Anda di halaman 1dari 8

Between a Rock and a Hard Place:

Radical Islam in Post-Suharto Indonesia

Felix Heiduk
International Journal of Conflict and Violence, Vol. 6 (1) 2012 ISSN: 18641385, pp 26-40
Creative Commons (CC) lisence
Source:
http://search.proquest.com/docview/196865670/fulltextPDF/B24B9BAD05C48A3PQ/1?accountid=3
8628

Abstrak

Indonesia merupakan negara yang pernah mengalami rezim kolonial liberal dan otoriter, dan
masing-masing rezim memiliki dampak dan pengaruhnya sendiri terhadap kelangsungan hidup
bangsa. Dalam prakteknya, kedua rezim ini tidak lepas dari radikalisasi, dimana penyeranganpenyerangan yang sifatnya nasionalis, komunis dan atau agamis pernah terjadi. Setelah jatuhnya
rezim otoriter (Soeharto) pada tahun 1998, demokrasi mulai dijalankan dan mulai dijadikan sistem
politik di Indonesia. Pembukaan demokrasi pada tahun 1998 ini selain memperkuat partai-partai
nasionalis, juga memberikan peluang kepada parta-partai agamis untuk berpartisipasi dalam
Pemilihan Umum. Namun meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, hal ini tidak
otomatis mempengaruhi suara partai-partai berideologi Islam di Indonesia. Banyak masyarakat
muslim yang lebih memilih partai nasionalis daripada partai Islam, karena berbagai macam faktor,
entah karena lebih memilih untuk tetap bertahan pada ideologi bangsa, Pancasila atau hal lainnya.
Maka dari itu, banyak terjadi kemunculan kelompok-kelompok Islam yang radikal, yang bersikukuh
mempertahankan bahwa ideologi Islamlah yang paling benar dan berusaha mengajak muslim di
Indonesia untuk bergabung bersama mereka.

Jurnal ini mencoba untuk menjelaskan hubungan dan relasi antara keadaan Indonesia setelah
jatuhnya rezim Soeharto dengan Islam radikal di Indonesia melalui bentuk, ruang lingkup, dan
praktek Islam radikal dalam demokrasi.

Kata kunci (keywords) : Orde baru, reformasi, Islam, radikal, demokrasi

Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang non-sekuler, yang berarti Indonesia mengatur kebebasan dan hak
untuk beragama. Hal ini sesuai dengan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Lima
agama diakui di Indonesia; Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Dari kelima agama tersebut,
mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Menurut kolumnis tetap di media Al Sharq Al
Awsat, Husein Syabasyki, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia. Lebih dari 85 persen penduduk Indonesia adalah muslim. Dan dengan titel demikian, maka tak
heran masyarakat dapat dengan sangat mudah menjumpai masjid dan mushola di setiap titik di
seluruh daerah di Indonesia.

Sejak jatuhnya rezim Soeharto pada 1998, Indonesia memulai untuk mengambil langkah ke arah
demokrasi. Partai-partai yang turut serta dalam Pemilihan Umum bukan hanya dari golongan
nasionalis, namun juga dari golongan agamis. Indonesia sudah melakukan demokrasi dalam perihal
agama, dan partai-partai agamis tersebut berusaha untuk setara dengan partai-partai nasionalis
yang sudah mendapat kepercayaan dari rakyat. Namun, meskipun sebagai negara dengan penduduk
muslim terbesar, partai-partai Islam di Indonesia tidak pernah mendapat dukungan pemilih yang
cukup untuk setara dengan partai-partai nasionalis lainnya. Tidak ada perkembangan signifikan yang
terjadi. Menurut Mujani dan Lidle, hasil yang menimbulkan partai-partai agama khususnya Islam
mendapat sedikit suara adalah karena faktor agama dan etnis itu sendiri. Walaupun seseorang itu
Islam, namun jika ia dengan masyarakat Islam lainnya berbeda etnis, maka pilihan partainya akan
turut berbeda. Maka dari itu munculah kelompok-kelompok Islam radikal. Kelompok ini pun turut
mendapatkan kesempatan dalam Pemilihan Umum dan hal ini menimbulkan hubungan yang ambigu
antara negara dan kelompok Islam radikal, sebenarnya apakah Islam radikal diterima
keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum padahal berpotensi membahayakan karena sifatnya yang
radikal, atau justru sebaliknya. Peristiwa dan proses-proses di dalamnya menarik untuk dikaji,
mengingat bahwa Islam pernah jatuh kemudian bangkit kembali dan mencoba membuat gertakan
saat rezim Soeharto jatuh, yaitu saat munculnya demokrasi, dimana kebebasan berpendapat mulai
dipertimbangkan, dan mencoba merangkul semua muslim di Indonesia untuk memurnikan agama
Islam kembali, walaupun dengan cara-cara yang bersifat radikal. Untuk itu, diperlukan pemahaman
demokratisasi dan pemahaman tentang kebangkitan politik Islam di Indonesia dengan kekuatan
politik saat demokrasi telah berkembang setelah tahun 1998 itu sendiri.

Landasan Teori

Pendekatan Eksepsionalisme Muslim (Muslim Exceptionalism) menjadi landasan dalam jurnal ini.
Secara umum ada tiga pendekatan untuk memotret kebangkitan fundamentalisme Islam;
Eksepsionalisme, komparatif fundamentalisme dan analisis normatif. Pendekatan ini didukung oleh
Huntington (1997, 1991), Lipset (1994), or Gellner (1994. Para budayawan tersebut berpendapat
bahwa ilmu-ilmu dari Barat tidak dapat sesuai dengan fundamentalisme Islam. Termasuk demokrasi,
bila dikaitkan dengan gerakan-gerakan Islam saat ini, itu tidak sesuai. Kebanyakan ahli-ahli yang
mendukung teori ini berpandangan negatif terhadap Islam, seperti menuding fundamentalisme
Islam sebagai musuh utama Barat setelah ambruknya komunisme. Huntington juga memprediksikan
terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat (1996).

Meskipun penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, Indonesia tidak turun ke teokrasi setelah
jatuhnya Soeharto. Namun, partai-partai Islam tidak pernah mendapat dukungan pemilih yang lebih
banyak daripada partai-partai nasionalis. Baik 2004 maupun 2009, ada sedikit bukti bahwa faktorfaktor seperti agama atau etnis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap suara yang diperoleh
(Mujani dan Liddle 2010, 37). Hal ini seolah menunjukkan bahwa memang demokrasi dan Islam tidak
dapat disatukan karena perbedaan fundamennya. Namun, ini bukan untuk mengatakan bahwa
Indonesia tidak melihat tempat agama dalam politik. Pada tahun 2010, 89 persen dari responden
survei PEW Global Attitudes mengatakan bahwa Islam memainkan peran besar dalam politik di
Indonesia, dan bahwa pengaruh Islam dalam politik positif (91 persen). Namun, dalam survei yang
sama mayoritas 65 persen penduduk Indonesia lebih mempercayai dan memilih demokrasi sebagai
panutan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Hasil

1. Islam di Indonesia dan Politik di Indonesia dalam Sudut Pandang Sejarah (Indonesian Islam
and Politics in Historical Perspective)
Dengan mempertimbangkan pengamatan Marx bahwa agama berfungsi sebagai "keluhan
makhluk tertindas," tidak mengherankan bahwa Islam sebagai ideologi politik datang ke
Indonesia selama era colonial, dimana saat itu masyarakat Indonesia sedang tertindas dan
dijajah. Selama itu, Islam berusaha untuk menyesuaikan diri dengan dua ideologi lainnya di
Indonesia, yaitu nasionalisme dan komunisme. Berbeda dengan yang lainnya, sejarah Islam
di Indonesia bisa dikatakan the one crowded with failure (Fealy 2005, 161) atau yang

mengalami kegagalan. Fealy membagi tiga periode utama terkait perkembangan Islam di
Indonesia. Periode pertama, dari tahun 1949 sampai tahun 1959, sistem politik yang
digunakan adalah demokrasi terpimpin/terpusat oleh Soekarno, yang ditandai dengan
persaingan politik yang relatif bebas antar pihak. Periode kedua, dari 1959 sampai 1998,
adalah masa dimana demokrasi terpimpin mulai goyah dan digantikan dengan rezim
otoritarism oleh Soeharto. Ini adalah masa dimana kebebasan untuk berpendapat dan
melakukan persaingan politik menjadi terbatas. Dan periode ketiga, dari 1998 sampai
sekarang, yaitu periode reformasi, dimana Indonesia mencoba bangkit kembali dengan
sistem demokrasi dan berusaha menumbuhkan kembali persaingan politik yang bebas
seperti saat rezim Soekarno.

Setelah Indonesia bebas dari kolonialisme Belanda, pada tahun 1949 terjadi perdebatan oleh
partai-partai Islam dan kelompok Islam lainnya mengenai status Indonesia, apakah akan
menjadi negara Islam atau tidak. Saat itu, Soekarno khawatir akan terjadi perpecahan antar
masyarakat Indonesia khususnya yang berbeda agama, terutama para pemuda.
Dikhawatirkan akan muncul gerakan-gerakan separatis, yaitu gerakan yang menyatakan
untuk berpisah dari Indonesia. Pada akhirnya, hal tersebut tidak terjadi karena tidak
mendapat dukungan Presiden. Namun sebagian kecil kelompok-kelompok Islam, yang
bersikukuh menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, mulai merencanakan gerakan
untuk membuat Negara Islam Indonesia. Sebut saja Daarul Islam yang berhasil didirikan di
Sumatera, Jawa dan Sulawesi, namun pada akhirnya Daarul Islam runtuh setelah perang
saudara selama satu decade/decade-long civil war (Dahm 2007, 203). Dari sinilah, kelompok
Islam radikal lain ikut menggelarkan aksinya baik secara terang-terangan maupun secara
sembunyi-sembunyi, dan masih aktif walaupun rezim Soekarno telah berakhir.

Pemilu bebas pertama tahun 1956 membawa kekalahan pahit bagi partai-partai Islam.
Impian untuk bersatu telah dikalahkan oleh berbagai perpecahan politik antara 1949 dan
1956. Harapan untuk menang dalam Pemilu pun mengecewakan dimana saat itu partaipartai Islam hanya memperoleh 43,1 persen suara. Saat tahun 1956, partai Islam
berpartisipasi dalam pemerintahan koalisi di bawah Sukarno, namun masih terbawa
pengaruh ideologi nasionalis dan komunis. Pada tahun 1973, semua partai-partai Islam
dipaksa untuk bergabung dan membentuk PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Pada rezim
Soeharto politik Islam memiliki pengaruh politik yang sangat sedikit selama beberapa
dekade di Indonesia (Baswedan 2004, 671). Hingga pada akhirnya, Soeharto turun dari

jabatannya dan demokrasi mulai muncul, saat itulah kesempatan bagi partai-partai Islam
dan kelompok Islam lainnya, terutama Islam radikal, dapat melancarkan lagi gerakangerakannya.

2. Kebangkitan Politik Islam Pasca Pemerintahan Soeharto di Indonesia (The Resurgence of


Political Islam in Post-Suharto Indonesia)

Akhir Orde Baru (rezim Soeharto) seakan membuka jalan bagi para aktor untuk
berpartisipasi aktif dalam bidang politik di Indonesia. Para aktor yang terdiri dari partaipartai nasionalis, agamis, ormas dan kelompok lainnya ini segera bersaing untuk
mendapatkan kepercayaan dan kekuatan dari masyarakat, karena saat itulah yang paling
tepat untuk mendapat dukungan masyarakat mengingat Indonesia baru saja berganti
pemimpin dan sistem politik sehingga menyebabkan sedikit goncangan apalagi untuk
masyarakat yang awam perihal politik. Mulai dari Jemaah Islamiyah, telah melancarkan
aksinya untuk terus menarik perhatian masyarakat Islam dan bahkan non-Islam agar menjadi
Islam. Serangan oleh jaringan teror Jemaah Islamiyah di gereja-gereja Kristen (2000), klub
malam di Bali (2002 dan 2005), Kedutaan Besar Australia (2004), dan Marriott Hotel (2003,
2009) (Mapes 2005) menunjukkan bahwa kelompok Islam radikal sudah tidak segan lagi
untuk muncul ke permukaan. Adanya kekerasan pada tahun 1998-1999, disejajarkan dengan
konflik separatis di propinsi Aceh, Papua Barat, dan Timor Timur, menyebabkan banyak
analis untuk menyimpulkan bahwa perpecahan di Indonesia (sering disebut "Balkanisasi")
tidak mustahil dapat terjadi. (Wanandi 2002; Mally 2003).

Yang lebih mengkhawatirkan, adanya Laskar Jihad juga turut serta mendukung perpecahan
di Indonesia. Selain Laskar Jihad, ada pula Front Pembela Islam (FPI) yang hingga saat ini
gencar menolak gerakan-gerakan yang bersifat kebarat-baratan. Misalnya, FPI melakukan
razia selama Ramadhan, menutup bisnis-bisnis yang dianggap tidak sopan saat bulan
Ramadhan. Pada bulan April 2006 FPI menyerang kantor baru yang didirikan di Indonesia,
belakangan diketahui bahwa itu adalah kantor Playboy Edisi Indonesia, serta pada tahun
2007 melawan
Papernas, yang dianggap menyebarkan cita-cita komunis (Sabarini 2007b). Pada tahun 2010
dan 2011 jumlah gerakan yang dilakukan FPI semakin meningkat. Kebangkitan Islam di
Indonesia ini, terutama untuk Islam radikal, cukup membuat Indonesia melihat Islam dalam
perspektif yang lain, yaitu sebagai agama yang keras.

3. Mengkontekstualisasikan Politik Islam Pasca-Soeharto di Indonesia: Kesatuan yang


Oligarkis (Contextualizing Political Islam in Post-Suharto Indonesia: The Oligarchic
Continuum)

Indonesia, sejak dipimpin oleh rezim Soeharto, mengalami banyak kemajuan signifikan
terutama dalam bidang ekonomi. Saat itu, rakyat memang tidak diberi kebebasan
berpendapat dan partisipasi politiknya rendah karena sifat pemerintahannya yang otoriter,
namun karena otoriter itulah negara dapat diatur dengan lebih mudah sehingga terjadi
perkembangan yang bertahap. Partai Islam dan kelompok Islam radikal dalam kepimpinan
Soeharto tidak dapat mengeksiskan dirinya, karena pertahanan militer Indonesia yang kuat
kala itu.

Namun pada 1997, terjadi krisis ekonomi di Asia Tenggara dan hal ini menyebabkan
ketidakstabilan ekonomi di Indonesia. Masyarakat menjadi miskin dan tidak memiliki
pekerjaan. Pembangunan infrastruktur berantakan. Meningkatnya standar hidup namun
tidak diimbangi dengan kondisi ekonomi yang memadai membuat perkembangan Indonesia
yang tadinya naik menjadi turun kembali. Melihat hal itu, para pemuda yang melihat
Soeharto tidak dapat mengatasi masalah ini lagi, menuntut dan meminta Soeharto mundur
dari jabatannya dan pada tahun 1998 Soeharto resmi mundur sebagai kepala negara.

Dalam prakteknya, dalam rezim Soeharto terjadi banyak penyimpangan, seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme. Korupsi merambah dari petinggi partai hingga pejabat-pejabat
daerah. Bukan hanya di rezim Soeharto saja, bahkan setelah Soeharto memimpin pun
korupsi adalah masalah paling besar yang menjadi momok yang menakutkan di Indonesia.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Gallup tepat sebelum 2009 pemilihan parlemen dan
presiden menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh orang Indonesia menganggap korupsi
menjadi masalah utama di seluruh pemerintahan yang disurvei. Kemudian, 52 persen
masyarakat percaya bahwa korupsi terparah terjadi antara tahun 2004 dan 2009 (Gallup
2008). Delapan puluh lima (85) persen dari hakim dan 60 persen petugas polisi diperkirakan
korup (Webber 2006, 408) dan perusahaan yang di Indonesia menggunakan sekitar 10
persen dari anggaran keseluruhan untuk "memperlancar" usaha operasi (Henderson dan
Kuncoro 2004). Dengan demikian, para ahli menyebutnya dengan demokrasi oligarki, yaitu
keadaan dimana rakyat memang memiliki kebebasan untuk beraspirasi dan berpendapat

serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan pemerintahan, namun tetap saja diatur oleh uang,
material yang digunakan masyarakat untuk bertransaksi. Diantara banyak partai-partai
nasionalis yang korup, partai-partai Islam memunculkan kembali dirinya dengan identitas
Islam dan mencoba merangkul masyarakat Indonesia untuk meyakinkan dirinya tidak akan
korup. Dalam prakteknya, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) mengusung ideologi Islam dan
memiliki agenda politik berfokus terutama pada kebijakan anti-korupsi dan reformasi sosial
ekonomi.

4. Sepuluh Tahun Islam Radikal Setelah Reformasi (Between a Rock and a Hard Place: Radical
Islam Ten Years after Reformasi)

Jaringan jihadis transnasional seperti Jemaah Islamiyah dan pengikut mereka telah
menganggap bahwa Indonesia telah menjadi negara sekuler, padahal sebenarnya yang
dimaksud adalah negara yang demokratis. Tindakan teroris gencar lagi dilakukan untuk
mendirikan negara Islam. Sementara militan Islam melancarkan jihad sebagai bagian dari
perjuangan untuk membuat negara Islam di Indonesia. Front Pembela Islam secara aktif
melakukan gerakan-gerakan yang bersifat terang-terangan dan secara tidak langsung
menyatakan dukungan untuk membuat Indonesia menjadi negara Islam. Muncul pertanyaan
baru, apakah ada perbedaan terorisme jihad dan gerakan Islam radikal yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok Islam selama ini?

Partai-partai Islam, khususnya PKS, telah gencar mempropagandakan dan berkampanye anti
korupsi dan pembangunan ekonomi politik yang berkesinambungan. Namun dalam
kenyataannya di lapangan, PKS dengan slogannya yang bersih seakan-akan membuat
rakyat kecewa karena komitmennya untuk membersihkan pemerintahan tidak terlaksana
sebagaimana mestinya karena kasus korupsinya. Padahal, keberhasilannya dalam pemilu
tahun 2004 membuat PKS menjadi bagian dari koalisi yang dipimpin oleh Presiden
Yudhoyono. Karena itulah, PKS gagal mendapatkan lebih dari 7,9 persen suara dalam Pemilu
2009 nasional. Saat ini, masih banyak gerakan-gerakan Islam radikal baik yang terangterangan maupun terselubung, mempengaruhi masyarakat dan berusaha mendirikan negara
Islam Indonesia.

Kesimpulan

Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Walaupun begitu, banyak
masyarakat muslim yang lebih memilih ideologi Pancasila untuk dijadikan pedoman hidup daripada
ideologi Islam itu sendiri. Hal ini dibuktikan dari pemilihan-pemilihan, dimana partai-partai nasionalis
masih memimpin dan partai-partai Islam masih ada di bawahnya. Untuk membuat agar masyarakat
muslim memilih ideologi Islam, kelompok-kelompok Islam terutama yang bersifat radikal pun
muncul sebagai pahlawan pemurnian agama. Mereka dengan gencar melakukan aksi penolakan
kebijakan-kebijakan dari Barat karena mereka menganggap ilmu Barat tidak sesuai dengan
fundamentalisme Islam. Dalam pelaksanaannya di lapangan, kelompok Islam radikal mulai aktif saat
rezim Soekarno, dimana banyak sekali kelompok Islam radikal berusaha mendirikan negara Islam
Indonesia, terutama di daerah Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Walaupun akhirnya tidak berhasil,
namun kelompok Islam radikal masih menyisakan sedikit dari anggotanya untuk meneruskan aspirasi
kelompok hingga rezim berubah menjadi Orde Baru. Saat Orde Baru, tidak begitu banyak hal yang
dapat dilakukan karena pertahanan keamanan Indonesia yang kuat kala itu. Sejak Soeharto turun,
barulah kelompok Islam radikal muncul kembali dan mengikutsertakan pula dirinya dalam kegiatankegiatan politik secara halus dan tetap dengan aspirasi awalnya, yaitu memurnikan Islam dan
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Anda mungkin juga menyukai