DAFTAR ISI
Kata
Pengan
tar
Pendah
uluan
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
BAB VII
BAB
VIII
BAB IX
BAB X
BAB XI
.
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
TINDAK PIDANA
..14
HUBUNGAN
SEBAB
AKIBAT
(CAUSALITEIT,
CAUSALITAT)
...
SIFAT
MELAWAN
HUKUM
(RECHTSWDRIG,
UNRECHT,
WEDERRECHTELIJK,
ONRECHMATIG)..
KESALAHAN
DAN
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
...
KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT,
OPZET, VORATZ)
KEALPAAN
(CULPA)
KESALAHAN
DALAM
DELIK
PELANGGARAN..
PIDANA
DAN
PEMIDANAAN
(HUKUM PENITENSIER)
PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)
PENYERTAAN
..25
..33
..41
..49
..61
..67
..69
..79
BAB XII
BAB
XIII
BAB
XIV
BAB
XV
SOAL
UJIAN
...
GABUNGAN
TINDAK
PIDANA
(SAMENLOOP/
CONCURSUS)
..
ALASAN/DASAR
PENGHAPUS
PIDANA
(STRAFUITSLUITINGSGROND,
GROUNDS
OF
IMPUNITY)
.
GUGURNYA
KEWENANGAN
MENUNTUT DAN MENJALANKAN
PIDANA
..
R E S I D I V E ( PENGULANGAN
TINDAK PIDANA).
..94
111
118
128
140
142
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini
sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab,
mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak
segi, yang masing-masing mempunyai arti sendirisendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan
dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri
dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit.
Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh
seseorang telah merugikan masyarakat dan
pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang
tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu,
tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan
pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya
represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan.
Perlunya pemahaman terhadap teori-teori
serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi
peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan
Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul
mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan
agar
peserta
Pendidikan
dan
Pelatihan
m. Alasan
/
dasar
penghapus
pidana
(straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)
n. Gugurnya
kewenangan
menjalankan pidana.
menuntut
dan
V. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam
proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum
pidana antara lain :
a)
b)
c)
d)
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
A. RUANG
BERLAKUNYA
HUKUM
PIDANA
MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu perundangundangan pidana berkaitan dengan waktu dan
tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya
hukum
pidana
menurut
waktu
menyangkut
aturan
perundang-undangan
yang
telah
ada
terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD
1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar
1945 yang berbunyi : Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Karenanya asas ini dapat pula
dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh
Anselm von Feuerbach dalam teori : vom
psychologishen
zwang
(paksaan
psikologis)
undang-undang)
Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa
perbuatan pidana)
Nullum crimen sine
perbuatan
pidana
poena
tanpa
legali
(tiada
undang-undang
menentukan
perbuatan yang
peraturan
dilarang di dalam
bukan
macamnya
perbuatansaja
tentang
perbuatan
yang
macamnya
pidana
yang
diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang
yang akan melakukan perbuatanyang
dilarang itu telah mengetahui terlebih
dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan
kepadanya
jika
nanti
melakukan perbuatan;
betul-betul
10
Andaikata
melakukan
dilarang,
juga
maka
menyetujui
dia
ternyata
perbuatan
dinpandang
pidana
yang
yang
dia
akan
dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang
dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang. Hal ini
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi,
akan tetapi diperbolehkan penggunaan
penafsiran ekstensif.
3) Aturan-aturan hukum
berlaku surut.
pidana
tidak
11
dapat
dipidana
kecuali
ada
suatu
Analogi
undang-undang
hanya
dilakukan
BERLAKUNYA
HUKUM
PIDANA
12
nasional
menurut
tempat
terjadinya.
hukum
pidana
pidana
wilayah
Negara.
disebut menganut
Pandangan
asas personal
ini
atau
pidana
menurut
ruang
tempat
dan
13
I.
II.
III.
IV.
Asas Teritorial.
Asas Personal (nasional aktif).
Asas Perlindungan (nasional pasif)
Asas Universal.
KUHP
Ketentuan
yang
pidana
menyatakan
dalam
perundang-
dan
ketentuan
ini
sudah
pada
terjadinya
perbuatan
siapa
pelakunya,
14
nasional
yang
aktif)
menitik
pidana,
mempermasalahkan
tempat
tidak
terjadinya
tunduk
dan
peraturan-peraturan
patuh
kepada
hukum
Negara
15
bentuk
khusus
dari
alat
16
keluarganya.
Pejabat-pejabat perwakilan asing
dan keluarganya.
Pejabat-pejabat
Negara
asing
pemerintahan
yang
berstatus
terpimpin.
Pejabat-pejabat
Internasional.
Kapal-kapal perang dan pesawat
badan
sama-sama
berdaulat.
17
tindak
pidana
dan
tindak
tersebut
maka
berarti
di
melakukan
luar
perbuatan
Indonesia
pidana
yang
tertentu
Ketetentuan
pidana
perundang-undangan
dalam
Indonesia
satu
kejahatan
yang
pidana
dalam
18
perundang-undangan
Indonesia
dipandang
kejahatan,
sebagai
Negara
dimana
juga
jika
terdakwa
KUHP
memuat
asas
melindungi
19
wilyah Indonesia tersebut hanya pasalpasal tertentu saja, yang dianggap penting
sebagai
perlindungan
terhadap
merupakan
kejahatan
atau
mungkin
pembagian
tindak
20
dilakukan
sedangkan
diancam
menurut
dengan
KUHP
pidana,
Indonesia
butir
KUHP
adalah
untuk
dijatuhkan
menurut
KUHP
21
asas
personal
tidak
lagi
pidana
nasional
terhadap
ditambah
KUHP (seteleh
berdasarkan
diubah
dan
Undang-undang
pidana
undangan
dalam
perundang-
104,
atau
106,
mengenai
uang
kertas
107,
mata
yang
mengenai
materai
yang
22
dikeluarkan
digunakan
dan
oleh
Indonesia;
3. Pemalsuan
surat
merek
yang
Pemerintah
hutang
atau
itu,
dan
tanda
yang
23
mengancam
keselamatan
penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas
melindungi kepentingan yaitu melindungi
kepentingan
kepentingan
nasional
dan
melindungi
internasional
(universal).
disebutkan
melindungi
karena
pasal
memberlakukan
kepentingan
4
KUHP
ini
perundang-undangan
yang
merugikan
keamanan
Negara
martabat
Republik
dan
/
kejahatan
terhadap
kehormatan
Presiden
Indonesia
dan
Wakil
24
mengenai
uang
atau
pemalsuan
uang
kertas
yang
digunakan
oleh
hutang
atau
sertifkat-
pengecualian-pengecualian
internasional.
Bahwa
dalam
asas
Negara
di
dunia
wajib
turut
25
melindungi
kepentingan
negara
mana
yan
dibajak.
Indonesia
atau
pesawat
terbang
26
pembajakan
kapal,
terbang
adalah
pesawat
laut
atau
mengenai
adalah
mengenai
kepemilikan
asas
melindungi
kepentingan
Pasal 7 KUHP
Ketentuan
pidana
dalam
perundang-
27
dimaksudkan
dalam
Bab
XXVIII
Buku
Kedua.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang
sebagian besar sudah diserap menjadi tindak
pidana
korupsi.
Akan
tetapi
pasal-pasal
No.
31
Tahun
1999
tentang
28
pidana
dalam
perundang-
sekalipun
melakukan
salah
di
satu
luar
perahu,
tindak
pidana
di
Indonesia,
maupun
dalam
diundangkannya
tindak
ordonansi perkapalan.
Dengan
telah
kejahatan
terhadap
sarana
29
kejahatan
penerbangan
sudah
diakui
dalam
hukum-hukum
internasional.
Menurut
Moeljatno,
pada
umumnya
30
di
suatu
Negara,
teritoir
kapal
Negara
peran
yang
mempunyainya
4) Tentara Negara asing yang ada di
dalam
wilayah
Negara
dengan
31
BAB III
TINDAK PIDANA
a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para
sarjana
tentang
pengertian
Tindak
pidana
barang
siapa
yang
melanggar
aturan
tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana.
Larangan
ditujukan
kepada
perbuatan
oleh
ancaman
kelakuan
orang),
pidana
ditujukan
32
pengertian
perbuatan
pidana
pandangan
monistis
yang
tidak
membedakan keduanya.
b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Dalam suatu peraturan perundang-undangan
pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
Sedangkan menurut Moeljatno Tindak pidana
33
melanggar
larangan
tersebut.
Untuk
dirumuskan
dalam
peraturan
Dalam
rumusan
tersebut
ditentukan
tindak
pidana
atau
tidak
berbuat
atau
membiarkan).
Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
Melawan hukum (onrechtmatig)
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in
verband staand)
34
harus
dilakukan
dengan
kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan
akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
35
Sementara
menurut
Moeljatno
unsur-unsur
perbuatan pidana :
Perbuatan (manusia)
Yang memenuhi rumusan dalam undangundang (syarat formil)
Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno
terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur
pegawai negeri yang diperlukan dalam
delik jabatan seperti dalam perkara
tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3
Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang pegawai negeri yang menerima
hadiah. Kalau yang menerima hadiah
36
bukan
pegawai
negeri
maka
tidak
memperingan
atau
memperberat
yang
menentukan
permufakatan
jahat
untuk
dengan
memberitahukannya
sengaja
kepada
tidak
pejabat
37
yang
terancam,
diancam,
apabila
apabila
mengetahui
akan
melapor
melakukan
baru
dapat
perbuatan
dikatakan
pidana,
jika
yang
dapat
tanpa
diberikan
selayaknya
38
penganiayaan
tersebut
39
hukum
atau
sifat
pantang
kekerasan
atau
ancaman
40
untuk
memilikinya
secara
melawan hukum.
Pentingnya
pengertian
pemahaman
unsur-unsur
Sekalipun
terhadap
tindak
pidana.
permasalahan
tentang
unsur-unsur
tindak
pidana
dari
yurisprudensi
yan
dan
jaman,
akan
diberikan
penjelasan
sehingga
41
memudahkan
aparat
penegak
hukum
dengan jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa
yang menggambarkan uraian unsur tindak
pidana yang didakwakan sesuai dengan
pengertian / penafsiran yang dianut oleh
3)
didakwakan;
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk
membuktikan unsur tindak pidana. Biasa
terjadi
bahwa
suatu
alat
bukti
hanya
42
5) Mengarahkan
jalannya
penyidikan
atau
pembuktian
dipertanggungjawabkan
akan
dapat
secara
obyektif
dianut
dalam
doktrin
atau
dan
43
dalam
dan
kelompok
dalam
pertama
kelompok
kedua
mencari
secara
pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan
keadilan,
terlepas
apakah
benar-benar
masyarakat
sebagai
dirasakan
oleh
bertentangan
Delik-delik
semacam
ini
44
2. Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru
disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai
delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal :
memarkir mobil di sebelah kanan jalan
(mala
quia
semacam
prohibita).
ini
disebut
Delik-delik
pelanggaran.
dalam
undang-undang
yang
ada
benar-benar
45
sebagai
kejahatan-kejahatan
delik
dititikberatkan
yang
kepada
selesai
perbuatan
dengan
seperti
rumusan delik.
dilakukannya
tercantum
dalam
46
perasaan
kebencian,
permusuhan
atau
palsu
pemalsuan
surat
(pasal
(pasal
242
KUHP);
263
KUHP);
yang
commisionis
per
ommisionen
commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa
pelanggaran
terhadap
larangan,
ialah
47
pertolongan
KUHP).
c. Delik
commisionis
(pasal
per
531
ommisionen
Misal
seorang
ibu
yang
wissel
yang
menyebabkan
48
dan
delik
berangkai
delik,
yang
apabila
baru
dilakukan
terus,
misal
merampas
49
(pasal
284
KUHP),
chantage
ada
hubungan
istimewa
antara
si
karena
hutangnya
kepada
A.
tidak
membayar
Laporan
hanya
ada
gequalificeerde
delicten)
geprevisilierde
50
Delik
yang
ada
pemberatannya,
misal
363).
Ada
delik
yang
ancaman
darurat tentang
tindak pidana
ekonomi.
d. SUBYEK TINDAK PIDANA
Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur
pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,
pada dasarnya yang dapat melakukan tindak
pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
51
dapat
diganti
52
dapat berupa
sesuatu
Seorang
fungsi
anggota
dalam
sesuatu
pengurus
dapat
juga
ada
pasal
lain
yang
53
Akan
tetapi
ajaran
ini
sudah
(S.1948-144)
pengendalian
harga
dan
Ordonansi
(S.1948-295)
terdapat
UU
Darurat
tentang
pengusutan,
54
pidana,
ya
bahkan
kadang-kadang
55
tindak
pidana
dilakukan
oleh
korporasi.
BAB IV
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
(CAUSALITEIT, CAUSALITAT)
suatu
56
A. Kausalitas
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara
materiil
(selanjutnya
disebut
delik
materiil),
57
dimana
pembahayaan
atau
kepentingan hukum.
Hubungan
dapat
berupa
perkosaan
suatu
terhadap
sebab
akibat
ini
terjadi
karena
ini
tidak
hanya
terdapat
dalam
dagang
misalnya
dalam
persoalan
asuransi.
Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan
ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.
Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap
58
teori
kausalita.
Teori-teori
hendak
Akibat
kongkrit
harus
tidak
bisa
boleh
sesudah
kejadian
A,
belum
tentu
maka
tidak
akan
terjadi
akibat
59
logika.
Dalam
hubungan
ini
baik
teori
dengan
sebaik-baiknya.
dijelaskan,
bahwa
harus
hubungan
pidana.
kausal
dan
dibedakan
pertanggung
Di
sini
antara
jawaban
60
sebab
tiap-tiap
sebab
sebenarnya
seterusnya.
Berhubungan
dengan
faktor
yang
menimbulkan
akibat
itu
membatasi
lingkungan
berlakunya
61
sebab
yang
paling
menentukan
dari
merupakan
syarat
belaka.
Penganut-
disebut
Ubergewichtstheorie)
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan
adalah
identik
dengan
perubahan
dalam
62
syarat
terakhir
keseimbangan
dan
yang
menghilangkan
memenangkan
faktor
positif itu.
umumnya
dapat
menimbulkan
akibat
(teori
Contoh-contoh
adequate,
tentang
Ada-quanzttheorie).
ada
atau
tidaknya
63
yang
menyetir
mobil
terpaksa
yang
membelok,
disangka-sangka
Pengendara
oleh
mobil
ini
sedang
ini
pengendara
mendapat
tidak
mobil.
penyakit
bahwa
perbuatan
pengendara
(hooi),
dimana
secara
kebetulan
Jawabannya
tergantung
dari
64
itu
pada
umumnya
cocok
untuk
si
pembuatlah
yang
menentukan).
2. Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu
dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau
hal-hal
yang
secara
obyektif
kemudian
yang
diketahui
diketahui
oleh
atau
sipembuat,
yang
dapat
melainkan
65
objektive
nachtragliche
Prognose
(Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat
subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan
tentang
kesalahan);
oleh
karena
itu
dapat
terjadinya
akibat
itu;
jadi
teori
kausalitas
dalam
arti
yang
sesungguhnya.
Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci
pekerjanya,
tetapi
tidak
berani
66
dan
pekerjanya
itu
mati
disambar petir.
Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya
pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka
ia
tidak
mati.
Konsekwensi
ini
umumnya
apabila
dipakai
teori
adequate.
Penyambaran
petir
adalah
hal
yang
67
itu
terdiri
atas
persangkaan,
biasa
dan
normal.
Ini
kesimpulan
ikhwal
yang
berada
dan
menurut
strekking
untuk
menimbulkan
terhadap
teori-teori
kausalitas
apakah
sesuatu
perbuatan
itu
68
merupakan
sebab
dimaksudkan
dari
dalam
sesuatu
rumusan
akibat
yang
delik
yang
bersangkutan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu
dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu
mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan
hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang
membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut
maka hukum pidana harus membuat pagar terhadap
perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan
kerugian.
Dalam
hal
ini
teori
adequat
dapat
misalnya
biasanya,
kadar,
pengalaman
nyata
teori
mana
yang
dipakai.
69
si
ayah
dapat
disebut
syarat
70
(stuur)
dan
membiarkan
pengemudi
perbuatan
terdakwa
dan
terjadinya
peringatan-peringatan
dari
71
orang
tidak
berbuat
bisa
72
disebut sebagai
sebab ialah
kereta
api
karena
tidak
sulit
dilihat
hubungannya
antara
73
dari
sesuatu
akibat,
apabila
ia
nyata-nyata
tertulis
dalam
suatu
sebagai
ikut
berbuat
dalam
pembunuhan ?
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober
1883):
tidak,
tetapi
memang
sikap
74
yang
diharapkan
untuk
75
BAB IV
SIFAT MELAWAN HUKUM
(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,
Onrechmatig)
A.
76
a.
b.
dengan
istilah
lain
misalnya
tanpa
dengan
tegas,
yang
berhak
atau
77
delik
sebagaimana
dirumuskan
dalam
ialah
unsur
seluruhnya
dari
delik
dalam
arti
sempit
ini
terdiri
atas
delik
(tatbestandsmaszig)
itu
tidak
78
seorang
terhukum
yang
telah
dijatuhi
Di
dalam
kedua
contoh
tersebut
hal
yang
79
seorang
menembak
mati
temannya
atas
perbuatan.
Contoh
lain
yang
adat
ini,
maka
Mamak
dari
orang
tersebut
untuk
dimintai
mau
didobrak.
membuka
pintu
rumahnya
pintu
80
yang
membahayakan
peternakan.
Belanda : Pasal 82
81
dengan
tegas-tegas
menyebut
adanya
bersangkutan
perbuatan
yang
tidak
secara
berlaku
letterlijk
terhadap
memenuhi
rumusan delik.
Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum
Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana
membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua
sudut pandang yaitu :
1.
perbuatan
diancam
pidana
dan
82
undang;
sedang
sifat
melawan
hukumnya
bertentangan
dengan
undang-undang
(hukum tertulis).
Menurut Simons, Memang boleh diakui, bahwa
suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam
sesuatu
undang-undang
itu
tidaklah
mutlak
pengecualian
berlakunya
ketentuan
83
bertentangan
dengan
undang-undang
sebagaimana
para
sarjana
yang
kepentingan
hukum
hanyalah
tujuan
ketertiban
hukum
(den
84
Zu Dohna mengatakan :
Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika
perbuatan itu merupakan upaya yang haq
untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum
techten zwecke). Contohnya ialah seorang
yang memukulpemuda yang memperkosa
anak perempuannya. Di sini menurut Zu
Dohna
perbuatan
ayahnya
tidak bersifat
melawan hukum.
c)
85
d)
Zevenbergen
Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum,
obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya
ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang, tetapi mengenai
hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian
yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh
ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan
mengenai sifat melawan hukum maka tidak
boleh ada penjatuhan pidana.
e)
Van Hattum
Dengan adanya keputusan Hoge Raad
tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :
dengan itu menurut hemat saya (mer van
Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan
hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan
telah dipecahkan persoalan mer azas-azas
yang boleh dikatakan benar dalam ajaran
penentuan
hukum
dewasa
ini
(in
de
86
hukum
berdasarkan
petunjuk
bila
suatu
perbuatan
itu
memenuhi
87
kongkrit
yang
sedang
dihadapi
harus
mempertimbangkan :
a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betulbetul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang
dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa,
juga
dipandang
adil
benar
oleh
seluruh
menghapuskan
kekuatan
berlakunya
88
Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiaptiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari
keputusan
mengetahui
lebih-lebih
itu.
Maka
hakim
bagaimanakah
keadaan
harus
benar-benar
keadaan
masyarakat
masyarakat
Indonesia
yang
apa
masyarakat,
kedengaran
yang
agar
supaya
sumbang.
kepribadiannya
harus
sedang
Hakim
terjadi
dalam
putusannya
tidak
dengan
bertanggung
seluruh
jawab
atas
89
nyata
diancam
dengan
pidana
dalam
negatif.
Ini
adalah
konsekwensi
dari
90
bersangkutan ada
2.
ada
pula
yang
tidak
fungsi
yang
positif
untuk
91
menganggap
sifat
melawan
hukum
itu
92
(acara
pemeriksaan
perkara)
sifat
itu
harus
dengan
mencocoki
rumusan
undang-
Putatif Delik
Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini
ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini
terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict,
padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu
delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan
hukum.
93
BAB V
KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
94
Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggungjawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan
apabila
ia
tidak
mampu
bertanggung jawab.
Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya
kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak
memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana
Belanda dijumpai beberapa definisi untuk kemampuan
bertanggung jawab.
Simons : kemampuan bertanggung jawab
dapat
95
mampu
96
itu
dikatakan
dapat
mempertahankan
b.
rupa,
sehingga
tidak
dapat
97
dengan
pikiran
atau
perasaannya
bahwa
2. Kesalahan
2.1. Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan
membuktikan
bahwa
orang
itu
telah
melakukan
98
penjatuhan
pidana.
Untuk
dapat
ini
berlaku
asas
TIADA
PIDANA
TANPA
99
kecuali
pembuktian
yang
apabila
pengadilan,
sah
menurut
karena
alat
undang-undang,
salah,
seleh
adany
(yang
bersalah
pasti
salah).
Untuk
ilmu
hukum
pidana
dapat
dilihat
100
tentang
hubungan
antara
perbuatan
101
a.
Aliran
klasik
yang
indeterminisme,
berpendapat,
melahirkan
yang
bahwa
pandangan
pada
manusia
dasarnya
mempunyai
mengatakan,
bahwa
manusia
102
karena
tidak
adanya
kebebasan
(maatregel)
untuk
ketertiban
Dalam
pandangan
ketiga
melihat
Kesalahan
seseorang
tidak
103
mengatakan
kesalahan
adalah
pidana
(Schuldist
der
Erbegriiffder
Verwurf
gegen
den
Tater
begrunden).
b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai
pengertian
yang
sociaal
ethisch
dan
hukum
pidana
ia
berupa
keadaan
keadaan
perbuatannya
dapat
psychisch
dicelakakan
(jiwa)
itu
kepada
si
pelaku.
c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa kesalahan
dalam
suatu
delik
merupakan
pengertian
104
HATTUM
berpendapat
Pengertian
psychisch
yang
terdapat
dapat
Pengertian
mengandung
celaan.
Celaan
salah
ini
dosa
menjadi
jika
perbuatan
dapat
dan
patut
105
dicela
karena
perbuatan
itu;
perbuatan
itu
mengatakan
pelanggaran
norma
antara
yang
lain
dilakukan
Pada
karena
dan
perbuatannya.
Hubungan
batin
batin
berupa
kehendak
terhadap
106
Dari
pengertian-pengertian
kesalahan
dari
terdapat
kesalahan
seseorang
tidaklah
terdapat
107
dan
tidak
adanya
alasan
penghapus kesalahan.
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut :
a. menurut
akibatnya
ia
ada
hal
yang
dapat
hal
dapat
dicelakakan (verwijtbaarheid)
b. menurut
hakekatnya
ia
adalah
108
dapat
disamakan
dengan
pengertian
109
dikatakan,
bahwa
orang
bersalah
(dolus,
opzet,
vorzatz
atau
intention) atau
2. kealpaan
(culpa,
onachtzaamheid,
sebagai
perbuatannya,
dapat
maka
dicelanya
si
berubahlah
pelaku
atas
pengertian
110
kesalahan yang
adanya
pada
kemampuan
sipelaku
zurechnungsfahigkeit);
bertanggungjawab
(schuldfahigkeit
atau
artinya
jiwa
keadaan
tertentu
menjadi
normadressat
yang
mampu.
b.
c.
111
kemungkinan
bahwa
ada
keadaan
yang
bisa
dinyatakan
bersalah
atau
dalam
(pertanggungan
arti
jawab
yang
pidana)
seluas-luasnya
orang
yang
melawan
mempunyai
kesalahan,
artinya
tidak
dengan
112
Itulah
sebabnya,
maka
kita
harus
senantiasa
2.
113
BAB VI
KESENGAJAAN
(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluasluasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan
batin
antara
si
pelaku
terhadap
perbuatan,
yang
114
anaknya,
menghendaki
dan
sadar
akan
perbuatannya.
1.
Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat
dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan
mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Inti
kesengajaan
adalah
kehendak
untuk
berarti
membayangkan
akan
akibat
115
apa
yang
diketahui
atau
dibayangkan
oleh
Bentuk Kesengajaan
Dalam
hal
seseorang
melakukan
sesuatu
atau
116
kesengajaan
ini
merupakan
bentuk
yang
menghubungkan
perbuatan
dengan
117
ada
kesengajaan
dengan
keinsyafan
diperkirakan
sipelaku
sebagai
merupakan
sipelaku.
resiko
yang
harus
diemban
118
Contoh 2 :
A hendak membalas dendam B yang bertempat
tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun
dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa
ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga
akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya,
meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap
mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan
dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam
batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan
baginya.
Jadi dalam kasus ini :
Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B
dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan
terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)
Contoh 3 :
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa
bahwa
akhirnya
ia
akan
ketahuan.
Ia
ingin
119
Hoogerechtshof
dalam
tingkat
banding
120
3. Dolus Eventualis
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana
sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki
suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana,
akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat
mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan
lajunya
di
jalan
dalam
kota.
Dimuka
ia
lihat
tetap
dalam
kecepatan
yang
sama
tanpa
tidak
dapat
dikatakan
bahwa
ia
itu,
dalam
arti,
meskipun
ia
sadar
akan
121
apa
boleh
buat
kemungkinan
itu,
dengan
dengan
sengaja.
Bagaimanakah
teori
menetapkan
dalam
kehendak,
batinnya,
jika
bahwa
sipelaku
ia
lebih
122
123
Modderman
mengatakan,
bahwa
uraian-uraian
kesengajaan
si-pelaku
diatas
penentuan
adalah
dengan
tentang
melihat
124
mungkin,
bahwa
ia
mempunyai
125
hal
ini
diragukan
adanya
kesenjajaan,
sesuatu
sipelaku
perbuatan
bahwa
mencakup
perbuatanya
126
bahwa:
Kesengajaan
hubungannya
perkataan
adanya
dengan
lain
dalam
kesadaran
hukumnya
senantiasa
dolus
molus,
kesengajaan
mengenai
perbuatan.
sifat
Untuk
ada
dengan
tersimpul
melawan
adanya
cukuplah
bahwa
sipelaku
itu
itu
dilarang
atau
bertentangan
127
Penganut-penganutnya
kesengajaan,
membuktikan
bahwa
tiap
pada
kali
ia
terdakwa
harus
ada
itu.
Sebaliknya,
alasan
bahwa
128
pada
kenyataannya
ia
melakukan
bahwa
unsur-unsur
delik
yang
terletak
karena
itu
pembentuk
undang-undang
tersebut).
perkataan
Unsur
opzettelijk
yang
terletak
disebut
di
muka
diobjektip-kan
129
disebut
di
belakang
perkataan
sengaja,
diobjektipkan,
ditanyakan
apakah
artinya
yang
sipelaku
tidak
perlu
mengetahui
atau
itu
teknik
perundang-undangan
dalam
130
melawan
memberi.sifat
hukum
atau
arah
subjektif.
dari
Unsur
perbuatan
ini
yang
dalam
delik
pencurian
(pasal
362),
131
Meyisipkan
kata
dan
diantara
perkataan
132
perbuatan
kesengajaan.
juga
Mengenai
hal
harus
diliputi
oleh
ini
terdapat
tiga
pandangan:
a. Perkataan en (dan) menunjukkan kedudukan
yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu
ditujukan
kepada
sifat
melawan
hukumnya
rumahnya,
tetapi
sebelum
133
delik
yang
menurut
unsur
sengaja
dengan
pendapat
ke
tersebut,
Jadi
meskipun
ada
perkataan
dan,
terletak di
134
pendapat
yang
ketiga.
Hoge
Raad
Prof.
Muljatno
perkataan
dan
diantara
135
unsur
dengan
rencana
lebih
kesengajaan.
Menurut
M.v.T.
untuk
136
lebih
pasti
determinatus,
matinya
orang
atau
pelaku
tidak.
misalnya
tertentu, sedang
Pada
dolus
menghendaki
pada dolus
gerombolan
orang
atau
menembak
semua
akibat
dari
perbuatan
yang
137
meutre.
Hazewinkel-Suringa
ialah
ajaran
perbuatan
ini
versari
in
re
seseorang
yang
terlarang
juga
138
seseorang
orang
yang
bermaksud
lain,
telah
untuk
melakukan
139
sedang
perbuatan
kedua
matinya
orang
karena
kealpaannya.
Contoh :
Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari
bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan
harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan
tetapi
air
pasangnya
tidak
setinggi
yang
140
BAB VII
KEALPAAN (CULPA)
141
FAHRLASSIGKEIT,
SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula
sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam
beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia
sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau
kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang
memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa
(culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam
:
Pasal 188
Karena
kealpaannya
menimbulkan
hilangnya
dan
Pasal 359
Pasal 360
matinya orang
Karena kealpaannya menyebabkan
Pasal 409
142
membahayakan
atau
keamanan
mendatangkan
orang
kerugian
atau
terhadap
larangan
(teledor),
pendek
penghati-hati,
kata
schuld
sikap
sembrono
(kealpaan
yang
143
hal
yang
kebetulan
(toevel
atau
caous).kealpaan
Hazenwinkel Suringa
Ilmu
pengetahuan
hukum
dan
jurispruden
b.
Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
1. tidak
mengadakan
penduga-duga
144
c.
Simons:
Pada umumnya schuld (kealpaan) mempunyai dua
unsur :
1. Tidak adanya penghati-hati, di samping
2. dapat diduganya akibat
d.
Pompe.
Ada
macam
yang
masuk
kealpaan
(anachtzaamheid):
1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya
akibat
2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der
mogelijkheid)
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen
kennen van de mogelijkheid)
145
ditetapkan
dari
luar
bagaimana
b.
memegang
ukuran
normatif
dari
seseorang
untuk
melakukan
146
mengakibatkan
orang
lain
perbuatan
itu
perbuatan
yang
147
alasan
pembenar
(rechtvaar
digingsgrond).
c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya
kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi
harus culpa lata dan bukanya culpa levis
(kealpaan yang sangat ringan).
2. Bentuk kealpaan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara
sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak
berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat
dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang
dilakukan
beserta
akibatnya,
akan
tetapi
ia
148
berat.
VAN
HATTUM
mengatakan,
bahwa
149
150
kepada
unsur
pelaku/orang
yang
seperti
apa
yang
dirumuskan
dalam
480
benda),
yang
diketahui
atau
151
b.
dalam
pemeriksaan
pengadilan
terdakwa
yang
dituduh
melakukan
152
b.
bagaimana
keadaan
indikasi
normal,
dari
maka
kealpaannya.
seharusnya
Apabila
ia
dapat
153
BAB VIII
KESALAHAN DALAM DELIK
PELANGGARAN
154
secara
khusus
tentang
adanya
mengancam
dengan
pidana
Barang
siapa
155
156
yang
berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undangundang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama
sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).
157
b.
158
BAB IX
PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM
PENITENSIER)
dengan
dimana
sengaja
nestapa
oleh
itu
negara
(melalui
dikenakan
pada
kejaksaan,pengadilan
&
lembaga
159
pidana
karena
pidana juga
berfungsi
reafirmasi
hati
nurani
simbolis
bersama
atas
yang
pelanggaran
sebagai
bentuk
yang
mempelajari
pidana
dan
pemidanaan
160
161
menerjemahkan
straf.
Sudarto
juga
berpendapat
pada
seseorang
penanggung
jawab
162
Jenis-jenis
hukuman
yang
dapat
dijatuhkan
oleh
dipukul
dengan
rantai
(pidana
badan/corporal punishment)
5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara
6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut
Utrecht
merupakan
suatu
dan
R.Soesilo,
sanksi
yang
hukum
bersifat
pidana
istimewa:
163
164
Teori-Teori
yang
berkaitan
dengan
Pemidanaan
Menurut
Leo
Polak
(aliran
retributif),
b.
Tidak
bboleh
dengan
maksud
prevensi
(melanggar etika)
c.
umumnya
bersifat
menakutkan,
sehingga
165
seyogyanya
hukuman
bersifat
memberikan
perlindungan
agar
orang
166
Upaya
prevensi,
mencegah
terjadinya
tindak pidana
Merehabilitasi Pelaku
Melindungi Masyarakat
167
a. mencegah dilakukanya
konflik yang
ditimbulkan oleh
168
tindak
pidana
dilakukan
dengan
berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan
tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi
pembuat tindak pidana
h. Pengaruh
pidana
terhadap
massa
depan
169
dengan
menegakkan
norma
hukum
demi
terpidana,
dengan
melakukan
Dan
restoratif
terdapat
dalam
tujuan
ditimbulkan
oleh
tindak
pidana,
memulihkan
170
171
b. pidana tutupan
c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
172
masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan lain.
(3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri
atau
dapat
dijatuhkan
walaupun
tidak
173
Pembunuhan berencana
B. Diluar KUHP;
Terorisme
Narkoba
Korupsi
Pelanggaran
terhadap
HAM
kemanusiaan
Berat;
dan
Kejahatan
genosida
yang
174
penjara
lamanya
seumur
hidup
atau
dan
masyarakat,
Penghuninya
disebut
175
narapaidana/napi
(inmates):
Warga
Binaan
penjaga
peringatan:
pekerjaan
sel/sipir
terhukum
tangan
penjara.
Dilakukan
diperkenankan
melakukan
dan
secara
terbatas
dapat
mula-mula
ditempatkan
dalam
ruang
176
dapat
the
rise
of
feformatory
berat
lebih
pada
usaha-usaha
untuk
177
baik
ataupun
melanggar
aturan
maka
178
kolam,
kerja
di
bengkel
LP
untuk
buat
Dapat
diberikan
reclassering),
jika
pelepasan
telah
bersyarat
menempuh
2/3
PBdr
Meskipun hukuman penjara dilakukan bersamasama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
Laki-laki dan perempuan
Orang dewasa dan anak di bawah umur
Orang yang dihukum/ditahan orang yang
dihukum karena upaya preventif
Orang militer dan orang sipil
179
Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole
yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No.
1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan
Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda
dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan (UU No.20/1946)
Pidana
yang
dijatuhkan
oleh
Hakim
dengan
oleh
dihormati/dihargai.
suatu
motivasi
Tempatnya
di
yang
patut
penjara,
namun
180
BAB X
PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)
I.
PENGERTIAN
Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti
beberapa istilah yang dipakai dalam kitab
undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti
atau definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan
istilah
merumuskan
percobaan.
batasan
KUHP hanya
mengenai
kapan
181
pelaksanaan
itu,
bukan
semata-mata
jenis
tindak
pidana.
Yang
dapat
yang
berupa
kejahatan
saja,
54
KUHP. Pada
pasal
54
KUHP
182
dapat
dipidana.
Pengecualian
tersebut
misalnya :
Percobaan duel / perkelahian tanding
II.
ringan
dipandang
Strafausdehnungsgrund
sebagai
(dasar/alasan
tindak
pidana
meskipin
tidak
untuk
memperluas
dapat
183
tidak
sempurna
(onvolkomen
Percobaan
dipandang
sebagai
Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan
delik).
Menurut
melakukan
pandangan
sesuatu
ini,
percobaan
tindak
pidana
184
Prof.
Moelyatno
memasukkan
karena
suatu delik;
b. Dalam
konsep
melakukan
perbuatan
perbuatan
bagi
itu
keselamatan
masyarakat;
c. Dalam hukum adat tidak dikenal
percobaan sebagai bentuk delik
yang
tidak
sempurna
yang
delik
dipandang
yang
berdiri
185
selesai,
jadi
merupakan
Misalnya
baru
percobaan.
delik-delik
maker
kedua
masyarakat
sesuai
kita
dengan
sekarang
alam
karena
atau
yang
186
187
Namun
karena
dalam
kenyataanya,
pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka
nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif.
Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai
penganut teori campuran. Menurut beliau
rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP
mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat
untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang
obyektif (kejahatan tersebut telah mulai
dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan
demikian menurut beliau, dalam percobaan
tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori
obyektif dan teori subyektif karena jika demikian
berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan
itu; ukurannya harus mencakup dua criteria
tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu
beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif
maupun obyektif, apabila dipakai secara murni
akan membawa kepada ketidak adilan.
IV.
UNSUR-UNSUR PERCOBAAN
Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas
terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :
IV.1. Niat.
Kebanyakan para sarjana berpendapat
bahwa unsur niat sama dengan sengaja
dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan
Prof. Moelyatno terhadap unsur niat :
a. Niat
jangan
disamakan
dengan
kesenjangan, tetapi niat secara potensiil
dapat berubah menjadi kesenjangan
188
apabila
sudah
ditunaikan
menjadi
perbuatan yang dituju; dalam hal semua
perbuatan
yang
diperlukan
untuk
kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat
yang dilarang tidak timbul (percobaan
selesai/voltooidc poging), disitu niat 100%
menjadi
kesengajaan,
sama
kalau
mengahadapi delik selesai.
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan
menjadi perbuatan maka niat masih ada
dan merupakan sikap batin yang membari
arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve
onrechtselement.
c.
Oleh karena itu niat tidak sama dan
tidak
bisa
disamakan
dengan
kesengajaan, maka isinya niat jangan
diambilkan dari isinya kesengajaan
apabila kejahatan timbul; untuk ini
diperlukan pembuktian tersendiri bahwa
isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat
belum ditunakan jadi perbuatan.
Dari delik percobaan dapat mempunyai dua
arti :
1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan
lengkap/voltoo-ide
poging/completed
attempt), niat sama dengan kesengajaan;
2. Dalam
hal
percobaan
tertunda
(percobaan
terhenti
atau
tidak
lengkap/geschorste poging/incompleted
attempt), niat hanya merupakan unsur
189
190
juga
kesenjangan
kemungkinan.
sebagai
keinsyafan
191
a. Pada
delik
formil,
perbuatan
pelaksanaan ada apabila telah dimulai
perbuatan yang disebut dalam rumusan
delik;
b. Pada
delik
materiil,
perbuatan
pelaksanaan
ada
pabila
telah
dimulai/dilakukan
perbuatan
yang
menurut sifatnya langsung dapat
menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang tanpa mensyaratkan
adanya perbuatan lain.
Contoh untuk delik formil :
A bermaksud melakukan pencurian dirumah
B untuk melaksanakan aksinya, A telah
mempersipkan segala sesuatu peralatan
untuk mencuri, kemudian pada malam hari
ia mendatangi rumah B. Sesampainya di
rumah B, ia mematikan lampu teras,
melepas kaca jendela dan baru saja A
masuk rumah lewat jendela itu ia
tertangkap.
Apabila digunakan ukuran Van Hamel,
maka dalam hal ini dikatakan sudah ada
perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut
ukuran Simons baru merupakan perbuatan
persiapan, karena belum mulai melakukan
perbuatan seperti yang disebut dalam
rumusan delik (pencurian : pasal 362
KUHP) yaitu mengambil barang . Apabila
A sudah mengambil barang dan pada saat
192
193
i.
ii.
iii.
V.
PERCOBAAN
DALAM
YURISPRUDENSI
BEBERAPA
194
rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaianpakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan
di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas
mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas
dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah.
Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H
menyingkirkan benda-benda ke tempat lain.
Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak
orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak
mugkin menyelesaikan maksudnya.
Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop)
di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan
H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan
dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar
pasal 53 jo 187 KUHP.
H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof
telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan
mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru
merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung
Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H
baru merupakan perbuatan persiapan karena
belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk
melakukan pembakaran.
Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD
berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan
perbuatan persiapan, karena belum merupakan
perbuatan yang sangat diperlukan untuk
pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak
dapat tidak menuju kearah dan langsung
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
BAB XI
PENYERTAAN
A. BEBERAPA ISTILAH
1. Turut campur dalam peristiwa pidana
(Tresna).
2. Turut berbuat delik (Karni).
3. Turut serta (Utrecht).
4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrhaeit
(Jerman);
Participation (Perancis).
B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG SIFAT
PENYERTAAN
Filosofi dasar keberadaan lembaga penyertaan
terdapat dua pandangan :
1. Sebagai Strafa sdehnungsgrund (dasar
memperluas dapat dipidananya orang) :
- Penyertaan dipandang sebagai persoalan
pertanggung jawaban pidana
- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya
bentuknya tidak sempurna.
- Penganut a.l : Simons, van Hattum,
Hazewinkel Suringa.
2. Sebagai
Tatbestandausdehnungsgrund
(dasar memperluas dapat dipidananya
perbuatan) :
219
220
221
222
2. Pleger (pelaku)
a. Pelaku (pleger) ialah orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi rumusan delik.
b. Dalam praktek sukar menentukannya,
terutama dalam hal pembuat undangundang tidak menentukan secara pasti
siapa yang menjadi pembuat.
Mengenai hal ini ada beberapa
pedoman :
1). Peradilan Indonesia
Pembuat (dalam arti sempit yaitu
pelaku) ialah orang yang menurut
maksud pembuat undang-undang
harus dipandang yang bertanggung
jawab.
2). Peradilan Belanda
Dader (dalam arti sempit) ialah orang
yang
mempunyai
kekuasaan/kemampuan
untuk
mengakhiri keadaan terlarang, tetapi
tetap memberikan keadaan terlarang
itu berlangsung terus.
223
3). Pompe
Dader (dalam arti sempit) ialah orang
yang mempunyai kewajiban untuk
mengakhiri keadaan terlarang itu.
c. Kedudukan pleger dalam pasal 55
sering dipermasalahkan. Mengenai hal
ini ada dua pendapat :
1). Janggal dan tidak pada tempatnya
Alasan : Karena pasal 55 berada
dibawah bab V yang berjudul
Penyertaan tersangkut beberapa
pidana, pada penyertaan apabila
mereka yang melakukan (para
pelaku)
itu
diartikan
pembuat
tunggal.
2). Dapat dipahami
Alasan : Karena pasal 55 menyebut
mereka yang dipidana sebagai
pembuat, jadi plegers termasuk
didalamnya Pompe. Karena pasal
55 menyebut siapa-siapa yang
dinamakan pembuat, jadi plegers
juga
termasuk
didalamnya
(Hazewinkel-Suringa).
3. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)
a). Doenpleger ialah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang
lain, sedang perantara ini hanya
diumpamakan sebagai alat.
Dengan demikian :
224
225
226
227
228
atap
rumah
ke
bawah,
tanpa
menghiraukan apakah benda itu akan
menimpa orang yang kebetulan ada /
lewat di bawah atap rumah itu. B
mengira bahwa A telah mengadakan
pengamanan seperlunya. Jika karena
lemparan itu ada yang tertimpa dan
mati, maka A dapat dituntu karena
menyuruh-lakukan tindak pidana yang
tersebut dalam pasal 359 KUHP.
4. Medepleger (orang yang turut serta)
a. Pengertian :
1). Undang-undang tidak memberikan
definisi
2). Menurut M.v.T : Orang yang turut
serta melakukan (medepleger) ialah
orang yang dengan sengaja turut
berbuat atau turut mengerjakan
terjadinya sesuatu.
3). Menurut Pompe, turut mengerjakan
terjadinya sesuatu tindak pidana itu
ada dua kemungkinan :
Mereka
masing-masing
memenuhi semua unsur dalam
rumusan delik.
Misal : dua orang dengan
bekerja
sama
melakukan
pencurian disebuah gudang
beras, salah seorang memenuhi
229
230
231
232
233
234
a. Pengertian :
Pengajur
ialah
orang
yang
menggerakkan
orang
lain
untuk
melakukan
suatu
tindak
pidana
denganmenggunakan
sarana-sarana
yang ditentukan oleh undang-undang
untuk melakukan kejahatan.
Jadi hamper sama dengan menyuruhlakukan
(doen-pleger),
pada
penganjuran (uitlokking) ini ada usaha
untuk menggerakkan orang lain sebagai
pembuat materiil / auctor physicus.
Adapun perbedaannya sbb :
Penganjuran
Menggerakkannya
dengan
saranasarana
tertentu
(limitatif)
Pembuat materiil
dapat
dipertanggungjawa
bkan
(tidakmerupakan
manus ministra)
Menyuruh-lakukan
Sarana
menggerakkannya
tidak
ditentukan
(tidak limitatif)
Pembuat materiil
tidak
dapat
dipertanggungjawa
bkan (merupakan
manus ministra)
235
236
orang
yang
materiil).
dianjurkan
(pembuat
237
238
239
240
Pertanggungjawaban
peserta
tidak
lagi
digantungkan pada pertanggungjawaban si
pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang
berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta
lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan
yang dilarang.
241
242
243
244
245
246
247
obyektif : perbuatannya
hanya
membantu
/
menunjang (ondersteuning
shanling)
Menurut ajaran subyektif :
perbuatan
merupakan
perbuatan
pelaksanaan
(uitvoering shandelling)
Kesenjangan
merupakan animus
socii (hanya untuk
memberi
bantuan
saja pada orang
lain);
Tidak harus ada
kerja sama yang
disadari
(beweste
samenwerking)
Kesenjangan
merupakan animus
coauctores
(diarahkan
untuk
terwujudnya delik);
Harus ada kerja
sama yang disadari
(bewuste
samenworking)
Tidak
mempunyai
kepentingan / tujuan
sendiri.
Terhadap
pelanggaran
tidak dipidana (pasal 60
KUHP).
Maksimum
pidananya
dikurangi sepertiga (pasal
57-1).
Mempunyai
kepentingan / tujuan
sendiri.
Terhadap
kejahatan
maupun pelanggaran dapat
dipidana.
Maksimum pidananya sam
dengan si pembuat.
pada
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
BAB XII
GABUNGAN TINDAK PIDANA
(SAMENLOOP / CONCURSUS)
258
259
1. Perbarengan
peraturan
(concursus
Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan
berlanjut
(Delictum
Continuatum
/Voortgezettehandeling)
pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan
Realis) pasal 65 s/d 71.
(Concursus
III. PENGERTIAN
1. Menurut rumusan KUHP :
Sebenarnya didalam KUHP tidak ada
definisi mengenai Concursus, namun
demikian dari rumusan pasal-pasal
diperoleh pengertian sbb :
260
261
262
Ada
concursus
apabila :
-
Idealis
Dipandang
dai
sudut
hukumpidana ada dua
perbuatan atau lebih;
Antara
perbuatanperbuatan itu tidak dapat
dipikirkan terlepas satu
sama lain.
263
VAN BEMMELEN
Ada Concursus Idealis, apabila :
-
Dengan
melanggar
satu
kepentingan
hukum.
Dengan
sendirinya
melakukan perbuatan
(feit) yang lain pula.
264
265
266
267
268
269
270
kurungan
pengganti,
tetapi
karena menurut pasal 30 (3)
maksimum kurungan pengganti
6 bulan, maka untuk denda Rp.
1.000,- maksimumnya kurungan
penggantinya 6 bulan.
- Dengan
telah
adanya
perubahan pidana denda, maka
1 hari kurungan pengganti
dihitung sama dengan Rp.
7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan
15) jadi untuk denda Rp. 1.000,kurungan penggantinya sama
dengan 134 hari (dibulatkan).
- Dengan demikian apabila diikuti
perhitungan menurut Blok di
atas maka jumlah maksimum 8
bulan dapat dipecah misalnya
menjadi 6 bulan penjara dan 2
bulan kurungan pengganti atau
sama dengan denda 60/134 x
Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
3).
271
Dalam
hal
ini
hakim
harus
mengadakan pilihan hukum terlebih
dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana
yang sejenis, maka digunakan
system absornsi yang dipertajam /
diperberat (pasal 65).
c. Untuk
Concursus
Realis
berupa
pelanggaran, berlaku pasal 70 yang
menggunakan system kumulasi. Misal A
melakukan dua pelanggaran yang
masing-masing
diancam
piadan
kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka
maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15
bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2,
system kumulasi itu dibatasi sampai
maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
Jadi
misal
A
melakukan
dua
pelanggaran
yang
masing-masing
diancam pidana kurungan 9 bulan, maka
maksimum pidana kurungan yang dapat
dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18
bulan, tetapi maksimumnya adalah 1
tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d. Untuk
Concursus
Realis
berupa
kejahatan ringan, khusus untuk pasal
302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482
berlaku pasal 70 bis yang menggunakan
system
kumulasi
tetapi
dengan
pembatan maksimum untuk penjara 8
bulan.
Misal :
272
273
274
BAB XIII
ALASAN / DASAR PENGHAPUS
PIDANA
275
(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of
Impunity)
276
277
278
279
ALASAN
KUHP.
280
281
282
283
284
285
286
287
dengan
288
289
290
antara
keadaan
darurat
dan
291
292
UNDANG-UNDANG
293
294
295
296
Contoh lainnya :
Seorang kepala kantor memerintahkan kepada
bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna
sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk
dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu
melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ?
perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu
tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan
tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah
sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan
itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa
perintah itu tidak sah.
Catatan :
Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya
Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang
membuta tidak mendisculpeert (tidak patut di pidananya
perbuatan).
Contoh lainnya :
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya
untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan.
Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah
maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang
tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota
polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan
perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah :
297
298
299
BAB XIV
GUGURNYA KEWENANGAN
MENUNTUT DAN MENJALANKAN
PIDANA
300
301
302
dalam
pasal
72
KUHP
Istrinya
303
Orang tuanya
Anaknya, atau
304
305
306
307
II.
III.
Jadi
keputusan-keputusan
tersebut
sudah
mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak
pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem
tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum
berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya
disebut
penetapan-penetapan
(beschikking),
misalnya :
a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk
memeriksa perkara yang bersangkutan;
b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa
karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
c. Tetang tidak diterimanya perkara
penuntutan sudah daluwarsa.
karena
308
309
termasuk
pidana
bersyarat
(V.V.
=
voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan
bersyarat
(V.I.
=
voorwaardelijke
invrijheidstelling).
b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan
hukum;
Orang yang dituntut harus sama. Ini
merupakan segi subyektif dari persyaratan neb
is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan
tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang
tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka
dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap
masih dapat dituntut walaupun misalnya A
dibebaskan.
c) Putusan berupa pemidanaan :
- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau
-
310
311
312
313
314
315
316
317
318
319
kewenangan
320
321
Mengadakan
komutasi
yaitu
jenis
pidananya diganti, misal penjara diganti
kurungan, kurungan diganti dengan denda,
pidana mati diganti penjara seumur hidup.
322
I. Terpidana
yang
pernah
ditolak
permohonan grasinya dan telah lewat
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
penolakan permohonan grasi tersebut;
II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari
pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup dan telah lewat waktu 2
(dua) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak
menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa
hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan
persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali
dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati,
permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga
terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6
ayat (3)).
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh
terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya
kepada Presiden. Salinan permohonan grasi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
disampaikan kepada pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan
kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi
dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat
323
324
E.2. Amnesti.
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan
umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan
perundang-undangan) yang memuat pencabutan
senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu
atau satu kelompok delik tertentu, demi
kepentingan semua terpidana maupun bukan,
terdakwa
ataupun
bukan,
mereka
yang
identitasnya diketahui ataupun tidak namun
bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh
karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase
ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan)
maupun post sentantiam (pasca proses
ajudikasi).
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan
politik.
E.3. Abolisi.
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi
merupakan hak prerogative presiden yang
ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Abolisi mengandung pengertian penghapusan
yang diberikan kepada perseorangan yang
mencakup
penghapusan
seluruh
akibat
penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan,
termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan
demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan
325
326
BAB XV
RESIDIVE
( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)
1. PENGERTIAN
Residive atau pengulangan terjadi apabila
seseorang yang melakukan suatu tindak pidana
dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
( MKHT) atau in kracht van gewijsde, kemudian
melakukan tindak pidana lagi.
Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah
pada Residive sudah ada putusan Pengadilan
berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan
pada
Concursus Realis terdakwa melakukan
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan
sang satu dengan yang lain belum ada putrusan
Pengadilan yang MKHT.
Residive
merupakan
alasan
untuk
memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam
ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive
ini, yaitu :
327
2. MENURUT KUHP
Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak
diatur secara umum tetapi diatur secara khusus
untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan
syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu.
Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam
sistem Residive Khusus.
328
a. Residive Kejahatan.
Residive terhadap kejahatan dalam pasal :
137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2),
208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis
(2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila
ada pengulangan menjadi alasan pemberat.
Perlu diingat bahwa mengenai tenggang
waktu dalam residive tersebut tidak sama,
misalnya :
i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303
bis dan 321 tenggang waktunya
dua tahun ;
ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393
tenggang waktunya lima tahun.
iii. Sedangkan untuk residive yang
diatur dalam Pasal 486, 477 dan
488 KUHP mensyaratkan bahwa
tindak pidana yang diulangi
termasuk dalam kelompok jenis
tindak pidana tersebut.
b. Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis
tindak pidana, yaitu :
Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517,
530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
329
Syarat-syarat
Recidive
pelanggaran
disebutkan dalam masing-masing pasal
yang bersangkutan.
330
SOAL UJIAN
DAFTAR PERTANYAAN
MATERI DIKLAT
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
1. Ruang berlakunya hukum pidana dapat
dibedakan menurut waktu dan menurut tempat.
Jelaskan dimana diatur ruang berlakunya
hukum pidana di dalam KUHP dan di luar
KUHP ?
2. Menurut Prof. Moeljatno apa saja yang menjadi
unsur dari suatu perbuatan pidana ?.
3. Apa pentingnya bagai Jaksa memahami
pengertian unsur-unsur tindak pidana ?.
4. Siapa yang dimaksud sebagai Pelaku (dader)
menurut pasal 55 KUHP ?.
5. Apa yang dimaksud dengan Recidive ?