Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Pasien yang menjalani terapi HD mengalami berbagai masalah yang


timbul akibat tidak berfunginya ginjal. Hal tersebut muncul setiap waktu sampai
akhir kehidupan pasien dan menjadi stresor fisik yang berpengaruh pada
berbagai dimensi kehidupan pasien meliputi bio psiko sosio spiritual. Kelemahan
fisik yang dirasakan seperti mual, muntah, nyeri, lemah otot, udem adalah
sebagian dari manifestasi klinik yang dirasakan. Untuk itu pasien sangat
membutuhkan perhatian dan dukungan dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Pasien dengan HD jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi
sakitnya yang tidak dapat diramalkan, mereka biasanya mengalami masalah
finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang
menghilang serta impotensi, depresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan
menghadapi kematian.
Dua pertiga dari pasien yang mendapat terapi HD tidak pernah kembali
pada aktifitas atau pekerjaan seperti sedia kala. Dengan demikian pasien akan
mengalami kehilangan pekerjaan, penghasilan, kebebasan, harapan umur
panjang, fungsi seksual sehingga dapat mengakibatkan kehilangan harga diri
dan identitas gender. Rasa kehilangan ini akan mengakibatkan efek kemarahan
yang akhirnya timbul suatu keadaan depresi sekunder sebagai akibat dari
penyakit sistemik yang rnendahuluinya.

BAB II
PEMBAHASAN

DEFINISI
Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood
sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif
unipolar serta bipolar.
Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius menyangkut kerja otak,
bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam beberapa hari. Gangguan ini
menetap selama beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian seseorang.
Gangguan depresif masuk dalam kategori gangguan mood, merupakan periode
terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan
murung dan gejala lainnya termasuk perubahan pola tidur dan makan, perubahan
berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah,
perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan
depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut
dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.
Pada dasarnya besar kecilnya masalah yang menegangkan adalah relatif,
tergantung dari tinggi rendahnya kedewasaan, kepribadian serta bagaimana
sudut pandang seseorang dalam menghadapinya.

SUMBER STRES / STRESOR

Sumber stres (stresor) adalah variable yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab
timbulnya stres, datangnya stresor dapat sendiri-sendiri atau dapat pula bersamaan.
Sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan dari luar tubuh. Terjadinya stres
karena stresor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu
ancaman sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal
dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis. (Rasmun, 2004).
Apabila ditinjau dari penyebab stress, menurut Sunaryo ( 2004 ) dapat digolongkan
sebagai berikut :
a. Stres Fisik
b. Stres Kimiawi
c. Stres Mikrobiologik
d. Stres Fisiologik
e. Stress Proses pertumbuhan dan perkembangan
f. Stress Psikis / Psikososial

KEMAMPUAN INDIVIDU MENAHAN STRES

Setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menahan stres.


Hal tersebut tergantung pada:
2. Sifat dan hakikat stres yaitu intensitas, lamanya, lokal dan umum (general).
1. Sifat individu yang terkait dengan proses adaptasi
Menurut Rosenmen dan Cheeny (1980) sebagaimana dikemukakan oleh
Hawari (2001) bahwa terdapat tipe kepribadian jenis A (type personality)

yang memiliki resiko tinggi mengalami stres dengan ciri-ciri kepribadian


sebagai berikut :
Cita-citanya tinggi ( ambisius ), Suka menyerang ( agresif ), Suka bersaing
( kompetitif ) yang kurang sehat, Banyak jabatan rangkap, Emosional ( mudah
marah, mudah tersinggung, mudah mengalami ketegangan dan kurang sabar ),
Terlalu waspada, Bekerja tidak mengenal waktu, Bila ada tantangan senang bekerja
sendiri, Disiplin waktu yang ketat, Kurang rileks dan serba terburu-buru, Kurang
atau tidak ramah, Tidak mudah bergaul, Mudah empati tetapi mudah bersikap
bermusuhan, Sulit dipengaruhi, Sifatnya kaku ( tidak fleksibel ).

TAHAPAN STRES
Gejala stres pada seseorang seringkali tidak disadari, kerana perjalanan awal
tahapan stres timbul secara lambat. Dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala
sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari. Menurut Amberg
(1979) sebagaimana dikemukakan Hawari (2001) bahwa tahapan stres dibagi
sebagai berikut:
1. Stres tahap I (pertama)
Merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai parasaan-perasaan
semangat bekerja yang besar dan berlebihan .
2. Stres Tahap II (kedua)
Dalam tahap ini dampak stres yang semula menyenangkan mulai menghilang dan
timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup
sepanjang hari. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan

merasa letih waktu

bangun pagi yang seharusnya merasa segar, merasa lekas capai pada saat menjelang
sore, merasa mudah lelah setelah makan, tidak dapat rileks (santai), lambung atau

perut tidak nyaman, detakan jantung lebih keras dan berdebar-debar, otot tengkuk
dan punggung tegang.
2.

Stres Tahap III (ke tiga)


Bila seseorang tetap memaksakan diri dan tidak menghiraukan keluhan-keluhan
yang dirasakan maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang
semakin nyata dan mengganggu, yaitu gangguan lambung, dan usus semakin nyata
(misalnya keluhan maag, buang air besar tidak teratur), ketegangan otot semakain
terasa, perasaan tidak tenang dan ketegangan emosional semakin meningkat,
gangguan pola tidur (insomnia), koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong
dan serasa mau pingsan). Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada
dokter untuk memperoleh terapi atau beban stres dikurangi sehingga tubuh
memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang
mengalami defisit.

4. Stres Tahap IV (empat)


Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter sehubungan dengan
keluhan-keluhan stres tahap III oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak
ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang
bersangkutan terus memaksakan diri, maka gejala stres tahap IV akan muncul, tidak
mampu untuk bekerja sepanjang hari (loyo), aktifitas pekerjaan tarasa sulit dan
membosankan, respon tidak adequate, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur
disertai mirnpi-mimpi yang menegangkan, sering menolak ajakan karena tidak
semangat dan tidak bergairah, konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul ketakutan
dan kecemasan.
5. Stres Tahap V (lima)

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang akan jatuh dalam stres tahap V yang ditandai
dengan kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam, ketidakmampuan
menyelesaikan pekerjaan seharihari yang ringan dan sederhana, gangguan system
pencernaan semakin berat, timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin
meningkat, bingung dan panic
6. Stres Tahap VI ( enam )
Tapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stress tahap ini berulang kali dibawa ke IGD bahkan ke
ICCU meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemuKan kelainan-kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stress pada
Tahap ini : debaran jantung teramat keras, sesak nafas, badan ge
Metar dan berkeringat dingin, loyo dan pingsan ( kolaps ).

MANIFESTASI STRES

Stres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya,
tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan
karakteristik individu, maka responnya berbeda-beda untuk setiap orang.
Seseorang yang mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang
terjadi pada tubuhnya, antara lain :
1.

Perubahan warna rambut kusam, ubanan, kerontokan

2.

Wajah tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai, bicara
berat, sulit tersenyum/tertawa dan kulit muka kedutan (tic facialis)

3.

Nafas terasa berat dan sesak, timbul asma

4.

Jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar atau menyempit


(constriksi) sehingga mukanya nampak merah atau pucat. Pembuluh darah
tepi (perifer) terutama ujung-ujung jari juga menyempit sehingga terasa
dingin dan kesemutan.

5.

Lambung mual, kembung, pedih, mules, sembelit atau diare.

6.

Sering berkemih.

7.

Otot sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang pada tulang terasa
linu atau kaku bila digerakkan.

8.

Kadar gula meningkat, pada wanita mens tidak teratur dan sakit
(dysmenorhea)

9.

Libido menurun atau bisa juga meningkat.

10.

Gangguan makan bisa nafsu makan meningkat atau tidak ada nafsu
makan.

11.

Tidak bisa tidur

12.

Sakit mental-histeris

STRES PADA PASIEN HEMODIALISA

Pasien yang menjalani HD mengalami berbagai masalah yang timbul akibat tidak
berfungsinya ginjal. Hal tersebut muncul setiap waktu sampai akhir kehidupan. Hal
ini menjadi stresor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupa pasien
yang meliputi bio psiko sosio spiritual. Kelemahan fisik yang dirasakan seperti
mual, muntah, nyeri, lemah otot, oedema adalah sebagian dari manisfestasi klinik
dari pasien yang menjalani HD. Ketidakberdayaan serta kurangnya penerimaan diri
pasien menjadi faktor psikologis yang mampu mengarahkan pasien pada tingkat
stres, cemas bahkan depresi (Stuart dan Sundeen, 1998).

8. HEMODIALISA ( HD )
Di Amerika Serikat setiap tahun terdapat sekitar 20 juta orang dewasa menderita
gagal ginjal yang menjalani dialysis. Sedang di Indonesia diperkirakan setiap satu
juta penduduk 20 orang mengalami gagal ginjal pertahun yang memerlukan
tindakan dialysis.
Komplikasi HD
HD dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, namun tindakan ini tidak akan
mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari, juga tidak akan
memperbaiki seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah
permasalahan dan komplikasi (Smeltzer dan Bare, 2004).
Pasien yang menjalani HD berkelanjutan dihadapkan pada banyak masalah, antara
lain :
1.Masalah fisik
Hipotensi, hipertensi, kram, demam, kedinginan, infeksi, gangguan, cardio
pulmoner, anemia, penyakit tulang, masalah kardio vaskuler, toksisitas alumunium,
hiperkalemia, perdarahan, hiponatremia dan hipernatremia, emboli udara, pruritus,
mual, muntah.
2.Masalah psikis
Stres, depresi, perilaku tidak kooperatif, perubahan kepribadian dan bunuh diri.

FAKTOR PSIKOSOSIAL

Emosi

Perasaan takut adalah ungkapan emosi pasien gagal ginjal yang paling sering
diungkapkan.
Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan perasaan
marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi pada
dirinya.
Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena harus tergantung seumur
hidup dengan alat cuci ginjal.
Seringkali afeksi emosional ini ditujukan kepada sekeliling seperti pasangan,
karyawan dan staf di rumah sakit.

Harga Diri
Kehilangan kontrol akan dirinya.
Perlu waktu panjang untuk beradaptasi
Perubahan peran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Perasaan menjadi beban keluarga akan menjadi masalah buat individu ini.
Pasien sering kali merasa dirinya berubah.
Adanya kateter yang menempel misalnya pada pasien dengan dialisis peritoneal, lesi
di kulit, nafas berbau ureum dan perut yang membuncit membuat percaya diri dan
citra diri pasien terpengaruh.

Gaya Hidup

Perubahan diet dan pembatasan air akan membuat pasien berupaya untuk
melakukan perubahan pola makannya.
Keharusan untuk kontrol atau melakukan dialisis di rumah sakit juga akan membuat
keseharian pasien berubah.
Terkadang karena adanya komplikasi pasien harus berhenti bekerja dan diam di
rumah.
Perlu mendapatkan dorongan untuk pasien agar lebih mudah beradaptasi.

Fungsi Seksual
Fungsi seksual pada pasien yang mengalami gagal ginjal akan sering terpengaruh :
Faktor organik ( perubahan hormonal atau karena insufisiensi vaskuler pada kasus
gagal ginjal dengan diabetes),
Psikososial (perubahan harga diri,citra diri dan perasaan tidak menarik lagi)
Fisik (distensi perut, perasaan tidak nyaman dan keluhan-keluhan fisik akibat
uremmia).

INTERVENSI PSIKOSOSIAL
Pada saat HD berlangsung pasien, dialiser dan cairan dialisat memerlukan

pementauan yang konstan untuk mendeteksi komplikasi yang dapat terjadi. Perawat
di unit HD memiliki peran yang penting dalam memantau serta memberikan
dukungan kepada pasien dan dalam menjalankan program pengkajian dan

pendidikan pasien yang berkelanjutan, mempersiapkan pemulangan pasien yang


menjalani HD. Kebutuhan untuk mempelajarinya baru disadari lama setelah pasien
menjalani HD. Karena alasan ini, komunikasi yang baik antara perawat yang
bertugas melaksanakan HD, perawat rumah sakit (ruangan/bangsal) dan perawat
yang merawat pasien di rumah sangat penting dalam memberikan asuhan
keparawatan yang aman dan berkelanjutan.

Implikasi Keperawatan
Gagal ginjal kronis mempunyai karakteristik penurunan kondisi yang cepat.
Bantuan keperawatan harus berusaha memfasilitasi penyesuaian perubahan akibat
sakit yang dialami. Perawat juga perlu memperbaiki interaksi sosial dan gaya hidup
dengan mencegah kondisi sakit yang lebih jauh, mengontrol gejala dan menjadikan
hemodialisis menjadi bagian dari kehidupan normal sehari-hari. Pengetahuan pasien
yang baik tentang penyakit yang dideritanya akan mengurangi kecemasan pasien.

Penilaian Kondisi
Menentukan kebutuhan pasien .
Mengidentifikasi masalah yang menjadi potensial untuk timbul .
Mengumpulkan informasi untuk rencana pengobatan .
Informasi berguna :
gaya hidup
pola kehidupan sehari-hari
kekuatan kepribadian dan minat
cara adaptasi sehari-hari

pengertian akan penyakit saat ini


persepsi terhadap pengobatan yang diberikan
tekanan hidup/perubahan belakangan ini dan beberapa masalah yang terkait dengan
penyakit .

Membesarkan Hati
Membuat pasien mampu menerima tanggung jawab akan kesehatan dan kebahagiaan
serta mampu mengisi tanggung jawab mereka di keluarga dan masyarakat. Petugas
kesehatan dapat membesarkan hati pasien untuk menerima keterbatasan pribadi
akibat kondisi sakit dan pengobatannya. Kondisi-kondisi seperti ini bisa memberikan
persesi positif dan pengertian di antara pasien dan petugas kesehatan.
Penilaian, edukasi, motivasi, pemberian dukungan, membesarkan hati, mengajarkan
cara membantu diri sendiri dan memonitor diri sendiri, peningkatan kepatuhan
pasien dan pasien mampu hidup dengan kondisi kronis yang dialaminya. Kelompok
suportif seperti latihan fisik bersama, program edukasi bersama atau kegiatan
bersama. Hubungan kebersamaan dengan orang yang senasib dan adanya
penghargaan sosial serta apresiasi dari rekan senasib isolasi pasien terhadap
lingkungan berkurang.

PERAN KELUARGA
Keluarga tidak boleh dikesampingkan dalam proses penanganan pasien. Perubahan
pola kehidupan keluarga mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasien.

Pasien dan keluarga dibantu untuk menceritakan perasaan mereka. Perasaan


bersalah, kesedihan dan kehilangan sering terjadi pada pasangan pasien. Edukasi dan
informasi yang adekuat bagi pasien dan keluarga tentang penyakit yang dialami dan
perjalanan penyakit akan sangat penting .

KESIMPULAN

Pasien dengan gagal ginjal kronis sering mengalami gangguan psikiatrik terkait
dengan kondisi medis umumnya.
Dokter perlu memahami fisiologi dan psikopatologi dari timbulnya gangguan
psikiatrik pada pasien gagal ginjal kronis.
Gangguan psikiatrik seperti delirium, depresi, kecemasan dan sindrom
disequilibrium sering dialami oleh pasien dengan gagal ginjal kronis.
Penanganan dan penatalaksanaan yang menyeluruh adalah lebih baik untuk
pasien .

DAFTAR PUSTAKA
1. Chiang. H, Livneh H,. Prevalence and correlates of depression among
chronic kidney disease patients in Taiwan: BMC Nephrology 2013:14 (78)
: 1471-2369
2.

Santos P, Arcanjo F. Social adaptability and substance abuse: Predictors of


depression among hemodialysis patients? : BMC Nephrology 2013,
14(12) 1471-2369

3. Ku D., Park Y, dkk. Depression and Life Quality in Chronic Renal Failure
Patients with Polyneuropathy on Hemodialysis. Ann Rehabil Med 2012;
36(5): 702-707
4. Spahbodi F, Mohammad S, Goudarzi M. Dialysis : Iranian Journal of
Kidney Diseases : 2012 ; 6 (6) : 247-255
5. Levy D, Garrison RJ, Savage DD, Kannel WB, Castelli. Depression and
Dialysis : 2012; 6 (6) : 403-501
6. Turkmen K, Erdur F, Guney I, dkk. International Journal of Nephrology
and Renovascular Disease : Journal of Nephrology and Renovascular
Disease 2012 : (135) 5 135142
7. Jean D. Psychosocial predictors of the quality of life of chronic renal
failure patients undergoing haemodialysis: Nefrologia 2012;32(5):622-630
8.

Nowak L, Adamczak M, Wie A. Neprology Original Paper : This article


is published with open access at Springerlink.com 2012 ; 13 (7) : 256-261

Anda mungkin juga menyukai