Jawaban PSDA
Jawaban PSDA
Menurut saya, seharusnya sengketa tanah untuk memperebutkan lahan sawah warga
menjadi lahan perkebunan sawit, tidak perlu diperpanjang. Pihak perusahaan harus melakukan
upaya pendekatan secara intensif dengan masyarakat, sehingga dapat diketahui penyebab tidak
bersedianya masyarakat menyerahkan lahannya. Dengan langkah sebagai berikut :
1. Melakukan analisis terlebih dahulu tentang sejumlah hal terkait positif dan negatif
antara bertani produk pangan dengan berkebun Sawit
2. Jika ternyata berkebun sawit ini lebih menguntungkan, maka dilakukan penyuluhan
terhadap masyarakat sekitar tentang positifnya berkebun sawit
3. Lahan warga tidak dibeli, namun, dialih fungsikan menjadi kebun sawit yang dapat
dikelola secara swadaya, kemudian hasilnya bisa dijual ke perusahaan terkait. Sehingga
masyarakat tidak merasa pendapatannya berkurang.
4. Untuk menanggulangi dampak kekurangan pasokan pangan daerah, maka perusahaan
terkait harus memberi kompensasi berupa lahan pertanian yang disewakan pada
masyarakat. Untuk ditanami tanaman pangan (padi, jagung,dsb) baik secara Agroforestri
atau dibuatkan areal sawah terpisah dari perkebunan sawit yang akan dibuat.
Gambar 1. Sistem Agroforestri yang memungkinkan tanaman pangan tetap dapat diproduksi.
Kenyataan yang ada keuntungan ekonomis menanam produk pangan tidak sebesar hasil
perkebunan non-pangan, berdasarkan penelitian Bhaskara (2011) banyak petani mengalami
kerugian jika menanam padi karena modal yang dikeluarkan (bibit, pupuk, tenaga kerja) tidak
sebanding dengan penghasilan yang didapat. Hal ini berakibat banyak petani yang justru
memilih untuk beralih ke komoditi lain selain padi (Bhaskara, 2011).
(Bhaskara, 2011).
Dari studi literatur ini mengatakan Pembangunan sektor perkebunan di Kalimantan
Timur khususnya komoditas tanaman kelapa sawit merupakan suatu bagian integral dari
pembangunan nasional, yang bertujuan mewujudkan peningkatan pendapatan petani serta
meningkatkan devisa negara, selanjutnya usaha pembangunan perkebunan diarahkan pada
pemerataan pembangunan. Pembangunan sektor perkebunan terkait dengan upaya membuka
kesempatan kerja, peningkatan ekspor, pemenuhan industri dalam negeri, pertumbuhan
pembangunan, dan penciptaan pusat pertumbuhan wilayah ekonomi baru (Devung (1992)
dalam Bhaskara, 2011).
Selain dari sektor ekonomi, pengalih fungsian lahan sawah menjadi perkebunan kelapa
sawit juga sangat mendukung kegiatan reforestasi hutan:
Perkebunan kelapa sawit merupakan penumbuhan land cover (afforestasi menurut
konsep land cover change); memiliki canopy cover hampir/mendekati 100 persen pada umur
dewasa (syarat FAO, lebih besar dari 10 persen); dan memiliki ketinggian pohon setelah dewasa
lebih dari 5 meter dan luas sehamparan diatas 0,5 hektar (FAO mensyaratkan tinggi pohon 5
meter dan luas lebih dari 0,5 hektar). Dengan demikian memenuhi kriteria minimal (threshold)
bahkan diatas definisi hutan FAO. Kedua, Perkebunan kelapa sawit merupakan permanen crop
yang baru di replanting setelah 25 tahun (timber plantation yang oleh FAO dikategorikan hutan,
dipanen 7-10 tahun per siklus) yang berarti fungsi ekologis kelapa sawit lebih lama daripada
timber plantation. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga memiliki perakaran yang
massif/padat, berlapis serta permukaan tanah mengandung banyak bahan organik (pelepah
daun, batang) yang berfungsi sebagai bagian dari konservasi tanah dan air seperti mengurangi
aliran air permukaan (water run-off) sebagaimana salah satu fungsi hutan. Ketiga, Perkebunan
kelapa sawit merupakan bagian dari pelestarian fungsi ekologis seperti pelestarian daur CO2,
daur O2 dan daur air (H2O) melalui mekanisme fotosintesis dan 35 respirasi tanaman kelapa
sawit. Fungsi ini juga merupakan bagian dari fungsi hutan secara ekologis. Keempat,
Sebenarnya, pengalih fungsian sawah menjadi lahan pekebunan sudah diatur dalam
perundang undangan, pemerintah membatasi adanya pengalih fungsian guna mencukupi
pemenuhan ketahan pangan dalam negeri dengan mengeluarkan UU Nomor 41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memuat ancaman sanksi
yang cukup berat. Pada Pasal 72 UU tersebut dinyatakan bahwa orang yang melakukan alih
fungsi lahan pertanian pangan diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda
maksimal 1 milyar rupiah. Apabila pelaku alih fungsi lahan tidak mengembalikan kondisi lahan
ke keadaan semula dapat dipidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal 3 milyar
rupiah. Hukuman pidana dan denda ditambah 1/3 dari yang diancamkan apabila pelaku alih
fungsi lahan adalah pejabat pemerintah (Sugandi, Ishak, & Hamdan, 2012).
Namun terdapat faktor-faktor yang menentukan konversi lahan yaitu faktor ekonomi,
faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham et.al. (2005) dalam Sugandhi (2012),
lebih lanjut Isa (2006), menyatakan faktor yang mendorong konversi lahan pertanian adalah : a)
pertumbuhan penduduk, b) kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian, c) nilai land rent
yang lebih tinggi pada aktivitas pertanian non pangan, d) sosial budaya, e) degradasi
lingkungan, e)otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sector yang lebih
menguntungkan untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah, dan f) lemahnya sistem
perundang-undangan dan penegakan hukun dari peraturan yang ada (Sugandi, Ishak, &
Hamdan, 2012).
Dari uraian diatas, maka sebenarnya pembukaan perkebunan Sawit dari lahan pertanian
ini tidak perlu dipermasalahkan karena sebenarnya tidak merugikan bagi mayarakat sekitar,
asalkan ada kompensasi terhadap tanah warga yang dijadikan lahan perkebunan dengan pantas
seperti :
1. Mengganti lahan pertanian (jika memang bersedia dibeli) dengan kompensasi yang
sesuai (contoh : Recruitment kerja untuk umber pendapatan pengganti sawah)
2. Memberikan penyuluhan terhadap penanaman kelapa sawit hingga pemanenan
yang benar terhadap warga sekitar (jika warga tidak bersedia tanah sawahnya dibeli)
sehingga dapat memproduksi Sawit yang lebih menguntungkan dibanding produk
pangan secara swadaya dan nantinya dapat pemasok bahan bagi perusahaan Kelapa
sawit
DAFTAR PUSTAKA
Adhi Yudha Bhaskara, D. M. (2011). Pengaruh Transformasi Lahan Pertanian Menjadi Perkebunan
Kelapa Sawit Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Di Kecamatan Babulu Kabupaten Penajam
Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur. Malang: Universitas Negeri Malang.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. (2013). Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Isu
Lingkungan Global. Jakarta: Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
Sugandi, D., Ishak, A., & Hamdan. (2012). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah
Menjadi Kebun Kelapa Sawit dan Strategi Pengendaliaannya di Bengkulu. Bengkulu: Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.