Tahun 2009, John Hartley menuliskan sebuah paper berjudul journalism as a human
right. Hartley menuliskan gagasannya tentang kajian budaya dalam bidang jurnalisme. Sebab
dia gelisah tentang kondisi perkembangan jurnalisme berikut kajiannya pada era digital.
Hartley meyakini, definisi jurnalisme melampaui definisi praktik. Namun lingkaran
industri media sendiri kini dikatakan Hartley semakin menjauh dari gagasan awal jurnalisme.
Televisi yang hanya menyiarkan tentang hiburan dan gaya hidup. Media cetak yang hanya
memberitakan potongan-potongan kejadian.
Investigasi, kontrol relasi kuasa dan prinsip demokrasi sebagai nafas jurnalisme
dipandang Hartley menghilang tergantikan kepentingan ekonomi dan politik organisasi
media. Tak jarang, jurnalisme justru yang mengkebiri suara-suara minoritas.
Di sisi keilmuan, ia mengatakan kini jurnalisme hanya dikenal sebatas profesi.
Bahkan dalam beberapa perguruan tinggi, kajiannya dan lulusannya hanya dipersiapkan
untuk praktisi di industri media.
Padahal, dengan adanya deklarasi PBB tentang hak asasi manusia menyuarakan
pendapat, Hartley memandang jurnalisme seharusnya mampu menjawab persoalan
terbungkamnya aspirasi manusia. Apalagi, didukung oleh perkembangan teknologi pasca
penemuan mesin cetak ; internet.
Melalui internet, kebebasan bersuara bisa dilakukan siapa saja dimana saja dna untuk
siapa saja. Meminjam konsep milik
Hartley mengonsepkan jurnalisme dalam masyarakat yang lebih luas melalui pendekatan
kajian budaya. Ia menawarkan konsep jurnalisme dalam keseharian, melampaui praktik
jurnalisme yang hanya bisa dilakukan jurnalis yang berada di naungan perusahaan media.
Ia mengusulkan perubahan dari masyarakat membaca menjadi masyarakat menulis.
Konsep masyarakat menulis sebenarnya hampir sama dengan istilah Citizen Journalism atau
jurnalis warga. Namun berbeda, Hartley menganggap melalui deklarasi PBB itu konsep
jurnalisme mencakup seluruh manusia, bukan milik profesi.
Hartley sendiri masih gamang dalam konsep perubahan itu. Ia mengatakan, sulit
untuk mengubah dari masyarakat membaca menjadi masyarakat menulis. Sebab kebiasaan
masyarakat yang hanya mengartikan melek media hanya dengan aktif mengkonsumsi
informasi. Bukan mendaur ulang atau menuliskan informasi. Hal ini didukung fakta bahwa
konstelasi politik hari ini, masyarakat dikondisikan untuk terbiasa dengan kebebasan yang
diwakili.
Ia menjelaskan, kita sebagai masyarakat kontemporer terbiasa bebas meminjamkan
suara pada jurnalis dan wakil rakyat. Sehingga lupa, bahwa kita sendiri juga memiliki otoritas
untuk bersuara melalui diri sendiri.
Hartley membayangkan jika semua orang sudah menuliskan informasi, jurnalisme
akan mengalami hambatan lain. Sebab penting atau tidaknya informasi akan dihitung secara
kuantitatif. Bukan nilai informasi.
Misalnya dalam mesin pencari google, informasi dengan peringkat atas adalah
informasi yang paling sering dibuka. Maka, blog atau media lainnya akan kalah dengan portal
berita milik perusahaan media. Hartley menyarankan adanya pengkolektifan informasi yang
ditulis masyarakat agar mampu bersaing.
Dalam tulisan itu Hartley terlihat optimistis dengan membaca peluang dari kemajuan
teknologi dan perubahan sistem politik akan membawa jurnalisme ke arah yang lebih
demokratis. Bahkan dengan konsep masyarakat menulis dapat membawa masyarakat ke arah
yang lebih baik, sebab setiap suara akan diperhitungkan. Hartley menantang para akademisi
untuk mengembangkan kajian budaya jurnalisme untuk memecahkan permasalahan
jurnalisme saat ini dan mengusung konsep semua orang adalah jurnalis.
http:
//www.tempo.co/read/news/2014/10/10/058613330/Wali-Kota-Tegal-
Dikecam-karena-Penjarakan-Aktivis).
Artinya, ada tantangan dari konstelasi hukum soal kebebasan berpendapat di
Indonesia. Mengutip Hartley, selain konstelasi politik yang tak mendukung setiap orang
menyuarakan pendapatnya secara hukum saya berpendapat negara juga memainkan peran
membungkam masyarakat.
Ada ketidakkonsistenan antara deklarasi PBB tentang hak asasi manusia dengan
sistem perundang-undangan di negara. Efeknya, adanya kasus penahanan itu, akan
membangun ketakutan pada masyarakat untuk menulis secara bebas khususnya di internet.
Ada pekerjaan lain menurut saya untuk mengembangkan jurnalisme sebagai hak
asasi, yakni perlindungan. Jika jurnalis dikomplain atas tulisannya, permasalahan akan
dibawa ke dewan pers dan mendapat mediasi ditambah dengan perlindungan serikat pekerja
dan lembaga bantuan hukum khusus pers (Aliansi Jurnalis Indonesia, LBH Pers dan lainnya).
Namun, jika masyarakat yang dikomplain atas tulisan, penjara lah yang akan menanti.
Bicara soal konstelasi hukum, kasus tersebut sebenarnya tak sendirian. Beberapa saat
yang lalu pasca dilantiknya Presiden Jokowi, salah seorang pedagang sate, M. Arsyad juga
ditahan dengan kasus berbeda. Arsyad ditangkap setelah menyebarkan foto porno editan
dengan wajah presiden di facebook.
Sebelumnya sebuah portal berbagi file, vimeo diblokir oleh Menkominfo saat
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya ada beberapa konten
pornografi di dalamnya. Menurut saya, kasus pemblokiran ini berdampak pada pembatasan
media, ruang berekspresi masyarakat.
Daftar Pustaka
Hartley, John. 2009. The Usesof digital Literacy. St Lucia : University of Queensland Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Desa_global
http://news.okezone.com/read/2014/10/28/337/1058075/pria-ini-ditangkap-mabes-polrisetelah-bully-jokowi diakses pada 14 November pukul 14 : 10 WIB
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/10/058613330/Wali-Kota-Tegal-Dikecam-karenaPenjarakan-Aktivis diakses pada 14 November 2014 pukul 14:08 WIB.