TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Anatomi Hidung
Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung terhubung
dengan os. Frontale dan maksila melalui pangkal hidung yang dibentuk os. Nasalis. Hidung luar
berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela,
dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri
dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina prependikularis os
etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung
bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum. Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu
konka suprema, superior, media, dan inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior,
media, dan inferior.1
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan karotis
eksterna (AKE).
Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri
ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan
pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari
septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri
maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis
superior.2
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina,
arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung
pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral
hidung. Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor,
ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus
Kiesselbach atau Littles area. Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka
media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis
posterior dan faringeal asendens.2
Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n. V1). Bagian
hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina.
Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan sensoris, juga membaerikan persarafan
vasomotor atau otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari
n.maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak do belakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari
permukaan bawah bulbus olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1
1.2
Definisi Epistaksis
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Penanganan
epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates.2
1.2
Epidemiologi Epistaksis
Epistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan kegawat daruratan yang umum
ditemukan di bagian telinga hidung dan tenggorokan. Epistaksis diperkirakan terjadi pada 7
14% populasi umum tiap tahun. Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan
kasus adalah sembuh sendiri dan tidak dilaporkan. Angka kejadian epistaksis meningkat pada
anak-anak umur dibawah 10 tahun, dan dewasa di atas 50 tahun. Laki-laki lebih sering
mengalami epistaksis dibanding wanita. Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu
kelainan.2
1.3
Etiologi Epistaksis
Epistaksis bisa disebabkan oleh kelainan lokal seperti trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing tumor, Pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.3
a. Trauma
Trauma ringan yang bisa menyebabkan epistaksis misalnya, mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras. Trauma yang lebih hebat yang
menimbulkan epistaksis seperti dipukul, kecelakaan lalu lintasatau jatuh. Epistaksis
sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam, dimana perdarahan bisa
terjadi si tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka
tersebut sedang mengalami pembengkakan.
b. Kelainan Pembuluh Darah
Pembuluh darah lebih tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit
c. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada kasus-kasus seperti rhinitis dan sinusitis
d. Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada
angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
e. Penyakit Kardiovaskuler
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosclerosis, nefritis
kronis sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis.
f. Kelainan darah
Kelainan darah yang bisa menyebabkan epistaksis antara lian leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemophilia
g. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik
herediter dan juga pada Von Willenbrand disease.
h. Infeksi Sistemik
Yang sering menyababkan epistaksis adalah demam berdarah. Selain itu juga demam
tifoid, influenza dan morbilli.
i. Perubahan Udara atau tekanan atmosfir
Epistaksis ringan biasanya bisa terjadi pada cuaca yang sangat dinginatau kering. Selain
itu juga bisa karena zat-zat kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya
mukosa hidung.
j. Gangguan Hormonal
Epistaksis bisa juga terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.
1.4
Diagnosis Epistaksis
1.4.1 Anamnesis
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung
berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Ditanyakan juga mengenai riwayat penyakit
seperti hipertensi, diabetes mellitus, gangguan perdarahan dalam keluarga, kelainan darah,
infeksi local atau sistemik. 4,5
1.4.2 Pemeriksaan Fisis
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan
alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kasa. Untuk pemeriksaan yang adekuat
pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja.
Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin
1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh
darah sehingga perdarahan dapat berhenti. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 4,5
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat
kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung
aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan
berupa.
o Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. 4,5
1.5
hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang
kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius. 4,5
1.6
Penatalaksanaan Epistaksis
Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu perbaiki keadaan umum, cari
Menghentikan pendarahan
A.
Pendarahan anterior
1.
Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah
membatukkan darah dari tenggorokan. Epistaksis anterior yang ringan biasanya bisa
dihentikan dengan cara menekan cuping hidung selama 5-10 menit.
Kauterisasi
Jika tindakan diatas tidak mampu menghentikan perdarahan, maka dipasang tampon
anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidocain atau pantocain untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Lalu Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan nitras argenti perak 25 30%. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi
septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan
elektrokauter atau laser.3
Tampon anterior
Bila dengan kaustik, perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur
betadin atau zat antibiotika. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah masuk dan tidak
menimbulkan pendarahan baru saat di masukan atau di cabut. Tampon di masukan sebanyak 2-4
buah, disusun dengan teratur
Pendarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi
dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri. 3
1.
Tampon Posterior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,
dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah
pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares
posterior).
Teknik pemasangan tampon bellocq
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai
tampak di orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat
pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik
keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
perdarahan, dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah
kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.2,3
mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.2,3
3. Ligasi arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang
berat atau persisten.
Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi a. karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah
anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang
pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma di elevasi, m.
Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior.
Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. Sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid
eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi
periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis
sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. Etmoidalis anterior, dan
rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak
diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis
posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma. 3,4,5
1.7
Komplikasi Epistaksis
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air
mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan
melalui mulut terlalu kencang ditarik. 3
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan
akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah. 3
1.8
Pencegahan Epistaksis
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain:4,5
a.
Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli,
pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan
ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama
20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b.
c.
Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6 cm ke dalam hidung.
d.
e.
f.
g.
h.
Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
i.
1.9
Prognosis
90 % kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. C
Umur
: 59 tahun
: 88.23.29
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 59 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
tanggal 20 September 2014 dengan
Keluhan Utama :keluar darah dari hidung kiri 8 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang :
Keluar darah dari hidung kiri 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien
memberi makan burung, tiba-tiba darah merembes keluar dari lobang hidung kiri. Pasien
dibawa berobat ke RSUD Padang dan dipasang sumbat hidung, namun darah masih tetap
merembes, kemudian pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Jamil Padang. Jumlah perdarahan
+ gelas.
Riwayat keluar darah dari hidung sebelumnya (+) 2 tahun yang lalu, berhenti sendiri.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Composmentis cooperative
Tekanan darah
: 150/90 mmHg
Frekuensi nadi
: 90 x/menit
Frekuensi nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 36,80C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala
Mata
Leher
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: distensi (-)
Palpasi
Perkusi
: tympani
Auskultasi
Extremitas
: edem -/-
Daun telinga
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Kel kongenital
Tidak ada
Tidak ada
Trauma
Tidak ada
Tidak ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Kel. Metabolik
Tidak ada
Tidak ada
Diding
Nyeri tarik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang(N)
Tidak ada
Tidak ada
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Ada / Tidak
Ada
Ada
Bau
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Kekuningan
Kekuningan
Jumlah
Minimal
Minimal
Jenis
Lunak
Lunak
Warna
Putih mutiara
Putih mutiara
Reflek cahaya
Bulging
Tidak ada
Tidak ada
Retraksi
Tidak ada
Tidak ada
Atrofi
Tidak ada
Tidak ada
Jumlah perforasi
Tidak ada
Tidak ada
Jenis
Tidak ada
Tidak ada
Kwadran
Tidak ada
Tidak ada
liang Hiperemis
telinga
Sekret/serumen
Membran timpani
Utuh
Perforasi
Pinggir
Tidak ada
Tidak ada
Tanda radang
Tidak ada
Tidak ada
Fistel
Tidak ada
Tidak ada
Sikatrik
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri tekan
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri ketok
Tidak ada
Tidak ada
Rinne
(+)
(+)
Schwabach
Sama
Gambar
Mastoid
dengan Sama
pemeriksa
Audiometri
dengan
pemeriksa
Weber
Kesimpulan
Telinga Normal
Telinga Normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar
Kelainan
Dektra
Sinistra
Deformitas
Tidak ada
Tidak ada
Kelainan kongenital
Tidak ada
Tidak ada
Trauma
Tidak ada
Tidak ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Sinus paranasal
Pemeriksaan
Dekstra
Sinistra
Nyeri tekan
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri ketok
Tidak ada
Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Vestibulum
Vibrise
Ada
Ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Sempit
Sempit
Tidak ada
Ada
Lapang
Ada
Tidak ada
Cavum nasi
Sekret
Lokasi
Tidak ada
Ada
Jenis
Tidak ada
Darah,
sekret
mukopurulen
Konka inferior
Konka media
Jumlah
Tidak ada
Minimal
Bau
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Eutrofi
udem
Warna
Merah muda
Merah muda
Permukaan
Bergranul
Licin
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Eutrofi
Eutrofi
Warna
Merah muda
Merah
Permukaan
Licin
Licin
Edema
Tidak ada
Ada
Cukup
Cukup lurus
Deviasi (+)
Permukaan
Licin
Licin
Warna
Merah muda
Merah
Spina
Tidak ada
Tidak ada
Krista
Tidak ada
Tidak ada
Abses
Tidak ada
Tidak ada
Perforasi
Tidak ada
Tidak ada
lurus/deviasi
Septum
Massa
Lokasi
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Tidak ada
Tidak ada
Permukaan
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Tidak ada
Tidak ada
Konsistensi
Tidak ada
Tidak ada
Mudah digoyang
Tidak ada
Tidak ada
Pengaruh
Tidak ada
Tidak ada
Dekstra
Sinistra
Cukup lapang
Cukup lapang
Merah muda
Merah muda
vasokonstriktor
Gambar
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan
Kelainan
Cukup lapang (N)
Koana
Sempit
Lapang
Warna
Mukosa
Edem
Tidak ada
Tidak ada
Jaringan granulasi
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Eutrofi
Udem
Warna
Merah muda
Merah
Permukaan
Licin
Licin
Edem
Tidak ada
Ada
Ada/tidak
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Edem mukosa
Tidak ada
Tidak ada
Lokasi
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Tidak ada
Tidak ada
Permukaan
Tidak ada
Tidak ada
Ada/tidak
Tidak ada
Tidak ada
Konka inferior
Adenoid
Muara
eustachius
Massa
Jenis
Gambar
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Simetris/tidak
Simetris
Simetris
Merah muda
Merah muda
Edem
Tidak ada
Tidak ada
Bercak/eksudat
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Merah muda
Merah muda
Permukaan
Licin
Licin
Ukuran
T1
T1
Warna
Merah muda
Merah muda
Permukaan
Rata
Rata
Muara kripti
Tidak Melebar
Tidak Melebar
Detritus
Tidak ada
Tidak ada
Eksudat
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Dinding faring
Tonsil
Perlengketan
dengan pilar
Peritonsil
Tumor
Gigi
Lidah
Gambar
Abses
Tidak ada
Tidak ada
Lokasi
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Tidak ada
Tidak ada
Permukaan
Tidak ada
Tidak ada
Konsistensi
Tidak ada
Tidak ada
Karies/Radiks
Tidak ada
Tidak ada
Kesan
Normal
Warna
Merah muda
Merah muda
Bentuk
Normal
Normal
Deviasi
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Laringiskopi Indirek
Pemeriksaan
Epiglotis
Ariteniod
Ventrikular band
Plica vokalis
Subglotis/trakea
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Bentuk
Normal
Normal
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Pinggir rata/tidak
Rata
Rata
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Gerakan
Simetris
Simetris
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Merah muda
Merah muda
Gerakan
Simetris
Simetris
Pingir medial
Rata
Rata
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Sekret
Tidak ada
Tidak ada
Sinus piriformis
Valekula
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Sekret
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Sekret ( jenisnya )
Tidak ada
Tidak ada
Gambar
Palpasi
7. Terapi :
-
Tampon anterior
Cefotaxim 2x1 g
Lasix 1x40 mg
Captopril 2x12,5 mg
8. Prognosis :
-
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionam
: bonam
Quo ad sanam
: dubia ad bonam
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki umur 59 tahun dirawat di bangsal THT RSUP
M.djamil Padang dengan diagnosis epistaksis ec hipertensi. Diagnosis ini ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluar darah dari hidung kiri sebelum masuk rumah sakit.
Darah tetap merembes keluar setelah dipasang sumbat hidung di rumah sakit daerah. Riwayat
trauma tidak ada, riwayat menggosok-gosok hidung tidak ada. Riwayat hipertensi ada sejak 5
tahun yang lalu. Pasien pernah menderita penyakit seperti ini 2 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, pasien sadar, tekanan darah
150/90 mmHg, nadi 90x/ menit, napas 20x/menit, suhu 36,8 c. Status lokalis THT ditemukan
KNDS: KN lapang/sempit, KI eutrofi/udem, KM eutrofi/eutrofi, sekret (+) mukopurulen (warna
kecokelatan, tidak berbau), darah (+)/- , septum deviasi -/+. Rinoskopi Posterior : PND (-).
Pada pasien ini dilakukan pemasangan tampon anterior, diberikan cefotaxim, lasix dan
captopril. Prognosis pasien ini dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Nagel, Patrick. Dasar-dasar ilmu THT ; alih bahasa, Frans Dany ; editor edisi bahasa
Indonesia, Wita J. Suwono, Y. Joko Suyono. Edisi 2. Jakarta, EGC.2012
2.
3.
Endang M, Retno W, Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam: Buku
ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 6. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 2008:
155 159.
4. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited
2013 July 05] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
5. Kucik, Corry J dan Timothy Clenney. Management of Epistaxis. USA: American Family
Physician. 2005;305-11. [serial online] January 15, 2005. [cited 2013 July 5] Available
from: http://www.aafp.org/afp/2005/0115/p305.pdf