Anda di halaman 1dari 4

ISTIQAMAH MENJAGA AMALAN PASCA RAMADHAN

Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala di manapun kita berada. Baik ketika kita
sedang bersama orang banyak maupun ketika sendirian. Dan marilah kita senantiasa takut akan terkena
adzab-Nya, kapan dan di mana pun kita berada. Karena kewajiban menjalankan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya bukan hanya pada waktu dan saat-saat tertentu saja. Bahkan beribadah
kepada-Nya adalah kewajiban yang harus dilakukan hingga ajal mendatangi kita. Allah Subhanahu wa Taala
berfirman:
Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai kematian mendatangimu. (Al-Hijr: 99)
Ibarat seorang pedagang yang baru selesai dari perniagaannya, tentu dia akan menghitung berapa keuntungan
atau kerugiannya. Begitu pula yang semestinya dilakukan oleh orang yang beriman dengan hari akhir ketika
keluar dari bulan Ramadhan. Bulan yang Allah Subhanahu wa Taala telah berjanji akan mengampuni dosadosa yang telah lalu bagi orang yang berpuasa dan shalat tarawih karena iman dan mengharapkan balasan
dari-Nya. Dan pada bulan tersebut, Allah Subhanahu wa Taala bebaskan orang-orang yang berhak
mendapatkan siksa neraka sehingga benar-benar bebas darinya. Yaitu bagi mereka yang memanfaatkan bulan
tersebut untuk bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Oleh karena itu, orang yang mau berpikir tentu akan melihat pada dirinya. Apa yang telah dilakukan selama
bulan Ramadhan? Sudahkah dia memanfaatkannya untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya? Ataukah
kemaksiatan yang dilakukan sebelum Ramadhan masih berlanjut meskipun bertemu dengan bulan yang penuh
ampunan tersebut? Jika demikian halnya, dia terancam dengan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
Dan rugilah orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan namun belum mendapatkan ampunan ketika
berpisah dengannya. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan gharib)
Namun demikian bukan berarti sudah tidak ada lagi kesempatan bagi dirinya untuk memperbaiki diri. Karena
kesempatan bertaubat tidaklah hanya di bulan Ramadhan. Bahkan selama ajal belum sampai ke tenggorokan,
kesempatan masih terbuka lebar. Meskipun bukan berarti pula seseorang boleh menunda-nundanya. Bahkan
semestinya dia segera melakukannya. Karena kematian bisa datang dengan tiba-tiba dalam waktu yang tidak
disangka-sangka. Dan seandainya seseorang mengetahui kapan datangnya kematian, maka harus dipahami
pula bahwa taubat adalah pertolongan dan taufiq dari Allah Subhanahu wa Taala. Sehingga tidak bisa
seseorang memastikan bahwa dirinya pasti akan bertaubat sebelum ajal mendatanginya.
Bahkan Abu Thalib, paman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri, pada akhir hayatnya tidak bisa bertaubat
kepada Allah Subhanahu wa Taala. Padahal yang mengingatkannya adalah orang terbaik dari kalangan
manusia, yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Namun ketika Allah Subhanahu wa Taala tidak
memberikan taufiq dan pertolongan-Nya, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu memberikannya.
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap orang segera bertaubat dari seluruh dosanya. Sehingga dia akan
mendapat ampunan dan menjadi orang yang tidak lagi memiliki dosa. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Sesungguhnya Allah hanyalah akan menerima taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan karena
ketidakhati-hatiannya dan kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang Allah terima
taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orangorang yang mengerjakan kejahatan sehingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah)
ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang

mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi mereka itu telah Kami siapkan siksa yang pedih. (An-Nisa`: 1718)
Adapun orang yang telah memanfaatkan pertemuannya dengan Ramadhan untuk bertaubat dan mengisinya
dengan berbagai amal shalih, maka seharusnya dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Taala dan
memohon agar amalannya diterima serta memohon agar bisa istiqamah di atas amalan tersebut. Dan
janganlah dirinya tertipu dengan banyaknya amalannya. Sehingga dia menyangka bahwa dirinya termasuk
orang-orang yang paling baik dan paling hebat. Bahkan dia harus senantiasa memohon ampun dan beristighfar
kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Karena seseorang tidak bisa memastikan apakah amalan yang sudah dia lakukan diterima atau tidak.
Seandainya diterima pun, sesungguhnya belum bisa untuk membalas nikmat Allah Subhanahu wa Taala yang
telah ia terima. Karena amalan yang dia lakukan benar-benar tidak bisa lepas dari pertolongan Allah
Subhanahu wa Taala.
Maka sudah sepantasnya bagi dirinya untuk senantiasa tawadhu dan tidak merasa paling baik. Bahkan
semestinya dia memperbanyak menutup amalannya dengan beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Karena begitulah sifat-sifat orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang sudah beramal dengan sebaik-baiknya
namun masih merasa takut kepada Allah Subhanahu wa Taala akan kekurangan dirinya dalam beramal. Allah
Subhanahu wa Taala berfirman:
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (tidak akan
diterima). (Mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. (Al-Mu`minun:
60)
Apa yang telah menjadikan engkau beruban (menjadi tua) yaa Rasulullah? tanya sahabat nabi kepada
Rasulullah saw. Rasulullah saw. menjawab: Aku telah diubankan (dituakan) oleh Surat Hud..., itulah sepenggal
dialog yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., yang mengisahkan perintah istiqamah di dalam surat Hud ayat
112. Betapa beratnya istiqamah sehingga Rasulullah merasakannya sebagai sebab munculnya uban pada
Rasulullah saw.
Kata istiqamah begitu terngiang dalam benak kita, setelah kurang lebih 1 (satu) bulan kita berlomba-lomba
memperbanyak amal shalih. Qiyamul lail mengisi hari di setiap malam, tilawah Al-Qur`an dan dzikr tak hentihentinya keluar dari lisan kita, puasa, sedekah dan juga memberi makanan pada orang yang hendak berbuka.
Mengingat semuanya, tersimpan suatu harapan andaikan setiap bulan itu adalah Ramadhan. Tapi tentunya
Allah SWT adalah sebaik-baik pengatur, sehingga selalu muncul pertanyaan pada diri kita: apakah akan sampai
usia kita setahun mendatang untuk berjumpa kembali dengan Ramadhan?.
Pasca Ramadhan umumnya manusia terbagi dalam ketiga kelompok:
Pertama, golongan yang tetap taat dalam kebenaran dan kebaikan, dia menjadikan Ramadhan sebagai
ghanimah rabbaniyah; hadiah termahal dari Allah Taalaa untuk meraih taqwa.
Kedua, golongan yang kembali kumat bada Ramadhan. Inilah orang-orang yang dijajah oleh hawa-nafsunya.
Baginya Ramadhan tak ubahnya seperti obat nyamuk.
Ketiga, golongan yang biasa-biasa saja, mau di bulan atau di luar bulan Ramadhan, baginya sama saja, tak
ada yang istimewa. Golongan orang kedua dan ketiga, setali-tiga uang.

Sabda Nabi saw: Rugilah orang yang memasuki dan mengakhiri Ramadhan sementara dosanya tidak Allah
ampuni. (H.R. Tirmidzi). Kemana pahala puasanya? Orang itu hanya kebagian haus dan lapas, hanya
mendapat capai dan letih. Dan inilah orang yang tekor, paling merugi tiada tara. (H.R. Nasai).
Golongan pertama ini, jika Ramadhan berlalu, berada di antara dua keadaan; antara khawatir dan harap (baina
al-khauf wa ar-raja). Khawatir jika umurnya tidak sampai ke Ramadhan tahun berikutnya. Khawatir jika
amalnya tidak bisa menebus dosa-dosanya. Dan berharap semoga amal ibadah
mereka diterima, dicatat sebagai amal shalih dan keluar dari Ramadhan sebagai pemenang.
Setidaknya ada 10 (sepuluh) tanda diterimanya amal ibadah itu (Syeikh Jibrin hafidzahullah (wafat 1430
H/2009 H) :
1. Memohon doa kepada Allah SWT supaya tetap istiqamah/konsisten, (Mereka berdoa): " Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Al - Imran : 8).
2. Tetap menghadiri majelis orang-orang shalih, karena Nabi saw bersabda; Kebaikan seseorang itu
bergantung kepada agama orang yang menemaninya (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad).
3. Meneladani ibadah para shalihin yang tetap stabil, di dalam maupun di luar Ramadhan. Nabi saw
bersabda: Kalian jangan seperti si Fulan, awalnya rajin sholat malam setelah itu, ia tinggalkan
kebiasaan sholat malamnya. (Shahih Bukhari).
4. Rajin mendengar taushiah supaya hati tetap kondusif, bisa melalui rekaman-rekaman kalau tidak
sempat hadir.
5. Senantiasa menjaga kewajiban sholat lima waktu secara berjamaah, sebab Nabi saw bersabda: Anas
bin Malik ra. meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa shalat berjamaah selama 40 hari
dengan mendapatkan takbir pertama imam (ikhlas karena Allah), maka akan dicatat baginya terbebas
dari dua hal; terbebas dari api neraka dan terbebas dari sifat munafik. (H.R Tirmidzi).
6. Beliau menegaskan, tekun memelihara amalan sunnah, mengingat fungsinya sebagai pelengkap dan
penyempurna amal fardhu. Seperti sempurnanya puasa dengan zakat fithrah, sempurnanya sholat
fardhu dengan sholat-sholat sunnah. Nabi bersabda: Wahai sekalian manusia, beramallah menurut
yang kalian sanggupi, sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan,
sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan secara berkelanjutan walaupun
sedikit. (Shahih Bukhari).
7. Tetap menjaga kitabullah dengan senantiasa membaca dan mengamalkan kandungannya. Orang
yang rajin membaca Al Quran, Allah pelihara dari jilatan api neraka, bisa menjadi syafaat dan
menerangi kuburannya (Shahihul Jami Syaikh Albani).
8. Tetap memelihara dzikir dan permohonan ampun kepada Allah, baik dzikir lafdzi (sebut asma Allah)
maupun dzikir hukmi (ingat Allah dengan menjauhkan diri dari dosa).
9. Menjauhkan diri dari segala perkara yang merusak hati, membinasakan diri dan menghapus amal
atau hal-hal yang sia-sia secara umum, sebab Nabi bersabda, di antara tanda kebaikan agama
seseorang adalah kemampuannya untuk meninggalkan hal-hal yang sia-sia. (Shahih Ibnu Majah)
10. Konsisten dengan taubat nashuha. Ahli ilmu mengatakan, Sesungguhnya kemaksiatan itu berjalan
menuju kekufuran. Manusia berpindah dari satu bentuk kemaksiatan kepada kemaksiatan berikutnya,
sampai akhirnya dia keluar dari agamanya.

Sebaik-baik pengharapan adalah pengharapan pada Allah. Lewatnya Ramadhan bukan berarti pula lewatnya
kesempatan memanen pahala di bulan-bulan berikutnya. Setiap muslim tentunya memahami jika setiap saat
adalah waktu untuk merengkuh ridha Allah SWT. Salah satu sarana yang diberikan Allah agar semangat selalu
terjaga pasca Ramadhan adalah disunnahkannya puasa Syawal.
Shahabat yang mulia Abu Ayyub Al-Anshari ra. menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka
puasanya itu seperti puasa setahun. (HR. Muslim).
Ulama kita menafsirkan hadits di atas dengan menyatakan kebaikan itu dilipat-gandakan pahalanya menjadi
sepuluh kali. Sehingga Ramadhan yang dikerjakan selama sebulan dilipatgandakan senilai sepuluh bulan.
Sementara puasa enam hari bila dilipat-gandakan sepuluh berarti memiliki nilai enam puluh hari yang berarti
sama dengan dua bulan. Sehingga bila seseorang menyempurnakan puasa Ramadhan ditambah dengan puasa
enam hari di bulan Syawwal, jadilah nilai puasanya sama dengan puasa setahun penuh (12 bulan). Tercapailah
pahala ibadah setahun dengan tidak memberikan kepayahan dan kesulitan, sebagai keutamaan dari Allah
Subhanahu wa Taala dan nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya.
Adapun pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawwal ini bisa dilakukan di awal atau di akhir bulan, secara
berurutan atau dipisah-pisah, karena haditsnya menyebutkan secara mutlak tanpa pembatasan waktu. Selain
itu, kesempatan berikutnya yang Allah berikan untuk memanen pahala adalah bulan dzulhijjah yang datang
setelah bulan syawal dan dzulqaidah.
Bulan dzulhijjah adalah bulan yang juga memiliki keutamaan untuk memperbanyak amal shalih di
dalamnya. Terutama di sepuluh hari yang awal, karena Rasulullah saw. bersabda : Tidak ada hari di mana
amal shalih pada saat itulebih dicintai Allah SWT daripada hari-hari yang sepuluh ini. Mereka berkata: Wahai
Rasulullah, tidak pula jihad fi sabilillah? Rasulullah saw. menjawab: Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali
seseorang keluar berjihad membawa jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada sesuatupun yang kembali darinya
(ia kehilangan jiwanya dan hartanya dalam peperangan). (HR.At-Tirmidzi).
Ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: mencakup shalat, puasa, sedekah, dzikir, takbir, membaca Al-Qur`,
berbuat baik kepada kedua orang tua, silaturahim, berbuat baik kepada makhluk Allah SWT dan selainnya.Di
bulan Dzulhijjah ini dilaksanakan satu ibadah akbar, yakni ibadah haji ke Baitullah. Ketika tamu-tamu Allah
SWT sedang wuquf di Arafah, kita yang tidak berhaji disunnahkan untuk puasa di hari tersebut (tanggal 9
Dzulhijjah). Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari Arafah? Beliau bersabda: Puasa Arafah akan
menghapus dosa di tahun yang telah lewat dan tahun yang tersisa (mendatang). (HR. Muslim).
Demikianlah Allah menganugerahkan kita banyak kesempatan untuk memburu pahala dan ampunan Allah di
setiap saat. Marilah di setiap waktu-waktu utama tersebut, kita fokuskan perhatian kita untuk lebih dekat
kepada Allah sehingga Allah meridhai dan memberkahi segala aktivitas kita serta mengistiqamahkannya.

Anda mungkin juga menyukai