Anda di halaman 1dari 3

Setiap mendengar tentang hukuman untuk penjahat perang dan semacamnya, saya selalu teringat

pengalaman saya di sebuah kamp tahanan perang di Jerman Selatan, awal tahun ini.
Saya dan satu teman saya dipandu oleh seorang Yahudi dari Wina yang direkrut oleh AD AS untuk
mengurusi interogasi para tahanan.
Beberapa tahanan khusus dipisahkan dari tahanan lain. Di ujung kamp, sekitar selusin pria
menghampar diatas lantai semen. Pemandu kami menjelaskan bahwa orang-orang ini adalah
Perwira SS. Salah satu diantara mereka terlihat memakai pakaian sipil yang compang-camping,
tertunduk dengan lengannya menutupi mukanya. Kakinya hampir tidak berbentuk, dipenuhi bengkak
dan lebam dimana-mana. Sudah disiksa sedemikian rupa hingga tidak lagi mirip anggota tubuh
manusia. Selagi berjalan mendekati para tahanan ini, pemandu Yahudi kami terlihat seperti sedang
bersiap, seperti sedang pemanasan untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan.
Nah!! Ini nih si b*bi!! pekiknya, dan, dengan sepatu Boot tempurnya yang berat, menendang
tahanan yang sedang terduduk itu tepat di salah satu daerah yang bengkak.
Bangun lo, b*bi! teriaknya lagi, selagi tahanan itu perlahan terbangun. Pemandu kami itu terus
mengulangi ucapan serupa dalam bahasa Jerman. Pemandu kami meneruskan pemanasannya, Ia
tidak bisa diam, seperti cacing kepanasan, sambil menceritakan riwayat tahanan itu. Ia adalah
seorang Nazi tulen. Dari nomor anggotanya sepertinya tahanan tersebut telah bergabung sejak
awal. Hampir pasti Ia dulu mengawasi kamp-kamp konsentrasi, mengawasi proses penyiksaan dan
hukuman gantung. Pendek kata, tahanan ini merepresentasikan segala hal yang kita perangi 5 tahun
belakangan.
Saya memperhatikan penampilan tahanan ini. Kondisi fisiknya memang tidak sedap, namun Ia tidak
terlihat brutal atau menakutkan sedikitpun: hanya sedikit serius, dan sedikit intelek. Matanya yang
layu diganjar lagi dengan kacamata yang tebal. Kita bisa saja menyangka orang ini dulunya seorang
pendeta, atau seorang aktor yang dirusak alkohol, atau seorang cenayang. Orang-orang seperti ini
pernah saya lihat di rumah penampungan di London, dan di ruang baca British Museum. Jelas,
keadaan mentalnya agak terguncang dan kewarasannya patut diragukan, namun Ia cukup mawas
untuk merasa takut ditendang lagi. Yang mengejutkan, semua riwayat yang diceritakan pemandu
Yahudi kita itu bisa saja benar! Sosok Nazi yang sering kita bayangkan, monster penyiksa yang kita
lawan selama ini, nyatanya sekarang menjadi sosok menyedihkan yang patut dikasihani serta diberi
pengobatan psikologis, bukannya dihukum.
Selanjutnya, balas dendam berlanjut. Seorang perwira SS yang lain, seorang pria yang berotot,
disuruh melepaskan pakaiannya dan menunjukkan tato golongan darah di lengannya. Perwira SS
yang lain lagi disuruh menjelaskan kenapa Ia mencoba menyembunyikan statusnya sebagai perwira
SS dan mengaku-ngaku seorang serdadu Wehrmacht biasa.
Saya tidak begitu yakin pemandu kita yang orang Yahudi ini benar-benar merasa senang atas
kekuasaan yang Ia punya disini. Saya pikir Ia tidak benar-benar senang. Saya rasa seperti seorang
pria yang mengunjungi tempat prostitusi, atau seorang bocah yang mencoba merokok pertama kali
pemandu kita ini hanya berilusi, memaksa dirinya untuk senang, setelah berangan-angan pada
masa-masa Ia sedang tidak berdaya, bahwa membalas dendam seperti ini akan membawa
kesenangan.

Saya sangat mengerti kenapa kaum Yahudi Jerman atau Austria ingin balas dendam pada para Nazi.
Entah berapa banyak Yahudi yang telah mereka bunuh, sangat mungkin seluruh keluarganya telah
dibunuh; dan, kalau dipikir-pikir; apalah artinya menendang seorang tahanan dibanding kekejaman
rezim Hitler.
Tapi pengalaman di kamp tahanan perang ini telah membuat saya berpikir bahwa hukuman dan
balas dendam hanyalah mimpi di siang bolong. Pada hakikatnya, tidak ada hal yang namanya
balas dendam. Balas dendam adalah sesuatu yang diimpi-impikan, yang selalu ingin dilakukan saat
dan karena kita sedang lemah: begitu perasaan tidak berdaya itu hilang, keinginan balas dendam
sirna bersamanya.
Mungkin, kalau di tahun 1940 (saat Nazi mulai invasinya), kita membayangkan bisa menendang dan
mempermalukan seorang perwira SS, kita pasti berpikir: hal itu pasti akan menyenangkan! Tapi
sekarang, saat kita benar-benar bisa menendang dan mempermalukan seorang perwira SS di
kehidupan nyata, rasanya kok menyedihkan, bahkan menjijikkan.
Kabarnya saat mayat Mussolini diarak di jalan, seorang wanita tua mengeluarkan pistol dan
menembakkan 5 peluru ke mayat Mussolini, sambil teriak itu untuk 5 anakku! saya ragu sesenang
apa sih wanita tua itu, menembak mayat Mussolini.. saya yakin wanita itu sudah bertahun-tahun
ingin melakukannya. Satu-satunya saat dimana Ia bisa menembak Mussolini adalah saat Mussolini
sudah menjadi mayat.
Dibalik Euphoria terkait perjanjian pasca-perang, sebagai bentuk balas dendam pada Jerman, saya
rasa publik lupa bahwa menghukum pihak musuh tidak membawa kepuasan. Sekarang kita malah
melakukan kejahatan seperti pengusiran etnis Jerman di Prussia Timur dan mencoba meyakinkan
diri kita bahwa itu tidak apa-apa, karena orang Jerman telah membuat kita marah, jadi sekarang saat
mereka tidak berdaya kita tidak boleh merasa kasihan pada mereka.
Kalau saya perhatikan di jalanan, kebencian terhadap orang Jerman tidaklah lagi terlalu tinggi. Hanya
segelintir orang sadis, yang kemungkinan hanya mendengar selentingan dari kabar kekejaman
orang Jerman, yang masih menggebu untuk memburu para penjahat perang. Sedangkan sisanya,
orang-orang normal, Jika ditanya Goering, Ribbentrop, dan lain-lain harus diapakan, mereka tidak
bisa menjawab. Sepertinya menghukum monster-monster ini tidak lagi begitu asyik ketika kita
benar-benar bisa mewujudkannya: begitu dikurung, mereka tidak lagi terkesan seperti monster.
Saya jadi teringat sebuah pengalaman lain. Beberapa jam setelah Stuttgart berhasil diduduki oleh
tentara Prancis, saya masuk ke Stuttgart ditemani seorang jurnalis Belgia. Tentu sebagai penduduk
dari negara yang secara langsung melihat invasi Jerman, Ia punya kebencian yang lebih kuat
terhadap orang Jerman dibanding orang Inggris atau Amerika, misalnya.
Seluruh jembatan yang menjadi jalan akses untuk masuk ke Stuttgart telah dibom oleh sekutu, dan
kita terpaksa masuk melalui sebuah jalan setapak yang, terlihat dari korban-korban yang berjatuhan,
sepertinya tentara Jerman sudah mati-matian menjaganya. Di ujung jembatan terdapat sebuah
mayat tentara Jerman dengan wajah yang pucat. Di dadanya ada seikat bunga lilac yang ditaruh oleh
seseorang.
Kawan jurnalis Belgia saya itu memalingkan wajahnya saat kita lewat. Katanya itu adalah pertama
kalinya ia pernah melihat sebuah mayat. Jurnalis itu kira-kira berumur 30 tahun. Selama 4 tahun Ia

siaran propaganda di radio. Setelah pengalaman ini, si Jurnalis Belgia itu berubah banyak. Ia jijik
melihat kota-kota di Jerman yang luluh lantak dibom, dan penghinaan terhadap orang Jerman. Pada
hari itu Ia bahkan mencoba menghentikan sebuah penjarahan. Sebelum berpisah, Ia memberikan
secangkir kopi kepada seorang penduduk Jerman. Kalau ditanya seminggu sebelumnya, apakah Ia
rela memberi kopi pada orang Jerman, pasti Jurnalis Belgia ini akan kaget, tentu tidak! Tapi setelah
melihat satu saja mayat tentara Jerman waktu itu telah merubah perasaannya: akhirnya Ia melihat
esensi dari perang.
Kalau saja kita memilih jalan lain untuk masuk ke Stuttgart, mungkin si jurnalis ini tidak akan pernah
melihat sebuah mayat tentara diantara mungkin sekitar dua puluh juta mayat korban perang ini.
1945
THE END

Anda mungkin juga menyukai