Anda di halaman 1dari 105

BAB II

LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER DALAM KEPENTINGAN


PENYELENGGARAAN PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA

Dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer disebutkan :
(1) Peradilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan
keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan
keamanan negara.
(2) Oditurat merupakan Badan Pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di
bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata
berdasarkan

pelimpahan

dari

Panglima

dengan

memperhatikan

kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.


Teori yang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini terdiri atas 5 Teori
umum : Pertama Teori Lawrence Friedman tentang sistim hukum. Kedua
Kedaulatan dan Hukum. Ketiga Teori Kedaulatan Negara. Keempat Teori
Fungsi Negara, dan Kelima Teori Benhard Grossfeld dalam buku The
Strength and Weak Ness of Comparative Law.
Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada
tiga sistem hukum yang berlaku di dunia mi, yaitu common law system, roman
law system dan socialist law system. Namun beberapa ahli yang lain
menggolongkan sistim peradilan militer berdasarkan kewenangan mengadili atau

Universitas Sumatera Utara

jurisdiksi dan pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1)
peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer
mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer
mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan militer dan (4) peradilan militer
mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Selain
penggolongan ini masih ada sistem penggolongan yang lain. Kebanyakan
peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang
berwenang mengadili kejahatan secara umum.
Sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada system
dimana peradilan militer mempunyai yurisdiksi yang bersifat umum yaitu
berwenang mengadili kejahatan umum dan kejahatan sipil disamping kejahatan
militer. Namun demikian yurisdiksi peradilan militer tersebut tidak murni lagi
seperti penggolongan yang pertama. Hal ini terjadi setelah lahirnya UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dimana berdasarkan
ketentuan tersebut kejahatan HAM Berat yang dilakukan oleh Prajurit TNI diadili
Pengadilan HAM. Kemudian diikuti oleh Pandangan tentang Perang :
Sejak perang dunia kedua, kemudian disusul berakhirnya perang dingin yang
disimbolkan robohnya tembok Berlin tahun 1989 dan rumah tangga negara
adidaya Uni Soviet, otomatis eksistensi Pakta Warsawa ikut bubar, masyarakat
dunia pun mempunyai harapan besar akan datangnya perdamaian abadi di dunia.
Amerika Serikat dan para sekutunya yang didukung aliansi kekuatan
militer Nato keluar sebagai pemenang tanpa harus melalui proses perang. Sejak

Universitas Sumatera Utara

itu pula terjadi pergeseran pandangan mengenai konsepsi pertahanan dan


keamanan pada masing-masing negara di dunia. Perang dianggapnya sebagai
sesuatu yang sudah usang (old sashioned). Maka lahirlah cara baru globalisasi
yang lebih membawa muatan misi ekonomi yang terlepas dari carut marut
persoalan politik dan militer suasana Indonesia pun ikut terbawa oleh perubahan
dinamika politik internasional tersebut. Pemerintah dan khususnya Departemen
Pertahanan sibuk mencari rumusan yang ideal. 23

Praktek Peradilan Militer di Beberapa Negara


Malaysia
Sistem peradilan umum di Malaysia tidak membedakan pelaku perbuatan
pidana. Oleh karena itu baik orang sipil maupun militer yang terlibat dalam
pelanggaran hukum pidana umum diadili oleh pengadilan pidana sipil. Indepensi
badan peradilan ini telah ditegaskan dalam konstitutis Federal. 24
Permasalahan yang berkaitan dengan kedinasan dan pelanggaran hukum
disiplin bagi anggota Angkatan Bersenjata Malaysia diatur dalam Law of
Malaysia Act 77, disebut juga Armed Forces Act, 1972 dan ketentuan ini berlaku
khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata. 25
Kondisi Peradilan di Malaysia adanya pemisahan antara pelanggaran
terhadap ketentuan (pidana) umum oleh militer (civil offerenses commited by

23

Kerbiantoro H.S. Mayjen (Purn), Rudianto Dody MM, Rekonstruksi Pertahanan


Indonesia, Jakarta : PT Golden Terayon Press, 2006, cet. 1.
24
Marcus Priyo Gunarto, Redefinisi Perbuatan Pidana pada Peradilan Militer, Makalah
disampaikan pada Semiloka Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum, FH UGM,
Yogyakarta : 22 23 Nopember 2000, hal. 5 - 6
25
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

military), akan diadili oleh peradilan umum/sipil, sedangkan pelanggaran yang


berkaitan dengan tugas dan atau jabatan kemiliteran akan diadili oleh peradilan
militer.

26

Amerika Serikat
Sistem Peradilan Militer di Amerikan Serikat merupakan sistem yang
paling luas dalam memproses kejahatan, seperti disampaikan Charles A. Shanor
and L. Lynn Hoque dalam bukunya National Security and Military Law selama
perang dunia kedua hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan
militer. Pada tahun 2001 ada sekitar 1753 kasus yang disidangkan pada Peradilan
Militer dengan rincian, 4848 kasus pada Angkatan Laut, 1799 kasus pada
Angkatan Darat, 956 kasus pada Angkatan Udara dan 50 kasus pada Penjaga
Pantai (Coast quard). 27
Dalam beberapa hal sistem Peradilan Militer paralel dengan sistem
peradilan sipil pada negara bagian dan negara Federal. Demikian juga Hukum
Militer baik secara substansi maupun secara hierarkhi, konstitusi berada paling
puncak kemudian hukum perundang-undangan federal, dan peraturan yang
dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan
serta yang dikeluarkan Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta
yang dikeluarkan para komandan.
Secara prosedural juga hampir sama dengan pengadilan sipil, yaitu terdiri
dari pengadilan militer tingkat pertama dan tingkat banding dua. Tingkat banding
26

Ibid.
Tiarsen Buaton, Sistem Peradilan Militer Amerika Serikat, Jurnal Hukum, Pusat Studi
Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer, Jakarta, 2006, hal. 41.
27

Universitas Sumatera Utara

pertama hakimnya terdiri dari hakim militer dan banding tingkat kedua hakimnya
terdiri dari hakim sipil, putusan banding terakhir dapat ditinjau kembali oleh
Mahkamah Agung.
Sumber hukum militer adalah Uniform Code of Military Justice (UCMU)
dan Manual for Court-Martial (MCM), ketentuan lain yaitu Rules for courtMartial (RCM), Military Rules of Evidence (MRE). 28 Pelanggaran atau kejahatan
militer dapat diproses melalui tindakan disiplin (Nonjudicial Measures),
Hukuman disiplin (Nonjudicial punishement) dan pengadilan Militer. 29
a. Tindakan disiplin
Tujuan dari tindakan disiplin ini bukanlah sebagai hukum tetapi
sebagai tindakan koreksi terhadap kekurangan prajurit, komandan atau atasan
yang bertanggung jawab diberikan wewenang untuk menjatuhkan tindakan
disiplin untuk menegakkan ketertiban dan disiplin.
b. Hukum disiplin
Diatur

dalam

Pasal

15

UCMJ

komandan

diberi

kewenangan

menjatuhkan hukuman disiplin tanpa adanya intervensi dari pengadilan


militer terhadap pelanggaran ringan dimana tindakan disiplin dianggap tidak
memadai. Hal ini dalam menjaga agar moral dan disiplin prajurit tidak
menurun.

28

PLT, Sihombing, Perbandingan Sistem Peradilan Militer dengan Amerika Serikat,


Makalah disampaikan pada Workshop Peradilan.
29
Tiarsen loc. cit.

Universitas Sumatera Utara

c. Peradilan Militer terdiri dari :


1) Pengadilan Militer Singkat
Pengadilan ini terbatas hanya mengadili prajurit berpangkat tamtama dan
hukuman yang dijatuhkan terbatas pada hukuman penjara tidak lebih
dari satu bulan, hukuman kerja paksa tidak lebih dari 45 hari serta
pemotongan gaji tidak lebih dari 2/3 (dua pertiga gaji), Peradilan
Militer Singkat ini hanya dilakukan oleh seorang hakim perwira yang
juga bertindak sebagai oditur dan pembela.
2) Pengadilan Militer Khusus
Pengadilan Militer khusus merupakan pengadilan militer yang berbeda
dari Peradilan Militer Singkat dengan Peradilan Militer Umum.
Hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pemberhentian
karena perilaku buruk, penjara tidak lebih dari 1 tahun, kerja berat
tanpa penahanan tidak lebih dari 3 bulan dan pemotongan gaji tidak
lebih dari 2/3 gaji selama maksimum1 tahun. Peradilan Militer khusus
terdiri dari 1 orang perwira sebagai hakim militer dan minimal 3
anggota sebagai juri.
3) Pengadilan Militer Umum
Pengadilan Umum mempunyai kewenangan untuk mengadili setiap orang
yang tunduk pada UCMJ atas setiap pelanggaran yang diancam pidana
berdasarkan UCMJ. Apabila pemerintah sipil digantikan oleh
pendudukan militer, Peradilan Militer Umum dapat mengadili setiap
orang yang tunduk pada pengadilan militer sesuai hukum perang dan

Universitas Sumatera Utara

juga dapat menjatuhkan semua jenis hukuman termasuk hukuman


mati.
Prosedur Pengadilan Militer Umum adalah semua pengacara yang
terlibat dalam persidangan adalah pengacara militer yang telah
bersertifikat dan hakim militer adalah hakim yang diangkat dan
disumpah.
Juridiksi Pengadilan Militer pada dasarnya ditentukan berdasarkan pada :
1) Subjek
Peradilan Militer berwenang mengadili anggota Militer, penjahat
perang, orang yang melakukan serangan pada daerah pendudukan.
2) Perbuatannya
Pengadilan Militer berwenang mengadili semua kejahatan Militer yang
diatur UCMJ dan kejahatan yang terdapat dalam hukum pidana lainnya.
3) Locus delictinya.
Pengadilan Militer berwenang mengadili kejahatan yang dilakukan
militer Amerika Serikat yang terjadi pada instalasi Militer, kejahatan yang
terjadi di negara lain dan kejahatan yang terjadi dalam wilayah pendudukan.
Dalam proses pengadilan militer, Perwira penyerah perkara berwenang
melimpahkan ke pengadilan apabila berdasarkan pemeriksaan pendahuluan
dianggap sebagai pelanggaran pendahuluan dianggap sebagai pelanggaran
yang cukup serius. Pasal 22 UCMJ, yang dapat menjadi Perwira penyerah
perkara pada Peradilan Milter Umum adalah perwira senior seperti Komandan
Teretorial, Komandan Devisi, Komandan Brigade yang berdiri sendiri,

Universitas Sumatera Utara

Komandan Kamando Udara, Komandan Armada Laut, Presiden Amerika


Serikat, Menteri Pertahanan, Perwira yang diangkat oleh Preseiden atau
Menteri Pertahanan.
Sedangkan pasal 23 UCMJ Papera untuk Pengadilan Militer khusus
selain disebut di atas dapat juga Komandan Distrik, Komandan Garnisun,
Komandan Kamp, Komandan Group, Komandan Skuardron, Komandan
Pangkalan. Selanjutnya Papera untuk Pengadilan Militer Singkat terdiri dari
semua Papera yang disebut di atas ditambah dengan Komandan Kompi berdiri
sendiri.
Belanda
Perbuatan pidana yang diadili di lingkungan Peradilan Militer adalah
pelanggaran Wetboek van Militaire Strafrecht (WvMSr) dan Oorlog Wet yang
di dalamnya juga meliputi beberapa perbuatan pidana umum, sebagaimana
diatur dalam MvS. Dengan demikian, di Belanda Peradilan Militer juga
mengadili perbuatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer.
Menurut Marcus, hal yang menarik dan berbeda dengan negara lainnya
adalah tata cara peradilan yaitu :
Tata cara Peradilan Militer Belanda telah mengalami beberapakali
perubahan. Tahun 1945 sampai dengan tahun 1965 yang menjadi central
figure dalam penyelidikan adalah Komandan di atasnya, pelakanaannya harus
diberitahukan kepada Komandan Jenderal. Komandan Jenderal kemudian
akan membentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa perwira untuk

Universitas Sumatera Utara

memutuskan apakah perkara akan diteruskan atau tidak. Apabila diteruskan


Komandan Jenderal akan meminta kepada Jaksa Penuntut Umum untuk
membuat dokumen (berita acara). Sedangkan hakim yang akan memeriksa
ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Militer berdasarkan advis dari Komandan
Jnderal. Sesudah tahun 1965 yang melakukan penyelidikan adalah Polisi
khusus yang dikenal dengan Marechaussea atas kuasa Menteri Pertahanan
meminta kepada Jaksa Agung untuk menentukan Fiscal (untuk Angkatan
Laut) atau Auditeur Generale (untuk Angkatan Udara dan Angkatan Darat).
Susunan Hakim Militer dengan 1 hakim sipil sebagai Ketua Majelis. Sesudah
tahun 1991 susunan majelis hakim dalam Peradilan Militer teridir dari 2
hakim sipil dan 1 hakim militer. Sedangkan susunan majelis hakim pada
Mahkamah Militer Agung terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua Majelis dari
hakim sipil dan 3 anggota hakim militer. 30
a. Teori Kedaulatan dan Hukum
Kedaulatan rakyat adalah salah satu fokus perhatian penting yang muncul
pada saat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) mengadakan sidang I (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945) yang
menampilkan 3 orang pembicara yaitu: Soepomo, M. Jamin, dan Soekarno.
Mereka masing-masing mengemukakan Dasar negara Indonesia yang akhirnya
diberi nama Pancasila. PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai

30

Marcus Priyo Gunatro, loc. cit., hal. 9 - 10

Universitas Sumatera Utara

negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Indonesia perlu
mempelajari konsep-konsep kedaulatan dan negara-negara lain yang telah lebih
dahulu berdiri.
Hasil dan pengkajian dan diskusi inilah yang kemudian menjadi konsep
Kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selanjutnya tulisan ini hanya akan dibahas secara konsepsional. Konsepsional
yang dimaksud adalah pembahasan didasarkan pada isi UUD 1945 dan sila-sila
Pancasila secara teori (konsep).
Menurut Hans Kelsen Teori mengenai negara maka jalan yang paling baik
ialah meninjau persoalan tersebut semata-mata dari sudut hukum saja. Tiap
peninjauan negara, organisasi negara hendaklah dimulai dengan peninjauan dari
sudut hukum. Hans Kelsen menganggap lahirnya suatu negara sebagai suatu
pernyataan yang sederhana yang tak dapat dimasukkan dalam hal-hal yang
Yurusdiksi.
Generasi yang menjalankan negeri kita saat ini memang bukanlah mereka
yang bermandikan peluh dan darah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bila
tidak kita lestarikan, bisa saja apa yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan
tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam
adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala.
Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh
para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan hargai.
Perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia melahirkan dan membentuk Tentara Nasional Indonesia

Universitas Sumatera Utara

(TNI) sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan


bersenjata terhadap penjajah, dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) sebagai intinya. Bersamaan dengan itu, terbentuk pula tradisi
kepejuangan prajurit Indonesia yang manunggal dengan rakyat, rela berkorban,
percaya pada kekuatan sendiri, dan tidak mengenal menyerah. Tradisi itulah yang
kemudian dikukuhkan sebagai kode etik prajurit ABRI, yaitu Sapta Marga,
sebagai pencerminan tekad dan kepribadian prajurit ABRI seutuhnya, yaitu
pejuang prajurit dan prajurit pejuang.
Disamping melahirkan dan membentuk TNI sebagai wadah pengabdian,
pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah pula keyakinan yang kuat
tentang hakikat Pertahanan Keamanan Negara (Hamkamneg), yaitu perlawanan
rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat
Semesta (Sishankamrata). TNI beserta cadangannya, yang menjadi komponen
utama kekuatan Hankamneg dalam Sishankamrata, dibina sebagai kekuatan siap
yang relative kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilitas yang
tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup.
Pembinaan prajurit ABRI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi
keperjuangan, sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan
kepadanya, baik sebagai kekuatan pertahanan maupun keamanan Negara. Dalam
pada itu, pembinaan prajurit ABRI merupakan salah satu fungsi komando yang
menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan ABR1 yang
bersangkutan, mulai dan yang terendah sampai yang tertinggi.
Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada
tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya

Universitas Sumatera Utara

perbedaan fungsi ini tergantung dan pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau
tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer. 31
Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan
orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus
mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingankepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada
kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya
maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai
bawahannya. 32
Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dan pada seorang
militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban
lainnya dan pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban
utama

tadi.

Melalaikan

kewajiban-kewajiban

tersebut

mungkin

dapat

mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa.


33

Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud Pelanggaran Hukum

Pidana yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004
tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.
b. Teori Kedaulatan
Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan salah satu dan sekian banyak
teori kedaulatan. Di samping teori kedaulatan rakyat, dikenal juga teori

31

Himpunan Kuliah Militer, Oleh Brigjen A. Tambunan, Jakarta, 1990.


Ibid, ha 9.
33
Ibid, ha 9.
32

Universitas Sumatera Utara

kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, Kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.


Jenis teori kedaulatan yang dianut suatu negara biasanya dapat diamati dan dasar
negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem hukumnya. Dapat juga
terjadi, tidak hanya satu teori kedaulatan yang dianut oleh suatu negara, tetapi
gabungan atau kombinasi dan beberapa teori sekaligus. Indonesia misalnya,
termasuk negara yang menganut lebih dan satu teori kedaulatan. Dalam
pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa kemerdekaan didasarkan atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini mengandung pengakuan akan kekuasaan
Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas makhluk hidup dan segenap
ciptaan-Nya. Dengan demikian, Tuhan memiliki kedaulatan. Selanjutnya
disinggung pula tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 ditegaskan tentang kedaulatan ada di tangan
rakyat. Pasal 3 UUD 1945 menyatakan: Oleh karena Majelis Pemusyawaratan
Rakyat (MPR) memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak
terbatas,..,. Penjelasan tersebut menyinggung tentang kedaulatan negara.
Kemudian Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci
pokok yang pertama menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Ini berarti
Negara Indonesia juga menganut teori kedaulatan hukum, demikian juga dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 45 secara tegas dituliskan : Negara Indonesia adalah
negara hukum. Dalam ilmu hukum dan filsafat hukum, kasus mengenai istilah
kedaulatan rakyat dikaitkan dengan permasalahan : mengapa orang menaati

Universitas Sumatera Utara

hukum. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dengan perkataan lain: Siapa


yang menjadi sumber hukum utama dalam negara itu? Jawaban atas pertanyaan
itu melahirkan banyak teori kedaulatan, seperti kedaulatan Tuhan, Kedaulatan
Rakyat, kedaulatan negara, dan kedaulatan hukum.
Demikian pula dalam hukum tata negara, masalah kedaulatan ini juga
muncul dalam konteks pembicaraan serupa tentang siapa yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Konsep kedaulatan rakyat ini sering kali
diidentikkan dengan konsep demokrasi. Secara etimologis, demokrasi (demos =
rakyat, kratos/kratein kekuasaan/berkuasa). Lengkapnya, dapat dikatakan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Pengertian kekuasaan sendiri menurut definisi yang telah diterima secara
umum adalah kemampuan seseorang/ sekelompok orang/ suatu badan untuk
mempengaruhi orang lain agar bersikap/bertindak sesuai dengan keinginan yang
memiliki kemampuan itu. Kekuasaan harus pula dibedakan dengan kewenangan.
Kewenangan adalah kekuasaan yang ada pada seseorang/ sekelompok orang yang
mempunyai dukungan/ mendapat pengakuan dan masyarakat. Dengan demikian,
demokrasi sesungguhnya lebih luas cakupannya daripada kedaulatan rakyat.
Demokrasi dalam arti material adalah segala kewenangan yang dimiliki rakyat.
Dalam arti formal, demokrasi berkaitan dengan tata cara rakyat dalam
melaksanakan kewenangan itu. Jelaslah, bahwa kedaulatan rakyat adalah salah
satu unsur penting dalam demokrasi.
Kedaulatan rakyat sendiri merupakan suatu konsep ketatanegaraan yang
dianut banyak negara. Konsep kedaulatan dalam alam pikiran modern pertama

Universitas Sumatera Utara

kali dikemukakan oleh Jean Bodin, melanjutkan apa yang dikemukakan oleh
Machiaveli. Selanjutnya, konsep ini terus berkembang dan tercatat beberapa
nama penting disinggung setiap kali berbicara tentang Kedaulatan Rakyat, yaitu
Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Konsep tersebut
dikembangkan sebagai reaksi atas kekuasaan yang terlalu besar dan kaum
penguasa negara dan gereja, khusus pada abad pertengahan di Eropa. Paham
perjanjian yang dikemukakan Thomas Hobbes berangkat dan perjanjian antar
individu untuk melahirkan suatu negara. Dalam perjanjian itu, para individu yang
selalu bertikai itu menyerahkan semua hak mereka kepada negara. ini berarti
perjanjian yang dilakukan bukan antara individu dengan negara, sebab negara
adalah buah dari perjanjian itu, dan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap
para individu. Negara adalah manusia buatan, atau Sang Leviatan sebagaimana
judul yang diberikan Thomas Hobbes atas bukunya. Negara mempunyai
kehidupan dan kehendak sendiri. Sang Leviatan ini dapat saja mati/bubar, tetapi
selama ia ada, selama itu pula ia berkuasa dan berwenang mutlak menyerupai
Tuhan.
Hobbes bahkan juga mengatakan, bahwa negara itu ibarat Tuhan yang
dapat mati. Paham ini melahirkan absolutisme negara, yang dalam prakteknya
berarti bukan pula absolutisme penguasa negara (raja). Hobbes bukan tidak
menyadari jika absolutisme ini dapat saja disalahgunakan oleh penguasa. Untuk
itu ia menyatakan penguasa masih mempunyai kewajiban untuk bertanggung
jawab kepada Tuhan, karena kekuasaan yang diperolehnya berasal dan Tuhan,
bukan dan masyarakat Landasan moral inilah satu-satunya pembatas yang dapat

Universitas Sumatera Utara

menghindarkan negara dan kesewenang-wenangan. John Locke secara tidak


langsung memberi reaksi atas pemikiran Hobbes tersebut. Jika Hobbes
berpendapat bahwa individu-individu senantiasa bertikai, Locke sebaliknya
mengatakan bahwa manusia itu pada awalnya hidup dalam kedamaian. Situasi ini
baru berubah setelah manusia mulai diperdayai oleh materi, termasuk masalah
tanah. Untuk melindungi hak milik inilah yang membuat para individu bersepakat
mendirikan negara. Hak milik ini meliputi pula hak-hak asasi manusia yang
paling utama, seperti hak untuk hidup dan kebebasan. Para individu yang
mengadakan perjanjian tersebut kemudian menyerahkan 2 haknya kepada negara,
yaitu:
1. Hak untuk menentukan sendiri bagaimana mempertahankan din dan dan
orang-orang lain.
2. Hak untuk menghukum seorang pelanggar hukum menurut aturan hukum
kodrat.
Kekuasaan negara dengan demikian, terbatas pada tujuan penegakan 2 hak
itu saja. Urusan yang pribadi adalah hal individu yang bersangkutan, yang tidak
perlu dicampuri oleh negara.
Pemikiran ini lebih jauh melahirkan paham negara sebagai penjaga malam
(nachtwakerstaat). Kekuasaan negara tidaklah tak terbatas. Kekuasaan yang
dimiliki negara datang dari para individu yang membuat perjanjian, bukan dari
Tuhan seperti teori Hobbes. Pembatasan kekuasaan negara ini dimuat dalam

Universitas Sumatera Utara

konstitusi. John Locke membagi kekuasaan ini menjadi 3 fungsi, yaitu legislatif,
eksekutif, dan federatif (hubungan luar negeri). Menurut Locke, kekuasaan yang
tertinggi ada di tangan legislatif, yaitu parlemen. Sayangnya ia tidak
merekomendasikan parlemen yang benar-benar dapat menggambarkan kedaulatan
rakyat, walaupun ia menyatakan konstitusi negara harus menganut prinsip
mayoritas yang berarti didukung oleh kesepakatan sebagian besar masyarakat.
Kenyataannya, para parlemen di Inggris tidak lebih daripada representasikan
golongan pemilik modal dan kaum bangsawan, bukan rakyat kebanyakan.
Pembagian kekuasaan ini (negara) dan Locke dikembangkan oleh Montesquieu
dengan menyebut 3 fungsi yaitu legislative, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi
federatif dimasukkannya dalam eksekutif.
Tokoh terakhir yang akan disinggung berikut adalah Jean Jacques
Rousseau. Ia menentang keras absolutisme negara. Menurutnya, setiap individu
memiliki kehendaknya sendiri, tetapi di sisi lain juga ada kepentingan para
individu untuk menjaga hubungan sosial. Hal terakhir ini disebut kehendak
umum (volonte generale), dan tugas negara adalah menjalankan kehendak umum
dari rakyat itu. Ini berarti kehendak rakyat identik dengan kehendak negara.
Rakyat yang memiliki negara, bukan penguasa. Rakyatlah pemilik kedaulatan.
Dalam hal ini tidak ada satupun hak-hak rakyat yang diserahkan kepada negara.
Sampai di sini pemikiran Rosseau dapat kita terima. Hanya kemudian, sebagai
konsekuensi pendapatnya tentang identifikasi negara dan rakyat. Rosseau
menolak keberadaan lembaga perwakilan. Menurutnya, rakyat tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

diwakili. Bila diadakan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat, itu
artinya sama dengan mengasingkan negara dan rakyat. Untuk menjaga kemurnian
kehendak rakyat itu, tidak ada jalan lain kecuali mengajak rakyat seluruhnya
bersama masyarakat menyuarakan kehendaknya dan mencantumkan dalam
undang-undang. Gagasan Rosseau ini tentu suatu utopia untuk dapat dilaksanakan,
bahkan bagi negara Perancis ketika Rosseau hidup. Paham negara persatuan yang
dianut oleh bangsa Indonesia sepintas agak menyerupai pemikiran Rosseau ini.
Hanya saja pemikiran Rosseau tentang perlindungan hak-hak individu tentu saja
tidak sejalan dengan pandangan Indonesia. Karena rakyat identik dengan negara,
berarti negara (rakyat) tidak perlu membatasi kekuasaan yang dimilikinya sendiri.
Konsekuensinya, wujud final pemikiran Rosseau untuk menolak
Kedaulatan Rakyat Menurut Pancasila Dan UUD 1945
Pengertian demokrasi meliputi cakupan yang lebih luas daripada
kedaulatan rakyat. Istilah yang disebut terakhir ini adalah segi material
demokrasi. Bagi Negara Indonesia, perbedaan antara demokrasi dalam arti
material dan formal tersebut dapat diamati dan kata-kata dalam alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945 :... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan

Universitas Sumatera Utara

suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ke-4 Pembukaan
UUD 1945 ini merupakan prinsip apa yang dinamakan Demokrasi Pancasila
Dinamakan Demokrasi Pancasila karena berdasarkan pada lima sila Pancasila
secara bulat utuh (sebagai landasan idiil dan tentu saja dengan sendirinya
berdasar kepada UUD 45 sebagai landasan konstitusional).
Demokrasi Pancasila meliputi segala aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Artinya demokrasi yang dimaksud tidak saja meliputi
demokrasi politik, namun juga demokrasi di bidang ekonomi dan sosial,
sebagaimana dapat di perhatikan dalam pasal 27-32 dan pasal 34 UUD 1945.
Reaksi yang sama dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 juga ditemukan
pada Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan tentang negara
yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/
perwakilan. Kata berkedaulatan rakyat di atas menunjukkan demokrasi dalam
arti

materialnya,

kebijaksanaan

sedangkan

dalam

kerakyatan

yang

permusyawaratan/perwakilan

dipimpin
atau

oleh

hikmat

kerakyatan

dan

permusyawaratan mengandung pengertian demokrasi material itu dilaksanakan.


Tata cara yang dimaksud antara lain dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 3 UUD 1945,
yakni dengan suara terbanyak. Pengertian suara terbanyak di sini identik dengan
kewajiban melakukan voting. Istilah kerakyatan di atas menunjukkan, bahwa
segala sesuatu berasal dan rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, dan diperuntukkan
bagi rakyat. Kata perwakilan menunjukkan bahwa demokrasi yang dianut
bangsa Indonesia pada dasarnya dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat.

Universitas Sumatera Utara

Hikmat kebijaksanaan berarti kearifan dalam mengambil keputusan melalui


permusyawaratan. Kearifan inilah yang memimpin seseorang dalam mengambil
keputusan bersama di atas kepentingan perorangan/golongan. permusyawanahan
menunjukkan

adanya

pembicaraan

dan

wakil-wakil

rakyat

yang

ingin

memperoleh keputusan atau kesepakatan bersama secara arif bijaksana mengenai


suatu masalah. Istilah yang lazim dipakai untuk itu ialah bermusyawarah untuk
mencapai mufakat. Juga telah disinggung sebelum bahwa sistem pemerintahan
negara dapat menjadi indikator teori kedaulatan apa yang dianut negara tersebut.
Demikian pula apabila kita menyatakan, bahwa. Negara Republik Indonesia
adalah negara yang berkedaulatan rakyat, dapat diketahui dan salah satu indikator
itu. Dalam UUD 1945 dinyatakan, bahwa sistem pemerintahan negara berpegang
kepada tujuh prinsip, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechs taat).
2. Sistem konstitusional.
3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR.
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah Majelis.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
6. Menteri negara ialah pembantu Presiden, Menteri negara tidak bertanggung
jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Dalam uraian selanjutnya tidak akan disinggung tujuh prinsip itu satu
demi satu. Berikut ini diberikan gambaran secara umum dan singkat atas tujuh

Universitas Sumatera Utara

prinsip tersebut, yang dapat menunjukkan keterkaitannya dengan konsep


kedaulatan rakyat bagi negara Republik Indonesia. Jika mengacu pada teori-teori
perjanjian seperti yang telah diuraikan di muka negara Indonesia ini sebenarnya
juga didirikan oleh rakyat dengan suatu perjanjian. Perjanjian yang
dimaksudkan melalui suatu proses perjuangan yang panjang, yang kemudian
mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan perantaraan pejuang-pejuang bangsa itu pula, satu hari kemudian, tanggal
18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945. Undang-Undang Dasar ini memuat hukum
dasar yang tertulis. Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan yang
terperinci, yang mengandung cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Dan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber dan segala sumber
hukum yang meliputi pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum, cita-cita
moral

yang

mengenai

kemerdekaan

individu,

kemerdekaan

bangsa,

perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional, cita-cita politik mengenai


sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan sebagai
pengejawantahan budi nurani manusia telah dimurnikan dan dipadatkan menjadi
dasar negara Pancasila. Pancasila yang menjiwai Prokiamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, diuraikan terinci dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengandung
pokok-pokok pikiran dan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal dan Batang
Tubuh UUD 1945. Apa yang dicantumkan dalam UUD 1945 inipun hanya berupa
aturan-aturan pokok, yang mempunyai garis-garis besar sebagai instruksi kepada
pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan

Universitas Sumatera Utara

kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Dalam hal in ketentuan dalam UUD
1945 perlu dikonkretkan lagi dalam produk hukum yang lebih rendah
tingkatannya. Tata urutan peraturan perundang-undangan ini dimuat dalam UU
No. 10 tahun 2004.
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan itu berlaku asas hukum
lex superior derogat legi inferiori, yang berarti peraturan yang lebih rendah
tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Karena UUD 1945 merupakan hukum dasar yang tinggi, maka semua peraturan
yang lebih rendah itu harus tunduk kepadanya. Telah disinggung sebelumnya,
bahwa berbeda dengan teori Jean Jacques Rosseau, bagi bangsa Indonesia,
kedaulatan rakyat ini dipercayakan pelaksanaannya kepada suatu badan
perwakilan yang kita sebut Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Pembukaan
UUD 1945 menyatakan tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat, yang kemudian dalam Pokok Pikiran ke3 dan Pembukaan yang tercantum
dalam Penjelasan UUD 1945 diulangi lagi dan kemudian ditegaskan dengan katakata Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang
Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/
perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Kita
mengetahui bahwa Pokok Pikiran ke-3 yang terkandung dalam pembukaan UUD
1945 tersebut tidak lain adalah sila ke-4 dan Pancasila. Keberadaannya tidak
dapat dilepaskan dan keseluruhan sila-sila Pancasila. Artinya, apabila kita
membicarakan konsep kedaulatan rakyat menurut UUD 1945, maka dengan

Universitas Sumatera Utara

sendirinya kita berbicara tentang konsep kedaulatan rakyat menurut Pancasila,


demikian pula sebaliknya. Di atas telah dikemukakan, bahwa kedaulatan tertinggi
ada di tangan rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat memiliki sepenuhnya
hak-haknya. Tentu saja mengingat jumlahnya yang demikian besar, rakyat tidak
mungkin dapat melaksanakan kekuasaannya itu. Untuk itulah kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945 (Pasal 1 ayat 2 UUD
1945).
Berbeda dengan teori kedaulatan John Locke seperti telah disinggung
sebelumnya, hak untuk berdaulat dan rakyat itu tidak dapat dikatakan hilang. Hak
itu hanya didelegasikan pelaksanaannya kepada MPR. Perlu diingat, bahwa
anggota MPR berasal dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan umum, dan perwakilan setiap daerah propinsi (DPD)
yang dipilih melalui pemilu yang sama dengan DPR. Dengan demikian secara
teoritis, cukup logis dikatakan bahwa MPR merupakan penjelmaan seluruh
bangsa Indonesia. Karena mereka yang duduk di MPR dan DPR (keduanya
merupakan lembaga perwakilan rakyat) merupakan wakil-wakil rakyat, sehingga
mereka harus mengetahui dan kemudian meyalurkan aspirasi rakyat yang
diwakilinya. Jika mereka gagal, rakyat dapat menggunakan kedaulatannya untuk
tidak lagi memilih organisasi sosial politik yang mewadahi wakil rakyat itu
dalam pemilihan umum yang akan datang. Kedaulatan itu harus diwujudkan
sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Untuk itu perlu ada pihak
yang diberi mandat untuk menjalankan pemerintahan, sehingga tujuan dan citacita bangsa Indonesia dapat tercapai. Dalam rangka, mewujudkan rakyat dalam

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan negara sesuai dengan amanat UUD Negara RI tahun 1945,


pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung oleh
rakyat (pasal 6A UUD 1945). Hal ini setelah dipelajari, ditelaah, dan
dipertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat
mendasar yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara, serta dengan menggunakan
kewenangannya berdasarkan pasal 37 UUD 45 MPR-RI mengubah dan / atau
menambah pasal 6, pasal 6A, pasal 7A 7B 7C dan pasal 8 ayat 1,2 tentang
Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
diselenggarakan secara demokratis dan beradab dengan partisipasi rakyat seluasluasnya yang dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.
Dalam kerangka inilah MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil
pemilihan umum oleh rakyat. Di atas telah disebutkan, bahwa agar kekuasaan
tidak

cenderung

Presiden

sebagai

disalahgunakan
pemegang

perlu

mandat

diadakan
pun

diberi

pembatasan-pembatasan.
pembatasan-pembatasan

kekuasaan. Pembatasan yang paling utama tercantum dalam Undang-Undang


Dasar yang telah ditetapkan sendiri oleh MPR (pasal 4 ayat 1 UUD 45) Apabila
Presiden dipandang tidak bekerja sesuai dengan UUD (contoh: melakukan
korupsi),

maka

MPR

dapat

mengadakan

sidang

istimewa

meminta

pertanggungjawabannya.
Mekanisme untuk mengadakan sidang istimewa ini memang diajukan
terlebih dahulu oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi (pasal 7B UUD 45)
karena lembaga yang disebut terakhir inilah yang sesungguhnya menjalankan

Universitas Sumatera Utara

fungsi perwakilan rakyat itu terus menerus sepanjang tahun. Mengingat separuh
anggota MPR adalah anggota DPR, maka usul untuk mengadakan sidang
istimewa ini (secara teoritis) tentu sangat besar kemungkinannya untuk
dikabulkan oleh MPR.
DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, walaupun secara hirarkis berada
setingkat dengan presiden, memiliki kedudukan dan peranan yang amat strategis
dalam rangka perwujudan kedaulatan rakyat. Presiden memerlukan kerja sama
DPR dalam menetapkan undang-undang. Salah satu materi yang teramat penting
yang ditetapkan dengan undang-undang (berarti harus di setujui oleh DPR)
adalah berkenaan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
setiap tahun. Memang pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara secara
terinci dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi hasil
pemeriksaan tersebut wajib diberitahukan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai
dengan kewenangannya (Pasal 23 E ayat 2 UUD 1945). Bentuk perwujudan
lainnya dan kedaulatan rakyat tampak pada saat undang-undang dasar akan
diubah atau diganti. Akses ke arah perubahan dan penggantian itu terdapat dalam
pasal 37 UUD 1945. MPR telah melakukan Amandemen UUD 1945 itu terwujud
secara bertahap dan tahun 1999-2002 sebanyak empat kali masing-masing:
disahkan 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 10 Nopember 2001, dan 10 Agustus
2002. Apa yang digambarkan di atas paling tidak telah memenuhi ciri-ciri hirarki
negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dengan ciri:
1. Negara hukum,
2. Pemerintahan yang di bawah kontrol nyata masyarakat,

Universitas Sumatera Utara

3. Pemilihan umum yang bebas,


4. Prinsip mayoritas, dan
5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis,
Ciri yang kelima tidak lain berkenaan dengan hak-hak asasi manusia,
seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berserikat dan berkumpul,
dan seterusnya. Dalam UUD 1945 secara jelas hak-hak demikian dijamin secara
konstitusional (pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 45). Hak-hak asasi
manusia ini juga mempunyai landasan idilnya, yakni Pancasila.
Sebagai uraian akhir dapat ditegaskan di sini, bahwa Pancasila dan UUD
1945 telah secara jelas dan lengkap memuat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
atau lebih luas lagi prinsip-prinsip demokrasi, termasuk di dalamnya pengakuan
kedaulatan rakyat sebagai bagian dan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini
rakyat tidak menyerahkan hak-haknya kepada (penguasa) negara. Hak-hak itu
tetap utuh ada pada rakyat. Dengan perkataan lain, hak asasi manusia di
Indonesia dipertahankan melalui kedaulatan rakyat. Rakyat ikut serta dalam
sistem pemerintahan negara, yaitu melalui wakil-wakilnya. Apa saja kekuasaan/
wewenang rakyat itu dan bagaimana tata caranya, itulah yang disebut dengan
demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila. Apabila dikaitkan dengan teori-teori
kedaulatan, jelas bahwa kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
tidak mengacu kepada salah satu teori yang ada, tetapi merupakan gabungan dan
teori kedaulatan hukum. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang melatar belakangi
berdirinya bangsa dan negara Indonesia, yang muncul melalui proses perjuangan

Universitas Sumatera Utara

yang panjang dengan titik kulminasinya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dasar negara Pancasila dan menurut UUD 1945, secara tegas menyatakan
bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Lembaga MPR negara ini diberi
wewenang utama mengubah dan menetapkan dan melantik Kepala Negara
(Presiden) serta memberhentikan Presiden menurut UUD dan Wakil Kepala
Negara (Wakil Presiden). Di samping itu, terdapat pula lembaga-lembaga tinggi
negara lainnya yang setingkat dengan Presiden. Masing-masing lembaga
mempunyai tugas mengemban kedaulatan rakyat pula.
Kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini secara lebih
konkret dilaksanakan melalui berbagai produk hukum, seperti UU, dan peraturan
lainnya mulai dan undang-undang sampai dengan keputusan Kepala Dati II.
Masalahnya tentu saja, kedaulatan rakyat sebagai bagian dan demokrasi Pancasila
tersebut, tidak cukup hanya dituangkan secara konsepsional dan perlu dilengkapi
dengan segi operasionalnya. Dua segi tersebut secara simultan harus dijadikan
indikator untuk menilai kadar demokrasi suatu negara, termasuk negara kita.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kedaulatan rakyat yang dikenal
bangsa kita itu berbeda dengan bangsa lain di dunia. Kedaulatan rakyat di
Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila. UUD 1945 terdiri atas:
1. Pembukaan (preambule) dengan 4 alinea.
2. Batang tubuh dengan XVI Bab dan 37 pasal.
3. Penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pembukaan saja terdapat kata kedaulatan rakyat yang tersurat


dalam alinia IV, dan ditemukan pula di Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD
1945, sedang Kedaulatan Rakyat menurut Pancasila terdapat di sila ke-4. Pada
batang tubuh UUD 1945 kedaulatan rakyat terdapat di pasal 1 ayat 2, pasal 2 ayat
3, sedang pelaksanaan kedaulatan rakyat diatur pasal 3 (MPR), pasal 19-22 B
(DPR), pasal 37 (perubahan UUD). Secara implisit sistem pemerintahan negara
berpegang kepada tujuh prinsip (dalam penjelasan UUD 1945) yang dapat
menunjukkan keterkaitannya dengan konsep kedaulatan Rakyat bagi negara
Republik Indonesia.
Kedaulatan rakyat yang kita kenal di Indonesia berbeda dengan kedaulatan
rakyat versi Barat (menurut Montesquieu). Menurut versi Barat, kedaulatan
rakyat dibagi menjadi 3 bagian kekuasaan yang terdiri dan kekuasaan:
1. Legislatif (Pembuat UU / UUD) Parlemen
2. Eksekutif (Pelaksana UU) Pemerintah
3. Yudikatif (Pengawas pelaksanaan UU):
Di Indonesia pemisahan kekuasaan ini berlandaskan pada sila-sila
Pancasila. Kedaulatan rakyat juga akan diartikan berbeda dengan demokrasi.
Kedaulatan rakyat dipandang sebagai bagian dan istilah demokrasi.
Dalam negara yang menganut paham demokrasi, rakyat memiliki
kedaulatan tertinggi berdasarkan nilai-nilai bangsa Indonesia serta bagaimana
kedaulatan rakyat itu diwadahi baik tersirat dan tersurat dalam Pancasila dan
UUD Tahun 1945 di Indonesia sehingga memiliki ciri khas.

Universitas Sumatera Utara

Sejarah Peradilan Militer Di Indonesia


Peradilan Militer di Indonesia yang ada saat ini adalah merupakan
penjelmaan

dan

penyelenggaraan

kekuasaan

kehakiman

sebagaimana

diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, dan Undang-undang Nomor 4 tahun


2004 pasal 2 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan adanya empat
lingkungan Peradilan yaitu, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan Peradilan
Militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konsitusi.
Ketika Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
tidak/belum membentuk badan peradilan tetapi dengan sangat bijak dan guna
menghindarkan kekosongan hukum maka Undang-undang Dasar tahun 1945
memuat Aturan Peralihan dalam pasal 2 yang menyatakan Segala Badan Negara
dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-undang Dasar ini
Dalam konteks keberadaan hukum di Indonesia, Indonesia mengalami
paling tidak dua kali masa transisi. Transisi pertama saat Indonesia baru merdeka
dan transisi yang kedua pada saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai
Presiden yang sering diberikan label sebagai era reformasi. 34

34

Hikmahanto Juwana, Wacana Kewenangan Peradilan Militer Dalam Perspektif LawAnd Development, (Disampaikan Dalam rangka Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Sekolah
Tinggi Hukum Militer AHM-PTHM 15 Nopember 2006, hal. 4

Universitas Sumatera Utara

Transisi

pertama

terjadi

karena

pemerintah

yang

baru

dibentuk

mengirimkan hukum yang berlaku adalah hukum yang muncul dalam masyarakat
Indonesia, dilain pihak pemerintah yang baru tidak mungkin mengganti seluruh
peraturan perundang-undangan yang ada berikut institusinya dalam waktu
sekejap. Transisi kedua terjadi pasca berakhirnya pemerintahan Soeharto, transisi
yang dialami adalah transisi hukum yang berfungsi sebagai alat kekuasaan dan
legistimasi menjadi hukum sebagai instrumen yang menjadikan rujukan dan rel
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah. Dalam
pembahasan tersebut muncul perdebatan tentang kewenangan dan Peradilan
Militer sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang
Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur:
Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran
hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-undang.
Pro dan kontra terjadi, argumentasi yang digunakan mereka yang
menghendaki agar Peradilan Militer hanya untuk pelanggaran pidana militer
adalah dalam sebuah negara yang demokratis harus ada supremasi sipil. Oleh
karena itu pelanggaran pidana umum yang dilakukan oleh personil militer harus
tunduk kepada kewenangan dan otoritas sipil.

Universitas Sumatera Utara

Sementara yang menghendaki agar Peradilan Militer berwenang mengadili


pelanggaran pidana dengan melihat status dan pelaku kejahatan mendasarkan
pada sistem yang selama ini berlaku di Indonesia. Karena adanya pendapat pro
dan kontra tentang jurisdiksi Peradilan Militer, alangkah baiknya terlebih dahulu.
dibahas mengenai sejarah Peradilan Militer di Indonesia.

A. Peradilan militer pada masa penjajahan Belanda


1. (Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof)
Sebelum Indonesia merdeka dikenal Peradilan Militer Belanda dengan
nama nama Krijgsraad untuk tingkat Pertama dan Hoog Militair Gerecbtshof
Dasar berlakunya Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechshof adalah Bepalingen
Betreffende de rechtmacht van de militair reobter in Nederlands Indie, S. 1934
No. 173 dan De Provisioneie Instructie voor bet Hoog Militaire gerechtshof van
Nederlands India, S. 1922 No.163. 35
Peradilan ini memiliki wewenang mengadili perbuatan pidana militer yang
dilakukan oleh anggota Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda),
yaitu KNIL (Koninhijke Nederlandsch-Indie Leger) dan anggota Angkatan Laut
Belanda. KNIL merupakan organisasi tersendiri terlepas dari Tentara (Angkatan
Darat) kerajaan Belanda. (Koninklijke Leger-KL).

Sedangkan Angkatan Laut,

merupakan bagian Integral dan Angkatan Laut, merupakan bagian Integral dari
Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine-KM) berkedudukan :
35

Soegir, dkk., 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia,


Cet. 1, Jakarta: India Djaya, 1976, halama 48.

Universitas Sumatera Utara

a. Meliputi Jawa, Madura, Sumsel (Palembang), Bangka, Belitung, Riau Jambi,


Bengkulu (Lampung), Kalimantan Bali Dan Lombok.
b. Padang : meliputi Sumatra Barat, Tapanuli, Aceh, Sumatera Timur.
c. Ujung Pandang : meliputi Sulawesi, Manado, Maluku Timur.
Angota Angkatan Darat Belanda (KNIL) yang melakukan tindak pidana,
diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair
Gerechtshof untuk tingkat banding. Sedangkan untuk Angkatan Laut Belanda di
Hindia Belanda yang melakukan tindak pidana diperiksa dan diadili oleh zee
krijqstraad dan Hoog Militair Gerechtshof.
Krijasraad bersidang untuk mengadili tiap perkara apabila ada panggilan
sidang oleh Komandan Militer. Susunan majelisnya, adalah seorang ketua (orang
sipil/ahli hukum) dengan 4 (empat) orang anggota militer dengan pangkat opsir
(perwira) dan diangkat untuk jabatan itu oleh Komandan Garnizun. Sedangkan
jabatan Auditeur Militair (oditur/jaksa Tentara) dirangkap oleh seorang bukan
Militer, yaitu sipil yang diangkat oleh Gubernur jenderal (pasal 125 Rechtpleging
Landmacht). 36
Susunan persidangan yang dilakukan jika ancaman hukumannya lebih 15
tahun terdiri dari tiga orang Oditur dari Jaksa Landgecht dan Majelis Hakim,
sedangkan pada Pengadilan Negerinya bersidang dengan sistim Hakim Tergugat.

36

Supomo, Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-Il, Cet. Kesebelas,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1972, hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

Krijgsraad memeriksa dan mengadili pidana pada tingkat pertama terhadap


semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan
kemiliteran, kecuali mereka yang pada tingkat pertama harus dihadapkan kepada
Hoog Militair Gerechtshof. Sedangkan Hoog Militair Gerechtshof, merupakan
pengadilan militer tingkat banding dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta
berkedudukan di Jakarta. Hal ini berbeda dengan di negara Belanda, terdapat
Hoge Raad (Majelis Kehakiman yang tertinggi) yang bertugas memutus pada
tahap terakhir atau kasasi. 37
Majelis Hakim Hoog Militair Gerechtshof (HMG) saat bersidang terdiri
dan 5 (lima) orang, yaitu dua dan sipil yang ahli hukum, dimana salah satunya
akan bertindak selaku Ketua Majelis, sedangkan 3 (tiga) orang dan militer
berpangkat opsir tinggi atau menengah yang terdiri dan 2 (dua) orang KNIL dan
1 (satu) orang Angkatan Laut Belanda, baik yang masih dinas aktif maupun yang
sudah pensiun. Seorang Advocaat Fiscaal Generaal pada Hoog Militair
Gerechtshof bertindak sebagai Penuntut Umum yang diangkat oleh Gubernur
Jenderal. 38
Hoog Militair Gerechhtshof pada tingkat pertama mengadili perkara
pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang berpangkat lebih tinggi dari
Kapten, dan pada tingkat kedua mengadili perkara banding yang diajukan
terhadap putusan Krijgsraad.
37
38

Ibid, halaman 31.


Ibid, halaman 45.

Universitas Sumatera Utara

2. Zee Krijgsraad
Bersidang untuk mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Anggota
Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) yang berada diluar Negeri Belanda.
Hakim pengadilan tersebut terdiri dan opsir-opsir Angkatan Laut Belanda dan
biasanya bersidang di atas geledak kapal perang serta seorang opsir Tata Usaha
dan Angkatan Laut ditunjuk sebagai oditur (penuntut umum). Pengadilan banding
bagi Zee Krijgsraad adalah sama sebagaimana krijsraad, yaitu Hoog Militair
Gerechtshof (Krijsraad/Zee Krijgsraad) 39
Sedangkan kewenangan yang dimiliki, adalah mengadili tindak pidana
militer murni maupun tindak pidana umum (pasal 1 dan 2 Wetboek van Militair
Strafrecht voor Nederiand Indie, S1934 No. 267) oleh militer maupun yang
dipersamakan (Artikel 2 bepalingen betreffende de rechtsmacht van de militairen
rechter in Nedelandsch Indie, Stb. 1934 Nr. 173).
Selain berwenang mengadili pada masa damai pengadilan militer juga
berwenang memeriksa dan mengadili setiap orang dalam keadaan perang di
daerah Hindia Belanda maupun di daerah musuh yang dikuasai oleh Angkatan
perang, sebagaimana tercantum dalam pasal ke-1, ke-2, dan 3 Bepalingen
betreffende de rechtsmavht van de militairen rechter in Nederlandsch Indie (Stb.
1934 Nr. 173) yang konkordan dengan Invoeringswer Militair Straf en
Tuchtrecht (Stb. 1921 Nr. 841 Titel VIII art.76, 77, 78), yaitu: 40

39
40

Ibid
SR. Sianturi, Op. Cit., halaman 22-24

Universitas Sumatera Utara

Artikel 1
De Militaire rechter neemt kennis van de strafbare feiten begaan door militairen,
behoudens de uitzonderingen bij de wet, bij algemeenen maatregel van bestuur of
bij ordonan tie gemaakt.
Artikel 2
De Militaire rechter neemt verder kennis:
1e Van de bepaaide strafbare feiten door hen, die ten aanzein van zoodanige
feiten bij de wet, bij algemeenen maatregei van besutur of bij ordonantie met
militairen zijn gelijkgesteid;
2e van de strafbare feiten door hen, die bij een op voet van oorlog gebrachte
krijgsmacht in dienstbetrekking zijn of haar met toestemming van de militaire
overhead vergezelen of volgen.
Artikel 3
Bovendien neemt de militaire rechter, voor zover hij niet reeds krachtens een der
beide voorgaande artikelen bevoegd is, kennis:
1e. Van de misdrijven in geval van oorlog door wien ook begaan in een staat van
beleg verklaard gedeelte van het grondgebied van Nederlandsch Indei, voor
zoover die misdrijven zijn omschreven in een der titels I en II van het tweed
bock van het wetboek van strafrecht of in het wetback van militair strafrecht;
2e. in geval van oorloq van destrafbare feiten, begaan in een in staat van beleg
verklaard gedeelte van het qrondgebied van Nederlandsch Indie, warneer de
buraerlijke rechter, die vol gens wettelijke voorschrift in eerste instantie had
moeter rechtspreken, niet in staat is daarvan kennis te nenlent;
3e. van de strafbare feiten op door de kriijgsmacht geheel of ten deele bezet
vijandelijk gebied door wien ook begaan, Indien eenig Nederlandsch of
Nederlands Indisch belang daardoor is of kan worden geschaad, tenzij de
oorlog een einde heeft genomen en het feit niet strafhaar is gesteld bij het
wetboek van militair strafrecht.
Secara bebas dapat diartikan sebagai berikut:
Pasal 1
Hakim Militer memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
militer kecuali yang ditetapkan lain oleh undang-undang, peraturan pemerintah
atau ordonansi.
Penjelasan Pasal 1
Bahwa Hakim memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh Militer menyatakan Hakim Militer berwenang memeriksa/
mengadili pelaku tindak pidana yang subjeknya adalah militer. Kecuali yang
ditetapkan lain oleh undang-undang, peraturan pemerintah atau ordonansi. Bahwa
subjek militer tersebut dapat diperiksa oleh Hakim non Militer (di Peradilan
Umum) bila melakukan tindak pidana koneksitas (Militer dengan Sipil secara
bersama-sama melakukan tindak pidana umum). Yang diperiksa di Peradilan
Umum jika kepentingan umum yang paling dirugikan atau diperadilan Militer
bila kepentingan Militer yang paling dirugikan atas persetujuan Menteri
Kehakiman dan Penetapan Menteri Pertahanan.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 2
Hakim Militer Juga memeriksa dan mengadili:
Ke-1 tindak pidana tertentu, yang dilakukan oleh seseorang yang karena sifat
dan tindakan tersebut dipersamakan dengan militer oleh undang-undang,
peraturan pemerintah atau ordonansi;
Ke-2 tindak pidana tertentu, yang dilakukan oleh seseorang yang dalam
hubungan dinas berada pada suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan
untuk perang atau menyertainya atau mengikutinya dengan persetujuan
penguasa militer.
Penjelasan Pasal 2
Bahwa Hakim Militer juga berhak memeriksa dan mengadili seseorang
yang melakukan tindak pidana tertentu mengingat Hakim Militer pada umumnya
lebih bertitik berat kepada penggunaan azas perorangan (personalities beginsd)
baik terhadap militer maupun terhadap setiap orang yang berada dalam suatu
daerah musuh/lawan yang dikuasai oleh suatu Angkatan Perang, dalam hal
tertentu (dalam hal ini dalam perkara pidana tertentu), sudah sewajarnya apabila
mereka ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Militer. (Pasal 5 KUHPM).
Pasal 5 KUHPM (diubah dengan UU No. 39 Tahun 1947). Ketentuan Pidana
dalam Perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap anggota yang dalam
keadaan perang, di luar Indonesia melakukan tindak pidana, yang dalam keadaankeadaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan militer.
Pasal 3
Selanjutnya hakim militer sepanjang tidak ditentukan lain dalam salah satu dan
dua pasal terdahulu berwenang memeriksa mengadili:
Ke-1 Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam keadaan
perang di suatu daerah Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan
bahaya, sepanjang kejahatan-kejahatan itu termasuk salah satu dari Bab I
Bah II Buku Kedua KUHP atau dari KUHPM;
Ke-2 tindak pidana dalam keadaan perang yang dilakukan di suatu daerah
Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, apabila hakim
sipil yang menurut perundang-undangan harus mengadili pada tingkat
pertama tidak mampu memeriksanya;
Ke-3 tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang di daerah musuh
yang dikuasai oleh Angkatan Perang, apabila karenanya dapat merugikan
kepentingan Belanda atau Hindia Belanda, kecuali jika perang berakhir dan
tindakan tersebut ditentukan tidak diancam dengan pidana dalam KUHP.
Penjelasan ke-1
Bahwa Hakim Militer berwenang memeriksa mengadili setiap orang (baik
militer maupun sipil) dalam keadaan perang disuatu daerah bekas jajahan
Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya bila kejahatan itu diatur dalam
KUHP Bab I dan II Buku Kedua atau yang terdapat dalam peraturan KUHPM.

Universitas Sumatera Utara

Penjelasan ke-2
Tindak pidana-tindak pidana dalam keadaan perang yang dilakukan di
suatu daerah Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, apabila
hakim Sipil yang menurut perundang-undangan harus mengadilinya pada tingkat
pertama, tidak mampu memeriksanya.
Penjelasan ke-3
Bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang di daerah musuh
yang dikuasai oleh Angkatan perang, yang dimaksud di daerah musuh adalah
setiap orang yang menyeberang ke daerah musuh, berkhianat, sebagai mata
musuh yang dapat merugikan kepentingan pemerintah Belanda atau Pemerintah
Jajahan Belanda, kecuali jika perang (kemudian) berakhir dan tindakan tersebut
ditentukan tidak diancam dengan pidana dalam KUHPM. Maksudnya
pengecualian ini perang tidak berlanjut, selesai (usai) dan tindakan tersebut tidak
termasuk/tidak terbukti dalam tindakan pidana yang diatur dan diancam pidana
sebagaimana terdapat di dalam KUHPM.

B. Masa Penjajahan Jepang


Ketika Jepang menjajah Indonesia maka bala tentara Jepang menjalankan
kekuasaan dan pemerintahan militer. Pendudukan Jepang ini merupakan keadaan
darurat dimana untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan Angkatan
Perangnya sering mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam keadaan
biasa. Dengan berhasilnya Jepang menduduki bekas Hindia Belanda dimulai 10
Januari 1942 ditandai dengan jatuhnya Tarakan dan Minahasa ke tangan
Jepang 41
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam Desertasinya di UGM Sejarah
Peradilan dan Perundangan-undangan di Indonesia sejak 1942 dan Apakah
Manfaatnya

Bagi

Kita

Bangsa

Indonesia,

mengatakan

adalah

tidak

mengherankan bila dalam bidang hukum pidana dan acaranya pemerintah

41

Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Badan Pembinaan Hukum,


Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum Militer dan Bela
Negara, Jakarta, Februari 1996, halaman 19

Universitas Sumatera Utara

pendudukan Jepang mengadakan perubahan-perubahan dan ketentuan-ketentuan


baru karena peraturan yang telah ada tidak memadai untuk keadaan darurat serta
tidak cukup melindungi angkatan perangnya. Untuk itu pada tanggal 2 Maret
1942 (pemerintah Hindia Belanda belum menyerah) dibentuklah Gunrintukaigi
atau Mahkamah Militer yang akan mengadili perkara-perkara pelanggaran
Undang-undang militer. Pembentukan Gunrintukaigi ini didasarkan pada Osamu
Gunrei Nomor 2 tahun 1942. Disamping itu dikeluarkan pula Osamu Gunrei
nomor 1 tentang hukuman bala tentara yang berlaku untuk semua pendudukan
daerah yang telah diduduki. 42
Setelah pemerintah Hindia Belanda menyerah maka pemerintahan
pendudukan Jepang pada 7 Maret 1942 (Bandung jatuh pada 8 Maret 1942)
mengundangkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1942 pada pasal 3 menyatakan
Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undangundang dan pemerintah yang dahulu tetap diakui sah sementara waktu asal tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer. 43
Perubahan lain yang dapat ditemukan dalam hal ini adalah dipaksakannya
penduduk Indonesia menjadi anggota Heiho, Gyugun, Kaygun, Peta bahkan
romusha sehingga memperluas penundukan subjek peradilan militer. 44
Adapun vonis Mahkamah Militer di Indonesia usai peperangan dijumpai
dalam kasus penjahat perang Jepang yang bernama Naomi, seorang bintara tinggi
42

Ibid., halaman. 20.


Ibid.
44
Ibid.
43

Universitas Sumatera Utara

Angkatan Laut Jepang yang bertindak sebagai kepala dapur kamp tawanan perang
di Makassar selama perang dunia Ke II, yaitu menyangkut perlakuan buruk
terhadap tawanan perang yang terdiri dan kaum militer dan sipil sekutu (Belanda,
Australia, Inggris dan Amerika) . Mahkamah bersidang menjatuhkan putusan
berupa pidana mati.

45

C. Masa Kemerdekaan Indonesia


1. Dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945 sampai dengan 1949
a. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1946.
Berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang
bunyinya: Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang

Dasar ini.

Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktek
peradilan di Indonesia pada masa setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan
tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama)
yang sudah ada sejak pendudukan Jepang tetap berlaku termasuk Peradilan
Ketentaraan, maka peradilan-peradilan yang telah ada pada zaman pendudukan
Jepang dapat tetap berlangsung seperti sebelumnya, yaitu peradilan umum,
peradilan agama, dan peradilan ketentaraan. Akan tetapi kenyataan tidak
demikian, maka hanya peradilan umum dan peradilan agama yang berjalan
seperti sediakala. Sedangkan peradilan ketentaraan (militer) tidak/belum

45

Andi Hamzah, Hukum Pidana Politik, Jakarta: Pradnya Paramita, halaman 2.

Universitas Sumatera Utara

diadakan, meskipun Angkatan perang Republik Indonesia telah dibentuk pada


tanggal 5 Oktober 1945.
Periode antara 5 Oktober 1945 sampai dengan pembentukan Pengadilan
Tentara, yaitu berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1946 tanggal 8 Juni
1946 seolah-olah tidak ada hukum dan keadilan serta penegakan hukum terhadap
prajurit atau anggota tentara yang melakukan tindak pidana. Sesungguhnya tidak
demikian karena para Komandan kesatuan selalu menegakkan peraturan melalui
penerapan hukum disiplin. 46
Peradilan Militer baru dibentuk setelah diundangkannya Undang-undang
Nomor 7 tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara di
samping Pengadilan Biasa pada tanggal 8 Juni 1946, dan bersamaan dengan itu
diundangkan pula Undang-undang No. 8 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Acara Pidana Guna Pengadilan Tentara. Dengan dikeluarkan kedua Undangundang yang mengatur tentang peradilan militer, maka Negara Republik
Indonesia baik secara formil maupun materiil tidak memberlakukan ketentuanketentuan di bidang peradilan tentara yang ada sebelum proklamasi kemerdekaan.
Susunan dari Pengadilan Tentara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
Undang-undang Nomor 7 tahun 1946, hanya terdiri dan dua badan (tingkatan),
yaitu:
1) Mahkamah Tentara, dan
2) Mahkamah Tentara Agung.
46

Soegiri, dkk., op. cit., halaman 53.

Universitas Sumatera Utara

Di samping kedua badan atau mahkamah tersebut berdasarkan pasal 22


Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 bila perlu Presiden berhak membentuk
Pengadilan Tentara Luar Biasa.
Undang-undang nomor 7 tahun 1946 berlaku hingga tahun 1948, kemudian
diganti dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan/ Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1948. Demikian juga sebagai akibat
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948 maka Hukum Acara
Pidana Militer diadakan perubahan dan Undang-undang nomor 8 tahun 1946
menjadi peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948.
Wewenang yang dipergunakan sebagai dasar pergantian suatu undangundang hanya dengan peraturan Pemerintah yang menurut Undang-undang Dasar
adalah lebih rendah tingkatannya adalah didasarkan pada wewenang Presiden
pada saat itu sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang nomor 30 tahun
1948 diberi kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden untuk menjalankan
tindakan-tindakan dan peraturan-peraturan yang menyimpang dan undang-undang
dan peraturan yang ada guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi
keadaan bahaya yang memuncak. 47
Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 20 September 1948, dan
hanya terdiri dan suatu pasal yang berbunyi :

47

Soegiri, dkk., Op Cit., halaman 54.

Universitas Sumatera Utara

Selama tiga bulan terhitung mulai tangga1 15 September 1948, kepada


Presiden diberikan kekuasaan (plein Pouvoir) untuk menjalankan tindakantindakan dan mengadakan peraturan-peraturan dengan menyimpang dan
Undang-undang dan Peraturan-peraturan, guna menjamin keselamatan
Negara dalam menghadapi keadaan bahaya.
Selain itu alasan Presiden mengeluarkan Peraturan yang tidak sesuai
ketentuan yang ada, karena:
Waktu itu kondisinya sangat kacau, ketentuan-ketentuan yang ada tidak
diikuti atau tidak diindahkan. Periode tahun 1945 sampai dengan tahun
1949, masih dipengaruhi suasana revolusi. Artinya, bentuk peraturan dan
tata urutan peraturan perundang-undangan sama sekali tidak dijadikan
pertimbangan untuk membuat peraturan, bahkan yang banyak dikeluarkan
seperti Maklumat yang kadang kedudukannya sama seperti UUD. 48
Dengan demikian dapat dipahami, apabila Presiden mengeluarkan
peraturan yang menyimpang dari ketentuan yang ada, karena selain adanya
undang-undang yang memberikan kekuasaan demikian juga karena kondisi yang
dihadapi untuk bertindak cepat.
b. Peradilan Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948
Pasal 1 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan
ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan tentara, yaitu:
1) Mahkamah Tentara
2) Mahkamah Tentara Tinggi
3) Mahkamah Tentara Agung
Dengan demikian, maka sistem peradilan yang selama ini berlaku
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 terdiri dari 2 (dua) tingkatan,

48

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. I,


Indonesia, 1998, halaman 35, 45.

Jakarta: Pustaka LP3ES

Universitas Sumatera Utara

yaitu Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung, berubah menjadi 3


(tiga) tingkatan.
Pengadilan Tentara berwenang mengadili perkara-perkara kejahatan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh:
1) Seorang yang pada waktu itu adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia;
2) Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit Tentara Nasional
Indonesia;
3) Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan
yang dipersamakan atau dianggap sebagai tentara oleh atau berdasarkan
undang-undang;
4) Seorang yang tidak termasuk golongan a, b dan c, tetapi atas ketetapan
Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan

49

Perlu dikemukakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI), Angkatan


Laut Republik Indonesia (ALRI) dan Tentara Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI) sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 sub a Undang-undang
Nomor 7 tahun 1946 dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Tentara Nasional
Indonesia. 50
Perkembangan selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1946
menambahkan suatu pasal baru di antara pasal 3 dan 4, yang berbunyi:

49
50

Pasa1 2 angka 1 huruf a, b, c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948


Soegiri, dkk., op. cit., halaman 80.

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang


dilakukan oleh siapapun juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk
titel 1 atau titel 2 Buku II dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau
termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara dan dilakukan
dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan
pasal 12 Undang-Undang Dasar. 51
Maksud diadakannya pasal ini, adalah memberi kewenangan kepada
Pengadilan Tentara untuk mengadili perkara-perkara dalam lingkungan yang
dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar
1945, karena hal ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan dalam penyelesaian
perkara pemberontakan PKI Muso/Amr Cs (peristiwa Madiun) yang melibatkan
pihak tentara dan pihak sipil, dimana penyelesaian perkara berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.37 tahun 1948 harus dipergunakan pemisahan (splitsing), dan
diadakannya pasal tersebut maka kesulitan-kesulitan berkenan dengan pemisahan
tadi dapat dihindarkan. 52
c. Peradilan Militer Khusus
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 undang-undang Dasar 1945, tanggal 7 Juni
1945, Presiden menyatakan Daerah Jawa dan Madura dalam keadaan bahaya. 53
Kemudian pada tanggal 28 Juni 1946, pernyataan tersebut diikuti dengan
pernyataan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah Indonesia. 54
Hal ini disebabkan oleh pertentangan politik yang meruncing di dalam
negeri maupun disebabkan ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda yang
51

Pasa1 3 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 74 tahan 1948.


Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1948.
53
Undang-undang Nomor 6 tahun 1946 tanggal 27 September 1946.
54
AH. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega Book
Store, 1966, hal.96.
52

Universitas Sumatera Utara

menginginkan

kembali

menjajah

Indonesia.

Peristiwa-peristiwa

tersebut

menunjukkan bahwa kondisi Indonesia saat itu dalam keadaan genting.


Pertentangan Politik yang meruncing di dalam negeri kemudian meningkat pada
tindakan melakukan coup detat pada tanggal 3 Juli 1946. Golongan yang
tergabung dalam Persatuan Perjuangan mendatangi Istana Kepresiden untuk
memaksakan suatu konsep susunan kabinet baru sesuai dengan keinginan mereka.
Percobaan coup detat ini ternyata gagal dan peristiwanya sendiri kemudian
terkenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946. 55
Ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda, bermula saat Belanda
yang datang kembali ke Indonesia dengan cara membonceng tentara sekutu yang
sebenarnya bertugas melucuti tentara Jepang. 56 Selanjutnya pada tanggal 30
Nopember 1946, Inggris secara resmi menyerahkan pendudukan di Jawa dan
Sumatera kepada Belanda dan pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan
Agresi Militer-I, maka setelah itu terjadi pertempuran di mana-mana, dan dalam
keadaan demikian di bidang peradilan perlu diadakan peraturan-peraturan yang
lebih sederhana dan praktis supaya peradilan mampu menjalankan fungsinya. 57
Periode tahun 1946 -1948 diadakan peradilan-peradilan khusus yaitu
Peradilan Tentara Luar Biasa yang terdiri dan:
1) Mahkamah Tentara Luar Biasa.
Dasar hukum dibentuknya peradilan ini adalah Peraturan Pemerintah No. 5
Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1947. Pengadaaan peradilan

55

Soegiri, dkk., op.cit., hal. 38


Moh. Mahfud, op.cit., hal.38.
57
Soegiri, dkk., op.cit., hal.76
56

Universitas Sumatera Utara

ini memang dimungkinkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 UndangUndang No. 7 Tahun 1946, yaitu bahwa jika perlu berhubung dengan keadaan,
Presiden berhak membentuk Pengadilan Tentara Luar Biasa yang susunannya
menyimpang dan ketentuan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1946 58
2) Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa
Peradilan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun
1946 yang berlaku sejak tanggal 19 Juli 1946. Dasar dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah ini adalah Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang
Mengadakan Pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa.
3) Mahkamah Tentara Sementara.
Dengan tujuan untuk menyesuaikan jalannya Pengadilan Tentara baik
dalam keadaan perang, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 22 Tahun 1947, Makamah Tentara Sementara merupakan Pengadilan Negeri
yang merangkap menjadi Pengadilan Tentara Luar Biasa.
4) Mahkamah Tentara Daerah Terpencil.
Didasarkan pada pemikiran setidak-tidaknya akan lebih baik jika ada
Pengadilan daripada tidak sama sekali. Sekitar tahun 1947 keadaan perang atau
keadaan bahaya, sehingga dibutuhkan penyelesaian perkara dalam suatu pasukan
tentara yang mungkin sekali pada suatu saat berada dalam daerah terpencil yang
tidak terjangkau Pengadilan Tentara Luar Biasa (Pasal 1)
58

Penjelasan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1947, Penyimpangan yang diperbolehkan


hanya dalam hal susunan pengadilan saja, sedangkan perihal hak atau kekuasaan, kewajiban
mengadili,cara mengadili dan pemberian pangkat militer (tituler), Undang-undang No7 tahunl96
tetap berlaku.

Universitas Sumatera Utara

Sehubungan dengan kondisi tersebut, pada tanggal 18 Agustus 1947,


Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 1947 tentang
pembentukan suatu pengadilan tentara yang disebut Mahkamah Tentara Daerah
Terpencil.
d. Peradilan Militer masa Agresi Kedua
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda melakukan agresi yang
kedua kalinya terhadap Negara Republik Indonesia yang berakibat seluruh kota
besar di Jawa dan Madura jatuh ke tangan Belanda, hal ini memaksa TNI dan
pejuang Indonesia untuk menyingkir ke daerah yang tidak diduduki serta
melancarkan perang gerilya terhadap Belanda.

59

Selanjutnya menurut Soegiri:


Kondisi tersebut memaksa pimpinan TNI memberlakukan Pemerintahan
Militer di seluruh Jawa dan Madura, dan untuk menyelenggarakan keamanan
dan ketertiban, diperlukan adanya kepolisian yang kuat dan adanya
pengadilan untuk memeriksa dan mengadili para pengganggu keamanan dan
ketertiban, tetapi dengan jatuhnya kotakota besar ke tangan Belanda
dimana tempat kedudukan pengadilan negeri berada, maka pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum menjadi lumpuh yang berarti lumpuh pula
pengadilan tentara karena pejabat-pejabatnya berasal dan pengadilanpengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 60
Dikeluarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 No. 46/MBDK/49 tanggal 7
Mei 1949 guna memenuhi kebutuhan yang pada waktu itu dihadapkan dengan
keadaan

genting

dan

hanya

sedikit

tenaga

di

daerah-daerah

untuk

menyelenggarakan peradilan sipil maupun militer. Sebenarnya berdasarkan


Peraturan Darurat Nomor 3 tahun 1949 yang telah ada sebelumnya, di beberapa

59
60

AH. Nasution, op. cit., halaman 80 - 108.


Soegiri, dkk., op.cit., halaman 112

Universitas Sumatera Utara

tempat telah dibentuk pengadilan Darurat, tetapi mengingat situasi perjuangan


yang memerlukan waktu lama, maka Pengadilan Darurat tersebut perlu
disempurnakan serta diperlukan peraturan yang mencakup seluruh pengadilan,
baik sipil maupun militer. 61
Berangkat dan keadaan yang genting ini, maka para komandan yang dalam
berbagai hal memiliki peranan yang menentukan dalam lingkungan Peradilan
Militer, dibebani tugas sebagai ketua pengadilan tentara tersebut, sedangkan
untuk Peradilan Sipil, para kepala daerah diberi tugas sebagai ketua pengadilan
sipil di daerahnya masing-masing.
Peraturan Darurat Nomor. 46/11BKD/49 tersebut mengatur tentang
Pengadilan Tentara Pemerintah Militer untuk seluruh Jawa dan Madura, maka
dengan adanya ketentuan ini maka pengadilan tentara di seluruh Jawa dan
Madura yang diatur oleh Undang-undang Darurat Nomor 3 tahun 1949
dihapuskan serta diganti dengan Peraturan Darurat Nomor 46/MBKD/49 tentang
Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer. Peraturan darurat ini memuat berapa
hal yaitu:
1) Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer.
Sesuai pasal 2 Peraturan Darurat tersebut susunan peradilan tentara terdiri
dari :
a) Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer, disingkat MTODM dengan daerah
kedudukan sama dengan kedudukan Komandan Onderdistrik Militer KDM)
dan daerah hukumnya meliputi onderdistrik militer tersebut.

61

Ibid

Universitas Sumatera Utara

b) Mahkamah Tentara Distrik


Militer, disingkat MTDM dengan daerah kedudukan sama dengan kedudukan
Komandan Distrik Militer dan daerah hukumnya meliputi Distrik Militer yang
bersangkutan.
c) Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, disingkat MTG dengan daerah
kedudukan sama dengan kedudukan Gubernur Militer yang bersangkutan.
d) Mahkamah Tentara Istemewa.
2) Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer tentang Mahkamah Luar Biasa
Pengadilan sipil di seluruh Jawa dan Madura dihapuskan serta diganti
dengan Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer. Pengadilan ini terdiri atas:
a) Pengadilan Kabupaten
Pengadilan ini ada di tiap-tiap kabupaten dan tempat kedudukannya sama
dengan tempat kedudukan Bupati dengan daerah hukum meliputi daerah
Kabupaten (Pasal 18). Di mana Bupati sebagai Ketua dan sedikit-dikitnya dua
orang terkemuka yang diangkat CM (penguasa militer) sebagai anggota serta
seorang pegawai yang ditunjuk oleh Bupati sebagai panitera dan sidang
tersebut sah, apabila dihadiri Ketua, dua orang anggota dan panitera (pasal 19
dan 20)
b) Pengadilan Kepolisian
Sesuai Pasal 26, Pengadilan ini ada di tiap-tiap Kecamatan (Kaonderan,
Kapanewon) dan tempat kedudukan sama dengan tempat kedudukan Camat
serta daerah hukum meliputi daerah Kecamatan. Sedangkan susunan
pengadilan terdiri dan Camat (Asisten Wedana, Panewu) sebagai Hakim dan

Universitas Sumatera Utara

seorang pegawai yang ditunjuk oleh Bupati sebagai Fiscaalgriffier (Pasal 27


dan 28)
Cara menjalankan hukuman penjara sesuai Peraturan Darurat No.3 Tahun
1949, adalah hukuman penjara dan dapat diganti dengan membayar uang, dan
apabila tidak mampu, maka harus menjalani kerja paksa.
c) Mahkamah Tentara Luar Biasa.
Bab III Peraturan Darurat tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang
Mahkamah Luar Biasa dengan dasar pemikiran, sebagai berikut:
1) Suatu daerah dimana belum terbentuk pemerintahan Militer atau di mana
Pemerintahan Militer Daerah yang ada oleh karena gerakan musuh telah
meninggalkan daerah itu, tetapi daerah tersebut masih diduduki oleh
pasukan sekecil-kecilnya satu Kompi dapat diadakan suatu Mahkamah
Tentara Luar Biasa guna mengadili perkara pidana yang terdakwanya
anggota angkatan perang atau orang sipil. Wewenang membentuk
mahkamah tersebut menurut Pasal 1 dan Pasal 3 diberikan kepada
Komandan Pasukan yang bersangkutan.
2) Apabila terdapat perkara yang terdakwanya berpangkat lebih tinggi dan
pada komandan pasukan tersebut, maka terdakwa itu oleh Perwira Provost
yang bersangkutan harus diserahkan kepada Komandan Batalyon dan
kesatuan Perwira tesebut (Pasal 2 dan 4).
3) Mahkamah Tentara Luar Biasa diwajibkan harus berpedoman pada aturanaturan yang tercantum Peraturan Darurat.

Universitas Sumatera Utara

D. Peradilan Militer Masa R.I.S Tahun 1949 - 1950


Masa ini kedudukan Republik Indonesia berpusat di Jogjakarta dan
menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat. Dibandingkan dengan negara
bagian lain, hanya Republik Indonesia yang memiliki tentara lengkap dengan
peraturan-peraturannya, yang telah dimiliki sejak awal berdirinya Republik
Indonesia 7 Agustus 1945 Peraturan perundang-undangan tentang peradilan
tentara menurut hukum masih tetap berlaku dalam masa RIS selama tidak
bertentangan dengan Konstitusi RIS atau selama belum diganti.
Peraturan tentang Peradilan Militer yang masih berlaku, antara lain:
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan Nomor 36 tahun 1949
tanggal 29 Desember 1949 yang berlaku tentang penghapusan Peraturan
Darurat No.49/MBKD/49 dan menghidupkan kembali pengadilan tentara yang
ada sebelum tanggal 7 Mei 1949.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang susunan dan Kedudukan
Pengadilan/ Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Meskipun
wilayah RIS meliputi seluruh Indonesia, tetapi hanya RIS yang memiliki
badan-badan peradilan tentara, sedangkan negara bagian lain belum memiliki
mahkamah maupun kejaksaan tentara. Oleh karena itu, Pemerintah RIS
berusaha mengisi kekosongan peraturan-peraturan yang sangat diperlukan,
kemudian mengeluarkan Undang-undang darurat nomor 16 tahun 1950 yang
kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun 1950 tanggal 20 Juli 1950
yaitu sebagai Undang-undang Federal.

Universitas Sumatera Utara

c. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950.


Untuk mengisi kekosongan di negara bagian selain dari Republik Indonesia
RIS berusaha mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1950 yang
kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun 1950 tanggal 20 Juli 1950
yang dikenal dengan Undang-undang Federal.
Selanjutnya dikeluarkan juga Undang-undang Darurat Nomor 17
Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara yang
kemudian menjadi undang-undang Federal Nomor 6 tahun 1950, tetapi
sebelum diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950,
berdasarkan pasal 192-195 Konstitusi RIS, yang berlaku adalah peraturanperaturan Republik Indonesia.
Sejak diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun 1950
maka peraturan tentang susunan dan kekuasaan dalam lingkungan peradilan
ketentaraan di Indonesia, dapat dikatakan sudah mantap. Konsideran undangundang ini menyebutkan tentang keperluan diadakannya peraturan baru
tentang materi pokok yang termuat didalamnya. Demikian pula dalam pasalpasalnya tidak ditemukan ketentuan peralihannya, bahkan dalam pasal 1
dicantumkan ketentuan yang isinya menyatakan, bahwa segala peraturan yang
ada sebelumnya dihapus dan diganti dengan undang-undang ini.
d. Susunan dan Kekuasaan.
Susunan peradilan tentara berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 16
tahun 1950, yaitu: 1) Mahkamah Tentara, 2) Mahkamah Tentara Tinggi, 3)
Mahkamah Tentara Agung.

Universitas Sumatera Utara

E. Peradilan Militer Masa Berlakunya UUDS tahun 1950 sampai dengan tahun 1959
a. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1950.
Seperti diketahui, kedudukan dan daerah hukum Peradilan Militer pada
umumnya bersamaan dengan peradilan umum (Peradilan Negeri). Hal ini
membawa akibat apabila terjadi perubahan atau pergantian dalam peradilan
umum akan diikuti pula oleh Peradilan Militer.
Oleh karena itu dikeluarkan Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 pada
tanggal 13 Maret 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
menyelenggarakan Kesatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadilan Sipil yang intinya berisi:
1) Penghapusan pengadilan yang tidak sesuai lagi dengan susunan negara
kesatuan.
2) Pengahapusan

secara

berangsur-angsur

pengadilan

Swapraja

dan

Pengadilan Adat.
3) Selanjutnya Pengadilan Agama dan Pengadilan Desa.
4) Pembentukan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tempat-tempat
tertentu.
Undang-undang ini menghapuskan semua undang-undang yang
berkaitan dengan Pengadilan/ Kejaksaan Ketentaraan, dimana kekuasaan
kehakiman dalam peradilan tentara dilaksanakan oleh:
1) Pengadilan Tentara
2) Pengadilan Tentara Tinggi:
3) Mahkamah Tentara Agung (Pasal 2)

Universitas Sumatera Utara

Ketika itu pejabat -pejabat yang menjalankan Peradilan Tentara,


adalah Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan
Tentara demikian pula untuk Pengadilan Tentara Tinggi dan Mahkamah
Tentara Agung juga Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi serta
Kejaksaan Tentara Agung. Mereka saat menjalankan tugasnya oleh Presiden
diberi pangkat militer tituler (Pasal 32). Sedangkan hukum acara yang
digunakan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 adalah het Herziene
Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan-perubahan seperti yang dimuat
dalam Undang-undang No.6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada
Pengadilan Tentara, sehingga Jaksa merupakan pemimpin pemeriksaan
permulaan (penyidikan).
b. Mahkamah Militer Luar Biasa.
Tahun 1950, sebagian wilayah Indonesia masih ada yang dinyatakan dalam
keadaan perang atau dalam keadaan darurat perang. 62 Khusus untuk bekas
Negara Indonesia Timur dengan Keputusan Presiden No.160, 169, dan 204
Tahun 1950, hampir seluruh wilayah Indonesia dinyatakan dalam keadaan
darurat perang.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Panglima
Tentara dan Teritorium VII memegang kekuasaan militer tertinggi di daerah
itu, dan dalam melaksanakan tugas serta tanggungjawabnya ia dapat
menyimpang ketentuan meskipun secara terbatas. Panglima pada waktu itu
62

Soegiri, dkk, op. cit., hal. 160

Universitas Sumatera Utara

(Kolonel Inf Kawilarang) berpendapat, bahwa peradilan tentara di Komando


Tentara dan Teritorium VII belum dapat melaksanakan fungsinya lagi pula
keadaan masih gawat sehingga masih perlu diadakan tindakan cepat dan tepat
dengan mematuhi saluran dan prosedur hukum. 63
Berdasarkan alasan tersebut, ia kemudian mengusulkan kepada Menteri
Pertahanan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Pusat untuk membentuk
Mahkamah Militer Luar Biasa, maka kemudian terbit Surat Keputusan
Kekuasaan Militer Pusat No.3 Tahun 1950 tanggal 10 Oktober 1950 yang
isinya Di daerah yang dalam keadaan darurat perang, Panglima dapat
membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa.

c. Mahkamah Angkatan Darat Daerah Pertempuran


Berdasarkan persetujuan Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Tahun 1949,
Belanda harus menyerahkan seluruh wilayah yang diduduki kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia, kecuali Irian Barat setelah konfrensi tersebut.
Ternyata sampai bertahun-tahun, Irian Barat tidak diserahkan ke Republik
Indonesia, sampai akhirnya pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden
Soekarno mencanangkan Tritura untuk merebut kembali Irian Barat. 64
Di satu sisi, TNI dengan segala lapisan masyarakat bersiap-siap untuk
menghadapi Belanda, ternyata di sisi lain juga mendapat rongrongan berupa

63

Ibid.
Disjorahad, Sajarah TNI 1945-1973, Peranan TNI AD, Bandung: Dinas Sejarah TNI
Angkatan Darat, 1979, halaman 85-11
64

Universitas Sumatera Utara

pemberontakan PRRI Permesta

65

, dan untuk mengantisipasi meluasnya

pemberontakan, maka pemerintah menyatakan seluruh wilayah Indonesia


dalam keadaan bahaya, sehingga dikeluarkan Undang-Undang Keadaan
Bahaya No.74 Tahun 1957 dengan Peraturan Pelaksanaannya, yaitu
Keputusan Presiden RI No. 225 Tahun 1957, kemudian dibentuk suatu
peradilan

di

lingkungan

TNI

Angkatan

Darat

Daerah

Pertempuran

(Mahadper) berdasarkan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat Angkatan


Darat No.Prt/peperpu/024/1958 tanggal 28 April 1958 juga di lingkungan TNI
Angkatan Udara dibentuk badan peradilan serupa, yaitu Mahkamah Angkatan
Udara Daerah Pertempuran dengan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat
Angkatan Udara No.2/ Peperpu/AU-1958 tanggal 28 April 1958.
d. Perubahan Hukum Acara Pidana Militer.
Ketika itu penyelenggaraan atau penegakan Disiplin Tentara, sistem
pemeriksaan dan penyerahan perkara dirasakan jauh dari memuaskan,
sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Undang-undang Darurat No.1 Tahun
1958, yaitu:
Sistem itu mudah mengakibatkan bentrokan antara kejaksaan dan
pihak pimpinan Angkatan /Kesatuan, bahkan sesungguhnya mengurangi
kedudukan para Komandan yang bertanggung jawab penuh atas keadaan
keamanan dan ketertiban dalam lingkungan Angkatan/Kesatuan dan atas
kedudukan/keadaan anak buahnya sebagai anggota militer.
Oleh karena sering terjadi bentrokan maka dicari sistem baru yang
memungkinkan Komandan/Atasan tersangka dapat ikut campur dalam phase

65

Soegiri, dkk. op .cit., halaman 162.

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan permulaan, penahanan sampai penyerahan perkara untuk di


sidang di Pengadilan, yaitu Undang-undang No. 29 Tahun 1954 tentang
Pertahanan Negara Pasal 35 ayat (1) menyatakan: Angkatan Perang
mempunyai peradilan tersendiri dan Komandan-komandan mempunyai hak
penyerahan perkara. Menindaklanjuti Pasal 35 ayat (1) tersebut, dikeluarkan
Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1958 tentang Perubahan Undangundang No. 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan
Ketentaraan, dan Undang-undang inilah pada akhirnya Jaksa tidak mewakili
lagi

hak

menahan,

memeriksa

ataupun

menyerahkan

perkara

tanpa

sepengetahuan / ijin Komandan atau Atasan tersangka. 66

F. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966


a. Peradilan Militer Angkatan dan Polri
Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Dekrit yang antara lain menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya
Undang-undang Dasar 1945. Meskipun demikian, berdasarkan Ketentuan
Ketentuan Peralihan UUD 1945, Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No.6 Tahun 1950 serta perubahannya dalam Undang-undang
Darurat No.1 tahun 1958 masih tetap/1angsung berlaku.
Setelah berlakunya UUD 1945, maka untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 24 ditetapkan Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai kekuasaan

66

Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958 Pasal 6 ayat 1.

Universitas Sumatera Utara

Kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1964


yang diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, dan Pasal 7 menetapkan:
1) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a) Peradilan Umum
b) Peradilan Agama
c) Peradilan Militer
d) Peradilan Tata Usaha Negara
2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan
pengadilan tertinggi untuk semua peradilan.
3) Peradilan-peradilan tersebut secara teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah
Agung, tetapi secara organisatoris, administratif dan finansial berada di
bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Departemen
Departemen da1am lingkungan Angkatan Bersenjata.
Dalam pasal ini istilah Angkatan Bersenjata, mempunyai arti yang sama
dengan Angkatan Perang, karena hingga diundangkannya UU NO.19 Tahun 1964,
yang menyelenggarakan Peradilan Militer adalah Angkatan Darat, Angkatan Laut
dan Angkatan Udara. Sedangkan Kepolisian Negara pada waktu itu sebenarnya
juga sudah disebut Angkatan Kepolisian, sehingga merupakan Departemen
tersendiri juga berstatus Menteri, tetapi terhadap anggota Angkatan Kepolisian
belum diberlakukan Hukum Pidana Militer dan Hukum Disiplin Militer, sehingga
anggota Angkatan Kepolisian belum masuk kekuasaan Peradilan Militer tetapi
masih berada di bawah kekuasaan Peradilan Umum. 67

67

Soegiri, dkk., op.cit., halaman 190

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 yang mulai berlaku


tanggal 31 Jun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian, Pasal 3
menyatakan, bahwa Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata. Inilah awal
Polri berintegrasi dengan TNI. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No.
290 Tahun 1964, Angkatan Kepolisian sejajar dengan Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara. Berdasarkan Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965,
maka Hukum Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara dinyatakan berlaku
bagi Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian, sehingga apabila ada
anggota Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi diadili
oleh peradilan umum (negeri) tetapi oleh Peradilan Mi1iter.
Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965 Pasal 2, menetapkan bahwa
Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak
pidana, diadili oleh :
1) Badan peradilan dalam lingkungan Angkatan Laut, apabila tindak pidana itu
dilakukan di daerah Tingkat II Riau Kepulauan.
2) Badan peradilan dalam Lingkungan Angkatan Darat, apabila tindak pidana itu
dilakukan di luar daerah tersebut, kecuali kalau ada ketentuan-ketentuan
khusus.
Selanjutnya Pasal 2 Undang-undang No.3 PNPS Tahun 1965,
mengalami perubahan dan tambahan dengan UU No.23 PNPS Tahun 1965
yang mengatur tentang dimungkinkan Angkatan Kepolisian mempunyai
badan peradilan tersendiri untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat
pertama terhadap tamtama, bintara dan perwira yang melakukan tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan instruksi. MEN/PANGAK No. 44/ Instr/SK/1966 tanggal


19 Nopember 1966, dibentuk Pengadilan Tinggi AKRI (LANAKTI) dan
Pengadilan AKRI (LANAK) . LANAK berkedudukan di tiap KOMDAK
(Komando Daerah Kepolisian) sedangkan LANAKTI ditingkat DEPAK
(Departemen Kepolisian) atau pada eselon KOMDAK yang tidak memiliki
garis komando terhadap LANAK. LANAK bersidang pertama kali di
KOMDAK I/Aceh pada tanggal 8 Nopember 1966, sedangkan di KOMDAK
Jawa Timur (Surabaya) pada tanggal 22 dan 1967. 68
Dengan demikian, pengadilan dalam lingkungan Paradilan Militer
terdiri dari :
1) Peradilan Militer untuk lingkungan AD.
2) Peradilan Militer untuk lingkungan AL.
3) Peradilan Militer untuk lingkungan AU.
4) Peradilan Militer untuk lingkungan AK.
Perkembangan selanjutnya diundangkan Penetapan Presiden No.22 Tahun
1965 tanggal 30 Oktober 1965 tentang perubahan dan tambahan beberapa
pasal dalam Undang-undang No.5 tahun 1950. Pasal-pasal yang mengalami
perubahan, ialah Pasal 9, Pasal 15, Pasal 23 ayat (2) dan (6) serta Pasal 32.
Sedangkan yang dicabut adalah Pasal 10 ayat (5) dan Pasal 16 ayat (4).
Perubahan-perubahan tersebut adalah mengenai pengangkatan personel teras
atau pejabat-pejabat utama pada badan-badan Peradilan Militer sehubungan
telah tersedianya tanaga ahli dari kalangan Militer sendiri. Demikian juga
68

Ibid., halaman 219.

Universitas Sumatera Utara

Jaksa tentara dari kalangan Militer harus sudah dapat melaksanakan


penuntutan sendiri di sidang pengadilan tentara. 69
b. Peradilan Militer Khusus.
Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang
diundangkan pada tanggal 16 Desember 1959 telah mencabut Undang-undang.
Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 telah membawa konsekuensi pada
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Penguasa Keadaan Bahaya
berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya Tahun 1957.
Berkaitan dengan keadaan bahaya tersebut, Undang-undang No.. 23 Prp
Tahun 1959 mengatur tiga keadaan bahaya, yaitu:
1) Keadaan Darurat Sipil
2) Keadaan Darurat Militer
3) Keadaan Perang.
Berdasarkan Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 yang mengatur
tentang keadaan bahaya maka lahirlah Peraturan Penguasa Perang Tertinggi
No. 2 Tahun 1960 tentang Mahkamah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara dalam keadaan perang. Tingkatan keadaan bahaya
sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 23 Prp Tahun 1959 tersebut,
adalah keberadaan Mahkamah sebagaimana diatur dalam Peraturan Penguasa
Perang Tertinggi di atas, hanya ada pada tingkatan Keadaan Perang.
Keadaan bahaya dicabut dan seluruh wilayah RI pada tanggal 1 Mei
1963, dengan dihapusnya keadaan bahaya tersebut, maka Peraturan Penguasa
69

Ibid., hal..202. Hal ini didasarkan telah tersedianya tenaga Perwira ahli Hukum/sarjana
hukum yang diperoleh melalui Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer
(AHM/PTHM) dan juga dan Sarjana Hukum melalui wajib militer.

Universitas Sumatera Utara

Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tersebut tidak berlaku lagi, sehingga sejak
saat itu, Badan Peradilan Militer Khusus tidak ada/dihapus. 70
c. Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB)
Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1963 tanggal 24 Desember 1963
dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa sebagai pengadilan khusus, kemudian
menjadi Undang-undang No. 16 Pnps Tahun 1963. Tempat kedudukan dan
daerah hukum Mahkamah ini, adalah di Ibukota Negara RI yaitu Jakarta dan
Daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara (pasal 2). Dengan
demikian, persidangan dapat dilakukan di Ibu Kota Negara atau di luar Ibu
Kota Negara.
MAHMILLUB telah bersidang di tempat kedudukannya di Jakarta dan di
Luar Jakarta, yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Padang, Bandung,
Banjarmasin, dan Makassar.
Mahkamah Militer Luar Biasa memiliki kekuasaan memeriksa dan
mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang
ditentukan oleh Presiden (pasal 1). Perkara-perkara khusus dimaksud, adalah
mengenai perbuatan yang merupakan ancaman dan bahaya besar bagi
keamanan bangsa dan negara, sehingga memerlukan penyelesaian yang sangat
segera. Pelaku tindak pidana tersebut tidak dibatasi, baik militer maupun sipil.

70

Soegiri, dkk., op. cit., halaman 235.

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu, maka penentuan suatu perkara khusus dilakukan oleh
Presiden.
Perkara G-30-S-PKI misalnya, hanya perkara para tokohnya saja yang
dinyatakan sebagai perkara khusus dan diadili oleh MAHMILLUB.

71

Sedangkan perkara-perkara G-30-S/PKI lainnya yang bukan melibatkan tokoh,


diperiksa dan diadili oleh :
1) Mahkamah Militer, apabila pelakunya anggota militer.
2) Pengadilan Negeri, apabila pelakunya sipil.

d. Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata (MAHSAMANTA)


Berkaitan peiaksanaan DWIKORA, dirasa perlu adanya penyelesaian
yang cepat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan
Bersenjata serta angota Hansip dan Sukarelawan untuk memelihara dan
mempertahankan semangat dan disiplin yang tinggi, sehingga dengan
Penetapan Presiden No.5 Tahun 1965 yang diundangkan pada tanggal 15
Maret 1965, dibentuk suatu Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata yang
berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan Bersenjata anggota
Angkatan Bersenjata anggota Hansip serta Sukarelawan dan meskipun telah
dibentuk, kenyataan mahkamah ini belum pernah bersidang, bahkan sampai
dicabutnya Penetapan Presiden no. 5 Tahun 1965 tersebut.

71

Keputusan Presiden RI No. 370 tahun 1965.

Universitas Sumatera Utara

G. Peradilan Militer Tahun 1966 sampai dengan tahun 1997


a. Peradilan Militer Integrasi.
Sejak keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pelaksanaan
Peradilan Militer di dalam 1ingkungan masing-masing Angkatan masih
berjalan

terus sebagaimana sebelumnya. Keadaan ini berlangsung sampai

dengan tanggal 16 Agustus 1973, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan


Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima
Bersenjata

masing-masing

No.

J.S.4/10/14

tanggal

10

Juli

1972

SKEP/2/498/VII/72 tentang Perubahan Nama, Tampat Kedudukan, Daerah


Hukum, Yurisdiksi serta kedudukan Organisatoris, Daerah Hukum Mahkamah
Militer Tinggi dan Orditurat Militer Tinggi. Bersamaan dengan No.
KEP/B/10/III/ 1973 tanggal 19 Maret 1973, mengenai Tempat J.S.8 /18/ 19
Kedudukan dan Daerah Hukum Mahkamah Militer dan Oditurat Militer.
Sebelumnya pada Tahun 1968 dikeluarkan surat Keputusan Bersama
(SKB) antara Menteri Kehakiman dengan Menteri Pertahanan Keamanan
No.Kep /8.306/1968 tentang perubahan nama Peradilan Tentara, Daerah
Hukum dan Tempat Kedudukan. Nama Peradilan Tentara diubah menjadi
Mahkamah Militer (Mahmil) dan daerah hukumnya meliputi suatu Daerah
Militer dan berkedudukan di tempat kedudukan Markas Komando Daerah
Militer atau di tempat Lain dalam wilayah Komando Daerah Militer (Kodam)
serta Nama Peradilan Tentara Tinggi diubah menjadi Mahkamah Militer
Tinggi (Mahmilti) yang daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Terintegrasinya

peradilan/mahkamah

militer

telah

menjadikan

Peradilan Militer tidak lagi berada dalam lingkungan Angkatan masingmasing, tetapi dilakukan oleh badan Peradilan Militer yang berada di bawah
Departemen Pertahanan/Keamanan dan pelaksanaan Peradilan Militer yang
terintegrasi ini merupakan suatu perkembangan penting yang tidak bisa
dilepas dan perkembangan ABRI. Di samping itu, terhitung mulai 17 Agustus
1973, semua perkara harus diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Militer
Integrasi.
Menyesuaikan perkembangan istilah dalam bidang peradilan yang
terdapat dalam berbagai peraturan perundangan, antara lain dalam UndangUndang No. 14 Tahun 1970, maka terhadap nama pengadilan ketentaraan
perlu dilakukan penyesuaian, dan dengan penyesuaian itu, maka penyebutan
nama kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Militer dilakukan Militer, yaitu:
1) Mahkamah Militer (Mahmil)
2) Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti)
3) Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
Sedangkan susunan jabatan Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer
Tinggi, adalah mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1950
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 22 Pnps Tahun 1965.
Susunan persidangan Mahmil/Mahmilti sesuai dengan Ketentuan UndangUndang No. 5 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, adalah
dengan tiga orang hakim tersebut, satu orang oditur dan seorang panitera. Tiga

Universitas Sumatera Utara

orang hakim tersebut, satu orang hakim sebagai Ketua dan 2 (dua) orang hakim
anggota. Dengan tersedianya tenaga hakim, maka hakim anggota terdiri dari
Hakim Perwira (Kimpa) atau Hakim Militer (Kimmil), dan untuk memberikan
arti pada asas integrasi, maka komposisi sidang diusahakan terdiri dan unsurunsur ketiga Angkatan dan Polri. Hukum acara yang dipergunakan dalam proses
peradilan Mahmil, Mahmilti integrasi adalah tetap mengacu pada ketentuanketentuan yang telah diatur, khususnya dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1950
dan perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 1 Prt Tahun 1958.
Bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara
pidana (KUHAP) melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 yang secara tegas
mencabut HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana, maka perkataan
berpedoman pada HIR sebagai tercantum dalam Undang-Undang No. 6 Tahun
1950 tersebut, harus dibaca berpedoman pada RUHAP. Hal ini disebabkan
ketentuan dalam KUHAP tidak dapat sepenuhnya diberlakukan dalam lingkungan
peradilan militer, berpangkal pada kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam
kehidupan militer.
b. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub)
Seperti yang telah diuraikan pada bagian di atas, Mahimillub sebagai
pengadilan militer khusus, dibentuk berdasarkan penetapan Presiden No. 16
tahun 1963, kemudian berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1969
dinyatakan menjadi. Undang-undang nomor 16 Pnps tahun 1963. Keberadaan
Mahmillub sebagaimana dilaksanakan pada masa sesudah 11 Maret. 1966, pada
dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti karena secara substansi

Universitas Sumatera Utara

keberadaannya selalu dikaitkan dengan perkara-perkara khusus yang ditentukan


oleh Presiden.
Kegiatan Mahmillub pada masa sesudah 11 Maret 1966 terutama dalam
memeriksa dan mengadili perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI sebagaimana
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 370 tahun 1965, terdapat
perubahan

sehubungan

dengan

perkembangan

keadaan,

organisasi

dan

administrasi pemerintah.
Perubahan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1973 yaitu:
1) Memberikan wewenang kepada Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban atau pejabat yang ditunjuk olehnya, untuk:
a). Menentukan siapa yang termasuk tokoh-tokoh G-30-S/PKI
b). Bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara dalam perkara tersebut.
c). Menentukan susunan Mahmillub untuk mempersiapkan, memeriksa dan
mengadili perkara-perkara tersebut.
2) Pembiayaan

peradilan

dan

penyelesaian

perkara

dibebankan

kepada

Departemen Pertahanan Keamanan cq. Anggaran Khusus Kehakiman ABRI.

H. Tahun 1997 sampai dengan sekarang


a. Peradilan Militer Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997.
Berdasarkan undang-undang ini, maka semua peraturan, undang-undang
yang berkaitan dengan Peradilan Militer maupun hukum acaranya dinyatakan
tidak berlaku. Undang-Undang ini selain mengatur tentang susunan dan

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan pengadilan serta oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer


juga memuat hukum acara pidana militer. Hal yang paling baru yang belum
pernah diatur sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan
menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
1) Pengadilan Militer;
2) Pengadilan Militer Tinggi;
3) Pengadilan Militer Utama; dan
4) Pengadilan Militer Pertempuran (pasal 12)
Kekuasaan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan
Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur
dalam ketentuan sebelumnya, hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha
dan menggabungkan gugatan ganti rugi.
Sedangkan Pengadilan Militer Utama, sebelumnya Mahkamah Militer
Agung dengan kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk
memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur
berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.
Sedangkan

Pengadilan

Militer

Pertempuran

memiliki

kekuasaan

memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di daerah pertempuran serta bersifat


mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan serta berdaerah hukum di
daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal 46) pidana yang dilakukan oleh prajurit
ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan undang-undang atau seseorang yang

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus


diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata serta menggabungkan perkara gugatan
ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu putusan.
Undang-undang Nomor. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer selain
mengatur susunan, organisasi peradilan juga mengatur hukum acaranya, hukum
acara yang diatur dalam Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai kekhususan,
seperti kewenangan Komandan (Atasan yang Berhak menghukum/Ankum)
melakukan penyidikan, penahan serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam
penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal 131)
b. Pemisahan Polri dari ABRI
Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta
Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli
2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah
dengan kedudukan yang setara.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000
tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan
dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).

Universitas Sumatera Utara

Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002


tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum.
Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan
oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik
ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku
ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak
pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI
(militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum
militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9
mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundangundangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan
Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak
pidana.
Perkembangan selanjutnya guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang
independen, berbagai pihak terutama hakim meyakini perlunya memberlakukan
sistem satu atap (one roof system) bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. 72
Satu atap dalam arti satu sistem yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis
72

Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir
Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Perdi1an 2006, halaman 83.

Universitas Sumatera Utara

yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yudisial dan kewenangan


pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan finasial peradilan, berada di
Mahkamah Agung RI, lepas dari campur tangan pemerintah (Mabes TNI) untuk
Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur, Pengalihan organisasi, administrasi,
dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004.
Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakannya Keputusan Presiden Nomor 56 tahun
2004 tanggal 9 Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak 30 Juni 2004 vide pasal
2 ayat (1), bahkan secara phisik penyerahan baru terjadi pada tanggal 1
September 2004. 73 Akibat yuridis dari peralihan tersebut, semua pegawai negeri
sipil di lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil
Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil militer sesuai dengan
peraturan yang mengatur tentang personil militer.

c. Teori Fungsi Negara


Menurut Goodnow yang membagi dua fungsi pokok dalam negara yakni :
making and eksekuting. Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah benturan
bantuan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat
dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. Mengenai pengertian
tentang ketertiban bahwa baik negara maupun hukum muncul dari kehidupan
manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib berdasarkan
73

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

keadilan, sedangkan suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya bagi


masyarakat dan oleh senidri dalam sikap itu sudut soal sendiri dalam berlakunya
tata hukum itu. Dengan demikian ketertiban adalah kualitas atau kondisi yang
dapat diwujudkan melalui tata hukum dalam suatu masyarakat hukum, tetapi
ketertiban adalah hanya satu aspek hukum saja, karena hukum bertujuan untuk
menciptakan kehidupan yang damai melalui tugas-tugas mencapai kepastian
hukum dan keadilan.
Dalam teori fungsi negara disebutkan agar diketahui, untuk apa organisasi
negara itu dibentuk, atau dengan kata lain apa yang menjadi tugas daripada
negara. Hal ini dapat diuraikan oleh Teori-teori fungsi negara yang dikenal dalam
lima faham. Hal ini sangat penting guna dapat memilih dan memilah aliran dari
ke lima faham yang sesuai dengan faham dan falsafah bangsa Indonesia yakni
Pancasila dan UUD 1945. Adapun ke lima faham tersebut adalah :
1. Fungsi negara pada abad ke XVI di Prancis.
2. Fungsi negara menurut Jhon Locke
3. Fungsi negara menurut Montesquieu
4. Fungsi negara menurut Van Vollen Hoven
5. Fungsi negara menurut Goodnow 74
ad.1. Fungsi negara pada abad ke XVI di Prancis.
Fungsi negara pertama kali dikenal pada abad ke XVII di Prancis yaitu :
a. Diplomacie
Di Indonesia sama dengan Departemen Luar Negeri, tugasnya adalah
penghubung antar negara, dalam penghubung antar raja.
74

H. Daud, Ilmu Negara, Bumi Aksara.

Universitas Sumatera Utara

b. Difencie
Di Indonesia sama dengan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Tugas
yang dijalankannya adalah masalah keamanan dan pertahanan. TNI sudah
tepat dibawah Departemen HANKAM sebagai penegak Kedaulatan,
menjaga keutuhan NKRI dan menjaga Keselamatan Bangsa dan Negara.
c. Financie
Di Indonesia sama dengan Departemen Keuangan yang bertugas
menyediakan keuangan negara.
d. Justicie
Di Indonesia sama dengan Departemen Kehakiman dan Departemen
Dalam Negeri, tugasnya menjaga ketertiban perselisihan antar warga
negara dan urusan dalam negara. Polisi hendaknya dibawah Departemen
ini, yakni Depkeh atau Depdagri sesuai teori fungsi negara. Sebagaimana
negara-negara di dunia. Hal ini sangat perlu perhatian pemerintah dalam
rangka pengawasan dan pencegahan pelanggaran Ham yang lebih banyak.
e. Policie
Bertugas mengurusi kepentingan negara yang belum menjadi wewenang
dari Departemen lainnya (keempat departemen diatas).
ad.2. Fungsi Negara menurut Jhon Locke
a. Fungsi Legislatif untuk membuat perwakilan
b. Fungsi Eksekutif untuk melaksanakan peraturan (termasuk urusan
mengadili).
c. Fungsi Fedaratif untuk mengurusi urusan luar negeri dan keadaan perang
dan damai.

Universitas Sumatera Utara

ad.3. Fungsi negara menurut Montesquieu disebut Trias Politika


a. Fungsi legislatif, membuat undang-undang
b. Fungsi Eksekutif, melaksanakan undang-undang dan
c. Fungsi Yudikatif, untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi
mengadili).
ad. 4. Fungsi negara menurut Van Vollen Hovan
a. Regeling (membuat peraturan)
b. Bestuner (menyelenggarakan pemerintahan)
c. Rech poak (fungsi mengadili)
d. Politie (fungsi ketertiban dan keamanan).
ad. 5. Fungsi negara menurut Goodnow
a. Making (membuat peraturan)
b. Eksekuting (melaksanakan aturan)

d. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu


Kedaultan rakyat yang dikenal di Indonesia berbeda dengan kedaulatan rakyat
versi Barat (menurut Montesquieu).

Menurut versi Barat, kedaulatan rakyat

dibagi menjadi 3 bagian kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan :


1. Legislatif (Pembuat Undang-Undang / Undang-Undang Dasar) : Parlemen
2. Eksekutif (Pelaksana Undang-Undang : Pemerintah
3. Yudikatif (Pengawas Pelaksana Undang-Undang).

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia pemisahan kekuasaan ini berlandaskan pada sila-sila


Pancasila. Kedaulatan rakyat juga akan diartikan berbeda dengan
demokrasi. Kedaulatan rakyat dipandang sebagai bagian dari istilah
demokrasi.
Dalam negara yang menganut paham demokrasai, rakyat memiliki
kedaulatan tertinggi. Tulisan ini menganalisis makna dari kedaulatan rakyat itu
berdasarkan nilai-nilai bangsa Indonesia serta bagaimana kedaulatan rakyat itu
diwadahi baik tersirat dan tersurat dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 di
Indonesia sehingga memiliki ciri khas.
Sehubungan dengan pemisahan tersebut, diperlukan suatu persamaan
pendapat berkaitan dengan kompetensi peradilan militer yang selalu dihubungkan
dengan kondisi suatu negara, apakah negara tersebut dalam keadaan damai atau
dalam keadaan perang, karena hal ini masing-masing membawa implikasi yang
berbeda, baik mengenai obyek maupun subyek delik.
Prajurit TNI atau anggota militer di negara manapun merupakan warga
negara yang memperoleh perlakuan khusus dibandingkan dengan warga sipil atau
warga negara pada umumnya, dan kekhususan itu berkaitan dengan tugas dan
wewenang yang dimiliki dalam rangka membela, menjaga dan mempertahankan
negara. 75
Kekhususan dimaksud antara lain; hak membunuh musuh. Sebagaimana
dinyatakan oleh Jean Pictet, yaitu di dalam asas hukum humaniter yang terdapat
75

Soegiri, dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia,


Cet. 1. Jakarta: Indra Djya, 1976 hal 6.

Universitas Sumatera Utara

dalam Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan terhadap


korban perang, dijelaskan bahwa hanya anggota angkatan bersenjatalah yang
berhak menyrang dan menahan musuh. 76
Hal ini berarti, seseorang militer di dalam pertempuran, selain dapat
menahan musuh yang tentu saja masih hidup baik luka maupun tidak, juga
memiliki hak untuk membunuh musuh sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum
humanitar. Anggota angkatan bersenjata atau militer dalam hukum humaniter
dikategorikan sebagai kombatan. Menurut hukum humanitar, combatantas are
members of the armed forces of a party to the conflict except medical and
religious personnel. 77

Dengan demikian, kombatan adalah anggota angkatan

bersenjata yang terlibat konflik kecuali petugas kesehatan dan rohaniawan yang
tidak boleh diserang atau dibunuh.
Selain itu, perlakuan hukum terhadap anggota militer berbeda dengan
warga negara pada umumnya (warga sipil). Sebagai warga negara, militer tunduk
pada hukum pidana umum yaitu KUHP yang merupakan ketentuan yang berlaku
bagi warga negara, sedangkan selaku warga negara yang memiliki tugas
wewenang khusus berlaku hukum yang bersifat khusus, yaitu Hukum Pidana
Militer yang hanya berlaku bagi militer saja atau yang dipersamakan.
Berlaku KUHP dan perundang-undangan pidana lainnnya di lingkungan
TNI didasarkan pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM sebagaimana telah
76

Arlina Permatasari, dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: International


Committee of the Red Cross, 1999, hal. 75.
77
Anthony P.V. Rogers and Paul Marherbe, Fight It Right Chapters 1-9 Model Manual on
the Low of Armed Conflict for Armed Forces, Geneva: International Committee of The Red
Cross, 1999 page 29.

Universitas Sumatera Utara

diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Perubahan Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana Tentara. 78 Berdasarkan ketentuan tersebut, bagi
seoang prajurit TNI selain tunduk pada KUHPM, juga tunduk pada perundangundangan pidana umum yang kesemuanya merupakan tindakan pidana militer
dalam arti tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI.
Dasar negara Pancasila dan menurut UUD 1945, secara tegas menyatakan
bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Lembaga MPR negara ini diberi
wewenang utama mengubah dan menetapkan dan melantik Kepala Negara
(Presiden) serta memberhentikan Presiden menurut UUD dan Wakil Kepala
Negara (Wakil Presiden). Di samping itu, terdapat pula lembaga-lembaga tinggi
negara lainnya yang setingkat dengan Presiden. Masing-masing lembaga
mempunyai tugas mengemban kedaulatan rakyat pula. Kedaulatan rakyat
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini secara lebih konkret dilaksanakan
melalui berbagai produk hukum, seperti UU, dan peraturan lainnya rnulai dan
undang-undang sampai dengan keputusan Kepala Dati II. Masalahnya tentu saja,
kedaulatan rakyat sebagai bagian dan demokrasi Pancasila tersebut, tidak cukup
hanya dituangkan secara konsepsional dan perlu dilengkapi dengan segi
operasionalnya. Dua segi tersebut secara simultan harus dijadikan indikator untuk
menilai kadar demokrasi suatu negara, termasuk negara kita. Secara garis besar
bahwa kedaulatan rakyat yang dikenal bangsa kita itu berbeda dengan bangsa lain
di dunia. Kedaulatan rakyat di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 dan
Pancasila. UUD 1945 terdiri atas:
78

E. Utrect, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Emas, 2000,

hal. 71.

Universitas Sumatera Utara

1. Pembukaan dengan 4 alinea.


2. Batang tubuh dengan XVI Bab dan 37pasal.
3. Penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Dalam Pembukaan saja terdapat kata kedaulatan rakyat yang tersurat
dalam alma IV, dan ditemukan pula di Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945,
sedang Kedaulatan Rakyat menurut Pancasila terdapat di sila ke-4. Pada batang
tubuh UUD 1945 kedaulatan rakyat terdapat di pasal 1 ayat 2, pasal 2 ayat 3,
sedang pelaksanaan kedaulatan rakyat diatur pasal 3 (MPR), pasal 19-22 B (DPR),
pasal 37 (perubahan UUD). Secara implisit sistem pemerintahan negara
berpegang kepada tujuh prinsip (dalam penjelasan UUD 1945) yang dapat
menunjukkan keterkaitannya dengan konsep kedaulatan Rakyat bagi negara
Republik Indonesia.
Sebagai uraian akhir dapat ditegaskan di sini, bahwa Pancasila dan UUD
1945 telah secara jelas dan lengkap memuat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
atau lebih luas lagi prinsip-prinsip demokrasi termasuk di dalamnya pengakuan
kedaulatan rakyat sebagai bagian dan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini
rakyat tidak menyerahkan hak-haknya kepada (penguasa) negara. Hak-hak itu
tetap utuh ada pada rakyat. Dengan perkataan lain, hak asasi manusia di
Indonesia dipertahankan melalui kedaulatan rakyat. Rakyat ikut serta dalam
sistem pemerintahan negara, yaitu melalui wakil-wakilnya. Apa saja kekuasaan/
wewenang rakyat itu dan bagaimana tata caranya, itulah yang disebut dengan
demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila. Apabila dikaitkan dengan teori
kedaulatan, jelas bahwa kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

Universitas Sumatera Utara

tidak mengacu kepada salah satu teori yang ada, tetapi merupakan gabungan dan
teori kedaulatan hukum. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang melatar belakangi
berdirinya bangsa dan negara Indonesia, yang muncul melalui proses perjuangan
yang panjang dengan titik kulminasinya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bahwa setelah ditetapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung, yang sebelumnya sepenuhnya berada di bawah kendali Markas Besar TNI,
membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, terbebas dan
campur tangan komando. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum
tidak tepat untuk mengadili tindak pidana (baik pidana umum maupun pidana
militer) yang dilakukan oleh prajurit. Untuk itu dibutuhkan suatu pengadilan
militer yang terpisah untuk menegakkan standard disiplin militer secara khusus di
dalam Angkatan Bersenjata karena militer dianggap sebagai komuniti khusus,
yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya dan
dipersiapkan untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas
komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan
militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas
umum yang terdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku
maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi atau
peranannya akan berkurang. Dengan demikian juga, fungsi pembinaan yang

Universitas Sumatera Utara

dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama
sekali hilang dan ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan.
Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan
berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan
efektifitas pasukan akan sulit dicapai. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hal
tersebut akan mengganggu stabilitas keamanan negara yakni Pertahanan
Keamanan (Hankam),
Bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia
adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia
dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Jo. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili
kejahatan militer dan kejahatan umum.
Mengingat peradilan militer sudah berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung, baik bersifat teknis yuridis maupun organisasi, administrasi dan finansial
sehingga membuat peradilan militer sudah semakin bersifat independen dan
akuntabel.

e. Teori Benhard Grose Fedd Dalam Bukunya The Strength and Weaknese
of Comparative
Bahwa tiap negara mempunyai sejarah dan culture yang berbeda,
demikian juga historis yuridis kemerdekaan yang berbeda pula. Dikatakan dalam

Universitas Sumatera Utara

teori ini bahwa tiap kebudayaan mempunyai hukumnya sendiri (Every culture has
its particular law, and every law has an unique individuality).
Tentang ketentuan Perundang-undangan dapat mengakomodir penundukan
militer pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum.
Tentangkompetensi mengambil tindak pidana yang dimaksud dalam Paal
65 ayat (2) UURI No. 24 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini tentunya kembali
kepada historis, yuridis dan sosiologis TNI dan Palsafah Bangsa yang
mengandung Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan tercetus dalam sumpah
Pemuda.
Peradilan Militer tetap dipertahankan karena merupakan fungsi strategis
nilai-nilai dan semangat juang 1945. Hal ini merupakan pertahanan keamanan
nasional yang jika tidak diberlakukan terjadi gaps atau kekosongan hukum
sebagaimana diuraikan dalam pendapat Hans Kelsen. Dikatakan berlaku dalam
segala situasi dan Eskalase Nasional baik dalam keadaan aman, terjadi perubahan
adanya ancaman, gangguan yang dapat merongsong kewibawaan Pemerintah atau
Negara meningkat menjadi darurat, darurat militer dan darurat perang.
Peradilan

Militer

merupakan

gerbang

keamanan

nasional

karena

merupakan sejarah (historis) perjuangan kemerdekaan dan kemudian lahirnya


TNI dari sini lahirnya Keamanan Republik Indonesia. Perjuangan yang panjang
dalam merintis kemerdekaan melalui pejuang-pejuang rakyat Indonesia yang
bersatu padu membuat Barisan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mengusir
penjajah dari muka bumi Indonesia yakni dari BKR (Badan Keamanan Rakyat)

Universitas Sumatera Utara

berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kemudian TRI (Tentara


Rakyat Indonesia) dan menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Maka hal ini
senantiasa dipertahankan dan menjadi tradi. Dipertahankan dalam Sistim
Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrat) yang merupakan pelibatan
seluruh Rakyat Indonesia.
Pasal 27 UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, dan Pasal 30 UUD 1995 tentang kewajiban belanegara. Dalam
historis yuridis merupakan perjuangan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bersidang pada 29 Mei sampai dengan 1
Juni 1945 dengan 3 orang pembicara sebagai putra-putri terbaik bangsa yaitu :
Soepono, M. Jamin dan Soekarno. Mereka mengemukakan Dasar Negara
Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. Dari sini PPKI merumuskan
UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Hasil pengkajian dan diskusi ini yang
kemudian menjadi konsep kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan
UUD 1945.
Secara sosiologis hal ini diikuti, ditaati dan diyakini sebagai idiologi
bangsa. Secara ideal sebagai satu kesatuan pandang dalam visi dan missi secara
logis diterima oleh bangsa Indonesia dengan kesadaran bernegara, kesadaran
hukum.
Pengalaman-pengalaman dalam negara kita sejak perang kemerdekaan,
perang pembebasan (Irian) dan penumpasan-penumpasan pemberontakan sudah
cukup banyak untuk dijadikan sebagai dasar penilaian apakah bagi kita perlu

Universitas Sumatera Utara

mengadakan perundang-undangan agar supaya kekuasaan peradilan militer lebih


diperluas lagi untuk dapat menanggulangi suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh orang-orang tertentu/non militer dalam keadaan perang dan/atau dalam
suatu bagian negara yang dinyatakan dalam suatu tingkatan keadaan bahaya
tertentu, atau dilakukan di suatu daerah musuh/lawan yang telah dikuasai
angkatan Perang kita. Mengingat perkembangan hakekat, sifat dan cara
peperangan di dunia internasional dewasa ini, kiranya tidak salah lagi apabila kita
mengakui kekurang-cepatan kita untuk membuat perundang-undangan yang
setidak-tidaknya mirip dengan ketentuan yang telah ada di negeri Belanda (bukan
di Hindia Belanda).
Kecenderungan

ini

lebih

diperkuat

lagi

dengan

perkembangan-

perkembangan pelajaran-pelajaran atau doktrin-doktrin dalam Angkatan Perang


kita mengenai taktik dan stragtegi perang seperti misal perang gerilya, perang
lawan gerilya, penyerangan, pertahanan, gerak mundur dan lain sebagainya.
Terutama di daerah-daerah gerilya sudah barang tentu sangat rawan bagi alat-alat
penegak hukum umum (sipil) untuk menjalankan fungsinya, sementara di satu
negara hukum tidak diharapkan gar suatu kejahatan dibiarkan begitu saja, atau
akan diselesaikan secara hukum rimba.
Peradilan Militer mengadili tindak pidana militer dan pelanggaran disiplin
militer, terhadap pelanggaran disiplin militer yang berulang-ulang dapat
dilakukan (pemecatan/PDTH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat).

Universitas Sumatera Utara

Bahwa hukum disiplin militer merupakan sifat alamiyah ke dua (tweede


natuur) dari seseorang militer dan tanpa (hukum) disiplin dalam kehidupan dan
penghidupan militer, maka mereka itu tiada lebih dari pada gerombolan liar. Oleh
karena itu terhadap mereka yang diberlakukan hukum disiplin militer walaupun
mereka itu tidak disamakan dengan seseorang militer, sebaiknya ditentukan
bahwa mereka termasuk jurisdiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam
rangka penerapan pasal-pasal tindak pidana dalam KUHPM.
Bahwa apabila suatu golongan, jawatan, badan atau organisasi demi
kepentingan negara dalam hal ini kepentingan pertahanan dan keamanan (militer,
dalam arti sempit) dinyatakan dipersamakan dengan (bagian) Angkatan Perang,
maka sudah dapat dipastikan adanya hubungan yang erat secara timbal-balik
antara organisasi tersebut dengan Angkatan Perang. Suatu contoh, apabila suatu
pabrik pemerah bibir (lipstick) ditugaskan untuk memproduksikan peluru
senjata, adalah tepat jika perusahaan itu dipersamakan dengan bagian dari
Angkatan Perang. Demi kerahasiaan pembuatan peluru atau kemampuan
memproduksi dan lain sebagainya, adalah tepat juga apabila terhadap anggotaanggota organisasi tersebut ditentukan termasuk juridiksi peradilan militer,
setidak-tidaknya dalam rangka penerapan pasal-pasal tindak pidana dari
KUHPM.
Bahwa seseorang non-militer yang menyertai/mengikuti suatu operasi
militer baik karena hubungan dinas ataupun atas izin pimpinan operarasi militer,
dalam

banyak

hal

mempunyai

kesempatan

menyalahgunakn

suatu

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan/sarana/kesempatan yang ada pada satuan operasi tersebut. Kepada


mereka ini pun perlu ditetapkan seperti yang diutarkan diatas.
Pertahanan Negara merupakan fungsi pemerintahan negara untuk
mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan
baik yang beradal dari luar maupun dalam negeri. Undang-Undang Nomor 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pasal 7 ayat (2) dan (3) menyebutkan dua
macam ancaman yaitu ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman
militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi
serta dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara.
Keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman non militer,
pada hakekatnya ancaman yang menggunakan faktor-faktor non militer yang
dinilai mempunyai kemampuan dan membahayakan kedaulatan negara, kutuhan
wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa.
Masalah yang melibatkan Polisi mengabaikan kenyataan bahwa Polisi
adalah bagian dari sistem keamanan dan keadilan yang lebih luas, yang bukan
menjadi tanggung jawab mereka sepenuhnya. 79
Sistem Keamanan
Badan-badan yang terlibat dalam pemeliharaan dan pemulihan keamanan
yaitu :

79

http://pthan,dephan.go.id.2008.DirjenPothan.Deplu.RI

Universitas Sumatera Utara

1) Militer.
2) Badan-badan keamanan internal.
3) Sektor keamanan swasta.
4) Penataan keamanan dan keadilan tradisional dan informal.
Bagaimana dengan Polisi (de jure dan de facto) berkaitan dengan hal
tersebut. Polisi dituntut untuk melaksanakan tiga fungsi dasar yaitu pemeliharaan
ketertiban umum, pencegahan dan pendeteksian tindak pidana dan penyediaan
bantuan namun dapat diperbantukan atau ditambahkan fungsi lain diantaranya
Keamanan Nasional dan Fungsi Intelijen.
Keamanan
Keamanan adalah kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat
terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan
nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya
hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina
serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal,
mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hak dan bentuk-bentuk
gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Keamanan dibagi 2 bagian :
a. Defence security approach adalah merupakan pertahanan keamanan.
b. Social security approach (Kamtibmas)
Keterangan : subversi, insurgensi/insureaksi direct action (aksi sepihak).
Proses sosial disosiatif bencana alam dan kriminilitas.

Universitas Sumatera Utara

RUU KAMNAS (Bagian dari Sektor Keamanan)


Dengan keluarnya prolegnas tahun 2004 2009 termasuk diantaranya
RUU Hanteamneg yang ditugaskan kepada Dephan untuk menyusun Drafnya.
Berdasarkan hal diatas dibentuk Tim Pekerja dari Deplu, Depdagri. Lemhannas,
Wantanas, TNI, Polri. Mulai awal diskusi-diskusi sudah muncul perbedaan
pendapat tentang nama RUU HANKAMNEG. Pihak KaPolri diwakili Wakapolri
mengemukakan bahwa Pertahanan itu upaya / proses sedangkan Keamanan itu
kondisi/hasil, jadi tidak mungkin disatukan. (Ekskalasi Darurat: Tertib Sipil. Drt.
Darurat Militer, Darurat Perang). 80
Memperlakukan Polisi seolah-olah mereka sama di negara manapun, tanpa
memandang konteks Nasional adalah menyesatkan dan tidak tepat. Negara yang
berbeda memiliki sumber daya dan budaya yang berbeda, dan ini mempengaruhi
Pemolisian di negara-negara tersebut. Ahli-ahli merumuskan secara tepat
bagaimana Kepolisian yang seharusnya.
Pengertian ketertiban keamanan masyarakat (Kamtibmas) yakni keamanan
masyarakat

(ketenteraman

masyarakat)

dalam

menjaga

keamanan

demi

kelangsungan pembangunan nasional. Adapun pelibatan social security approach


(Kamtibmas) yakni : masyarakat, militer, polisi militer disamping polisi umum).
Mengenai pelibatan polisi sebagai pembinaan Kamtibmas dibagi dalam
tiga lokasi yaitu : wilayah pemukiman, wilayah kerja, dan wilayah umum. Dalam
wilayah atau lingkungan pemukiman adalah usaha dan keamanan masyarakat
lingkungan itu sendiri misalnya peran swakarsa yang merupakan tugas
80

Journal Hukum Militer Vol. 1 No. 2. Agustus 2007.

Universitas Sumatera Utara

pembinaan aparat kepolisian. Sedangkan dalam lingkungan kerja yakni


berhubungan dengan security atau satpam-satpam yang dibentuk oleh masyarakat
itu sendiri dan polisi yang melegesnya. Demikian pula dalam lingkungan umum,
yaitu ketertiban dalam berlalu lintas, patroli dan lain-lain. Yang menjadi tugastugas Kepolisian dalam fungsinya: Kamtibmas, investigasi hukum dan bantuan
masyarakat.
Fungsi ketertiban umum guna pemeliharaan ketertiban masyarakat,
kelancaran roda pemerintahan dan segenap perangkatnya serta kegiatan segenap
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Fungsi keamanan rakyat yaitu guna menanggulangi dan atau meniadakan
gangguan atau subversi yang dapat menimbulkan terganggunya stabilitas
keamanan.
Fungsi perlindungan rakyat yakni guna menanggulangi gangguan
ketertiban masyarakat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Romli Atmasasmita dalam kerangka tugas
Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik terhadap tindak pidana atau
pelanggaran hukum pidana sipil, yang berbeda dengan tindak pidana umum.
Menurut Romli Tindak Pidana Sipil adalah Tindak pidana yang menimbulkan
akibat-akibat langsung atau tidak langsung terhadap keamanan dan ketertiban
sipil. Sedangkan tindak pidana umum adalah tindak pidana secara langsung atau
tidak langsung menimbulkan akibat-akibat kepada pertahanan negara.

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian diatas dapat dipetakan sebagai berikut :


Militer

Menyangkut

Pertahanan dan

Keamanan

Militer+Sipil

Menyangkut

Pertahanan

Keamanan

= Hankamneg

Sipil

Menyangkut

Keamanan

= Kamtibmas

Pembinaan Pertahanan Keamanan oleh TNI (Binter) outputnya adalah Cinta


Tanah Air, Bela Negara.
Pembinaan Keamanan Ketertiban Masyarakat oleh Polri BINKAMTIBMAS
(Swakarsa) outputnya adalah Sadar hukum ketentraman masyarakat.

EKSISTENSI PERADILAN MILITER

Ide dasar pemikiran reformatif dan arah garis/politik hukum yang tertuang
dalam TAP MPR/VII/2000 dan Undang-undang Nomor 4 tentang Kekuasaan
Kehakiman serta undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara nasional
Indonesia memang seharusnya menjadi landasan dalam melakukan perubahan
perundang-undangan termasuk perubahan terhadap undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang peradilan militer. Namun dilihat dari sudut kebijakan
pembaharuan atau penataan ulang keseluruhan tatanan (system) hukum pidana
militer masih perlu dikaji ulang apakah tepat saat ini yang diperbaharui hanya
Rancangan undang-undang Peradilan militer. 81

81

Hikmahanto Juwana, Loc. Cit, hal. 2. Melalui orasi tersebut diajukan pertanyaan,
apakah pengaturan TNI tunduk pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum

Universitas Sumatera Utara

Pembaharuan sistem hukum pidana militer, seyogianya mencakup


pembaharuan integral (sistematik) yaitu perubahan keseluruhan sub-sistem yang
meliputi, aspek substansi hukum (legal substance), aspek struktur hukum (legal
structure), aspek struktur hukum (legal structure) dan aspek budaya hukum
(legal culture). Dalam kondisi system hukum yang berlaku saat ini, apabila yang
diubah hanya undang-undang Peradilan Militer (UU 31 tahun 1997) yang lebih
banyak

mengatur

aspek

struktur/kelembagaan

peradilan

(kompetensi/

jurisdikasinya) dan hukum acaranya saja, berarti baru melakukan perubahan


parsial, perubahan parsial ini dapat menimbulkan masalah.
Memperhatikan permasalahan yang disampaikan sebagai pembuka bab ini
penulis ingin terlebih dahulu memulai dengan melakukan pembahasan terhadap
susunan pengadilan militer serta membahas kasus yang terkait, sebagai berikut :

A. Susunan Pengadilan
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer merupakan badan pelaksana
kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata (sekarang TNI) yang
pelaksanaannya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi. Pasal 12 Undang-undang 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
merumuskan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :

dilakukan sekarang atau secara gradual. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan selanjutnya
dijawab melalui konsep law and development yaitu gerakan dari pemikir Negara maju agar
Negara berkembang mengadopsi dan melakukan transformasi pengalaman negera berkembang
yang ingin membangun ekonominya tetapi terhambat oleh adanya ketentuan hukum yang usang.

Universitas Sumatera Utara

1. Pengadilan Militer;
2. Pengadilan Militer Tinggi;
3. Pengadilan Militer Utama;
4. Pengadilan Militer Pertempuran;
Masing-masing tingkat pengadilan tersebut di atas mempunyai kekuasaan
yang berbeda yang diatur pasal 42 sampai dengan 45 yaitu :
1. Kekuasaan Pengadilan Militer adalah :
Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara
pidana yang terdakwanya adalah :
a. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. Mereka sebagaimana dimaksud pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c
yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten kebawah; dan
c. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh
Peradilan Militer.
2. Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah :
a. Pada tingkat pertama
1) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya
adalah :
a) Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat Mayor ke atas;

Universitas Sumatera Utara

b) Mereka sebagaimana dimaksud pasal 1 angka (1) huruf b


dan c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya
termasuk tingkat kepangkatan mayor ke atas dan;
c) Mereka yang berdasarkan pasal 9 angka 1 huruf d harus
diadili oleh Peradilan Militer Tinggi;
2) Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata (sekarang TNI).
3. Kekuasaan Peradilan Militer Utama adalah :
Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (Sekarang TNI) yang telah
diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer tinggi yang
dimintakan banding.
a. Pengadilan Militer

Utama memutus pada tingkat pertama dan

terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili.


(1) Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum
Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
(2) Antara Pengadilan Militer Tinggi dan
(3) Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
b. Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi :
(1) Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya
berwenang mengadili atas perkara yang sama.

Universitas Sumatera Utara

(2) Apabila 2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan dirinya tidak


berwenang mengadili perkara yang sama.
c. Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara
Perwira Penyerah Perkara dan oditur tentang diajukan atau
tidaknya suatu perkara kepada pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum.
d. Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap :
(1) Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan pengadilan
Militer, pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing.
(2) Apabila 2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan dirinya tidak
berwenang mengadili perkara yang sama.
e. Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari
Peradilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan
Militer Pertempuran.
f. Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.

Universitas Sumatera Utara

g. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


ayat (2) dan ayat (3) tidak mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutuskan perkara.
h. Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan
kaasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.
4. Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran adalah :
a. Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada
tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh
mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 di daerah
pertempuran.
b. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan
pasukan dan kedudukan serta berdaerah hukum di daerah
pertempuran.

B Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Pemikiran Masyarakat Yang Menghendaki


Militer Tunduk Pada Peradilan Umum Dalam Melakukan Tindakan Umum
1. Asas Equality Before The Law.
Militer, oleh sebagian masyarakat Indonesia dinilai sebagai institusi yang
ekseklusif yang tidak sama kedudukannya dalam hukum dengan warga Negara
lainnya. Anggapan ini merupakan salah satu yang mendasari masyarakat (civil
society) menghendaki agar militer tunduk pada Peradilan Umum dalam hal
melakukan tindak pidana umum.

Universitas Sumatera Utara

Dasar pemikiran yang mengatakan seolah-olah militer eksklusif ini juga


disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro, apakah betul? Berdasarkan penelitian
singkat yang dilakukan diperoleh hasil bahwa kekhususan Peradilan Militer,
ternyata masih dalam koridor system hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun
hal yang mengkhususkan (lex specialis derogate lex generalis) adalah
kewenangan peradilan militer didasarkan pada pelaku tindak pidana bukan
tindakannya, hal yang sama juga terdapat pada Peradilan Anak yang hanya
mengadili pelaku tindak pidana anak, selain itu juga terdapat peradilan yang
hanya mendasarkan berlakunya hukum pada subyek dan tindakannya yaitu
Peradilan Agama, Mahkamah Syariah di Propinsi Nanggroe Aceh Darrussalam,
bahkan kemungkinan berlakunya Pengadilan Adat di Papua berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua.
Sementara itu masyarakat militer menganggap Peradilan Militer diperlukan oleh
militer sebagai sarana meningkatkan dan membina terus disiplin bagi militer dan
oleh karenanya diperlukan kekhususan bagi masyarakat militer.
Dengan adanya beberapa peradilan di Indonesia Undang-undang Nomor 4
tahun 2004 pada pasal 2 yang mengatur adanya :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Pengadilan Tata Usaha Negara
e. Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Masing-masing peradilan di atas mempunyai yurisdiksi dan yustisiabel


yang tersendiri. Bahkan Konstitusi / Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 telah
memberikan landasan bahwa asas equality before the law tidak mutlak dianut.
Dengan demikian tunduknya militer pada Peradilan Militer bukan karena militer
merupakan institusi yang eksklusif tetapi memang system hukum kita
memungkinan hal tersebut. 82
2. Kekawatiran Terjadinya Impunity Bagi Militer Yang Melakukan Tindak
Pidana.
Kecurigaan ini berpangkal tolak pada keberadaan Papera dalam Sistem
Peradilan Pidana Militer yang oleh masyarakat dianggap sebagai resistensi
berlakunya Peradilan Militer. Komentar disampaikan oleh Kol. CHK Sumartono,
SH dengan memberikan contoh apabila seorang militer (sebagai suami)
memukuli istrinya (tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga), namun oleh
Papera dianggap sebagai perkara yang dapat diselesaikan dengan hukum
disiplin. 83

Kekawatiran ini tidaklah mendasar karena kewenangan Papera ini

diatur dalam undang-undang dan untuk perkara tindak pidana yang diatur dengan
undang-undang tentu akan disarankan oleh oditur sebagai tindak pidana. (vide
Pasal 123 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1997). Berdasarkan kekawatiran di atas,
perlu diperhatikan bahwa Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah

82

Wawancara dengan Kepala Pengadilan Militer I 02 Medan, Kol. CHK Tigor Samosir,
SH., Jakarta : 6 Agustus 2009.
83
Wawancara dengan Kepala Oditurat Militer Tinggi I Medan, Kol. CHK Sumartono,
SH., Jakarta : 6 Agustus 2009..

Universitas Sumatera Utara

Agung salah satu kewenangan Papera yang berkaitan dengan masalah hukum
adalah kewenangan Papera dalam hal penutupan perkara.
Penjelasan Pasal 123 Ayat 1 huruf h dirumuskan bahwa perkara ditutup
demi kepentingan hukum dengan alasan :
a. Tidak terdapat cukup bukti
b. Bukan merupakan tindak pidana
c. Perkara telah kadaluarsa
d. Tersangka/terdakwa meninggal dunia
e. Nebis in idem
f. Maksimum denda telah dibayar
g. Pengaduan telah dicabut (dalam delik aduan)
Kewenangan Papera ini diatur juga dalam KUHP dalam Bab VIII tentang
hapusnya kewenangan menuntut dan menjalani pidana dengan demikian
merupakan system peradilan pidana (umum), sedangkan untuk alasan penutupan
perkara demi kepentingan Negara, demi kepentingan masyarakat/umum, demi
kepentingan militer.
Lebih lanjut telah diatur pula, dalam hal terjadinya perbedaan pendapat
antara Oditur dengan Papera apakah perkara tindak pidana diajukan ke
Pengadilan atau tidak, maka akan diselesaikan oleh Peradilan Militer Tingkat
Utama pada saat ini telah menjadi bagian dari Mahkamah Agung baik secara
organisatoris, administrasi dan financial, hal ini menandakan supremasi hukum
(vide Keputusan Presiden) Nomor 56 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi,
administrasi dan financial Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer dari

Universitas Sumatera Utara

Mabes TNI ke Mahkamah Agung RI) 84 Penulis berpendapat kewenangan Papera


ini perlu diawasi lebih maksimal, jika perlu secara normative diatur sanksi atas
pelanggaran yang terjadi sehubungan tugas Papera.
3. Sanksi Pidana Yang Dijatuhkan Oleh Peradilan Militer Lebih Ringan
Salah satu contoh kasus yang dijadikan dasar adalah persidangan kasus
tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Letnan Satu Inf. Agus Isro 85
kenyataannya terdakwa dipidana dengan pidana penjara 4 tahun dan denda
Rp. 10.000.000,- serta pidana tambahan berupa pemecatan. (vide putusan Nomor
PUT/58-K/MM II-08/AD/VI/2000 tanggal 21 Juni 2000).

Berdasarkan kasus

tersebut, timbul tuduhan bahwa Peradilan Militer digunakan sebagai sarana untuk
menghukum dengan pidana yang rendah atau untuk melindungi pelaku kejahatan
oleh atasan atau komandannya.
Para pegiat Hak Asasi Manusia serta para anggota Lembaga Swadaya
Masyarakat (Non Government Organization) di Indonesia secara nyata juga
menyampaikan bahwa tidak terungkapnya para penjahat Hak Asasi Manusia,
seperti kasus Semanggi, Daerah Operasi Militer di Nangroe Aceh Darusallam,
adalah contoh yang dimaksudkan mereka, sebagai contoh praktek perlindungan
atasan atau komandan dalam proses Peradilan Militer yatu dilakukan dengan
memilih kambing hitam atau korban yang dapat dipasang sebagai penyelesaian
masalah. Sebagai contoh adalah kasus penculikan para aktivis masa orde baru
84
85

Tigor Samosir, Ibid.


Putra mantan Kasad Jenderal TNI Soebagio HS.

Universitas Sumatera Utara

yang dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TN AD yang dikenal


dengan nama Tim Mawar, ternyata tidak mampu menyentuh petinggi TNI.
Menanggapi hal ini Tigor Samosir mengatakan bahwa penjatuhan
sanksi/pidana melalui proses pengadilan tidak dapat dipukul rata harus sama,
itulah sebabnya selalu terjadi disparitas didasarkan pada tingkat pemahaman
hakim terhadap kasus yang sedang disidangkannya dengan memperhatikan rasa
keadilan masyarakat. Militer yang dijatuhi pidana 4 tahun penjara dan denda
Rp. 10.000.0000,- mungkin dianggap ringan oleh masyarakat, tetapi penjatuhan
pidana tambahan berupa pemecatan merupakan pidana yang paling berat
dibandingkan pidana lainnya (kecuali pidana mati), itulah sebabnya tidak atupun
militer yang dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan tidak mengajukan upaya
hukum, harga dirinya dan kehormatan serta martabatnya, contoh kasus lain
adalah dijatuhkannya pidana mati oleh Majelis Pengadilan Tinggi Surabaya
terhadap Kolonel Laut M. Irfan dalam kasus pembunuhan hakim pada saat
persidangan kasus perceraian di Pengadilan Agama, Surabaya.

4. Peradilan Militer Tidak Transparan


Masalah transparansi, berkaitan dengan praktek system peradilan pidana
militer, khususnya pada salah satu sub-sistemnya, yaitu pengadilan militer.
Pendapat ini dikatakan oleh Loebby Loqman, yaitu bahwa :
Praktek pengadilan militer selama ini memang tidak dijalankan secara
transparan sebagaimana layaknya suatu pengadilan. Kalaupun dikatakan
transparan, itu sangat terbatas sekali hanya pada (anggota) militer saja.

Universitas Sumatera Utara

Realitanya yang menghadiri sidang (pengadilan militer) hanya anggota


militer saja. Sedangkan masyarakat sipil hampir tidak ada yang datang,
sehingga bagaimana mungkin dapat dikatakan Pengadilan Militer
Transparan. 86

Pernyataan tidak transparan perlu dicermati, jika perlu diadakan penelitian


terlebih dahulu. Apabila masalah transparansi hanya berkaitan dengan kehadiran
masyarakat sipil untuk menilai apakah pengadilan dijalankan sesuai dengan
kaedah hukum (Hukum Acara Pidana Militer) yang ada, maka pandangan tersebut
tidaklah benar, karena hal ini bukanlah kesalahan sub-sistem atau komponen SPP,
khususnya pengadilan militer, karena realitanya sidang pengadilan militer
terbuka untuk umum dan bukan untuk (anggota) militer saja, kecuali perkara
kesusilaan sidang dinyatakan tertutup untuk umum, sebagaimana diatur dalam
pasal 14 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1997.
Sedangkan pemeriksaan atau penggeledahan oleh petugas keamanan
sidang pengadilan bagi setiap pengunjung yang akan mengikuti jalannya (sidang)
suatu perkara, merupakan keharusan yang telah ditentukan oleh undang-undang,
dan lebih bersifat sebagai menjaga tata tertib untuk keamanan sidang itu sendiri,
seperti dilarang membawa senjata api, senjata tajam, atau benda-benda lain yang
membahayakan keamanan sidang, sebagaimana di atur dalam Pasal 347 UU No.
31 Tahun 1997. Justru pengalaman tidak tertibnya persidangan seperti ini terjadi
di Pengadilan Agama Surabaya, seorang terdakwa Kolonel Laut (S) Muhammad
Irfan menusuk hakim dengan sangkurnya sehingga meninggal hal ini terjadi

86

Indajit, www.tniad.mil.id.

Universitas Sumatera Utara

karena kurangnya pengawasan sehingga masih ada terdakwa yang membawa


senjata tajam ke dalam persidangan.
Dengan demikian tidak seharusnya mengukur transparansi SPPM hanya
dengan dihadiri oleh masyarakat sipil atau tidak dalam sidang pengadilan militer
dalam memeriksa suatu perkara, karena apakah harus menunggu terlebih dahulu
kehadiran masyarakat dalam suatu tugas, sehingga apabila masyarakat sipil tidak
hadir, maka tidak ada sidang.
Anton Saragih menyampaikan bahwa sebelum diadakan sidang di
Peradilan Militer Tinggi Medan sering diupayakan publikasinya dengan
mengundang/menelopon media masa baik cetak maupun elektronik, tetapi mereka
hanya hadir beberapa kali saja selanjutnya tidak mau meliput lagi. 87
Pengunjung yang datang dalam sidang didasarkan atas suatu kepentingan,
bagi media tentu berdasarkan latar belakang bisnis yaitu apakah berita yang akan
diliput laku untuk dijual kepada masyarakat yang hadir dalam persidangan
didasarkan atas kepentingan penelitian untuk akademis/pemantauan untuk
lembaga

masyarakat/pemantauan

karena

keluarga

mereka

yang

sedang

disidangkan dan/atau selaku korban dalam kejahatan yang sedang disidangkan


atau alasan lain.
Seharusnya ukuran transparan atau tidak dalam proses SPPM, khususnya
pada sub-sistem pengadilan militer bukan diukur dari kehadiran masyarakat sipil
dalam sidang di pengadilan militer, tetapi apakah pengadilan militer telah

87

Wawancara dengan Kol. CHk. Anton Saragih, Kepala Pengadilan Militer Tinggi-I
Medan., Medan : 10 Agustus 2007.

Universitas Sumatera Utara

dijalankan sesuai ketentuan dan prinsip-prinsip hukum acara pidana (militer)


yang ada atau tidak. Misalnya, apakah hakim menyatakan sidang terbuka untuk
umum (untuk perkara biasa), apakah terbuka untuk umum (untuk perkara biasa),
apakah terdakwa atau saksi dipanggil secara sah, apakah hakim memberitahu hak
terdakwa untuk didampingi penasehat hukum, apakah terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas di muka pengadilan, apakah hakim dalam
menjatuhkan

vonis

telah

mempertimbangkan

fakta-fakta

hukum

dalam

persidangan, dan lain-lain.


Dengan demikian, apabila ketentuan ketentuan yang ada sebagaimana
tercantum dalam hukum acara pidana militer, yaitu terdapat dalam UU No. 31
tahun 1997 tidak dilaksanakan oleh hakim militer, maka dapat dikatakan
Pengadilan Militer dijalankan secara tertutup.
Sedangkan kehadiran warga sipil dalam sidang pengadilan militer, tidak
harus secara fisik ada dalam ruang sidang pengadilan, karena yang lebih penting
adalah apakah warga sipil atau masyarakat pada umumnya dapat memperoleh
akses ke pengadilan militer, misalnya mendengar jalannya sidang melalui
pengeras suara atau layer monitor yang disediakan atau melalui media massa
yang meliput sidang.
Sedangkan berkaitan dengan pelaksanaan peradilan militer selama ini
yang dianggap tidak fair dan tidak transparan, sehingga sampai ada keinginan
untuk menghapuskannya.
Dinyatakan oleh Harkristuti Harkrisnowo, sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Sebenarnya masyarakat dapat saja tidak berburuk sangka terhadap kinerja


peradilan militer, andai saja transparansi dan obyektifitas dijadikan tolak
ukur operasi mereka. Ada beberapa Negara yang memiliki system yang
sama dengan orang Indonesia berkenaan dengan kompetensi Pengadilan
Militer atau court martial. Namun kondisinya agak berbeda, karena
lembaga pengadilan di Negara-negara tersebut lain dipercaya oleh
masyarakat. Sedangkan di Indonesia berbagai kasus yang ditangani oleh
Pengadilan Militer (misalnya saja kasus bantaqiah), ternyata justru
menerbitkan kecurigaan yang luar biasa di benak masyarakat, yang
bersifat impartial, independent, and due process-oriented. 88

5. Adanya Kemandirian Dalam Profesi Hakim


Masyarakat (sebagian masyarakat) menganggap bahwa intervensi dari
sang atasan atau komandan identik dengan profil Peradilan Militer di Indonesia.
Tentu anggapan masyarakat dimaksud ditentang keras oleh para penegak hukum
pidana militer, bahkan oleh militer sendiri. Bahkan beberapa dari mereka
menyampaikan pertanyaan ulang apakah dalam system peradilan pidana pada
justisiabel peradilan umum telah bersih dari intervensi? Pasca pengaturan satu
atap dengan Mahkamah Agung RI bagi para hakim militer, merupakan solusi
terbaik bagi pro dan kontra tentang kemandirian para penegak hukum dalam
justisiabel Peradilan Militer.
Tuntutan rasa keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat diatas, tentu
bukanlah sesuatu yang pasti benar dalam penilaian aspek proses dalam
persidangan pidana. Kemandirian profesi seorang hakim sangat diperlukan dalam
penegakan hukum dan langkah para penyusunan undang-undang degan meletakan
para hakim militer dalam atau atap dengan Mahkamah Agung RI adalah suatu
88

Indrajit, www.dispenad,mil.com.

Universitas Sumatera Utara

kemajuan tersendiri bagi system peradilan pidana militer di Indonesia. Campur


tangan komandan atau atasan dapat terpangkas secara organisatoris, administrasi
dan financial dalam sistem satu atap, Badan pembinaan Hukum TNI sebagai staf
Panglima TNI tidak lagi mempunyai kewenangan yang dapat mencampuri
kemandirian para hakim militer.
Namun demikian, Ketua Indonesia Military Watch berpendapat bahwa
sekalipun satu atap tetapi secara faktual bahwa para hakim militer yang ada pada
saat ini masih sebagian besar merupakan produk sistem peradilan pidana militer
yang lama. Sebagai contoh, sistem rekrutmen hakim militer pada masa lalu masih
didasarkan pada cara penunjukan berdasarkan pengamatan para komandan yang
berada dalam lingkup korps hukum Para hakim yang berpangkat Kapten (telah
mengikuti pendidikan Selapa) 89 yang ditunjuk kemudian mengikuti pendidikan
pengembangan spesialisasi hakim.
Kewenangan Babinkum TNI terhadap pembinaan para oditur dan secara
organisatoris memegang komando atas Orjen TNI ini seharusnya dipangkas dan
hanya difungsikan sebagai staf khusus bidang hukum Panglima TNI dalam
kaitannya melaksanakan fungsi organik militer. Selama Babinkum TNI masih
memegang kendali terhadap Orjen TNI, maka sudah dapat dipastikan intervensi
pimpinan TNI, maka sudah dapat dipastikan intervensi pimpinan TNI melalui
sistem yang tidak mandiri ini akan terus terjadi, demikian pendapat Prastopo.

89

Seklah Lanjutan Perwira (Selapa) merupakan pendidikan tertinggi yang dilakukan


kecabangan di lingkungan TNI AD.

Universitas Sumatera Utara

Penulis

berpendapat

seyogianya

Panglima

TNI

menyampaikan

permasalahan reformasi hukum militer ini kepada Departemen Pertahanan


khususnya mengenai Oditur, agar berada di bawah pembinaan Kejaksaan Agung.
Hal ini dapat secara langsung dibahas melalui amandemen undang-undang
Peradilan Militer, sehingga terjadi pembahasan yang lebih komprehensip tentang
system peradilan pidana militer pada saat ini

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai