Dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer disebutkan :
(1) Peradilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan
keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan
keamanan negara.
(2) Oditurat merupakan Badan Pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di
bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata
berdasarkan
pelimpahan
dari
Panglima
dengan
memperhatikan
jurisdiksi dan pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1)
peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer
mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer
mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan militer dan (4) peradilan militer
mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Selain
penggolongan ini masih ada sistem penggolongan yang lain. Kebanyakan
peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang
berwenang mengadili kejahatan secara umum.
Sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada system
dimana peradilan militer mempunyai yurisdiksi yang bersifat umum yaitu
berwenang mengadili kejahatan umum dan kejahatan sipil disamping kejahatan
militer. Namun demikian yurisdiksi peradilan militer tersebut tidak murni lagi
seperti penggolongan yang pertama. Hal ini terjadi setelah lahirnya UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dimana berdasarkan
ketentuan tersebut kejahatan HAM Berat yang dilakukan oleh Prajurit TNI diadili
Pengadilan HAM. Kemudian diikuti oleh Pandangan tentang Perang :
Sejak perang dunia kedua, kemudian disusul berakhirnya perang dingin yang
disimbolkan robohnya tembok Berlin tahun 1989 dan rumah tangga negara
adidaya Uni Soviet, otomatis eksistensi Pakta Warsawa ikut bubar, masyarakat
dunia pun mempunyai harapan besar akan datangnya perdamaian abadi di dunia.
Amerika Serikat dan para sekutunya yang didukung aliansi kekuatan
militer Nato keluar sebagai pemenang tanpa harus melalui proses perang. Sejak
23
26
Amerika Serikat
Sistem Peradilan Militer di Amerikan Serikat merupakan sistem yang
paling luas dalam memproses kejahatan, seperti disampaikan Charles A. Shanor
and L. Lynn Hoque dalam bukunya National Security and Military Law selama
perang dunia kedua hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan
militer. Pada tahun 2001 ada sekitar 1753 kasus yang disidangkan pada Peradilan
Militer dengan rincian, 4848 kasus pada Angkatan Laut, 1799 kasus pada
Angkatan Darat, 956 kasus pada Angkatan Udara dan 50 kasus pada Penjaga
Pantai (Coast quard). 27
Dalam beberapa hal sistem Peradilan Militer paralel dengan sistem
peradilan sipil pada negara bagian dan negara Federal. Demikian juga Hukum
Militer baik secara substansi maupun secara hierarkhi, konstitusi berada paling
puncak kemudian hukum perundang-undangan federal, dan peraturan yang
dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan
serta yang dikeluarkan Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta
yang dikeluarkan para komandan.
Secara prosedural juga hampir sama dengan pengadilan sipil, yaitu terdiri
dari pengadilan militer tingkat pertama dan tingkat banding dua. Tingkat banding
26
Ibid.
Tiarsen Buaton, Sistem Peradilan Militer Amerika Serikat, Jurnal Hukum, Pusat Studi
Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer, Jakarta, 2006, hal. 41.
27
pertama hakimnya terdiri dari hakim militer dan banding tingkat kedua hakimnya
terdiri dari hakim sipil, putusan banding terakhir dapat ditinjau kembali oleh
Mahkamah Agung.
Sumber hukum militer adalah Uniform Code of Military Justice (UCMU)
dan Manual for Court-Martial (MCM), ketentuan lain yaitu Rules for courtMartial (RCM), Military Rules of Evidence (MRE). 28 Pelanggaran atau kejahatan
militer dapat diproses melalui tindakan disiplin (Nonjudicial Measures),
Hukuman disiplin (Nonjudicial punishement) dan pengadilan Militer. 29
a. Tindakan disiplin
Tujuan dari tindakan disiplin ini bukanlah sebagai hukum tetapi
sebagai tindakan koreksi terhadap kekurangan prajurit, komandan atau atasan
yang bertanggung jawab diberikan wewenang untuk menjatuhkan tindakan
disiplin untuk menegakkan ketertiban dan disiplin.
b. Hukum disiplin
Diatur
dalam
Pasal
15
UCMJ
komandan
diberi
kewenangan
28
30
negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Indonesia perlu
mempelajari konsep-konsep kedaulatan dan negara-negara lain yang telah lebih
dahulu berdiri.
Hasil dan pengkajian dan diskusi inilah yang kemudian menjadi konsep
Kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selanjutnya tulisan ini hanya akan dibahas secara konsepsional. Konsepsional
yang dimaksud adalah pembahasan didasarkan pada isi UUD 1945 dan sila-sila
Pancasila secara teori (konsep).
Menurut Hans Kelsen Teori mengenai negara maka jalan yang paling baik
ialah meninjau persoalan tersebut semata-mata dari sudut hukum saja. Tiap
peninjauan negara, organisasi negara hendaklah dimulai dengan peninjauan dari
sudut hukum. Hans Kelsen menganggap lahirnya suatu negara sebagai suatu
pernyataan yang sederhana yang tak dapat dimasukkan dalam hal-hal yang
Yurusdiksi.
Generasi yang menjalankan negeri kita saat ini memang bukanlah mereka
yang bermandikan peluh dan darah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bila
tidak kita lestarikan, bisa saja apa yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan
tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam
adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala.
Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh
para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan hargai.
Perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia melahirkan dan membentuk Tentara Nasional Indonesia
perbedaan fungsi ini tergantung dan pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau
tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer. 31
Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan
orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus
mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingankepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada
kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya
maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai
bawahannya. 32
Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dan pada seorang
militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban
lainnya dan pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban
utama
tadi.
Melalaikan
kewajiban-kewajiban
tersebut
mungkin
dapat
Pidana yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004
tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.
b. Teori Kedaulatan
Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan salah satu dan sekian banyak
teori kedaulatan. Di samping teori kedaulatan rakyat, dikenal juga teori
31
kali dikemukakan oleh Jean Bodin, melanjutkan apa yang dikemukakan oleh
Machiaveli. Selanjutnya, konsep ini terus berkembang dan tercatat beberapa
nama penting disinggung setiap kali berbicara tentang Kedaulatan Rakyat, yaitu
Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Konsep tersebut
dikembangkan sebagai reaksi atas kekuasaan yang terlalu besar dan kaum
penguasa negara dan gereja, khusus pada abad pertengahan di Eropa. Paham
perjanjian yang dikemukakan Thomas Hobbes berangkat dan perjanjian antar
individu untuk melahirkan suatu negara. Dalam perjanjian itu, para individu yang
selalu bertikai itu menyerahkan semua hak mereka kepada negara. ini berarti
perjanjian yang dilakukan bukan antara individu dengan negara, sebab negara
adalah buah dari perjanjian itu, dan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap
para individu. Negara adalah manusia buatan, atau Sang Leviatan sebagaimana
judul yang diberikan Thomas Hobbes atas bukunya. Negara mempunyai
kehidupan dan kehendak sendiri. Sang Leviatan ini dapat saja mati/bubar, tetapi
selama ia ada, selama itu pula ia berkuasa dan berwenang mutlak menyerupai
Tuhan.
Hobbes bahkan juga mengatakan, bahwa negara itu ibarat Tuhan yang
dapat mati. Paham ini melahirkan absolutisme negara, yang dalam prakteknya
berarti bukan pula absolutisme penguasa negara (raja). Hobbes bukan tidak
menyadari jika absolutisme ini dapat saja disalahgunakan oleh penguasa. Untuk
itu ia menyatakan penguasa masih mempunyai kewajiban untuk bertanggung
jawab kepada Tuhan, karena kekuasaan yang diperolehnya berasal dan Tuhan,
bukan dan masyarakat Landasan moral inilah satu-satunya pembatas yang dapat
konstitusi. John Locke membagi kekuasaan ini menjadi 3 fungsi, yaitu legislatif,
eksekutif, dan federatif (hubungan luar negeri). Menurut Locke, kekuasaan yang
tertinggi ada di tangan legislatif, yaitu parlemen. Sayangnya ia tidak
merekomendasikan parlemen yang benar-benar dapat menggambarkan kedaulatan
rakyat, walaupun ia menyatakan konstitusi negara harus menganut prinsip
mayoritas yang berarti didukung oleh kesepakatan sebagian besar masyarakat.
Kenyataannya, para parlemen di Inggris tidak lebih daripada representasikan
golongan pemilik modal dan kaum bangsawan, bukan rakyat kebanyakan.
Pembagian kekuasaan ini (negara) dan Locke dikembangkan oleh Montesquieu
dengan menyebut 3 fungsi yaitu legislative, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi
federatif dimasukkannya dalam eksekutif.
Tokoh terakhir yang akan disinggung berikut adalah Jean Jacques
Rousseau. Ia menentang keras absolutisme negara. Menurutnya, setiap individu
memiliki kehendaknya sendiri, tetapi di sisi lain juga ada kepentingan para
individu untuk menjaga hubungan sosial. Hal terakhir ini disebut kehendak
umum (volonte generale), dan tugas negara adalah menjalankan kehendak umum
dari rakyat itu. Ini berarti kehendak rakyat identik dengan kehendak negara.
Rakyat yang memiliki negara, bukan penguasa. Rakyatlah pemilik kedaulatan.
Dalam hal ini tidak ada satupun hak-hak rakyat yang diserahkan kepada negara.
Sampai di sini pemikiran Rosseau dapat kita terima. Hanya kemudian, sebagai
konsekuensi pendapatnya tentang identifikasi negara dan rakyat. Rosseau
menolak keberadaan lembaga perwakilan. Menurutnya, rakyat tidak dapat
diwakili. Bila diadakan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat, itu
artinya sama dengan mengasingkan negara dan rakyat. Untuk menjaga kemurnian
kehendak rakyat itu, tidak ada jalan lain kecuali mengajak rakyat seluruhnya
bersama masyarakat menyuarakan kehendaknya dan mencantumkan dalam
undang-undang. Gagasan Rosseau ini tentu suatu utopia untuk dapat dilaksanakan,
bahkan bagi negara Perancis ketika Rosseau hidup. Paham negara persatuan yang
dianut oleh bangsa Indonesia sepintas agak menyerupai pemikiran Rosseau ini.
Hanya saja pemikiran Rosseau tentang perlindungan hak-hak individu tentu saja
tidak sejalan dengan pandangan Indonesia. Karena rakyat identik dengan negara,
berarti negara (rakyat) tidak perlu membatasi kekuasaan yang dimilikinya sendiri.
Konsekuensinya, wujud final pemikiran Rosseau untuk menolak
Kedaulatan Rakyat Menurut Pancasila Dan UUD 1945
Pengertian demokrasi meliputi cakupan yang lebih luas daripada
kedaulatan rakyat. Istilah yang disebut terakhir ini adalah segi material
demokrasi. Bagi Negara Indonesia, perbedaan antara demokrasi dalam arti
material dan formal tersebut dapat diamati dan kata-kata dalam alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945 :... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ke-4 Pembukaan
UUD 1945 ini merupakan prinsip apa yang dinamakan Demokrasi Pancasila
Dinamakan Demokrasi Pancasila karena berdasarkan pada lima sila Pancasila
secara bulat utuh (sebagai landasan idiil dan tentu saja dengan sendirinya
berdasar kepada UUD 45 sebagai landasan konstitusional).
Demokrasi Pancasila meliputi segala aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Artinya demokrasi yang dimaksud tidak saja meliputi
demokrasi politik, namun juga demokrasi di bidang ekonomi dan sosial,
sebagaimana dapat di perhatikan dalam pasal 27-32 dan pasal 34 UUD 1945.
Reaksi yang sama dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 juga ditemukan
pada Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan tentang negara
yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/
perwakilan. Kata berkedaulatan rakyat di atas menunjukkan demokrasi dalam
arti
materialnya,
kebijaksanaan
sedangkan
dalam
kerakyatan
yang
permusyawaratan/perwakilan
dipimpin
atau
oleh
hikmat
kerakyatan
dan
adanya
pembicaraan
dan
wakil-wakil
rakyat
yang
ingin
yang
mengenai
kemerdekaan
individu,
kemerdekaan
bangsa,
kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Dalam hal in ketentuan dalam UUD
1945 perlu dikonkretkan lagi dalam produk hukum yang lebih rendah
tingkatannya. Tata urutan peraturan perundang-undangan ini dimuat dalam UU
No. 10 tahun 2004.
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan itu berlaku asas hukum
lex superior derogat legi inferiori, yang berarti peraturan yang lebih rendah
tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Karena UUD 1945 merupakan hukum dasar yang tinggi, maka semua peraturan
yang lebih rendah itu harus tunduk kepadanya. Telah disinggung sebelumnya,
bahwa berbeda dengan teori Jean Jacques Rosseau, bagi bangsa Indonesia,
kedaulatan rakyat ini dipercayakan pelaksanaannya kepada suatu badan
perwakilan yang kita sebut Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Pembukaan
UUD 1945 menyatakan tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat, yang kemudian dalam Pokok Pikiran ke3 dan Pembukaan yang tercantum
dalam Penjelasan UUD 1945 diulangi lagi dan kemudian ditegaskan dengan katakata Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang
Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/
perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Kita
mengetahui bahwa Pokok Pikiran ke-3 yang terkandung dalam pembukaan UUD
1945 tersebut tidak lain adalah sila ke-4 dan Pancasila. Keberadaannya tidak
dapat dilepaskan dan keseluruhan sila-sila Pancasila. Artinya, apabila kita
membicarakan konsep kedaulatan rakyat menurut UUD 1945, maka dengan
cenderung
Presiden
sebagai
disalahgunakan
pemegang
perlu
mandat
diadakan
pun
diberi
pembatasan-pembatasan.
pembatasan-pembatasan
maka
MPR
dapat
mengadakan
sidang
istimewa
meminta
pertanggungjawabannya.
Mekanisme untuk mengadakan sidang istimewa ini memang diajukan
terlebih dahulu oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi (pasal 7B UUD 45)
karena lembaga yang disebut terakhir inilah yang sesungguhnya menjalankan
fungsi perwakilan rakyat itu terus menerus sepanjang tahun. Mengingat separuh
anggota MPR adalah anggota DPR, maka usul untuk mengadakan sidang
istimewa ini (secara teoritis) tentu sangat besar kemungkinannya untuk
dikabulkan oleh MPR.
DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, walaupun secara hirarkis berada
setingkat dengan presiden, memiliki kedudukan dan peranan yang amat strategis
dalam rangka perwujudan kedaulatan rakyat. Presiden memerlukan kerja sama
DPR dalam menetapkan undang-undang. Salah satu materi yang teramat penting
yang ditetapkan dengan undang-undang (berarti harus di setujui oleh DPR)
adalah berkenaan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
setiap tahun. Memang pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara secara
terinci dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi hasil
pemeriksaan tersebut wajib diberitahukan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai
dengan kewenangannya (Pasal 23 E ayat 2 UUD 1945). Bentuk perwujudan
lainnya dan kedaulatan rakyat tampak pada saat undang-undang dasar akan
diubah atau diganti. Akses ke arah perubahan dan penggantian itu terdapat dalam
pasal 37 UUD 1945. MPR telah melakukan Amandemen UUD 1945 itu terwujud
secara bertahap dan tahun 1999-2002 sebanyak empat kali masing-masing:
disahkan 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 10 Nopember 2001, dan 10 Agustus
2002. Apa yang digambarkan di atas paling tidak telah memenuhi ciri-ciri hirarki
negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dengan ciri:
1. Negara hukum,
2. Pemerintahan yang di bawah kontrol nyata masyarakat,
dan
penyelenggaraan
kekuasaan
kehakiman
sebagaimana
34
Hikmahanto Juwana, Wacana Kewenangan Peradilan Militer Dalam Perspektif LawAnd Development, (Disampaikan Dalam rangka Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Sekolah
Tinggi Hukum Militer AHM-PTHM 15 Nopember 2006, hal. 4
Transisi
pertama
terjadi
karena
pemerintah
yang
baru
dibentuk
mengirimkan hukum yang berlaku adalah hukum yang muncul dalam masyarakat
Indonesia, dilain pihak pemerintah yang baru tidak mungkin mengganti seluruh
peraturan perundang-undangan yang ada berikut institusinya dalam waktu
sekejap. Transisi kedua terjadi pasca berakhirnya pemerintahan Soeharto, transisi
yang dialami adalah transisi hukum yang berfungsi sebagai alat kekuasaan dan
legistimasi menjadi hukum sebagai instrumen yang menjadikan rujukan dan rel
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah. Dalam
pembahasan tersebut muncul perdebatan tentang kewenangan dan Peradilan
Militer sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang
Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur:
Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran
hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-undang.
Pro dan kontra terjadi, argumentasi yang digunakan mereka yang
menghendaki agar Peradilan Militer hanya untuk pelanggaran pidana militer
adalah dalam sebuah negara yang demokratis harus ada supremasi sipil. Oleh
karena itu pelanggaran pidana umum yang dilakukan oleh personil militer harus
tunduk kepada kewenangan dan otoritas sipil.
merupakan bagian Integral dan Angkatan Laut, merupakan bagian Integral dari
Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine-KM) berkedudukan :
35
36
Supomo, Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-Il, Cet. Kesebelas,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1972, hal. 45.
2. Zee Krijgsraad
Bersidang untuk mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Anggota
Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) yang berada diluar Negeri Belanda.
Hakim pengadilan tersebut terdiri dan opsir-opsir Angkatan Laut Belanda dan
biasanya bersidang di atas geledak kapal perang serta seorang opsir Tata Usaha
dan Angkatan Laut ditunjuk sebagai oditur (penuntut umum). Pengadilan banding
bagi Zee Krijgsraad adalah sama sebagaimana krijsraad, yaitu Hoog Militair
Gerechtshof (Krijsraad/Zee Krijgsraad) 39
Sedangkan kewenangan yang dimiliki, adalah mengadili tindak pidana
militer murni maupun tindak pidana umum (pasal 1 dan 2 Wetboek van Militair
Strafrecht voor Nederiand Indie, S1934 No. 267) oleh militer maupun yang
dipersamakan (Artikel 2 bepalingen betreffende de rechtsmacht van de militairen
rechter in Nedelandsch Indie, Stb. 1934 Nr. 173).
Selain berwenang mengadili pada masa damai pengadilan militer juga
berwenang memeriksa dan mengadili setiap orang dalam keadaan perang di
daerah Hindia Belanda maupun di daerah musuh yang dikuasai oleh Angkatan
perang, sebagaimana tercantum dalam pasal ke-1, ke-2, dan 3 Bepalingen
betreffende de rechtsmavht van de militairen rechter in Nederlandsch Indie (Stb.
1934 Nr. 173) yang konkordan dengan Invoeringswer Militair Straf en
Tuchtrecht (Stb. 1921 Nr. 841 Titel VIII art.76, 77, 78), yaitu: 40
39
40
Ibid
SR. Sianturi, Op. Cit., halaman 22-24
Artikel 1
De Militaire rechter neemt kennis van de strafbare feiten begaan door militairen,
behoudens de uitzonderingen bij de wet, bij algemeenen maatregel van bestuur of
bij ordonan tie gemaakt.
Artikel 2
De Militaire rechter neemt verder kennis:
1e Van de bepaaide strafbare feiten door hen, die ten aanzein van zoodanige
feiten bij de wet, bij algemeenen maatregei van besutur of bij ordonantie met
militairen zijn gelijkgesteid;
2e van de strafbare feiten door hen, die bij een op voet van oorlog gebrachte
krijgsmacht in dienstbetrekking zijn of haar met toestemming van de militaire
overhead vergezelen of volgen.
Artikel 3
Bovendien neemt de militaire rechter, voor zover hij niet reeds krachtens een der
beide voorgaande artikelen bevoegd is, kennis:
1e. Van de misdrijven in geval van oorlog door wien ook begaan in een staat van
beleg verklaard gedeelte van het grondgebied van Nederlandsch Indei, voor
zoover die misdrijven zijn omschreven in een der titels I en II van het tweed
bock van het wetboek van strafrecht of in het wetback van militair strafrecht;
2e. in geval van oorloq van destrafbare feiten, begaan in een in staat van beleg
verklaard gedeelte van het qrondgebied van Nederlandsch Indie, warneer de
buraerlijke rechter, die vol gens wettelijke voorschrift in eerste instantie had
moeter rechtspreken, niet in staat is daarvan kennis te nenlent;
3e. van de strafbare feiten op door de kriijgsmacht geheel of ten deele bezet
vijandelijk gebied door wien ook begaan, Indien eenig Nederlandsch of
Nederlands Indisch belang daardoor is of kan worden geschaad, tenzij de
oorlog een einde heeft genomen en het feit niet strafhaar is gesteld bij het
wetboek van militair strafrecht.
Secara bebas dapat diartikan sebagai berikut:
Pasal 1
Hakim Militer memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
militer kecuali yang ditetapkan lain oleh undang-undang, peraturan pemerintah
atau ordonansi.
Penjelasan Pasal 1
Bahwa Hakim memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh Militer menyatakan Hakim Militer berwenang memeriksa/
mengadili pelaku tindak pidana yang subjeknya adalah militer. Kecuali yang
ditetapkan lain oleh undang-undang, peraturan pemerintah atau ordonansi. Bahwa
subjek militer tersebut dapat diperiksa oleh Hakim non Militer (di Peradilan
Umum) bila melakukan tindak pidana koneksitas (Militer dengan Sipil secara
bersama-sama melakukan tindak pidana umum). Yang diperiksa di Peradilan
Umum jika kepentingan umum yang paling dirugikan atau diperadilan Militer
bila kepentingan Militer yang paling dirugikan atas persetujuan Menteri
Kehakiman dan Penetapan Menteri Pertahanan.
Pasal 2
Hakim Militer Juga memeriksa dan mengadili:
Ke-1 tindak pidana tertentu, yang dilakukan oleh seseorang yang karena sifat
dan tindakan tersebut dipersamakan dengan militer oleh undang-undang,
peraturan pemerintah atau ordonansi;
Ke-2 tindak pidana tertentu, yang dilakukan oleh seseorang yang dalam
hubungan dinas berada pada suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan
untuk perang atau menyertainya atau mengikutinya dengan persetujuan
penguasa militer.
Penjelasan Pasal 2
Bahwa Hakim Militer juga berhak memeriksa dan mengadili seseorang
yang melakukan tindak pidana tertentu mengingat Hakim Militer pada umumnya
lebih bertitik berat kepada penggunaan azas perorangan (personalities beginsd)
baik terhadap militer maupun terhadap setiap orang yang berada dalam suatu
daerah musuh/lawan yang dikuasai oleh suatu Angkatan Perang, dalam hal
tertentu (dalam hal ini dalam perkara pidana tertentu), sudah sewajarnya apabila
mereka ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Militer. (Pasal 5 KUHPM).
Pasal 5 KUHPM (diubah dengan UU No. 39 Tahun 1947). Ketentuan Pidana
dalam Perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap anggota yang dalam
keadaan perang, di luar Indonesia melakukan tindak pidana, yang dalam keadaankeadaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan militer.
Pasal 3
Selanjutnya hakim militer sepanjang tidak ditentukan lain dalam salah satu dan
dua pasal terdahulu berwenang memeriksa mengadili:
Ke-1 Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam keadaan
perang di suatu daerah Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan
bahaya, sepanjang kejahatan-kejahatan itu termasuk salah satu dari Bab I
Bah II Buku Kedua KUHP atau dari KUHPM;
Ke-2 tindak pidana dalam keadaan perang yang dilakukan di suatu daerah
Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, apabila hakim
sipil yang menurut perundang-undangan harus mengadili pada tingkat
pertama tidak mampu memeriksanya;
Ke-3 tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang di daerah musuh
yang dikuasai oleh Angkatan Perang, apabila karenanya dapat merugikan
kepentingan Belanda atau Hindia Belanda, kecuali jika perang berakhir dan
tindakan tersebut ditentukan tidak diancam dengan pidana dalam KUHP.
Penjelasan ke-1
Bahwa Hakim Militer berwenang memeriksa mengadili setiap orang (baik
militer maupun sipil) dalam keadaan perang disuatu daerah bekas jajahan
Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya bila kejahatan itu diatur dalam
KUHP Bab I dan II Buku Kedua atau yang terdapat dalam peraturan KUHPM.
Penjelasan ke-2
Tindak pidana-tindak pidana dalam keadaan perang yang dilakukan di
suatu daerah Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, apabila
hakim Sipil yang menurut perundang-undangan harus mengadilinya pada tingkat
pertama, tidak mampu memeriksanya.
Penjelasan ke-3
Bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang di daerah musuh
yang dikuasai oleh Angkatan perang, yang dimaksud di daerah musuh adalah
setiap orang yang menyeberang ke daerah musuh, berkhianat, sebagai mata
musuh yang dapat merugikan kepentingan pemerintah Belanda atau Pemerintah
Jajahan Belanda, kecuali jika perang (kemudian) berakhir dan tindakan tersebut
ditentukan tidak diancam dengan pidana dalam KUHPM. Maksudnya
pengecualian ini perang tidak berlanjut, selesai (usai) dan tindakan tersebut tidak
termasuk/tidak terbukti dalam tindakan pidana yang diatur dan diancam pidana
sebagaimana terdapat di dalam KUHPM.
Bagi
Kita
Bangsa
Indonesia,
mengatakan
adalah
tidak
41
Angkatan Laut Jepang yang bertindak sebagai kepala dapur kamp tawanan perang
di Makassar selama perang dunia Ke II, yaitu menyangkut perlakuan buruk
terhadap tawanan perang yang terdiri dan kaum militer dan sipil sekutu (Belanda,
Australia, Inggris dan Amerika) . Mahkamah bersidang menjatuhkan putusan
berupa pidana mati.
45
Dasar ini.
Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktek
peradilan di Indonesia pada masa setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan
tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama)
yang sudah ada sejak pendudukan Jepang tetap berlaku termasuk Peradilan
Ketentaraan, maka peradilan-peradilan yang telah ada pada zaman pendudukan
Jepang dapat tetap berlangsung seperti sebelumnya, yaitu peradilan umum,
peradilan agama, dan peradilan ketentaraan. Akan tetapi kenyataan tidak
demikian, maka hanya peradilan umum dan peradilan agama yang berjalan
seperti sediakala. Sedangkan peradilan ketentaraan (militer) tidak/belum
45
47
48
49
49
50
menginginkan
kembali
menjajah
Indonesia.
Peristiwa-peristiwa
tersebut
55
ini memang dimungkinkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 UndangUndang No. 7 Tahun 1946, yaitu bahwa jika perlu berhubung dengan keadaan,
Presiden berhak membentuk Pengadilan Tentara Luar Biasa yang susunannya
menyimpang dan ketentuan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1946 58
2) Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa
Peradilan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun
1946 yang berlaku sejak tanggal 19 Juli 1946. Dasar dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah ini adalah Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang
Mengadakan Pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa.
3) Mahkamah Tentara Sementara.
Dengan tujuan untuk menyesuaikan jalannya Pengadilan Tentara baik
dalam keadaan perang, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 22 Tahun 1947, Makamah Tentara Sementara merupakan Pengadilan Negeri
yang merangkap menjadi Pengadilan Tentara Luar Biasa.
4) Mahkamah Tentara Daerah Terpencil.
Didasarkan pada pemikiran setidak-tidaknya akan lebih baik jika ada
Pengadilan daripada tidak sama sekali. Sekitar tahun 1947 keadaan perang atau
keadaan bahaya, sehingga dibutuhkan penyelesaian perkara dalam suatu pasukan
tentara yang mungkin sekali pada suatu saat berada dalam daerah terpencil yang
tidak terjangkau Pengadilan Tentara Luar Biasa (Pasal 1)
58
59
genting
dan
hanya
sedikit
tenaga
di
daerah-daerah
untuk
59
60
61
Ibid
E. Peradilan Militer Masa Berlakunya UUDS tahun 1950 sampai dengan tahun 1959
a. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1950.
Seperti diketahui, kedudukan dan daerah hukum Peradilan Militer pada
umumnya bersamaan dengan peradilan umum (Peradilan Negeri). Hal ini
membawa akibat apabila terjadi perubahan atau pergantian dalam peradilan
umum akan diikuti pula oleh Peradilan Militer.
Oleh karena itu dikeluarkan Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 pada
tanggal 13 Maret 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
menyelenggarakan Kesatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadilan Sipil yang intinya berisi:
1) Penghapusan pengadilan yang tidak sesuai lagi dengan susunan negara
kesatuan.
2) Pengahapusan
secara
berangsur-angsur
pengadilan
Swapraja
dan
Pengadilan Adat.
3) Selanjutnya Pengadilan Agama dan Pengadilan Desa.
4) Pembentukan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tempat-tempat
tertentu.
Undang-undang ini menghapuskan semua undang-undang yang
berkaitan dengan Pengadilan/ Kejaksaan Ketentaraan, dimana kekuasaan
kehakiman dalam peradilan tentara dilaksanakan oleh:
1) Pengadilan Tentara
2) Pengadilan Tentara Tinggi:
3) Mahkamah Tentara Agung (Pasal 2)
63
Ibid.
Disjorahad, Sajarah TNI 1945-1973, Peranan TNI AD, Bandung: Dinas Sejarah TNI
Angkatan Darat, 1979, halaman 85-11
64
65
di
lingkungan
TNI
Angkatan
Darat
Daerah
Pertempuran
65
hak
menahan,
memeriksa
ataupun
menyerahkan
perkara
tanpa
66
67
Ibid., hal..202. Hal ini didasarkan telah tersedianya tenaga Perwira ahli Hukum/sarjana
hukum yang diperoleh melalui Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer
(AHM/PTHM) dan juga dan Sarjana Hukum melalui wajib militer.
Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tersebut tidak berlaku lagi, sehingga sejak
saat itu, Badan Peradilan Militer Khusus tidak ada/dihapus. 70
c. Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB)
Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1963 tanggal 24 Desember 1963
dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa sebagai pengadilan khusus, kemudian
menjadi Undang-undang No. 16 Pnps Tahun 1963. Tempat kedudukan dan
daerah hukum Mahkamah ini, adalah di Ibukota Negara RI yaitu Jakarta dan
Daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara (pasal 2). Dengan
demikian, persidangan dapat dilakukan di Ibu Kota Negara atau di luar Ibu
Kota Negara.
MAHMILLUB telah bersidang di tempat kedudukannya di Jakarta dan di
Luar Jakarta, yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Padang, Bandung,
Banjarmasin, dan Makassar.
Mahkamah Militer Luar Biasa memiliki kekuasaan memeriksa dan
mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang
ditentukan oleh Presiden (pasal 1). Perkara-perkara khusus dimaksud, adalah
mengenai perbuatan yang merupakan ancaman dan bahaya besar bagi
keamanan bangsa dan negara, sehingga memerlukan penyelesaian yang sangat
segera. Pelaku tindak pidana tersebut tidak dibatasi, baik militer maupun sipil.
70
Oleh karena itu, maka penentuan suatu perkara khusus dilakukan oleh
Presiden.
Perkara G-30-S-PKI misalnya, hanya perkara para tokohnya saja yang
dinyatakan sebagai perkara khusus dan diadili oleh MAHMILLUB.
71
71
masing-masing
No.
J.S.4/10/14
tanggal
10
Juli
1972
Terintegrasinya
peradilan/mahkamah
militer
telah
menjadikan
Peradilan Militer tidak lagi berada dalam lingkungan Angkatan masingmasing, tetapi dilakukan oleh badan Peradilan Militer yang berada di bawah
Departemen Pertahanan/Keamanan dan pelaksanaan Peradilan Militer yang
terintegrasi ini merupakan suatu perkembangan penting yang tidak bisa
dilepas dan perkembangan ABRI. Di samping itu, terhitung mulai 17 Agustus
1973, semua perkara harus diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Militer
Integrasi.
Menyesuaikan perkembangan istilah dalam bidang peradilan yang
terdapat dalam berbagai peraturan perundangan, antara lain dalam UndangUndang No. 14 Tahun 1970, maka terhadap nama pengadilan ketentaraan
perlu dilakukan penyesuaian, dan dengan penyesuaian itu, maka penyebutan
nama kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Militer dilakukan Militer, yaitu:
1) Mahkamah Militer (Mahmil)
2) Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti)
3) Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
Sedangkan susunan jabatan Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer
Tinggi, adalah mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1950
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 22 Pnps Tahun 1965.
Susunan persidangan Mahmil/Mahmilti sesuai dengan Ketentuan UndangUndang No. 5 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, adalah
dengan tiga orang hakim tersebut, satu orang oditur dan seorang panitera. Tiga
orang hakim tersebut, satu orang hakim sebagai Ketua dan 2 (dua) orang hakim
anggota. Dengan tersedianya tenaga hakim, maka hakim anggota terdiri dari
Hakim Perwira (Kimpa) atau Hakim Militer (Kimmil), dan untuk memberikan
arti pada asas integrasi, maka komposisi sidang diusahakan terdiri dan unsurunsur ketiga Angkatan dan Polri. Hukum acara yang dipergunakan dalam proses
peradilan Mahmil, Mahmilti integrasi adalah tetap mengacu pada ketentuanketentuan yang telah diatur, khususnya dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1950
dan perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 1 Prt Tahun 1958.
Bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara
pidana (KUHAP) melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 yang secara tegas
mencabut HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana, maka perkataan
berpedoman pada HIR sebagai tercantum dalam Undang-Undang No. 6 Tahun
1950 tersebut, harus dibaca berpedoman pada RUHAP. Hal ini disebabkan
ketentuan dalam KUHAP tidak dapat sepenuhnya diberlakukan dalam lingkungan
peradilan militer, berpangkal pada kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam
kehidupan militer.
b. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub)
Seperti yang telah diuraikan pada bagian di atas, Mahimillub sebagai
pengadilan militer khusus, dibentuk berdasarkan penetapan Presiden No. 16
tahun 1963, kemudian berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1969
dinyatakan menjadi. Undang-undang nomor 16 Pnps tahun 1963. Keberadaan
Mahmillub sebagaimana dilaksanakan pada masa sesudah 11 Maret. 1966, pada
dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti karena secara substansi
sehubungan
dengan
perkembangan
keadaan,
organisasi
dan
administrasi pemerintah.
Perubahan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1973 yaitu:
1) Memberikan wewenang kepada Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban atau pejabat yang ditunjuk olehnya, untuk:
a). Menentukan siapa yang termasuk tokoh-tokoh G-30-S/PKI
b). Bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara dalam perkara tersebut.
c). Menentukan susunan Mahmillub untuk mempersiapkan, memeriksa dan
mengadili perkara-perkara tersebut.
2) Pembiayaan
peradilan
dan
penyelesaian
perkara
dibebankan
kepada
Pengadilan
Militer
Pertempuran
memiliki
kekuasaan
Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir
Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Perdi1an 2006, halaman 83.
Ibid.
b. Difencie
Di Indonesia sama dengan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Tugas
yang dijalankannya adalah masalah keamanan dan pertahanan. TNI sudah
tepat dibawah Departemen HANKAM sebagai penegak Kedaulatan,
menjaga keutuhan NKRI dan menjaga Keselamatan Bangsa dan Negara.
c. Financie
Di Indonesia sama dengan Departemen Keuangan yang bertugas
menyediakan keuangan negara.
d. Justicie
Di Indonesia sama dengan Departemen Kehakiman dan Departemen
Dalam Negeri, tugasnya menjaga ketertiban perselisihan antar warga
negara dan urusan dalam negara. Polisi hendaknya dibawah Departemen
ini, yakni Depkeh atau Depdagri sesuai teori fungsi negara. Sebagaimana
negara-negara di dunia. Hal ini sangat perlu perhatian pemerintah dalam
rangka pengawasan dan pencegahan pelanggaran Ham yang lebih banyak.
e. Policie
Bertugas mengurusi kepentingan negara yang belum menjadi wewenang
dari Departemen lainnya (keempat departemen diatas).
ad.2. Fungsi Negara menurut Jhon Locke
a. Fungsi Legislatif untuk membuat perwakilan
b. Fungsi Eksekutif untuk melaksanakan peraturan (termasuk urusan
mengadili).
c. Fungsi Fedaratif untuk mengurusi urusan luar negeri dan keadaan perang
dan damai.
bersenjata yang terlibat konflik kecuali petugas kesehatan dan rohaniawan yang
tidak boleh diserang atau dibunuh.
Selain itu, perlakuan hukum terhadap anggota militer berbeda dengan
warga negara pada umumnya (warga sipil). Sebagai warga negara, militer tunduk
pada hukum pidana umum yaitu KUHP yang merupakan ketentuan yang berlaku
bagi warga negara, sedangkan selaku warga negara yang memiliki tugas
wewenang khusus berlaku hukum yang bersifat khusus, yaitu Hukum Pidana
Militer yang hanya berlaku bagi militer saja atau yang dipersamakan.
Berlaku KUHP dan perundang-undangan pidana lainnnya di lingkungan
TNI didasarkan pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM sebagaimana telah
76
E. Utrect, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Emas, 2000,
hal. 71.
tidak mengacu kepada salah satu teori yang ada, tetapi merupakan gabungan dan
teori kedaulatan hukum. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang melatar belakangi
berdirinya bangsa dan negara Indonesia, yang muncul melalui proses perjuangan
yang panjang dengan titik kulminasinya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bahwa setelah ditetapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung, yang sebelumnya sepenuhnya berada di bawah kendali Markas Besar TNI,
membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, terbebas dan
campur tangan komando. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum
tidak tepat untuk mengadili tindak pidana (baik pidana umum maupun pidana
militer) yang dilakukan oleh prajurit. Untuk itu dibutuhkan suatu pengadilan
militer yang terpisah untuk menegakkan standard disiplin militer secara khusus di
dalam Angkatan Bersenjata karena militer dianggap sebagai komuniti khusus,
yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya dan
dipersiapkan untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas
komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan
militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas
umum yang terdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku
maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi atau
peranannya akan berkurang. Dengan demikian juga, fungsi pembinaan yang
dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama
sekali hilang dan ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan.
Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan
berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan
efektifitas pasukan akan sulit dicapai. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hal
tersebut akan mengganggu stabilitas keamanan negara yakni Pertahanan
Keamanan (Hankam),
Bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia
adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia
dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Jo. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili
kejahatan militer dan kejahatan umum.
Mengingat peradilan militer sudah berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung, baik bersifat teknis yuridis maupun organisasi, administrasi dan finansial
sehingga membuat peradilan militer sudah semakin bersifat independen dan
akuntabel.
e. Teori Benhard Grose Fedd Dalam Bukunya The Strength and Weaknese
of Comparative
Bahwa tiap negara mempunyai sejarah dan culture yang berbeda,
demikian juga historis yuridis kemerdekaan yang berbeda pula. Dikatakan dalam
teori ini bahwa tiap kebudayaan mempunyai hukumnya sendiri (Every culture has
its particular law, and every law has an unique individuality).
Tentang ketentuan Perundang-undangan dapat mengakomodir penundukan
militer pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum.
Tentangkompetensi mengambil tindak pidana yang dimaksud dalam Paal
65 ayat (2) UURI No. 24 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini tentunya kembali
kepada historis, yuridis dan sosiologis TNI dan Palsafah Bangsa yang
mengandung Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan tercetus dalam sumpah
Pemuda.
Peradilan Militer tetap dipertahankan karena merupakan fungsi strategis
nilai-nilai dan semangat juang 1945. Hal ini merupakan pertahanan keamanan
nasional yang jika tidak diberlakukan terjadi gaps atau kekosongan hukum
sebagaimana diuraikan dalam pendapat Hans Kelsen. Dikatakan berlaku dalam
segala situasi dan Eskalase Nasional baik dalam keadaan aman, terjadi perubahan
adanya ancaman, gangguan yang dapat merongsong kewibawaan Pemerintah atau
Negara meningkat menjadi darurat, darurat militer dan darurat perang.
Peradilan
Militer
merupakan
gerbang
keamanan
nasional
karena
ini
lebih
diperkuat
lagi
dengan
perkembangan-
banyak
hal
mempunyai
kesempatan
menyalahgunakn
suatu
79
http://pthan,dephan.go.id.2008.DirjenPothan.Deplu.RI
1) Militer.
2) Badan-badan keamanan internal.
3) Sektor keamanan swasta.
4) Penataan keamanan dan keadilan tradisional dan informal.
Bagaimana dengan Polisi (de jure dan de facto) berkaitan dengan hal
tersebut. Polisi dituntut untuk melaksanakan tiga fungsi dasar yaitu pemeliharaan
ketertiban umum, pencegahan dan pendeteksian tindak pidana dan penyediaan
bantuan namun dapat diperbantukan atau ditambahkan fungsi lain diantaranya
Keamanan Nasional dan Fungsi Intelijen.
Keamanan
Keamanan adalah kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat
terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan
nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya
hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina
serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal,
mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hak dan bentuk-bentuk
gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Keamanan dibagi 2 bagian :
a. Defence security approach adalah merupakan pertahanan keamanan.
b. Social security approach (Kamtibmas)
Keterangan : subversi, insurgensi/insureaksi direct action (aksi sepihak).
Proses sosial disosiatif bencana alam dan kriminilitas.
(ketenteraman
masyarakat)
dalam
menjaga
keamanan
demi
Menyangkut
Pertahanan dan
Keamanan
Militer+Sipil
Menyangkut
Pertahanan
Keamanan
= Hankamneg
Sipil
Menyangkut
Keamanan
= Kamtibmas
Ide dasar pemikiran reformatif dan arah garis/politik hukum yang tertuang
dalam TAP MPR/VII/2000 dan Undang-undang Nomor 4 tentang Kekuasaan
Kehakiman serta undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara nasional
Indonesia memang seharusnya menjadi landasan dalam melakukan perubahan
perundang-undangan termasuk perubahan terhadap undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang peradilan militer. Namun dilihat dari sudut kebijakan
pembaharuan atau penataan ulang keseluruhan tatanan (system) hukum pidana
militer masih perlu dikaji ulang apakah tepat saat ini yang diperbaharui hanya
Rancangan undang-undang Peradilan militer. 81
81
Hikmahanto Juwana, Loc. Cit, hal. 2. Melalui orasi tersebut diajukan pertanyaan,
apakah pengaturan TNI tunduk pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum
mengatur
aspek
struktur/kelembagaan
peradilan
(kompetensi/
A. Susunan Pengadilan
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer merupakan badan pelaksana
kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata (sekarang TNI) yang
pelaksanaannya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi. Pasal 12 Undang-undang 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
merumuskan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
dilakukan sekarang atau secara gradual. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan selanjutnya
dijawab melalui konsep law and development yaitu gerakan dari pemikir Negara maju agar
Negara berkembang mengadopsi dan melakukan transformasi pengalaman negera berkembang
yang ingin membangun ekonominya tetapi terhambat oleh adanya ketentuan hukum yang usang.
1. Pengadilan Militer;
2. Pengadilan Militer Tinggi;
3. Pengadilan Militer Utama;
4. Pengadilan Militer Pertempuran;
Masing-masing tingkat pengadilan tersebut di atas mempunyai kekuasaan
yang berbeda yang diatur pasal 42 sampai dengan 45 yaitu :
1. Kekuasaan Pengadilan Militer adalah :
Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara
pidana yang terdakwanya adalah :
a. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. Mereka sebagaimana dimaksud pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c
yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten kebawah; dan
c. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh
Peradilan Militer.
2. Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah :
a. Pada tingkat pertama
1) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya
adalah :
a) Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat Mayor ke atas;
diatur dalam undang-undang dan untuk perkara tindak pidana yang diatur dengan
undang-undang tentu akan disarankan oleh oditur sebagai tindak pidana. (vide
Pasal 123 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1997). Berdasarkan kekawatiran di atas,
perlu diperhatikan bahwa Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah
82
Wawancara dengan Kepala Pengadilan Militer I 02 Medan, Kol. CHK Tigor Samosir,
SH., Jakarta : 6 Agustus 2009.
83
Wawancara dengan Kepala Oditurat Militer Tinggi I Medan, Kol. CHK Sumartono,
SH., Jakarta : 6 Agustus 2009..
Agung salah satu kewenangan Papera yang berkaitan dengan masalah hukum
adalah kewenangan Papera dalam hal penutupan perkara.
Penjelasan Pasal 123 Ayat 1 huruf h dirumuskan bahwa perkara ditutup
demi kepentingan hukum dengan alasan :
a. Tidak terdapat cukup bukti
b. Bukan merupakan tindak pidana
c. Perkara telah kadaluarsa
d. Tersangka/terdakwa meninggal dunia
e. Nebis in idem
f. Maksimum denda telah dibayar
g. Pengaduan telah dicabut (dalam delik aduan)
Kewenangan Papera ini diatur juga dalam KUHP dalam Bab VIII tentang
hapusnya kewenangan menuntut dan menjalani pidana dengan demikian
merupakan system peradilan pidana (umum), sedangkan untuk alasan penutupan
perkara demi kepentingan Negara, demi kepentingan masyarakat/umum, demi
kepentingan militer.
Lebih lanjut telah diatur pula, dalam hal terjadinya perbedaan pendapat
antara Oditur dengan Papera apakah perkara tindak pidana diajukan ke
Pengadilan atau tidak, maka akan diselesaikan oleh Peradilan Militer Tingkat
Utama pada saat ini telah menjadi bagian dari Mahkamah Agung baik secara
organisatoris, administrasi dan financial, hal ini menandakan supremasi hukum
(vide Keputusan Presiden) Nomor 56 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi,
administrasi dan financial Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer dari
Berdasarkan kasus
tersebut, timbul tuduhan bahwa Peradilan Militer digunakan sebagai sarana untuk
menghukum dengan pidana yang rendah atau untuk melindungi pelaku kejahatan
oleh atasan atau komandannya.
Para pegiat Hak Asasi Manusia serta para anggota Lembaga Swadaya
Masyarakat (Non Government Organization) di Indonesia secara nyata juga
menyampaikan bahwa tidak terungkapnya para penjahat Hak Asasi Manusia,
seperti kasus Semanggi, Daerah Operasi Militer di Nangroe Aceh Darusallam,
adalah contoh yang dimaksudkan mereka, sebagai contoh praktek perlindungan
atasan atau komandan dalam proses Peradilan Militer yatu dilakukan dengan
memilih kambing hitam atau korban yang dapat dipasang sebagai penyelesaian
masalah. Sebagai contoh adalah kasus penculikan para aktivis masa orde baru
84
85
86
Indajit, www.tniad.mil.id.
masyarakat/pemantauan
karena
keluarga
mereka
yang
sedang
87
Wawancara dengan Kol. CHk. Anton Saragih, Kepala Pengadilan Militer Tinggi-I
Medan., Medan : 10 Agustus 2007.
vonis
telah
mempertimbangkan
fakta-fakta
hukum
dalam
Indrajit, www.dispenad,mil.com.
89
Penulis
berpendapat
seyogianya
Panglima
TNI
menyampaikan