Pekerjaan: Researcher di Populi Center Public Opinion and Policy Research Almamater: S1: Goldsmiths College, University of London S2: SOAS, University of London Birokrasi DKI Jakarta mengawali tahun baru dengan perombakan besar-besaran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, tanggal 2 Januari silam, di silang Monas. Pria yang akrab disapa Ahok itu melantik ribuan PNS DKI, mulai dari pimpinan tinggi pratama hingga administrator DKI. Kemudian beberapa hari pasca pelantikan, masyarakat mulai disuguhi berita-berita seputar gebrakan maupun wacana kebijakan dari para pejabat yang baru dilantik. Sudah beberapa hari saya memantau, dan berita yang menjadi polemik adalah wacana mengenai pembatasan jumlah pengendara sepeda motor. Saya tertarik membahas komentar para pembaca pada berita yang dimuat di media online Tribunnews.com, berjudul: Uji Coba Larangan Motor Diperluas ke 9 Ruas Jalan Lain. Larangan motor melintas di jalan-jalan tertentu khususnya jalan protokol, memang seperti pedang bermata dua. Untuk segi individu, para pengguna mobil menganggap bahwa pembatasan dirasa efektif untuk mengurangi kemacetan. Khususnya bagi mereka yang berkantor di kawasan Thamrin dan Sudirman. Meski kawasan tersebut adalah pusat bisnis di kota Jakarta, tetap saja sebagian masyarakat yang kerja di daerah ini, memilih untuk berangkat dengan motor. Tidak hanya itu, kawasan ini juga menjadi connecting way bagi pekerja yang berkantor di kawasan Kuningan dan Senayan. Dengan kondisi demikian, jelas kawasan Thamrin dan Sudirman memang benar-benar menjadi pusat bisnis yang seolah tidak pernah tidur. Lantas bagaimana nasib para pemotor ini? Sebelum menjawab lebih jauh, apabila pembaca dihadapkan pada isu pemotor di jalan protokol, mungkin terbersit di benak pembaca bahwa pemotor adalah orang yang bekerja di kawasan tersebut atau yang melintas di kawasan tersebut. Nah, disini kita bisa lihat, siapa yang melintas? Apa benar hanya pekerja yang kantornya harus melewati jalan Thamrin dan Sudirman? Ternyata tidak hanya itu saja. Ingat, masih ada jasa kurir dan delivery makanan yang lalu lalang di kawasan terlarang bagi pemotor tersebut. Sudah pasti, apabila dibatasi, dan melihat opsi yang ditawarkan pemerintah yaitu bus gratis bagi pengguna motor, apakah jasa kurir dan delivery makanan akan efektif? Kurir dan delivery di Jakarta menjadi high demand karena kecepatan waktu perjalanannya. Peranan jasa kurir dan delivery pun menurut saya memainkan peran yang cukup signifikan untuk roda
perekonomian. Coba saja kita lihat, hampir semua restoran-restoran
besar atau makanan cepat saji, menyediakan layanan food delivery. Berita yang dimuat di Viva.co.id pun menyebut bahwa pelaku bisnis kini menjadikan strategi jemput bola menjadi trend dengan jasa pesan-antar. Trend ini pun semakin laris di kota yang sibuk ini, karena masyarakat tidak perlu lagi menghabiskan waktu di perjalanan. Mereka cukup tinggal pesan via online atau telpon, lalu bertransaksi via transfer uang atau Cash On Delivery. Tidak sampai berjam-jam, makanan langsung diantar. Begitu praktisnya jasa delivery atau pesan-antar. Namun saya pesimistis nasib dan eksistensi mereka apabila ada pembatasan kendaraan bermotor. Mengingat sebagian besar para delivery messenger menggunakan sepeda motor. Sepertinya pemerintah DKI Jakarta tidak memikirkan jangka panjang dari pembatasan ini. Solusi bus gratis yang ditawarkan pemerintah pun, seolah tidak berpihak kepada bisnis sektor jasa pesan-antar. Saya menyebut demikian, karena tidak mungkin para kurir menggunakan bus gratis untuk menghantarkan makanan atau barang pesanan. Coba anda bayangkan, bagaimana mungkin kurir restoran cepat saji bisa menghantarkan pizza ukuran besar dan sampai di tujuan dengan utuh apabila menggunakan moda transportasi umum yang disediakan? Sebenarnya mungkin saja, apabila infrastruktur dan moda transportasi massal sudah mendukung. Saya pribadi berpendapat, sebenarnya masih sangat premature apabila pemerintah provinsi DKI Jakarta memberlakukan pembatasan motor. Pemerintah harus membenahi infrastruktur dan juga moda transportasi umum seperti Bus Transjakarta, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, kalau memang tujuan utama untuk mengurai kemacetan, saya rasa pemerintah juga bisa memberlakukan penambahan jalur untuk peraturan three-in-one. Khususnya untuk mobil-mobil pribadi. Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Benjamin Bukit, yang baru saja dilantik 2 Januari lalu. Gubernur Ahok pun harus terus memantau dan siap mengganti apabila kebijakan yang dilontarkan tidak pro-rakyat dan condong sebagai kebijakan cari muka semata hanya untuk mempertahankan jabatan.