Anda di halaman 1dari 9

KETIDAKSEIMBANGAN: NILAI TUKAR DI NEGARA BERKEMBANG

Dengan terjadinya krisis Asia tahun 1997 yang diikuti dengan Rusia dan Brazilia tahun 1998, pembahasan
mengenai upaya mencari jalan keluar dari masalah moneter yang dihadapi banyak negara selalu memasukkan
permasalahan bagaimana mengatasi fluktuasi nilai tukar mata uang. Nilai tukar yang sangat berfluktuasi sangat
menganggu proses bekerjanya kehidupan ekonomi banyak negara yang mata uangnya bebas dipertukarkan
dengan mata uang negara lain, apalagi yang tingkat keterbukaan ekonomi-keuangannya tinggi.
Anehnya, pembahasan mengenai bagaimana menciptakan dunia keuangan yang aman, terbebas dari gejolak
nilai tukar dan krisis moneter, pada permulaannya tidak banyak membahas masalah penentuan sistim nilai
tukar yang dianggap efektif menghadapi era baru yang antara lain ditandai adanya globalisasi keuangan.
Berbagai pembahasan yang dilakukan untuk menciptakan apa yang disebut the new financial architecture,
semula terpusat pada permasalahan peningkatan transparansi dan disclosure, pengawasan perbankan yang
memadai, permasalahan aliran modal dan reformasi IMF. Pembahasan mengenai masalah sistim nilai tukar baru
banyak dlakukan kemudian.
Dalam permasalahan pengelolaan nilai tukar, para ahli akhir-akhir ini melihat bahwa sistim nilai tukar yang
dapat diandalkan dalam era keuangan global hanya berkisar pada dua pola, karena itu disebut sebagai bipolar
system. Dua sistim pengelolaan nilai tukar yang dapat diandalkan tersebut adalah sistim nilai tukar tetap yang
ketat dan sistim nilai tukar mengambang secara bebas. Sistim nilai tukar tetap (fixed system) atau pematokan
terhadap mata uang negara lain (pegged system) dapat dilaksanakan dengan cara biasa atau melalui suatu
Dewan Mata Uang. Yang terakhir, secara populernya dikenal sebagai Currency Board System (CBS).
Sistim yang hanya terdiri dari dua alternatif ini oleh sementara ahli digambarkan sebagai dalam teori ekonomi
orang berbicara mengenai corner solutions, dua posisi yang menunjukkan posisi keseimbangan yang stabil.
Semua posisi lain diantara kedua sudut tersebut, meskipun dapat merupakan titik keseimbangan, tidak stabil
sifatnya.
Keseimbangan nilai tukar yang juga merupakan kestabilan hanya dihasilkan pada negara-negara yang menganut
salah satu dari kedua sistim tersebut di atas. Krisis moneter yang dimulai dari Asia tahun 1997 menunjukkan
bahwa sistim nilai tukar yang lain dari kedua pola di atas tidak mampu bertahan dalam dunia keuangan yang
bersifat global dengan aliran dana antar negara yang bebas dalam jumlah yang sangat besar. Pilihan sistim
pengelolaan nilai tukar menjadi terbatas pada dua bentuk sistim yang terbukti dapat bertahan menghadapi
krisis yang baru terjadi, yaitu sistim tetap atau mengambang babas.
Sistim nilai tukar tetap secara ketat diterapkan diberbagai negara. Perekonomian yang dianggap berhasil
menerapkan sistim nilai tukar tetap antara lain Hong Kong. Hong Kong menerapkan nilai tukar mata uangnya
HK$ dengan mematok nilainya secara tetap terhadap USD melalui suatu Dewan Mata Uang. Negara-negara lain
yang mematok nilai mata uangnya terhadap mata uang negara kuat dengan CBS termasuk Argentina, Estonia,
Lithuania, dan Bulgaria. Malaysia sejak September 1997 menerapkan sistim nilai tukar tetap dengan suatu
konrol devisa, dan juga berhasil meredam gejolak.
Negara-negara lain, setelah berkecamuknya krisis Asia kebanyakan menerapkan sistim nilai tukar bebas
mengambang, atau dewasa ini sering disebut independently floating exchange system. Sampai dengan pada
waktu krisis Asia berkembang, dari tujuh negara-negara Amerika Latin, terdapat satu negara menggunakan CBS
(Argentina), dan dua negara menggunakan sistim mengambang. Jadi ada tiga negara menggunakan corner
solution. Empat negara yang lain menggunakan sitim nilai tukar di antara kedua ekstrema tersebut. Pada tahun
1999 kondisi tersebut telah berubah; hanya satu dari keempat negara yang semula menerapkan sistim antara
yang masih bertahan menggunakan sistim yang dipakai, mematok nilai mata uangnya dengan suatu mekanisme
penyesuaian a la Bretton Woods. Ketiga negara yang lain, Brazil, Chile dan Columbia, merubah sistim nilai
tukarnya menjadi mengambang bebas.
Sebagaimana diketahui, di kawasan ASEAN, Thailand mengambangkan baht 2 Juli 1997, Philipina
mengambangkan peso 11 Juli 1997. Malaysia mengambangkan ringgit 14 Juli 1997, dan Indonesia
mengambangkan rupiah, 14 Agustus 1997. Singapore selalu mengambang bebaskan S$. Malaysia sejak
September 1998 menerapkan sistim kurs tetap dengan kontrol devisa. Dengan demikian, negara-negar Latin

Amerika dan ASEAN setelah krisis terjadi mengikuti kecenderungan masuk ke dalam sistim bipolar, menerapkan
sistim mengambang bebas atau sistim tetap secara letat. Yang terakhir dilakukan dengan CBS, atau konrol
devisa a la Malaysia.
Sistim pengelolaan nilai tukar yang terpusat pada dua kubu ini (bipolar system) seolah-olah menjadi
conventional wisdom baru atau orthodoxy baru. Perkembangan ini terjadi sejak sistim-sistim sebelumnya
kehilangan daya tahan menghadapi bebas dan besarnya aliran modal antar negara. Di Asia, terutama untuk
negara-negara yang dikenal sebagai emerging markets, memang terjadi peningkatan aliran modal masuk dan
keluar sangat pesat sejak awal 1990-an, terdorong oleh perkembangan teknologi komunikasi, sekuritisasi, serta
kebijakan liberalisasi yang dilakukan banyak negara sejak awal 1980-an.
Sistim nilai tukar tetap dan pematokan nilai mata uang terhadap mata uang negara kuat dengan mekanisme
penyesuaian (adjustable peg) atau sistim Bretton Woods, dan sistim pengambangan terkendali, seperti crawling
pegs, target zones, crawling bands, semenjak krisis disebutkan sebagai soft fixed atau soft pegged systems,
berbagai pola sistim pengelolaan nilai tukar yang kehilangan daya tahan. Meskipun ada pendapat ahli yang
menunjukkan pengalaman negara-negara yang menggunakan sistim nilai tukar diluar bipolar system secara
berhasil, seperti pengalaman Israel, Chile dan Columbia, kebanyakan ahli cenderung melihat adanya dua pilihan
saja, apakah sistim nilai tukar tetap secara ketat atau sistim nilai tukar bebas mengambang.
Stanley Fischer, Deputy Pertama Managing Director IMF, menunjukkan bahwa tidak tahannya sistim-sistim di
atas disebabkan adanya persepsi pasar bahwa pemerintah negara-negara yang menganutnya ingin
mempertahankan suatu tingkat nilai tukar tertentu, atau suatu band terntentu, yang dipandang tidak dapat
dipertahankan. Hal ini karena sasarn tersebut tidak didukung dengan commitment untuk membangun
kelembagaan yang diperlukan untuk menunjangnya. Padahal sistim tersebut hanya efektif kalau otoritas
moneter yang bertanggung jawab mampu membatasi atau merealisasikan kebijakan moneter yang sematamata dilaksanakan untuk mempertahankan tingkat nilai tukar atau band tertentu tersebut. Dengan lain
perkataan, meskipun sistim yang diterapkan secara formalnya adalah salah satu bentuk antara tersebut, akan
tetapi kebijakan moneter yang dilaksanakannya dikompromikan dengan sasaran-sasaran lain yang tidak
mendukung tugas mempertahankan tingkat nilai tukar atau bands yang sudah ditetapkan.
Negara-negara berkembangan yang terkena krisis pada umumnya menerapkan sistim nilai tukar dengan
mematok mata uangnya terhadap dollar atau suatu basket mata uang negara-negara kuat. Akan tetapi, karena
pematokan nilai tukar mata uang dilaksanakan secara tidak ketat atau tidak konsekuen dalam pelaksanaannya,
nilai mata uang negara-negara berkembang ini menjadi sangat sensitif, tidak tahan terhadap gejolak pasar.
Kecenderungan ini disebabkan oleh kentalnya persepsi pelaku pasar bahwa pemerintah masing-masing tidak
akan membiarkan nilai tukar mata uangnya berfluktuasi terlalu besar.
Ini merupakan moral hazard, pelaku pasar melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengabaikan resiko
yang dapat terjadi, karena mendasarkan keputusan mereka atas asumsi tertentu. Dalam hal ini persepsi
korporasi Indonesia sebagai peminjam bahwa Pemerintah tidak akan membiarkan nilai tukar rupiah berfluktuasi
terlalu besar. Persepsi ini menyebabkan korporasi kelewat berani meminjam dalam valas, meskipun pendapatan
korporasi dalam rupiah. Moral hazard juga ada pada investor luar negeri sebagai pemberi pinjaman, yaitu
persepsi bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan membiarkan perusahaan-perusahaan Indonesia bangkrut. Ada
persepsi dari para investor asing bahwa Pemerintah tuan rumah memberi jaminan pinjaman koporasi yang
meminjam dari sumber luar negeri.
Kedua aspek moral hazard tersebut ternyata menumbuhkan sikap kurang hati-hati pada peminjam dan pemberi
pinjaman. Sebagai implikasinya, kondisi perekonomian negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan yang
menjadi peminjam menjadi sangat sensitif terhdap gejolak pasar. Padahal dalam kasus Indonesia, sistim nilai
tukar yang diterapkan bukan sistim nilai tukar tetap. Mengapa ada persepsi dari korporasi nasional bahwa
Indonesia menganut sistim tetap? Pemerintah Indonesia tidak pernah secara implisiyt, apalagi eksplisit,
memberikan garansi ke pada investor asing sebelumnya. Mengapa ada persepsi oleh investor asing bahwa ada
garansi Pemerintah terhdap pinjaman korporasi? Ini pertanyaan-pertanyaan yang belum memperoleh jawaban
dengan baik.

Keadaan tersebut di atas masih ditambah dengan berbagai kelemahan struktural yang menghinggapi sektor
keuangan dan ekonomi, sektor politik dan sosial dari negara-negara emerging markets. Bahkan kalau
kelemahan-kelemahan ini bukan merupakan penyebab krisis, minimal merupakan unsur-unsur yang menambah
beratnya masalah maupun upaya pemulihannya.
SUMBER : http://www.pacific.net.id/pakar/sj/010407.html
JENIS JENIS EXPOSURE VALUTA ASING
Jika suatu bisnis masuk ke dalam perdagangan internasional, maka tentunya mereka terekspos terhadap risiko
valuta asing. Risiko ini terdiri dari beberapa macam, dan masing-masing punya strategi tersendiri untuk
mengelolanya. Pada umumnya, Terdapat tiga jenis exposure valuta asing, diantaranya: 1) transaction exposure;
2) operating exposure; dan 3) translation exposure
a.

Translation (Accounting) Exposure

merupakan exposure laporan laba/rugi dan Neraca perusahaan multinasional terhadap perubahan-perubahan
niIai tukar nominal. Dihasilkan dari fakta bahwa perusahaan multinasional harus mengkonsolidasi rekeningnya
ke dalam mata uang lokal melalui cash flow-nya yang diwujudkan dalam berbagai valuta asing (mentranslasi
laporan keuangan yang disajikan dalam mata uang asing ke dalam mata uang lokal).
b.

Transaction Exposure merupakan

exposure valas perusahaan dalam transaksi-transaksinya dengan negara lain dimana transaksi tersebut terjadi
pada saat ini namun pembayarannya dilakukan pada masa datang, sehingga pada saat jatuh
tempo/penyelesaian transaksitransaksi tersebut dapat menaikkan keuntungan-keuntungan atau
kerugiankerugian mata uang. Dengan kata lain, selama periode komitmen-komitmen pembayaran atau
penerimaan tersebut belum jatuh tempo, kurs nominal dapat berubah dan membuat nilai transaksi ada dalam
risiko. Contoh transaksi-transaksi tersebut adalah piutang dan utang, (debt or interest payments outstanding)
dalam valas.
c.

Economic Exposure (operating competitive exposure)

Merupakan exposure valas cash flows perusahaan terhadap perubahan-perubahan nilai tukar riiI (mengukur
perubahan-perubahan niIai tukar yang mempengaruhi niIai perusahaan yang diukur dalam present value cash
fows masa datang yang diharapkan).
MENGAPA LINDUNG NILAI ?
Perlunya lindung nilai: adanya ketidaksempurnaan pasar.
Hal ini karena adanya: 1. asimetri informasi, 2. biaya2 transaksi yang berbeda, 3. biaya2 gagal bayar, 4. pajak
perusahaan yang progresif.

PENGUKURAN TRANSACTION EXPOSURE


Transaction exposure
Adalah eksposur valas perusahaan dalam transaksi-transaksinya dengan negara lain dimana transaksi tersebut
terjadi pada saat ini namun pembayarannya dilakukan pada masa datang, pada saat jatuh tempo/penyelesaian
transaksi-transaksi tersebut menaikkan keuntungan-keuntungan atau kerugian mata uang. Dengan kata lain,
selama periode komitmen-komitmen pembayaran atau penerimaan tersebut belum jatuh tempo, kurs nominal
dapat berubah dan membuat nilai transaksi ada dalam risiko. Contohnya adalah piutang dan hutang dalam
valas.
Sementara itu, untuk mengurangi timbulnya transaction exposure, perusahaan dapat memilih satu dari
beberapa alternatif kontrak sebagai berikut :
1. Money market hedging

2. Forward contract hedging


3. Future contract hedging
4. Currency option hedging
5. Sama sekalai tidak melakukan hedging
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai masalah transaction exposure ini, perhatikan contoh
kasus berikut ini (Hamny Hady, 2001).
Sebuah perusahaan USA memerlukan dana sebesar GBP 200.000,- untuk membayar hutangnya yang akan
jatuh tempo 180 hari/6 bulan yang akan datang.
Beberapa data yang diperoleh hari ini adalah :
Spote rate $ 1,50 / GBP
Forward rate $ 1,47 / GBP (perkiraan)
Tingkat bunga untuk 180 hari di
USA
UK
Tk. Bunga deposito
4,5%
4,5%
Tk. Bunga pinjaman
5%
5%
Strike price untuk call option GBP 180 hari adalah $ 1,48 / GBP dan premiumnya % 0,03
/ unit
Strike price untuk put option GBP 180 hari adalah $ 1,49 / GBP dan premiumnya adalah
$ 0,02 / unit
Probabilitas Future Spot Rate/FSR (Kemungkinan spot rate di masa datang/180 hari lagi) adalah :
Estimasi FSR Probabilitas
$ 1,43
20%
$ 1,46
70%
$ 1,52
10%
Dari kasus di atas, alternatif mana yang harus dipilih untuk menyelamatkan kewajiban perusahaan tersebut,
yang akan jatuh tempo 180 hari/6 bulan lagi tersebut ?
Jawab :
Alternatif 1, apabila transaction exposure diatasi dengan money market hedging
Langkah pertama, pinjam $ untuk membeli GBP, yang mana apabila GBP tersebut sudah
diperoleh dan didepopsitokan, 180 hari lagi akan menjadi GBP 200.000,- untuk membayar
kewajiban yang jatuh tempo.
Agar 180 hari lagi menjadi GBP 200.000,-, saat ini GBP yang dibutuhkan adalah :
GBP 200.000,------------------- = GBP 195.599,02
( 1 + 0,0225 )
Catatan : 0,0225 atau 2,25% adalah bunga deposito untuk 180 hari (kalau 1 th 4,5%, lihat
data)
Dan untuk mendapatkan GBP 195.599,02 tersebut Dollar yang dibutuhkan atau harus
dipinjam adalah sebesar :
GBP 195.599,02 x $ 1,50 / GBP = $ 293.398,53
Untuk kewajiban perusahaan sudah tidak ada masalah, namun 180 hari lagi perusahaan
harus melunasi pinjaman Dollarnya sebesar :
Pinjaman pokok + Bunga 180 hari, yakni
$ 293.398,53 x ( 1 + 0,025 ) = $ 300.733,5
jadi kalau memilih alternatif 1 ini, dana yang harus disediakan adalah sebesar $ 300.733,5
Alternatif 2, Pergi ke pasar forward dan beli kontrak forward 180 hari, dan hasilnya adalah :
GBP 200.000,- x $ 1,47 = $ 294.000,jadi kalau memilih alternatif 2 ini, dana yang harus disediakan adalah sebesar $ 294.000,Alternatif 3, pergi ke pasar option dan membeli Call option, dengan perhitungan sebagai berikut.
Diketahui :
Strike price $ 1,48 / GBP

Premiumnya $ 0,03 / unit

Dari tabel di atas dapat dihitung expected value of option-nya :


$ 292.000,- (20%) + $ 298.000,- (70%) + 302.000,- (10%) = $ 297.200,Jadi kalau memilih alternatif 3 ini, dana yang harus disediakan adalah sebesar $ 297.200,Alternatif ke 4, apabila memilih tidak melakukan hedging

Dengan demikian expected value untuk alternatif ini adalah :


$ 286.000,-(20%) + $ 292.000,- (70%) + $ 304.000,- (10%) = $ 292.000,Kesimpulan :
Dari berbagai alternatif di atas, sepertinya laternatif terakhir adalah yang paling murah, yakni dengan tidak
melakukan apa-apa terhadap kewajiban tersebut. Namun demikian agar tidak selalu terpengaruh dan
tergantung dari kemungkinan fluktuasi kurs valas, maka sebaiknya melakukan atau membeli kontrak forward,
karena nilainya adalah termurah kedua.
TRANSACTION EXPOSURE DAN PENGELOLAAN UTANG DAGANG
Transaction exposure adalah resiko pengaruh fluktuasi kurs valas terhadap future cash transaction (Hady, 1999).
Perusahaan yang memiliki cash flows (inflow/outflow) valas yang relatif besar, biasanya akan mempunyai resiko
yang relatif tinggi terhadap fluktuasi kurs valas. Hal ini mendorong perusahaan melakukan pengendalian atau
transaction exposure guna menghindari atau mengurangi deEksposur tansaksi mengukur perubahan pada nilai
transaksi karena terdapat perbedaan antara kurs valuta asing pada saat transaksi disepakati dan saat transaksi
diselesaikan/dipenuhi. Jadi eksposur ini berhubungan dengan transaksi-transaksi yang sudah ada, tetapi belum
jatuh tempo (Yuliati, 2002). Nilai aliran kas masuk perusahaan yang diterima dalam berbagai denominasi mata
uang asing akan ditentukan oleh kurs valuta asing, pada saat penerimaan dikonversikan ke mata uang yang
dikehendaki. Demikian juga dengan aliran kas keluar yang dibayarkan dalam denominasi mata uang asing,
nilainya akan tergantung pada kurs valuta asing saat pembayaran akan dilakukan. Eksposur transaksi dapat
terjadi disebabkan oleh penggunaan transaksi kredit atau meminjam dana yang pelunasannya dinyatakan dalam
mata uang asing. Eksposur transaksi dapat dilakukan dengan melakukan kontrak hedging valuta asing atau
menempuh strategi operasi tertentu (Madura, 2006). Kontrak hedging valuta asing bisa dilakukan di pasar
forward, pasar futures, pasar uang, opsi, dan kesepakatan swapngan melakukan hedging.
Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang harus segera dipenuhi (Sutrisno,
2000). Likuiditas adalah menunjukan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat
ditagih, perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada waktunya berarti perusahaan
tersebut dalam keadaaan likuid (Munawir, 1981).

Rasio likuiditas yang mengukur kemampuan likuiditas jangka pendek perusahaan diproksikan dengan current
ratio. Aktiva lancar umumnya meliputi kas, sekuritas, piutang usaha, dan persediaan. Kewajiban lancar atau
hutang lancar terdiri atas utang lancar, wesel tagih jangka pendek,utang jatuh tempo yang kurang dari satu
tahun, akrual pajak, dan beban-beban akrual lainnya (terutama gaji).Rasio likuiditas mengukur kemampuan
likuiditas jangka pendek perusahaan yang diproksi dengan current ratio. Current ratio merupakan salah satu
rasio likuiditas yang bertujuan untuk melihat besarnya aktiva lancar relatif terhadap utang lancarnya. Nilai CR
yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor, namun mengindikasikan
adanya dana yang menganggur (idle cash) sehingga akan mengurangi tingkat profitabilitas perusahaan,
akibatnya ROA juga semakin kecil (Priharyanto, 2009). Apabila tingkat profitabilitas menurun menunjukkan
perusahaan tersebut tidak mampu menggunakan dananya dengan maksimal untuk mendapatkan laba atau
profit. Adanya eksposur transaksi memperburuk penurunan profitabilitas tersebut, dikarenakan eksposur
transaksi mempengaruhi aliran kas jangka pendek perusahaan, apabila pembayaran transaksi dilakukan dengan
menggunakan denominasi kurs valuta asing, nilainya akan lebih besar apabila valuta asing mengalami apresiasi
terhadap mata uang domestik, sehingga risiko meningkat. Dengan demikian semakin tinggi nilai likuiditas maka
semakin rendah aktivitas hedging yang dilakukan karena risiko kesulitan keuangan yang muncul cenderung
rendah dan sebaliknya (Spano, 2004).
PRAKTIK MANAJEMEN RISIKO
ERM adalah sebuah proses atau disiplin dengannya organisasi-organisasi di semua industri menaksir,
mengendalikan, mengeksploitasi, membiayai, dan mengawasi risiko dari semua sumbernya dengan tujuan untuk
meningkatkan nilai perusahaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan praktisi
perbankan, sekuritas dan asuransi, sebagaimana terlihat pada laporan survey yang dilakukan oleh joint forum
antara Basel Committee on Banking Supervision, International Organisation of Securities Commissions, dan
International Association of Insurance Supervisors yang dikoordinasikan oleh Bank for International Settlements
(2003), mendefinisikan integrated risk management sebagai suatu sistem yang memastikan keberadaan dan
berjalannya kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk meningkatkan perhatian dan tanggung jawab
pemilikan risiko di seluruh perusahaan, serta untuk mengembangkan perangkat-perangkat yang diperlukan
untuk menangani risiko-risiko tersebut. Sedikit berbeda dengan definisi tersebut, organisasi-organisasi praktisi
akuntan dan auditor keuangan yang berpengaruh dan tergabung dalam The Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission (COSO)(2004), menyatakan bahwa ERM berhubungan dengan risiko
dan peluang yang berpotensi mempengaruhi nilai, dan mendefinisikannya sebagai berikut suatu proses yang
dipengaruhi oleh dewan direktur, manajemen, dan pihak lain, yang diaplikasikan dalam penentuan strategi
perusahaan, yang dirancang untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang mungkin mempengaruhi perusahaan, dan
mengelola risiko-risiko tersebut tetap berada pada selera risiko perusahaan, serta memberikan pemastian yang
memadai bahwa tujuan perusahaan dapat dicapai. Definisi paling mutakhir diberikan oleh ISO, di mana
manajemen risiko didefinisikan sebagai upaya terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatankegiatan organisasi terkait dengan risiko (ISO Guide 73).
Dari berbagai definisi tersebut, walaupun dari sisi redaksional berbeda, namun dapat diambil beberapa hal yang
relatif sama yang membedakannya dengan manajemen risiko tradisional, yaitu bahwa:
1.
2.

Proses dan sistem dari ERM bersifat komprehensif, integratif, dan lintas divisional. Pada manajemen risiko
tradisional, risiko dikelola secara parsial (silo-based).
Tujuan dari ERM bersifat strategis yaitu pencapaian tujuan perusahaan yang lebih baik dan pada akhirnya
menciptakan, menambah, dan atau melindungi nilai perusahaan. Pada manajemen risiko tradisional, tujuan
terbatas pada mitigasi risiko terbatas pada kegiatan atau unit bisnis tertentu.

Model COSO
ERM versi COSO terdiri dari 8 komponen yang saling terkait. Kedelapan komponen ini diturunkan dari
bagaimana manajemen menjalankan perusahaan dan diintegrasikan dengan proses manajemen. Kedelapan
komponen ini diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan, baik tujuan strategis, operasional,
pelaporan keuangan, maupun kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Komponen-komponen
tersebut adalah:
Lingkungan Internal (Internal Environment) Lingkungan internal sangat menentukan warna dari sebuah
organisasi dan memberi dasar bagi cara pandang terhadap risiko dari setiap orang dalam organisasi tersebut. Di
dalam lingkungan internal ini termasuk, filosofi manajemen risiko dan risk appetite, nilai-nilai etika dan
integritas, dan lingkungan di mana kesemuanya tersebut berjalan.

Penentuan Tujuan (Objective Setting) Tujuan perusahaan harus ada terlebih dahulu sebelum manajemen
dapat menidentifikasi kejadian-kejadian yang berpotensi mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut. ERM
memastikan bahwa manajemen memiliki sebuah proses untuk menetapkan tujuan ddan bahwa tujuan yang
dipilih atau ditetapkan tersebut terkait dan mendukung misi perusahaan dan konsisten dengan risk appetitenya.
Identifikasi Kejadian (Event Identification) Kejadian internal dan eksternal yang mempengaruhi pencapaian
tujuan perusahaan harus diidentifikasi, dan dibedakan antara risiko dan peluang. Peluang dikembalikan
(channeled back) kepada proses penetapan strategi atau tujuan manajemen.
Penilaian Risiko (Risk Assessment) Risiko dianalisis dengan memperhitungkan kemungkinan terjadi (likelihood)
dan dampaknya (impact), sebagai dasar bagi penentuan bagaimana seharusnya risiko tersebut dikelola.
Respons Risiko (Risk Response) Manajemen memilih respons risiko menghindar (avoiding), menerima
(accepting), mengurangi (reducing), atau mengalihkan (sharing risk) dan mengembangkan satu set kegiatan
agar risiko tersebut sesuai dengan toleransi (risk tolerance) dan risk appetite.
Kegiatan Pengendalian (Control Activities) Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dan diimplementasikan
untuk membantu memastikan respons risiko berjalan dengan efektif.
Informasi dan komunikasi (Information and Communication) Informasi yang relevan diidentifikasi, ditangkap,
dan dikomunikasikan dalam bentuk dan waktu yang memungkinkan setiap orang menjalankan tanggung
jawabnya.
Pengawasan (Monitoring) Keseluruhan proses ERM dimonitor dan modifikasi dilakukan apabila perlu.
Pengawasan dilakukan secara melekat pada kegiatan manajemen yang berjalan terus-menerus, melalui eveluasi
secara khusus, atau dengan keduanya.
Penerapan komponen dalam berbagai tujuan tersebut dapat dilakukan pada entity-level, divisional, unit bisnis,
dan/atau subsidiary. Hubungan antara ketiganya digambarkan oleh COSO dalam kubus tiga dimensi sebagai
berikut:

Model ISO
Sementara itu, ISO sebagaimana diterjemahkan secara bebas oleh Susilo et.al (2010) membedakan kerangka
manajemen risiko sendiri, dengan prinsip dan juga proses manajemen risiko.

Menurut ISO, manajemen risiko suatu organisasi hanya dapat efektif bila mampu menganut prinsip prinsip
bahwa manajemen risiko:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

harus memberi nilai tambah


adalah bagian terpadu dari proses organisasi
adalah bagian dari proses pengambilan keputusan
secara khusus menangani aspek ketidakpastian
bersifat sistematik, terstruktur, dan tepat waktu
berdasarkan pada informasi terbaik yang tersedia
adalah khas untuk penggunaannya
mempertimbangkan faktor manusia dan budaya
harus transparan dan inklusif

10. bersifat dinamis, berulang, dan tanggap terhadap perubahan


11. harus memfasilitasi terjadinya perbaikan dan peningkatan organisasi secara berlanjut.
Selanjutnya, agar dapat berhasil baik, manajemen risiko harus diletakkan dalam suatu kerangka manajemen
risiko. Kerangka ini akan menjadi dasar dan penataan yang mencakup seluruh kegiatan manajemen risiko di
segala tingkatan organisasi. Kerangka manajemen risiko ini disusun khas ISO yaitu berdasarkan
siklus Plan(mendesain kerangka manajemen risiko) Do (mengimplementasikan kerangka manajemen risiko)
Check (memonitor dan mereview kerangka manajemen risiko) Act (perbaikan terus menerus kerangka
manajemen risiko), dengan sebelumnya harus mendapatkan mandat dan komitmen berlanjut dari manajemen
organisasi. Siklus kerangka manajemen risiko tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Kerangka kerja ini akan membantu organisasi mengelola risiko secara efektif melalui penerapan proses
manajemen risiko. Proses manajemen risiko hendaknya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
manajemen umum. Manajemen risiko harus masuk dan menjadi bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik
organisasi, dan proses bisnis organisasi. Proses manajemen risiko menurut ISO meliputi 5 kegiatan, yaitu:
1. Komunikasi dan konsultasi, yaitu komunikasi dan konsultasi di antara para pemangku kepentingan,
internal maupun eksternal, yang harus dilakukan seekstensif mungkin sesuai dengan kebutuhan dan pada
setiap tahapan proses manajemen risiko.
2. Menentukan konteks, yaitu menentukan batasan atau parameter internal dan eksternal yang akan
dijadikan pertimbangan dalam manajemen risiko, menentukan lingkup kerja, dan kriteria risiko untuk
proses-proses selanjutnya.
3. Asesmen risiko, yaitu mengidentifikasi risiko, menganalisis risiko, serta mengevaluasi risiko.
Mengidentifikasi risiko dilakukan dengan mengidentifikasi sumber risiko, area dampak risiko, peristiwa
dan penyebabnya, serta potensi penyebabnya, sehingga bisa didapatkan sebuah daftar risiko. Analisis
risiko adalah upaya memahami risiko yang sudah diidentifikasi secara lebih mendalam yang hasilnya akan
menjadi masukan bagi evaluasi risiko. Sedangkan evaluasi risiko adalah menentukan risiko-risiko mana
yang memerlukan perlakuan dan bagaimana prioritas implementasinya.
4. Perlakuan risiko, meliputi upaya untuk menyeleksi pilihan-pilihan yang dapat mengurangi atau
meniadakan dampak serta kemungkinan terjadinya risiko, kemudian menerapkan pilihan tersebut.
5. Monitoring dan review, bisa berupa pemeriksaan biasa atau oengamatan terhadap apa yang sudah ada,
baik secara berkala atau secara khusus. Kedua bentuk ini harus dilakukan secara terencana.
Keseluruhan proses manajemen risiko menurut ISO tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai