Anda di halaman 1dari 38

TINJAUAN KASUS

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)


DALAM PEMBENTUKAN SANKSI PIDANA
PADA
UNDANG-UNDANG PRAKTIK KEDOKTERAN
OLEH :
BIRO HUKUM DAN ORGANISASI

disampaikan pada kegiatan Temu Ilmiah :


Sistem Pemidanaan di Indonesia
Jakarta, 27 November 2007

TINJAUAN KASUS
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)
DALAM PEMBENTUKAN SANKSI PIDANA
PADA
UNDANG-UNDANG PRAKTIK KEDOKTERAN

HUKUM BIDANG KESEHATAN


PERAT.PERUUAN

HK
PERDTA

PERKEM.IPTEK

PERJ.INT

HUKUM
KESEHATAN

JURISP

HK
PIDANA

HK ADM
KEBIASAAN

LAYANAN KEDOKTERAN

BERDASARKAN ILMU EMPIRIS


PROBABILITAS
PELUANG BIAS & UNKNOWN
HUBUNGAN PERAWAT-PASIEN BERDASAR UPAYA
: KONTRAK TERAPEUTIK
(INSPANNINGSVERBINTENNIS)
PERKEMBANGAN SANGAT CEPAT: STANDAR JUGA
CEPAT BERUBAH
COMPLEX AND TIGHTLY COUPLED SYSTEM
AKIBAT SPESIALISASI, TEKNOLOGI &
INTERDEPENDENSI
PRONE TO ACCIDENT

LATAR BELAKANG LAHIRNYA UU


PRAKTIK KEDOKTERAN

DOKTER
DOKTER GIGI

KESEHATAN

PERLINDUNGAN

IPTEK

PERANGKAT
HUKUM

KEPERCAYAAN

PERAN
MASYARAKAT

UUPK

PEMIKIRAN YANG MELANDASI


PERLUNYA UUPK

PENGATURAN SECARA LEBIH


TERINTEGRASI DAN MENYELURUH
MENCAKUP ASPEK KOMPETENSI
MEMPERJELAS ASPEK PEMBINAAN &
PENGAWASAN
MEMPERJELAS ASPEK PERLINDUNGAN
& KEPASTIAN HUKUM
MEMBERDAYAKAN SEMUA POTENSI
YG ADA

PENDIDIKAN & PELATIHAN

KOMPETENSI

FPD

S & TPD

CME

REGISTRASI

Setiap dokter/dokter gigi yang melakukan


praktik wajib memiliki surat tanda registrasi
dokter/dokter gigi.
Jenis :

Surat tanda registrasi dokter/dokter gigi


Surat tanda registrasi sementara
Surat tanda registrasi bersyarat

PROSES YUDICIAL REVIEW - MK

PENGAJUAN
PERMOHONAN
PENDAFTARAN DAN
PENJADWALAN
SIDANG
ALAT BUKTI
PEMERIKASAAN
PENDAHULUAN
PEMERIKSAAN
PERSIDANGAN
PUTUSAN

YUDICIAL REVIEW

DASAR HUKUM 24C AYAT (1) UUD 1945


JO PASAL 10 UNDANG UNDANG NO
24 TAHUN 2003 TTG MAHKAMAH
KONSTITUSI
PASAL : 37 (2), PASAL 75(1), PASAL 76
HURUF a, PASAL 79 HURUF c UU N0 29
TH 2004 TTG PRAKTIK KEDOKTERAN

ALASAN DIAJUKAN PERMOHONAN

Pasal 37 (2) UUPK tentang pembatasan 3


(tiga) tempat praktik :

Dalam konsideran maupun penjelasan serta


batang tubuh tidak ada legal rationing
Kebijakan distribusi pelayanan kesehatan dengan
rasio dokter yang ada impossible
Merugikan hak-hak konstitusi Pemohon sebagai
dokter di dalam mengamalkan sumpah dokter
karena dilema serving patien or obey the law

Lanjutan

Pasal 75 (1), Pasal 76; Pasal 79 huruf a dan


Pasal 79 huruf c materi muatannya telah
melakukan kriminalisasi atas tindakan dokter
yang berpraktik kedokteran namun tidak
dilengkapi STR, SIP dan tidak memasang
papan nama, serta tidak menambah ilmu
pengetahuan dengan ancaman pidana yang
cukum berat dan denda yang kelewat mahal

Menolak kriminalisasi praktik kedokteran yang tidak


mengantongi STR dan/atau SIP sebagaimana diatur dalam
Pasal 75(1), 76, 79 huruf c dengan alasan tidak memenuhi
unsur unsur perbuatan pidana .
Ketentuan Sanksi berupa pidana penjara atau pidana denda
sebagaimana diatur oleh Pasal 75(1), 76, 79 huruf a dan c
sangat keberatan karena perbuatan tersebut merupakan
pelanggaran administratif dan sanksi oleh profesi saja.
Pencantuman sanski pidana dalam perspektif hukum pidana
yang humanistis dan terkait erat dengan kode etik, adalah
tidak tepat dan tidak proporsional. Pendapat Prof Muladi dan
Prof Barda Nawawi Arif dalam buku Bunga Rampai Hukum
Pidana Hal 73 antara lain menegaskan : penerapan hukum
pidana harus rasional, menjaga keselarasan antara social
defence, prosedural fairness and substantive justice,
prevention without punisment .

KETERANGAN PEMERINTAH

Legal Standing Pemohon --- > Kepentingan Pemohon


dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikat
Pembatasan tiga tempat praktik tidak bertentangan
dengan UUD 45, sebaliknya untuk melindungi Pasien
dan dokter dilindungi dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sehingga dapat menjalankan fungsinya
secara optimal dan akan mencegah atau menekan
sekecil mungkin adanya kesalahan atau
ketidaksengajaan membuat terjadinya malpraktik atau
pelanggaran disiplin (tuchrecht) dan pelanggaran etika

Tujuan UUPK adalah untuk memberikan kepastian


hukum (rechtszekerheid) dengan demikian UUPK
merupakan keluarga HAN, sehingga tidak lepas
dari prinsip dan asas-asas HAN termasuk pemberian
sanksi pidana
Dalam rangka law enforcement pembentuk UU
dalam mencantumkan ketentuan pidana bagi yang
melakukan pelanggaran (Pasal 14 jo Lamp C3 UU
No 10/2004) para dokter yang dengan sengaja
melakukan :
Praktik kedokteran tanpa memiliki STR(75(1);
Praktik kedokteran tanpa memiliki SIP(76);
Dengan sengaja tidak memasang papan nama (79(a);
Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal
51 a, b, c, d, dan atau e(Pasal 79a)
Dengan penerapan sanksi pidana tersebut kepastian hukum
(rechtszekerheid) dan perlindungan masyarakat dapat
terwujud.

Kewenangan kriminalisasi (istilah yang dipakai para


pemohon) merupakan kewenangan pembentuk UU yang
menuangkan dalam UU tertentu. Ketentuan Pidana
Pasal 75 sampai dengan Pasal 80 jika dilihat dengan
lamanya sanksi 3 sampai 5 tahun, menunjukan bahwa
pelanggaran terhadap UU a qua adalah perbuatan tindak
pinada (misdrijven), bukan perbuatan
pelanggaran(overtredingen). Menurut W.F. Prinss
dalam Het Belangstingrect in Indonesia, letak hukum
administrasi Negara(HAN) terdapat diantara Hukum
Pidana dan Perdata, dan hampir seluruh peraturan
berdasarkan HAN diakhiri dengan ancaman pidana (in
cauda venenum)

PERTIMBANGAN HUKUM (MK)

Kedudukan Hukum(Legal standing) Pemohon

T I T VI memenuhi, sedangkan T VII tidak memenuhi


persyaratan tidak terbukti kerugian konstitutional.

A. Keterangan ahli dan saksi pemohon :

Ahli dr Sofwan Dahlan, UU a qua keliru dalam


mengartikan izin, padahal izin adalah personal
previlage yang diberikan oleh pemerintah karena
kompetensinya sehingga mengapa harus ada double
license(STR dan SIP). Pekerjaan dokter merupakan
profesi berbeda dengan okupasi, sehingga pembentuk UU
harus hati-hati dalam menentukan aspek pidana. Hukum
pidana harus benar-benar digunakan sebagai ultimum
remidium bukan premim remidium, lebih efektif dengan
penerapan hukum administratif .

Ahli J. Guwandi, GMC di Inggris menjatuhkan sanksi


kepada dokter berupa : peringatan, mencoret dari register
atau pengakhiran karir seorang dokter, disarankan agar
ketentuan yang mengatur sanksi pidana dihapuskan karena
seharusnya Konsil mengatur soal pelanggaran disiplin,
bukan pelanggaran pidana. Untuk pidana disarankan diatur
dalam bab khusus tentang pelanggaran dan kejahatan di
bidang pelaksanaan kesehatan dalam rancangan KUHP

Ahli Prof. Dr. Med Paul L. Tahalele, dr. FCTS, Financs,


mengenai pembatasan tempat praktik yang maksimum tiga
tempat praktik. Hal ini akan membawa dampak luas. Akan
banyak rumah sakit kekurangan ahli karena para dr
cenderung memilih rumah sakit terkenal. Sanksi pidana akan
berdampak negatif yaitu timbulnya rasa takut dalam
menjalankan profesinya.

Saksi Dr. Novel Bisyir, dirinya adalah korban


dari Pasal 79 huruf a, yaitu dokter yang
berpraktik wajib memasang papan nama. Saksi
bermaksud membuka praktik pribadi di sutau
daerah perkampungan kumuh, baru dua hari
berpraktik belum sempat memasang papan nama,
polisi datang menanyakan SIP. Saksi diminta
keterangan di kantor polisi dengan tuduhan
melakukan tindak pidana karena tidak memasang
papan nama.

B. Keterangan tertulis DPR

Pembatasan Izin Praktik dokter tiga tempat


didasarkan pada pertimbangan : menjamin
tersedsianya waktu, menghindari monopoli,
kesempatan bersaing positif, menghindari kelelahan,
dan pemerataan dokter.
Sanski Pidana Pasal 75 (1), 76, 79 huruf a dan c
disamping sebagai sarana penegakan pelaksanaan
aturan hukum, juga merupakan salah satu
perwujudan perlindungan kepada pasien dan untuk
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.

C. Keterangan Pemerintah

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 75 (1),


Pasal 76, dan 79 huruf a dan huruf c adalah
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan
melindungi masyarakat penerima palayanan
kesehatan dan dokter. Ancaman pidana yang
diancam dengan sanksi digolongkan sebagai
kejahatan(misdrijven), bukan
pelanggaran(overtredingen). Oleh karena itu
ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UUD
1945.

D. Keterangan ahli yang diajukan


Pemerintah

Ahli Prof. Dr. Syamsuhidayat, ketentuan tiga


tempat praktik dinilai pantas dan tujuannya
adalah melindungi dokter dari kemungkinan
berbuat kesalahan yang besar. Di Belanda,
seorang dokter yang bekerja di rs pemerintah
maupun non-pemerintah tidak diizinkan
bekerja di tempat lain.

Ahli Prof. Annna Erliyana, SH, MH. Dilihat dari


segi politik hukum kesehatan adalah UU yang
bersifat responsif, sehingga ijin adalah suatu
persetujuan Pemerintah berdasarkan peraturan
perundang undangan yang digunakan sebagai
sarana yuridis Pemerintah untuk mengendalikan
tingkah laku warganya dan pada dasarnya
perundang-undangan dibenarkan memuat sanksi
pidana.
Ahli Dr. Rudy Satrio, SH, MH. Dari sudut pandang
hukum pidana tidak ada masalah ketentuan pidana
dalam UUPK, karena dalam politik kriminal dapat
dilakukan tiga pilihan yaitu penerapan hukum
pidana, pencegahan tanpa pidana, serta
mempengaruhi masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media masa.

E. Keterangan Pihak Terkait IDI

Pembatasan tempat praktik tetap diperlukan


namun tidak perlu diatur dalam UU, cukup
diserahkan kepada Dinas Kesehatan
Kab/Kota. Untuk pidana penjara maupun
kurungan setuju dihapuskan

F. Keterangan Pihak
Kedokteran Indonesia

Terkait

Konsil

Pembatasan tempat praktik tujuannya adalah untum


meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
Ketentuan Pidana adalah untuk melindungi
masyarakat dari kemungkinan adanya orang-orang
yang melakukan praktik kedokteran padahal tidak
memiliki kompetensi. Ketentuan pidana hanya
berlaku bagi mereka yang dengan sengaja
melakukan pelanggaran, sehingga pembuktiannya
akan sulit karena memerlukan ketelitian dan bukti
yang cukup. Dalam etik profesi dan standar profesi
jenis-jenis perbuatan pidana itu sudah diatur.

G. Keterangan Pihak Terkait PDGI

Untuk pemantauan setuju diatur pembatasan


maksimum tiga tempat praktik
Menyetujui adanya ketentuan pidana karena
ditujukan kepada tindakan-tindakan tertentu
yang dilakukan dengan sengaja.

I. Keterangan Pihak Terkait PERSI

Prinsipnya mendukung pembatasan tiga tempat


praktik demi tercipta kualitas hubungan yang baik
antara dokter dan pasien, namun tidak digeneralisir
disesuaikan dengan kondisi daerah serta rasio dokter
perjumlah penduduk.
Tidak sependapat dengan ancaman pidana kurungan
dan penjara karena perbuatan yang diancam dengan
pidana dalam ketentuan tersebut lebih merupakan
pelanggaran administratif, pelanggaran etika atau
pelanggaran disiplin, namun masih menerima adanya
pidana denda untuk menimbulkan efek jera.

J. Keterangan Pihak Terkait YPPKI

Pasal 37(2) tidak bertentangan dengan UUD


1945
Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Pasal
75(1), 76, 79 huruf a dan c adalah sebagai
bentuk Perlindungan terhadap pasien selaku
konsumen kesehatan yang merupakan haknya
sesuai dengan ketentuan UU No 8 Th 1999
tentang Perlindungan Konsumen

KEPUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI

NOMOR
4/PUU-V/2007
PERIHAL
PENGUJIAN UU NOMOR 29 TAHUN 2004
TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN
TERHADAP UUD NEGARA RI TAHUN
1945
PEMOHON:

Dr ANNY ISFANDYARIE SARWONO,Sp.An,


dkk

TANGGAL 19 JUNI 2007

PUTUSAN

MENGABULKAN:

PASAL 75 AYAT (1) DAN PASAL 76 SEPANJANG


MENGENAI PENJARA PALING LAMA 3(TIGA)
TAHUN ATAU
PASAL 79 SEPANJANG MENGENAI KURUNGAN
PALING LAMA 1(SATU) TAHUN ATAU
PASAL 79 HURUF C SEPANJANG MENGENAI
KATA-KATA ATAU HURUF e

TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT.

PASAL 75 AYAT (1)

SETIAP DOKTER ATAU DOKTER GIGI


YANG
DENGAN
SENGAJA
MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN
TANPA MEMILIKI SURAT TANDA
REGISTRASI
SEBAGAIMANA
DIMAKSUD DALAM PASAL 29 AYAT (1)
DIPIDANA DENGAN PIDANA PENJARA
PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN ATAU
DENDA
PALING
BANYAK
RP100.000.000,00
(SERATUS
JUTA
RUPIAH .

PASAL 76

SETIAP DOKTER ATAU DOKTER GIGI


YANG
DENGAN
SENGAJA
MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN
TANPA
MEMILIKI
SURAT
IZIN
PRAKTIK SEBAGAIMANA DIMAKSUD
DALAM PASAL 36 DIPIDANA DENGAN
PIDANA PENJARA PALING LAMA 3
(TIGA) TAHUN ATAU DENDA PALING
BANYAK RP100.000.000,00 (SERATUS
JUTA RUPIAH).

PASAL 79

DIPIDANA DENGAN PIDANA KURUNGAN


PALING LAMA 1 (SATU) TAHUN ATAU
DENDA PALING BANYAK RP 50.000.000,00
(LIMA PULUH JUTA RUPIAH), SETIAP
DOKTER ATAU DOKTER GIGI YANG :
a.

b.

c.

DENGAN SENGAJA TIDAK MEMASANG PAPAN NAMA


SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 41 AYAT
(1);
DENGAN SENGAJA TIDAK MEMBUAT REKAM MEDIS
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 46 AYAT
(1); ATAU
DENGAN SENGAJA TIDAK MEMENUHI KEWAJIBAN
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 51 HURUF a,
HURUF b, HURUF c, HURUF d, ATAU HURUF e.

UU PRAKTIK
KEDOKTERAN

PERKONSIL

PMK 512 & SE 725

PENUTUP

SIFAT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


ATAS UU PK BERSIFAT FINAL DAN
MENGIKAT, MAKA TERHADAP PUTUSAN
TERSEBUT TIDAK TERDAPAT UPAYA
HUKUM BAIK KASASI MAUPUN
PENINJAUAN KEMBALI, SEHINGGA WAJIB
DIHORMATI DAN DILAKSANAKAN DENGAN
RASA PENUH TANGGUNG JAWAB OLEH
SEMUA PIHAK

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai