumbat hidung, namun darah masih tetap
merembes, kemudian pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Jamil Padang. Jumlah perdarahan
+ gelas.

Riwayat keluar darah dari hidung sebelumnya (+) 2 tahun yang lalu, berhenti sendiri.

Riwayat mengosok-gosok hidung (-)

Riwayat trauma pada hidung (-)

Riwayat bersin-bersin >5x pagi hari (-)

Riwayat telinga berdengung, penglihatan ganda (-)

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat hipertensi (+) sejak + 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol

Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan :

Pasien bekerja sebagai wiraswasta

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Composmentis cooperative

Tekanan darah

: 150/90 mmHg

Frekuensi nadi

: 90 x/menit

Frekuensi nafas

: 20 x/menit

Suhu

: 36,80C

Pemeriksaan Sistemik
Kepala

: tidak ada kelainan

Mata

: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher

: tidak ditemukan pembesaran KGB

Paru
Inspeksi

: simetris kiri, kanan statis dan dinamis

Palpasi

: fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor kiri = kanan

Auskultasi

: suara nafas vesikuler normal, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi

: ictus tidak terlihat

Palpasi

: ictus teraba 2 jari medial LMCS RIC V, tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung normal

Auskultasi

: bunyi jantung murni, irama teratur, bising ()

Abdomen
Inspeksi

: distensi (-)

Palpasi

: supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: tympani

Auskultasi

: bising usus + normal

Extremitas

: edem -/-

Status Lokalis THT


Telinga
Pemeriksaan

Daun telinga

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Kel kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Kel. Metabolik

Tidak ada

Tidak ada

Diding

Nyeri tarik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan tragus

Tidak ada

Tidak ada

Cukup lapang (N)

Cukup lapang (N)

Cukup lapang(N)

Tidak ada

Tidak ada

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Ada / Tidak

Ada

Ada

Bau

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Kekuningan

Kekuningan

Jumlah

Minimal

Minimal

Jenis

Lunak

Lunak

Warna

Putih mutiara

Putih mutiara

Reflek cahaya

(+) arah jam 5

(+) arah jam 7

Bulging

Tidak ada

Tidak ada

Retraksi

Tidak ada

Tidak ada

Atrofi

Tidak ada

Tidak ada

Jumlah perforasi

Tidak ada

Tidak ada

Jenis

Tidak ada

Tidak ada

Kwadran

Tidak ada

Tidak ada

liang Hiperemis

telinga

Sekret/serumen

Membran timpani

Utuh

Perforasi

Pinggir

Tidak ada

Tidak ada

Tanda radang

Tidak ada

Tidak ada

Fistel

Tidak ada

Tidak ada

Sikatrik

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri ketok

Tidak ada

Tidak ada

Rinne

(+)

(+)

Schwabach

Sama

Gambar

Mastoid

Tes garpu tala

dengan Sama

pemeriksa

Audiometri

dengan

pemeriksa

Weber

Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan

Telinga Normal

Telinga Normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Hidung
Pemeriksaan

Hidung luar

Kelainan

Dektra

Sinistra

Deformitas

Tidak ada

Tidak ada

Kelainan kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Sinus paranasal
Pemeriksaan

Dekstra

Sinistra

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri ketok

Tidak ada

Tidak ada

Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Vestibulum

Vibrise

Ada

Ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Cukup lapang (N)

Cukup lapang (N)

Sempit

Sempit

Tidak ada

Ada

Lapang

Ada

Tidak ada

Cavum nasi

Sekret

Lokasi

Tidak ada

Ada

Jenis

Tidak ada

Darah,

sekret

mukopurulen

Konka inferior

Konka media

Jumlah

Tidak ada

Minimal

Bau

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Eutrofi

udem

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Bergranul

Licin

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Eutrofi

Eutrofi

Warna

Merah muda

Merah

Permukaan

Licin

Licin

Edema

Tidak ada

Ada

Cukup

Cukup lurus

Deviasi (+)

Permukaan

Licin

Licin

Warna

Merah muda

Merah

Spina

Tidak ada

Tidak ada

Krista

Tidak ada

Tidak ada

Abses

Tidak ada

Tidak ada

Perforasi

Tidak ada

Tidak ada

lurus/deviasi

Septum

Massa

Lokasi

Tidak ada

Tidak ada

Bentuk

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Tidak ada

Tidak ada

Permukaan

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Tidak ada

Tidak ada

Konsistensi

Tidak ada

Tidak ada

Mudah digoyang

Tidak ada

Tidak ada

Pengaruh

Tidak ada

Tidak ada

Dekstra

Sinistra

Cukup lapang

Cukup lapang

Merah muda

Merah muda

vasokonstriktor

Gambar

Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan

Kelainan
Cukup lapang (N)

Koana

Sempit
Lapang
Warna

Mukosa

Edem

Tidak ada

Tidak ada

Jaringan granulasi

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Eutrofi

Udem

Warna

Merah muda

Merah

Permukaan

Licin

Licin

Edem

Tidak ada

Ada

Ada/tidak

Tidak ada

Tidak ada

tuba Tertutup sekret

Tidak ada

Tidak ada

Edem mukosa

Tidak ada

Tidak ada

Lokasi

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Tidak ada

Tidak ada

Bentuk

Tidak ada

Tidak ada

Permukaan

Tidak ada

Tidak ada

Ada/tidak

Tidak ada

Tidak ada

Konka inferior

Adenoid
Muara
eustachius

Massa

Post Nasal Drip

Jenis

Gambar

Orofaring dan mulut


Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Simetris/tidak

Simetris

Simetris

Merah muda

Merah muda

Edem

Tidak ada

Tidak ada

Bercak/eksudat

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Licin

Licin

Ukuran

T1

T1

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Rata

Rata

Muara kripti

Tidak Melebar

Tidak Melebar

Detritus

Tidak ada

Tidak ada

Eksudat

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Merah muda

Merah muda

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Palatum mole + Warna


Arkus Faring

Dinding faring

Tonsil

Perlengketan
dengan pilar

Peritonsil

Tumor

Gigi

Lidah

Gambar

Abses

Tidak ada

Tidak ada

Lokasi

Tidak ada

Tidak ada

Bentuk

Tidak ada

Tidak ada

Ukuran

Tidak ada

Tidak ada

Permukaan

Tidak ada

Tidak ada

Konsistensi

Tidak ada

Tidak ada

Karies/Radiks

Tidak ada

Tidak ada

Kesan

Normal

Warna

Merah muda

Merah muda

Bentuk

Normal

Normal

Deviasi

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Laringiskopi Indirek
Pemeriksaan

Epiglotis

Ariteniod

Ventrikular band

Plica vokalis

Subglotis/trakea

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Bentuk

Normal

Normal

Warna

Merah muda

Merah muda

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Pinggir rata/tidak

Rata

Rata

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Merah muda

Merah muda

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Gerakan

Simetris

Simetris

Warna

Merah muda

Merah muda

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Merah muda

Merah muda

Gerakan

Simetris

Simetris

Pingir medial

Rata

Rata

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Sekret

Tidak ada

Tidak ada

Sinus piriformis

Valekula

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Sekret

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Sekret ( jenisnya )

Tidak ada

Tidak ada

Gambar

Pemeriksaan Kelenjar getah bening leher : tidak ada pembesaran KGB


Inspeksi

: tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening di leher

Palpasi

: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di leher

3. Pemeriksaan penunjang : Nasoendoskopi


4. Diagnosis Kerja : Epistaksis ec hipertensi
5. Diagnosis Banding : Epistaksis ec deviasi septum
6. Pemeriksaan anjuran
-

Cek darah lengkap,PT,APTT

Konsul Penyakit dalam

7. Terapi :
-

Tampon anterior

Cefotaxim 2x1 g

Lasix 1x40 mg

Captopril 2x12,5 mg

8. Prognosis :
-

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam

: bonam

Quo ad sanam

: dubia ad bonam

BAB III
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki umur 59 tahun dirawat di bangsal THT RSUP
M.djamil Padang dengan diagnosis epistaksis ec hipertensi. Diagnosis ini ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluar darah dari hidung kiri sebelum masuk rumah sakit.
Darah tetap merembes keluar setelah dipasang sumbat hidung di rumah sakit daerah. Riwayat
trauma tidak ada, riwayat menggosok-gosok hidung tidak ada. Riwayat hipertensi ada sejak 5
tahun yang lalu. Pasien pernah menderita penyakit seperti ini 2 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, pasien sadar, tekanan darah
150/90 mmHg, nadi 90x/ menit, napas 20x/menit, suhu 36,8 c. Status lokalis THT ditemukan
KNDS: KN lapang/sempit, KI eutrofi/udem, KM eutrofi/eutrofi, sekret (+) mukopurulen (warna
kecokelatan, tidak berbau), darah (+)/- , septum deviasi -/+. Rinoskopi Posterior : PND (-).
Pada pasien ini dilakukan pemasangan tampon anterior, diberikan cefotaxim, lasix dan
captopril. Prognosis pasien ini dubia ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Nagel, Patrick. Dasar-dasar ilmu THT ; alih bahasa, Frans Dany ; editor edisi bahasa
Indonesia, Wita J. Suwono, Y. Joko Suyono. Edisi 2. Jakarta, EGC.2012

2.

Budiman,BJ.Hafiz,Al. Epistaksis & Hipertensi: Adakah Hubingannya?.Bagian Telinga,


Hidung dan Tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang

3.

Endang M, Retno W, Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam: Buku
ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 6. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 2008:
155 159.

4. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited
2013 July 05] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
5. Kucik, Corry J dan Timothy Clenney. Management of Epistaxis. USA: American Family
Physician. 2005;305-11. [serial online] January 15, 2005. [cited 2013 July 5] Available
from: http://www.aafp.org/afp/2005/0115/p305.pdf

Anda mungkin juga menyukai