Anda di halaman 1dari 11

Analisis Konflik PT Drydock

World Graha.
Sebuah tinjauan Pengelolaan
Keragaman Karyawan di
Perusahaan Multinasional
I.

Latar Belakang Masalah


Keragaman karyawan merupakan sebuah sisi yang harus menjadi perhatian dan tugas
seorang manajer dalam perusahaan era modern. Gender, budaya, ras-suku, latar-belakang
pendidikan-ekonomi,

agama,

dan

keterbatasan

fisik

merupakan

beberapa

atribut

keragaman yang secara umum ada pada sebuah perusahaan. Seorang manajer yang
sukses adalah seorang manajer yang dapat mengelola dan menyatukan keragaman
tersebut dalam rangka kesuksesan tujuan perusahaan.
Dalam atribut keragaman tersebut perhatian serta isu penting yang sering muncul adalah
pada hal-hal yang berkaitan dengan:
1. Persamaan kesempatan perkembangan karir;
2. Ketidak adilan dalam perlakuan;
3. Potensi keragaman untuk kemajuan perusahaan (yang secara umum sering tidak
diperhatikan oleh manajemen);
4. Bias individu.
Konflik yang terjadi antara salah satu atribut yang disebutkan di atas merupakan sebuah
masalah serius yang harus mendapatkan perhatian khusus dari manajemen untuk segera
dapat dicarikan solusi serta dapat diindikasikan sebagai sebuah cacat dalam sistem
manajemen perusahaan.
Di Indonesia, secara umum konflik dalam keragaman ini timbul akibat perbedaan budaya
baik yang sifatnya karena ke-suku-an maupun secara lebih luas yang bersifat kebangsaan,
dimana masuknya pemodal / investor luar negeri menjadi salah satu pembawa masuknya

tenaga kerja asing, yang pada akhirnya menjadi sebuah potensi keragaman dalam sebuah
perusahaan, dalam artian positif maupun negatif.
Pada tanggal 22 April 2010, ribuan karyawan perusahaan galangan kapal, PT Drydocks
World Graha yang berlokasi di Tanjung Udang, Batam, turun untuk berdemonstrasi dan
melakukan aksi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Media memberitakan paling
tidak 9 (Sembilan) orang terluka dan puluhan mobil dibakar. Konflik bermula dari umpatan
seorang supervisor asal India yang mengatakan bahwa orang Indonesia stupid kepada
seorang tenaga kerja Indonesia. Tetapi pemicu dari kerusuhan ini tidak hanya itu saja,
akumulasi dari rasa kesal terhadap pembedaan dalam gaji dan fasilitas antara tenaga kerja
Indonesia dan tenaga kerja asing merupakan faktor terjadinya konflik.
Selain itu, dalam keterangan beberapa karyawan PT. Drydocks kepada media, diketahui
bahwa perusahaan ini tidak menerapkan undang-undang yang mengatur dengan jelas
perekrutan tenaga kerja oleh Investasi Asing di Indonesia. Selain itu sistem kerja yang
diantaranya meliputi sistem pengupahan yang dimuat pada Pasal 45 Huruf a UU
Ketenagakerjaan No 13/2003 tidak diterapkan. Pasal ini mengatur bahwa pemberi tenaga
kerja asing (perusahaan) wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga
pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf (b)
menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga
kerja asing tersebut. Pada perusahaan Drydocks ini, tenaga kerja asing tidak didampingi
asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa
pun. Sehingga, pengabaian terhadap pasal dalam UU ketenagakerjaan ini juga menjadi
salah satu pemicu konflik di perusahaan ini.

Menurut data dari Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi pada tahun 2009, jumah Tenaga Kerja
Asing di Indonesia kurang lebih 90.000 orang banyak yang berasal dari Cina, Jepang, Korea, India, dan
negara-negara lainnya. Dengan semakin meningkatnya arus tenaga kerja asing ke Indonesia, maka
situasi-situasi multinasional atau multikultural yang rawan terhadap konflik akan semakin banyak
tercipta (Dian, 1998). Karena konflik yang terjadi dalam organisasi, menurut Greenberg & Baron (dalam
Dian, 1998) selain dapat memiliki konsekuensi yang positif, juga dapat memiliki konsekuensi yang
negatif. Konsekuensi yang positif berupa terdorongnya kreatifitas, disiplin, semangat kerja, kemampuan
adaptasi, dan hal-hal yang dapat mendorong kemajuan organisasi.

Sedangkan konsekuensi yang negatif adalah menurunnya produktifitas, melemahnya semangat kerja,
meningkatnya rasa tidak puas dan juga meningkatnya ketegangan dalam organisasi. Pada kasus PT.
Drydocks ini, konsekuensi negatifnya berbuntut menjadi kerusuhan dan berhentinya produktifitas
perusahaan. Kasus ini menjadi menarik karena selain menjadi pemberitaan besar di media massa, kasus
ini juga membuka mata masyarakat akan fenomena tenaga kerja Indonesia di negerinya sendiri.
Pada makalah ini, kami akan menganalisa kasus ini berdasarkan perspektif teori konflik bila dikaitkan
dengan kerusuhan di PT. Drydocks World Batam. Lebih lanjut kami akan menganalisa faktor-faktor apa
saja yang menjadi penyebab terjadinya konflik antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja indonesia di
perusahaan ini dan bagaimana kecenderungan gaya penanganan konflik yang diterapkan oleh PT.
Drydocks dalam mengatasi konflik ini. Sehingga diharapkan, kasus ini dapat membuka mata kita akan
dinamika konflik dalam organisasi dan penangulangannya.

Konflik merupakan sesuatu yang wajar terjadi karena dalam suatu organisasi masing-masing individu
memiliki perbedaan. Robins & Judge (2008) mendefinisikan konflik sebagai sebuah proses yang dimulai
ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan
mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi perhatian dan kepentingan pihak pertama
Pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain atau
organisasi dengan kenyataan apa yang didapatkan dapat menimbulkan konflik. Selain itu, Daniel
Webster (dalam Pickering, 2006) menyatakan bahwa konflik adalah:

Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain
Keadaan atau perilaku yang bertentangan (misal: pertentangan pendapat, kepentingan atau
pertentangan antar individu).
Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan
Perseteruan

Pertentangan sangat mungkin terjadi karena setiap orang dalam suatu organisasi memiliki pandangan
yang berbeda atas tugas dan tanggung jawab masing-masing. Ketika mereka berinteraksi maka konflik
menjadi potensial untuk muncul. Konflik dalam organisai dapat menimbulkan konsekuensi positif dan
negatif. Konflik positif dapat mendorong inovasi organisasi, kreativitas dan adaptasi. Sedangkan konflik
yang sering muncul ke permukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik seperti inilah yang
dapat menurunkan produktivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ketegangan dan stress
dalam organisasi (Gitosudarmo & Sudita, 2000).

Konfik yang menjadi kerusuhan di PT. Drydocks World Graha yang berlokasi di Batam terjadi pada
tanggal 22 april 2010. Pada kerusuhan ini, setidaknya 8.000 pekerja Indonesia melakukan demonstrasi
dan pengrusakan fasilitas. Selain kantor dan gudang yang dibakar, puluhan mobil juga dibakar. Tak ada
korban tewas, tapi setidaknya sembilan orang terluka dengan lima warga asing dan empat karyawan.
Kerusuhan ini dipicu karena seorang pengawas asal India di PT Drydocks World Graha yang memaki
pekerja asal Indonesia dengan kata-kata stupid (bodoh). Kemudian, karyawan lainnya mengeroyok
pengawas ini, dan melakukan pengejaran kepada pekerja WNA lainnya. Konflik ini merupakan akumulasi
dari persepsi pekerja WNI terhadap perbedaan perilaku perusahaan dengan pekerja WNA.

Menurut Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Ikbal, selama ini pekerja di
galangan kapal harus memenuhi alat keselamatan kerjanya dengan dana mereka sendiri, upah mereka
juga murah dan dipotong oleh agen karena sebagian adalah pekerja outsourcing dan tidak ada jaminan
kesehatan. FSPMI, yang membawahi sekitar lima ribu buruh di salah satu anak perusahaan Drydock di
Batam meminta ada perbaikan sistem kerja yang ada di perusahaan tersebut. Selain itu, berdasarkan
wawancara dengan karyawan PT.Drydocks, bahkan tidak ada satu orangpun, WNI yang menjadi staf
tinggi di perusahaan tersebut. Dalam wawancara tersebut, buruh PT Drydocks World Graha
mengemukakan bahwa Diskriminasi terhadap buruh Indonesia jelas-jelas dirasakan. Diskriminasi itu,
antara lain, terjadi pada gaji dan fasilitas. Untuk level yang sama, gaji dan fasilitas yang diterima buruh
ekspatriat selalu lebih baik daripada buruh Indonesia. Mandor perusahaan galangan kapal, misalnya, jika
posisi itu ditempati buruh ekspatriat, yang bersangkutan akan mendapat fasilitas tempat tinggal dan
sejumlah kebutuhan bulanan, seperti sabun cuci. Fasilitas seperti ini tidak akan didapatkan buruh
Indonesia. Soal gaji pada level penyelia dengan ijazah sarjana (S-1), bagi buruh Indonesia sekitar Rp 1,2
juta sampai Rp 1,5 juta per bulan. Sementara buruh asing bisa mendapatkan gaji 10 kali lipatnya dan
juga tidak sedikit buruh asing yang bekerja di level mandor sampai penyelia yang tidak sesuai dengan
latar belakang pendidikannya.
Hal ini juga diungkapkan Ketua Kelompok Kerja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR RI, Arif Minardi. Arif juga
mengemukakan terdapat perbedaan yang mencolok di antara tiga komisi, tenaga asing, tenaga tetap,
dan yang dikontrak," usai menelusuri fakta kerusuhan Drydocks World. Dalam level pekerjaan yang
sama, TKA digaji dengan standar dolar Singapura, sedang pekerja tetap Indonesia menggunakan rupiah
yang nilainya di bawah TKA. Perbandingan gaji TKA dengan pekerja lokal dalam level yang sama sangat
jauh. Gaji TKA, minimal 4.500 dolar Singapura (sekitar Rp30.000.000) , sedang pekerja Indonesia, yang
sudah berpengalaman lima tahun, hanya diberi upah Rp5-7 juta.

Ketua PUK Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia dalam Kompas (21/04/2010), Nanindah Anggun
Hidayatullah juga mengatakan bahwa buruh Indonesia mayoritas ditempatkan di bagian pesuruh dan
pertukangan sedangkan level mandor dan penyelia sebagian diisi buruh asing. Padahal, kalau mau jujur,
orang Indonesia juga mampu mengisi semua (level) itu, ujarnya. Selain itu, dalam konteks penanaman
modal asing, alih teknologi sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 ternyata juga banyak tidak direalisasikan.

Menurut Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan No 13/2003, pemberi tenaga kerja asing wajib menunjuk
tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian. Sementara
Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan
pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja
asing tersebut. Terkait pasal itu, sejumlah buruh menyatakan, banyak perusahaan galangan kapal di
Batam yang tidak merealisasikan hal itu. Umumnya, tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal.
Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa pun.
Sementara itu, pekerja kontrak dibayar per jam, yang nilainya relatif kecil karena terpotong-potong.
Subkontraktor menurunkan lagi pekerjaan ke subkontraktor lain, yang bisa sampai sembilan kali sub,
sehingga membuat nilai upah pekerja semakin kecil karena dipotong untuk subkontraktor.Tenaga kerja
tetap mendapatkan fasilitas pengamanan pekerjaan yang bagus, sedangkan karyawan kontrak harus
melengkapi keselamatan diri sendiri.
(sumber dirangkum dari beberapa media cetak, wawancara dengan karyawan PT. Drydocks dan
website).
IV.Analisa Kasus
Kasus ini dapat dikategorikan sebagai intergroup conflict, dimana ada konflik terjadi didalam organisasi
antara Tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing, dan juga tenaga kerja Indonesia dengan
PT.Drydocks. Konflik yang terjadi merupakan konflik horizontal antara sesama tenaga kerja dan juga
konflik vertikal, yaitu antara tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks.

Pada awal proses terjadinya konflik, tahap pertama yang terjadi adalah potensi pertentangan atau
ketidakselarasan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah perbedaan gaji antara tenaga kerja
Indonesia dan Asing yang jauh sekali, perbedaan fasilitas, tunjangan-tunjangan dan pemotongan gaji
oleh outsource. Menurut Robbins (2008), kondisi-kondisi tersebut dipadatkan dalam tiga kategori umum
yaitu:

1. Komunikasi
Dalam kasus ini yang menjadi sumber konflik yang diekspos oleh media adalah pernyataan dari Seorang
Supervisor berkebangsaan India pada perusahaan Drydocks yang berbau SARA yang menyatakan bahwa
orang indonesia stupid. Namun sumber konflik yang sebenarnya terjadi bukan hanya menyangkut isu
SARA, melainkan adanya permasalahan dalam komunikasi. Permasalahan dalam komunikasi juga dapat
dilihat ketika mereka jarang bekerja sama dan berbaur satu sama lainnya seperti yang dikemukakan oleh
AB ( wawancara dengan karyawan PT.Drydocks). Masing-masing dari mereka lebih senang berkumpul
dan berkomunikasi dengan komunitas asal negara mereka sendiri-sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa permasalahan komunikasi bisa menjadi sumber konflik.
McShane (2005) juga mengemukakan bahwa kecenderungan merasa tidak nyaman atau canggung untuk
berinteraksi dengan orang atau individu yang berasal dari budaya yang berbeda membuat mereka
cenderung menggunakan stereotip untuk mengisi kurangnya informasi yang didapat. Supervisor
berkebangsaan India ini menggunakan stereotip dalam menilai bawahannya yang merupakan tenaga
kerja Indonesia. Kalimat Indonesian Stupid ini digeneralisasi oleh karyawan lainnya seperti yang
dikemukakan dalam salah satu wawancara kami dengan satu karyawan PT. Drydocks. Karyawan ini
mengemukakan bahwa ia merasa harga dirinya sebagai bangsa Indonesia terinjak-injak yang juga
disetujui oleh rekan-rekan sekerjanya. Dapat dilihat bahwa sumber konflik yang ada juga merupakan
adanya perbedaan nilai dan keyakinan diantara mereka. Menurut Tenaga kerja asing, berkata dengan
kalimat makian pada satu negara adalah hal yang biasa, tapi bagi orang Indonesia bisa menjadi hal yang
diperbesar dan digeneralisasi.

2. Struktur
Konflik antara TKA dan TKI ini bersifat struktural karena mencakup variabel-variabel seperti kadar
spesialisasi dalam tugas-tugas yang diberikan dalam organisasi, kejelasan yurisdikasi, keserasian antara
anggota dengan tujuan, sistem imbalan dan gaya kepimpinanan.
Dapat dilihat wawancara dengan beberapa karyawan PT.Drydock bahwa sebagian besar dari mereka
adalah karyawan kontrak yang berasal dari outsourcing. Mereka baru akan diangkat menjadi karyawan
tetap setelah tiga tahun bekerja, tetapi tidak selalu begitu. Kadang beberapa orang karyawan terus
diperpanjang kontraknya sehingga tidak jelas yurisdikasinya. Pada level pekerjaan yang sama, sistem
imbalan yang tidak seimbang menyebabkan sumber konflik yang besar. Menurut Robbins (2008), ketika
perolehan suatu kelompok dipandang merugikan kelompok lain, maka akan terjadi potensi pertikaian
yang tinggi. Selain itu, diketahui bahwa tidak ada perwakilan Orang Indonesia dalam staf tinggi
PT.Drydocks yang berlokasi di Graha ataupun di dua tempat lainnya di Batam. Sehingga, gaya
kepimpinan yang digunakan oleh PT.Drydocks yang cenderung kepada suatu kelompok juga
memperbesar potensi konflik.

3. Variabel Pribadi
Pada wawancara dengan Dosen Psikologi Industri dan Organisasi Universitas Indonesia, Drs. Iman
Sukhirman, M. Si bahwa perbedaan nilai dan keyakinan dalam suatu perusahaan yang dibawa oleh
masing-masing individu dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda dapat menjadi sumber
konflik, oleh karena itu diperlukan adanya kesamaan pandangan agar masing-masing tidak membawa
nilai dan keyakinannya masing-masing, tetapi merasa sebagai satu kesatuan. Terjadinya kerusuhan
tersebut juga disebabkan karena adanya ketidakmatangan intelektual, emosi dan spiritual quotient yang
dimiliki tenaga kerja indonesia itu sendiri. Ketiga hal ini termasuk ke dalam faktor penyebab terjadinya
konflik yang berasal dari variabel-variabel pribadi. Menurut beliau, tenaga kerja indonesia hanya disuruh
bekerja saja, tanpa dibekali ketiga kemampuan tersebut. Sehingga dalam menghadapi konflik, mereka
tidak bisa berpikir, bertindak dan berperilaku jernih tetapi langsung meresponnya dengan sikap impulsif,
agresi, dan merusak dengan membakar lumbung yang merupakan mata pencaharian mereka. Hal
yang sebaiknya dilakukan bukan dengan cara kekerasan, namun harus menggunakan akal pikiran untuk
mengatasi konflik. Kalaupun mereka marah, setidaknya kemarahan mereka ditunjukkan dengan cara
yang lebih intelektual yaitu lewat jalur hukum. Untuk menyeret bos india ke jalur hukum harus
menggunakan akal dan strategi seperti dengan menyiapkan voice recorder, kemudian memancing
supervisor berkebangsaan india tersebut untuk mengeluarkan pernyataan yang menghina dan
merekamnya sudah cukup bisa dijadikan cukup bukti. Dengan demikian, keadilan pun akan berpihak
pada mereka dengan dikeluarkannya supervisor india tersebut dari perusahaan tanpa harus merusak
pabrik yang sudah jelas merupakan sumber mata pencaharian mereka.
Kemudian beliau melanjutkan pernyataannya dengan memberikan analogi kasus demonstrasi karyawan
di salah satu perusahaan di Jepang yang menuntut kenaikan gaji, karena dianggap gaji mereka sudah
tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang diminta perusahaan. Karyawan perusahaan tersebut
melakukan demonstrasi berupa mogok kerja hanya pada hari dan jam-jam tertentu. Kerugian mogok
kerja yang dilakukan setiap hari tertentu dan hanya selama 2-3 jam tersebut di hitung perusahaan
mengalami kerugian milyaran rupiah. Pihak perusahaan kewalahan, karena karyawan tidak melakukan
tindakan anarkis, sehingga pihak perusahaan tidak bisa melakukan apa-apa selain bernegosiasi tawarmenawar dalam menyelesaikan masalah untuk mencari kesepakatan bersama antara kedua belah pihak
(antara perusahaan dan karyawan).
Jika kondisi dalam tahap I jelas mempengaruhi terjadinya konfik maka tahap kedua yang terjadi adalah
konflik yang dipersepsi dan dipersonalisasi. Dapat dilihat pada beberapa pernyataan dari karyawan PT.
Drydocks ini antara lain:
I : Siapa yang gak marah, mba.. coba deh, gaji saya sama ma Mr. X (seorang India) yang jelas-jelas
pekerjaannya sama jadi marker. Pendidikan saya malah lebih tinggi dari dia, cuman mang dia bahasa
Inggrisnya bagus aja. Selama saya kerja dari awal disitu, saya dikontrak terus gak jadi karyawan tetap.
Gak tau sampai kapan saya kerja kayak gini kalo perlakuannya
B: Rasanya mau saya injek-injek tuh para India ma orang singapur itu mba.. kesel saya ma orang itu.
Nasionalisme saya rasanya uuuuu.. mau tercabik-cabik pas dengan orang Indon itu stupid..

Sehingga dapat dilihat bahwa konflik ini telah dipersepsi oeh mereka secara emosional, dan merasakan
kecemasan, tegang, frustasi dan rasa bermusuhan. Emosi memainkan peranan utama dalam
membangun persepsi sehingga emosi negatif yang tercipta dapat menurunkan kepercayaan dan
interpretasi negatif atas perilaku TKA.

Kemudian tahap ketiga adalah Maksud (Intentions), adalah tahap dimana mereka memutuskan untuk
bertindak tertentu. Dapat dilihat disini setelah sekian lama bahwa TKI tidak bekerja sama, akomodatif
dan kompromis pada TKA lagi. Pada awalnya, TKI melakukan tindakan avoding(menghindar) konflik dan
mengakomodasi kepentingan TKA. Tapi kemudian,tindakan ini menjadi persaingan dengan cara
menjatuhkan kepentingan salah satu diantaranya. Dalam hal persaingan untuk mendapatkan tujuannya
yaitu perlakuan adil dalam berbagai aspek oleh PT.Drydocks.

Tahap keempat adalah Perilaku yang meliputi pernyataan, aksi, dan reaksi yang dibuat oleh masingmasing pihak. Upaya kasat mata untuk mengoperasikan maksud dari masing-masing pihak adalah mulai
dari kesalahpahaman kecil dalam hubungan antarpribadi karyawan, terang-terangan menentang,
serangan verbal secara kasar seperti yang dilakukan oleh supervisor India tadi, ancaman untuk
membunuh supervisor tadi dan ultimatum untuk mengusir para TKA yang berlangsung cepat sesaat
setelah serangan verbal, kemudian sampai ke serangan fisik secara agresif. Serangan fisik secara agresif
ini ditujukan pada TKA yang kemudian terluka, mobil-mobil yang dibakar, gudang dan infrastruktur
lainnya yang dirusak.

Sehingga yang terjadi pada tahap kelima adalah akibat disfungsional yaitu suatu konsekuensi destruktif
dari konflik. Sampai akhir April 2010, 70% PT.Drydocks Graha baru bisa beroperasi dikarenakan
infrastruktur yang sempat rusak dan tidak memungkinkan karyawan untuk bekerja dalam beberapa hari
dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Denis Welch selaku Chief executive officer dari DrydocksWorld South Asia kemudian membuat statemen terhadap apa yang terjadi di Drydocks kepada Pers dan
menjelaskan kepada DPR-RI.
Sampai saat ini, berita yang masih terdengar adalah mediasi Pemerintah dalam hal ini Kementerian
tenaga kerja dan transmigrasi sebagai pihak ketiga yang menengahi kasus ini. Menurut beberapa
karyawan PT.Drydocks Graha, negosiasi yang mereka inginkan adalah satu penyelesaian yang dapat
menciptakan solusi menang-menang. Negosiasi ini disebut negosiasi integratif yang ditujukan untuk
menjaga fleksibelitas. Mereka ingin PT.Drydocks ditegur dan diawasi pemerintah dalam menjalankan UU
tenaga kerja yang sebenar-benarnya. Melalui Serikat Pekerja Metal Indonesia, diharapkan aspirasi
mereka tersampaikan. Mereka juga mengemukakan bahwa mereka ingin kondisi yang nyaman untuk
bisa bekerja dengan baik, dihargai dan diperlakukan baik di negeri mereka sendiri.

Menakertrans juga mengupayakan agar para TKA harus mengerti budaya Indonesia dan menghargainya.
Cara yang digunakan adalah dengan kembali menyebarkan informasi melalui spanduk-spanduk, pamfletpamflet untuk mengajak TKA untuk berlaku menghargai Indonesia dan bersama-sama mencapai
kedamaian. Menakertrans juga menghimbau untuk memperbaiki komunikasi dan saling memahami.
PT.Drydocks juga diminta untuk meninjau ulang kebijakan dalam sistem outsourcingnya, sistem gaji
antara TKA dan TKI, sistem karyawan kontrak untuk tenaga kerja asing, dan fasilitas dan tunjangan
lainnya yang selama ini dibedakan. Sehingga dapat mengurangi kecemburuan diantara pihak ini. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa pendekatan untuk manajemen
konflik dapat berupa Reducing differentition, improving communication and understanding, dan
clariflying rules and procedures.

Sampai saat ini, belum ada berita dari proses negosiasi diantara pihak-pihak internal PT.Drydocks ini
sehingga kami belum bisa menganalisa lebih lanjut tentang kondisi lanjutan pasca kerusuhan 22 April ini.

Kesimpulan :

a. Konflik sering terjadi pada kondisi kerja multikultural dikarenakan adanya pembedaan dan masalah
komunikasi diantara karyawan baik horizontal maupun vertikal.
b. Konfllik meningkat ketika terjadi perbedaan nilai dan keyakinan, dan variabel pribadi yang
memungkinkan untuk cepat terespon dengan pemicu konflik.
c. Managemen konflik sangat diperlukan unuk meminimalisir konsekuensi disfungsional dari konflik.
Dalam hal ini, kepentingan dari berbagai pihak harus dipertimbangkan sehingga tercipta kondisi yang
fungsional.
d. Untuk mencapai kondisi yang fungsional, diperlukan adanya resolusi konflik yang dapat membantu
mengembalikan fungsi organisai yaitu dengan cara mengurangi perbedaan, memperbaiki komunikasi
dan pemahaman dan mengklarifikasi peran dan prosedur.

Saran
i. Untuk meminimalisir konflik yang destruktif, PT.Drydocks harus memperhatikan perbedaan kultur
diantara karyawannya dan kemudian memutuskan cara pendekatan seperti apa yang sesuai untuk
menciptakan kondisi yang baik untuk kepentingan perusahaan.

ii. Tenaga Kerja Indonesia harus memiliki posisi negosiasi yang kuat untuk tetap memenangkan
keinginannya. Untuk itu diperlukan strategi negosiasi yang kuat dan cerdas agar bisa memecahkan
konflik yang ada.
iii. Pemerintah harus memperkuat pengawasannya terhadap perusahaan yang memperkejakan tenaga
kerja asing. Dan memastikan apakah perusahaan ini telah melaksanakan UU tenaga kerja dengan baik.
iv. Tenaga Kerja Asing juga harus memahami budaya dimana ia bekerja dan berusaha untuk membuka
komunikasi yang baik, sehingga meminimalisir prasangka.

Daftar Pustaka

Gitosudarmo Indriyo Drs., M.Com. (Hons)., & Drs. I. Nyoman Sudita, M.M. (2000). Perilaku
Keorganisasian Edisi (cetakan kedua). Penerbit BPFP Yogyakarta.

Liliweli Alo Prof. DR. M. S. (2006). Prasangka dan Konflik. Penerbit LKiS Yogyakarta.

McShane, S.L., & Von Glinow, M.A. (2005). Organizational Behavior, Emerging Knowledge and Practice
for the Real World. Boston: McGraw-Hill Irwin.

Pickering, Peg. (2006). How to Manage Conflict (Kiat Menangani Konflik). Penerbit Erlangga. Indonesia.

Robbins P Stephen & Judge A Timothy. (2008). Perilaku Organisasi Edisi 12 (Buku 2). Penerbit Salemba
Empat. Jakarta.

Ruky Tresnawardhani Dian. (1998). Skripsi : Persepsi Terhadap Konflik, Sumber-Sumber Konflik Antar
TKI-TKA Dalam Organisasi dan Gaya Penanganan Konflik Pada Manajer Indonesia. Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Depok

http://www.bbc.co.uk/indonesia/mobile/berita_indonesia/2010/04/100423_batam.shtml?page=5

http://www.tribunnews.com/2010/04/26/kesenjangan-gaji-dan-fasilitas-jadi-pemicu

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juanita3.pdf

www.drydocksworld-southasia.com

adien.student.umm.ac.id/2010/02/11/teori-konflik/

Anda mungkin juga menyukai