Sebagaimana diketahui bahwa secara umum ada tiga tahapan atau tingkatan
pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai menjadi
negara maju, yaitu tahap pertama unifikasi (unification) dengan titik berat bagaimana
mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tahap kedua
industrialisasi (industrialization) dengan fokus perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan
modernisasi politik, dan tahap ketiga negara kesejahteraan (social welfare) dimana tugas
negara terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan
kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan fokus utama kesejahteraan rakyat.
Untuk itu pembangunan yang baik dalam suatu negara adalah pembangunan yang
dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar pertumbuhan
ekonomi semata, juga harus memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi
manusia warga negaranya yang telah diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik
hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum terlebih lagi adanya
globalisasi ekonomi diikuti globalisasi hukum, sehingga materi muatan berbagai Undang-
undang dan perjanjian-perjanjian sebagai sumber hukum positif harus mengadopsi kaedah-
kaedah dan diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan internasional yang bersifat lintas
dan melewati batas-batas negara, yang dilakukan melalui ratifikasi perjanjian-perjanian dan
konvensi-konvensi serta kovenan-kovenan internasional, maupun hubungan-hubungan dan
perjanjian privat serta institusi-institusi ekonomibaru.
Selanjutnya globalisasi hukum tersebut disertai pula oleh dan dengan globalisasi
praktek hukum, dimana antara lain konsultan hukum suatu negara dari suatu sistem hukum,
dapat bekerja menjalankan praktek hukum secara profesional di negara lain yang mempunyai
sistem hukum yang berbeda.
Kegiatan penanaman modal merupakan salah satu bentuk transaksi bisnis, yang
keberlangsungan dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi bisnis internasional
(international business transactions) atau hukum perdagangan internasional (international
trade law) yang dilangsungkan oleh dan antar warga negara atau badan usaha (business
organization) lintas batas negara (cross border), misalnya antara pelaku usaha Indonesia baik
badan hukum Indonesia ataupun perorangan warga negara Indonesia dengan pelaku usaha
asing baik badan hukum hukum asing ataupun perorangan warga negara asing.
Dalam transaksi bisnis bisnis pada umumnya, ditinjau dari segi hukum kontrak, juga
mengikuti tiga tahap yaitu tahap persiapan (preparation phase), tahap pelaksanaan
(performance phase), dan tahap penegakan hukum konrak (enforcement phase), dimana
dalam setiap tahapan kontrak tersebut senantiasa diiringi oleh tiga aspek yaitu budaya
(cultural), hukum (legal) dan praktis (practical).
Demikian juga kegiatan penanaman modal asing yang diawali dengan perjanjian joint
venture (Joint Venture Agreement) sampai dengan realisasi kegiatan usaha dan produksi, dan
pendirian perusahaan joint venture tiga tahapan kontrak dan tiga aspek dalam transaksi bisnis
tersebut, secara mutatis mutandis, berlaku efektif dengan penyesuaian-peyesuaian seperlunya
sesuai dengan bidang usaha dilakukannya penanaman modal oleh investor yang
bersangkutan.
Salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian joint venture
adalah tahap penegakan hukum kontrak (enforcement phase) bilamana timbul dan terjadi
sengketa sehubungan dan berkaitan dengan pelaksanaan dan realisasi dari perjanjian joint
venture tersebut, yakni hukum yang berlaku (applicable law/governing law) dan penyelesaian
sengketa (settlement of disputes).
Bilamana timbul dan terjadi sengketa sehubungan dan berkaitan dengan pelaksanaan
dan realisasi dari perjanjian joint venture dan perusahaan joint venture tersebut, maka acuan
pertama adalah hukum yang berlaku (applicable law/governing law) dan penyelesaian
sengketa (settlement of disputes) yang telah disepakati dipilih oleh para pihak dalam joint
venture agreement baik menyangkut pilihan hukum (choice of law) maupun pilihan forum
(choice of forum) yakni hukum mana dan lembaga mana yang akan dipilih dan disepakati
para pihak sebelumnya dalam joint venture agreement dimaksud tersebut, yang berwenang
dan digunakan dalam menilai dan menyelesaikan sengketa yang timbul berkenaan dengan
penanaman modal tersebut, baik sengketa antara investor asing dengan partner lokal maupun
antara investor asing dengan pemerintah lokal (local government, host country).
Bertolak dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang
akan diteliti dan diungkapkan lebih lanjut dalam penulisan ini adalah bagaimanakah
penyelesaian sengketa dalam penanaman modal asing pada umumnya, sengketa antara
investor asing dengan partner lokal?.
Kajian penulisan makalah ini akan terfokus dan difokuskan pada pembahasan
penyelesaian sengketa dalam penanaman modal asing pada umumnya, khususnya arbitrase
sebagai lembaga penyelesaian sengketa penanaman modal. Oleh karenanya, dalam penulisan
ini tidak termasuk di dalamnya segi analisa ekonomi, maupun statistik dari penanaman modal
langsung (foreign direct investment, FDI) di Indonesia, maupun statistik sengketa yang
berkaitan dengan investor asing berlawanan dengan partner lokal maupun dengan pemerintah
Republik Indonesia serta lembaga dan pola arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang
bersangkutan.
Meskipun adakalanya penyebutan istilah tersebut tidak dapat dihindari, akan tetapi
hal tersebut tidak diperdalam lebih lanjut, penyebutan tersebut agar mendapatkan gambaran
yang utuh dalam teks yang bersangkutan.
C. PEMBAHASAN.
Ada 2 (dua) sifat khas penanaman modal asing, menurut Robert Gilpin, yaitu:
Ditinjau dari negara yang terkait dalam PMN, maka ada 2 (dua) negara yang terkait
yaitu negara asal investasi (home state) dengan negara tuan rumah (host state) atau negara
yang merupakan pusat PMN (home country) dengan negara lain yang merupakan tempat
perusahaan tersebut melakukan operasi atau kegiatanya (host country).
Berkaitan dengan hubungan antara PMN dengan negara penerima modal (host contry,
host state), setidaknya ada 2 (dua) golongan aliran pemikiran atau perspektif ideologi sebagai
berikut:
1. Kelompok Yang setuju PMN:
(1) business school of how to approach (dengan tokoh: Robin dan Stobough).
(2) aliran ekonomi Tradisional (economic traditionalism): menekankan pada dukungan modal
dan teknis dari peranan PMN (dengan tokoh: Vernon dan Kindleberger).
(3) aliran ekonomi Neo-tradisional (Neo economic traditionalism): mendorong pemamfaatan
modal PMN dalam dunia usaha internasional secara terbatas (dengan tokoh: Vernon dan
Kindleberger).
2. Kelompok Yang setuju PMN dengan syarat atau menolak:
(1) aliran nasionalis (Nationalism dan populism): dampak negatif PMN tak perlu timbul, asal
pengendalian pengelolaan PMN dilakukan secara ketat oleh negara penerima modal (dengan
tokoh: Streeten dan Lall).
(2) aliran ketergantungan (dependency): dilema antara mamfaat PMN dan sikap
ketidaktergantungan pada PMN (dengan tokoh: Sunkle dan Hymer).
(3) aliran Marksis (Marxists): mutlak menentang PMN (dengan tokoh: Magdaft, Sweenny,
Frank dan Weiskopf).
Dan kemudian saat ini, setidaknya ada dua perspektif baru yang muncul, yaitu sebagai
berikut:
(1) perspektif lingkungan (environmental perspective) Pada masa kini, suatu dimensi yang
lebih jauh telah muncul dalam perdebatan tentang PMN, yang mengkonsentrasikan diri pada
dampak lingkungan. PMN dikritik karena kurang memperhatikan kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan, serta strategi mereka yang merelokasi pabriknya ke negara tuan rumah yang
lebih longgar pengawasan lingkungannya. Peranan PMN dalam mengendalikan polusi dan
limbah menjadi isu utama. Hal tersebut menjadi pemicu bagi tumbuhnya kelompok-
kelompok yang peduli lingkungan khususnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
PMN. Bagaimanapun, hal ini berpotensi bagi pengembangan suatu kerangka kerja yang baru
bagi pengawasan aktivitas bisnis. Dan ini mungkin menjadi ideologi penting yang
mempengaruhi kebijakan dimasa datang (dengan tokoh: Leslie Sklair).
Masalah penanaman modal di Indonesia saat ini menghadapi masalah yang sangat
kompleks diantaranya permasalahan buruh, ketidakpastian hukum, keamanan dan
pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah menyadari bahwa dalam usaha melaksanakan
pembangunan ekonomi, kemampuan sumber-sumber dalam negeri belum memadai, oleh
karena itu perlu dimanfaatkan sumber-sumber lain berupa bantuan luar negeri dan
penanaman modal asing.
Penananman modal memberikan keuntungan kepada semua pihak, tidak hanya bagi
investor saja, tetapi juga bagi perekonomian negara tempat modal itu ditanamkan serta bagi
negara asal para investor. Pemerintah menetapkan bidang-bidang usaha yang memerlukan
penanaman modal dengan berbagai peraturan. Selain itu, pemerintah juga menentukan
besarnya modal dan perbandingan antara modal nasional dan modal asing. Hal ini dilakukan
agar penanaman modal tersebut dapat diarahkan pada suatu tujuan yang hendak dicapai.
Bukan haya itu seringkali suatu negara tidak dapat menentukan politik ekonominya secara
bebas, karena adanya pengaruh serta campur tangan dari pemerintah asing.
Hal ini mengingat karena terbatasnya modal, skill dan teknologi yang dimiliki negara
kita, serta banyaknya negara yang memerlukan kehadiran investor asing untuk menanamkan
modal di negaranya. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan penerimaan pajak, hasil
ekspor migas dan non migas, tabungan dalam negeri dan bantuan luar negeri. Apabila hanya
mengandalkan sumber-sumber tersebut maka angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak
akan meningkat, untuk itulah diperlukan adanya penanaman modal asing. Indonesia
memerlukan modal asing karena:
a. Untuk menyediakan lapangan kerja;
b. Melaksanakan substitusi import untuk meningkatkan devisa;
c. Mendorong ekspor untuk mendapatkan devisa;
d. Membangun daerah-daerah tertinggal dan sarana prasarana;
e. Untuk industrialisasi atau alih teknologi.
Penanaman modal asing diharapkan sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam
pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, telekomunikasi, perhubungan udara, air
minum, listrik, air bersih, jalan, rel kereta api. Penanaman modal asing diperlukan untuk
mengembangkan teknologi dan peningkatan ilmu pengetahuan, oleh karena itu diperlukan
dana yang cukup besar.
Investor asing datang ke Indonesia karena memperoleh berbagai keuntungan, yaitu:
Selain faktor-faktor tersebut diatas, ada beberapa faktor yang secara umum
mendorong investor asing menanamkan modalnya di Indonesia yaitu:
a. Alasan politik, dimana pelaksanaan penanaman modal asing bukan hanya dilatarbelakangi
oleh pertimbangan ekonomi “murni” belaka.
b. Banyaknya investor yang ingin mengadu nasib dengan menanamkan modalnya di negara
berkembang.
c. Negara-negara industri sedang menghadapi bahaya kelebihan produksi yang menyebabkan
kesempatan untuk menanamkan modalnya di dalam negeri menjadi lebih kecil.
Berbagai strategi untuk mengundang investor asing telah dilakukan. Hal ini didukung
oleh arah kebijakan ekonomi dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 salah satu kebijakan
ekonomi tersebut adalah :
“mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan
menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar, melalui regulasi,
layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan
undang-undang.”
Kebijakan mengundang modal asing adalah untuk meningkatkan potensi ekspor dan
substitusi impor, sehingga Indonesia dapat meningkatkan penghasilan devisa dan mampu
menghemat devisa, oleh karena itu usaha-usaha di bidang tersebut diberi prioritas dan
fasilitas. Alasan kebijakan yang lain yaitu agar terjadi alih teknologi yang dapat mempercepat
laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional Indonesia.
Upaya pemerintah untuk mencari modal asing agar mau kembali menanamkan
modalnya di Indoensia sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ditambah
lagi sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998, penanaman modal di Indonesia
semakin menurun. Jangan menarik investor, menjaga investor yang sudah ada saja belum
maksimal, misalnya dengan tutupnya perusahaan asing seperti PT. Sony Electornics
Indonesia pada 27 Nopember 2002. Terlebih lagi pada tahun 2003 yang lalu, hal ini
dikarenakan adanya invasi Amerika ke Irak serta mewabahnya penyakit sindrom pernafasan
akut. Hal ini menimbulkan ketidak pastian perekonomian dunia dan berdampak buruk bagi
perekonomian Indonesia terutama terhadap penanam modal, padahal pemerintah telah
mencanangkan tahun 2003 ini sebagai tahun investasi.
Untuk bisa memenuhi harapan tersebut, pemerintah, aparat hukum dan komponen
masyarakat dituntut untuk segara menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi.
Menyadari pentingnya penanaman modal asing, pemerintah Indonesia menciptakan suatu
iklim penanaman modal yang dapat menarik modal asing masuk ke Indonesia. Usaha-usaha
tersebut antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang penanaman
modal asing dan kebijaksanaan pemerintah yang pada dasarnya tidak akan merugikan
kepentingan nasional dan kepentingan investor.
Secara resmi undang-undang yang mengatur mengenai penanaman modal asing untuk
pertama kalinya adalah UU Nomor 78 Tahun 1958, akan tetapi karena pelaksanaan Undang-
undang ini banyak mengalami hambatan, UU Nomor 78 Tahun 1958 tersebut pada tahun
1960 diperbaharui dengan UU Nomor 15 Tahun 1960 .
Kemudian pada tahun 1987, Pemerintah merubah Keppres Nomor 17 Tahun 1986
tersebut, diubah dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1987 demikian pula Ketua BKPM
mencabut SK Ketua BKPM Nomor 12 Tahun 1986 dicabut dan diganti dengan SK Ketua
BKPM Nomor 5 Tahun 1987, yang pada prinsipnya sama dengan Keppres Nomor 50 Tahun
1987 yaitu memberikan kelonggaran-kelonggaran terhadap syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam keputusan sebelumnya.Selanjutnya, Ketua BKPM sebagai pelaksana teknis
penanaman modal asing di Indonesia, mengeluarkan Keputusan sebagaiman ternyata dalam
Surat Keputusan Ketua BKPM Nomor 09/SK/1989
Perkembangan selanjutnya dapat dilihat dengan dikeluarkannya PP Nomor 17 Tahun 1992
yang antara lain mengatur mengenai penanaman modal asing di kawasan Indonesia Bagian
Timur.
Perkembangan penanaman modal asing yang lain adalah mengenai Daftar Negatif
Investasi (untuk selanjutnya disebut DNI), dahulu disebut Daftar skala Prioritas (DSP)
pemerintah telah melakukan perubahan dan menyederhanakan dengan mengatur bidang-
bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing.
DNI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan setiap tahun dilakukan peninjauan untuk disesuaikan
dengan perkembangan.
Pada tahun 1998, DNI ini diatur dalam Keppres Nomor 96 Tahun 1998 dan Keppres
Nomor 99 Tahun 1998 . Kedua peraturan tersebut diubah dengan Keppres Nomor 96 Tahun
2000 . Keppres Nomor 96 Tahun 2000 ini terakhir diubah dengan Keppres Nomor 118 Tahun
2000 .
Upaya pemerintah untuk menarik investor, agar menanamkan modalnya di Indonesia, bahkan
melipatgandakan tingkat penanaman modal dari tahun ke tahun salah satu langkah yang
ditempuh adalah dengan memberi kelonggaran dan kemudahan bagi para investor.
Selain itu juga ketentuan hukum dan peraturan mengenai penanaman modal asing
yang harus tetap disesuaikan dengan perkembangan di era globalisasi dan tidak adanya
perlakuan diskriminasi dari negara penerima terhadap modal asing (equal treatment).
Sehingga partisipasi masyarakat dan aparatur hukum sangat diperlukan dalam menarik
investor yaitu dengan cara menciptakan iklim yang kondusif untuk menanamkan modalnya.
Selain sengketa tersebut di atas ada beberapa jenis sengketa lainnya yang termasuk
dan merupakan sengketa dalam bidang penanaman modal asing, yaitu:
1. Curency transfer yaitu resiko kerugian sebagai akaibat pembatasan terhadap konversi mata
uang oleh negara penerima modal;
2. Expropriation and similar measure yaitu resiko kerugian sebagai akibat adanya tindakan-
tindakan legislatif dan administratif atau karena terjadinya pengambilalihan hak milik
investor;
3. Breach of contract yaitu resiko kerugian karena penolakan atau pelanggaran hukum oleh
negara penerima;
4. War and civil disturbance yaitu resiko kerugian sebagai akibat terjadinya konflik senjata
atau gangguan-gangguan lainnya oleh kaum sipil.
Ditinjau dari subjek yang bersengketa, maka sengketa dalam penanaman modal dapat
dibedakan atas 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Sengketa antara investor asing dengan partner lokal, dan;
b. Sengketa antara investor asing dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Setiap sengketa hukum yang terjadi dalam bidang penanaman modal asing pada
dasarnya dapat diselesaikan oleh lembaga-lembaga penyelesaian sengketa, misalnya
peradilan nasional atau lembaga arbitrase. Dunia perekonomian yang berkembang secara
universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk lembaga penyelesaian sengketa yang
memberikan rasa aman dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Salah satu cara
penyelesaian sengketa yang cukup populer dan diminati saat ini adalah Arbitrase dengan
segala jenisnya baik arbitrase institusional maupun Arbitrase ad hoc.
Secara khusus ada satu lembaga Arbitrase Internasional yang hanya menyelesaikan
sengketa penanaman modal asing, yaitu ICSID. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
sengketa yang terjadi dapat dibawa kepada lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang
ada, sesuai dengan klausula yang ada, sesuai dengan klausula Arbitrase yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak.
Setiap hubungan perjanjian Internasional baik di bidang perdagangan dan penanaman modal
asing atau joint vanture pihak asing selalu menuntut adanya klausula Arbitrase yang bercorak
Internasional. Misalnya dalam hubungan perjanjian penanaman modal kedua belah pihak
sepakat untuk membuat klausula Arbitrase yang tunduk pada ICSID. Dengan demikian kedua
belah pihak menginginkan agar penyelesaian yang timbul dalam perjanjian penanaman modal
melalui ICSID.
Pilihan hukum atau istilahnya partij autonomie adalah suatu keadaan dimana para
pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri
hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Pilihan hukum adalah hukum yang dipilih
para pihak dalam kaitan timbulnya sengketa sebagai akibat pelaksanaan hubungan
hukumnya.
Ada empat macam pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata Internasional, yaitu:
1. Secara Tegas (uitdrukkelijk met zovele woorden);
2. Secara diam-diam (stilzwijgend);
3. Secara dianggap (vermoedelijk);
4. Secara Hipotesis (hypothetische partijwil).
Penentuan suatu klausula pilihan hukum dalam suatu perjanjian mempunyai arti
penting karena:
1. Sebagai sarana untuk menghindari ketentuan hukum memaksa yang tidak efisien;
2. Untuk meningkatkan persaingan yurisdiksi;
3. Memecahkan masalah peraturan berbagai negara.
Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian harus memperhatikan
batas-batas sebagai berikut :
1. Tidak melanggar ketertiban umum (ordre public, public policy);
2. Pilihan Hukum hanya boleh dilangsungkan mengenai hukum kontrak;
3. Pilihan hukum tidak boleh menjelmah menjadi penyelundupan hukum;
4. Persoalan yang mempunyai hubungan dengan kaidah super memaksa.
Tujuan diadakannya pilihan hukum, adalah untuk:
1. Membebaskan pengadilan atau Dewan Arbitrase dari beban menemukan solusi mengatasi
conlict of law;
2. Adanya pilihan hukum juga akan memberikan kepastian, manfaat, efisiensi, penghematan
waktu dan memuaskan para pihak yang menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dalam
penafsiran dan pelaksanaan perjanjian sengketa.
Ada beberapa alasan yang menjadi dasar dilakukannya pilihan hukum, pertama
karena bersifat falsafah, kedua bersifat praktis, dan ketiga karena bersifat kebutuhan dalam
melakukan transaksi internasional. Pilihan hukum yang akan dilakukan oleh para pihak
sangat dihormati, karena alasan:
1. Sebagai kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum;
2. Memberikan kepastian hukum;
3. Memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan;
4. Memberikan insentif kepada negara.
Masalah pilihan hukum ini juga ditegaskan kembali dalam Konvensi Washington
Pasal 42 ayat 1 dengan menyatakan bahwa para pihak memberikan kebebasan untuk
menentukan hukum yang akan diterapkan, baik hukum nasional maupun hukum
Internasional.
Apabila dalam perjanjian tidak mencantumkan pilihan hukum, maka pengadilan atau
lembaga arbitrase harus mempertimbangkan faktor-faktor untuk menentukan negara mana
yang paling signifikan (the country most significantly connected), yaitu:
1. Lex loci contractus;
2. Lex loci solutionis;
3. The proper law of the contract;
4. The most characteristic connection.
Selain harus menentukan pilihan hukum, dalam perjanjian penanaman modal asing
juga harus ditentukan mengenai pilihan hukum. Pilihan forum adalah lembaga atau badan
yang dipilih para pihak sebagai badan atau lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi.
Menurut Yansen Darmanto Latip pilihan yurisdiksi (forum) adalah mengenai badan mana
yang berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi.
Pilihan yurisdiksi (forum) di suatu negara tidak berarti hukum yang berlaku adalah
hukum dari yurisdiksi (forum) yang dipilih tersebut atau sebaliknya, dimana pilihan hukum
suatu negara tidak berarti pengadilan negara tersebut yang mempunyai kompetensi
memeriksa dan mengadili perselisihan.
Pilihan forum ini dituangkan dalam bentuk klausula arbitrase dalam perjanjian
penanaman modal asing. Klausula arbitrase ini merupakan perjanjian tambahan yang disebut
dengan perjanjian accesoir.
Pada saat ini hampir semua transaksi dan perjanjian joint vanture (penanaman modal)
selalu memasukkan klausula arbitrase. Akan tetapi tetap harus diingat bahwa kalusula
arbitrase tersebut dilakukan harus berdasarkan kesepakatan bersama (mutual consent) dan
memenuhi ketentuan Pasal 1320 BW. Selain itu juga harus dibuat secara tertulis. Ada dua
bentuk klausula arbitrase, yaitu:
1. Pactum De Compromittendo;
Sebelum berlakunya UU Nomor 30 Tahun 1999, bentuk klausula ini diatur dalam Pasal 615
ayat (3) RV dan Pasal II Konvensi New York 1958. klausula ini dibuat oleh para pihak
sebelum terjadinya sengketa. Dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 dibentuk klausula ini diatur
dalam Pasal 7, yang berbunyi sebagai berikut:
“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”.
Klausula Pactum De Compromittendo dapat dibuat dengan dua cara , yaitu:
a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok;
b. Klausula Pactum De Compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersebut.
2. Akta Kompromis
Bentuk klausula ini diatur dalam Pasal 618 RV dan Pasal II ayat (1) Konvensi New York
1958. klausula ini dibuat setelah timbulnya sengketa antara para pihak. Dalam UU Nomor 30
Tahun 1999 bentuk klausula ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi:
“ (1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa
terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat:
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal
demi hukum.
Dengan demikian bilama terjadi sengketa antara investor asing dengan partner lokal
maupun antara investor asing dengan pemerintah Republik Indonesia, klausul yang harus
diperiksa dalam joint venture agreement adalah apakah pilihan forumnya memilih dan
menunjuk arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Selanjutnya diteliti klausul
pilihan hukum dalam joint venture agreement yang bersangkutan, apakah akan diperiksa dan
dinilai berdasarkan hukum Indonesia ataukah tidak.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah hukum acaranya (rules procedure), mulai dari
pendaftaran dan pengajuan, pemeriksaan sampai dengan keluarnya putusan.
Hambatan para investor untuk melakuan investasi pada suatu negara sangat
dipengaruhi budaya hukum. Faktor yang paling mendasar yang menyebabkan keraguan para
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah faktor kepercayaan terhadap
kekuatan hukum dan buruknya pengelolaan perusahaan (corporate governance).
Masalah yang paling serius dikeluhkan para investor adalah masalah penegakan
hukum. Para investor sangat membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan
melalui kepatuhan terhadap kontrak atau kerjasama yang telah dibuat serta adanya kepastian
tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa. Peranan hukum dalam mendorong
penanaman modal asing sangat diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum.
Dari keseluruhan uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama arbitrase dapat merupakan sengketa yang efektif dalam penyelesaian sengketa
penanaman modal, baik sengketa antra investor asing dengan partner lokal, maupun antara
investor asing dengan pemerintah tuan rumah (host country).