Anda di halaman 1dari 3

Kearifan Lokal (Local Wisdom) dan Peran Serta Masyarakat untuk Melindungi dan

Melestarikan Lingkungan Hidup


Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M.
Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan local merupakan tata nilai atau perilaku
hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup
secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu
yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan
alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan
baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu
bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan
berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya
yang ada di masyarakat. Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan sumberdaya
alammerupakan sumberdaya yang mencakup sumberdaya alam hayati maupun
non hayati dan sumberdaya buatan. Kearifan lokal merupakan suatu bentuk
warisan budaya Indonesia yang telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal
lahir dari pemikiran dan nilai yang diyakini suatu masyarakat terhadap alam dan
lingkungannya. Di dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma,
sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat setempat. Oleh karena itu kearifan
lokal di setiap daerah berbeda-beda. Kearifan lokal berkaitan erat dengan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Masyarakat memiliki sudut
pandang
tersendiri
terhadap
alam
dan
lingkungannya.
Masyarakat
mengembangkan cara-cara tersendiri untuk memelihara keseimbangan alam
dan lingkungannya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan melalui pengembangan kearifan lokal memiliki
kelebihan

tersendiri. Selain untuk memelihara keseimbangan sumberdaya alam dan


lingkungannya, kebudayaan masyarakat setempat pun dapat dilestarikan.
Kearifan lokal memiliki banyak fungsi sebagaimana yang diungkapkan oleh
Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004) sebagaimana dikutip oleh
Aulia (2010), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam
masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi
bermacam-macam pula. Salah satunya untuk melindungi dan melestarikan
lingkungan hidup. Di Pulau Jawa tepatnya ada kearifan lokal yang tumbuh di
masyarakat pedesaan. Kearifan lokal itu bermacam-macam mulai dari mitos
akan suatu tempat, hari baik, sesajen, nyabuk gunung, pranoto mongso dan lain

sebagainya. Kearifan lokal yang banyak di temui di Pulau Jawa adalah pranoto
mongso. Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani
pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan
untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto
mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti
tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan
seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air
dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat
menjaga keseimbangannya. Urut-urutan pranoto mongso adalah sebagai
berikut :
1. Kasa berumur 41 hari (22 Juni 1 Agustus). Para petani membakar dami yang
tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam polowijo.
2. Karo berumur 23 hari (2 24 Agustus). Polowijo mulai tumbuh, pohon randu
dan mangga mulai bersemi, tanah mulai retak/berlubang, suasana kering dan
panas.
3. Katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September). Sumur-sumur mulai
kering dan anin yang berdebu. Tanah tidak dapat ditanami (jika tanpa irigasi)
karena tidak ada air dan panas. Palawija mulai panen.
4. Kapat berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim kemarau, para
petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, pohon kapuk mulai
berbuah.
5. Kalima berumur 27 hari (13 Oktober 8 Nopember). Mulai ada hujan, petani
mulai membetulkan sawah dan membuat pengairan di pinggir sawah, mulai
menyebar padi gogo, pohon asam berdaun muda.
6. Kanem berumur 43 hari (9 Nopember 21 Desember). Musim orang
membajak sawah, petani mulai pekerjaannya di sawah, petani mulai menyebar
bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan.
7. Kapitu berumur 43 hari (22 Desember 2 Februari ). Para petani mulai
menanam padi, banyak hujan, banyak sungai yang banjir, angin kencang.
8. Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27 hari (3 Februari-28
Februari Padi mulai hijau, uret mulai banyak.
9. Kasanga berumur 25 hari (1 - 25 Maret). Padi mulai berkembang dan sebagian
sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, tonggeret mulai
bersuara.
10. Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai menguning, mulai
panen, banyak hewan bunting.
11. Desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen raya.
12. Sadha berumur 41 hari (12 Mei 21 Juni) . Petani mulai menjemur padi dan
memasukkannya ke lumbung.

Kearifan lokal ini merupakan merupakan budaya yang didalamnya terdapat


banyak aspek yang dapat di jadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Keteraturan dalam
pranoto mongso secara garis besar hanya membahas
tentang bagaimana kita untuk mengolah lahan persawahan yang baik. Tetapi
apa bila kita cermati lebih dalam lagi mengenai aspek lain yang berkaitan
dengan permasalahan lingkungan mungkin kita akan terkagum-kagum
tentunnya. Keteraturan yang ada dalam pranoto mongso mengajarkan kepada
kita semua bahwa segala hal yang kita kerjakan haruslah dalam keteraturan. Hal
ini sejalan dengan lingkungan yang sifatnya teratur dalam siklusnya. Tidak
teraturnya siklus di alam tak lain karena ulah manusia karena pada hakikatnya
alam itu teratur seperti air itu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang
lebih rendah. Kearifan lokal ini juga menunjukkan bahwa bukan hanya materi
saja atau keuntungan yang mereka cari ketika menanam padi tetapi juga
keseimbangn dengan alam supaya mereka dapat hidup berdampingan dengan
alam. Karena masyarakat yang senantiasa menjaga kearifan lokal adalah
masyarakat yang bergantung kesehariannya dengan alam. Sehingga sudah
tertanam dalam jiwa mereka untuk menjaga dan melestarikan lingkungan
mereka dalam berbagai aktivitas. Pranoto mongso ini dalam pelaksanaannya
diperkuat dengan kearifan lokal lainnya yang tak kalah berperan penting yaitu
mitos.
Mitos menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat. Sistem kepercayaan
yang dimiliki suatu masyarakat tentu akan berpengaruh pula pada pola pikir dan
tingkah laku yang nantinya berujung pada cara-cara pengelolaan lingkungan.
Dalam penciptaan peradaban jawa tidak lepas dari mitos dan alam. Diceritakan
menurut Babad Tanah jawa, dahulu tanah jawa berupa hutan rimba yang dihuni
oleh

Anda mungkin juga menyukai