Anda di halaman 1dari 13

ETOS KERJA DAN PROFESIONALISME GURU

A. Pengertian Etos Kerja


Kata etos berasal dari bahasa Yunani ethos yang mempunyai arti sebagai sikap,
kepribadian, watak, karakter serta keyakinan tertentu. Dari kata etos terambil pula kata
etika dan etis yang hampir mendekati kepada makna ahlak atau nilai-nilai yang berkaitan
dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat
yang kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk
mencapai kualitas kerja yang sempurna.[1]
Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan yang
berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok, atau institusi. Jadi, etos
kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau
sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku
kerja mereka (Sinamo, 2002). Banyak tokoh lain yang menyatakan defenisi dari etos kerja
Salah satunya ialah Harsono dan Santoso (2006) yang menyatakan etos kerja sebagai
semangat kerja yang didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sukriyanto (2000) yang menyatakan bahwa etos kerja adalah suatu
semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik guna
memperoleh nilai hidup mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan
dalam suatu pekerjaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yang khas
dari suatu golongan sosial. Dan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, etos berarti watak
dasar suatu masyarakat. Etos lebih lanjut diartikan sebagai kesanggupan memecahkan
persoalan atau permasalahan yang dihadapi yang didalamnya terdapat cara pandang terhadap
berbagai persoalan yang dihadapinya, misalnya cara pandang terhadap urusan dunia,
pendidikan, pekerjaan dan yang lain-lain yang digeluti.[2]
Sedangkan secara istilah para ahli memberikan pengertian beragam. Menurut
Frans Magnis Suseno, etos adalah semangat dan sikap batin tetap seseorang atau sekelompok
orang sejauh didalamnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu. Clifford Gertez
mengartikan etos sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan
hidup. Dengan demikian etos menyangkut semangat hidup, termasuk semangat bekerja,
menuntut ilmu pengetahuan dan meningkatkan keterampilan agar dapat membangun
kehidupan yang lebih baik di masa depan.[3]
Istilah etos lebih lanjut diformulasikan oleh David C.Mc. Clelland dengan istilah virus
mental yang berupa dorongan untuk hidup sukses yang kemudian disingkat dalam
istilah Need for Achievement yang berarti dorongan kebutuhan untuk meraih sukses atau
prestasi yang lebih baik daripada sebelumnya. Clelland lebih lanjut menegaskan bahwa etos
itu berhubungan erat dengan usaha atau tindakan untuk melakukan sesuatu secara lebih baik
dari waktu ke waktu yang sudah dilakukan secara lebih efisien, lebih cepat, hemat, hemat
tenaga dengan hasil yang memuaskan.
Adapun kerja menurut W.J.S Purwadarminta yaitu perbuatan melakukan sesuatu atau
sesuatu yang dilakukan (diperbuat). Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah semua
aktifitas yang dilakukan karena adanya dorongan untuk mewujudkan sesuatu dan dilakukan
karena kesengajaan sehingga tumbuh rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan
karya atau produk yang berkualitas (Toto Tasmara, 2002, hlm 24-25)

Bekerja mempunyai tujuan mencapai hasil baik berupa benda, karya atau pelayanan
kepada masyarakat. Pada manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang pada saatnya
membentuk tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak dicapai bukan hanya
berkaitan dengan fisik saja, tetapi juga berhubungan dengan mental (jiwa) seperti pengakuan
diri, kepuasan, prestasi, dan lain-lain.
Dari berbagai kutipan diatas kita dapat melihat bahwa kata etos dan kerja atau
pekerjaan memiliki hubungan yang sangat erat. Kedua kata tersebut secara substansial
mengandung arti pekerjaan. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa etos
kerja adalah semangat kerja yang terlihat dalam cara seseorang dalam menyikapi pekerjaan,
motovasi yang melatar belakangi seseorang melakukan suatu pekerjaan. Dalam arti lain etos
kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa/umat terhadap kerja.[4]
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa etos kerja guru adalah
karakteristik yang khas yang ditunjukan seorang guru menyangkut semangat, dan kinerjanya
dalam bekerja (mengajar), serta sikap dan pandangannya terhadap terhadap kerja. Etos kerja
guru dalam pengertian lain yaitu sikap mental dan cara diri seorang guru dalam memandang,
mempersepsi, menghayati sebuah nilai dari kerja.
B. Ciri-ciri Etos Kerja
Untuk melihat apakah seseorang mempunyai etos kerja yang tinggi atau tidak dapat
dilihat dari cara kerjanya. Keberhasilan peserta didik didukung oleh keteladan guru dalam
berikap dan kebiasaannya dalam mengajar. Menurut Muhaimin, etos kerja seseorang yang
tinggi dapat diketahui dari cara kerjanya yang memiliki tiga ciri dasar. Tiga ciri dasar tersebut
yaitu: menjunjung mutu pekerjaan, menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat.[5]
Sedangkan menurut Bachtiar Hasan dalam Alinda, etos kerja memiliki ciri-ciri, antara
lain:
a. Memiliki standar kemampuan dalam bidang profesional, yang diakui oleh kelompok atau
organisasi profesi itu sendiri.
b. Berdisiplin tinggi (taat kepada aturan dan ukuran kerja yang berlaku dalam profesi yang
bersangkutan).
c. Selalu berusaha meningkatkan kualitas dirinya, melalui pengalaman kerja dan melalui media
pembelajaran lainnya.[6]
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja
Guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi akan meningkatkan kualitas dan mutu
pendidikan. Setiap guru harus memiliki etos kerja yang tinggi guna melahirkan berbagai
prestasi yang bermanfaat bagi dirinya, siswa, dan masyarakat.
Di dalam melaksanakan pekerjaannya akan terlihat cara dan motivasi yang dimiliki
seorang guru, apakah ia bekerja sungguh-sungguh atau tidak, bertanggung jawab atau tidak.
Cara seorang menghayati dan melaksanakan pekerjaannya ditentukan oleh pandangan,
harapan dan kebiasaan dalam kelompok kerjanya. Oleh karena itu etos kerja seseorang dapat
dipengaruhi oleh etos kerja kelompoknya.
Adapun faktor yang dapat menunjang dan meningkatkan etos kerja guru, yaitu:
a. Adanya tingkat kehidupan yang layak bagi guru.
b. Adanya perlindungan dan ketentraman dalam bekerja.
c. Adanya kondisi kerja yang menyenangkan.
d. Pemberian kesempatan berpartisipasi dan keikutsertaan dalam menentukan kebijakan.

e. Pengakuan dan penghargaan terhadap jasa yang dilakukan.


f. Perlakuan yang adil dari atasan
g. Sarana yang menunjang kebutuhan mental dan fisik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja guru dalam proses pembelajaran:
a. Faktor personal meliputi skill, kemampuan, dan kepercayaan diri.
b. Faktor kepemimpinan meliputi kualitas dalam memberikan semangat, dorongan, arahan, dan
dukungan.
c. Faktor sistem meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan rekan
dalam satu tim.
Sedangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan etos kerja guru menurut William B.
Cester dalam Whjo Sumidjo diantaranya; kesenjangan, pemberian penghargaan yang tidak
efektif, ketiadaan otoritas, supervisi yang tidak seimbang, karir tidak fleksibel, keusangan
personil, rekruitmen dan usaha seleksi yang tidak produktif, ketidakadilan pemberian tugas
dan kesempatan promosi.[7]
D. Hubungan Etos Kerja dengan Profesionalisme Guru
Etos kerja guru yaitu segenap motivasi dan kecerdasan yang menjadi sehimpun
perilaku kerja yang positif, cara kerja yang profesional, serta budi pekerti luhur di dalam
maupun di luar ruang kerja guru. [8] Etos kerja lebih merujuk kepada kualitas kepribadian
pekerja yang tercermin melalui unjuk kerja secara utuh dalam berbagai dimensi
kehidupannya. Dengan demikian, etos kerja lebih merupakan kondisi internal yang
mendorong dan mengendalikan perilaku pekerja ke arah terwujud kualitas kerja yang ideal.
Profesionalisme merupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
kemampuannya secara terus menerus dan memiliki sistem budaya yang mampu memberikan
pelayanan yang memuaskan bagi yang dilayani.[9] Profesionalisme merupakan sikap dari seorang
profesional, dan profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok yang disebut
profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan pengisi waktu luang atau sebagai hobi belaka. Jika
profesi diartikan sebagai pekerjaan dan isme sebagai pandangan hidup, maka profesionalisme dapat
diartikan sebagai pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguhsungguh, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh dedikasi
demi keberhasilan pekerjaannya.

Tugas utama guru adalah sebagai pendidik profesional dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2008 dalam Bab I, Pasal 1, Ayat (1) dikatakan bahwa: Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Edharmayati (2010), etos kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
profesionalitas. Hubungan antara etos kerja dengan profesionalisme guru adalah berbanding
lurus, sehingga apabila seorang guru memiliki etos kerja yang tinggi maka guru tersebut
memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi pula. Dari hasil penelitian tersebut, penulis
berasumsi bahwa etos kerja memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja, karena
profesionalitas merupakan bagian dari kemampuan dan kemampuan merupakan komponen
dari kinerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuyun, dkk (2013) mengenai pengaruh
gaya kepemimpinan kepala sekolah dan etos kerja guru terhadap kinerja guru menghasilkan
bahwa etos kerja guru berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja guru, sehingga dapat
dikatakan bahwa peningkatan etos kerja guru juga akan menyebabkan tingginya kinerja guru,

begitu pula sebaliknya apabila etos kerja guru menurun maka kinerja guru juga akan
menurun. Etos kerja guru ini sangat berpengaruh terhadap kinerja guru itu sendiri karena etos
kerja guru merupakan sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari
oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Etos kerja mempunyai dasar dari nilai
budaya, yang mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing
pribadi yang mampu mempengaruhi kinerja dari diri pribadi itu sendiri. Pada penelitian ini,
dikarenakan nilai korelasi antara kinerja guru dengan etos kerja guru nilainya lebih besar
daripada nilai korelasi kinerja guru dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah, maka
variabel etos kerja lebih berpengaruh terhadap kinerja guru daripada variabel gaya
kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini terjadi karena etos kerja guru lebih berhubungan
dengan pribadi guru itu sendiri sehingga lebih mempengaruhi kinerja guru tersebut daripada
gaya kepemimpinan kepala sekolah yang berlainan pihak dengan guru tersebut.
Jadi dari beberapa penelitian di atas, terdapat hubungan berbanding lurus antara etos
kerja dengan profesionalisme guru dan kinerja guru. Sehingga apabila seorang guru memiliki
etos kerja yang tinggi maka profesionalisme dan kinerja guru akan tinggi, begitupula
sebaliknya.
E. Kiat Meningkatkan Etos Kerja dan Profesionalisme Guru
Etos kerja guru dapat ditingkatkan terutama dengan adanya motor penggerak sekolah
yaitu kepala sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa meningkatkan efektivitas
kinerja guru. Adapun cara meningkatkan etos kerja guru yang dilakukan oleh kepala sekolah:
a. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik,
lancar, dan produktif.
b. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu.
c. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru di
sekolah.
d. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Sedangkan menurut Alex Nitisemito, ada sebelas cara yang dilakukan untuk
meningkatkan etos kerja, yaitu:
1. Memberikan gaji/upah yang cukup
Jumlah gaji yang diberikan mempunyai pengaruh terhadap semangat dan kegairahan
kerja. Semakin besar gaji yang diberikan guru-guru akan mendapat ketenangan dan semangat
dalam melaksanakan tugasnya.
2. Memperhatikan kebutuhan rohani
Selain kebutuhan gaji, kebutuhan rohani meliputi: kebutuhan untuk dihargai,
berpatisipasi, ketentraman jiwa, beribadah dan lain-lain.
3. Menciptakan suasana santai dan nyaman
Suasana kerja yang rutin sering menimbulkan ketegangan, kebosanan, dan kelelahan.
Oleh karena itu hendaknya diciptakan suasana santai pada waktu tertentu, misalnya saat
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan rekan sejawat.
4. Memperhatikan harga diri
Menjaga harga diri guru salah satunya dengan mengajaknya berunding dalam
menetapkan kebijakan. Selain itu, setiap guru diberikan kepercayaan dan tanggung jawab
yang sesuai agar merasa dihargai.
5. Menempatkan pada posisi yang tepat (sesuai bidangnya)

Posisi yang tepat atau sesuai dengan bidangnya akan membuat guru menjadi lebih
menguasai materi dan situasi dalam mengajar.
6. Memberikan kesempatan untuk maju
Pimpinan memberikan kesempatan dan memberikan penghargaan kepada guru yang
berprestasi. Dukungan dari lingkungan sekitar juga dibutuhkan untuk kemajuan dan prestasi
kelak.
7. Memberikan rasa aman untuk menghadapi masa depan
Semangat dan gairah guru akan terpupuk jika mereka mempunyai perasaan aman
terhadap masa depan profesi mereka. Tunjangan kesehatan, maslahat tambahan, dan program
pension dapat memberikan rasa aman kepada guru.
8. Mengupayakan guru mempunyai loyalitas
Loyalitas guru terhadap sekolah dapat menimbulkan tanggung jawab dan menciptakan
gairah dan semangat kerja.
9. Ikut berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan
Dengan melibatkan guru dalam penetapan kebijakan di sekolah akan menimbulkan
rasa tanggung jawab guru sehingga semangat dan kegairahan kerja meningkat.
10. Memberikan intensif yang terarah
Pemberian intensif yang terarah dapat meningkatkan semangat seseorang dalam
bekerja dan dengan demikian guru akan meningkatkan mutu kualitasnya dengan baik.
11. Memberikan fasilitas yang memadai
Fasilitas yang memadai juga dapat memacu semangat dalam bekerja, walau
baaimanapun fasilitas yang mendukung memberikan pengaruh terhadap sikap guru dalam
mengajar.[10]

[1] Toto Tasmara, Membudidayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. 1, h.
15
[2] Abdulah Nata, Paradigma Pendidikan Islam: kapita selekta pendidikan islam, (Jakarta: Grasindo,
2001), h. 20
[3] Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja Dalam Persfektif Tasawuf, (Bandung: Pustaka Nusantara,
2003, cet. 1, h. 1)
[4] Panji Anoraga, Psikologi Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet 3, h. 29
[5] Muhaimin, et al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengeektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah (Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2004) h. 114
[6] Alinda Oktafiani, Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Etos Kerja Guru di
MAN Cibinong, Jakarta: Jurusan Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010. Skripsi
[7] Whjo Sumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 274
[8]Alinda Oktafiani, "Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dengan Etos Kerja
Guru Di MAN Cibinong", Skripsi Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah, 2011), h. 21
[9]Cepi Triatna, BAB II KAJIAN PUSTAKA, h. 11 diakses dari
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/197907232001121CEPI_TRI
ATNA/LAP_FUNDAMENTAL_Cepi_2009_ADPEND/BAB_II_KAJIAN_PUSTAKA.pdf pada tanggal 2
November 2013
[10] Alex Nitisemito, Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Grasindo,
2001) h. 102-108

DARI http://amuysmoch.blogspot.com/2013/11/etos-kerja-dan-profesionalisme-guru.html

ETOS KERJA GURU 1. Pengertian Etos Kerja Etos dari sudut pandang bahasa berasal dari bahasa
Yunani ethos yang bermakna watak atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1993:271) makna lengkap etos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan, dan
seterusnya, yang bersifat khusus tentang individu atau sekelompok manusia. Dalam Websters
News World Dictionary of the American Languange (1980) dikemukakan istilah etos berhubungan
dengan etika, etis, yakni kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok atau organisasi.
Sedangkan (Echols dan Shadily 1994;219) mengartikan etos sebagai jiwa khas suatu kelompok
manusia. Berdasarkan jiwa yang khas itulah berkembang pandangan seseorang individu atau
kelompok (organisasi) tentang sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk. Etos kerja dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1993:271) diartikan sebagai semangat kerja yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok. Dalam pengertian seperti inilah, maka negara
industri baru (INC = Newly Industrializing Countries) seputas Indonesia, yaitu Korea Selatan,
Taiwan, Hongkong, dan Singapore, seringkali disebut sebagai Little Dragong (naga-naga kecil).
Maksudnya, NIC adalah negara konfusionis, yaitu penganut ajaran Kong Hu Cu, dengan naga sebagai
binatang mitologis dalam sistem kepercayaan mereka. Dengan ungkapan lain, sebutan itu
menunjukkan anggapan bahwa NIC menjadi maju adalah berkat ajaran atau etika Kong Hu Cu.
Dengan begitu, maka untuk kemajuan negara-negara tersebut ; Kreditan, pujian, dan penghargaan
diberikan kepada ajaran-ajaran Kong Hu Cu, dengan pandangan yang hampir memastikanbahwa
negara-negara itu maju karena ajaran filsuf Cina itu. Selanjutnya kesimpulanpun dibuat bahwa
etika Kong Hu Cu memang relevan, bahwa begitu mendukung bagi usaha-usaha modernisasi dan
pembangunan bangsa industrial (Tu Wei-Ming 1984:20). Disisi lain ternyata etos kerja sangat sarat
dengan persoalan sikap yang ada pada seseorang dalam melakukan kerjanya. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Myrdal (dalam Soebagio Atmowirio, 2000:214) bahwa etos kerja adalah sikap
kehendak seseorang yang diekspresikan lewat semangat yang didalamnya termuat tekanan-tekanan
moral dan nilai-nilai tertentu. Myrdal lebih jauh mengemukakan pula bahwa etos kerja merupakan
sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moralnya : (1) kerja keras, (2) efisiensi, (3)
kerajinan, (4) tepat waktu, (5) prestasi, (6) energetik, (7) kerja sama, (8) jujur, (9) loyal. Etos
kerja yang jelas menggambarkan hal-hal yang bersifat normatif sebagai sikap kehendak yang
dituntut agar dikembangkan. Tindak lanjut dari etos kerja ini yaitu meningkatnya kualitas kerja
para guru sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam setiap semester maupun periode
tahunan. Berdasarkan batasan diatas, etos kerja guru dapat dijadikan sebagai suatu pokok pikiran
utama dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia, dimana etos kerja guru tersebut dalam suatu
organisasi sekolah mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses
pelaksanaan tugas pembelajaran disatuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai. Dengan begitu bangsa Indonesia dapat
mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa maju lainnya dikawasan Asia khususnya dan dunia
pada umumnya. Etos kerja guru yang tinggi akan banyak menentukan keberhasilan usaha dan proses
pembelajaran di sekolah. Karena itu, masalah tersebut menarik untuk diperhatikan dan dianalisis
dalam suatu organisasi sekolah yang didalamnya menyangkut berbagai keputusan termasuk
keputusan para guru itu sendiri. Mengenai etos kerja ini, Soebagio Atmowirio (2000:232)
mengemukakan bahwa etos kerja merupakan pandangan dan sikap seseorang dalam menilai apa
arti kerja sebagai bagian dari hidup dalam rangka meningkatkan kehidupannya. Selanjutnya
Soebagio Admowirio (2000:233) secara lebih spesifik menjelaskan pengertian etos kerja sebagai
berikut : Etos kerja adalah landasan untuk meningkatkan prestasi kerja/kinerja setiap Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Mengacu pada batasan tersebut, maka etos kerja guru dalam menjalankan
tugasnya disekolah. Dalam hal ini etos kerja guru dipandang dari segi pelaksanaan tugas-tugas

profesionalisme.
2.
Etos Kerja Guru Dalam upaya meningkatkan etos kerja guru, menurut Wahjosumidjo (1999:92),
bahwa kepala sekolah adalah seorang yang dapat menentukan titik pusat dan irama suatu
sekolah. Jika kepala sekolah cakap maka tentunya akan besar perhatiannya pada etos kerja baik
yang menyangkut guru maupun peserta didik sejak masuk sekolah sampai dengan kembali kerumah
masing-masing. Kepala sekolah juga berpikir dan berusaha bagaimana guru merasa nyaman di
sekolah, senang dalam bekerja dan memperoleh kesejahteraan yang memadai. Sejalan dengan itu
Sergiovanni (1987:269), menyebutkan: School Improvement requires a strong commitment from
the principle. Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa perbaikan sekolah itu
sesungguhnya berada pada komitmen kuat kepala sekolah. Oleh sebab itu kepala sekolah juga di
tuntut untuk memiliki kemampuan, terampil, cerdas untuk mewujudkan iklim kerja yang sehat,
sehingga akan tercipta etos kerja pada guru di sekolah. Jika iklim suatu organisasi dapat
merangsang iklim kerja, tersedia sarana dan prasarana yang memadai bagi para guru dan peserta
didik, maka iklim kerja yang demikian akan memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan
etos kerja guru. Disamping itu, guru sangat memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan
pendidikan. Terbukti bahwa peran dan fungsi guru di dalam proses belajar mengajar masih sangat
dominan. Dengan demikian agar tujuan pendidikan dapat berhasil baik dan optimal sangat
tergantung pada peran guru. Dalam meningkatkan etos kerja, guru senantiasa diperhadapkan pada
peningkatan kualitas pribadi dan sosialnya. Jika hal ini dapat dipenuhi maka keberhasilan lebih
cepat diperoleh, yaitu mampu melahirkan peserta didik yang berbudi luhur, memiliki karakter sosial
dan profesional sebagaimana yang menjadi tujuan pokok pendidikan itu sendiri. Menurut Thoifuri
(2007:3-4), bahwa karakter pribadi dan sosial bagi guru dapat diwujudkan sebagai berikut:
1.
Guru hendaknya pandai, mempunyai wawasan luas. 2.
Guru harus selalu meningkatkan
keilmuannya. 3.
Guru meyakini bahwa apa yang disampaikan itu benar dan bermanfaat.
4.
Guru hendaknya berpikir obyektif dalam menghadapi masalah. 5.
Guru hendaknya
mempunyai dedikasi, motivasi dan loyalitas. 6.
Guru harus bertanggung jawab terhadap kualitas
dan kepribadian moral 7.
Guru harus mampu merubah sikap siswa yang berwatak manusiawi.
8.
Guru harus menjauhkan diri dari segala bentuk pamrih dan pujian. 9.
Guru harus mampu
mengatualisasikan materi yang disampaikan 10. Guru hendaknya banyak inisiatif sesuai
perkembangan iptek. Karakter guru tersebut di atas merupakan ciri kehidupan seorang guru yang
amat fundamental dan dengan keprofesionalan guru itulah akan terjadi motivasi, dinamisasi dan
demokratisasi pemikiran yang akan mengarah kepada kreaktivitas yang konstruktif dalam
menciptakan etos kerja di masa kini dan masa yang akan datang. Untuk mewujudkan semua itu
tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat. Pada tataran
implementasi etos kerja guru dapat terlihat dalam kegiatan guru pada saat pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar, itulah sebabnya untuk mengukur efektifitas etos kerja guru perlu
mengkomparasikan dengan kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah yang cakap tentunya
akan menaruh perhatian pada etos kerja bawahannya. Salah satu teori berkaitan dengan
peningkatan etos kerja sebagaimana yang dikemukan oleh Mitchel,T.R dan Larson (1987:343) bahwa
indikator-indikator atau ukuran-ukuran kinerja guru meliputi : (1) kemampuan, (2)
prakarsa/inisiatif, (3) ketepatan waktu, (4) kualitas hasil kerja, dan (5) komunikasi. 1. Kemampuan
Guru
Broke dan Stoine (dalam Wijaya & Rusyan 1992:7-8), menjelaskan bahwa
kemampuan merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau tenaga kependidikan
yang tampak sangat berarti. Sedangkan Robins,1998:46 (dalam Sitio 2006), mendefinisikan
kemampuan adalah kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu
pekerjaan.
Charles E. Jhonsons et al (1974:3) (dalam Wijaya dan A. Tabrani Rusyan
1992:8), mendefinisikan bahwa kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai
tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kemampuan merupakan salah
satu hal yang harus dimiliki dalam jenjang apapun karena kemampuan memiliki kepentingan
tersendiri dan sangat penting untuk dimiliki oleh guru. Berhasil tidaknya pendidikan pada sebuah
sekolah salah satu komponennya ialah guru itu sendiri. 2. Inisiatif Guru
Menurut kamus
Bahasa Besar Indonesia inisiatif berarti usaha sendiri, langkah awal, ide baru. Berinisiatif berarti

mengembangkan dan memberdayakan sektor kreatifitas daya pikir manusia, untuk merencanakan
idea atau buah pikiran menjadi konsep yang baru yang pada gilirannya diharapkan dapat berdaya
guna dan bermanfaat.
Manusia yang berinisiatif adalah manusia yang tanggap terhadap
segala perkembangan yakni manusia yang pandai membaca, menghimpun dan meneliti, manusia
yang inisiatif juga dapat memanfaatkan setiap peluang di setiap pergantian waktu, dan
menjadikannya sebagai kreasi yang berarti.
Keistimewaan dari inisiatif ini sendiri yaitu
mampu mencermati kreasi Tuhan, selanjutnya menjadikan bahan renungan atau kreatifitas berpikir
dalam semua waktu dan tempat, kemudian membuat kreasi baru (karya baru) atau berinisiatif
memproduksi semua potensi menjadi berdaya guna. 3. Ketepatan Waktu Kerja Kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri, sebelum masuk dalam sebuah organisasi pendidikan seorang guru tentu
mempunyai aturan, nilai dan norma sendiri, yang merupakan proses sosialisasi dari keluarga atau
masyarakatnya. Seringkali terjadi aturan, nilai dan norma diri yang tidak sesuai dengan aturanaturan sekolah yang ada. Hal ini menimbulkan konflik sehingga orang mudah tegang, marah, atau
tersinggung apabila orang terlalu menjunjung tinggi salah satu aturannya. Misalnya, seorang guru
yang selalu tepat waktu mengajar sementara itu iklim di sekolah kurang menjunjung tinggi nilainilai penghargaan terhadap waktu. Jika guru tersebut memegang teguh prinsip-prinsipnya sendiri,
ia akan tersisih dari teman sekerjanya. Demikian sebaliknya, jika ikut arus maka ia akan mengalami
stres, oleh karenanya ia harus menyesuaikan diri; tidak ikut arus, tetapi juga tidak kaku. Ia jika
perlu mempelopori kepatuhan terhadap waktu kepada teman sejawatnya. Ketepatan waktu dalam
melaksanakan tugas diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti
aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian ketepatan
waktu atau disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan
karyawan terhadap peraturan organisasi. Niat untuk mentaati peraturan menurut Suryohadiprojo
(1989:65) merupakan suatu kesadaran bahwa tanpa didasari unsur ketaatan, tujuan organisasi tidak
akan tercapai. Hal itu berarti bahwa sikap dan perilaku di dorong adanya kontrol diri yang kuat.
Artinya,sikap dan perilaku untuk mentaati peraturan organisasi muncul dari dalam dirinya. Niat
juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk berbuat sesuatu atau kemauan untuk menyesuaikan
diri dengan aturan-aturan. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif,
kemauan, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan mempunyai
disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati,
tetapi juga mempunyai kehendak (niat). 4. Kualitas Hasil Kerja Guru Pengertian kualitas hasil kerja
disebut juga sebagai kinerja atau dalam bahasa Inggris disebut dengan performance. Pada
prinsipnya, ada istilah lain yang lebih menggambarkan pada kualitas atau prestasi dalam
bahasa Inggris yaitu kata achievement. Tetapi karena kata tersebut berasal dari kata to
achieve yang berarti mencapai, maka dalam bahasa Indonesia sering diartikan menjadi
pencapaian atau apa yang dicapai. (Ruky, 2001:15). Menurut Hasibuan (1990), prestasi kerja
adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu. Dari definisi
diatas dapat dipahami bahwa kualitas kerja lebih menekankan pada hasil atau yang diperoleh dari
sebuah pekerjaan sebagai kontribusi pada sekolah atau standar pencapaian hasil akhir dari guruguru yang ada di sekolah dalam memnuhi kebutuhan dari peserta didik. Untuk meningkatkatkan
kualitas hasil kerja tentunya dipengaruhi oleh faktor organisasional (sekolah) dan factor personal.
Faktor organisasional meliputi sistem imbal jasa, kualitas pengawasan, beban kerja, nilai dan
minat, serta kondisi fisik dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organisasional tersebut,
faktor yang paling penting adalah faktor sistem imbal jasa, dimana faktor tersebut akan diberikan
dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi. Selain itu, faktor organisasional kedua yang juga
penting adalah kualitas pengawasan (supervision quality), dimana seorang bawahan dapat
memperoleh kepuasan kerja jika atasannya lebih kompeten dibandingkan dirinya. Sementara faktor
personal meliputi ciri sifat kepribadian (personality trait), senioritas, masa kerja, kemampuan
ataupun keterampilan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan dan kepuasan hidup. Untuk faktor
personal, faktor yang juga penting dalam mempengaruhi prestasi kerja adalah faktor status dan
masa kerja. Pada umumnya, orang yang telah memiliki status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya

telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Status pekerjaan tersebut dapat memberikannya
kesempatan untuk memperoleh masa kerja yang lebih baik, sehingga kesempatannya untuk semakin
menunjukkan prestasi kerja juga semakin besar. Di samping itu juga prestasi kerja seseorang
tergantung juga dari kesempatan, kapasitas, dan kemauan untuk melakukan prestasi. Kapasitas
terdiri dari usia, kesehatan, keterampilan, inteligensi, keterampilan motorik, tingkat pendidikan,
daya tahan, stamina, dan tingkat energi. Kemauan terdiri dari motivasi, kepuasan kerja, status
pekerjaan, kecemasan, legitimasi, partisipasi, sikap, persepsi atas karakteristik tugas, keterlibatan
kerja, keterlibatan ego, citra diri, kepribadian, norma, nilai, persepsi atas ekspektasi peran, dan
rasa keadilan. Sedangkan kesempatan meliputi alat, material, pasokan, kondisi kerja, tindakan
rekan kerja, perilaku pimpinan, mentorisme, kebijakan, peraturan, prosedur organisasi, informasi,
waktu, serta gaji yang didapatkan. 5. Komunikasi Guru Komunikasi merupakan bagian yang
penting dalam kehidupan kerja. Hal ini mudah dipahami sebab komunikasi yang tidak baik bisa
mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan organisasi , misalnya konflik antar guru, dan
sebaliknya komunikasi yang baik dapat meningkatkan saling pengertian, kerjasama dan juga
kepuasan kerja. Mengingat yang bekerjasama dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan
merupakan sekelompok sumber daya manusia dengan berbagai karakter, maka komunikasi yang
terbuka harus dikembangkan dengan baik. Dengan demikian masing-masing pegawai dalam
organisasi mengetahui tanggung jawab dan wewenang masing-masing. Guru-guru yang mempunyai
kompetensi komunikasi yang baik akan mampu memperoleh dan mengembangkan tugas yang
diembannya, sehingga tingkat kinerjanya menjadi semakin baik. Komunikasi memegang peranan
penting di dalam menunjang kelancaran aktivitas pegawai di sekolah. Adapun komunikasi yang di
bangun di sekolah ini antara lain: a.
Komunikasi ke bawah (downward communication) atau
komunikasi kepala sekolah dengan para guru dan staf tata usaha.
Yaitu komunikasi yang datang
dari kepala sekolah SMP Negeri 5 Bitung kepada seluruh warga sekolah dan bersifat intern. Seperti
instruksi tugas, rasionalisasi pekerjaan, informasi, idiologi, dan balikan. b.
Komunikasi keatas
(upward communication) atau komunikasi guru dan karyawan kepada kepala sekolah. Adalah arus
komunikasi yang bergerak dari bawah keatas. Pesan yang disampaikan antara lain laporan
pelaksanaan pekerjaan, keluhan guru, sikap dan perasaan guru tentang kendala yang dihadapi pada
proses kegiatan belajar mengajar, pengembangan media pembelajaran, informasi tentang
pembagian jadwal mengajar dan hasil yang dicapai oleh siswa, dll. c.
Komunikasi Horisontal
(horizontal comunication) Komunikasi yang di bangun di antara para guru-guru mata pelajaran, guru
kelas dalam rangka kerja yang sama demi untuk meningkatkan hasil belajar siswa serta kemajuan
sekolah.
3. Fungsi dan Manfaat Etos Kerja Guru Pada umumnya berbicara etos kerja sangat
terkait dengan peningkatan kualitas kerja seseorang dalam suatu kekuatan. Itulah sebabnya,
menurut Soebagio Atmowirio sebagaimana dikemukakan diatas mengatakan bahwa etos kerja itu
merupakan landasan untuk meningkatkan unjuk kerja guru. Etos kerja dengan demikian berfungsi
secara fundamental sebagai landasan pencapaian unjuk kerja yang tinggi. Dalam hal etos kerja ini,
Triguno (2002:9) menyatakan bahwa program peningkatan etos (budaya) kerja memiliki arti yang
sangat fundamental bagi setiap organisasi, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya
manusia untuk mencapai produktivitas kerja atau unjuk kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi
tantangan masa depan. Lanjut Triguno, manfaat yang didapat dari membudayanya etos kerja
antara lain sebagai berikut: menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, membuka seluruh
jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, menemukan
kesalahan dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dari luar (faktor
eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi, dan lain-lain), mengurangi laporan berupa
data-data dan informasi yang salah dan palsu. Selain manfaat diatas, etos kerja yang tinggi pada
dasarnya akan menjadikan tingkat efesiensi dalam melakukan pekerjaan tinggi, kerajinan
meningkat atau tingkat absensi kurang, sikap tepat waktu atau disiplin, bersedia untuk melakukan
perubahan atau fleksibel, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan-kesempatan yang muncul,
siap bekerja, dan sikap bekerjasama. Hal diatas senada dengan Triguno (2002:9) yang menyatakan
bahwa terciptanya etos kerja yang tinggi yang disebutnya sebagai budaya kerja akan meningkatkan
kepuasan kerja, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat, pengawasan fungsional berkurang,

pemborosan berkurang (efisien), tingkat absensi turun, ingin belajar terus, ingin memberikan yang
terbaik bagi organisasi dan lain-lain. Selanjutnya Wolseley & Campbell (dalam Triguno, 2002: 9-10)
menyatakan sebagai berikut : 1.
Orang yang terlatih melalui kelompok budaya kerja akan
menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru
dalam usahanya untuk mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada padanya dengan
kedahsyatan dan daya imajinasi seteliti mungkin dan seobjektif mungkin. 2.
Orang yang terlatih
dalam kelompok budaya kerja akan memecahkan permasalahan sebara mandiri dengan bantuan
keahliannya berdasarkan metode ilmu pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis
kreatif, tidak menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan. 3.
Orang yang terdidik
melalui kelompok budaya kerja berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan
kebiasaan sosialnya, baik nilai-nilai spiritual maupun standar-standar etika yang fundamental untuk
menyerasikan kepribadian dan moral karakternya. 4.
Orang yang terdidik dalam kelompok
budaya kerja mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian khusus
dalam mengelola tugas atau kewajiban dan bidangnya, demikian juga dengan hal berproduksi dan
pemenuhan kebutuhan hidupnya. 5.
Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan
memahami dan menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial, politik, budaya dan
menjaga kelestarian sumber-sumber alam, memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang
bebas sebagai suatu kondisi yang harus ada. 6.
Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja
berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat dan
bangsanya, penuh tanggung jawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya,
serta memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi yang bereaksi dengan yang memegang
kekuasaan sebaik mungkin. Dari keenam manfaat budaya kerja atau etos kerja sebagaimana
dikemukakan Wolseley & Campbell di atas, jelaslah bahwa peningkatan etos kerja ini menjadi
mutlak sekaligus pilihan orientasi bangsa kini dan dimasa depan. Hal ini penting, mengingat bahwa
bangsa Indonesia memang menderita kelemahan etos kerja (Louis Kraar dalam majalah Readers
Digest edisi 1988:44), keberhasilan Jepang, Cina dan Korea, misalnya dalam membangun
perekonomian mereka adalah karena etos kerja yang memiliki bangsa-bangsa itu tinggi. Artinya
etos kerja memberikan manfaat yang signifikan terhadap pencapaian prestasi kerja atau untuk
unjuk kerja guru tinggi dan berkualitas.
4. Langkah-langkah Pengembangan Etos Kerja Guru
Pengembangan etos kerja pada dasarnya merupakan suatu upaya yang bersifat wajib dilakukan
oleh setiap guru, kepala sekolah maupun staf administrasi. Usaha untuk mengembangkan etos kerja
guru terfokus pada peningkatan produktifitas mengajar yang dilakukan oleh guru di sekolah. Secara
umum menurut Triguno (2002: 141-142) upaya yang harus ditempuh dalam pengembangan etos
kerja tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Peningkatan produktifitas melalui penumbuhan etos
kerja.Tumbuhnya etos kerja akan memberikan suatu formulasi baru dalam meningkatkan potensi
pribadi yang dimiliki oleh setiap guru di jenjang pendidikan formal. 2.
Sistim pendidikan perlu
disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang memerlukan berbagai keahlian dan ketrampilan
yang dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja. 3.
Dalam
melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan sebaiknya nilai
budaya Indonesia terus dikembangkan dan dibina guna mempertebal rasa harga diri dan nilai
pendidikan sangat dibutuhkan dalam mengedepankan etos kerja para guru yang ada di lembaga
pendidikan. 4.
Disiplin nasional harus terus dibina dan dikembangkan untuk memperoleh sikap
mental manusia yang produktif. 5.
Menggalakkan partisipasi masyarakat, meningkatkan dan
mendorong agar terjadi perubahan dalam masyarakat tentang tigkah laku, sikap serta psikologi
masyarakat. Dampak dari etos kerja para guru yang ada dalam suatu lembaga pendidikan formal
tidak lain adalah sebagaimana paparan tersebut diatas. Contoh yang positif terhadap masyarakat
tentang cara dalam meningkatkan etos kerja yang diharapkan. 6.
Menumbuhkan motifasi kerja,
dari sudut pandang pekerja, kerja berarti pengorbanan, baik itu pengorbanan waktu senggang atau
kenikmatan hidup lainnya, semantara itu upah merupakan ganti rugi dari segala pengorbanannya
itu. Bagi guru, dimensi seperti yang diharapkan diatas sangat memberi peluang yang besar dalam
meningkatkan etos kerjanya. Upaya-upaya pengembangan etos kerja diatas paling tidak harus terus
dilakukan secara teratur dan berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Tanpa

dilakukan secara teratur, mustahil suatu jenis pekerjaan dapat memberikan suatu peningkatan hasil
dan kondusifitas pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Upaya seperti ini perlu direalisasikan
apabila tujuan-tujuan yang telah disepakati tercapai dalam suatu tatanan pekerjaan dalam rangka
membentuk sikap mental dan etos kerja lebih bersifat produktif. Relefansi peningkatan etos kerja
guru ini karena sekolah sebagai organisasi yang melibatkan tenaga kerja manusia, khususnya dalam
meningkatkan produktifitas kerja sesuai dengan target waktu dan usaha yang ditetapkan oleh setiap
sekolah sebagai sebuah organisasi. Suatu hal yang menarik jika dicermati secara serius, bahwa
lembaga pendidikan sekarang ini sangat antusias untuk mengubah tatanan kerja yang kurang
kondusif, menjadikan sekolah sebagai lembaga yang benar-benar kondusif dengan etos kerja
anggota organisasinya yang ideal sebagaimana batasan yang dikemukakan diatas. Langkah-langkah
seperti itu merupakan suatu upaya untuk meningkatkan etos kerja seorang guru sebagai pekerja
pendidikan. Bagi guru, etos kerja bukan hal yang baru, sebab etos kerja sudah merupakan tuntutan
profesionalisme seorang guru. Etos kerja yang tinggi sudah harus menjadi komitmen guru ketika dia
harus mengabdikan dirinya dalam suatu kegiatan mengajar, mendidik dan memimpin, serta
mengelolah anak didik di sekolah. Artinya bahwa etos kerja telah ada pada guru ketika dia telah
diperhadapkan dengan jenis pekerjaan tersebut, hanya saja tingkat pengembangan etos kerja yang
ada perlu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan. Barometer sikap mental seorang guru
dapat meningkatkan etos kerjanya sangat terkait dengan seberapa besar pengorbanannya dalam
melakukan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya (Triguno 2002:3). Lanjut Triguno,
hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana tingkat komitmen diri para guru untuk menumbuhkan
etos kerja sebagaimana yang diharapkan, meningkatkan disiplin kerja sesuai dengan aturan yang
telah disepakati, serta menumbuhkan sikap-sikap inovatif dalam pekerjaannya. Untuk itulah dalam
konteks lembaga sekolah, perlu adanya motifasi yang kuat dari dalam diri maupun dari luar diri
guru untuk mengembangkan etos kerja yang maksimal. Peningkatan etos kerja merupakan bagian
dari motivasi yang kuat dalam memberikan dorongan pemikiran dan kebijaksanaan yang tertuang
dalam perencanaan dan program yang terpadu dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi eksteren
maupun interen organisasi. Dari pembahasan tersebut di atas, menurut penulis setiap orang pasti
punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, anda tidak sendirian. Banyak orang
lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua orang pernah
mengalami gairah kerjanya melorot. Cara terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi
pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara
sistematis, Jansen (2010:24) memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai
Delapan Etos Kerja Profesional yaitu: v Etos pertama: Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan
kita, entah pengusaha, pegawai kantor, guru sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari
Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa
biaya sepeser pun. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah.
Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah
ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh
kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahanan v Etos
kedua: Kerja adalah amanah. Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota
DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri
menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita
bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai
bentuknya. v Etos ketiga: Kerja adalah panggilan. Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis,
semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat
memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan
ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi
tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita
bisa berucap pada diri sendiri, Im doing my best! Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika
hasil karya kita kurang baik mutunya. v Etos keempat: Kerja adalah aktualisasi. Apa pun pekerjaan
kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat

kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat
kita merasa ada. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong
tanpa pekerjaan. Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia.
Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa percaya diri ketika
berjumpa dengan temannya. Perkenalkan, nama Saya Zakir Hubulo,S.Sos,M.Pd Guru Profesional
Sosiologi sekaligus Waka Hubmas MA Yaspib Bitung.(Mantap To...) v Etos kelima: Kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah.
Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari
uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini: Seorang
pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang
tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping
tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang
tak terlihat? Ia menjawab, Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa
melihatnya. Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental. v Etos
keenam: Kerja adalah seni. Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah
seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi.
Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia
keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati
pekerjaannya. Antusiaslah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium
yang sepi, katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein
pun menyebut rumus-rumus fisika yang sangat rumit itu dengan kata sifat beautiful. v Etos
ketujuh: Kerja adalah kehormatan. Serendah apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah
kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar
akan datang kepada kita. Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan
Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba
terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua
novelnya menjadi karya sastra kelas dunia. v Etos kedelapan: Kerja adalah pelayanan. Apa pun
pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai
pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua
sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan
seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke
lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji
oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang
memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar
biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi
subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal. Menurut Jansen, kedelapan
etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua
konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan. Asalkan pekerjaan yang halal, katanya.
Umumnya, orang bekerja itu hanya untuk mencari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi.
Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan
waktu 30-40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan.
Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun
bekerja. Itukan waktu yang sangat lama. Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada
pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu,
bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan. Jika aturan pertama tidak bisa kita
dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa
mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. Kita harus belajar mencintai
yang kita punyai dengan segala kekurangannya. Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan
banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau
enaknya saja. Dalam dunia kerja, banyak masalah yang bisa tampil dalam berbagai macam bentuk.
Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih
banyak lagi. Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan. Harapan

penulis, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi guru-guru dan mahasiswa
pascasarjana jurusan manajemen pendidikan. Daftar Bacaan: Atmodiwirjo,S. 2001. Manajemen
Pendidikan Indonesia.Ardadizyaa. Jakarata Azra,A. 2002. Paradigma Pendidikan Nasional
Rekonstruksi dan Demokratisasi. Penerbit Kompas. Jakarta Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi
Pendidikan, Langkah-langkah Pembahruan & Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem
Pendidikan Indonesia.LAPPERA Pustaka Utama. Yogyakarta. Creswell,J.W. 2008. Educational
Research: Planning, Conducting anda Evaluating Quantitative anda Qualitative Research (3rd ed).
Upper Aaddle River, New Jersey: Pearson Education Inc. Danim,S. 2002. Inovasi Pendidikan, dalam
Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Penerbit Pustaka Setia. Badung.
Fadjar,M. 2001. Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan SDM. LOGOS Wacana Ilmu dan
Pemikiran. Jakarta. Handoko,T. 1996. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi 2.
BPFE.Yogyakarta. Hasibuan,M.S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta
Jansen, Sunamo.H. 2010. 8 Etos Kerja Profesional. PT.BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Kambey,Daniel.C.1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yayasan Tri Ganesa Nusantara. Manado
Kamus Besar Bahasa Indoensia. 1993. Balai Pustaka. Jakarta Thoifuri. 2008. Menjadi Guru
Inisiator.RaSAIL.Semarang.
Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win

http://siswakucerdas.blogspot.com/2011/03/etos-kerja-guru.html

https://www.academia.edu/6455022/PENGARUH_GAYA_KEPEMIMPINAN_KEPALA_SEKOLAH_DAN_
ETOS_KERJA_GURU_TERHADAP_KINERJA_GURU_STUDI_PADA_AL-AZHAR_SYIFA_BUDI_SOLO

Anda mungkin juga menyukai