Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Salah satu metode yang di kembangkan ulama ushul fiqih dalam mengembangkan
istimbat hukum dari nash adalah maslahah al-mursalah , yaitu suatu kemaslahatan yang
tidak ada nash juzI (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya
dan tidak ada pula ijma yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini di dukung oleh
sejumlah nash melalui istiqra (induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana di kemukakan
dalam bab qiyas, bahwa sesuatu yang bisa di jadikan illat hukum adalah bahwa sifat
yang di jadikan illat itu mesti sesuai (mulaim) dengan hukum dan tujuan-tujuan yang di
kehendaki syara. Sifat yang mulaim itu ada yang berbentuk
mutabar (ditunjuk
langsung oleh nash), ada yang mulghi (ditolak oleh nash), da nada yang mursal (yang
tidak di dukung dan di tolak oleh nash juzI, tetapi di dukung secara umum oleh
sejumlah nash).1
A. Pengertian Maslahah
Kata maslahah berasal dari kata bahasa arab
menjadi atau
Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama Ushul yaitu,
maslahah di mana syari tidak menyaratkan hukum untuk mewujubkan maslahah itu,
juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Apabila di katakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu
suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu
penyebab di perolehnya manfaat lahir dan batin.2
Secara terminology,, terdapat beberapa definisi maslahah yang di kemukakan ulama
ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam AlGhazali3, mengemukakan bahwa prinsifnya maslahah adalah mengambil manfaat dan
1
Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997 hal. 113
Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami,kairo : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah,
1971, hal 310-414
3
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfha fi ilm al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub al-illmiyyah, jilid I, 1983, hal
286
2
Asywadie syukur, pengantar ilmu fiqih dan ushul fiqih, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990, hal 117-119
Tujuan syara yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk
yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keterunan dan harta. Apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara di atas,
maka dinamakan maslahah. Dismaping itu upaya untuk menolak segala bentuk
kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara tersebut,juga dinamakan
maslahah. Dalam kaitan dengan ini, imam al-Syathibi,5 mengatakan bahwa kemaslahatan
tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat ,
karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan
syara di atas termasuk dalam konsep maslahat.Dengan demikian, menurut al-Syathibi,
kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk
kemaslahatan di akhirat.
Maslahah terus mengalami perkembangan setiap zaman dengan melihat kondisi
lingkungannya. Pembentukan hukum pada suatu masa dan suatu lingkungan yang
mewujudkan maslahah belum tentu akan membentuk maslahah pula pada masa yang
akan datang atau lingkungan lain di sebabkan adanya perbedaan kultur budaya. Adapun
maslahah yang di kehendaki pada suatu masa yang timbul pada suatu keadaan mulai
datang setelah terputusnya wahyu, sedangkan syarI belum merealisasikan maslahahmaslahah tersebut secara jelas, sedangkan masyarakat umum mengehendaki adanya
realisasi maslahah yang di sebut sebagai maslahah al-mursalah yang kemudian di jadikan
sebagai sebuah sumber hukum yang di gunakan oleh sebagian ulama ushul.
Terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah yang dikemukakan ulama ushul
fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama, Imam al-Ghazali
dalam bukunya al-Musthafa, mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah Mursalah
adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuantujuan syara
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah jalan
kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya,
sedang
apabila
dikerjakan
akan
membawa
manfaat
atau
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-syariah, Beirut : Dar al-Marifah, 1975, jilid IV,hal.206 dan
208
2.
3.
4.
file:///D:/tugas%20kuliah/ushul%20fiqih%20keuangan%20syariah/Aplikasi%20Maslahah%20Mursalah%2
0Dalam%20Ekonomi%20_%20Tumbuh%20Berkembang.htm
7
Fathurrahman Azhari , ushul fiqih, Banjarmasin : LPKU, 2014, jilid I, hal.
b.
c.
maslahat bersifat dharuri, yakni untuk memelihara salah satu dari ; agama,
akal, keturunan, kehormatan dan harta benda. Untuk mengurangi perbedaan
pendapat para ulama dalam menanggapi maslahat, sebenarnya dapat di
lakukan apabila maslahat mursalat di kaitkan dengan maqasid al-Syariah.8
B. Macam-macam Maslahat
Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika di lihat
dari beberapa segi. Di lihat dari segi kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli
ushul fiqih membaginya kepada tiga macam yaitu :
1. Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada
lima, yaitu memelihara agama,jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini di sebut al-mashalil al-khamsah.
2. Mashlahah
al-Hajiyah,
yaitu
kemaslahatan
yang
dibutuhkan
dalam
Ibid.h.153.
Nasrun Haroen, ushul., op. cit.,jilid II, hal 115-116
10
11
Ibid., hal 56
13
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal . 208
Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 140.
Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan
mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan
pokok hukum adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.
Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3
(tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer),
hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah(kebutuhan tertier).13
1. Dharuriyat, kebutuhan tingkat primer adalah sesuatu yang harus ada untuk
eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan mansia
tanpa harus dipenuhi manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia,
yaitu secara peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu
disebut al-dharuriyat al-khamsah (dharuriyat yang lima).14 Kelima dharuriyat
tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah
swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan
kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang
dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima
itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsure
pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala
perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak
baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan
bagi manusia.15
2. Hajiyat, kebutuhan tingkat sekunder bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu
yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri.
Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan
meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Namun demikian, keberadaannya
dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan
kesulitan dalam kehidupan
mukallaf.
4. Tahsiniyat, kebutuhan tingkat tersier adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk
memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan tidak
akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan kebutuhan
tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan sebelumnya, ia
15
M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : Bangkit Daya Insana, 1995, hal.1-7
Zakat dari orang muslim ataupun jizyah dari orang non-muslim dasar hukumnya
sama pula yaitu untuk menciptakan kesejahteraan dan maslahah bagi umat.
Zakat merupakan bagian dari pembahasan ilmu ekonomi islam yang
masuk dalam sistem fiscal atau pendapatan utama Negara atau lembaga islam.
Pendapatan zakat dan sumber keuangan lainnya dalam islam adalah untuk
memakmurkan dan menyejahterakan umat16.
Menurut prinsif islam, kekayaan harus menyandang sistem kesejahteraan
yang bertumpu pada zakat sebagai bentuk syukur atas segala yang di anugerahkan
tuhan. Selain sebagai sarana untuk menyucikan jiwa dan harta, zakat juga
merupakan tips bagi jaminan perlindungan, pengembangan dan pengaturan
peredaran serta distribusi kekayaan. Cara memanfaatkannya didasarkan pada
fungsi sosialnya bagi kepentingan masyarakat yang menyentuh kalangan miskin
maupun kaya.
Islam melarang pemakaian harta benda semata-mata untuk kemewahan
dan pamer. Lagi pula, dalam rangka pengembangan investasi, islam melarang
monopoli yang merupakan pilar utama berdirinya sistem kapitalisme dan
eksploitasisime. Islam mengharuskan di terapkannya prinsif keadilan, termasuk
juga dalam hal pemerataan kesejahteraan.17
16
Umrotul Hasanah , Manajemen zakat modern, Malang : UIN Maliki Press, 2010, hal. 48
Ibid., hal 52
17