Anda di halaman 1dari 330

1

DAFTAR ISI
Kata
Pengan
tar
Pendah
uluan
BAB I
BAB II
BAB III

BAB IV

BAB V

BAB VI
BAB VII
BAB
VIII
BAB IX
BAB X
BAB XI

.
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
TINDAK PIDANA

..14

HUBUNGAN
SEBAB
AKIBAT
(CAUSALITEIT,
CAUSALITAT)

...
SIFAT
MELAWAN
HUKUM
(RECHTSWDRIG,
UNRECHT,
WEDERRECHTELIJK,
ONRECHMATIG)..
KESALAHAN
DAN
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
...
KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT,
OPZET, VORATZ)
KEALPAAN
(CULPA)

KESALAHAN
DALAM
DELIK
PELANGGARAN..
PIDANA
DAN
PEMIDANAAN
(HUKUM PENITENSIER)
PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

PENYERTAAN

..25

..33

..41

..49

..61

..67

..69

..79

BAB XII

BAB
XIII

BAB
XIV
BAB
XV
SOAL
UJIAN

...
GABUNGAN
TINDAK
PIDANA
(SAMENLOOP/
CONCURSUS)

..
ALASAN/DASAR
PENGHAPUS
PIDANA
(STRAFUITSLUITINGSGROND,
GROUNDS
OF
IMPUNITY)

.
GUGURNYA
KEWENANGAN
MENUNTUT DAN MENJALANKAN
PIDANA
..
R E S I D I V E ( PENGULANGAN
TINDAK PIDANA).

..94

111

118

128

140

142

BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini
sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab,
mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak
segi, yang masing-masing mempunyai arti sendirisendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan
dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri
dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit.
Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh
seseorang telah merugikan masyarakat dan
pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang
tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu,
tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan
pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya
represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan.
Perlunya pemahaman terhadap teori-teori
serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi
peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan
Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul
mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan
agar
peserta
Pendidikan
dan
Pelatihan

pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori


maupun asas-asas hukum pidana yang perlu
diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai jaksa nantinya.

II. DESKRIPSI SINGKAT


Modul
asas-asas
hukum
pidana
memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan
dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya,
tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat
(causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum,
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana,
kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran,
pemidanaan,
percobaan,
penyertaan,
penggabungan tindak pidana, dasar penghapus
pidana, gugurnya wewenang menuntut dan
menjalankan pidana.

III. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Intruksional Umum
Setelah mempelajari modul ini peserta
diharapkan mengetahui tentang teori, asas,
delik tindak pidana dan dapat menerapkannya
dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik
dan penuntut umum dalam penanganan
perkara pidana.

B. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari modul ini peserta diklat
diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup
berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan
sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat
melawan
hukum,
kesalahan
dan
pertanggungjawaban pidana, kesengajaan,
kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan,
percobaan, penyertaan, penggabungan tindak
pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya
wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
IV. POKOK BAHASAN
a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.
b. Tindak Pidana.
c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat).
d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht,
wederrechtelijk, onrechmatig).
e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz).
g. Kealpaan (culpa).
h. Kesalahan dalam delik pelanggaran.
i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).
j. Percobaan (poging, attempt).
k. Penyertaan.
l. Penggabungan tindak pidana (samenloop /
concursus).

m. Alasan
/
dasar
penghapus
pidana
(straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)
n. Gugurnya
kewenangan
menjalankan pidana.

menuntut

dan

V. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam
proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum
pidana antara lain :
a)
b)
c)
d)

Modul asas-asas hukum pidana;


Internet;
Peraturan perundang-undangan;
Literatur yang terkait.

BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA

A. RUANG

BERLAKUNYA

HUKUM

PIDANA

MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu perundangundangan pidana berkaitan dengan waktu dan
tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya
hukum

pidana

menurut

waktu

menyangkut

penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal


seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau
belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,
maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali
tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine
praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali
atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu

aturan

perundang-undangan

yang

telah

ada

terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD
1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar
1945 yang berbunyi : Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Karenanya asas ini dapat pula
dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh
Anselm von Feuerbach dalam teori : vom
psychologishen

zwang

(paksaan

psikologis)

dimana adagium : nullum delictum nulla poena

sine praevia lege poenali yang mengandung tiga


prinsip dasar :
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa
-

undang-undang)
Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa

perbuatan pidana)
Nullum crimen sine
perbuatan

pidana

poena
tanpa

legali

(tiada

undang-undang

pidana yang terlebih dulu ada)


Adagium ini menganjurkan supaya :
1) Dalam

menentukan

perbuatan yang
peraturan

dilarang di dalam

bukan

macamnya

perbuatansaja

tentang

perbuatan

yang

harusdirumuskan dengan jelas, tetapi


juga

macamnya

pidana

yang

diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang
yang akan melakukan perbuatanyang
dilarang itu telah mengetahui terlebih
dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan
kepadanya

jika

nanti

melakukan perbuatan;

betul-betul

10

3) Dengan demikian dalam batin orang itu


akan mendapat tekanan untuk tidak
berbuat.

Andaikata

melakukan
dilarang,

juga
maka

menyetujui

dia

ternyata

perbuatan
dinpandang

pidana

yang

yang
dia
akan

dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang
dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang. Hal ini
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi,
akan tetapi diperbolehkan penggunaan
penafsiran ekstensif.
3) Aturan-aturan hukum
berlaku surut.

pidana

tidak

11

Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam


pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a) Tidak

dapat

dipidana

kecuali

ada

ketentuan pidana berdasar peraturan


perundang-undangan (formil).
b) Tidak
diperkenankan
(pengenaan

suatu

Analogi

undang-undang

terhadap perbuatan yang tidak diatur


oleh undang-undang tersebut).
c) Tidak
dapat
dipidana

hanya

berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak


tertulis).
d) Tidak boleh ada perumusan delik yang
kurang jelas (lex Certa).
e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
f) Tidak boleh ada ketentuan pidana
diluar Undang-undang.
g) Penuntutan
hanya

dilakukan

berdasarkan atau dengan cara yang


ditentukan undang-undang.
B. RUANG

BERLAKUNYA

HUKUM

MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)

PIDANA

12

Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum


pidana

nasional

menurut

tempat

terjadinya.

Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional),


apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)
pendapat yaitu :
a. Perundang-undangan

hukum

pidana

berlaku bagi semua perbuatan pidana yang


terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan
oleh warga negaranya sendiri maupun oleh
orang lain (asas territorial).
b. Perundang-undangan
hukum

pidana

berlaku bagi semua perbuatan pidana yang


dilakukan oleh warga Negara, dimana saja,
juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan
diluar

wilayah

Negara.

disebut menganut

Pandangan

asas personal

ini
atau

prinsip nasional aktif.


Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya
hukum

pidana

menurut

ruang

tempat

dan

berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam


hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :

13

I.
II.
III.
IV.

Asas Teritorial.
Asas Personal (nasional aktif).
Asas Perlindungan (nasional pasif)
Asas Universal.

Ad. I. Asas Teritorial


Asas ini diatur juga dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam
pasal

KUHP

Ketentuan

yang

pidana

menyatakan

dalam

perundang-

undangan Indonesia diterapkan bagi setiap


orang yang melakukan suatu tindak pidana
di Indonesia.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas
territorial,

dan

ketentuan

ini

sudah

sewajarnya berlaku bagi Negara yang


berdaulat. Asas territorial lebih menitik
beratkan

pada

terjadinya

perbuatan

pidana di dalam wilayah Negara tidak


mempermasalahkan

siapa

pelakunya,

warga Negara atau orang asing. Sedang

14

dalam asas kedua (asas personal atau


asas

nasional

yang

aktif)

menitik

beratkan pada orang yang melakukan


perbuatan

pidana,

mempermasalahkan

tempat

tidak
terjadinya

perbuatan pidana. Asas territorial yang


pada saat ini banyak diikuti oleh Negaranegara di dunia termasuk Indonesia. Hal
ini adalah wajar karena tiap-tiap orang
yang berada dalam wilayah suatu Negara
harus

tunduk

dan

peraturan-peraturan

patuh

kepada

hukum

Negara

dimana yang bersangkutan berada.


Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur
dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
di luar wilayah Indonesia melakukan
tindak pidana didalan kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia.
Ketentuan ini memperluas berlakunya
pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa

15

perahu (kendaraan air) dan pesawat


terbang lalu dianggap bagian wilayah
Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah
supaya perbuatan pidana yang terjadi di
dalam kapal atau pesawat terbang yang
berada di perairan bebas atau berada di
wilayah udara bebas, tidak termasuk
wilayah territorial suatu Negara, sehingga
ada yang mengadili apabila terjadi suatu
perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan
pidana diatas alat pelayaran Indonesia
diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran
pengertian lebih luas dari kapal. Kapal
merupakan

bentuk

khusus

dari

alat

pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut


bebas dan laut wilayah Negara lain.
Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan
dan hak-hak Istimewa (Immunity and
Previlege).

16

Kepala Negara asing dan anggota

keluarganya.
Pejabat-pejabat perwakilan asing

dan keluarganya.
Pejabat-pejabat
Negara

asing

pemerintahan
yang

berstatus

diplomatik yang dalam perjalanan


melalui Negara-negara lain atau

menuju Negara lain.


Suatu angkatan bersenjata yang

terpimpin.
Pejabat-pejabat

Internasional.
Kapal-kapal perang dan pesawat

badan

udara militer / ABK diatas kapal


maupun di luar kapal.
Ad. II. Asas Personal
Asas Personal atau Asas Nasional yang
aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya
terhadap warga Negara yang sedang
berada dalam wilayah Negara lain yang
kedudukannya

sama-sama

berdaulat.

Apabila ada warga Negara asing yang

17

berada dalam suatu wilayah Negara telah


melakukan

tindak

pidana

dan

tindak

pidana dan tidak diadili menurut hukum


Negara

tersebut

maka

berarti

bertentangan dengan kedaulatan Negara


tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi warga Negara
Indonesa

di

melakukan

luar

perbuatan

Indonesia
pidana

yang
tertentu

Kejahatan terhadap keamanan Negara,


martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
(1).

Ketetentuan

pidana

perundang-undangan

dalam
Indonesia

diterapkan bagi warga Negara


yang di luar Indonesia melakukan :
salah

satu

kejahatan

yang

tersebut dalam Bab I dan Bab II


Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,
161, 240, 279, 450 dan 451. Salah
satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan

pidana

dalam

18

perundang-undangan

Indonesia

dipandang

kejahatan,

sebagai

sedangkan menurut perundangundangan

Negara

dimana

perbuatan itu dilakukan diancam


dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 dapat
dilakukan

juga

jika

terdakwa

menjadi warga Negara sesudah


melakukan perbuatan.
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat
perkataan diterapkan bagi warga Negara
Indonesia yang diluar wilayah Indonesia,
sehingga seolah-olah mengandung asas
personal, akan tetapi sesungguhnya pasal
5

KUHP

memuat

asas

melindungi

kepentingan nasional (asas nasional pasif)


karena :
Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi
warga Negara diluar wilayah territorial

19

wilyah Indonesia tersebut hanya pasalpasal tertentu saja, yang dianggap penting
sebagai

perlindungan

terhadap

kepentingan nasional. Sedangkan untuk


asas personal, harus diberlakukan seluruh
perundang-undangan hukum pidana bagi
warga Negara yang melakukan kejahatan
di luar territorial wilayah Negara.
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk
mencegah agar supaya warga Negara
asing yang berbuat kejahatan di Negara
asing tersebut, dengan jalan menjadi
warga Negara Indonesia (naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak
Pidana yang dilakukan di negara asing
tersebut, apakah menurut undang-undang
disana

merupakan

kejahatan

atau

pelanggaran, tidak menjadi permasalahan,


karena

mungkin

pembagian

tindak

pidananya berbeda dengan di Indonesia,


yang penting adalah bahwa tindak pidana
tersebut di Negara asing tempat perbuatan

20

dilakukan
sedangkan

diancam
menurut

dengan
KUHP

pidana,
Indonesia

merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.


Ketentuan pasal 6 KUHP :
Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2
dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak
dijatuhkan pidana mati, jika menurut
perundang-undangan Negara dimana
perbuatan dilakukan terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat
(1)

butir

KUHP

adalah

untuk

melindungi kepentingan nasional timbal


balik (mutual legal assistance). Oleh
karena itu menurut Moeljatno, sudah
sewajarnya pula diadakan imbangan
pulu terhadap maksimum pidana yang
mungkin

dijatuhkan

Negara asing tadi.

menurut

KUHP

21

Ad. III. Asas Perlindungan


Sekalipun

asas

personal

tidak

lagi

digunakan sepenuhnya tetapi ada asas


lain yang memungkinkan diberlakukannya
hukum

pidana

nasional

terhadap

perbuatan pidana yang terjadi di luar


wilayah Negara
Pasal

ditambah

KUHP (seteleh
berdasarkan

diubah

dan

Undang-undang

No. 4 Tahun 1976)


Ketentuan

pidana

undangan

dalam

perundang-

Indonesia diterapkan bagi

setiap orang yang melakukan di luar


Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan
pasal-pasal

104,

108 dan 131;


2. Suatu kejahatan
uang

atau

106,
mengenai

uang

kertas

107,
mata
yang

dikeluarkan oleh Negara atau bank,


ataupun

mengenai

materai

yang

22

dikeluarkan
digunakan

dan
oleh

Indonesia;
3. Pemalsuan

surat

merek

yang

Pemerintah
hutang

atau

sertifikat hutang atas tanggungan


suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan
talon, tanda deviden atau tanda
bunga yang mengikuti surat atau
sertifikat

itu,

dan

tanda

yang

dikeluarkan sebagai pengganti surat


tersebut atau menggunakan suratsurat tersebut di atas, yang palsu
atau dipalsukan, seolah-olah asli dan
tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang disebut
dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut
dan pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j
tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum, pasal 479 l,
m, n dan o tentang kejahatan yang

23

mengancam

keselamatan

penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas
melindungi kepentingan yaitu melindungi
kepentingan
kepentingan

nasional

dan

melindungi

internasional

(universal).

Pasal ini menentukan berlakunya hukum


pidana nasional bagi setiap orang (baik
warga Negara Indonesia maupun warga
negara asing) yang di luar Indonesia
melakukan kejahatan yang

disebutkan

dalam pasal tersebut.


Dikatakan
nasional

melindungi
karena

pasal

memberlakukan

kepentingan
4

KUHP

ini

perundang-undangan

pidana Indonesia bagi setiap orang yang di


luar wilayah Negara Indonesia melakukan
perbuatan-perbuatan

yang

merugikan

kepentingan nasional, yaitu :


1) Kejahatan
terhadap

keamanan

Negara
martabat
Republik

dan
/

kejahatan

terhadap

kehormatan

Presiden

Indonesia

dan

Wakil

24

Presiden Republik Indonesia (pasal 4


ke-1)
2) Kejahatan
mata

mengenai

uang

atau

pemalsuan
uang

kertas

Indonesia atau segel / materai dan


merek

yang

digunakan

oleh

pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)


3) Kejahatan mengenai pemalsuan
surat-surat

hutang

atau

sertifkat-

sertifikat hutang yang dikeluarkan


oleh Negara Indonesia atau bagianbagiannya (pasal 4 ke-3)
4) Kejahatan mengenai pembajakan
kapal laut Indonesia dan pembajakan
pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke4)
Ad. IV. Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi
oleh
hukum

pengecualian-pengecualian
internasional.

Bahwa

dalam
asas

melindungi kepentingan internasional (asas


universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa
setiap

Negara

di

dunia

wajib

turut

25

melaksanakan tata hukum sedunia (hukum


internasional).
Dikatakan

melindungi

kepentingan

internasional (kepentingan universal) karena


rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai
kejahatan pemalsuan mata uang atau uang
kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai
pembajakan kapal laut dan pembajakan
pesawat udara) tidak menyebutkan mata
uang atau uang kertas Negara mana yang
dipalsukan atau kapal laut dan pesawat
terbang

negara

mana

yan

dibajak.

Pemalsuan mata uang atau uang kertas


yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP
menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin
menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara asing. Pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang yang dimaksud dalam
pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal
laut

Indonesia

atau

pesawat

terbang

Indonesia, dan mungkin juga menyangkut

26

kapal laut atau pesawat terbang Negara


asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas,

pembajakan

kapal,

terbang

adalah

pesawat

laut

atau

mengenai

kepemilikan Indonesia, maka asas yang


berlaku diterapkan adalah asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif).
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang

adalah

mengenai

kepemilikan

Negara asing, maka asas yang berlaku


adalah

asas

melindungi

kepentingan

internasional (asas universal).

Pasal 7 KUHP
Ketentuan

pidana

dalam

perundang-

undangan Indonesia berlaku bagi setiap


pejabat yang di luar Indonsia melakukan
salah satu tindak pidana sebagaimana

27

dimaksudkan

dalam

Bab

XXVIII

Buku

Kedua.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang
sebagian besar sudah diserap menjadi tindak
pidana

korupsi.

Akan

tetapi

pasal-pasal

tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,


417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah
dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri
sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP
yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal
7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk
masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16
UU

No.

31

Tahun

1999

tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang


berbunyi : setiap orang di luar wilayah Negara
republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi dipidana

28

dengan pidana yang sama sebagai pelaku


tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai
dengan pasal 14
Pasal 8 KUHP
Ketentuan

pidana

dalam

perundang-

undangan Indonesia berlaku nahkoda dan


penumpang perahu Indonesia, yang di luar
Indonesia,

sekalipun

melakukan

salah

di

satu

luar

perahu,

tindak

pidana

sebagaimana dimaksudkan dalam Bab


XXIX Buku Kedua

dan Bab IX buku

ketiga, begitu pula yang tersebut dalam


peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal

di

Indonesia,

maupun

dalam

diundangkannya

tindak

ordonansi perkapalan.
Dengan

telah

pidana tentang kejahatan penerbangan


dan

kejahatan

terhadap

sarana

prasarana penerbangan berdasarkan UU


No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam

29

KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.


pertimbangan lain untuk memasukkan Bab
XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8
KUHP adalah juga menjadi kenyataan
bahwa

kejahatan

penerbangan

sudah

digunakan sebagai bagian dari kegiatan


terorisme yang dilakukan oleh kelompok
terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
yang

diakui

dalam

hukum-hukum

internasional.
Menurut

Moeljatno,

pada

umumnya

pengecualian yang diakui meliputi :


1) Kepala Negara beserta keluarga dari
Negara sahabat, dimana mereka
mempunyai hak eksteritorial. Hukum
nasional suatu Negara tidak berlaku
bagi mereka

30

2) Duta besar Negara asing beserta


keluarganya meeka juga mempunyai
hak eksteritorial.
3) Anak buah kapal perang asing yang
berkunjung

di

suatu

Negara,

sekalipun ada di luar kapal. Menurut


hukum internasional
adalah

teritoir

kapal

Negara

peran
yang

mempunyainya
4) Tentara Negara asing yang ada di
dalam

wilayah

Negara

persetujuan Negara itu.

dengan

31

BAB III
TINDAK PIDANA
a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para
sarjana

tentang

pengertian

Tindak

pidana

(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H.,


Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi

barang

siapa

yang

melanggar

aturan

tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam

pidana.
Larangan

ditujukan

kepada

perbuatan

(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang


ditimbulkan
sedangkan

oleh
ancaman

kelakuan

orang),

pidana

ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian


itu.

32

Antara larangan dan ancaman pidana ada


hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan erat pula.
Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat diancam pidana jika tidak karena
kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas


dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid
van het feit) dan dapat dipidananya orang
(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu
memisahkan

pengertian

perbuatan

pidana

(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana


(criminal responsibility). Pandangan ini disebut
pandangan dualistis yang sering dihadapkan
dengan

pandangan

monistis

yang

tidak

membedakan keduanya.
b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Dalam suatu peraturan perundang-undangan
pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
Sedangkan menurut Moeljatno Tindak pidana

33

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan


hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang

melanggar

larangan

tersebut.

Untuk

mengetahui adanya tindak pidana, maka pada


umumnya

dirumuskan

dalam

peraturan

perundang-undangan pidana tentang perbuatanperbuatan yang dilarang dan disertai dengan


sanksi.

Dalam

rumusan

tersebut

ditentukan

beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau


sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas
dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak
dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut Simons, unsur-unsur

tindak

pidana

(strafbaar feit) adalah :


Perbuatan manusia (positif atau negative,
berbuat

atau

tidak

berbuat

atau

membiarkan).
Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
Melawan hukum (onrechtmatig)
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in
verband staand)

34

Oleh orang yang mampu bertanggung


jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif


dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar
feit).
Unsur Obyektif :
Perbuatan orang
Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
Mungkin ada keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal
281 KUHP sifat openbaar atau dimuka
umum.
Unsur Subyektif :
Orang yang mampu bertanggung jawab
Adanya kesalahan (dollus atau culpa).
Perbuatan

harus

dilakukan

dengan

kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan
akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.

35

Sementara

menurut

Moeljatno

unsur-unsur

perbuatan pidana :
Perbuatan (manusia)
Yang memenuhi rumusan dalam undangundang (syarat formil)
Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno
terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur
pegawai negeri yang diperlukan dalam
delik jabatan seperti dalam perkara
tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3
Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang pegawai negeri yang menerima
hadiah. Kalau yang menerima hadiah

36

bukan

pegawai

negeri

maka

tidak

mungkin diterapka pasal tersebut


b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si
pembuat, misalnya pasal 160 KUHP
tentang penghasutan di muka umum
(supaya melakukan perbuatan pidana
atau melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum). Apabila penghasutan
tidak dilakukan di muka umum maka
tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang
menentukan,

memperingan

atau

memperberat

pidana yang dijatuhkan.


(1)
Unsur keadaan

yang

menentukan

misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP


Pasal 164 KUHP : barang siapa
mengetahui

permufakatan

jahat

untuk

melakukan kejahatan tersebut pasal 104,


106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187
bis, dan pada saat kejahatan masih bisa
dicegah

dengan

memberitahukannya

sengaja
kepada

tidak
pejabat

kehakiman atau kepolisian atau kepada

37

yang

terancam,

diancam,

apabila

kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana


penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
Kewajiban untuk melapor kepada yang
berwenang,

apabila

mengetahui

akan

terjadinya suatu kejahatan. Orang yang


tidak

melapor

melakukan

baru

dapat

perbuatan

dikatakan

pidana,

jika

kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi.


Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu
adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika
menyaksikan bahwa ada orang yang
sedang menghadapi maut, tidak memberi
pertolongan
kepadanya

yang

dapat

tanpa

diberikan
selayaknya

menimbulkan bahaya bagi dirinya atau


orang lain, diancam, jika kemudian orang
itu meninggal, dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.

38

Keharusan memberi pertolongan pada


orang yang sedang menghadapi bahaya
maut jika tidak memberi pertolongan,
orang tadi baru melakukan perbuatan
pidana, kalau orang yang dalam keadaan
bahaya tadi kemudian lalu meninggal
dunia. Syarat tambahan tersebut tidak
dipandang sebagai unsur delik (perbuatan
pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
(2) Keadaan tambahan yang memberatkan
pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351
ayat (1) KUHP diancam dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Apabila

penganiayaan

tersebut

menimbulkan luka berat; ancaman pidana


diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat
2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati
ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal
351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati
adalah merupakan keadaan tambahan
(3)

yang memberatkan pidana


Unsur melawan hukum

39

Dalam perumusan delik unsur ini tidak


selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan
secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat
melawan

hukum

atau

sifat

pantang

dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah


atau rumusan kata yang disebut. Misalnya
pasal 285 KUHP : dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh di luar perkawinan.
Tanpa ditambahkan kata melawan hukum
setiap orang mengerti bahwa memaksa
dengan

kekerasan

atau

ancaman

kekerasan adalah pantang dilakukan atau


sudah mengandung sifat melawan hukum.
Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan
oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila
tidak dicantumkan maka apabila perbuatan
yang didakwakan dapat dibuktikan maka
secara diam-diam unsure itu dianggap
ada.

40

Unsur melawan hukum yang dinyatakan


sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu
pengambilan barang orang lain dengan
maksud

untuk

memilikinya

secara

melawan hukum.
Pentingnya
pengertian

pemahaman

unsur-unsur

Sekalipun

terhadap

tindak

pidana.

permasalahan

tentang

pengertian unsur-unsur tindak pidana


bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini
sangat penting dan menentukan bagi
keberhasilan pembuktian perkara pidana.
Pengertian

unsur-unsur

tindak

pidana

dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli)


ataupun

dari

yurisprudensi

yan

memberikan penafsiran terhadap rumusan


undang-undang yang semula tidak jelas
atau terjadi perubahan makna karena
perkembangan
pengertian

dan

jaman,

akan

diberikan

penjelasan

sehingga

41

memudahkan

aparat

penegak

hukum

menerapkan peraturan hukum.


Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian
unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Untuk menyusun

surat dakwaan, agar

dengan jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa
yang menggambarkan uraian unsur tindak
pidana yang didakwakan sesuai dengan
pengertian / penafsiran yang dianut oleh
3)

doktrin maupun yurisprudensi;


Mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan
kepada saksi atau ahli atau terdakwa
untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan;
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk
membuktikan unsur tindak pidana. Biasa
terjadi

bahwa

suatu

alat

bukti

hanya

berguna untuk menentukan pembuktian


satu unsur tindak pidana, tidak seluruh
unsur tindak pidana;

42

5) Mengarahkan

jalannya

penyidikan

atau

pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan


secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan
dalam

pembuktian

dipertanggungjawabkan

akan

dapat

secara

obyektif

karena berlandaskan teori dan bersifat


ilmiah;
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian
penerapan fakta perbuatan kepada unsurunsur tindak pidana yang didakwakan, atau
biasa diulas dalam analisa hukum, maka
pengertian-pengertian unsur tindak pidana
yang

dianut

dalam

doktrin

atau

yurisprudensi atau dengan cara penafsiran


hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya
karena ini menjadi dasar atau dalil untuk
berargumentasi.
c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian
jenis delik.
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian
delik
atas
kejahatan

dan

pelanggaran ini disebut oleh undang-undang.


KUHP buku ke II memuat delik-delik yang

43

disebut : pelanggaran criterium apakah yang


dipergunakan untuk membedakan kedua jenis
delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban
tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau
memasukkan
kejahatan

dalam

dan

kelompok

dalam

pertama

kelompok

kedua

mencari

secara

pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan

intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan


kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2
jenis delik, ialah :
1. Rechtdelicten
Ialah yang perbuatan yang bertentangan
dengan

keadilan,

terlepas

apakah

perbuatan itu diancam pidana dalam


suatu undang-undang atau tidak, jadi
yang

benar-benar

masyarakat

sebagai

dirasakan

oleh

bertentangan

dengan keadilan misal : pembunuhan,


pencurian.

Delik-delik

semacam

disebut kejahatan (mala perse).

ini

44

2. Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru
disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai
delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal :
memarkir mobil di sebelah kanan jalan
(mala

quia

semacam

prohibita).

ini

disebut

Delik-delik

pelanggaran.

Perbedaan secara kwalitatif ini tidak


dapat diterima, sebab ada kejahatan
yang baru disadari sebagai delik karena
tercantum

dalam

undang-undang

pidana, jadi sebenarnya tidak segera


dirasakan sebagai bertentangan dengan
rasa keadilan. Dan sebaliknya
pelanggaran,

yang

ada

benar-benar

dirasakan bertentangan dengan rasa


keadilan. Oleh karena perbedaan secara
demikian itu tidak memuaskan maka
dicari ukuran lain.
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan

45

kriterium pada perbedaan yang dilihat dari


segi kriminologi, ialah pelanggaran itu
lebih ringan dari pada kejahatan.
Mengenai pembagian delik dalam kejahatan
dan pelanggaran itu terdapat suara-suara
yang menentang. Seminar Hukum Nasional
1963 tersebut di atas juga berpendapat,
bahwa penggolongan-penggolongan dalam
dua macam delik itu harus ditiadakan.
Kejahatan ringan :
Dalam KUHP juga terdapat delik yang
digolongkan

sebagai

kejahatan-kejahatan

misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384,


352, 302 (1), 315, 407.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan
perumusan secara formil dan delik dengan
perumusan secara materiil)
a. Delik formil itu adalah
perumusannya

delik

dititikberatkan

yang
kepada

perbuatan yang dilarang. Delik tersebut


telah

selesai

perbuatan

dengan

seperti

rumusan delik.

dilakukannya

tercantum

dalam

Misal : penghasutan (pasal

160 KUHP), di muka umum menyatakan

46

perasaan

kebencian,

permusuhan

atau

penghinaan kepada salah satu atau lebih


golongan rakyat di Indonesia (pasal 156
KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP);
sumpah

palsu

pemalsuan

surat

(pasal
(pasal

242

KUHP);

263

KUHP);

pencurian (pasal 362 KUHP).


b. Delik
materiil
adalah
delik

yang

perumusannya dititikberatkan kepada akibat


yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
baru selesai apabila akibat yang tidak
dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum
maka paling banyak hanya ada percobaan.
Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP),
penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan
(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil
dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan
delik

commisionis

per

ommisionen

commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa
pelanggaran

terhadap

larangan,

ialah

47

berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,


penggelapan, penipuan.
b. Delik ommisionis : delik yang berupa
pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan /
yang diharuskan, misal : tidak menghadap
sebagai saksi di muka pengadilan (pasal
522 KUHP), tidak menolong orang yang
memerlukan

pertolongan

KUHP).
c. Delik
commisionis

(pasal

per

531

ommisionen

commissa : delik yang berupa pelanggaan


larangan (dus delik commissionis), akan
tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak
berbuat.

Misal

seorang

ibu

yang

membunuh anaknya dengan tidak memberi


air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang
penjaga

wissel

yang

menyebabkan

kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak


memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en
culpose delicten)

48

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur


kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197,
245, 263, 310, 338 KUHP
b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan
sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,
197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359,
360 KUHP.
5. Delik
tunggal

dan

delik

berangkai

(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)


a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan
dengan perbuatan satu kali.
b. Delik berangkai : delik
merupakan

delik,

yang

apabila

baru

dilakukan

beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481


(penadahan sebagai kebiasaan)
6. Delik yang berlangsung terus dan delik
selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang
mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung

terus,

misal

merampas

kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).


7. Delik
aduan
dan
delik
laporan
(klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya
dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak
yang terkena (gelaedeerde partij) misal :

49

penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP)


perzinahan

(pasal

284

KUHP),

chantage

(pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps.


335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan
dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal
284, 310, 332. Delik-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan
pengaduan.
b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal
367, disebut relatif karena dalam delik-delik
ini

ada

hubungan

istimewa

antara

si

pembuat dan orang yang terkena.


Catatan : perlu dibedakan antara aduan den
gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam
acara perdata, misal : A menggugat B di muka
pengadilan,

karena

hutangnya

kepada

A.

tidak

membayar

Laporan

hanya

pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu


tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
8. Delik sederhana dan delik yang

ada

pemberatannya / peringannya (eenvoudige


dan

gequalificeerde

delicten)

geprevisilierde

50

Delik

yang

ada

pemberatannya,

misal

penganiayaan yang menyebabkan luka berat


atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3
KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.
(pasal

363).

Ada

delik

yang

ancaman

pidananya diperingan karena dilakukan dalam


keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanakkanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut
geprivelegeerd delict. Delik sederhana; misal :
penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian
(pasal 362 KUHP).
9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak
pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu
terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun
1955, UU

darurat tentang

tindak pidana

ekonomi.
d. SUBYEK TINDAK PIDANA
Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur
pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,
pada dasarnya yang dapat melakukan tindak
pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

51

a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim


dimulai dengan kata-kata : barang siapa yang
.. Kata barang siapa ini tidak dapat
diartikan lain dari pada orang.
b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis
pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
1. pidana pokok :
a. pidana mati
b. pidana penjara
c. pidana kurungan
d. pidana denda, yang

dapat

diganti

dengan pidana kurungan


2. pidana tambahan :
a. pencabutan hak-hak tertentu
b. perampasan barang-barang tertentu
c. dimumkannya keputusan hakim
Sifat
dari
pidana
tersebut
adalah
sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya
hanya dapat dikenakan pada manusia.
c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari
hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya
kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk
bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
adalah manusia.

52

d. Pengertian kesalahan yang

dapat berupa

kesengajaan dan kealpaan itu merupakan


sikap dalam batin manusia.
Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia
tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak
pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP
terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung
soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke
arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut
pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang
melakukan
korporasi.

sesuatu
Seorang

fungsi
anggota

dalam

sesuatu

pengurus

dapat

membebaskan diri, apabila dapat membuktikan


bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut
campurnya.
Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut
pembalikan beban pembuktian (omkering van
bewijslast).
Dalam KUHP

juga

ada

pasal

lain

yang

kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai


subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam
pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide
pasal 169 : ikut serta dalam perkumpulan yang

53

terlarang, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai


pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan
sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan
perseroannya.
Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana
itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan
(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi :
suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
manusia.

Akan

tetapi

ajaran

ini

sudah

ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,


misalnya dalam ordonansi barang-barang yang
diawasi

(S.1948-144)

pengendalian

harga

dan

Ordonansi

(S.1948-295)

terdapat

ketentuan yang mengatur apabila suatu badan


(hukum) melakuka tindak pidana yang disebut
dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat
bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau
dalam

UU

Darurat

tentang

pengusutan,

penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi


(UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana
dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan
bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.

54

Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan


ini (terjemahan) Untuk sebagian peradilan dengan
dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus
menemukan sendiri penyelesaian untuk problem
dalam materi baru ini.
Van Hattum (hal. 147) : agaknya perlu untuk
menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak
lebih luas dari pada biasanya dalam buku
pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum
kiranya akan menduduki tempat yang penting
dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai
penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat.
Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa
menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan
tindak

pidana,

ya

bahkan

kadang-kadang

korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat,


bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan
bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan
tidak adanya kesalahan sama sekali. Dan dalam
hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan)
. sebaiknya pembentuk undang-undang

55

membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal


suatu

tindak

pidana

dilakukan

oleh

korporasi.

BAB IV
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
(CAUSALITEIT, CAUSALITAT)

suatu

56

A. Kausalitas
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara
materiil

(selanjutnya

disebut

delik

materiil),

terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang


dilarang dan merupakan unsur yang menentukan
(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan
dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya
merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia,
sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang
dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada,
paling banyak ada percobaan.
Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain dihukum karena
pembunuhan.
Keadaan yang menentukan di sini adalah
terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya
si A.
Oleh karenanya untuk dapat menuntut
seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan matinya
seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa
karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya

57

A. akibat ini artinya perubahan atas suatu


keadaan

dimana

pembahayaan

atau

kepentingan hukum.
Hubungan

dapat

berupa

perkosaan

suatu
terhadap

sebab

akibat

(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik


materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada
delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door
het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasalpasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333
ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3,
355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan kausalias

ini

terjadi

karena

kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi


sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa
persoalan

ini

tidak

hanya

terdapat

dalam

lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga


dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum
perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam
hukum

dagang

misalnya

dalam

persoalan

asuransi.
Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan
ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.
Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap

58

sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah


beberapa

teori

kausalita.

Teori-teori

hendak

menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan


(manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang.

Akibat

kongkrit

ditelusuri sampai ke sebab.


Akan tetapi sebenarnya

harus
tidak

bisa
boleh

dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat


terdapat peringatan, bahwa kejadian B yang
terjadi

sesudah

kejadian

A,

belum

tentu

disebabkan karena kejadian A (post hoc non


propter hoc).
B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau
Bedingungstheorie atau teori condition sine qua
non dari von Buri
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah
sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab
kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan
lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif
untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat
dihilangkan,

maka

tidak

akan

terjadi

akibat

59

kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut


waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat
yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan nicht
hiin weggedacht warden kann dan seterusnya)
tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa
ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu
mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga
merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian
sebab sejalan dengan pengertian yang dipakai
dalam

logika.

Dalam

hubungan

ini

baik

dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain,


John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya :
Sistem of Logic berpendapat, bahwa sebab itu
adalah the whole of antecedents (1843).
Van Hamel, seorang penganut

teori

ekivalensi berpendapat bahwa untuk hukum


pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki
dan diatur oleh teori kesalahan yang harus
diterapkan

dengan

sebaik-baiknya.

dijelaskan,

bahwa

harus

hubungan
pidana.

kausal

dan

dibedakan

pertanggung

Di

sini

antara
jawaban

60

Kritik / keberatan terhadap teori ini :


hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir,

sebab

tiap-tiap

sebab

sebenarnya

merupakan akibat dari sebab yang terjadi


sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.
Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A,
tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan
penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada
pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga sebab dan
begitu

seterusnya.

Berhubungan

dengan

keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang


hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang
akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari
sekian

faktor

yang

menimbulkan

akibat

itu

beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang


faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktorfaktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).
Kebaikan teori ini : mudah diterapkan,
sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan,
dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali
dalam

membatasi

lingkungan

berlakunya

pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini

61

dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori


lain.
B.2. Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum
(inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif
dipilih

sebab

yang

paling

menentukan

dari

peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya


hanya

merupakan

syarat

belaka.

Penganut-

penganutnya tidak banyak antara lain :


1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab
adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist
2.

die wirksamste Bedingung)


Binding.
Teorinya

disebut

Ubergewichtstheorie)
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan
adalah

identik

dengan

perubahan

dalam

keseimbangan antara faktor yang menahan


(negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor
yang positif itu lebih unggul. Yang disebut
sebab adalah syarat-syarat positif dalam
keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot
yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau

62

syarat

terakhir

keseimbangan

dan

yang

menghilangkan

memenangkan

faktor

positif itu.

B.3. Teori-teori generalisasi


Teori-teori ini melihat secara ante factum
(sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara
serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang
pada

umumnya

dapat

menimbulkan

akibat

semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup


biasa, atau menurut perhitungan yang layak,
mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini
dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat
yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat
sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori
adequat

(teori

Contoh-contoh

adequate,
tentang

Ada-quanzttheorie).

ada

atau

tidaknya

hubungan sebab akibat yang adequat :


a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya
dapat mengakibatkan hidung keluar darah.
Akan tetapi apabila orang yang pukul itu
menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.

63

Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak


biasa.
b. Seorang

yang

menyetir

mobil

terpaksa

mengerem sekonyong-konyong, oleh karena


ada pengendara sepeda hendak menyebrang
jalan

yang

membelok,

disangka-sangka
Pengendara

oleh

mobil

ini

sedang

ini

pengendara
mendapat

tidak
mobil.

penyakit

trauma karena menekan urat. Dianipun dapat


dikatakan

bahwa

perbuatan

pengendara

sepeda itu tidak merupakan penyebab yang


adequate untuk timbulnya penyakit trauma
tersebut.
c. Seorang petani membakar tumpukan rumput
kering

(hooi),

dimana

secara

kebetulan

bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga


ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang
adequate

Jawabannya

tergantung

dari

keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman


sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu
maka perbuatan petani itu bukanlah sebab.
Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan
kebiasaan orang untuk bersembunyi atau
menginap dalam tumpukan rumput, maka

64

perbuatan petani itu benar-benar mempunyai


kadar untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini
ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu
sebab

itu

pada

umumnya

cocok

untuk

menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini


ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche
Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah
apa yang oleh sipembuat dapat diketahui /
diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu
pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau
pengetahuan

si

pembuatlah

yang

menentukan).
2. Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu
dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau
hal-hal

yang

secara

obyektif

kemudian

diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi


bukan

yang

diketahui

diketahui

oleh

atau

sipembuat,

pengetahuan dari hakim.

yang

dapat

melainkan

65

Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini


disebut

objektive

nachtragliche

Prognose

(Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat
subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan
tentang

kesalahan);

oleh

karena

itu

dapat

dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von


Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab
suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab
yang adequate apabila sipembuat dapat mengirangirakan atau membayangkan (voor zien) akan
terjadinya akibat atau kalau orang umumnya
membayangkan

terjadinya

akibat

itu;

jadi

sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya


dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran
tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga
menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi
bukan

teori

kausalitas

dalam

arti

yang

sesungguhnya.
Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci
pekerjanya,

tetapi

tidak

berani

melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu


mati. Pada waktu hujan yang disertai

66

petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke


suatu tempat dengan harapan agar
orang itu disambar petir. Harapan itu
terkabul

dan

pekerjanya

itu

mati

disambar petir.
Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya
pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka
ia

tidak

mati.

Konsekwensi

ini

umumnya

dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih


memuaskan

apabila

dipakai

teori

adequate.

Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke


tempat lain pada umumnya tidak mempunyai
kadar untuk kematian seseorang karena disambar
petir.

Penyambaran

petir

adalah

hal

yang

kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan


kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain :
1. Simons :
Dikatakan olehnya : suatu perbuatan dapat
disebut sebagai sebab dari suatu akibat,
apabila menuntut pengalaman manusia pada
umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi
akibat itu.

67

2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47)


berpendirian senada dengan Simons. Beliau
katakan : Kehidupan hukum dan perhubungan
hukum

itu

terdiri

atas

persangkaan,

(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini


ada

biasa

dan

normal.

Ini

kesimpulan

pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang


pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti
hal

ikhwal

yang

berada

dan

menurut

pengalaman kita, dengan kadarnya memadai


sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai
suatu sebab.
3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatanperbuatan yang dalam keadaan tertentu itu
mempunyai

strekking

untuk

menimbulkan

akibat yang bersangkutan.


Tinjauan

terhadap

teori-teori

kausalitas

tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan


teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi
suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan
penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada
sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup
memuaskan

apakah

sesuatu

perbuatan

itu

68

merupakan

sebab

dimaksudkan

dari

dalam

sesuatu
rumusan

akibat

yang

delik

yang

bersangkutan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu
dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu
mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan
hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang
membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut
maka hukum pidana harus membuat pagar terhadap
perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan
kerugian.

Dalam

hal

ini

teori

adequat

dapat

menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan


tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam
kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak
terang

misalnya

biasanya,

kadar,

pengalaman

manusia pada umumnya dan sebagainya.


Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang
sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu,
mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
dengan

nyata

teori

mana

yang

dipakai.

Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan


tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan,

69

bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada


hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk
en rechtsreeks)
a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (.
147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda
motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas
rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api.
Terlindasnya

pengendara sepeda motor oleh

kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai


akibat langsung dan segera dari penabrakan
sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban
dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si
terdakwa (pengendara mobil).
b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang
berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.
Anak tersebut menabrak orang. Disini memang
perbuatan

si

ayah

dapat

disebut

syarat

(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak


boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena
antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada
hubungan kausal yang langsung.

70

c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember


1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari
1937.
Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang
pengemudi mobil yang sembrono dari tempat
kemudi

(stuur)

dan

membiarkan

pengemudi

tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai


sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena
antara

perbuatan

terdakwa

dan

terjadinya

kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang


langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan
pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang
sebagai suatu syarat dan bukan sebab.
d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei
1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas
tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh
terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan
7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa
sebagai orang yang mengatur pemasukan barangbarang angkutan dalam kapal in casu tidak
mempedulikan

peringatan-peringatan

dari

berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan


pada waktu kapal akan berangkat.

71

Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa


perbuatan terdakwa mempunyai hubungan erat
dengan kecelakaan itu.
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi
dan dalam delik comisionis per ommisionem
commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya).
Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang
dilakukan dengan tidak berbuat. Pada delik
omissi persoalannya mudah, karena delik omissi
itu adalah delik formil, sehingga tidak ada
persoalan tentang kausalitas.
Yang ada persoalan ialah pada delik
commisionis per omission commissa. Pada delik
ini ada pelanggaran larangan dengan tidak
berbuat. Dalam persoalan ini ada beberapa
pendirian :
a. Tidak mungkin

orang

tidak

berbuat

bisa

menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan


kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang
berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak
mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini
tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan
alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu

72

pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana


ini).
b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang
positif yang dilakukan oleh sipembuat pada
saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang
ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi
susu, yang

disebut sebagai

sebab ialah

sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia


tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko.
Teori ini dinamakan teori berbuat lain. Teori
inipun tidak dapat diterima, karena kepergian
ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan
dengan akibat itu.
c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan
yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini
disebut teori berbuat yang sebelumnya, misal
seorang penjaga wesel yang menyebabkan
kecelakaan

kereta

api

karena

tidak

memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang


menjadi sebab ialah apa yang dilakukan
penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan,
sebab

sulit

dilihat

hubungannya

antara

penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.

73

d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan


sebab

dari

sesuatu

akibat,

apabila

ia

mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.


Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya
yang

nyata-nyata

tertulis

dalam

suatu

peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan


yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang
berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di
bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada
kewajiban berbuat atau tidak :
1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya
mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat
apa-apa. Apakah orang tua bertanggung
jawab

sebagai

ikut

berbuat

dalam

pembunuhan ?
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober
1883):

tidak,

tetapi

memang

sikap

semacam itu sangat tercela (laakbaar)


dan tidak patut.
2) Seorang penjaga gudang membiarkan
pencuri melakukan aksinya, ia dapat
dipertanggungjawabkan, sebab sebagai
penjaga ia berkewajiban untuk menjaga
dan berbuat sesuatu.

74

Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal


tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,
bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari
suatu akibat. Tidak berbuat sebenarnya juga
merupakan perbuatan. Dalam delik commisionis
per omissionem commissa (delik omissi yang tidak
sesungguhnya) tidak berbuat itu bukannya tidak
berbuat sama sekali akan tetapi tidak berbuat
sesuatu,

yang

diharapkan

untuk

diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini


hal tidak berbuat pada hakekatnya sama dengan
berbuat sesuatu, dalam arti dapat menjadi syarat
untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut
teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit,
dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi sebab.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal
hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif
(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan
syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari
persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab
pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah
yang menyangkut orangnya.

75

BAB IV
SIFAT MELAWAN HUKUM
(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,
Onrechmatig)

A.

Istilah dan Pengertian


KUHP memakai istilah bermacam-macam :

76

a.

tegas dipakai istilah melawan hukum,


(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1),
522;

b.

dengan

istilah

lain

misalnya

tanpa

mempunyai hak untuk itu (pasal 303, 548, 549);


tanpa izin (zonder verlof) (pasal 496, 510);
dengan melampaui kewenangannya (pasal 430);
tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan
oleh peraturan umum (pasal 429).
Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan
unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam
sesuatu rumusan delik karena pembentuk undangundang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak
dicantumkan

dengan

tegas,

yang

berhak

atau

berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan


sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu,
mungkin dipidana pula.
Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga
pendirian:
1. bertentangan dengan hukum (Simons)

77

2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang


lain (Noyon)
3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak
perlu bertentangan dengan hukum (H.R).
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah
unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan
suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan
bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu
perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang
akan menjawab : apabila perbuatan itu masuk dalam
rumusan

delik

sebagaimana

dirumuskan

dalam

undang-undang. Dalam bahasa Jerman ini disebut


tatbestandsmaszig. Tasbestand disini dalam arti
sempit,

ialah

unsur

seluruhnya

dari

delik

sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana.


Tasbestand

dalam

arti

sempit

ini

terdiri

atas

tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari


rumusan delik.
Pengecualian atas tasbestand mer male,
dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi
rumusan

delik

(tatbestandsmaszig)

itu

tidak

78

senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin


ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya
perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan
perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :
1)

regu penembak, yang menembak


mati

seorang

terhukum

yang

telah

dijatuhi

hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur


delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka
tidak melawan hukum.
2)

Jaksa menahan orang yang sangat


dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat
dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333
KUHP, karena ia melaksanakan undang-undang
(terdapat dalam peraturan hukum acara pidana)
sehingga tidak ada unsur melawan hukum.

Di

dalam

kedua

contoh

tersebut

hal

yang

menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan


terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam
kasus :
-

seorang ayah memukul seorang pemuda yang


memperkosa anak-anaknya

79

seorang

menembak

mati

temannya

atas

permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan


tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter,
karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan
-

seorang bioloog membedah binatang-binatang


(vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.

Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan


hukumnya

perbuatan.

Contoh

lain

yang

mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :


-

Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936


Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama
dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut
hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan
pelanggaran

adat

ini,

maka

Mamak

dari

perempuan ini bersama-sama dengan orang lain


mendatangi

orang

tersebut

untuk

dimintai

pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki


itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu
tidak

mau

didobrak.

membuka

pintu

rumahnya

pintu

80

Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak


cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman
rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara
dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan
-

Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933


Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan
sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke
dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah
sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan
sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan
itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik
tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak,
ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam
keadaan

yang

membahayakan

mengkhawatirkan. Ketika dituntut, dokter hewan


mengemukakan pada pokoknya, bahwa perbuatan
itu dilakukan untuk kepentingan
Putusan Mahkamah Agung

peternakan.

Belanda : Pasal 82

Undang-undang ternak tidak dapat diterapkan


kepada dokter hewan itu. Pertimbangannya antara
lain : tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang
yang melakukan perbuatan yang diancam pidana

81

itu mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri


tidak

dengan

tegas-tegas

menyebut

adanya

alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali


dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum
tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan
meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena
dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan
ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal
yang

bersangkutan

perbuatan

yang

tidak

secara

berlaku
letterlijk

terhadap
memenuhi

rumusan delik.
Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum
Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana
membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua
sudut pandang yaitu :
1.

menurut ajaran sifat melawan


hukum yang formil
suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum,
apabila

perbuatan

diancam

pidana

dan

dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-

82

undang;

sedang

sifat

melawan

hukumnya

perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan


suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut
ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan
atau

bertentangan

dengan

undang-undang

(hukum tertulis).
Menurut Simons, Memang boleh diakui, bahwa
suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam
sesuatu

undang-undang

itu

tidaklah

mutlak

bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak adanya


sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima,
jika di dalam hukum positif terdapat alasan untuk
suatu

pengecualian

berlakunya

ketentuan

larangan itu. Alasan untuk menghapuskan sifat


melawan hukum tidak boleh diambil di luar hukum
positif dan juga alasan yang disebut dalam
undang-undang tidak boleh diartikan lain daripada
secara limitatief.
2.

menurut ajaran sifat melawan


hukum yang materiil

83

Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak,


tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang
(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat
berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis.
Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyatanyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus
berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber
gezetzlich).
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama
dengan

bertentangan

dengan

undang-undang

(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan


hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan
sebagainya

sebagaimana

para

sarjana

yang

menganut ajaran sifat melawan hukum yang


meteriil ialah :
a)

Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan


terhadap

kepentingan

hukum

hanyalah

bersifat melawan hukum materiil (materiel


rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan
dengan

tujuan

ketertiban

hukum

(den

Zwecken der das Zusammenleben regelnden

84

Recht sordnung widerspricht); kalau tidak


bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak
bersifat melawan hukum.
b)

Zu Dohna mengatakan :
Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika
perbuatan itu merupakan upaya yang haq
untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum
techten zwecke). Contohnya ialah seorang
yang memukulpemuda yang memperkosa
anak perempuannya. Di sini menurut Zu
Dohna

perbuatan

ayahnya

tidak bersifat

melawan hukum.
c)

M.E. Mayer mengatakan :


Perbuatan itu melawan hukum materiil atau
tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan
(kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti
bertentangan dengan kulturnorm yang diakui
oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai
dengan kulturnorm itu maka sifat melawan
hukumnya hapus.

85

d)

Zevenbergen
Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum,
obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya
ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang, tetapi mengenai
hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian
yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh
ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan
mengenai sifat melawan hukum maka tidak
boleh ada penjatuhan pidana.

e)

Van Hattum
Dengan adanya keputusan Hoge Raad
tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :
dengan itu menurut hemat saya (mer van
Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan
hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan
telah dipecahkan persoalan mer azas-azas
yang boleh dikatakan benar dalam ajaran
penentuan

hukum

dewasa

ini

(in

hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).

de

86

Persaksian terhadap sifat melawan hukum


yang materiil itu harus dilakukan secara hatihati, dan istimewa hakim harus membuka diri
pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal
abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak
melanggar

hukum

berdasarkan

petunjuk

eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah


ajaran yang mempelajari perbaikan ras /
keturunan).
Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya
perbuatan,

bila

suatu

perbuatan

itu

memenuhi

rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi


bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan
tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya
alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka
yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang
formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan
hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil
dan luar hukum yang tertulis.

87

Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam


perkara

kongkrit

yang

sedang

dihadapi

harus

mempertimbangkan :
a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betulbetul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang
dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa,
juga

dipandang

adil

benar

oleh

seluruh

masyarakat pada umumnya.


b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betulbetul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat

menghapuskan

kekuatan

berlakunya

peraturan yang tertulis dsb.


c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan
masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang
tertulis, yang dibuat dengan sah.

88

Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiaptiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari
keputusan
mengetahui
lebih-lebih

itu.

Maka

hakim

bagaimanakah
keadaan

harus

benar-benar

keadaan

masyarakat

masyarakat

Indonesia

yang

dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat


yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata,
pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat
menangkap

apa

masyarakat,
kedengaran

yang

agar

supaya

sumbang.

kepribadiannya

harus

sedang
Hakim

terjadi

dalam

putusannya

tidak

dengan

bertanggung

seluruh

jawab

atas

kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun


secara materiil.
Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil
itu perlu dibedakan :
-

dalam fungsinya yang negatif


Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam
fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan
adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang
melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi

89

rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai


alasan penghapus sifat melawan hukum.
-

dalam fungsinya yang positif


Pengertian sifat melawan hukum yang materiil
dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu
perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun
tidak

nyata

diancam

dengan

pidana

dalam

undang-undang, apabila bertentangan dengan


hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar
undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak
tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas
menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya
yang

negatif.

Ini

adalah

konsekwensi

dari

diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional


nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang
ini dimana juga masih tercantum azas seperti
tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang
mengakui azas nullum delictum dalam arti yang
sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat

90

melawan hukum yang materiil dalam fungsinya


yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan
bahwa B telah membunuh C kakak dari A.
Memang di daerah yang

bersangkutan ada

anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur


dengan nyawa.
B.

Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum


Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan
delik :
1.

ada yang tercantum dengan


tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut
harus dibuktikan

2.

ada

pula

yang

tidak

tercantum. Terhadap delik-delik semacam itu ada


perbedaan paham :
a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap
mempunyai

fungsi

yang

positif

untuk

sesuatu delik (artinya ada delik kalau


perbuatan itu bersifat melawan hukum),

91

maka harus dibuktikan. Sifat melawan


hukum disini sebagai unsur konstitutif.
b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap
mempunyai fungsi yang negatif (artinya :
tidak ada unsur sifat melawan hukum pada
perbuatan merupakan pengecualian untuk
adanya suatu delik), maka tidak perlu
dibuktikan.
Yang

menganggap

sifat

melawan

hukum

itu

mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur


konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang
menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi
yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons,
ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana
pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan
dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang
menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum.
Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur
sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak
dapat ditinggalkan, namun berpendirian, bahwa itu
tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel

92

(acara

pemeriksaan

perkara)

sifat

itu

harus

dibebankan pembuktiannya kepada penuntut umum.


Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik,
unsur dianggap dengan diam-diam ada, kecuali jika
dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, karena pada
umumnya

dengan

mencocoki

rumusan

undang-

undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah


ternyata pula. Hazewinkel-Suringa memandang sifat
melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak
pidana.
C.

Putatif Delik
Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini
ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini
terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict,
padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu
delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan
hukum.

93

BAB V
KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

94

1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab


(Zurechnungsfahigkeit

Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggungjawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan

apabila

ia

tidak

mampu

bertanggung jawab.
Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya
kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak
memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana
Belanda dijumpai beberapa definisi untuk kemampuan
bertanggung jawab.
Simons : kemampuan bertanggung jawab

dapat

diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian,


yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya
pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari
orangnya.

95

Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang

mampu

bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :


a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari
bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
kesadaran tersebut.
Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah
suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan
(kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat
perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu
menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas
perbuatannya-perbuatannya itu
Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan
hidupnya dengan cara yang patut.

96

Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga


kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah
seseorang

itu

dikatakan

dapat

mempertahankan

hidupnya dengan cara yang patut ?


Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan)
secara negative menyebutkan mengenai kemampuan
bertanggung jawab itu, antara lain demikian :
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku
:
a.

Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih


antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa
yang dilarang atau diperintahkan oleh undangundang.

b.

Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang


sedemikian

rupa,

sehingga

tidak

dapat

menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan


dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat
perbuatannya.
Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi
untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam

97

praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan


ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk
mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal
jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk
menilai

dengan

pikiran

atau

perasaannya

bahwa

perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan


berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.
Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu
ditanyakan apakah seseorang itu merupakan normadressat (sasaran norma), yang mampu. Seorang
terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu
bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat
pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).

2. Kesalahan
2.1. Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan
membuktikan

bahwa

orang

itu

telah

melakukan

98

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau


bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan (an objective breach of a penal
provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat
untuk

penjatuhan

pidana.

Untuk

dapat

dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu


adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan
itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika
dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam
hal

ini

berlaku

asas

TIADA

PIDANA

TANPA

KESALAHAN atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen


straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (culpa
disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia
atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas
tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan
dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi
pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6

99

ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4


/ 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi
pidana,

kecuali

pembuktian

yang

apabila

pengadilan,

sah

menurut

karena

alat

undang-undang,

mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap


dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu,
sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang,
dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) sing

salah,

seleh

adany

(yang

bersalah

pasti

salah).

Untuk

pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas


tiada pidana tanpa kesalahan yang telah disebutkan di
atas mempunyai sejarahnya sendiri.
Dalam

ilmu

hukum

pidana

dapat

dilihat

pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan


kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht
atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang
berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana
(taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat
dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang
ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht,

100

artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya


kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam
sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur
kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di
Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim
(asas) Actus non facit reum nisi mens sit rea atau
disingkat dengan asas mens rea. Arti aslinya ialah evil
will guilty mind. Mens rea merupakan subjective guilt
melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent
(kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).
2.2. Dasar Pemikiran
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan
sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat
dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada
pemikiran

tentang

hubungan

antara

perbuatan

dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan


antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak
adanya kesalahan ada 3 pendapat dari :

101

a.

Aliran

klasik

yang

indeterminisme,
berpendapat,

melahirkan

yang
bahwa

pandangan

pada
manusia

dasarnya
mempunyai

kehendak bebas (free will) dan ini merupakan


sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa
ada kebebasan kehendak maka tidak ada
kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan,
maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada
pemidanaan.
b.

Aliran positivist yang melahirkan pandangan


determinisme

mengatakan,

bahwa

manusia

tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan


kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak
(dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam
hubungan kekuatan satu sama lain) dan motifmotif ialah perangsang-perangsang yang datang
dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan
watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang,
tidak dapat dicela atas perbuatannya atau
dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia
tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun
diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu
tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak

102

pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas


perbuatannya.
Justru

karena

tidak

adanya

kebebasan

kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab


dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi
terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa
tindakan

(maatregel)

untuk

ketertiban

masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti


penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh
si pelaku.
c.

Dalam

pandangan

ketiga

melihat

bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak


itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal
(irrelevant).

Kesalahan

seseorang

tidak

dihubungkan dengan ada dan tidak adanya


kehendak bebas
1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah

103

ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai


penulis.
a. MEZGER

mengatakan

kesalahan

adalah

keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk


adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku
tindak

pidana

(Schuldist

der

Erbegriiffder

Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen


personlichen

Verwurf

gegen

den

Tater

begrunden).
b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai
pengertian

yang

sociaal

ethisch

dan

mengatakan antara lain :


Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab
dalam

hukum

pidana

ia

berupa

keadaan

psychisch dari si pelaku dan hubungannya


terhadap perbuatannya, dan dalam arti bahwa
berdasarkan

keadaan

perbuatannya

dapat

psychisch
dicelakakan

(jiwa)

itu

kepada

si

pelaku.
c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa kesalahan
dalam

suatu

delik

merupakan

pengertian

104

psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si


pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena
perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan
jawab dalam hukum (Schuld is de verant
woordelijkheid rechtens).
d. VAN

HATTUM

berpendapat

Pengertian

kesalahan yang paling luas memuat semua unsur


dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang
melawan hukum, meliputi semua hal, yang
bersifat

psychisch

yang

terdapat

dapat

keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk


si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat
complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en
deswege een strafbare dader).
e. KARNI yang mempergunakan istilah salah dosa
mengatakan

Pengertian

mengandung

celaan.

Celaan

salah
ini

dosa
menjadi

dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum


pidana. Selanjutnya ia katakan : Salah dosa
berada,

jika

perbuatan

dapat

dan

patut

dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh

105

dicela

karena

perbuatan

itu;

perbuatan

itu

mengandung perlawanan hak; perbuatan itu


harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun
dengan salah.
f. POMPE

mengatakan

pelanggaran

norma

antara
yang

lain

dilakukan

Pada
karena

kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu


merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan
hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya,
yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah
kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch.
Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang
sebagai hubungan psychologis (batin) antara
pelaku

dan

perbuatannya.

Hubungan

batin

tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan,


pada kesengajaan hubungan batin itu berupa
menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan
pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.
Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif)
keadaan

batin

berupa

kehendak

perbuatan atau akibat perbuatan.

terhadap

106

Dari

pengertian-pengertian

kesalahan

dari

beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan


dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :
- Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan yang normatif tentang kesalahan
ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
berdasar sikap batin atau hubungan batin antara
pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu
harus ada unsur penilaian atau unsur normatif
terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya
penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara
sipelaku dengan perbuatannya.
Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan
dengan memakai ukuran-ukuran yang

terdapat

dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya


diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan
bahwa

kesalahan

seseorang

tidaklah

terdapat

dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala


orang-orang lain, ialah di dalamkepala dari mereka
yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang

107

memberi penilaian pada instansi terakhir adalah


hakim.
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku
ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap
diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur
dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban
pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian
mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan
bertanggungjawab

dan

tidak

adanya

alasan

penghapus kesalahan.
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut :
a. menurut

akibatnya

ia

ada

hal

yang

dapat

hal

dapat

dicelakakan (verwijtbaarheid)
b. menurut

hakekatnya

ia

adalah

dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang


melawan hukum
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah
dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur

108

pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan


tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan
sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat
dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya
pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan
berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan ethische
schuld, melainkan veranwoordelijkheid rechtens, seperti
dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk
adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan
ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat,
bahwa das Recht ist das ethische Minimum. Setidaktidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati
tata dalam masyarakat, yang

terdiri dari sesama

hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup


bersama.
1.

Arti kesalahan dalam hukum Pidana


Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian
yaitu :
a.

kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya,


yang

dapat

disamakan

dengan

pengertian

pertanggungjawaban dalam hukum pidana; di

109

dalamnya terkandung makna dapat dicelanya


(verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi
apabila

dikatakan,

bahwa

orang

bersalah

melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti


bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b.

kesalahan dalam arti bentuk kesalahan


(sculdvorm) yang berupa :
1. kesengajaan

(dolus,

opzet,

vorzatz

atau

intention) atau
2. kealpaan

(culpa,

onachtzaamheid,

fahrlassigkeit atau negligence).


c.

kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan


(culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas.
Pemakaian istilah kesalahan dalam arti ini
sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah
kealpaan.

Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti


luas)

sebagai

perbuatannya,

dapat
maka

dicelanya

si

berubahlah

pelaku

atas

pengertian

110

kesalahan yang

psychologis menjadi pengertian

kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).


2.

Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang


seluas-luasnya)
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan
dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :
a.

adanya
pada

kemampuan

sipelaku

zurechnungsfahigkeit);

bertanggungjawab

(schuldfahigkeit

atau

artinya

jiwa

keadaan

sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah


orang

tertentu

menjadi

normadressat

yang

mampu.
b.

hubungan batin antara sipelaku dengan


perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
seseorang pelaku terhadap perbuatannya.

c.

tidak adanya alasan yang menghapus


kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun
apa yang disebut dalam a dan b ada, ada

111

kemungkinan

bahwa

ada

keadaan

yang

mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya


hapus, misalnya dengan adanya kelampauan
batas pembelaan terpaksa (ps. 49 KUHP)
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang
bersangkutan

bisa

dinyatakan

bersalah

atau

mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga


bisa dipidana.
Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya
kesalahan

dalam

(pertanggungan

arti

jawab

yang
pidana)

seluas-luasnya
orang

yang

bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu


bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak
melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk
menerapkan kesalahan sipelaku.
Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan
yang

melawan

mempunyai

hukum tidak dengan sendirinya

kesalahan,

artinya

tidak

sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.

dengan

112

Itulah

sebabnya,

maka

kita

harus

senantiasa

menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat


pemidaan ialah adanya :
1.

dapat dipidananya perbuatan


(strafbaarheid van het feit)

2.

dapat dipidananya orangnya


atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).

113

BAB VI
KESENGAJAAN
(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)

Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluasluasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan
batin

antara

si

pelaku

terhadap

perbuatan,

yang

dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa


berupa kesengajaan atau kealpaan.
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita
tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui
arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van
Toelichting), yang mengartikan kesengajaan (opzet)
sebagai : menghendaki dan mengetahui (willens en
wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa
sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang
dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu

114

mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan


itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu
kepada

anaknya,

menghendaki

dan

sadar

akan

perbuatannya.
1.

Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat
dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan
mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Inti

kesengajaan

adalah

kehendak

untuk

mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan


undang-undang (Simons, Zevenbergen)
b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Sengaja

berarti

membayangkan

akan

akibat

timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa


menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada

115

apa

yang

diketahui

atau

dibayangkan

oleh

sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia


akan berbuat. (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua
teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui
bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk
berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori
adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya
saja.
2.

Bentuk Kesengajaan
Dalam

hal

seseorang

melakukan

sesuatu

dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap


batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari
kesengajaan sebagai berikut :
a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus
directus
b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheidsbewustzijn
noodzakkelijkheidbewustzijn

atau

116

c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus


eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
Bentuk

kesengajaan

ini

merupakan

bentuk

kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan


sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang
dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak
akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan
beserta akibatnya.
Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B
agar B tidak membohong.
Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan
motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang
mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel
dsb.
Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor
kausa

yang

menghubungkan

perbuatan

dengan

akibat (kausalitas) dimana :


1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat
merupakan delik tersendiri atau tidak.

117

2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan


suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no.
1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
Contoh 1 :
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B
duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan
terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik
restoran itu.
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan
tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406
KUHP)

ada

kesengajaan

dengan

keinsyafan

kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya


tujuan.
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula
merupakan

diperkirakan

sipelaku

sebagai

kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar


terjadi

merupakan

sipelaku.

resiko

yang

harus

diemban

118

Contoh 2 :
A hendak membalas dendam B yang bertempat
tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun
dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa
ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga
akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya,
meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap
mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan
dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam
batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan
baginya.
Jadi dalam kasus ini :
Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B
dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan
terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)
Contoh 3 :
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa
bahwa

akhirnya

ia

akan

ketahuan.

Ia

ingin

menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak

119

membunuh dirinya dengan merencanakan sustu


kecelakaan lalu lintas, Ia menabrakkan mobil yang
dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang.
Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi
(1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya.
Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka.
Beberapa penumpang bis mengalami luka dan
seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa.
R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat
oleh

Hoogerechtshof

dalam

tingkat

banding

menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan


penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain
sebagai berikut:
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpangpenumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini
ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan
perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang
mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers,
ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie) pada
R.v.J di Semarang.

120

3. Dolus Eventualis
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana
sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki
suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana,
akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat
mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan
lajunya

di

jalan

dalam

kota.

Dimuka

ia

lihat

sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila


ia

tetap

dalam

kecepatan

yang

sama

tanpa

menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil


tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya
itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada
kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh,
meskipun

tidak

dapat

dikatakan

bahwa

ia

mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki


hal

itu,

dalam

arti,

meskipun

ia

sadar

akan

kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia


mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima

121

apa

boleh

buat

kemungkinan

itu,

dengan

melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya.


Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan
bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan
perbuatan

dengan

sengaja.

Bagaimanakah

menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar


kemungkinan (dolus eventualis) ?
Berdasarkan

teori

menetapkan

dalam

kehendak,
batinnya,

jika
bahwa

sipelaku
ia

lebih

menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun


nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari
pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut
juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan
itu.
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui /
membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat
yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak
mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat
dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada
akibat yang mungkin terjadi itu.

122

Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam


batin si pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih
baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu
yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori
itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (In
Kauf nehmen theorieatau op de koop toe nemen
theorie).
Menurut teori apa boleh buat (In Kauf nehmen
theorie atauop de koop toe nemen theorie) keadaan
batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai
berikut:
a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia
benci atau takut akan kemungkinan timbulnya
akibat itu
b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya,
namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa
boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia
berani memikul resiko.

123

Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S.


Menteri

Modderman

mengatakan,

bahwa

voorwaardelijkk opzet (dolus eventualis) itu ada,


apabila kehendak kita langsung ditujukan pada
kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui
bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun
kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan
terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya
tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan
dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan
sadar kemungkinan.
Dalam

uraian-uraian

kesengajaan

si-pelaku

diatas

penentuan

adalah

dengan

tentang
melihat

bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat


perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan
dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap
perbuatannya.
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan
kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah
mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap

124

batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu


benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat
secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain,
lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu
orang ini berbuat.
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan
batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran.
Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan
dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam
banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya
kesengajaan itu.
Contoh Van Bemmelen:
A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2
meter.
Meskipun

mungkin,

bahwa

ia

mempunyai

kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap


akan menentukan adanya kesengajaan tersebut,
kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang
sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi

125

atau bahwa matinya B itu disebabkan karena


kekhilafan dari A.
Dalam

hal

ini

diragukan

adanya

kesenjajaan,

sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat


berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan
tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan
dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan
itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu
dilarang (bersifat melawan hukum) ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang
mengatakan bahwa:
a. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan
melakukan
pengetahuan

sesuatu
sipelaku

perbuatan
bahwa

mencakup
perbuatanya

melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan


antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan
hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja
disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk
berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian
yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu
bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya

126

dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen,


yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van
het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman
169),

bahwa:

Kesengajaan

hubungannya
perkataan
adanya

dengan

lain

dalam

kesadaran

hukumnya

senantiasa

dolus

molus,

kesengajaan

mengenai

perbuatan.

sifat

Untuk

ada

dengan
tersimpul
melawan
adanya

kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada


sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya
dilarang dan/atau dapat dipidana
b. Kesengajaan tidak berwarna
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak
berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya
kesengajaan

cukuplah

bahwa

sipelaku

itu

menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak


perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat
melawan hukum.
Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan
sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa
perbuatannya
dengan hukum.

itu

dilarang

atau

bertentangan

127

Penganut-penganutnya

antara lain : Simons,

Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada


boos opzet. M.v.T. mengatakan demikian :
Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu
apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia
melakukan suatu perbuatan yang menurut tata
susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ?
Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau
perlukah adanya kesengajaanj jahat (boos opzet)
?
Jawabnya tidak akan lain dari pada itu.
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan
itu berwarna ialah akan merupakan beban yan
berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan
adanya

kesengajaan,

membuktikan

bahwa

tiap
pada

kali

ia

terdakwa

harus
ada

kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya


perbuatan

itu.

Sebaliknya,

alasan

bahwa

kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi


termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku
harus sadar bahwa perbuatan itu keliru.

128

Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu,


meskipun

pada

kenyataannya

ia

melakukan

perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia


tidak dapat dipidana.
4.

Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP


M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara
lain,

bahwa

unsur-unsur

delik

yang

terletak

dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja)


dikuasai atau diliputi olehnya.
Oleh

karena

itu

pembentuk

undang-undang

menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan


opzettelijk itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan
bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua
pasal

tersebut).

perkataan

Unsur

opzettelijk

yang

terletak

disebut

di

muka

diobjektip-kan

(geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan


kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa
kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut,
seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP.
Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal
apa saja ? Pecahkanlah sendiri !

129

Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak


berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya.
Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan,
yang

disebut

di

belakang

perkataan

sengaja,

diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa


kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut
yang

diobjektipkan,

ditanyakan

apakah

artinya

yang

sipelaku

tidak

perlu

mengetahui

atau

menghendakinya, ialah dapat terjadinya bahaya


umum atau bahaya maut tersebut.
Demikianlah teknik perundang-undangan yang
diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi
masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam
teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks
resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh
karena

itu

teknik

perundang-undangan

dalam

menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak


perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks
terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis
sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana
hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah

130

teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran


pada teks tersebut.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur met
het oogmerk om ........ (dengan tujuan untuk),
misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan
surat (ps. 263), ialah yang disebut Tendenz-delikte
atau Absicht-delikte, ada pendapat bahwa unsur
tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan
unsur

melawan

memberi.sifat

hukum

atau

arah

subjektif.
dari

Unsur

perbuatan

ini
yang

dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.


Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur met
het oogmerk om..............(dengan tujuan untuk.........),
misalnya

dalam

delik

pencurian

(pasal

362),

pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut


Tendenz-delikte atau Absicht-delikte, ada pendapat
bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,
melainkan unsur melawan hukum yang subjektif.
Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang
dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
4.1. Kata dan

131

Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan


sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan:
-

Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan


hukum (wederrechtelijk)

Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa


kata dan

Meyisipkan

kata

dan

diantara

perkataan

sengaja dan perkataan melawan hukum, jadi


merumuskan sebagai sengaja dan melawan
hukum (opzettelijk en wederrechtelijk).
Contoh:
Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk
van devrijhiid berooft of berooft houdt..............
Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi
melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain
pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan
itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat
dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te
goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan
tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang,

132

maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan


yang bisa membebaskan.
Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig
goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe
hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of
wegmaakt, wordt.....................
Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang
demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan
hukumnya

perbuatan

kesengajaan.

juga

Mengenai

hal

harus

diliputi

oleh

ini

terdapat

tiga

pandangan:
a. Perkataan en (dan) menunjukkan kedudukan
yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu
ditujukan

kepada

sifat

melawan

hukumnya

perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan


hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu
bahwa perbuatannya melawan hukum.
Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang
mendapat perintah dari pemilik rumah untuk
membongkar

rumahnya,

tetapi

sebelum

133

melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui


olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja
membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan
dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana.
b. Perkataan en (dan) tidak ada artinya.
Semua

delik

yang

menurut

unsur

sengaja

melawan hukum dapat dibaca sengaja dan


melawan hukum, yang berarti dua hal yang
terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain,
meskipun tidak ada perkataan en (dan) tersebut :
Dalam hukum, pendapat ini diragukan.
c. Perkataan en (dan) tidak ada artinya
Berbeda

dengan

pendapat

ke

tersebut,

pendapat ini justru mengartikan sengaja dan


melawan hukum sebagai sengaja melawan
hukum.

Jadi

meskipun

ada

perkataan

dan,

kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada


melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan
asas, bahwa semua unsur yang

terletak di

belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya.

134

Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut


di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia
sama sekali tidak mengetahui sifat melawan
hukumya perbuatan yang ia lakukan.
Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat yang
pertama, sedang Vos, Zevenbergen, Langemeyer
mengikuti

pendapat

yang

ketiga.

Hoge

Raad

mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl. 21


Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara
unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada
perkataan en, maka unsur melawan hukum tidak
diliputi oleh kesengajaan.
Bagi

Prof.

Muljatno

perkataan

dan

diantara

perkataan sengaja dan perkataan melawan hukum


tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu
harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus
tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan
hukum.
5.

Kesengajaan Menurut Doktrin

135

Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam


kesengajaan :
a. dolus premeditatus
Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang
mensyaratkan

unsur

dengan

rencana

lebih

dahulu (met voorbedachte rade) sebagai unsur


yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam
delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340,
342 KUHP.
Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya
kesengajaan dan bukan merupakan bentuk atau
tingkat

kesengajaan.

Menurut

M.v.T.

untuk

voorbedachte rade diperlukan saat memikirkan


dengan tenang (een tijdstip van kalm overleg, van
bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan ada
rencana lebih dulu, si pelaku sebelum atau ketika
melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan
secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan
ia lakukan.
b. dolus determinatus dan indeterminatus

136

Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan


dapat

lebih

pasti

determinatus,
matinya

orang

atau

pelaku

tidak.

misalnya

tertentu, sedang

Pada

dolus

menghendaki
pada dolus

indeterminatus pelaku misalnya menembak ke


arah

gerombolan

orang

atau

menembak

penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak


mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air
minum, dan sebagainya.
c. dolus alternativus
Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau
B, akibat yang satu atau yang lain

d. dolus indirectus, Versari in re illicita


Ajaran tentang dolus indirectus mengatakan,
bahwa

semua

akibat

dari

perbuatan

yang

disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau


tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang

137

ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan


tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang.
Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal
Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu
perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan
sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan.
Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh
dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang
sebagai

meutre.

Hazewinkel-Suringa

menganggap hal ini sebagai suatu pengertian


yang tidak baik.
Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang
kepada ajaran kuno (hukum kanonik) tentang
pertanggung-jawab,
illicita.menurut
melakukan

ialah

ajaran
perbuatan

ini

versari

in

re

seseorang

yang

terlarang

juga

dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya.


Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana,
meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama
sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di
Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus

138

adalah sama dengan apa yang kita sebut dolus


eventualis.
e. dolus directus
Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak
hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan
juga kepada akibat perbuatannya.
f. dolus generalis
Pada delik materiil harus ada hubungan kausal
antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak
dikehendaki undang-undang.
Misalkan
membunuh

seseorang
orang

yang

bermaksud

lain,

telah

untuk

melakukan

serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan


kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut
otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang ini
disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu
dilempar ke air ia belum mati.
Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis,
ialah harapan dari terdakwa secara umum agar

139

orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah


tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini.
Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut
secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama
(mencekik) dikualifikasikan sebagai percobaan
pembunuhan,

sedang

perbuatan

kedua

(melempar ke kali) merupakan perbuatan yang


terletak / di luar lapangan hukum pidana atau
menyebabkan

matinya

orang

karena

kealpaannya.
Contoh :
Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari
bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan
harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan
tetapi

air

pasangnya

tidak

setinggi

yang

diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan


dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak
tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku,
namun karena akibat yang dikenhendaki telah
terjadi, maka disini menurut von Hippel ada
pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von
Hippel ada pembunuhan yang direncanakan.

140

Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat


H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.

BAB VII
KEALPAAN (CULPA)

141

(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID,


RECKLESSNESS,NEGLIGENCE,

FAHRLASSIGKEIT,

SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula
sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam
beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia
sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau
kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang
memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa
(culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam
:
Pasal 188

Karena

kealpaannya

Pasal 231 (4)

peletusan, kebakaran dst


Karena kealpaannya sipenyimpan
menyebabkan

menimbulkan

hilangnya

dan

Pasal 359

sebagainnya barang yang disita


Karena kealpaannya menyebabkan

Pasal 360

matinya orang
Karena kealpaannya menyebabkan

Pasal 409

orang luka berat dsb.


Karena kealpaannya menyebabkan

142

alat-alat perlengkapan (jalan api dsb)


hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada
umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk
kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang
sedemikian
barang,

membahayakan

atau

keamanan

mendatangkan

orang

kerugian

atau

terhadap

seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat


diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak
terhadap

larangan

(teledor),

pendek

penghati-hati,
kata

schuld

sikap

sembrono

(kealpaan

yang

menyebabkan keadaan tadi).(er zijn feiten, die de


algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in
gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel
bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de
onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in
een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer
gaan)
1. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)
Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan
benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan

143

hal

yang

kebetulan

(toevel

atau

caous).kealpaan

merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada


kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang
ringan.
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk
adanya kealpaan:
a.

Hazenwinkel Suringa
Ilmu

pengetahuan

hukum

dan

jurispruden

mengartikan schuld (kealpaan) sebagai:


kekurangan penduga duga atau
kekurangan penghati-hati.

b.

Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
1. tidak

mengadakan

penduga-duga

sebagaimana diharuskan oleh hukum.


2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana
diharuskan oleh hukum.

144

c.

Simons:
Pada umumnya schuld (kealpaan) mempunyai dua
unsur :
1. Tidak adanya penghati-hati, di samping
2. dapat diduganya akibat

d.

Pompe.
Ada

macam

yang

masuk

kealpaan

(anachtzaamheid):
1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya
akibat
2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der
mogelijkheid)
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen
kennen van de mogelijkheid)

145

Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui


atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga
kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya
(=untuk tidak melakukan perbuatan).
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara
normatif, dan tidak secara fisik atau psychis.
Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin
seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka
haruslah

ditetapkan

dari

luar

bagaimana

seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran


sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam
situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
a.

Orang pada umunya ini berarti bahwa


tidak boleh orang yang paling cermat, paling
hati-hati, paling ahli dan sebagainya.

b.

Untuk menentukan adanya kealpaan ini


harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang
harus

memegang

ukuran

normatif

dari

kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang


mewajibkan

seseorang

untuk

melakukan

sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.


Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada

146

ketentuan bahwa di simpangan jalan, apabila


datangnya bersamaan waktu maka kendaraan
dari kiri harus didahulukan.
Apabila seorang pengendara dalam hal ini
berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang
diatur itu, maka apabila perbuatannya itu
mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain
luka berat, maka ia dapat dikatakan karena
kealpaannya

mengakibatkan

orang

lain

(Pasal. 360 (1) K.U.H.P)


Dalam hubungan ini VOS mengemukakan,
bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan
hukum telah tersimpul di dalam culpa itu
sendiri.
Ia menyatakan antara lain Memang culpa
tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku,
namun culpa menunjukkan kepada tidak
patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu
tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah
mungkin

perbuatan

itu

perbuatan

abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.

yang

147

Dalam delik culpoos tidak mungkin


diajukan

alasan

pembenar

(rechtvaar

digingsgrond).
c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya
kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi
harus culpa lata dan bukanya culpa levis
(kealpaan yang sangat ringan).

2. Bentuk kealpaan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara
sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak
berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat
dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang
dilakukan

beserta

akibatnya,

akan

tetapi

ia

percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya


tidak akan terjadi

148

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).


Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang
tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya
sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat
menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang
disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang
tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan
kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
sangat

berat.

VAN

HATTUM

mengatakan,

bahwa

kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang


mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada
pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis.
Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya.
Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan
suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan
feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus
dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi
tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
3. Delik pro parte dolus pro parte culpa

149

Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188,


409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang
sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di
dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan
kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.
Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik
yang salah satu unsurnya diculpakan.
Misalnya:
Pasal 480 (penadahan)
Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan
penerbit).
Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah
diketahui atau mengerti bentuk kesengajaan dan
sepatutnya harus di-duga atau seharusnya menduga
bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau
kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada
salah satu unsur dari delik itu.

150

Pada delik penadahan ditujukan kepada hal


bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari
kejahatan.

Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal


288) ditujukan kepada umur-wanita belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata,
bahwa belum mampu dikawin.

Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur


belum cukup umur dari orang yang sama kelamin
itu.

Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484


ditujukan

kepada

unsur

pelaku/orang

yang

menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat


dituntut, atau menetap diluar Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
a.

Cukup dicantumkan uraian kata-kata


presis

seperti

apa

yang

dirumuskan

dalam

undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam


pasal

480

benda),

yang

diketahui

atau

sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari


kejahatan.

151

b.

Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus


dibuktikan

dalam

pemeriksaan

pengadilan

ditetapkan oleh Hakim.


c.

Pembuktiannya cukup secara normatif,


jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.

Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang


membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang
membebaskan

terdakwa

yang

dituduh

melakukan

schuldheling (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H)


menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya
dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga
bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama
sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betulbetul mempunyai dugaan atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan
dari terdakwa. Contoh :
a.

terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana


karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang
tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa,
tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.

152

b.

Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00


melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di
tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh
dilihat kealpaan orang lain, akan tetapi tetap harus
ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada
pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan
kurang-menduga-duga

bagaimana

keadaan

mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini


merupakan
lampunya

indikasi
normal,

dari
maka

kealpaannya.
seharusnya

Apabila
ia

dapat

mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak,


maka ini merupakan kealpaan.

153

BAB VIII
KESALAHAN DALAM DELIK
PELANGGARAN

Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa


pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan
diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam
undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas
atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak
pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa
pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan
tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut
apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa.
Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau
tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka
tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga
tidak perlu dibuktikan.

154

Dalam hal ini berlakulah ajaran fait materiel (de leer an


het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana
menurut M.v.T. :
Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan
pemeriksaan

secara

khusus

tentang

adanya

kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi


pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut.
Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.
Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 (arrest air
dan susu).
Duduk perkara;
A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu
kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D,
pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu
ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu
tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi
Umum

mengancam

dengan

pidana

Barang

siapa

melever susu dengan nama susu murni, padahal

155

dicampur dengan sesuatu (tidak murni). Ini merupakan


tindak pidana berupa pelanggaran.
A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana.
A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih
kurang demikian:
a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47
W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah
memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah
menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa
menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil
(ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu.
b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D)
dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan
tidaknya susu yang disuruh melevernya.
c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam
dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak
murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.

156

Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan


terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R.
memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A B)
telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever susu
dengan sebutan susu murni padahal dicampur
dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D.
b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas
bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus
mempunyai kesalahan (enige schuld), akan tetapi ini
tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak
mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van
schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada.
c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat
W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal
unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan
delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk
Undang-undang menyetujui sistem, orang

yang

berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undangundang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama
sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).

157

d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang


bertentangan dengan rasa keadilan dan asas tiada
pidana tanpa kesalahan yang juga dianut dalam
hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata
dalam rumusan delik.
Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum
pidana. Dengan arrest itu, maka:
a.

ajaran fait materiel pada pelanggaran ditinggalkan.

b.

Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan


yang tertinggi (Belanda) berlaku asas tiada pidana
tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

158

BAB IX
PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM
PENITENSIER)

Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita


memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan
pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang
dijatuhkan
pengadilan)

dengan
dimana

sengaja
nestapa

oleh
itu

negara

(melalui

dikenakan

pada

seseorang yang secara sah telah melanggar hukum


pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses
peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the
criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan
proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga
(kepolisian,

kejaksaan,pengadilan

&

lembaga

pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan &


pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing
sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum

159

untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang


yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah
dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan
pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan
hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan
pelanggaran

pidana

karena

pidana juga

berfungsi

sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai


bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang
mencerminkan nilai dan struktur masyarakat
merupakan
terhadap

reafirmasi
hati

nurani

simbolis
bersama

atas

yang

pelanggaran

sebagai

bentuk

ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya


berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya
tidak menyenangkan.
Ilmu

yang

mempelajari

pidana

dan

pemidanaan

dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum


Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai
sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan
(matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini

160

merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu


bagian yang menentukan:
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal
ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana
lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan
UU non pidana yang memuat sanksi pidana);
2. Beratnya sanksi itu;
3. Lamanya sanksi itu dijalani;
4. Cara sanksi itu dijalankan;dan
5. Tempat sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan
dipelajari oleh hukum penitensier.
ISTILAH
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al:
Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman,
Punishment, dan Jinayah.
Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman,
menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat pidana untuk

161

menerjemahkan

straf.

Sudarto

juga

berpendapat

demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana /


hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang
dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang
telah melanggar UU Hukum Pidana.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur
atau ciri-ciri pidana meliputi:
1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki
kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan

pada

seseorang

penanggung

jawab

peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi


rumusan delik/pasal).
SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak
Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun
1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No.
1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi).

162

Jenis-jenis

hukuman

yang

dapat

dijatuhkan

oleh

Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:


1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya
untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2. Dimatikan dengan suatu keris
3. Dicap bakar.
4. Dipukul,

dipukul

dengan

rantai

(pidana

badan/corporal punishment)
5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara
6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.

Menurut

Utrecht

merupakan

suatu

dan

R.Soesilo,

sanksi

yang

hukum
bersifat

pidana
istimewa:

terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan


perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda),
pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang
(pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap
nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana

163

merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan


terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang
berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku
untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh
Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang
berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan
tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal
ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh
negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang
dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari
sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang
berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh
karena itu sangat logis jika negara diberi tugas
mempertahankan tata tertib masyarakat;
2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat
menjamin kepastian hukum.

164

Teori-Teori

yang

berkaitan

dengan

Pemidanaan

Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin


1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para
penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak,
Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu
yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya
kejahatan dengan demikian orang yang salah harus
dihukum.

Menurut

Leo

Polak

(aliran

retributif),

hukuman harus memenuhi 3 syarat:


a.

Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar


etika)

b.

Tidak

bboleh

dengan

maksud

prevensi

(melanggar etika)
c.

Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya


delik.

2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa


penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu,
bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman
pada

umumnya

bersifat

menakutkan,

sehingga

165

seyogyanya

hukuman

bersifat

memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan


adalah orang yang sakit moral sehingga harus
diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada
treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan
model medis.
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya
prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan
yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh
pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau
kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan
ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok,
tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau
kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain
adalah

memberikan

perlindungan

agar

orang

lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak


disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami
kejahatan.
3.

Teori Gabungan, merupakan gabungan dari


teori-teori sebelumnya.
untuk:

Sehingga pidana bertujuan

166

Pembalasan, membuat pelaku menderita

Upaya

prevensi,

mencegah

terjadinya

tindak pidana

Merehabilitasi Pelaku

Melindungi Masyarakat

Saat ini sedang berkembang apa yang disebut


sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas
Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang
merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat
pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi
semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan
sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga
memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini
telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP
tahun 2005:
Pasal 54
(1) Pemidanaan bertujuan:

167

a. mencegah dilakukanya

tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman


masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. menyelesaikan

konflik yang

ditimbulkan oleh

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan


mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan merendahkan martabat manusia .
Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman
pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita.
Pasal 55;
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

168

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;


c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah

tindak

pidana

dilakukan

dengan

berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan
tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi
pembuat tindak pidana
h. Pengaruh

pidana

terhadap

massa

depan

pembuat tindak pidana;


i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau
keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya
dan /atau;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana
yang dilakukan.

169

(2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau


keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan
untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan
dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP
menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam
tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin
dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak
pidana

dengan

menegakkan

norma

hukum

demi

pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan


resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk
memasyarakatkan

terpidana,

dengan

melakukan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan


berguna.

Dan

restoratif

terdapat

dalam

tujuan

pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik


yang

ditimbulkan

oleh

tindak

pidana,

memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam


damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah
pada terpidana; dan memaafkan terpidana.

170

Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10


KUHP :
a. Hukuman Pokok:
1. Hukuman mati
2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup)
3. Kurungan
4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)
5. Tutupan (UU No.20/1946)
b. Hukuman Tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang tertentu
3. pengumuman keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;

171

b. pidana tutupan
c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan

172

e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau


kewajiban menurut

hukum yang hidup dalam

masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan lain.
(3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri

atau

dapat

dijatuhkan

walaupun

tidak

tercantum dalam perumusan tindak pidana.


(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan
adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan
pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP:
Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal
10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :
A. Dalam KUHP :

173

Pembunuhan berencana

Kejahatan terhadap keamanan negara

Pencurian dengan pemberatan

Pemerasan dengan pemberatan

Pembajakan di laut dengan pemberatan.

B. Diluar KUHP;

Terorisme

Narkoba

Korupsi

Pelanggaran
terhadap

HAM

kemanusiaan

Berat;

dan

Kejahatan

genosida

yang

dilakukan secara meluas dan sistematis.


Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan
(ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 :
ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak

174

dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat


eksekusinya).
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana
mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah
dihukum menjadi gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh
dan wanita tersebut telah melahirkan.
Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam
KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman

penjara

lamanya

seumur

hidup

atau

sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu


tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat
dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20
thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di
indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan
(LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara
narapidana

dan

masyarakat,

Penghuninya

disebut

175

narapaidana/napi

(inmates):

Warga

Binaan

Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).


Pembagian Sistem Penjara gevangenisstelsel,
menurut Utrecht :

Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman


terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu
kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak
dengan

penjaga

peringatan:
pekerjaan

sel/sipir

terhukum
tangan

penjara.

Dilakukan

diperkenankan

melakukan

dan

secara

terbatas

dapat

menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul


dengan terhukum lain

Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga


sebagai silent system, di mana para hukuman pada
siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak
boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.

Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal


dr mark system, menggunakan penilaian. Para
hukuman

mula-mula

ditempatkan

dalam

ruang

tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan


hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk

176

merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan


ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul
dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi
bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka
hukumannya
dan

dapat

diperingan : mulai dimasyarakatkan


diberikan

the

rise

of

feformatory

(pelepasan bersyarat), publik work prison, dan ticket


to leave. Kemudian diperkenankan kerja samasama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk
bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat
dilakukan jika telah menjalani dari hukumannya.

Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi


terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn.
Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat
untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat
yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun
titik

berat

lebih

pada

usaha-usaha

untuk

memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan


pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.

Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam


penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri

177

Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku


yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang
dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki
di Tangerang, Banten.

Sistem Osborne (NY,US). Memilih BOS


mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur
napi : Tamping/building tender.

Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :

Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu


sel atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum
security/Super Maximum Security (SMS)

Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi


dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok
pagi. Ada jadwal kegiatannya.

Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan


tidak

baik

ataupun

melanggar

aturan

maka

dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga


dengan tutupan sunyi.

Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama =


kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan

178

kolam,

kerja

di

bengkel

LP

untuk

buat

kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai


bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh
membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb.
Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai
dengan jam yang telah ditentukan.

Dapat

diberikan

reclassering),

jika

pelepasan
telah

bersyarat

menempuh

2/3

PBdr

hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat


juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti
yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.

Meskipun hukuman penjara dilakukan bersamasama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
Laki-laki dan perempuan
Orang dewasa dan anak di bawah umur
Orang yang dihukum/ditahan orang yang
dihukum karena upaya preventif
Orang militer dan orang sipil

179

Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole
yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No.
1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan
Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda
dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan (UU No.20/1946)
Pidana

yang

dijatuhkan

oleh

Hakim

dengan

mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan


didasari

oleh

dihormati/dihargai.

suatu

motivasi

Tempatnya

di

yang

patut

penjara,

namun

diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh


membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape.
Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.

180

BAB X
PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

I.

PENGERTIAN
Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti
beberapa istilah yang dipakai dalam kitab
undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti
atau definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan

istilah

merumuskan

percobaan.
batasan

KUHP hanya

mengenai

kapan

dikatakan adanya percobaan untuk melakukan


kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53
(1) yang menyatakan :
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya

181

pelaksanaan

itu,

bukan

semata-mata

disebabkan karena kehendaknya sendiri.


Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu
definisi, tetapi hanya merumuskan syaratsyarat atau unsur-unsur yang menjadi batas
antara percobaan yang dapat dipidana dan
yang tidak dapat dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut
system KUHP bukanlah percobaan terhadap
semua

jenis

tindak

pidana.

Yang

dapat

dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak


pidana

yang

berupa

kejahatan

saja,

sedangkan percobaan terhadap pelanggaran


tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam
pasal

54

KUHP. Pada

pasal

54

KUHP

memperlihatkan adanya pemikiran dari para


perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat
lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena
itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP.
Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan
umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti
bahwa percobaan terhadap semua kejahatan

182

dapat

dipidana.

Pengecualian

tersebut

misalnya :
Percobaan duel / perkelahian tanding

II.

(pasal 184 ayat 5);


Percobaan
penganiayaan

terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);


Percobaan penganiayaan biasa (pasal

351 ayat 5);


Percobaan penganiayaan ringan (pasal

ringan

352 ayat 2);


SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN
Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk
delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya
merupakan suatu delik yang tidak sempurna?
Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua
pandangan :
(1).
Percobaan

dipandang

Strafausdehnungsgrund

sebagai

(dasar/alasan

perluasan pertanggungjawaban pidana).


Menurut pandangan ini, seseorang yang
melakukan percobaan untuk melakukan
suatu

tindak

pidana

meskipin

tidak

memenuhi semua unsur delik, tetap dapat


dipidana apabila telah memenuhi rumusan
pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan
adalah

untuk

memperluas

dapat

183

dipidananya orang, bukan memperluas


rumusan-rumusan delik. Dengan demikian
menurut pandangan ini, percobaan tidak
dipandang sebagai jenis atau bentuk delik
yang tersendiri (delictum sui generis)
tetapi dipandang sebagai bentuk delik
yang

tidak

sempurna

(onvolkomen

dekictsvorm). Termasuk dalam pandangan


pertama ini ialah : Prof. Ny. HazewinkelSuringa dan Porf. Oemar Seno Adji.
(2).

Percobaan

dipandang

sebagai

Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan
delik).
Menurut
melakukan

pandangan
sesuatu

ini,

percobaan

tindak

pidana

merupakan satu kesatuan yang bulat dan


lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik
yang tidak sempurna, tetapi merupakan
delik yang sempurna hanya dalam bentuk
yang khusus/istimewa. Jadi merupakan
delik tersendiri (delictum sui generis).

184

Termasuk dalam pandangan kedua ini


ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno.
Alasan

Prof.

Moelyatno

memasukkan

percobaan sebagai delik tersendiri, ialah :


a. Pada dasarnya seseorang itu
dipidana

karena

suatu delik;
b. Dalam
konsep

melakukan
perbuatan

pidana (pandangan dualistis)


ukuran suatu delik didasarkan
pada pokok pikiran adanya sifat
berbahayanya
sendiri

perbuatan

bagi

itu

keselamatan

masyarakat;
c. Dalam hukum adat tidak dikenal
percobaan sebagai bentuk delik
yang

tidak

sempurna

(onvolkomen delictsvorm), yang


ada hanya delik selesai.
d. Dalam KUHP ada beberapa
perbuatan
sebagai

yang
delik

dipandang

yang

berdiri

sendiri dan merupakan delik


selesai, walaupun pelaksanaan

185

dari perbuatan itu sebenarnya


belum

selesai,

jadi

merupakan
Misalnya

baru

percobaan.
delik-delik

maker

(aanslagdelicten) dalam pasal


104, 106, dan 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof
Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya
dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis.
Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan
penganjuran (poging tot uitloking) atau yang
biasa juga disebut penganjuran yang gagal
(mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi
pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri .
Mengenai adanya dua pandangan tersebut
diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa
pandangan pertama sesuai dengan alam atau
masyarakat individual karena yang diutamakan
adalah strafbaarheid van de person (sifat
dipidananya orang); sedangkan pandangan
yang

kedua

masyarakat

sesuai
kita

dengan

sekarang

alam

karena

atau
yang

186

diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh


dilakukan.
III.

DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN


Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan
ini, terdapat beberapa teori sbb:
1. Teori Subyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada sikap batin atau watak
yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk
penganut teori ini ialah Van Hamel.
2. Teori Obyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada sifat berbahayanya
perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat.
Teori ini terbagi dua, yaitu :
2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan
sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap
tata hukum.
2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik
beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu
terhadap kepentingan / benda hukum.
Penganut teori ini antara lain Simons.
3. Teori Campuran.
Teori ini melihat dasar patut dipidananya
percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin
pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan
juga sifat berbahayanya perbuatan (segi
obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah
pendapat Langemeyer dan Jonkers.

187

Namun
karena
dalam
kenyataanya,
pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka
nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif.
Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai
penganut teori campuran. Menurut beliau
rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP
mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat
untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang
obyektif (kejahatan tersebut telah mulai
dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan
demikian menurut beliau, dalam percobaan
tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori
obyektif dan teori subyektif karena jika demikian
berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan
itu; ukurannya harus mencakup dua criteria
tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu
beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif
maupun obyektif, apabila dipakai secara murni
akan membawa kepada ketidak adilan.
IV.

UNSUR-UNSUR PERCOBAAN
Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas
terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :
IV.1. Niat.
Kebanyakan para sarjana berpendapat
bahwa unsur niat sama dengan sengaja
dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan
Prof. Moelyatno terhadap unsur niat :
a. Niat
jangan
disamakan
dengan
kesenjangan, tetapi niat secara potensiil
dapat berubah menjadi kesenjangan

188

apabila
sudah
ditunaikan
menjadi
perbuatan yang dituju; dalam hal semua
perbuatan
yang
diperlukan
untuk
kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat
yang dilarang tidak timbul (percobaan
selesai/voltooidc poging), disitu niat 100%
menjadi
kesengajaan,
sama
kalau
mengahadapi delik selesai.
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan
menjadi perbuatan maka niat masih ada
dan merupakan sikap batin yang membari
arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve
onrechtselement.
c.
Oleh karena itu niat tidak sama dan
tidak
bisa
disamakan
dengan
kesengajaan, maka isinya niat jangan
diambilkan dari isinya kesengajaan
apabila kejahatan timbul; untuk ini
diperlukan pembuktian tersendiri bahwa
isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat
belum ditunakan jadi perbuatan.
Dari delik percobaan dapat mempunyai dua
arti :
1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan
lengkap/voltoo-ide
poging/completed
attempt), niat sama dengan kesengajaan;
2. Dalam
hal
percobaan
tertunda
(percobaan
terhenti
atau
tidak
lengkap/geschorste poging/incompleted
attempt), niat hanya merupakan unsur

189

sifat melawan hukum yang subyektif


(subyektif onrechtselement).
Dikatakan ada percobaan selesai apabila
terdakwa telah melakukan semua perbuatan
yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan,
tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi;
Misal : A bermaksud membunuh B dengan
pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi
ternyata pistol tersebut tidak meletus atau
tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal
ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah
menjadi
kesengajaan
karena
telah
diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Tetapi apabila dalam contoh diatas,
perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya
kejahatan belum dilakukan (misal : picu
belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang
juga belum ada maka dalam hal demikian
dikatakan
ada
percobaan
tidak
selesai/tertunda. Menurut Moelyatno, dalam
hal ini maka niat yang belum diwujudkan
sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar)
masih tetap menjadi niat yaitu baru
merupakan sikap batin yang mengarah
kepada suatu perbuatan yang melawan
hukum.
Dalam hal niat telah berubah menjadi
kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan
pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi

190

juga
kesenjangan
kemungkinan.

sebagai

keinsyafan

IV.2. Ada permulaan pelaksanaan.


Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok
dalam percobaan yang cukup sulit karena
baik secara teori maupun praktek selalu
dipersoalkan
batas
antara
perbuatan
persiapan (voorbereidingshandeling) dan
perbuatan
pelaksanaan
(uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan
masalah ini para sarjana menghubungkannya
dengan teori atau dasar-dasar patut
dipidananya
percobaan.
Bertolak
dari
pandangan atau teori percobaan yang
subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa
dikatakan ada perbuatan pelaksanaan
apabila dilihat dari perbuatan yang telah
dilakukan telah ternyata adanya kepastian
niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang
dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh
VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap
batin yang jahat dan berbahaya dari si
pembuat. Ukuran demikian menurut VAN
HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana
yang lebih baru yang bertujuan memberantas
kejahatan sampai ke akar-akarnya.
Bertolak dari pandangan atau teori percobaan
yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat
sbb :

191

a. Pada
delik
formil,
perbuatan
pelaksanaan ada apabila telah dimulai
perbuatan yang disebut dalam rumusan
delik;
b. Pada
delik
materiil,
perbuatan
pelaksanaan
ada
pabila
telah
dimulai/dilakukan
perbuatan
yang
menurut sifatnya langsung dapat
menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang tanpa mensyaratkan
adanya perbuatan lain.
Contoh untuk delik formil :
A bermaksud melakukan pencurian dirumah
B untuk melaksanakan aksinya, A telah
mempersipkan segala sesuatu peralatan
untuk mencuri, kemudian pada malam hari
ia mendatangi rumah B. Sesampainya di
rumah B, ia mematikan lampu teras,
melepas kaca jendela dan baru saja A
masuk rumah lewat jendela itu ia
tertangkap.
Apabila digunakan ukuran Van Hamel,
maka dalam hal ini dikatakan sudah ada
perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut
ukuran Simons baru merupakan perbuatan
persiapan, karena belum mulai melakukan
perbuatan seperti yang disebut dalam
rumusan delik (pencurian : pasal 362
KUHP) yaitu mengambil barang . Apabila
A sudah mengambil barang dan pada saat

192

itu ketahuan dan tertangkap, barulah


dikatakan pada saat itu A telah melakukan
perbuatan
pelaksanaan
yang
oleh
karenanya dapat dituntut telah melakukan
percobaan pencurian.
Contoh untuk delik materiil :
A bermaksud membunuh B dengan
meledakkan mobil yang dikendarainya
dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui
B. A telah mempersiapkan dinamit dengan
segala peralatan yang diperlukan dengan
rapid an menunggu di samping saklar
sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada
saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai
dan akhirnya ditangkap, maka menurut
ukuran Simons perbuatan A belum
merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi
baru perbuatan persiapan, karena untuk
meledakkan dinamit itu masih diperlukan
perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan
saklarnya.
Dalam menentukan adanya
permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik
percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa
ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan
2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya
Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut
beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3
syarat yaitu :

193

i.

ii.

iii.

V.

Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan


terdakwa harus mendekatkan kepada
delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata
lain, harus mengandung potensi untuk
mewujudkan delik tersebut;
Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat,
harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang
telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan
atau diarahkan pada delik/kejahatan yang
tertentu tadi;
Bahwa apa yang telah dilakukan oleh
terdakwa itu merupakan perbuatan yang
bersifat melawan hukum.

PERCOBAAN
DALAM
YURISPRUDENSI

BEBERAPA

Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun


1934 tentang Eindhoven.
Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah
R (dengan persetujuan R).
Pada malam yang telah ditentukan H masuk
kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang
yang mudah terbakar di tiap kamar, yang
semuanya dihubungkan satu sama lain dengan
sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor
gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan.
Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali
dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar

194

rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaianpakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan
di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas
mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas
dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah.
Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H
menyingkirkan benda-benda ke tempat lain.
Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak
orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak
mugkin menyelesaikan maksudnya.
Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop)
di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan
H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan
dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar
pasal 53 jo 187 KUHP.
H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof
telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan
mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru
merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung
Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H
baru merupakan perbuatan persiapan karena
belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk
melakukan pembakaran.
Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD
berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan
perbuatan persiapan, karena belum merupakan
perbuatan yang sangat diperlukan untuk
pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak
dapat tidak menuju kearah dan langsung

195

berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan


juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju
pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si
pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan
putusan Hof dan H dilepaskan dari segala
tuntutan.
Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas
dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah
dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa :
- Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR,
lebih cocok dengan teori atau pendapat
Simons (Teori Obyektif Materiil);
- Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau
pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil)
Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE
sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya
terdakwa H telah mulai dengan perbuatan
pelaksanaan
pembakaran.
Alasan
yang
dikemukakannya ialah :
a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling
berhubungan dan memenuhi rumusan
delik;
b. Jika
HR
menganggap
perbuatan
pelaksanaan yaitu perbuatan yang
menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa
adanya perbuatan lain, berarti jika tiap
perbuatan
pelaksanaan
akan
menimbulkan akibat terlarang, maka
perbuatan pelaksanaan hanya ada
percobaan lengkap saja, ini tidak tepat

196

karena di dalam teori dikenal juga adanya


percobaan yang tidak lengkap.
Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno
mengemukakan pendapatnya sbb :
Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau
dengan ukuran yang saya sarankan, maka
mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan
adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan
terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang
dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu
bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran,
telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu
apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat
melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu
di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada,
hemat saya adalah perbuatan yang melanggar
hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah
dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan
oleh Hofs Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa
telah melakukan delik percobaan pembakaran
seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto
pasal 187 KUHP.
IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan sematamata karena kehendak pelaku sendiri.
Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan
yang dituju bukankarena kehendak sendiri,
dapat terjadi dalam hal-hal sbb :
a. Adanya penghalang fisik;

197

Misal : tidak matinya orang yang


ditembak,
karena
tangannya
disentakkan orang sehingga tembakan
menyimpang atau pistol terlepas.
Termasuk
dalam
pengertian
penghalang fisik ini ialah apabila
adanya kerusakan pada alat yang
digunakan (misal : pelurunya macet /
tidak meletus, bom waktu yang jamnya
rusak).
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik,
tetapi tidak selesainya itu disebabkan
karena akan adanya penghalang fisik.
Misal : takut segera ditangkap karena
gerak geriknya untuk mencuri telah
diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan
oleh factor-faktor / keadaan-keadaan
khusus pada obyek yang menjadi
sasaran.
Misal : daya tahan orang yang
ditembak cukup kuat sehingga tidak
mati atau yang tertembak bagian yang
tidak membahayakan, barang yang
kan dicuri terlalu berat walaupun si
pencuri
telah
berusaha
mengangkatnya sekuat tenaga.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu
karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini
dikatakan ada pengunduran diri sukarela,

198

sering dirumuskan bahwa ada pengnduran


diri sukarela, apabila menurut pandangan
terdakwa, ia masih dapat meneruskannya,
tetapi ia tidak mau meneruskannya.
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak
sendiri, secara teori dapat dibedakan antara :
Pengunduran diri secara sukarela
(Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan
perbuatan
pelaksanaan
yang
diperlukan
untuk
delik
yang
bersangkutan;
Tindakan penyesalan (Tatiger Reue)
yaitu
meskipun
perbuatan
pelaksanaan
sudah
diselesaikan,
tetapi dengan sukarela menghalau
timbulnya akibat mutlak delik tersebut.
Misal : Orang member racun pada
minuman si korban, tetapi setelah
diminumnya, ia segera memberikan
obat penawar racun sehingga si
korban tidak jadi meninggal.
Sehubungan dengan masalah pengunduran
diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud
dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal
53 KUHP ialah :
Untuk menjamin supaya orang yang
dengan kehendaknya sendiri secara
sukarela mengrungkan kejahatan yang

199

telah dimulai tetapi belum terlaksana,


tidak dipidana;
Pertimbangan dari segi kemanfaatan
(utilitas), bahwa usaha yang paling
tepat
(efektif)
untuk
mencegah
timbulnya kejahatan ialah menjamin
tidak dipidananya orang yang telah
mulai melakukan kejahatan tetapi
kemudian
dengan
sukarela
mengurungkan pelaksanaannya.
Dengan adanya penjelasan MvT tersebut,
maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini
merupakan :
Alasan pengahpus pidana yang
diformulir sebagai unsur (Pompe).
Alasan pemaaf (van Hattum, Seno
Adji).
Alasan pengahpusan penuntutan (Vos,
Moelyatno).
Prof. Moelyatno tidak setuju dengan
pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini
sebagai alasan pemaaf (fait dex-cuse)
maupun sebagai alasan pengahpus pidana,
sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang
baik adalah tidak mencoba sama sekali)
sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan
ataupun membenarkan. Menurut beliau
dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi
stimulans bagi orang-orang lain yang

200

mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk


ditengah-tengah mengundurkan diri secara
sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas.
Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan
penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait
dexcuxe karena sifat tak baik perbuatan
maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak
dituntutnya itu karena dipandang lebuh
berguna bagi masyarakat, seprti halnya
dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP
(pencurian antara suami-istri). Pertimbangan
utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk
menghemat tenaga dan biaya. Walaupun
Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini
sebagai alasan penghapusan penuntutan,
namun beliau tidak berkeberatan untuk
menuntut orang yang secara sukarela telah
mengurngkan niatnya itu apabila telah
menimbulkan kerugian, dan pidananya
dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.
Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam
perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat :
a. Mempunyai konsekuensi materiil
Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur
yang melekat pada percobaan, jadi bersifat
accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan
perkataan lain, untuk adanya percobaan
unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan
perbuatan bukan karena kehendak sendiri)

201

harus ada. Ini berarti apabila ada


pengunduran diri secara sukarela, maka tidak
ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat
dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni
1889 tentang kasus sumpah palsu.
Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa
saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas
sumpah telah meberikan keterangan yang
bertentangan dengan kenyataan (kesaksian
palsu).
Setelah
Jaksa
dan
Hakim
memperingatkan bahwa ia akan dituntut
sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut
kembali keterangan palsunya itu. Apakah
saksi dapat dipidana karena percobaan
sumpah palsu?
HR dalam putusannya berpendapat bahwa
saksi itu tidak dapat dipidana melakukan
percobaan sumpah palsu karena dalam hal
ini ada pengunduran diri secara sukarela.
Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana
karena adanya pengunduran diri itu
perbuatannya (saksi) tidak merupakan
perbuatan terlarang.
b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang
processuil)
Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam
pasal 153 maka unsur tersebut harus
disebutkan didalam surat tuduhan dan
dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3

202

ini tidak merupakan unsur yang melekat pada


percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia
merupakan unsur yang berdiri sendiri.
Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini
tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran
diri secara sukarela) maka percobaan tetap
dipandang ada. Jadi dalam kasus yang
dikemukakan
diatas,
meskipun
ada
pengunduran
diri
secara
sukarela,
perbuatannya tetap dipandang sebagai
perbuatan terlarang dan soal dipidana
tidaknya si pembuat maupun si penganjur
adalah masalah pertanggunganjawab.
Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak
dipidana karena (menurut HR) disitu ada
pengunduran diri secara sukarela, sedangkan
sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah
menganjurkan
suatu
perbuatan
yang
terlarang.
Jadi
pendapat
kedua
ini
membedakan antara perbuatan yang dapat
dipidana (criminal act) dan pertanggung
jawaban pidana (criminal responsibility).
VI.

PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU


Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini
timbul sehubungan dengan telah dilakukannya
perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju
tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut
undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik

203

atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat


disebabkan karena tidak mempunyai obyek
(misal : mencoba menggugurkan bayi yang
ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang
yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti
uang yang ternyata kosong, dsb) atau karena tidak
mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba
membunuh orang dengan gula yang dikiranya
racun).
Pembeda antara percobaan mampu dan tidak
mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang
menganut teori percobaan yang obyektif, karena
hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya
perbuatan. Para penganut teori yang subyektif
tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih
menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap
batin atau watak si pembuat.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena
obyeknya, M.v.T mengemukakan :
Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53
KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk
melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku
II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu
tersebut diperlukan adanya obyek, maka
percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada
obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga
tidak ada percobaan.

204

Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan


pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya
percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena
alatnya, M.v.T membedakan antara :
Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat
itu tidak pernah mungkin timbul delik
selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada
delik percobaan.
Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat
itu tidak ditimbulkan delik selesai karena
justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana
si pembuat melakukan perbuatan atau
justru karena keadaan tertentu dalam mana
orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini
mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat
bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari
dua segi :
- Keadaan tertentu dari alat pada waktu si
pembuat melakukan perbuatan
- Keadaan tertentu dari orang yang dituju.
Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak
mudah :
a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri
dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya :
- Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri,
maka gula adalah alat yang tidak mampu
digunakan untuk membunuh, sedangkan
warangan (arsenicum) adalah mampu;

205

- Apabila dilihat dari keadaan konkritnya,


maka alat yang pada umumnya mampu
untuk membunuh (misal warangan) dapat
menjadi alat yang tidak mampu apabila
jumlahnya tidak memenuhi dosis yang
cukup mematikan (untuk arsenicum 5
mg).
b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat
secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat
dilihat dari keadaan konkrit tertentu.
- Gula adalah alat yang tidak mampu
digunakan untuk membunuh orang pada
umunya, tetapi dapat menjadi alat yang
mampu mematikan untuk orang yang
berpenyakit diabetes;
- Warangan yang memenuhi dosis 5 mg,
merupakan alat yang mampu untuk
membunuh, tetapi untuk orang yang
sudah biasa warangan sejumlah itu tidak
merupakan alat yang mematikan.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana
yang menyatakan bahwa batas antara absolute
dan relative itu tergantung dari kehendak orang
yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari
cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.
Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol
yang tidak berpeluru.

206

Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang


demikian adalah alat yang absolut tidak mampu,
tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah
alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam
hal tertentu bersifat relative karena tidak ada
pelurunya.
Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak
mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu,
maka para sarjana berusaha memberikan batas
atau ukuran antara percobaan yang mampu dan
tidak mampu.
Karena pada hakekatnya masalah percobaan
mampu dan tidak mampu ini dalah masalah
hubungan kausal yang ada dalam lapangan
obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons,
Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan
garis pembatas tersebut dengan menggunakan
ukuran-ukuran dalam hubungan kausal.
Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah
teori generalisasi (adekuat) yang melihat secara
ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena
memang dalam hal percobaan, akibat yang
merupakan delik yang dituju justru belum terjadi,
jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang
melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).
Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak
mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu
adalah sbb :
1. SIMONS

207

Ada percobaan yang mampu, apabila


perbuatan yang menggunakan alat yang
tertentu itu dapat membahayakan benda
hukum.
Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyatanyata ada dalam keadaan khusus dimana
perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan
normal, dengan alat tersebut tidaklah akan
ditimbulkan delik maka dalam hal demikian
tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya
jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya,
tetapi
dalam
keadaan
tertentu
dapat
membahayakan dan dengan sengaja pula alat
itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat
itu tidak berbahaya akan lenyap dengan
diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan
demikian lalu dapat dipidana.
2. POMPE
Ada percobaan mampu, jika perbuatan atau
alat yang digunakan mempunyai kecendrungan
(strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk
menimbulkan delik selesai.
Misal : - Mencoba membunuh orang dengan
mendoakan terus menerus supaya
mati, bukanlah percobaan yang
mampu
sebaliknya
pemberian
warangan pada orang yang normal
adalah
mampu
jika
jumlahnya

208

memang dapat mematikan orang yang


normal.
- Ada orang membeli warangan di apotik
untuk melakukan pembunuhan, tetapi
karena kekeliruan apotik, bukan
warangan yang diberikan tetapi gula
sehingga tidak menimbulkan kematian.
Dalam hal demikian, tetap dikatakan
ada percobaan karena meskipun sifat
gula adalah tidak mampu secara
absolute, tetapi penting dilihat dari
keseluruhan
perbuatan
yaitu
mencampurkan gula (yang diberikan
oleh apotik) yang dikiranya warangan,
kedalam makanan orang lain.
3. VAN HATTUM
Dalam menentukan percobaan mampu dan
tidakmampu, van Hattum seperti halnya
Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan
hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada
percobaan yang mampu, apabila perbuatan
terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat
dengan akibat yang dilarang oleh undangundang.
Dalam menggunakan hubungankausal yang
adekuat itu, menurut van Hattum yang penting
adalah bagaimana merumuskan (memformulir)
perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam
memformulir perbuatan terdakwa secara

209

adekuat kausal itu, van Hattum memberikan


ukuran/pedoman sbb :
a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan
jangan dimasukan, karena rasa keadilan
tidak membenarkan hal demikian member
keuntungan kepada si pembuat;
b. Hal-hal
yang
merintangi
selesainya
kejahatan yang dituju jangan dimasukkan,
apabila
pada
hakekatnya
perbuatan
terdakwa
membahayakan
benda/kepentingan hukum (rechtsgoed).
Misal : Dengan maksud menembak musuhnya,
seseorang telah mengisi senapanya dengan
peluru dan kemudian meletakkannya di suatu
tempat untuk menunggu saat yang baik.
Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada
orang lain mengososngkan senapanya itu,
sehingga pada saat ditembakkan tidak
menimbulkan akibat amtinya orang lain
(musuhnya itu).
Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum
janganlah perbuatan terdakwa diformulir
sebagai percobaan yang tidak mampu karena
kenyataannya ia membunuh dengan alat yang
relative tidak mampu yaitu senapan yang
kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb :
mengarahkan senapan yang semula sudah
diisi
dengan
peluru
dan
kemudian
menembakkannya.
Perbuatan
demikian

210

merupakan yang pada umumnya dapat


menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi
mempunyai hubungan kausal yang adekuat
untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian
perbuatan terdakwa merupakan percobaan
yang mampu. Tidak berbeda dengan
menembakkan senapan yang pelurunya macet.
Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat
bahwa kosongnya pistol merupakan hal yang
kebetulan dan mengisi senapandengan peluru
dan menembakkannya merupakan perbuatan
yang membahayakan benda hukum orang lain
(berupa nyawa). Van Hattum menyatakan
bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang
dimasukkan dalam merumuskan perbuatan
terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative
akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.
4. MOELYATNO
Dalam memecahkan masalah percobaan
mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno
tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal
karena kenyataanya dalam percobaan tidak
sampai menimbulkan kejahatan yang dituju
(tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang
dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran
patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi
ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif,
tetapi secara normatif.

211

Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila


perbuatan terdakwa mendekatkan pada
terjadinya delik selesai sedemikian rupa
sehingga merupakan perbuatan yang melawan
hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau
menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil,
maka
perbuatan
itu
harus
menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas
dilakukan.
Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu
didasarkan pada Eindrucks theorie (teori
kesan) yang berasal dari Von Bar, yang
dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund
Mezger (1952).
Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada
percobaan, yang mampu apabila dalam
keadaan tertentu ada perbuatan yang
menimbulkan kesan keluar bahwa ada
permulaan perbuatan yang dapat dipidana.
Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut
masyarakat
telah
menimbulkan
kesan
mengganggu atau melukai tata-hukum, dan
oleh karena itu telah menggincangkan
kesadaran
umum
mengenai
kepastian
berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan
demikian sudah mengandung bahaya. Dengan
demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di
dalam teori kesan terdapat azas general
preventive. Misal : perbuatan orang yang

212

hendak membunuh dengan senjata yang


ternyata kosong atau macet pelurunya, atau
pencuri yang merogoh kantong orang lain yang
ternyata kosong.
Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori
kesan sudah merupakan percobaan yang
mampu dan oleh karenanya dapat dipidana,
karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut
masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu
telah mengganggu/ melukai tata hukum.
Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai
ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam
menentukan mampu tidaknya suatu percobaan
berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat
berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari
sudut
hubungan
kausal
tidak
perlu
diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini
tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan
mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan
untuk menentukan berat ringannya pidana
yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini
beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP
Swiss yang menentukan. Jika alat yang
dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan,
atau
obyek/terhadap
mana
dilakukan
kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga
perbuatan
memang
tidak
mungkin
dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek
yang demikian itu, maka hakim boleh
mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya

213

sendiri. Jika si pembuat berbuat karena


kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak
menjatuhkan pidana.
5. MANGEL AM TATBESTAND
Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis
percobaan mampu dan tidak mampu dapat
dibedakan mengenai obyeknya maupun
mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan
antara tidak mampu yang absolute dan relative.
Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak
mampu absolute danrelatif, tergantung dari
kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat
Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T
yang tidak memasukkan kedalam lapangan
percobaan tidak mampu apabila objek tidak
mampu. Menurut pendapat aliran ini,
percobaan tidak mampu karena obyeknya
bukanlah delik percobaan karena tidak
cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur
delik. Misal dalam hal membunuh orang yang
sudah mati atau menggugurkan kandungan
orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi
unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus
adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan
dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP
(menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu
harus adanya seorang wanita yang benarbenar mengandung.

214

Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak


adanya
atau
tidak
lengkapnya/
tidak
terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut
Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan;
Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna
atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini
dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).
Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons
dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua
contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin
lagi dikatakan ada percobaan karena
maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai.
Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan
mereka yang memandang tidak ada percobaan
apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau
memang benar bahwa membunuh bayi yang
sudah mati atau menggugurkan kandungan
orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin,
tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak
berbeda dengan membunuh bayi yang lahir
hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka
atau mencuri uang dari sebuah kantong yang
ternyata kosong.
Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa
dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak
ada percobaan, karena sifat khusu dari
percobaan ialah :

215

a. Delik tidak selesai karena hal


ikhwal yang tidak tergantung dari
kehendak terdakwa;
b. Oleh karena dalam pikiran
terdakwa (dalam kasus-kasus
diatas) adalah mungkin sekali
akan melaksanakan delik yang
dituju.
Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat
pandangan yang subyektif tentang percobaan.
Sehubungan dengan masalah ini KARNI
membedakan antara Mangel am Tatbestand
dengan percobaan tidak mampu (istilah beliau
percobaan tak terkenan). Dalam hal
menggugurkan kandungan orang yang tidak
hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu
karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi
berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini
bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan
untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb:
- Orang yang melarikan perempuan yang
ternyata sudah cukup umur;
- Orang yang mencuri barang yang
ternyata sudah menjadi miliknya.
Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya
sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang
bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP)
tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak
sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah
yang menurut Karni merupakan hakekat atau

216

watak hukum dari Mangel am Tatbestand.


Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat
dipidana karena memang tidak ada pasal yang
dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi
berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya
ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am
Tatbestand ini merupakan kekhilafan tentang
anasir delik yang harus dibedakan dengan
salah sangka tentang adanya undang-undang
(putatief delict).
Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat
Utrecht,
delik
putatief
merupakan
rechtsdwaling
sedangkan
Mangel
am
Tatbestand merupakan feitelijke dwaling.
VII.

PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN


Telah dikemukakan di muka bahwa menurut
system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah
percobaan terhadap kejahatan, sedangkan
terhadap pelanggaran tidak dipidana.
Dalam hal percobaan terhadap kejahatan,
maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum
pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan
dikurangi sepertiga. Jadi misalnya
untuk
percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338
KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara.
Bagaimanakah
apabila
kejahatan

217

yangbersangkutan diancam pidana mati atau


penajara seumur hidup, seperti halnya dalam
pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)?
Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa menurut
KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan
adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu
telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana
tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama
dengan kejahatan selesai.

218

BAB XI
PENYERTAAN
A. BEBERAPA ISTILAH
1. Turut campur dalam peristiwa pidana
(Tresna).
2. Turut berbuat delik (Karni).
3. Turut serta (Utrecht).
4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrhaeit
(Jerman);
Participation (Perancis).
B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG SIFAT
PENYERTAAN
Filosofi dasar keberadaan lembaga penyertaan
terdapat dua pandangan :
1. Sebagai Strafa sdehnungsgrund (dasar
memperluas dapat dipidananya orang) :
- Penyertaan dipandang sebagai persoalan
pertanggung jawaban pidana
- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya
bentuknya tidak sempurna.
- Penganut a.l : Simons, van Hattum,
Hazewinkel Suringa.
2. Sebagai
Tatbestandausdehnungsgrund
(dasar memperluas dapat dipidananya
perbuatan) :

219

- Penyertaan dipandang bentuk khusus dari


tindak pidana.
- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya
bentuknya istimewa.
- Penganut a.l : Pompe, Moelyatno, Roeslsn
Saleh.
Menurut Prof. Moelyatno pandangan yang
pertama sesuai dengan alam/pandangan
individual karena yang diprimairkan adalah
strafbaarheid van de person (hal dapat
dipidananya orang), pandangan yang kedua
sesuai dengan alam Indonesia karena yang
diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh
dilakukan, jadi lebih ditekankan pada
strafbaarheid van het feit (hal dapat
dipidananya perbuatan). Menurut Moelyatno,
pandangan pertama tidak dikenal dalam
hukum adat.
C. PEMBAGIAN PENYERTAAN
1. Terbagi dua :
a. Von Feuerbach membagi penyertaan
dalam dua bentuk :
a.1. Urherber (pembuat)
a.2. Gehilfe (pembantu)
b. KUHP Belanda dan Indonesia :
b.1. Dader / Pembuat (pasal 47
Belanda / pasal 55 KUHP Indonesia).

220

b.2. Medeplichtige / pembantu (pasal 48


KUHP Belanda / pasal 56 KUHP
Indonesia).
c. Code Penal Perancis dan Belgia :
c.1. Autores.
c.2. Complices.
d. Di Inggris :
d.1. Principals (peserta baku).
d.2. Accessories (peserta pembantu).
2. Pembagian tiga :
2.a. Di Jerman :
2.a.1. Tater (pembuat)
2.a.2. Anstifter (penganjur)
2.a.3. Gehile (pembantu)
2.b. Di Jepang :
2.b.1. Co principals (pembuat)
2.b.2. Instigator (penganjur)
2.c.3. Accessories (pembantu)
3. Pembagian empat :
Di Uni Sovyet :
3.1. Executive of crime
3.2. Organizer
3.3. Instigator
3.4. Accessory
D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA
1. Pembagian penyertaan menurut KUHP
Indonesia adalah :
a. Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri
dari :
a.1. Pelaku (pleger)
a.2.
yang
menyuruh
lakukan
(doenpleger)

221

a.3. yang turut serta (medepleger)


a.4. penganjur (uitlokker)
b. Pembantu / mendeplichtige (pasal 56)
yang terdiri dari :
b.1. pembantu pada saat kejahatan
dilakukan
b.2. pembantu pada saat kejahatan
belum dilakukan.
Mengenai pengertian pembuat (dader), ada
dua pandangan :
a. Pandangan
yang
luas
(extensief) :
- Dengan demikian mereka yang
disebut dalam pasal 55 diatas
adalah pembuat.
- Penganut : M.v.T, Pompe,
Hazewinkel-Suringa,
van
Hattum, Moelyatno.
b. Pandangan
yang
sempit
(restrictief) :
- Pembuat hanyalah orang yang
melakukan sendiri perbuatan
yang sesuai dengan rumusan
delik, jadi hanya pembuat
materiil saja (yaitu pada no.1
pada pasal 55 di atas).
- Menurut
pandangan
ini,
mereka yang tersebut dalam
pasal 55 hanya dipandang

222

sebagai pembuat, jadi hanya


disamakan saja dengan dader.
- Penganut : HR, Simons, van
Hamel, Jonkers.

2. Pleger (pelaku)
a. Pelaku (pleger) ialah orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi rumusan delik.
b. Dalam praktek sukar menentukannya,
terutama dalam hal pembuat undangundang tidak menentukan secara pasti
siapa yang menjadi pembuat.
Mengenai hal ini ada beberapa
pedoman :
1). Peradilan Indonesia
Pembuat (dalam arti sempit yaitu
pelaku) ialah orang yang menurut
maksud pembuat undang-undang
harus dipandang yang bertanggung
jawab.
2). Peradilan Belanda
Dader (dalam arti sempit) ialah orang
yang
mempunyai
kekuasaan/kemampuan
untuk
mengakhiri keadaan terlarang, tetapi
tetap memberikan keadaan terlarang
itu berlangsung terus.

223

3). Pompe
Dader (dalam arti sempit) ialah orang
yang mempunyai kewajiban untuk
mengakhiri keadaan terlarang itu.
c. Kedudukan pleger dalam pasal 55
sering dipermasalahkan. Mengenai hal
ini ada dua pendapat :
1). Janggal dan tidak pada tempatnya
Alasan : Karena pasal 55 berada
dibawah bab V yang berjudul
Penyertaan tersangkut beberapa
pidana, pada penyertaan apabila
mereka yang melakukan (para
pelaku)
itu
diartikan
pembuat
tunggal.
2). Dapat dipahami
Alasan : Karena pasal 55 menyebut
mereka yang dipidana sebagai
pembuat, jadi plegers termasuk
didalamnya Pompe. Karena pasal
55 menyebut siapa-siapa yang
dinamakan pembuat, jadi plegers
juga
termasuk
didalamnya
(Hazewinkel-Suringa).
3. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)
a). Doenpleger ialah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang
lain, sedang perantara ini hanya
diumpamakan sebagai alat.
Dengan demikian :

224

Pembuat langsung (onmiddelijke


dader, auctor physicus, manus
ministra)
- Pembuat tidaklangsung (middelijke
dader,
doenpleger,
auctor
intellectuals, manus domina).
b). Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur
sbb :
- Alat yang dipakai adalah manusia;
- Alat yang dipakai itu berbuat (bukan
alat yang mati)
- Alat yang dipakai itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan unsur ketiga
inilah yang merupakan tanda ciri dari
doenpleger .
Hal yang menyebabkan alat (pembuat
materiil)
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan ialah :
Bila ia tidak sempuna pertumbuhan
jiwanya atau rusak jiwanya (pasal
44);
Bila ia berbuat karena daya paksa
(pasal 48)
Bila ia melakukannya atas perintah
jabatan yang tidak sah seperti
dimaksudkan dalam pasal 51 ayat
(2);
Bila ia keliru (sesat) mengenai
salah satu unsur delik, misalnya A

225

menyuruh B untuk menguangkan


pos wesel yang tanda tangannya
dipalsu oleh A, sedangkan B tidak
mengetahui pemalsuan tersebut;
Bila ia tidak mempunyai maksud
seperti yang diisyaratkan untuk
kejahatan ybs. (dalam undangundang) misal A menyuruh B
(seorang kuli) untuk mengambil
barang dari suatu tempat. B
mengambilnya untuk diserahkan
kepada A dan ia sama sekali tidak
mempunyai maksud untuk memiliki
bagi dirinya sendiri.
c). Dalam hal pembuat materiil (alat)
seseorang yang belum cukup umur,
maka tidak ada menuruh lakukan,
karena
pada
dasarnya
KUHP
menganggap orang yang belum cukup
unur itu tetap mampu bertanggungjawab
(lihat pasal 45 jo 47). Namun demikian,
apabila yang disuruh itu anak yang
masih sangat muda sekali, yang belum
begitu sadar akan perbuatannya, maka
dalam hal ini dimungkinkan ada
menyuruh lakukan.

226

d). Apakah orang yang menyuruh lakukan


(doenpleger) harus mempunyai kualitas
sebagai pelaku ? ada dua pendapat :
d.1. Pendapat pertama : harus.
Alasan, karena tidakmungkin
seorang A menyuruh oarng lain B
melakukan sesuatu yang A sendiri
tidak dapat melakukannya. Misalnya
: A bukan pegawai negeri, maka ia
tidak dapat melakukan delik
jabatan, jadi A tidak bisa menjadi
pembuat langsung (onmiddelijke
dader) oleh karena itu ia juga tidak
bisa
menjadi
pembuat
tidak
langsung, maka A tidak bisa menjadi
doenpleger. Jadi walaupun B (yang
disuruh) adalah pegawai negeri,
tetap
dikatakan
tidak
ada
doenpleger.
d.2. Pendapat kedua : tidak harus.
Menyuruh-lakukan sesuatu delik
jabatan tidak hanya terdapat apabila
pembuat materiilnya adalah seorang
pejabat, akan tetapi juga sebaliknya,
ialah apabila pelaksanaanya bukan,
sedang yang menyuruh-lakukan itu
adlah pejabat.
Hazewinkel-Suringa :

227

Seorang peserta itu bukannya


dipidana karena ia melakukan perbuatan
(pidana), akan tetapi ia justru dipidana
walaupun
ia
tidak
melakukan
perbuatan. Misal : A membius B
seorang penjaga keamanan kereta api,
sehingga lalai menjalankan tugasnya
dan timbul kecelakaan.
Walaupun A tidak berkualitas seperti
B (yaitu tidak mempunyai kewajiban
seperti B), A tetap dikatakan sebagai
doenpleger dalam delik omissi yang
dilakukan oleh B.
Arrest HR tgl. 21 April 1913 (kasus
Walikota Zaan-dam) menyatakan :
Pasal 55 tidak menyatakan bahwa
mereka yang menyuruh lakukan adalah
dader, tetapi bahwa mereka dipidana
sebagai dader, sehingga untuk menjadi
middelijke dader (doenpleger) tidak perlu
ada kualitas pribadi seperti pembuat
materiil.

e). Mungkinkah ada menyuruh lakukan


terhadap delik-colpoos?
Mungkin, dalam halo rang yang
menyuruh-lakukan
dapat
menduga
sebelumnya bahwa ka nada sesuatu
akibat yang tidak diharapkan. Misal :
A menyuruh seseorang pekerja B untuk
melemparkan benda yang berat dari

228

atap
rumah
ke
bawah,
tanpa
menghiraukan apakah benda itu akan
menimpa orang yang kebetulan ada /
lewat di bawah atap rumah itu. B
mengira bahwa A telah mengadakan
pengamanan seperlunya. Jika karena
lemparan itu ada yang tertimpa dan
mati, maka A dapat dituntu karena
menyuruh-lakukan tindak pidana yang
tersebut dalam pasal 359 KUHP.
4. Medepleger (orang yang turut serta)
a. Pengertian :
1). Undang-undang tidak memberikan
definisi
2). Menurut M.v.T : Orang yang turut
serta melakukan (medepleger) ialah
orang yang dengan sengaja turut
berbuat atau turut mengerjakan
terjadinya sesuatu.
3). Menurut Pompe, turut mengerjakan
terjadinya sesuatu tindak pidana itu
ada dua kemungkinan :
Mereka
masing-masing
memenuhi semua unsur dalam
rumusan delik.
Misal : dua orang dengan
bekerja
sama
melakukan
pencurian disebuah gudang
beras, salah seorang memenuhi

229

semua unsur delik, sedang yang


lainnya tidak.
Misal : dua orang pencopet (A
dan B) saling bekerja sama, A
yang menabrak orang yang
menjadi sasaran, sedang B yang
mengambil dompet orang itu.
- Tidak seorangpun memenuhi
unsur-unsur delik seluruhnya
tetapi mereka bersama-sama
mewujudkan delik itu misalnya :
dalam
pencurian
dengan
merusak (pasal 363 ayat (1) ke5) salah seorang melakukan
penggangsiran,
sedang
kawannya masuk rumah dan
mengambil barang-barang yang
kemudian diterimakan kepada
kawannya yang menggangsir
tadi.
b. Syarat adanya medepleger :
Ada kerjasama secara sadar
(bewuste samenwerking).
Adanya kesadaran bersama tidak
berarti ada permufakatan lebih
dulu,
cukup
apabila
ada
pengertian antara peserta pada
saat perbuatan dilakukan dengan
tujuan menacpai hasil yang sama.

230

Yang penting aialah harus ada


kesenjangan secara sadar.
Tidak ada turut serta, bila orang
yang satu hanya menghendaki
untuk
menganiaya,
sedang
kawannya menghendaki matinya
si korban. Penentuan kehendak
atau kesenjangan masing-masing
peserta itu dilakukan secara
normatif.
Ada
pelaksanaan
bersama
secara
fisik
(gezamenlijke
ultvoering/physieke
samenwerking).
Persoalan kapan dikatakan ada
perbuatan
pelaksanaan
merupakan persoalan yang sulit
(ingat/lihat Bab VI tentang
percobaan),
namun
secara
singkat dapat dikatakan bahwa
perbuatan pelaksanaan berarti
perbuatan
yang
langsung
menimbulkan selesainya delik
ybs. Yang penting disini harus
ada kerjasama yang erat dan
langsung. Batas antara perbuatan
pelaksanaan
dan
perbuatan
pembantuan sangatlah sulit dan
hal ini akan dibicarakan dalam
masalah pembantuan.

231

c. Apakah medepleger harus mempunyai


kualitas sebagai pelaku ?
Mengenai hal ini ada dua penadapat :
1). Pendapat pertama : harus.
Medepleger adalah suatu bentuk
daderschap (keadaan / sifat pelaku
pembuat),
orang
turut
serta
melakukan adalah pembuat (dader)
apabila
ada
beberapa
orang
bersama-sama melakukan delik,
maka mereka timbal balik terhadap
satu sama lain disebut pembuat
peserta (mededader). Pembuat
peserta sebagai pembuat harus
mempunyai sifat yang oleh rumusan
undang-undang diisyaratkan untuk
daderschap. Barang siapa tidak
dapat menjadi pembuatan tunggal
(alleendader) juga tidak dapat
dinamakan
pembuat
peserta
(mededader).
Sifat-sifat
atau
keadaan pribadi yang menentukan
dapat dipidananya perbuatan, hanya
berlaku pada pembuat peserta yang
mempunyai sifat-sifat tersebut.
2). Pendapat kedua : tidak harus.

232

Yurisprudensi putusan pengadilan


Negeri Tulunganggung tanggal 5
Januari 1932 yang kasusnya sbb :
A memegang gelang milik orang lain
untuk
dijualkan.
Suami
A
menggadaikan gelang tersebut untuk
kepentingannya
sendiri,
dengan
persetujuan A. Dalam kasus A
dinyatakan
salah
melakukan
penggelapan,
sedang
suaminya
turut serta melakukan penggelapan
meskipun suaminya tidak memenuhi
semua unsur yang terdapat dalam
pasal 372.
Status A terhadap barang ialah
memiliki dengan melawan hukum
barang yang ada padanya bukan
karena kejahatan , sedang status
suaminya terhadap barang itu ialah
menggadaikan barang milik orang
lain yang ada dalam kekuasaannya
karena kejahatan. Yaitu ia dapat dari
A dan tahu bahwa barang itu bukan
milik A.
d. Mungkinkah ada turut serta terhadap
delik culpoos ? pada turut serta,
kesengajaannya ditujukan kepada :
1. Kerjasama dengan orang lain
(ditujukan pada perbuatan).

233

2. Tercapainya hasil yangmerupakan


delik (ditujukan pada akibat).
Dalam
delik
culpa
orang
tidak
menghendaki terjadinya akibat. Kalau
kesenjangan orang turut serta juga
harus ditujukan untuk timbulnya delik
culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin
ada turut serta melakukan secara culpa.
Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya
ditujukan kepada adanya kerjasama,
ialah kepada perbuatan yang dilakukan
bersama, maka mungkin ada turut serta
melakukan secara culpa. Misal :
A dan B bersama-sama melemparkan
barang berat dari gedung bertingkat dan
menimpa orang yang ada di bawah
sampai
mati.
Keduanya
tidak
menghendaki sampi matinya orang
tersebut, akan tetapi mereka bersamasama
secara
sadar
melakukan
pelemparan barang dan merekapun
kurang berhati-hati serta patut menduga
akibat yang timbul. Oleh karena itu
mereka dapat dituntut bersama-sama
melakukan perbuatan yang tersebut
dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP.
5. Uitlokker (penganjur)

234

a. Pengertian :
Pengajur
ialah
orang
yang
menggerakkan
orang
lain
untuk
melakukan
suatu
tindak
pidana
denganmenggunakan
sarana-sarana
yang ditentukan oleh undang-undang
untuk melakukan kejahatan.
Jadi hamper sama dengan menyuruhlakukan
(doen-pleger),
pada
penganjuran (uitlokking) ini ada usaha
untuk menggerakkan orang lain sebagai
pembuat materiil / auctor physicus.
Adapun perbedaannya sbb :

Penganjuran
Menggerakkannya
dengan
saranasarana
tertentu
(limitatif)
Pembuat materiil
dapat
dipertanggungjawa
bkan
(tidakmerupakan
manus ministra)

Menyuruh-lakukan
Sarana
menggerakkannya
tidak
ditentukan
(tidak limitatif)
Pembuat materiil
tidak
dapat
dipertanggungjawa
bkan (merupakan
manus ministra)

b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana


:

235

Berdasarkan pengertian diatas, maka


syarat pengajuran yang dapat dipidana
ialah :
Ada
kesenjangan
untuk
menggerakkan
orang
lain
melakukan
perbuatan
yang
terlarang.
Menggerakkannya
dengan
menggunakan
upaya-upaya
(sarana-sarana) seperti tersebut
dalam undang-undang (bersifat
limitatif).
Putusan
kehendak
dari
si
pembuat materiil ditimbulkan
karena hal-hal tersebut pada a
dan b (jadi ada psychise
causaliteit).
Si pembuat materiil tersebut
melakukan tindak pidana yang
dianjurkan
atau
percobaan
melakukan tindak pidana.
Pembuat materiil tersebut harus
dipertanggungjawabkan
dalam
hukum pidana.
Dari lima syarat yang disebutkan diatas,
jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan
syarat yang harus ada pada si
penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5
merupakan syarat yang melekat pada

236

orang
yang
materiil).

dianjurkan

(pembuat

c. Mungkinkah ada penganjuran untuk


melakukan delik culpa ?
Mengenai hal ini ada beberapa
pendapat :
1. Tidak mungkin.
d. Mungkinkah ada percobaan pengajuran
atau pengajuran yang gagal ?
e. Pertanggungjawaban si penganjur.

c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan


delik culpa ?
Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :
(a). Tidak mungkin.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van
Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa
sifat khas dari uitlokking ialah membujuk
terjadinya perbuatan dengan sengaja.
(b). Mungkin.
Simons menganggap bukannya mustahil dalam
bentuk demikian seseorang dapat membujuk
terjadinya
sesuatu
perbuatan
dengan
pengetahuan bahwa orang yang akan

237

melakukan perbuatan itu dapat mengira-ngira


kemungkinan terjadinya akibat yang tidak
dikehendaki
atau
dapat
mengirakan
kemungkinan
terjadinya
akibat
tersebut.
Menurut Pompe orang nyata-nyata dapat
sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan
delik culpa, dalam arti orang itu sebagai
pembujuk mempunyai kesengajaan untuk
menggerakkan agar orang lain melakukan
perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan
inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk
kealpaan, dan pula dalam arti bahwa yang di
bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang
diisyaratkan oleh undang-undang. Misal :
Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan
mobilnya untuk dipakai orang lain dengan
mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman
itu, orang lain tersebut akan mengendarainya.
Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang
ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk
menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat
menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk,
maka jika pengendara tersebut melanggar
seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat
dikatakan melakukan tindak pidana dalam pasal
359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan
melakukan pembujukan untuk terjadinya
pelanggaran pasal 359 itu.

238

d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau


penganjuran yang gagal ?
Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam
hal
seseorang
telah
dengan
sengaja
menggerakkan orang lain untuk melakukan
sesuatu tindak pidana dengan menggunakan
salah satu sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan
tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau
mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat
melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana.
(catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1
dan 2 atau syarat 1 s/d 3) seperti
dikemukakan pada no. b diatas.
Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk
membujuk atau penganjuran yang gagal dapat
dipidana ? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163
bis, ada dua pandangan :
1). Pendapat pertama : Penganjuran dipandang
sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir
(tidak berdiri sendiri = onzelfstandig).
Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila
ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat
materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang
yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat
dipidana. Karena dalam percobaan untuk

239

penganjuran ini, tindak pidana itu tidak terjadi


maka si pengajur juga tidak dapat dipidana.
Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van
Heml, vos.
2). Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai
bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri
sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang
lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya
penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya
atau terjadi / tidaknya tindak pidana. D.p.l
sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak
pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak
terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini,
percobaan untuk penganjuran tetap dapat
dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe,
van Hattum.
Catatan :

Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut


pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid
(sifat
dapat
dipidananya
si
penganjur
digantungkan dari apa yang dilakukan oleh
orang lain). Jadi sudut pandangnya tidak
membedakan antara sifat dapat dipidananya
perbuatan (tindak pidana) dan sifat dapat
dipidananya
orang
(pertanggungjawaban
pidana). Jadi lebih mendekati pandangan
monistis.

240

Sehubungan dengan pandangan yang pertama


diatas, dalam KUHP Jerman (sebelum
perubahan tahun 1943), dikenal apa yang
dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa
untuk adanya bentuk-bentuk penyertaan harus
ada yang bertanggung jawab sebagai Tater
(pelaku).
Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat
memidana seseorang peserta sebagai Mittater
(si turut-serta melakukan / medepleger,
anstifter / pengajur uitlokker, atau gehilfe /
pembantu / medeplichtige), maka si pembuat
materiil harus melakukan strafbare handlung,
yang diartikan bukan saja melakukan perbuatan
yang dilarang / diancam pidana, tetapi juga
dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian apabila
si pembuat materiil tidak dapat dijatuhi pidana
(karena tidak ada kesalahan), tidak mungkin
ada penyertaan.

Pertanggungjawaban
peserta
tidak
lagi
digantungkan pada pertanggungjawaban si
pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang
berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta
lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan
yang dilarang.

Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai


dengan pandangan dualistis (a.l Prof. Ruslan saleh)
yang melihatnya dari dua sudut pandang :

241

1). Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap


peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat
melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat
atau si pembantu baru timbul jika perbuatan
dari si pembuat atau si pembantu baru timbul
jika perbuatannya di hubungkan dengan
pelaku atau peserta lainnya.
2). Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap
peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri
menurut
sikap
batinya
masing-masing
berhubung dengan apa yang diperbuatnya.
Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran
yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan
lagi, setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo
273) ditambahkan pasal 163 bis kedalam KUHP pasal
ini berbunyi :
1). Barang siapa dengan menggunakan salah satu
sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba
menggerakkan orang lain supaya melakukan
kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika tidak
mengakibatkan
kejahatan
atau
percobaan
kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan,
bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana
yang lebih berat dari pada yang ditentukan
terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan

242

itu tidak dipidana, tidak dapat dijatuhkan pidana


yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap
kejahatan itu sendiri.
2).

Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak


mengakibatkannya kejahatan atau percobaan
kejahatan
yang
dipidana
itu
disebabakan
karenakehendaknya sendiri.

Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan


yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat.
Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan
pembujukan yang gagal sebagai delik yang berdiri
sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik
formil, artinya perumusannya dititikberatkan pada
perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan
salah satu sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2
itu berusaha menggerakkan orang lain untuk
melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana.
Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat
(2). Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss (2)
merupakan alasan penghapus penuntutan.
Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu
digunakan
kata-kata
mencoba
/
berusaha
menggerakkan orang lain untuk. Jadi dapat juga
dikenakan kepada menyuruh lakukan / doenplegen
yang gagal, asal saja sarana yang dipakai oleh si
pembuat termasuk salah satu sarana untuk

243

pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) ke2.


e. Pertanggungjawaban si penganjur.
Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa penganjur
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang
sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal :
A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat
penganiayaan
itu C mati, Dalam hal
ini
pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan
menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan
(pasal 55 jo 351) tetapi menganjurkan orang lain
melakukan penganiayaan yang berakibat mati (pasal
55 jo 351 ayat (3)).
Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung
membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak dapat
dipertanggungjawabkan pada A (Jadi tidak dapat
dituduh berdasar pasal 55 jo 338), karena
pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh A.
Namun
demikian,
A
masih
dapat
dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis,
yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan.
Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah
maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti
sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan
biasa pasal 351 (1), maksimumnya 2 tahun 7 bulan,
kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3

244

bulan, kalau penganiayaan yang direncanakan pasal


351 (1) maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi
maksimumnya bukan 6 tahun (perhatikan redaksi
pasal 163 bis).
Ketentuan
pasal
163
bis
juga
dapat
dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B (yang
dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari A
walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu
pemberian / hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A
karena kehendak orang yang ditujuk (B). Apabila tidak
terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena
kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis tidak dapat
dikenakan pada A.
Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran A
untuk menganiaya C itu, B baru melaksankannya
sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana
dan ini berarti tidak terjadi percobaan kejahatan
yanmg dipidana seperti disebutkan dalam pasal 163
bis.
Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan
menggunakan pistol, tetapi karena penyimpangan
sasaran (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen)
tembakan B mengenai D, maka perbuatan A tetap
dapat
disebut
membujuk
untuk
percobaan
pembunuhan terhadap C (pasal 55 jo 53 jo 338).
Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat
dipertanggungjawabkan ?

245

Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat


dipertanggungjawabkan karena matinya D bukan yang
dikenhendaki (disengaja dianjurkan) oleh A, jadi
karena tidak ada identitas (kesamaan) antara
perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang
benarbenar dilakukan. Pendapat ini menghendaki
adanya hubungan langsung antara kesengajaan si
pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh
orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar
pada sampai seberapa jauh kesengajaan menurut
pasal 55 (2) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada
di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab
terhadap kesengajaan dengan maksud (yang
langsung dituju) atau meliputi juga seluruh corak
kesengajaan.

Apabila pengertian sengaja yang dianjurkan dalam


pasal 55 (2) meliputi juga dolus eventualis yang
dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus
diatas A juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap
matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B
(pembuat materiil) menembak C dapat dibayangkan
kemungkinan tertembaknya orang lain (b) yang berada
di dekat C. Penetuan hal ini dilakukan secara
normative oleh Hakim.
6. PEMBANTUAN (medeplichtige)

246

a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya.


Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk
adanya pembantuan harus ada orang yang
melakukan kejahatan (harus ada orang yang
dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban
tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak
tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut
pidana.
b. Jenis : Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis
pembantu :
Jenis pertama :
Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif
dalam undang-undang
Jenis kedua :
Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan;
Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam
undang-undang (yaitu dengan cara : memberi
kesempatan, sarana atau keterangan).
Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta
(medeplegen) perbedaannya sbb :
Pembantuan
Turut Serta
Menurut ajaran penyertaan Menurut ajaran obyektif :

247

obyektif : perbuatannya
hanya
membantu
/
menunjang (ondersteuning
shanling)
Menurut ajaran subyektif :

perbuatan
merupakan
perbuatan
pelaksanaan
(uitvoering shandelling)

Kesenjangan
merupakan animus
socii (hanya untuk
memberi
bantuan
saja pada orang
lain);
Tidak harus ada
kerja sama yang
disadari
(beweste
samenwerking)

Kesenjangan
merupakan animus
coauctores
(diarahkan
untuk
terwujudnya delik);
Harus ada kerja
sama yang disadari
(bewuste
samenworking)

Tidak
mempunyai
kepentingan / tujuan
sendiri.
Terhadap
pelanggaran
tidak dipidana (pasal 60
KUHP).
Maksimum
pidananya
dikurangi sepertiga (pasal
57-1).

Menurut ajaran subyektif :

Mempunyai
kepentingan / tujuan
sendiri.
Terhadap
kejahatan
maupun pelanggaran dapat
dipidana.
Maksimum pidananya sam
dengan si pembuat.

Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran


(uitlokking). Perbedaannya adalah sebagai berikut :
Penganjuran
Pembantuan
Kehendak untuk melakukan Kehendak
jahat

pada

248

kejahatan pada pembuat


materiil ditimbulkan oleh si
pengajur (ada kausalitas
psikhis)

pembuat materiil sudah ada


sejak
semula
(tidak
ditimbulkan
oleh
si
pembantu).

Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan


subyektif, ditimbulkan oleh adanya konsepsi yang saling
bertentangan
menganai
batas-batas
pertanggungjawaban para peserta, yaitu :
A. Sistem yang berasal dari hukm Romawi,
Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya
(sama jahatnya) dengan orang yang melakukan,
tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka
masingt-masing
juga
dipertanggungjawabkan
sama dengan pelaku.
Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan
sama, maka batas antara bentuk-bentuk
penyertaan sama, maka batas antara bentukbentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan
titik berat untuk menentukan batas antara pelaku
dengan
para
peserta
diletakkan
pada
perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing
(jadi bersifat obyektif). Pendirian inilah yang
kemudian dikenal dengan teori atau jaran
penyertaan obyektif.

249

Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code


Penal Prancis dan dianut juga di Inggris.
B. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam
abad pertengahan.
Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak
dipandang sama nilainya (tidak sama jahatnya),
tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh
karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda,
ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih
ringan dari pelaku. Karena pertanggungjawaban
para peserta itu berbeda, maka batas antara
masing-masing bentuk penyertaan itu adalah
prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara
tegas. Adapun yang dijadikan batas antara
masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan
pada sikap batin masing-masing peserta.
Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau
ajaran penyertaan yang subyektif.
Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan
Swiss. Seperti telah dikemukakan, di Jerman
dibedakan antara
Tater (pembuat), anstifter
(penganjur) dan Gehilfe (pembantu). Berdasar
teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus
mempunyai tater-willen (niat untuk menganjurkan)
dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai
Gehilfewiller (niat untuk membantu orang lain).

250

Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat


digolongkan kedalam kelompok teori campuran
karena :
-

Dalam pasal 55 disebutkan dipidana sebagai


pembuat dan dalam pasal 56 disebutkan
dipidana sebagai pembantu. Dengan adanya
dua bentuk penyertaan ini (yang dapat
disamakan dengan pembagian autors dan
complices di Prancis atau principals dan
accessoir di Inggris, berarti menganut system
yang pertama.
Akan
tetapi
apabila dilhat perbedaan
pertanggungjawabannya
yaitu
pembantu
dipidana lebih ringan (dikurangi sepertiga) dari
si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.

Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa


apabila pada dasarnya KUHP kita menganut
system Code Penal (system pertama) dengan
pengecualian untuk pembantuan dianut system
KUHP
Jerman
(system
kedua),
maka
konsekuensinya ialah :
A). Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku
orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta
dan yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil.
Ini berarti batas antara mereka yang tergolong
dalam daders itu tidak perlu ditentukan secara
subyetif menurut niatnya masing-masing
peserta, tetapi cukup secara obyektif menurut
bunyinya peraturan saja.

251

Dalam hubungan ini yang penting adalah


perbedaan antara orang yang menyuruh
lakukan dan penganjur. Perbedaan antara
keduanya jangan dicari dalam sikap batin
masing-masing, tetapi cukup bahwa :
- Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka,
apabila orang yang disuruh tidak dapat
dipidana sebagai pembuat karena dipandang
tidak mempunyai kesalahan, dan
- Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila
cara-cara
yang
digunakan
untuk
menganjurkan tersebut dalam pasal 55 (1)
ke-2 dan si pembuat materiil dapat
dipertanggungjawabkan.
B). Perbedaan antara pembuat (dader) dan
pembantu (megeplichtige)) adalah prinsipil,
sehingga batas antara keduanya ditentukan
menurut sikap batinnya.
c. Pertanggungjawaban pembantu.
1). Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa
pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari
pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1)
dan (2) yaitu : - Maksimum pidana poko untuk
pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1);

252

- Apabila kejahatan diancam pidana mati atau


penjara seumur hidup, maka maksimum pidana
untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2).
Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :
a). Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat
dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan 417).
b). Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat
dari si pembuat, (lihat juga pasal 349).
2). Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan
ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama
dengan si pembuat (pasal 57 : 3).
3). Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu,
KUHP
mengamut
system
bahwa
pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat
accessoir), artinya
tidak digantungkan pada
pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4)
dan 58.
4). Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar
sadji, bahwa system pemidanaan untuk pembantuan
hendaknya dipakai system facultative Minderbes
Taftung / strafmilderung yaitu terserah pada hakim
apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi
atau tidak.

253

E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN (CULPOSE


DEELNEMING)
Misal :
1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk
menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh
B untuk mencuri atau untuk membunuh.
2. Pada waktu B akan memasuki rumah C dengan
maksud mencuri, ia berkelakuan seolah-olah
(pura-pura) kehilangan kunci rumah A yang pada
waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa
B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah
merencanakan untuk mencuri, menolong B
membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk
ke rumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak
dapat dipidana karena adanya untuk membujuk atau
membantu menurut hukum pidana positif harus ada
unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk :
- Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan
dengan membujuk)
- Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan
membantu).
Terhadap kasus serupa itu Karni juga berpendapat A
tidak dapat dipidana karena adanya unsur sengaja
didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari

254

pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus


diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.
F. PENYERTAAN MUTLAK PERLU (NOODZAKELIJKE
DEELNEMING / NECESSARY COMPLICITY).
Misal :
1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk
tidak menjalankan haknya untuk memilih;
2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas
militer Negara asing;
3. pasal 297 : bigamy
4. pasal 284 : perzinahan;
5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan
anak perempuan di bawah umur 15 tahun;
6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau
ada orang lain (kawan berbuat) yang mau harus ada,
apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu
tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan
penyertaan yang tidak dapat dihindarkan atau
penyertaan yang harus dilakukan.
Mr. Karni menyebutnya dengan istilah bekerja
bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan
delik . jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian
noodzakelijke medeplegen (turut serta yang

255

diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah


bekerja / berbuat bersama-sama oleh beliau adalah
sama dengan istilah turut serta (medeplegen).
Dalam pasal-pasal diatas ada yang menetapkan
bahwa dipidana hanya si pelaku, tetapi ada juga yang
menetapkan bahwa kawan pelakunya dapat dipidana.
Mengenai
pasal
287,
Kami
mempersoalkan
bagaimana apabila justru yang membujuk terjadinya
delik itu adalah anak perempuan yang belum berumur
15 tahun itu ? terhadap hal ini, kami menyatakan tidak
keberatan untuk memidana anak gadis tersebut.
G. TINDAKAN-TINDAKAN SESUDAH TERJADINYA
TINDAK PIDANA SEBAGAI DELIK YANG BERDIRI
SENDIRI.
Misal :
1. pasal 221 : menyembunyikan penjahat;
2. pasal 223 : menolong orang melepaskan diri
dari tahanan;
3. Pasal 480, 481, 482 : delik penadahan;
4. pasal 483 : menerbitkan tulisan / gambar yang
dapat dipidana karena sifatnya.
Dalam contoh-contoh diatas sebeanrnya juga
merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang dilakukan
setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam il;mu
hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah

256

Nachtaterschaft atau Begunstigung (bentuk-bentuk


pemudahan).
H. PERBUATAN PENYERTAAN DALAM PENYERTAAN
(DEELNEMING
AAN
DEELNEMINGSHANSELINGEN)
Misal :
1. Membujuk untuk membujuk (pasal 55 jo 56);
- putusan Landraad Batavia 18-21936
- putusan Rv j Batavia 20-3-1936
- putusan Rv j Senmarang 20-12-1937
2. membujuk untuk membantu (pasal 55 jo 56);
- putusan Rv j Batavia 8-5-1930
3. membantu untuk menganjurkan (pasal 56 jo 55)
putusan Hoge Raad 25-1-1950
Catatan :
bagi mereka yang memandang deelneming sebagai
Tatbescandausdeh-nungsgrund,
contoh-contoh
diatas dapat dimaklumi karena penyertaan dipandang
sebagai delichtum sui generic. Namun bagi mereka
yang
memandangnya
sebagi
strafaus-

257

dehnungsgrund, contoh-contoh diatas dipandang


tidak mungkin atau janggal.

BAB XII
GABUNGAN TINDAK PIDANA
(SAMENLOOP / CONCURSUS)

258

Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi


suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang,
melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang
tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada
putusan hakim diantaranya dan terhadap perkaraperkara pidana itu akan diperiksa serta diputus
sekaligus.
I. BEBERAPA PANDANGAN.
Ada dua kelompok pandangan mengenai
persoalan concursus :
1. Yang memandang sebagai masalah
pemberian pidana a.l HazewinkelSuringa
2. Yang memandang sebagai bentuk
khusus dari tindak pidana a.l : Pompe,
Mezger, Moelyatno.

II. PENGATURAN DIDALAM KUHP


Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71
yang terdiri dari :

259

1. Perbarengan
peraturan
(concursus
Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan
berlanjut
(Delictum
Continuatum
/Voortgezettehandeling)
pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan
Realis) pasal 65 s/d 71.

(Concursus

III. PENGERTIAN
1. Menurut rumusan KUHP :
Sebenarnya didalam KUHP tidak ada
definisi mengenai Concursus, namun
demikian dari rumusan pasal-pasal
diperoleh pengertian sbb :

Concursus Idealis, pasal 63


(suatu perbuatan masuk dalam
lebih dari satu aturan pidana.
Ada perbuatan berlanjut, apabila
pasal 64
Seseorang melakukan beberapa,
perbuatan
tersebut
masingmasing merupakan kejahatan
atau
pelanggaran
antara
perbuatan-perbuatan
itu
ada
hubungan
sedemikian
rupa
sehingga
harus
dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut.

260

Catatan : Diantara perbuatanperbuatan yang dilakukan pada


(concursus realis dan perbuatan
berlanjut) narus belum ada
keputusan hakim.
2. Menurut pendapat sarjana :
Adanya istilah perbuatan/feit dalam
pasal-pasal di atas menimbulkan
masalah yang cukup sulit, khususnya
dalam hal terdakwa hanya melakukan
perbuatan. Kesulitan ini timbul karena
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
perbuatan (feit) itu ada meninjaunya
secara materiil, secara fisik jasmaniah,
yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya,
terlepas dari unsur-unsur tanbahan
(dikenal dengan jaran feit materiil), dan
ada pula yang melihatnya dari sudut
hukum yaitu yang dihubungkan dengan
danya akibat / keadaan yang terlarang.
Sehubungan dengan kesulitan itu, maka
para sarjana mengemukakan beberapa
pendapat :
HAZEWINKEL-SURINGA
Ada concursus Idealis apabila
suatu perbuatan yang sudah

261

memenuhi suatu rumusan delik,


mau tidak mau (eoipso) masuk
pula dalam peraturan pidana
lain.
Misal : perkosaan dijalan umum,
disamping
masuk
281
(melanggar kesusilaan di muka
umum).
POMPE
Ada concursus Idealis, apabila
orang
melakukan
sesuatu
perbuatan
konkrit
yang
diarahkan kepada satu tujuan
merupakan benda / obyek
aturan
hukum.
Misalnya
bersetubuh dengan anak sendiri
yang belum berusia 15 th,
perbuatan ini masuk pasal 294
(perbuatan cabul dengan anak
sendiri yang belum cukup umur)
dan pasal 287 (bersetubuh
dengan wanita yang belim
berusia
15
tahun
diluar
perkawinan).
TAVERNE

262

Ada
concursus
apabila :
-

Idealis

Dipandang
dai
sudut
hukumpidana ada dua
perbuatan atau lebih;
Antara
perbuatanperbuatan itu tidak dapat
dipikirkan terlepas satu
sama lain.

Contoh : Oranga dalam


keadaan mabuk mengendarai
mobil diwaktu malam tanpa
lampu.
Dalam
hal
ini
perbuatan hanya satu yaitu
mengendarai mobil, tetapi
dilihat dari sudut hukumada
dua perbuatan yang masingmasing
dapat
dipikirkan
terlepas satu sama lain, yaitu:
Pertama, mengendarai mobil
dalam
keadaan
mabul
(menggambarkan
keadaan
orang / pelakunya) dan kedua
mengendarai mobil tanpa
lampu
diwaktu
malam
(menggambarkan
keadaan
mobilnya). Jadi dalam hal ini
ada Concursus Realis.

263

VAN BEMMELEN
Ada Concursus Idealis, apabila :
-

Dengan
melanggar
satu
kepentingan
hukum.
Dengan
sendirinya
melakukan perbuatan
(feit) yang lain pula.

Contoh : Perkosaan dijalan


umum (melanggar pasal 285 &
281 KUHP). Khusus mengenai
penjelasan M.v.T mengenai
criteria
untuk
adanya
perbuatan berlanjut seperti
dikemukakan diatas, Simons
tidak sependapat. Mengenai
syarat ada satu keputusan
kehendak,
Simons
mengartikannya secara umum
dan lebih luas yaitu tidak
berarti harus ada kehendak
untuk
tiap-tiap
kejahatan.
Berdasar pengertian yang luas
ini, maka tidak perlu perbuatanperbuatan itu sejenis, asal
perbuatan itu dilakukan dalam
rangka pelaksanaan tujuan.
Misalnya untuk melampiaskan

264

balas dendamnya kepada B, A


melakukan
serangkaian
perbuatan-perbuatan
berupa
meludahi, merobek bajunya,
memukul
dan
akhirnya
membunuh.
IV. SISTEM PEMBERIAN PIDANA / STELSEL
PEMIDANAAN
1. Concursus Idealis (pasal 63).
a). Menurut ayat 1 digunakan system
absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu
pidana pokok yang terberat.
Misal : perkosaan dijalan umum,
melanggar pasal 285 (12 th penjara)
dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
Maksimum pidana penjara yang dapat
dikenakan ialah 12 tahun.
b). Apabila Hakim menghadapi pilihan
antara dua pidana poko sejenis yang
maksimumnya sama, maka menurut
VOS ditetapkan pidana pokok dengan
tambahan yang paling berat.
c). Apabila menghadapi dua pilihan antara
dua pidana pokok yang tidak sejenis,
maka penetuan pidana yang terberat

265

didasarkan pada urut-urutan jenis


pidana seperti tersebut dalam pasal 10
(lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi
misalnya memilih antara 1 minggu
penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5
juta rupiah, maka pidana yang terberat
adalah 1 minggu penjara.
d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan
khusus yang menyimpang dari prinsip
umum dalam ayat (1), dalam hal ini
berlaku adagium lex specialis derogate
legi generali Contoh : seorang ibu
membunuh anaknya sendiri pada saat
anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini
dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun
penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara).
Maksimum
pidana
penjara
yang
dikenakan ialah yang terdapat dalam
pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun
penjara.
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada
prinsipnya berlaku system absorbsi
yaitu hanya dikenakan satu aturan
pidana,
dan
jika
berbeda-beda
dikenakan satu aturan pidana, dan jika
berbeda-beda dikenakan ketentuan

266

yang memuat ancaman pidana pokok


yang terberat.
b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan
khusus dalam hal pemalsuan dan
perusakan mata uang. Misal A setelah
memalsu mata uang (pasal 244 dengan
ancaman pidana penjara 15 tahun)
kemudian
menggunakan
/
mengedarkan mata uang yang palsu itu
(pasal 245 dengan ancaman pidana
penjara 15 tahun). Dalam hal ini
perbuatan A tidak dipandang sebagai
concursus
Realis,
tetapi
tetap
dipandang sebagai perbuatan berlanjut
sehingga
ancaman
maksimum
pidananya dapat dikenakan 15 tahun
penjara
c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan
khusus dalam hal kejahatan-kejahatn
ringan yang terdapat dalam pasal 364
(pencurian ringan), 373 (penggelapan
ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407
(1) (perusakan barang ringan) yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila nilai kerugian yang timbul dari
kejahatan-kejahatn
ringan
yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut

267

itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut


pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan
pidana yang berlaku untuk kejahatan
biasa. Berarti yang dikenakan adalah
pasal
362
(pencurian),
372
(penggelapan), 378 (penipuan) atau
406 (perusakan barang).
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a. Untuk concursus realis berupa kejahatan
yang diancam pidana pokok sejenis,
berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan
satu pidana dengan ketentuan bahwa
jumlah maksimum pidana tidak boleh
lebih dari maksimum terberat ditambah
sepertiga.
Misal :
A melakukan 3 jenis kejahatan
yang
masing-masing
diancam
pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9
tahun. Dalam hal ini yang dapat
digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9)
tahun = 12 tahun penjara. Jadi
disini berlaku system absorbsi yang
dipertajam.
A melakukan 2 jenis kejahatan
yang masing- masing diancam
pidana penjara 1 tahun dan 9
tahun. Dalam hal ini, maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan ialah
jumlah ancaman pidananya yaitu

268

10 tahun penjara, karena melebihi


jumlah maksimum pidana untuk
masing-masing kejahatan tersebut.
b. Untuk concursus realis berupa kejahatan
yang diancam pidana pokok tidak
sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua
jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap
kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya
tidak boleh melebihi maksimum piudana
yang terberat ditambah sepertiga,
system ini disebut system Kumulasi
yang diperlunak.
Misal :
1). A melakukan 2 jenis kejahatan yang
masing-masing diancam pidana 9
bulan kurungan dan dua tahun
penjara.
Dalam hal ini semua jenis pidana
(penjara dan kurungan) harus
dijatuhkan. Adapun maksimumnya
adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2)
tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33
bulan. Dengan demikian pidana yang
dijatuhkan misalnya terdiri dari 2
tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
2).

Bagaimanakah dalam hal A


melakukan 2 jenis kejahatan yang

269

masing-masing diancam 6 bulan


penjara dan denda Rp. 1.000,- ?
mengenai hal ini ada dua pendapat :
- Menurut
Noyon
semuanya
harus dijatuhkan yaitu 6 bulan
penjara dan denda Rp. 1.000,-;
- Menurut blok perhitungannya
sbb : pidana denda dijadikan
dulu pidana kurungan pengganti
yaitu maksimum 6 bulan (lihat
pasal 30 KUHP). Dengan
demikian maksimumnya ialah 6
+ (1/3 x 6) bulan = 8 bulan.
Karena semua jenis pidana
harus dijatuhkan maka 6 bulan
ini dipecah menjadi 6 bulan
penjara dan 2 bulan kurungan
pengganti atau sama dengan
1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,(atau dibulatkan menjadi Rp.
334,-_
- Perhitungan blok mengenai
jumlah
pidana
kurungan
pengganti
di
atas
masih
didasarkan pada perhitungan
lama
sebelum
adanya
perubahan pidana denda 15 kali
menurut UU No. 18 tahun 1960.
- Menurut perhitungan lama, tiap
denda 50 sen atau kurang
dihitung sama dengan satu hari

270

kurungan
pengganti,
tetapi
karena menurut pasal 30 (3)
maksimum kurungan pengganti
6 bulan, maka untuk denda Rp.
1.000,- maksimumnya kurungan
penggantinya 6 bulan.
- Dengan
telah
adanya
perubahan pidana denda, maka
1 hari kurungan pengganti
dihitung sama dengan Rp.
7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan
15) jadi untuk denda Rp. 1.000,kurungan penggantinya sama
dengan 134 hari (dibulatkan).
- Dengan demikian apabila diikuti
perhitungan menurut Blok di
atas maka jumlah maksimum 8
bulan dapat dipecah misalnya
menjadi 6 bulan penjara dan 2
bulan kurungan pengganti atau
sama dengan denda 60/134 x
Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
3).

Bagaimanakah dalam hal A


melakukan dua jenis kejahatan yang
terdapat dalam pasal 351 (diancam
pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau
denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360
(diancam pidana 5 tahun penjara
atau 1 tahun kurungan ?

271

Dalam
hal
ini
hakim
harus
mengadakan pilihan hukum terlebih
dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana
yang sejenis, maka digunakan
system absornsi yang dipertajam /
diperberat (pasal 65).
c. Untuk
Concursus
Realis
berupa
pelanggaran, berlaku pasal 70 yang
menggunakan system kumulasi. Misal A
melakukan dua pelanggaran yang
masing-masing
diancam
piadan
kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka
maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15
bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2,
system kumulasi itu dibatasi sampai
maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
Jadi
misal
A
melakukan
dua
pelanggaran
yang
masing-masing
diancam pidana kurungan 9 bulan, maka
maksimum pidana kurungan yang dapat
dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18
bulan, tetapi maksimumnya adalah 1
tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d. Untuk
Concursus
Realis
berupa
kejahatan ringan, khusus untuk pasal
302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482
berlaku pasal 70 bis yang menggunakan
system
kumulasi
tetapi
dengan
pembatan maksimum untuk penjara 8
bulan.
Misal :

272

A melakukan pencurian ringan (pasal


364) dan penggelapan ringan (pasal
373) yang masing-masing diancam
pidana 3 bulan penjara. Maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6
bulan penjara (system kumulasi).
Tetapi apabila A misalnya melakukan 3
kejahatan ringan yang masing-masing
diancam pidana penjara 3 bulan, maka
maksimumnya bukan 9 bulan penjara
(kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.
e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan
maupun pelanggaran untuk diadili pada
saat berlainan, berlaku pasal 71 yang
berbunyi sbb: Jika seseorang setelah
dijatuhi pidana kemudian dinyatakan
salah lagi karena melakukan kejahatan
atau pelanggaran lain sebelum ada
putusan pidana itu, maka pidana yang
dahulu diperhitungkan pada pidana yang
akan dijatuhkan dengan menggunakan
aturan-aturan dalam bab ini mengenai
hal perkara-perkara diadili pada saat
yang sama.
Misal :
A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362,
ancaman
pidana
5
tahun
penjara);

273

Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa


(pasal 351 diancam 2 tahun 8
bulan);
Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480,
diancam 4 tahun penjara);
Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378,
diancam 4 tahun penjara).
Kemudian A ditangkap dan diadili dalam
satu keputusan. Maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5
tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata
untuk keempat tindak pidana itu, hakim
menjatuhkan pidana 6 tahun penjara,
maka jika kemudian ternyata bahwa A
pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada
keputusan) melakukan penggelapan
(pasal 372 yang diancam pidana penjara
4 tahun), maka keputusan yang kedua
kalinya ini untuk penggelapan itu paling
banyak hanya dijatuhi pidana penjara
selama 6 tahun 8 bulan (putusan
sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI)
yaitu 8 bulan penjara.
Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi
pasal 71 diatas dirumuskan secara
singkat sbb :

274

Putusan ke II = (putusan sekaligus)


(putusan ke-I).

BAB XIII
ALASAN / DASAR PENGHAPUS
PIDANA

275

(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of
Impunity)

Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi


tentang
alasan-alasan
yang
mengecualikan
dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU
pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum
dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga,
masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal
yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya
ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan
dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang
tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun
orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan
lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan
demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh
kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu
perkara pidana.
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana
merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat
mengakibatkan seseorang yang telah melakukan
perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak
dihukum, karena :
1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan;

276

2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan


yang melawan hukum.
Bab I dan Bab II KUHP memuat : Alasan-alasan
yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan
pidana.
Pembicaraan selanjutnya akan mengenai
alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang
memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari
KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan
mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut
alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya
seseorang.
M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya


seseorang yang terletak pada diri orang itu
(inwendig), yakni :
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna
atau terganggu karena sakit (pasal 44
KUHP)
b. Umur yang masih muda (mengenai umur
yang masih muda ini di Indonesia dan juga
di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak
lagi merupakan lasan penghapus pidana
melainkan
menjadi
dasar
untuk
memperingan hukuman).

277

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya


seseorang yang terletak di luar orang itu
(uitwendig), yaitu:
a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal
249);
c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);

Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu


pengetahuan
hukm
Pidana
juga
mengadakan
pembedaan sendiri, ialah :
1. Alasan
penghapus
pidana
yang
umum
(starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang
berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut
dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
2. Alasan
penghapus
pidana
yang
khusus
(starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang
hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal
:
I.

Pasal 166 KUHP : Ketentuan-ketentuan


pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku
pada orang yang karena pemberitahuan itu
mendapat bahaya untuk dituntut sendiri
dst Pasal
164 dan 165 memuat ketentuan : bila
seseorang mengetahui ada makar terhadap
suatu kejahatan yang membahayakan

278

Negara dan Kepala Negara, maka orang


tersebut harus melaporkan.
II.

Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang


melakukan kejahatan dan sebagainya.
Disini ia tidak dituntut jika ia hendak
menghindarkan penuntut dari istri, suami
dan sebagainya (orang-orang yang masih
ada hubungan darah).

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan


pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara
dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya
pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut
perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis
alasan penghapus pidana :
a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait
justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar
menghapuskan
sifat
melawan
hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan ini telah
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka
tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar
yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48
(keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan
terpaksa), pasal 50 (peraturan perundangundangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan
(schulduitsluittingsgrond-fait
dexcuse,
entschuldigungsdrund,
schuldausschliesungsgrund).
Alasan
pemaaf
menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa

279

orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum)


dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak
dapat
dipertanggungjawabkan,
meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini
ada alasan yang menghapuskan kesalahan si
pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP
ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab),
pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat
(2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah
jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua
kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar
dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.

ALASAN
KUHP.

PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM

Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus


pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51
KUHP.
TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) :

280

Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak


dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu
karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan
sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab
yang terletak didalam si pembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab
mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap
melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan
suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan
apakah seseorang yang melakukan tindakpidana
ternyata tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44
KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain
yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku
akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan
menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil
tersebut akan disampaikan di muka persidangan.
(Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab
Kemampuan Bertanggung jawab yang membahas
tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana).

DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).


Pasal 48 KUHP menentukan : tidak dipidana
seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong
oleh daya paksa. Apa yang diartikan dengan daya paksa

281

ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa


dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh
pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat.
Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : setiap kekuatan,
setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan. Hal
yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan,
memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang
dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan
mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si
pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat tidak dapat
ditahan menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak
dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan
perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat
dibedakan dalam du hal :
1. vis absoluta (paksaan yang absolut).
2. vis compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat
disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal
ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan.
Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan
dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang
yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan
perusakan benda (pasal 406 KUHP).
Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48
ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah
gedrongen (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu

282

tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan


perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut karena
penagruh daya paksa).
Contoh :
A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di
dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B,
B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan
kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada
paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk
mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya
untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan
menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak
menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap
paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi
sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya,
melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang
secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan.
Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan
hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus
ada keseiombangan.
Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan
dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua
hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini
harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah
bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat
dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang

283

mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata


lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
Paksaan Dario dalam :
Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni
1916 (Arrest tak mau masuk tentara). Dalam Arrest ini,
orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara
hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka
tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti
pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan
yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal
ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun
lima puluhan ada perubahan pandangan.
Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan
keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa
kemungkinannya
masuk
kedalam
alasan
penghapusan pidana yang umum.
Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas
tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat
sampai di mana si pembuat dapat di cela atas
perbuatannya.
KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48
KUHP).
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita
dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan
psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti
sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan

284

darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan


orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut.
Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand
(pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand,
yang diatur dalam pasal 54 SGB.
Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :
I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :
Contoh klasik : papan dari carneades.
Ada dua orang yang karena kapalnya karam
hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan
pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat
menahan dua orang sekaligus. Kalau keduaduanya tetap berpegangan pada papan itu, maka
kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk
menyelamatkan
diri,
seorang
diantaranya
mendorong temannya sehingga yang di dorong
mati tenggelam dan yang mendorong terhindar
dari maut (cerita ini berasal dari CICERO).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat
dipidana, karena ada dalam keadaan darurat.
Mungkin ada orang yang memandang perbuatan
itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun
menurut hukum perbuatan ini karena dapat
difahami bahwa merupakan naluri setiap orang
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

285

II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan


kewajiban hukum. Misal :
1. Orang yang sedang menghadapi bahaya
kebakaran rumahnya, lalu masuk atau
melewati
rumah
orang
lain
guna
menyelamatkan barang-barangnya.
2. Seorang pemilik toko kacamata kepada
seorang yang kehilangan kacamatanya.
Padahal pada saat itu menurut peraturan
penutupan took sudah jam tutup took,
sehingga pemilik took dilarang melakukan
penjualan. Namun karena si pembeli itu
ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat,
sehingga betul-betul dalam keadaan sangat
memerlukan pertolongan, maka penjual
kacamata dapat dikatakan bertindak dalam
keadaan memaksa dan khususnya dalam
keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh
jaksa terhadap putusan hakim yang
menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak
dapat dipidana dan melepas terdakwa dari
segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R
(putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa
ada dalam keadaan darurat. Ia merasa
dalam keadaan seperti itu mempunyai
kewajiban untuk menolong sesame (Arrest
ini disebut Arrest optician).

III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan


kewajiban hukum :

286

a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan


laut)
diperintahkan
atasannya
untuk
melaporkan apakah ada para perwira-perwira
laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat
(kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin.
Dokter tersebut tak mau melaporkan pada
atasan, sebab dengan memberi laporan pada
atasannya ia berarti melanggar sumpah
jabatan
sebagai
dokter
yang
harus
merahasiakan semua penyakit dari para
pasiennya.
Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
Melaksanakan perintah dari atasannya
(sebagai tentara)
Memegang teguh rahasia jabatan
sebagai dokter.
Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih
tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia
tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh
pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1
(satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan
mahkamah tentara tinggi membebaskannya
karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan
tgl. 26 November 1916).
b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu
yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di
dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351

287

membandingkan daya memaksa


noodtoestand sebagai berikut :

dengan

Pada daya memaksa dalam arti sempit si


pembuat
berbuat
atau
tidak
berbuat
dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain
atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada
penentuan kehendak secara bebas. Ia dororng
oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian
kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan
yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada
keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu
keadaan yang berbahaya yang memaksa atau
mendorong dia untuk melakukan suatu
pelanggaran terhadap undang-undang.
BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER
(PASAL 49 AYAT (1)).
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :tidak dapat dipidana
seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa
dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain,
membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap
serangan yang melwan hukum yang mengancam
langsung atau seketika itu juga. Perbuatan orang yang
membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya
sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga
Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan
hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara
dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada

288

waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang


diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat
menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer
atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga
untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para
ahli hukum pidana .
Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :
1. adanya serangan,
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan
pembelaan, melainkan pada serangan yang
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. melawan hukum
b. seketika dan langsung
c. ditujukan pada diri sendiri / orang lain
d. terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan
seksual, dan harta benda
2. ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap
serangan itu. Syarat pembelaan :
a. seketika dan langsung
b. memenuhi
asas
subsidiaritas
&
proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak
ada cara lain selain membela diri dan
proporsionalitas artinya seimbang antara
serangan dan pembelaan.

289

Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi


hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat
seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak
merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju
menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di
fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk
dimiliki sendiri.
Persoalan yang timbul pada serangan ialah :
kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu
berakhir ?
Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka
perbuatan A tersebut, yakni menunggu belum dapat
dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan
serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa,
ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah
mengancam seketika dan langsung berarti bahwa
serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya
serangannya. Sebagai contoh : pembunuh dengan pisau
terhunus menyerbu korbannya.
Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak
menunjukkan akan menembak lagi, tetapi B lalu
membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan
pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi
serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus
dilihat dalam keadaan yang menyertai perbuatan itu.

290

Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak


mungkin ada pembelaan darurat.
Apakah perbedaan
pembelaan darurat ?

antara

keadaan

darurat

dan

1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya


perbenturan
antara
kepentingan
hukum,
kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta
kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam
pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan
oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa
dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam
keadaan darurat hak berhadapan dengan hak,
sedang
dalam
pembelaan
darurat,
hak
berhadapan dengan bukan hak.
2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya
serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus
ada serangan.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak
berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan
sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu
syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative
(pasal 49 ayat (1)).
4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman
pendapat dari pada penulis yakni ada yang
berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada
sebagai alasan pembenar, sedang dalam
pembelaan darurat para penulis memandang
sebagai
alasan
pembenar
ialah
sebagai
penghapus sifat melawan hukum.

291

Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu


perbuatan orang yang disebut putatief noodweer,
disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira
bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus
mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus
di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka
harus diterangkan dalam proses verbal.
BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL
49 AYAT 2 KUHP)
(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela
paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat
kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut
bunyinya : tidak dipidana seseorang yang melampaui
batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu
merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa
yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu.
Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini
harus ada syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan,
melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas
seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1)
KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu
mempunyai hubungan yang erat, maka syarat
pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1)
disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2).

292

Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan


tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat
tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang
langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu
perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini
adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap.
3. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan
karena adanya serangan, dengan kata lain :
antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan
harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan
kegoncangan jiwa yang hebat itu harus
penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat
mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat
apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat
kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa
pada umumnya.
Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan
kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi
sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya
tetap bersifat melawan hukum.
MENJALANKAN
PERINTAH
(PASAL 50 KUHP).

UNDANG-UNDANG

Pasal 50 KUHP menentukan bahwa tidak


dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan. Mulamula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang
dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti
formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau

293

raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan


dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh
alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam
hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa
peraturan
perundang-undangan
itu
menentukan
kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai
pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila
peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban
tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini
diberikan suatu kewajiban.
Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu
diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam
hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat
dijumpai adannya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang
yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk
dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk
dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus
dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam
tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam
pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara
tujuan
yang
hendak
dicapai
dengan
cara
pelaksanaannya.
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang
pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas
karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat
berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan
pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya.
Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-

294

undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50


tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang
dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat
bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini
dipakai pedoman : lex specialis derogate legi generaki
atau lex posterior derogate legi priori. Yang
diperbolehkan
adalah
tindakan
eksekutor
yang
melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.

MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51


AYAT (1) DAN (2)).
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tidak
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk
melaksankan perintah jabatan yang sah, maka orang
dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi
juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya.
Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka
ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh
Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana.
Colonel
polisi
tersebut
berwenang
untuk
memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi
tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah.
Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ? apabila
perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau
kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.

295

Anatar orang yang diperintah dan orang yang


memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada
hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan),
meskipun sifatnya
sementara, misalnya
seperti
permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan
bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51
inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan
wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui
batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan
pembenar.
Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan
perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat
dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan
orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi
pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :
1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah
itu sah.
2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang
dari orang yang diperintah.
Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah
dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator
dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang
dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata
perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi
tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa
perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam
batas wewenangnya.

296

Contoh lainnya :
Seorang kepala kantor memerintahkan kepada
bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna
sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk
dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu
melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ?
perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu
tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan
tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah
sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan
itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa
perintah itu tidak sah.
Catatan :
Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya
Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang
membuta tidak mendisculpeert (tidak patut di pidananya
perbuatan).
Contoh lainnya :
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya
untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan.
Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah
maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang
tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota
polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan
perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah :

297

perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum,


tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia
tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah
merupakan alasan pemaaf.

ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.


Dimuka telah dibicarakan tentang alasan
penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan
pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang
terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada
alasan penghapus pidana, misalnya :
a. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anakanak atau anak didiknya (tuchtrecht);
b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht)
seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik
ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan
kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang
dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau
persetujuan (consent of the victim);
d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang
materiil (arrest dikter hewan);

298

f. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada


arrest susu dan air).
ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS.
Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah
berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan
pembelaan darurat atau dalam menjalankan undangundang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang
sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan
penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan
penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang
tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van
Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana,
apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh
berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada taksi
(avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan
singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada
kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa
tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat
menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi
eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi
factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan
dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief
merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan
pemaaf.

299

BAB XIV
GUGURNYA KEWENANGAN
MENUNTUT DAN MENJALANKAN
PIDANA

A. GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT.


Pada
prinsipnya
kewenangan
melakukan
penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya
tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan
umum dianggap langsung terkena sehingga pihak
yang terkena tindak pidana itu harus menerima
adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak
menghendakinya.
Namun
demikian
terdapat
beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya

300

kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan


menurut KUHP adalah :
a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik
aduan (pasal 72-75 KUHP)
b. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
c. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)
d. Daluwarsa (pasal 78 KUHP)
e. Telah ada pembayaran denda maksimum
kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran
yang hanya diancam dengan denda saja
(pasal 82 KUHP).
Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :
a. Abolisi
b. Amnesti
Delik Aduan.
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya
tidak berhubungan dengan kehendak perorangan
kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya
perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap
anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk
melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama
baik (319) dan lain-lain.
I.

1. Bentuk Delik Aduan

301

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan


dibagi dalam dua bentuk :
a. Delik Aduan Absolut
Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang
yang terkena tindak pidana itu melebihi
kerugian yang diderita oleh umum, maka
hukum memberikan pilihan kepadanya untuk
mencegah atau memulai suatu proses
penuntutan.
Misal :
Seorang perempuan muda yang telah
disetubuhi boleh memilih untuk menikahi lakilaki yang menyetubuhinya daripada pelaku
dijatuhi pidana.
Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara
lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan
cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322
(pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia),
pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak
menyenangkan)
atau
pasal
369
(pengancaman).
b. Delik Aduan relative
Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat
kejahatan yang dilakukan melainkan pada

302

hubungan antara pelaku / pembantu dan


korban. Baik hubungan karena keturunan /
darah atau dalam hal hubungan perkawinan.
Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang
lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi
alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan.
Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik
dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).
II.2. Yang berhak mengadu (subyek).
Ketentuan umum
menentukan :

dalam

pasal

72

KUHP

1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur /


dibawah pengampunan (pasal 72) :
Oleh wakil yang sah dalam perkara
perdata;

Wali pengawas / pengampu

Istrinya

Keluarga sedaraj garis lurus

Keluarga sedarah garis menyimpang


sampai derajat ke-3

2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :

303

Orang tuanya

Anaknya, atau

Suami / istri (kecuali ybs tidak


menghendaki).

Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada


pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya :
Untuk perzinahan (pasal 284).
Yang berhak mengadu hanya suami / istri
yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73
diatas tidak berlaku).
Penarikan kembali pengaduan dapat
dilakukan,
sewaktu-waktu,
selama
pemeriksaan dalam siding pengadilan
belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal
75 KUHP tidak berlaku.
Untuk melarikan wanita (pasal 332)
Yang berhak mengadu :
Jika belum cukup umur oleh : wanita
ybs, atau orang yang harus memberi
ijin bila wanita itu kawin
Jika sudah cukup umur, oleh : wanita
ybs, atau suaminya.

304

II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal


74)
a. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan
sejak mengetahui
b. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan
sejak mengetahui adanya kejahatan.
II.4. Penarikan kembali aduan.
Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta
merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan
penuntutan dilakukan secara final. Memang
selayakanya pengaduan mencakup pelaporan
(aangifte) dengan permohonan dilakukannya
penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila
pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya
jaksa penuntut umum tak perlu menunggu
lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun
undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan
(pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik
kembali, maka kewenangan menuntut menjadi
hapus.
B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah tidak atau
jangan dua kali yang sama. Sering juga digunakan
istilah nemodebet bis vexari (tidak seorangpun atas

305

perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk


kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon
diterjemahkan menjadi No one could be put twice in
jeopardy for tha same offerice.
Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
a) Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk
tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
b) Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah
mendapat keputusan.
Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam
rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub
1) sbb :
Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin
diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua
kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia
terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang
berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang
dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi
syarat-syarat sbb :
Ada putusan yang berkekuatan hukum
tetap;
Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan
adalah sama;

306

Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah


sama dengan yang pernah diputus
terdahulu itu.

Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan


tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya
hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk
merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa
peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah
satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang
tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining
merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in
idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat
ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu
memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum
yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum
yang kedua kali.

B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum


tetap;
Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap)
yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap
perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
I.

Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP


(dulu 313 RIB).

307

II.

Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag


van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2)
KUHAP (dulu 314 RIB);

III.

Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP


(dulu 315 RIB).

Jadi
keputusan-keputusan
tersebut
sudah
mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak
pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem
tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum
berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya
disebut
penetapan-penetapan
(beschikking),
misalnya :
a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk
memeriksa perkara yang bersangkutan;
b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa
karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
c. Tetang tidak diterimanya perkara
penuntutan sudah daluwarsa.

karena

Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak


merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi
pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapanpenetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusanputusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah

308

putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi


keputusan mengenai hukum pidana.
Apabila misalnya seorang pengendara motor
menabrak penjual soto dan dia dituntut secara
perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan
hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk
dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya.
Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah
perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak
merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara
gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya
berlaku untuk perkara-perkara pidana.
Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is
in idem ini tidak hanya keputusan hakim Indonesia,
tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim
asing). Hal ini disebut dalam pasal 76 (2) dengan
syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :
a) Putusan yang berupa pembebasan;
Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila
keputusan
hakim
asing
yang
berupa
pemidanaan baru sebagian dijalani, maka
orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi.
Dalam pengertian telah dijalani seluruhnya
putusan hakim asing itu, menurut Pompe

309

termasuk
pidana
bersyarat
(V.V.
=
voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan
bersyarat
(V.I.
=
voorwaardelijke
invrijheidstelling).
b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan
hukum;
Orang yang dituntut harus sama. Ini
merupakan segi subyektif dari persyaratan neb
is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan
tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang
tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka
dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap
masih dapat dituntut walaupun misalnya A
dibebaskan.
c) Putusan berupa pemidanaan :
- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau
-

Yang telah diberi ampun (grasi), atau;

Yang wewenang untuk menjalankannya


telah hapus karena kadaluwarsa.

B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama


dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi
obyektif dari neb is in idem (objective identiteit).

310

Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar,


seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan
tindak pidana.
Misal :
A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285
dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut
berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata
tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala
tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut
yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar
kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang
pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is
in idem)?
Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau
berkisar pada apa yang dimaksud dengan feit. Kalau
kasus diatas dipandang sebagai concursus realis,
sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan
beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada
penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang
sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang
ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan
adanya satu kali penuntutan saja.
Catatan :
-

Apabila dipandang sebagai concursus


realis, maka tidak ada neb is in idem;

311

Apabila dipandang sebagai concursus


idealis, maka ada neb is in idem;

Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is


in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu
dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat
umum mengganggu ketentraman umum, telah
memukul dada dan menendang kaki seorang anggota
polisi yang sedang menjalankan tugasnya.
Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena
menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh
jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman
umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan
kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa
dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan
tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa
mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan
mengatakan
bahwa
perbuatan
terdakwa
itu
merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut
hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang
sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat
disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri
yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat
diterima.

312

Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping


berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga
berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam
tuduhan dapat meliputi masalah :
a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :
Misal : perbuatan A sebenarnya dapat
dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :
1) Dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain (pasal 338),
2) Karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain (pasal 359),
3) Dengan sengaja menganiaya yang
berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).
b. Waktu terjadinya tindak pidana
Misal seorang dituntut telah melakukan
pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam
surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979.
apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan
pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak
dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul.
Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini
sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat
mengajukan permintaan unutk merubah surat
tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya
tetap.

313

c. Tempat terjadinya tindak pidana.


Misal semula terdakwa dituduh mencuri di
taman Diponegoro, kemudian dibebaskan.
Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi.
Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya
dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro.
Disinipun ada neb is in idem.
Kesukaran
dan
ketidakpastian
yang
ditimbulkan oleh perkataan feit dirubah
menjadi strafbaar feit. Dengan perubahan ini
menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih
mudah. Namun diakui bahwa itu berarti
menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya
kemungkinana penuntutan kembali menjadi
longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan
dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan
kepentingan umum dari pada mengulangi
percobaan untuk penerapan undang-undang
pidana dengan setepat-tepatnya.
C. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA
TERPIDANA (PASAL 83).
Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang
dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan
pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini
tidak ada suatu tanggungjawab pidana diwariskan.
Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa
kematian
seorang
tersangka
atau
terdakwa

314

menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut


menjadi gugur. Sementara kematian seseorang
terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan
pidana menjadi terhapuskan.
D. DALUWARSA (VERJARING).
D.1 Daluwarsa Penuntutan.
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan
dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh
beberapa pemikiran yaitu :
Dalam kenyataannya perputaran waktu
tidak
hanya
secara
perlahan
menghapuskan akibat tindak pidana yang
terjadi akan tetapi juga mengahpuskan
keinginan untuk melakukan pembalasan.
Berjalannya
waktu
sekaligus
menghapuskan jejak-jejak tindak pidana
yang menyebabkan kesulitan pembuktian.
Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun
menyembunyikan diri sudah cukup
terhukum dengan kehidupan yang tidak
tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu
adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan
pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu
adagium punier non (simper) necesse est

315

(menghukum tidak selamanya perlu) menajdi


dasar dari keberadaan lembaga ini.
D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam
pasal 78 (1), yaitu :

Untuk semua pelanggaran dan kejahatan


percetakan : sesudah 1 tahun;
Untuk kejahatan yang diancam denda,
kurungan atau penjara maksimum 3 tahun :
daluwarsanya sesudah 6 tahun;

Untuk kejahatan yang diancam pidana


penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12
tahun;

Untuk kejahatan yang diancam pidana mati


atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah
18 tahun.

Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai


berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan,
kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam
pasal tersebut yang menyangkut vorduurende
delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan
dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur
dalam pasal 79 adalah :

316

Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244)


perhitungan daluwarsa didasarkan pada
waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;
Kejahatan
terhadap
kemerdekaan
seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333),
daluwarsa dihitung keesokan hari setelah
orang tersebut dibebaskan atau ditemukan
meninggal dunia;
Kejahatan terhadap register kependudukan
(pasal 556-558 a), sehari setelah data
tersebut dimasukkan dalam catatan register.

D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.


a. Pencegahan (stuiting).
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa
terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada
tindakan penuntutan (daad van vervolging).
Pada
mulanya
tindakan
penuntutan
diartikan secara luas yaitu mencakup juga
tindakan-tindakan pengusutan (daad van
opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian
menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu
hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum
yang langsung menyangkutkan hakimdalam
acara pidana (misal menyerahkan perkara
ke siding, mendakwa / mengajukan
tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan
pengusutan tidak lagi dianggap termasuk
tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2)

317

sesudah terjadinya pencegahan (stuiting)


mulai berjalan tenggang daluwarsa yang
baru, jadi selama terhentinya selama ada
tindakan penuntutan tenggang waktunya
tidak dihitung.
b. Penangguhan (scorsing).
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa
penuntutan
tertunda/tertangguhkan
(geschorst) apabila ada perselisihan
praejudisiil, yaitu perselisihan menurut
hukum perdata yang terlebih dulu harus
diselesaikan sebelum acara pidana dapat
diteruskan.
Dalam
hal
ada
penundaan/pertangguhan (schorsing) maka
tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum
diadakannya
penundaan,
tetap
diperhitungkan terus. Hanya saja selama
acara hukum perdata berlangsung dan
belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan
pidana,
dipertangguhkan.
Hal
ini
dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi
kesempatan
untuk
menunda-nunda
penyelesaian perkara perdatanya dengan
perhitungan dapat dipenuhinya tenggang
daluwarsa penuntutan pidana.
D.2. Daluwarsa Pemidanaan.

318

Sama dengan daluarsa penuntutan maka


landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan
didasarkan kepada dua hal yaitu :
1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak
hanya secara perlahan menghapuskan
akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi
juga menghapuskan keinginan unutk
melakukan pembalasan
2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun
menyembunyikan
diri
sudah
cukup
terhukum dengan kehidupan yang tidak
tenang dan penuh kecemasan.
Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan
pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.
D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam
pasal 84 (2), yaitu :
untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2
tahun.
Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya
5 tahun.
Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya
sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat
pasal 78 ) ditambah sepertiga.
Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :

319

tidak ada daluwarsa untuk


mejalankan hukuman mati.

kewenangan

Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa


dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah
putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama
dengan putusan hakim yang inkracht van
gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap).
Pada umumnya memang putusan hakim yang
berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan
hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum
keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu verstekvonnis (keputusan diluar hadirnya terdakwa).
D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa
Pemidanaan.
a. pencegahan (stuiting)
pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa
hak untuk menjalankan / mengeksekusi
pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85
ayat (2)) yaitu :
1) Jika terpidana melarikan diri selama
menjalani pidana.
Dalam hal ini, tenggang daluwarsa
baru dihitung pada keesokan harinya
setelah melarikan diri.

320

2) Jika pelepasan bersyarat dicabut


Dalam hal ini, maka pada esok
harinya setelah pencabutan, mulai
berlaku tenggang daluwarsa baru.
Dengan demikian selama ada pencegahan,
maka jangka lewat waktu yang telah dilalui
hilang sama sekali (tidak dihitung).
b. penagguhan (schorsing).
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa
hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi
dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :
selama perjalanan pidana ditunda
menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
selama
terpidana
dirampas
kemerdekaannya (ada calon tahanan),
walaupun perampasan kemerdekaan itu
berhubung dengan pemidanaan lain.
A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan
Menjalankan Pidana di luar KUHP.
E.1. Grasi.
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs.
Keputusan
hakim
tetap
ada,
tetapi
pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi /

321

diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat


berupa :

Tidak mengeksekusi seluruhnya,


Hanya mengeksekusi sebagian saja

Mengadakan
komutasi
yaitu
jenis
pidananya diganti, misal penjara diganti
kurungan, kurungan diganti dengan denda,
pidana mati diganti penjara seumur hidup.

Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink


adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan
putusan tidak atau kurang diperhatikan atau
mungkin pertimbangan dan yang bila (secara
memadai
sebelumnya
ia
keathui,
akan
mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan
lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi
sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala
hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan
mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu
sendiri.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undangundang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal
2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi
terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara
seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun.
Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya
dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :

322

I. Terpidana
yang
pernah
ditolak
permohonan grasinya dan telah lewat
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
penolakan permohonan grasi tersebut;
II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari
pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup dan telah lewat waktu 2
(dua) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak
menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa
hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan
persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali
dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati,
permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga
terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6
ayat (3)).
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh
terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya
kepada Presiden. Salinan permohonan grasi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
disampaikan kepada pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan
kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi
dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat

323

(1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana


melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan
menyampaikan
permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan
salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama paling
lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya
permohonan grasi dan salinannya.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh)
haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan
permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan
salinan permohonan dan berkas perkara
terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
permohonan dan berkas perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung
mengirimkan pertimbangan tertulis kepada
Preisden. Presiden memberikan keputusan atas
permohonan grasi setelah memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu
pemberian atau penolakan grasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan
Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat
berupa pemberian atau penolakan grasi.

324

E.2. Amnesti.
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan
umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan
perundang-undangan) yang memuat pencabutan
senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu
atau satu kelompok delik tertentu, demi
kepentingan semua terpidana maupun bukan,
terdakwa
ataupun
bukan,
mereka
yang
identitasnya diketahui ataupun tidak namun
bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh
karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase
ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan)
maupun post sentantiam (pasca proses
ajudikasi).
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan
politik.
E.3. Abolisi.
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi
merupakan hak prerogative presiden yang
ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Abolisi mengandung pengertian penghapusan
yang diberikan kepada perseorangan yang
mencakup
penghapusan
seluruh
akibat
penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan,
termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan
demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan

325

dengan dilepaskannya kewenangan melakukan


penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang
sudah dimulai.

326

BAB XV
RESIDIVE
( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)
1. PENGERTIAN
Residive atau pengulangan terjadi apabila
seseorang yang melakukan suatu tindak pidana
dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
( MKHT) atau in kracht van gewijsde, kemudian
melakukan tindak pidana lagi.
Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah
pada Residive sudah ada putusan Pengadilan
berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan
pada
Concursus Realis terdakwa melakukan
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan
sang satu dengan yang lain belum ada putrusan
Pengadilan yang MKHT.
Residive
merupakan
alasan
untuk
memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam
ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive
ini, yaitu :

1. Sistim Residive Umum

327

Menurut sistem ini, setiap pengulangan


terhadap jenis tindak pidana apapun dan
dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan
alasan untuk memperberat pidana yang akan
dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak
pidana dan tidak ada daluwarsa dalam
residivenya.

2. Sistem Residive Khusus


Menurut sistem ini tidak semua jenis
pengulangan merupakan alasan pemberatan
pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis
tindak pidana tertentu dan yang dilakukan
dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

2. MENURUT KUHP
Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak
diatur secara umum tetapi diatur secara khusus
untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan
syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu.
Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam
sistem Residive Khusus.

328

a. Residive Kejahatan.
Residive terhadap kejahatan dalam pasal :
137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2),
208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis
(2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila
ada pengulangan menjadi alasan pemberat.
Perlu diingat bahwa mengenai tenggang
waktu dalam residive tersebut tidak sama,
misalnya :
i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303
bis dan 321 tenggang waktunya
dua tahun ;
ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393
tenggang waktunya lima tahun.
iii. Sedangkan untuk residive yang
diatur dalam Pasal 486, 477 dan
488 KUHP mensyaratkan bahwa
tindak pidana yang diulangi
termasuk dalam kelompok jenis
tindak pidana tersebut.
b. Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis
tindak pidana, yaitu :
Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517,
530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.

329

Syarat-syarat
Recidive
pelanggaran
disebutkan dalam masing-masing pasal
yang bersangkutan.

3. RECIDIVE DI LUAR KUHP


Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam
Undang-Undang:
i. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997),
Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang
waktu lima tahun. Ancaman pidana
ditambah sepertiga
ii. Tindak
Pidana
Psikotropika
(UU
No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana
ditambah sepertiga.

330

SOAL UJIAN
DAFTAR PERTANYAAN
MATERI DIKLAT
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
1. Ruang berlakunya hukum pidana dapat
dibedakan menurut waktu dan menurut tempat.
Jelaskan dimana diatur ruang berlakunya
hukum pidana di dalam KUHP dan di luar
KUHP ?
2. Menurut Prof. Moeljatno apa saja yang menjadi
unsur dari suatu perbuatan pidana ?.
3. Apa pentingnya bagai Jaksa memahami
pengertian unsur-unsur tindak pidana ?.
4. Siapa yang dimaksud sebagai Pelaku (dader)
menurut pasal 55 KUHP ?.
5. Apa yang dimaksud dengan Recidive ?

Anda mungkin juga menyukai