Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Perceraian adalah putusnya suatu hubungan suami istri, yang dikarenakan
sudah tidak ada kecocokan satu sama lain. Putusnya perkawinan oleh suami atau istri
atau atas kesepakatan kedua-duanya apabila hubungan mereka tidak lagi
memungkinkan tercapainya tujuan perkawinan. Pada umumnya perceraian dianggap
tidak terpuji akan tetapi bila keadaan mereka menemui jalan buntu untuk dapat
memperbaiki hubungan yang retak antara suami dan istri, maka pemutusan
perkawinan atau perceraian menjadi hal yang wajib. Timbulnya perselisihan tidak
hanya dikarenakan oleh pihak wanita atau hanya pihak laki-laki saja, akan tetapi
dikarenakan oleh sikap egoism masing-masing individu. Oleh karena itu, perceraian
dapat dilakukan apabila dengan alas an yang kuat dengan hokum perkawinan yang
berlaku di Indonesia dituangkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Bachtiar, 2004).
Kasus perceraian yang terjadi tahun 2010, yakni sebanyak 285.184 kasus.
Berdasarkan data yang dirilis Direktur Jendral Bimas Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia, tahun 2012 jumlah penduduk Indonesa yang menikah sebanyak
2 juta orang, sementara 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian.
Kementerian Agama (Kemnag) pada tahun 2013 mencatat setiap tahunnya telah
terjadi 212 ribu kasus perceraian di Indonesia. Angka tersebut jauh lebih meningkat
dibandingkan 10 tahun yang lalu, yang jumlah angka perceraiannya hanya sekitar
50.000 per tahun (Arrahman News, 2013).
Perceraian merupakan suatu proses yang didalamnya menyangkut banyak
aspek seperti ekonomi, emosi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat
melalui hukum yang berlaku. Dari hasil studi perbandingan tentang perceraian di
negara-negara berkembang. Murdock (1950) menyimpulkan bahwa setiap masyarakat
terdapat institusi/lembaga yang menyelesaikan proses berakhirnya suatu perkawinan

(yang disebut sebagai perceraian) sama halnya dengan mempersiapkan suatu


perkawinan. Perkawinan merupakan suatu babak baru bagi individu untuk memulai
kewajiban dan berbagi peran dengan pasanganya.
Perceraian merupakan suatu kegagalan adalah bias karena semata-mata
mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis. Padahal semua sistem
perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama
dimana masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu, serta latar belakang
dan nilai sosial yang bisa saja berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini bisa
memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh
semua anggota keluarg. Karenanya apabila terjadi sesuatu dengan perkawinan
(misalnya perceraian) maka akan timbul masalah-masalah yang harus dihadapi baik
oleh pasangan yang bercerai mauppun anak-anak serta masyarakat di wilayah
terjadinya perceraian.
Fungsi peran menentukan tugas dan kewajiban individu dalam membentuk
suatu keluarga yang harmonis. Namun terbentuknya suatu keluarga yang harmonis
tidak langsung begitu saja tanpa kesadaran dan individu untuk saling memahami dan
pengertian akan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami istri di dalam suatu
pernikahan. Dalam pernikahan pasangan akan dihadapkan pada suatu permasalahan
yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu jika di dalam suatu masalah tersebut
pasangan suami istri tidak dapat menyelesaikan masalahnya itu maka yang terjadi
adalah akan terjadi suatu perceraian. Perkawinan merupakan suatu upaya untuk
menciptakan ketenangan, kedamaian dan juga rasa aman. Tetapi, hal tersebut
tidaklach semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu individu yang tidak dapat
menyesuaikan dan tidak bisa mengatasi masalah keluarganya sendiri maka yang
terjadi adalah putusnya suatu hubungan perkawinan/perceraian. Didalam suatu
perpecahan didalam suatu perkawinan maka dapat di jabarkan dengan berbagai teoriteori yang dapat menjelaskan konflik terutama kasus perceraian salah satunya adalah
teori pertukaran sosial

2. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dari Teori Pertukaran Sosial.
2. Mengetahui Konsep dari Teori Pertukaran Sosial.
3. Meninjau Kasus Perceraian dari Tiga Artikel Internasional.
4. Menganalisis Kasus Perceraian dengan Pendekatan Teori Pertukaran
Sosial.

3. Manfaat
Paper individu ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis paper individu ini sebagai media untuk
memberikan pengetahuan mengenai tinjauan kasus tawuran dengan pendekatan teori
pertukaran sosial. Secara praktis paper individu ini diharapkan bermanfaat bagi :
a.

Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan pembelajaran konsep


teori pertukaran sosial.

b. Pembaca, sebagai media informasi dalam mengenal dan memahami aplikasi


pendekatan teori pertukaran sosial.

BAB II
ISI

1. Pengertian dari Teori Pertukaran Sosial


Teori pertukaran sosial melihat perilaku manusia bersifat universal (akan baik
jika diberikan penguatan positif, dan akan kurang baik jika diberi penguatan negatif
(Winton, 1995). George Hormans (1958) adalah orang yang dikenal membawa Teori
Pertukaran Sosial ke disiplin ilmu sosial. Homans fokus pada hubungan interpersonal
di antara orang-orang di keluarga dan masyarakat. Konsep pemikiran George Homans
adalah adanya karakteristik sifat manusia yang universal di seluruh dunia, bahwa
perilaku manusia (konsep behaviorism di psikologi) ada yang Posutive
Reinforcement and Negative Reinforcement. Homans juga menyatakan adanya the
rule of distributive justice artinya adanya harapan bahwa rewards pada masingmasing orang yang berhubungan dengan proposional dan biaya yang dikeluarkan
oleh masing-masing orang tersebut, sehingga net result dari masing-masing orang itu
akan proporsional dengan investasinya dalam hubungan tersebut. Apabila peraturan
ini dilanggar, orang-orang yang dirugikan akan marah, dan orang-orang yang
diuntungkan akan merasa bersalah (Puspitawati, 2012).
Teori pertukaran social menjelaskan keberadaan dan ketahanan kelompok
social, termasuk keluarga melalui bantuan self interest dari individu anggotanya.
Fokus sentral teori adalah motivasi (hal yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu kegiatan), yang berasal dari keinginan diri sendiri. Teori ini didasari paham
utilitarianisme (individu) dalam menentukan pilihan secara rasional menimbang
antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh, dan biaya (cost) yang harus
dikeluarkan. Para sosiolog penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang akan
berinteraksi dengan pihak lain jika dianggapnya menghasilkan keuntungan (selisih
antara imbalan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan) (Puspitawati, 2012).
Asumsi dasar dalam teori pertukaran sosial adalah (Klien dan White 1996;
Homans (1958;1961) dalam Zeitlin 1998; (Sabatelli dan Shehan 1993) : 1) Dalam

proses belajar orang mengkonstruksi perilaku melalui aplikasi pemikiran yang


rasional: Setiap aksi mempunyai konsekuensi Cost and Rewards; Setiap orang
rasional pasti mencari Rewards yang maksimal dan meminimalkan biaya (Cost), 2)
Setiap orang memiliki harga diri; jika seseorang memberikan keuntungan kepada
orang lain, orang lain juga akan memberikan keuntungan kepada orang tersebut
(Puspitawati, 2012).
Menurut Homans dalam Ritzer (1985) terdapat lima prinsip dalam pertukaran
sosial, meliputi: 1) Jika respon pada suatu stimulus mampu mendatangkan
keuntungan, respons tersebut akan cenderung diulang terhadap stimulus yang sama,
2) makin sering seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain,
makin sering juga tingkah laku tersebut akan diulang, 3) makin bernilai suatu
keuntungan yang diperoleh dari tingkah lakunya, makin sering juga pengulangan
terhadap tingkah laku tersebut, 4) makin sering orang menerima ganjaran atas
tindakannya dari orang lain, makin berkurang juga nilai dari setiap tindakan yang
dilakukan berikutnya, dan 5) makin dirugikan seseorang dalam berhubungan dengan
orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi
(Puspitawati, 2012).
Kritik terhadap teori ini adalah : 1) teori ini mengakui adanya kemampuan
manusia untuk mengatur perilakunya melalui proses berpikir yang rasional. Pada
kenyataannya, manusia belum tentu selalu berpikir secara rasional sepanjang
hidupnya, 2) teori ini akan menghadapi masalah apabila berhadapan sengan situasi di
mana tidak ada konsensus, imbalan dan biaya, 3) otonomi,kekuatan, dan kemandirian
cenderung sebagai nilai laki-laki. Nilai perempuan yaitu sifat asuh (nuturance),
dukungan (support) dan sifat penghubung (connectendness) tidak terlalu dipandang
sebagai pertimbangan dalam melihat imbalan dan biaya, dan 4) pembedaan anatara
pertukaran social dan pertukaran ekonomi harus sejajar dengan pembedaan antara
pertukaran intrinsik dan ekstrinsik. Teori pertukaran social terlalu memfokuskan pada
separative self, otonomi dan induvidualisme (Puspitawati, 2012).

2. Konsep dari Teori Pertukaran Sosial


Konsep dari Teori Pertukaran Sosial (Pupitwati, 2012), antara lain :
a. Pemikiran filosofi utilitarian adalah kerelaaan (voluntaristic), interest, dan
teori tentang nilai (value). Penekanan terbesar pada kebebasan individu untuk
memilih.
b. Adam Smith, salah seorang pelopor dari perspektif ini, menggunakan
pandangan ekonomi bahwa manusia bertindak secara rasional untuk
memaksimumkan manfaat (benefist) atau kepuasan (utilitas).
c. Paham utilitarian yang lain adalah pendekatan teori ekonomi mikro dalam
keluarga (Becker, 1981) dan psikologi sosial (Ermerson, 1976).
d. Levi Straouss dalam Johson (1990), terdapat dua sistem pertukaran sosial,
yaitu bersifat langsung dan tidak langsung.
1) Pada sistem pertukaran langsung, kedua belah pihak terjalin hubungan
timbal balik, cenderung menekankan pada keseimbangan, atau persamaan
yang saling menguntungkan sehingga aspek emosional ikut terlibat di
dalamnya.
2) Pada pertukaran tidak langsung, terjadi secara berantai. Masing-masing
anggota masyarakat dituntut memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi,
dan melakukan kewajibannya masing-masing, sehingga pada akhirnya
dapat diperoleh keuntungan secara bersama-sama.
e. Imbalan dapat berupa materi maupun nonmateri (seperti perilaku, kesenangan,
dan kepuasan).
f. Biaya dapat berupa materi maupun nonmateri (seperti status, hubungan,
interaksi, dan kepuasan).
g. Keuntugan (selisih antara imbalan dan biaya) dan individu selalu mencari
keuntungan maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau
meminimumkan biaya.
h. Tingkat evaluasi atau perbandingan alternatif, yaitu suatu standar yang
mengevaluasi imbalan dan biaya dari suatu hubungan atau kegiatan.

i. Norma timbal balik adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran timbal
balik, tanpa timbal balik tidak mungkin akan terbentuk kehidupan sosial.
j. Pilihan bahwa setiap manusia harus menentukan pilihan, merupakan output
yang dijanjikan oleh pengamnilan keputusan.
3. Tinjauan Kasus Perceraian dari Tiga Artikel

Sebauah Studi Tentang Dampak Perceraian Pada Sikap Dan Hubungan Sosial
Perempuan di Kawasan Srinagar
Abstrak
Penelitian ini dilakukan pada sampel dari 40 wanita yang bercerai. Teknik
Random sampling digunakan untuk memilih sampel yang dirancang sendiri
digunakan untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar perkawinan yang sukses di awal namun kemudian memburuk dengan kekerasan
menjadi alasan utama perceraian. Bagi wanita yang bekerja, gaji adalah satu-satunya
sumber pendapatan tetapi pada wanita yang tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka bergantung pada orang tua mereka. Masalahnya adalah lebih besar bagi
perempuan yang memiliki hak asuh. Sebagian besar wanita yang diteliti menyalahkan
pasangannya untuk perceraian dan tidak menyesali keputusan perceraian mereka.
Satu-satunya emosi yang mereka rasakan untuk mantan suami mereka adalah
kebencian dan sebagian besar wanita tidak ingin menikah lagi.
Pengaruh Perceraian
Beberapa efek yang berkaitan termasuk masalah akademik, perilaku, dan
psikologis. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai lebih
mungkin menunjukkan masalah perilaku daripada anak-anak yang berasal dari
keluarga tidak bercerai.
Perceraian dan Hubungan
Penelitian Northerrn Illinois menujukkan bahwa perceraian dapat memiliki
efek positif pada keluarga karena konflik yang berkurang di rumah. Namun demikian,
banyak contoh hbungan orang tua-anak memburuk karena perceraian. Orang tua yang

bekerja tambahan, dapat menyebabkan hubungan negatif antara orangtua dan anak
karena kurangnya perhatian terhadap anak serta pengawasan orangtua.
Perceraian dan Prestasi Akademik
Anak-anak yang mengalami perceraian memiliki prestasi akademik yang lebih
rendah daripada anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Masalah ini mungkin
berhubungan langsung dengan pengaruh ekonomi perceraian. Sebuah perceraian
dapat menyebabkan orang tua dan anak-anaknya pindah ke daerah dengan tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi dan sistem pendidikan yang buruk.
Pengaruh Perceraian pada Anak
Penelitian Sosiologi dan Psikologi menunjukkan bahwa efek dari perceraian
sangat tergantung pada usia anak pada saat perceraian terjadi. Jenis kelamin,
kepribadian, jumlah konflik dengan orang tua dan dukungan dari teman-teman semua
berkontribusi terhadap dampak perceraian pada anak. Efek pada bayi, kehilangan
nafsu makan. Anak-anak prasekolah merasa takut ditinggalkan. Pada usia anak
sekolah, mereka mampu memahami rasa sakit yang mereka rasakan karena
perpisahan orang tua mereka. Banyak anak yang mengalami perasaan marah, sedih
dan malu. Remaja mengalami perasaan marah, takut, depresi, kesepian dan rasa
bersalah.
Metodologi
Pada penelitian ini, 40 wanita yang bercerai dipilih dari kawasan Srinagar
melalui tekhnik purposive random sampling dan menjawab pertanyaan yang ada
dalam kuesioner.
Hasil
Ditemukan bahwa di antara perempuan bekerja 47,83% perempuan menikah
berhasil pada awalnya, 21,47% mengalami kegagalan dalam pernikahan, 8,7%
pernikahan adalah kompromi. Wanita yang tidak bekerja 41,8% pernikahan yang
berhasil pada awalnya, mengalami kegagalan pernikahan 35,29% dan 23,53%
hubungan memburuk setelah menikah. Kekerasan ditemukan menjadi alas an utama
perceraian di antara kedua kelompok (43,48% dan 29,41%). 47,83% wanita bekerja

dan 41,18% wanita tidak bekerja ditemukan mengalami trauma emosional. Sebagian
besar wanita (69,57% bekerja dan 82,35% tidak bekerja) tinggal bersama orang tua
mereka setelah perceraian, 17,39% tinggal bersama saudaranya dan hanya 13,04%
wanita yang bekerja dan 17,65% tidak bekerja yang ditemukan hidup secara mandiri.
Kekerasan adalah alasan utama perceraian dan sebagian besar wanita
mengalami trauma emosional dan depresi setelah perceraian. Mereka tinggal bersama
orangtua mereka dan harus menghadapi bnayak kesulitan dalam pengasuhan anakanak mereka terutama mengenai keuangan dan emosional. Mereka menyalahkan
pasangan lain untuk perceraian dan membenci mantan suami mereka. Keputusan
perceraian tidak menimbulkan penyesalan dan mereka jarang memikirkan untuk
menikah lagi.
Efek Psiko-sosial Perpisahan Orang Tua dan Perceraian Pada Remaja
Rumah dan keluarga memainkan peran besar dalam perkembangan remaja,
Orang tua harus mengawasi anak-anak mereka dan melakukan pengasuhan yang baik
dan displin. Pengalaman stress meningkatkan peluang remaja untuk mengalami
berbagai

masalah

kesehatan

mental,

kecemasan

tinggi,

tingginya

tingkat

penyalahgunaan obat dan rendah diri. Perceraian merupakan fenomena umum yang
telah menarik perhatian global. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah telah
memainkan peran penting dalam penghapusan ancaman ini karena masalah psikologi
dan sosial yang membuat remaja untuk menunjukkan perilaku yang bauruk. Anakanak melihat perceraian sebagai

pengalaman

yang sangat

traumatis.

Ini

mempengaruhi mereka dalam semua konsekuensi.


Dampak perceraian terhadap perilaku dalam lingkungan sekolah, kelompok
sebaya dan bahkan masyarakat luas. Banyak perceraian yang emosional dan bahkan
menarik anak-anak ke dalam konflik antara orangtua. Remaja menghadapi masalah
perpisahan keluarga, mengalami kesulitan dalam hal akademik, kehidupan sosial di
sekolah, di antara teman sebaya dan masyarakat dari anak-anak yang berasal dari
keluarga yang tidak bercerai. Aspek emosional dari perceraian yang mempengaruhi

remaja meliputi perasaan cemas, depresi. Interaksi orangtua memiliki efek yang lebih
baik pada remaja dibandingkan perceraian.
Perpisahan adalah perjanjian hukum yang ditempuh oleh suami dan istri
memilih untuk tidak hidup bersama. Perpisahan adalah pemindahan anak-anak dari
pengasuhan, membebaskan orang tua dari beban membesarkan anak. Sedangkan,
perceraian adalah cara hukum untuk menghentikan perkawinan antara dua orang.
Hubungan perpisahan dan perceraian adalah berhubungan dengan keadaan emosional,
depresi, kesedihan dan kecemasan. Amto (1940), mempelajari hubungan ibu dan ayah
pada remaja dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan yang dekat
dengan orang tua mempengaruhi kebahgiaan remaja. Hubungan antara orang tua yang
bercerai dengan anak-anak mereka terus ditandai dengan rendahnya tingkat kontak,
kasih sayang dan pertukaran antar generasi baik setelah anak-anak menajdi dewasa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara perpisahan orang tua dan kinerja akademik remaja dari keluaraga bercerai
tidak melakukan lebih baik daripada remaja dari keluarga utuh. Temuan ini didukung
oleh Forehand (1991), Greaves (1991) dan Buchanan et al (1991), bahwa remaja dari
keluarga bercerai sangat rendah di bidang akademik mereka. Hal ini, karena
kebanykan remaja tidak mampu membayar kegiatan kurikulum ekstrea, mereka
kehilangan konsentrasi di kelas dan mereka jarang terlibat dalam kegaiatan kelas.
Tidak ada hubungan yang signifikan perpisahan orang tua dan perilaku sosial remaja,
karena remaja dari keluarga bercerai selalu melakukan kekerasan. Temuan ini
didukung oleh Chase, Hetherington (1990), Hammer (1999) dan Brown (1999)
bahwa remaja yang mengalami perceraian orang tua biasanya menunjukkan
pembentukan sosial yang buruk dengan rekan-rekan mereka dan mereka sering
berakhir sebagai preman dan perampok bersenjata di masyarakat.
Tidak hubungan yang signifikan anatara perpisahan orang tua dan hubungan
interpersonal remaja karena remaja dari keluarga yang bercerai selalu merasa dan
melihat diri mereka sebagai inferiror di antara rekan-rekan mereka dari keluarga yang
utuh. Pernyataan ini didukung oleh Wallerstein (2000) dan Booth et al (1994) bahwa

remaja dari keluarga yang bercerai tidak bisa memulai dan menjaga hubungan
interpersonal yang baik. Sebagai hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
efek psiko-sosial perpisahan orang tua atau perceraian pada remaja termasuk kinerja
akademik yang buruk, pembentukan sosial, hubungan interpersonal dan manifestasi
stabilitas emosi yang menyedihkan.
Perceraian : Sebuah Ancaman Sosial
Baik di negara-negara maju atau berkembanga di dunia, keluarga dipandang
sebagai institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Hal ini karena keluarga
merupakan salah satu kelompok utama yang paling penting dari sosialisasi. Data
menunjukkan peningkatan keseriusan masalah keluarga yang telah menyebabkan
perceraian, sekitar 30 sampai 40 % pasangan menikah bercerai di Nigeria. Perceraian
biasanya proses yang menyakitkan bagi semua pihak, dibutuhkan waktu untuk pihak
yang terlibat untuk mendapatkan kembali keseimbangan psikologis. Di Nigeria
tingkat perceraian telah meningkat sejak awal abad ke-20, penyebab perceraian di
Nigeria akan dipusatkan pada variable seperti kelalaian, pelecehan seksual,
ketidakcocokan, masalah psikologi, masalah sosial, perilaku adiktif, masalah
ekonomi, oposisi dan tidak adanya pengambilan keputusan konsesus.
Pengaruh perceraian terhadap kulaitas kehidupan anggota keluarga, tidak
peduli bagaimana perceraian dipandang, kenyataannya adalah pengaruh pada kualitas
hidup anggota keluarga. Lauer (2002) menjelaskan bahwa semua konflik keluarga
mengurangi kualitas hidup. Kesulitan fisik dan emosional mungkin akibat dari
konflik keluarga yang seriua. Ada juga masalah menyesuaikan diri dengan keuarga
yang bercerai. Menimbulkan dampak negatif pada prestasi akademik anak,perilaku
menyimpang seperti mencuri, penyalahgunaan narkoba, intimidasi dan perkosaan
telah dikaitkan dengan keluarga yang bercerai, perilaku antisosial, masalah
interpersonal dan masalah harga diri. Efek negatif lain dari perceraian pada kualitas
keluarga Nigeria menurut Mezieobi dan Okpara (2007) antara lain : malnutrisi,
insiden yang lebih tinggi dari penyakit dan perawtan medis yang buruk, hidup
dibawah garis kemiskinan, penarikan dari partisipasi sosial, memiliki harga diri yang

rendah, putus sekolah, menghasilkan konflik regular antara suami dan istri,
ketidakmampuan untuk melakukan tanggung jawab pengasuhan penuh.
Anggota keluarga juga mengalami masalah kesulitan sosial-psikologi
meliputi: keterasingan, kesepian, depresi, kekecewaan, masalah penyesuaian, anak
mangalami permasalahan dalam perkembagan kepribadian seperti kerjasama,
dukungan, kasih sayng, keamanan, bimbingan, motivasi berprestasi dan pengasuhan.
Ada beberapa cara pasangan dapat menghindari perceraian dalam keluraga
yaitu a) Akomodasi, hal ini melibatkan pengorbanan diri yang merupakan manifestasi
dari gangguan harga diri, refleksi dari keinginan untuk memastikan bahwa ada
keharmonisan pribadi dan keluarga, b) Kolaborasi, dalam hal ini baik suami dan istri
bisa bekerjasma untuk menemukan solusi yang memuaskan kedua belah pihak, c)
Kompromi, sebagai strategi manajemen menemukan solusi yang dapat diterima akal
mengenai konflik keluarga yang akan diterima oleh kedua belah pihak, d) Pemecahan
masalah, sebagai strategi untuk mengelola soal konflik keluarga melibatkan
kesediaan untuk memahami masalah yang melahirkan konflik dan memecahkna
masalah, e) Penghindaran merupakan strategi manajemen lain dari konflik keluarga,
dalam situasi ini istri, suami atau anak-anak mengabaikan isu-isu yang bertentangan
atau bahkan menyangkal pentingnya masalah ini dalam hidup mereka, f) Mengubah
sikap negatif tentang keluarga orang tua tunggal dan legitimasi perilaku kekerasan
serta rincian ideologi berbahaya tentang keluarga yang bai
Keluarga sebagai landasan masyarakat diharapkan dapat memberikan
stabilitas, dukungan dan kontinuitas kepada dunia. Konflik keluarga yang sangat
alami dan tidak terelakkan dan tidak selau berakhir perceraian. Pernikahan masih bisa
dipertahankan dan dilatih bahkan pada ambang kehancuran jika pasangan belajar
untuk mentolerie tidak kompatibel satu sama lain. Perceraian menimbulkan masalah
fisik dan emosional yang tak terhitung pada anak-anak.

4. Analisis Kasus Perceraian dengan Pendekatan Teori Pertukaran Sosial


Teori Pertukaran Sosial adalah teori yang memandang hubungan interpersonal
sebagai suatu transaksi dagang. Jadi, orang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu

yang memenuhi kebutuhannya. Perumusan tersebut

mengasumsikan bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan
bahwa biaya atau suatu elemen dalam hubungan yang bersifat negatif (cost),
pengambilan keputusan antara akan melanjutkan hubungan atau mengakhirinya
(outcome), dan imbalan, atau elemen dalam hubungan yang bersifat positif (reward),
dipahami dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respon dari individuindividu selama interaksi sosial.
Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka
interaksi kelompok akan diakhiri atau individu-individu yang terlibat akan mengubah
perilaku mereka untuk melindungi imbalan apa pun yang mereka cari. Pendekatan
pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok dalam
lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan. Makin
tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan
perbuatan itu diulanginya kembali. Asumsi Teori Pertukaran Sosial mengenai
keadaan manusia (human nature):
a. Manusia mencari keuntungan dan menghindari hukuman.
b. Manusia sebagai makhluk rasional.
c. Standar-standar manusia menggunakan evaluasi biaya dan keuntungan
dari waktu ke waktu dan dari orang per orang.
Teori pertukaran sosial melihat perkawinan sebagai suatu proses pertukaran
antara hak dan kewajiban, reward dan cost, keuntungan dan kerugian yang terjadi
diantara pasangan suami istri. Karena perkawinan merupakan proses menyatukan
laki-laki dan perempuan sebagai individu yang hidup dan tinggal bersama, dalam
tempat tinggal yang sama, maka proses pertukaran dalam perkawinan harus
senantiasa diperbincangkan dan disepakati bersama. Seperti halnya perkawinan,
perceraian juga merupakan suatu proses yang panjang, didalamnya menyangkut

banyak aspek seperti emosi, sosial dan pengakuan atau ketetapan secara resmi oleh
masyarakat melalui keputusan pengadilan sebagaimana yang diatur dalam perundangundangan yang berlaku.
Pasangan suami istri sepakat bahwa tujuan perkawinan adalah kesejahteraan
hidup keluarga. Oleh sebab itu, suami istri mempunyai tanggung jawab yang sama
dalam prinsip reciprocity di tengah-tengah interaksi sosialnya. Teori pertukaran sosial
melihat interaksi sosial inilah yang secara umum menjadi sumber kebahagiaan
mereka, baik itu yang berhubungan dengan harta benda, cinta maupun kekuasaan.
Hubungan itu mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku pasangan. Dan dari
hubungan itu diharapkan untuk saling memperhatikan, saling menghormati, saling
menghargai, saling mencintai, saling berbuat sesuatu bagi sesamanya dan saling
memberikan dukungan sosial. Apabila tidak, maka pasangan pertukarannya, suami
dan atau istri akan mengalami kesedihan, karena tidk dapat melibatkan orang lain.
Cinta dan kekuasaan akan kehilangan makna, tanpa adanya pihak lain untuk dicintai
ataupun dikuasai. Artinya, secara umum penderitaan dan kebahagiaan manusia
ditentukan oleh tindakan dan perilaku orang lain. Kebahagian dan ketidakbahagiaan;
keutuhan hidup keluarga dan perpisahan suami istri ditentukan oelh istri dan atau
suami itu sendiri. Termasuk didalamnya, baik tindakan yang mendatangkan
kesenangan atau keuntungan disatu pihak, maupun ketidaksenangan dipihak lain.
Kepuasan pasangan suami istri terhadap imbalan sangat berkaitan dengan
harapan dan kenyataan pertukaran yang sedang berlangsung. Imbalan yang diterima
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dalam pengertian pengorbanan (cost) salah
satu pasangan pertukaran lebih besar dari reward yang diterima. Pada mulanya
hubungan instrinsik yang dipertukarkan oleh pasangan kekasih, yang pada akhirnya
masuk pada hubungan yang lebih intim dalam perkawinan, mereka sama-sama
merasakan kepuasan. Perhatian, cinta dan kasih sayang semakin membawa mereka
dalam ikatan hubungan emosional, yang seolah-olah tidak dapat dipisahkan oleh
orang atau kelompok lain. Intimnya hubungan instrinsik tidak mempedulikan biaya
pertukaran ekstrinsik yang harus dikeluarkan dari hubungan tersebut.

Karena pertukaran juga harus memperhatikan prinsip-prinsip justice dan


reciprosity, maka pasangan pertukaran ini mulai menghitung-hitung keuntungan
ekonomis dari hubungan pertukaran yang dibangun. Rasa puas akan timbul, ketika
kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan dari pertukaran tersebut,
tetapi sebaliknya ketidakpuasan pasangannya. Rasa ketidakpuasan ini kan semakin
meningkat, apabila pasangan pertukaran membandingkan layanan yang sudah
diberikan, baik dalam pengaerttian instrinsik maupun ekstrinsik.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Teori Pertukaran
Sosial memiliki unsur Cost, Reward, dan Outcome. Berkaitan dengan kasus
perceraian, maka analisisnya sebagai berikut:
a. Cost dalam hal ini adalah adanya seorang yang merasa dirugikan yaitu sang
istri atau suami, yang akhirnya menyebabkan konflik diantara hubungan
mereka.
b. Reward dalam hal ini adalah tingkah laku positif dalam membangun
kehidupan rumah tangga yang rukun, walaupun hanya brlangsung selama
waktu saja, namun dapat dilihat seperti adanya sikap saling menghargai,
membantu, dan komunikatif.
c. Outcome dalam hal ini adalah adanya pengambilan keputusan untuk bercerai
karena sang istri atau suami merasa dirugikan. Ini terjadi karena dalam teori
pertukaran sosial, bila seseorang merasa dalam suatu hubungan interpersonal
tidak memperoleh laba sama sekali, maka ia akan mencari hubungan lain
yang mampu mendatangkan laba.
d. Rationality dalam hal ini adalah adanya perubahan nilai dari rewards dalam
konteks waktu dan situasi terhadap sesuatu dan relasi sosial dalam kehidupan
manusia. Sikap istri atau suami untuk bercerai dianggap rasional, karena bagi
sang istri dia merasa dirugikan dan tidak mendapat keuntungan lagi.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
a. Teori pertukaran sosial melihat perilaku manusia bersifat universal (akan
baik jika diberikan penguatan positif, dan akan kurang baik jika diberi
penguatan negatif.
b. Konsep dari teori pertukaran sosial meliputi : pemikiran filosofi (kerelaaan
(voluntaristic), interest, dan teori tentang nilai (value)), Adam Smith
(manusia bertindak secara rasional untuk memaksimumkan manfaat
(benefist) atau kepuasan (utilitas)), pendekatan teori ekonomi mikro dalam
keluarga dan psikologi sosial, Levi Straouss (sistem pertukaran sosial
bersifat langsung dan tidak langsung), imbalan dapat berupa materi
maupun nonmateri, biaya dapat berupa materi maupun nonmateri,
keuntugan (selisih antara imbalan dan biaya) dan tingkat evaluasi atau
perbandingan alternatif.
c. Tinjauan kasus perceraian dari tiga artikel antara lain : sebuah studi
tentang dampak perceraian pada sikap dan hubungan sosial perempuan di
kawasan Srinagar, efek psiko-sosial perpisahan orangtua dan perceraian
pada remaja, perceraian : Sebuah Ancaman Sosial.
d. Analisis kasus dengan pendekatan teori pertukaran sosial yaitu teori
pertukaran sosial melihat perkawinan sebagai suatu proses pertukaran
antara hak dan kewajiban, reward dan cost, keuntungan dan kerugian yang
terjadi diantara pasangan suami istri.
2. Saran
Pasangan suami istri harus menjaga hubungan keharmonisan dalam
pernikahannya, menjaga komunikasi dan saling bekerjasama dalam mencari
solusi terhadap permasalahan rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai