Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Anemia

aplastik

merupakan

gangguan

hematopoisis

yang

ditandai

oleh

penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat
adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem
hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat
terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai
sistem eritropoitik disebut anemia hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai
sistem granulopoitik disebut agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem
megakariosit disebut PurpuraTrombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga
sistem disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik
bila didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin < 10 g/dl atau hematokrit < 30; hitung
trombosit 50.000/mm3; hitung leukosit 3.500/mm3 atau granulosit 1.5x109/l.1
Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa.
Penyakitini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Pansitopenia adalah
keadaandefisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit, leukosit dan trombosit).
Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya produksi sumsum tulang atau
dikarenakanmeningkatnya destruksi perifer.2
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada
seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904,
Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya
definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan
pendapat bahwatanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada
tahun 1959, Wintrobemembatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia,
hipoplasia berat atauaplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, menggantiatau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hematopoiesis
Darah terdiri atas komponen sel dan plasma. Komponen sel terdiri atas sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit: basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil
segmen, limfosit, monosit), dan trombosit (keping darah/platelet). Komponen sel dalam darah
dibentuk dalam suatu proses yang dinamakan hematopoiesis.
Hemopoesis atau hematopoiesis ialah proses pembentukan darah. Tempat
hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur :
1. Janin: umur 0-2 bulan (kantung kuning telur)
2. Janin: umur 2-7 bulan (hati, limpa)
3. Janin: umur 5-9 bulan (sumsum tulang)
4. Bayi : Sumsum tulang
5. Dewasa. : vertebra, tulang iga, sternum, tulang tengkorak, sacrum
dan pelvis, ujung proksimal femur.
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoesis terjadi pada sumsum
tulang. Untuk kelangsungan hemopoesis diperlukan:
1. Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah,
termasuk eritrosit, lekosit, trombosit, dan juga beberapa sel dalam sumsum tulang
seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitif sebagai pluripotent (totipotent) stem
cell.
Sel induk pluripotent mempunyai sifat :
a. Self renewal : kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak akan
pernah

habis meskipun terus membelah.

b. Proliferative : kemampuan membelah atau memperbanyak diri.


c. Diferensiatif : kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel dengan
fungsi-fungsi tertentu.
Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik dapat
dibagi menjadi :
a. Pluripotent (totipotent)stem cell : sel induk yang mempunyai yang
mempunyai kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
2

b. Committeed stem cell : sel induk yang mempunyai komitmen untuk


berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel (cell line). Sel induk yang
termasuk golongan ini ialah sel induk myeloid dan sel induk limfoid.
c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya
beberapa

jenis

sel.

Misalnya

CFU-GM

(colony

forming

unit-

granulocytelmonocyte) yang dapat berkembang hanya menjadi sel-sel granulosit


dan sel-sel monosit.
d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi
satu jenis sel saja. Contoh CFU-E (colony forming unit-erythrocyte) hanya dapat
menjadi eritrosit, CFU-G (colony forming unit-granulocyte) hanya mampu
berkembang menjadi granulosit.
2. Lingkungan mikro (microenvirontment) sumsum tulang
Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang memungkinkan sel
induk tumbuh secara kondusif. Komponen lingkungan mikro ini meliputi :
a. Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
b. Sel-sel stroma : sel endotel, sel lemak, fibroblast, makrofag, sel reticulum
c. Matriks ekstraseluler : fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen, dan
proteoglikan.
Lingkungn mikro sangat penting dalam hemopoesis karena berfungsi untuk :
a. Menyediakan nutrisi dan bahan hemopoesis yang dibawa oleh peredaran darah
mikro dalam sumsum tulang.
b. Komunikasi antar sel (cell to cell communication), terutama ditentukan oleh
adanya adhesion molecule.
c. Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis : hematopoietic growth factor,
cytokine, dan lain-lain.
3. Bahan-bahan pembentuk darah
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah :
a. Asam folat dan vitamin B12 : merupakan bahan pokok pembentuk inti sel.
b. Besi : sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin.
c. Cobalt, magnesium, Cu, Zn.
d. Asam amino.
e. Vitamin lain : vitamin C. vitamin B kompleks dan lain-lain

4. Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan kuantitas
pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah
tepi sehingga sumsum tulang dapat merespon kebutuhan tubuh dengan tepat. Produksi
komponen darah yang berlebihan ataupun kekurangan (defisiensi) sama-sama
menimbulkan penyakit.

Hematopoiesis terjadi sejak masa embrional. Hematopoiesis menurut waktu


terjadinya terbagi atas hematopoiesis prenatal dan hematopoiesis postnatal. Hematopoiesis
prenatal terjadi selama dalam kandungan. Hematopoiesis prenatal terdiri atas 3 fase:
mesoblastik, hepatik, dan mieloid. Fase mesoblastik dimulai sejak usia mudigah 14 hari
sampai minggu kesepuluh, berlangsung di yolk sac (saccus vitelinus). Sedangkan fase hepatik
berlangsung mulai minggu keenam sampai kelahiran, berlangsung di mesenkim hepar, dan
mulai terjadi differensiasi sel. Fase mieloid berlangsung dalam sumsum tulang pada usia
mudigah 12-17 minggu, ini menandakan sudah berfungsinya sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah.
Organ yang berperan dalam proses hematopoiesis adalah sumsum tulang dan organ
retikuloendotelial (hati dan spleen).

Jika terdapat kelainan pada sumsum tulang,

hematopoiesis terjadi di hati dan spleen. Ini disebut hematopoiesis ekstra medular. Sumsum
tulang yang berperan dalam pembentukan sel darah adalah sumsum tulang merah, sedangkan
sumsum kuning hanya terisi lemak. Pada anak kurang dari 3 tahun, semua sumsum tulang
dari sumsum tulang berperan sebagai pembentuk sel darah. Sedangkan saat dewasa, sumsum
merah hanya mencakup tulang vertebra, iga, sternum, tengkorak, sakrum, pelvis, ujung
proksimal femur dan ujung proksimal humerus.
Dalam setiap pembentukan sel darah, terjadi 3 proses yaitu: proliferasi, diferensiasi
dan maturasi. Sedangkan komponen yang terdapat dalam proses pembentukan sel darah
mencakup: stem sel, sel progenitor, dan sel prekursor. Seluruh komponen sel darah berasal
dari hematopoietic stem cells (HSC). HSC bersigat multipoten karena dapat berdiferensiasi
dan kemudian terbagi menjadi beberapa proses terpisah yang mencakup: eritropoiesis,
mielopoiesis (granulosit dan monosit), dan trombopoiesis (trombosit).
Proses hematopoiesis terjadi atas regulasi dari hematopoietic growth factor.
Hematopoietic growth factor ini memiliki peran dalam proses proliferasi, diferensiasi, supresi
apoptosis, maturasi, aktivasi fungsi saat terjadi hematopoiesis.
Sel darah yang dalam proses pematangan memiliki karakteristik umum yang sama, yaitu:
4

1. Ukuran: semakin matang, ukurannya semakin kecil


2. Rasio inti:sitoplasma. Semakin matang, rasionya semakin menurun. Hal ini
menandakan bahwa inti sel semakin mengecil saat sel darah semakin matang.
3. Karakteristik inti: a) semakin matang maka ukuran inti semakin kecil, b) kromatin
muda halus, lalu kasar, lalu lebih padat saat menuju ke arah matang, c) anak inti tidak
terlihat saat sel darah matang
4. Sitoplasma pada sel muda biru tua, tanpa granul.

2.1.1. Sel darah merah (eritrosit)


Sel darah merah disebut juga eritrosit. Eritrosit sendiri berasal dari Bahasa Yunani,
yaitu erythros berarti merah dan kytos yang berarti selubung sel. Sel darah merah adalah
jenis sel darah yang paling banyak. Ukuran diameter kira-kira 7,7 unit (0,007 mm), tidak
dapat bergerak. Banyaknya kirakira 5 juta dalam 1 mm3. Warnanya kuning kemerahan,
karena didalamnya mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin, warna ini akan
bertambah merah jika di dalamnya banyak mengandung oksigen. Sel darah merah merupakan
membrane lipid yang membungkus Hb dan ditunjang oleh ssitoskeleton. Abdormalitas dari
membran, komposisi kimiawi dari Hb, ataupun enzim glikositik tertentu dapat menurunkan
daya hidup sel darah merah sehingga menyebabkan anemia. (medscape, 2011,Joseph E
Maakaron, MD; Chief Editor: Emmanuel C Besa, MD)
Sel darah merah tidak memiliki organel sitoplasma seperti nukleus, mitokondria, atau
ribosom, oleh karena itu sel darah merah tidak dapat mensintesis protein, melakukan reaksi
oksidatif denganmitokondria, atau membelah secara mitosis. Kehilangan nukleus
jugamenyebabkan bentuk dari eritrosit yang bikonkaf sehingga memperluaspermukaan
selnya. Hilangnya mitokondria pun dapat mengefektifkan fungsidari eritrosit sebagai
pengangkut oksigen dan mencegah penggunaanoksigen tersebut untuk metabolismenya,
dengan kata lain eritrositmelaksanakan metabolisme anaerob. Bentuk sel darah merah itu
bentuknya bulat, bikonkaf, tidak berinti, dinding elastis, serta fleksibel. Sel darah merah ini
dibentuk pada sumsum tulang merah yang letaknya di dalam tulang pipih dan tulang pendek.
Sel darah merah hanya dapat hidup selama 120 hari.

Gambar 1: eritrosit dilihat dengan mikroskop cahaya; warna pucat di tengah merupakan
lekukan ke dalam pada eritrosit yang menyebabkan bentuk bikonkaf

Bentuk bikonkaf ini dipertahankan oleh eritrosit karena : (a) kekuatan elastic dalam
membran eritrosit, (b) kerenggangan permukaan, (c) kekuatan elektrik pada permukaan
membran, dan (d) tekanan osmotik danhidrostatik.5
2.1.2. Sel darah putih (leukosit)
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Ratarata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3, bila jumlahnya
lebih dari 10.000/mm3, keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000/mm3 disebut
leukopenia.
Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Leukosit
agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau
berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup
berupa tetesan setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan
banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang
terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang
agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu
neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme
terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses
diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan
menembus kedalam jaringan penyambung.

Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 50009000/mm3, waktu lahir 15000-25000/mm3, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000,
pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal.
2.1.3. Trombosit
Trombosit adalah sel darah tak berinti yang berasal dari sitoplasma megakariosit.
Hitung trombosit antara 150-400 X 10 9/ltr, sedangkan umur trombosit berkisar antara 7-10
hari. Sel ini memegang peranan penting pada hemostasis karena trombosit membentuk
sumbat hemostatik untuk menutup luka. Pembentukan sumbat hemostatik terjadi melalui
beberapa tahap yaitu adhesi trombosit, agregrasi trombosit dan reaksi pelepasan.
Dalam keadaan tidak teraktivasi, trombosit berbentuk cakram bikonveks dengan
diameter 2-4 m dan volumenya 7-8 fl. Selubung eksternal trombosit lebih tebal dan padat
dari sel dan banyak mengandung glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor. Glikoprotein I
dan V adalah reseptor untuk trombin, glikoprotein Ib merupakan reseptor untuk faktor Von
Willebrand sedangkan glikoprotein II b dan III a adalah reseptor untuk fibrinogen.
Secara ultrastruktur trombosit dapat dibagi atas zona perifer, zona sol gel dan zona
organella. Zona perifer terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra yang terletak di bagian
paling luar; di dalamnya terdapat membran plasma dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal
terbuka. Zona sol gel terdiri atas mikrotubulus, mikrofilamen, sistem tubulus padat (berisi
nukleotida adenin dan kalsium). Selain itu juga terdapat trombostenin, suatu protein penting
untuk fungsi kontraktil. Zona organella terdiri atas granula padat, mitokondria, granula dan
organella (lisosom dan retikulum endoplasmik). Granula padat berisi dan melepaskan
nukleotida adenin, serotonin, katekolamin dan faktor trombosit. Sedangkan granula berisi
dan melepaskan fibrinogen, PDGF (platelet-derived growth factor), enzim lisosom. Terdapat
7 faktor trombosit (platelet factor) yang telah diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua
diantaranya dianggap penting yakni PF3 dan PF4.
Agregrasi trombosit adalah perlekatan antara sesama trombosit. Dalam keadaan tidak
aktif, trombosit tidak mudah melekat karena glikoprotein pada permukaan trombosit
mengandung molekul sialic acid yang mengakibatkan permukaan trombosit bermuatan
negatif sehingga trombosit saling tolak menolak.
Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respons
hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, dapat terjadi kebocoran darah
spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan
fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting untuk fungsinya.

2.2. Anemia
Anemia adalah kondisi menurunnya jumlah sel darah merah (ertitrosit). Fungsi dari sel
darah merah adalah mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida
dari jaringan ke paru. Fungsi ini diperankan oleh hemoglobin (Hb), protein tetramer yang
terdari heme dan globin. Anemia mengganggu kemampuan tubuh dalam mengantarkan
oksigen-karbondioksida tadi karena jumlah dari sel darah merah yang berkurang.3
2.2.1. Definisi Anemia Aplastik
Anemia

aplastik

merupakan

gangguan

hematopoisis

yang

ditandai

oleh

penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat
adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem
hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang.4
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada
seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904,
Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya
definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan
pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada
tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia,
hipoplasia berat atauaplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.4
Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sumsum tulang.
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen
selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada
keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami
pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah
putih, dan trombosit.Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan
iatrogenic marrow aplasia, hiposelularitas sumsum setelah kemoterapi sitotoksik intensif.
Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fanconi genetik dan diskeratosis kongenital,
dan sering berkaitan dengan anomali fisik khas dan perkembangan pansitopenia terjadi pada
umur yang lebih muda, dapat pula berupa kegagalan sum-sum pada orang dewasa yang
terlihat normal.1
Anemia aplastik didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah
yang rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis seronegatif
8

atau pemberian obat yang salah dapat pula mendahului onset ini. Diagnosis pada keadaan
seperti ini tidak sulit. Biasanya penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan
menyebabkan anemia, leukopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi
tertentu.5
2.3. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat berat pada
saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki-laki dan perempuan,
namun dalam beberapa penelitian Nampak insiden pada laki-laki lebih banyak disbanding
wanita. Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden
1-3/1 juta/tahun. Namun di Negara Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya termasuk
Indonesia, Taiwan, dan Cina insidennya jauh lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 di
Bangkok didapatkan insiden 3,7/1 juta/tahun. Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena
adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat-obat yang tidak pada tempatnya.1
2.4. Etiologi
Secara etiologik penyakit ini dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan
faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang herediter
antara lain :sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan
kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan
ginjal;

diskeratosiskongenital;

sindrom

Shwachman-Diamond;

dan

trombositopenia amegakaryositik. Kelainan-kelainan ini sangat jarang ditemukan


dan juga jarang berespons terhadapterapi imunosupresif. Kegagalan sumsum
tulang herediter biasanya muncul pada usia sepuluh tahun pertama dan kerap
disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintikbintik caf-au-lait pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi).Beberapa pasien
mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia.4
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit yang
palingsering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi) merupakan
kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan
memiliki predisposisi ke arahleukemia dan tumor padat. Pada pasien anemia
Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif langka dengan
prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia sumsum tulang,

dan perubahan warna kulit yang berbercak-bercak coklat akibat deposisi melanin
(bintik bintik caf-au-lait).4
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secaraklasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku,
danleukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi
klinik yang beragam. Terdapat bentuk-bentuk X-linked resesif, autosomal
dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X- linked rsesesif diakibatkan oleh
mutasi pada gen DKC 1,yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk
stabilisasi

telomerase.

Gangguan

telomerase

menyebabkan

terjadinya

pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini
(premature aging). Diskeratosis kongenital autosomal dominan disebabkan oleh
mutasi gen TERC (yang menyandi komponenRNA telomerase) yang pada
akhirnya mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal.
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia aplastik
memiliki mutasi TERC.4
2. Anemia aplastik yang didapat (acquired).
Sebagian

anemia

aplastik

didapat

bersifat

idiopatik

sebagian

lainnya

dihubungkan dengan:1
a) Bahan kimia; benzene, insektisida
Benzena merupakan penyebab yang diketahui dari kegagalan sum-sum
tulang. Banyak data laboratorium, klinis, dan epidemiologi yang
menghubungkan antara paparan benzene dengan anemia aplastik,
leukemia akut, dan abnormalitas darah dan sum-sum tulang. Kejadian
leukemia kurang berkaitan dengan paparan kumulatif, namun kecurigaan
tetap diperlukan karena hanya sebagian kecil dari pekerja yang terpapar
terkena benzene myelotoksisitas.5
b) Obat: kloramfenikol, antirematik, anti tiroid, mesantoin (anti konvulsan,
sitostatika).
kloramfenikol, merupakan penyebab utama, namun dilaporkan hanya
menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan dan
kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko
selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya;
walaupun pengenalan kloramfenikol dicurigai menyebabkan epidemik
anemia aplasia, penghentian pemakaiannya tidak diikuti dengan
10

peningkatan frekuensi kegagalan sum-sum tulang). Perkiraan resiko


biasanya lebih rendah ketika penelitian berdasarkan populasi.7
c) Infeksi: hepatitis, tuberkulosis milier
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya
anemia aplasia, dan kegagalan sum-sum paska hepatitis terhitung 5% dari
etiologi pada kebanyakan kejadian. Pasien biasanya pria muda yang
sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2 bulan sebelumnya;
pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya seronegatif (nonA, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru
yang tidak terdeteksi. Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya
terjadi setelah hepatitis seronegatif dan kegagalan sumsum terjadi pada
lebih sering pada pasien ini.
d) Radiasi: radioaktif, sinar Rontgen
e) Transfusion-associated graft-versus-host disease1
Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka pasien
tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik.

2.5. Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan
menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas dan mortalitas lebih
berkorelasidengan derajat keparahan sitopenia daripada selularitas sumsum tulang. Angka
kematians etelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat
atausangat berat mencapai 80% dengan infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan
penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian
besar tidak membutuhkan terapi.

11

Tabel. 1. Klasifikasi Anemia Aplastik


Klasifikasi Anemia Aplastik

Klasifikasi
Anemia

Kriteria
Aplastik

Berat
*seluritas

sumsum

tulang

<25%

*sitopenia sedikitnya dua dari tiga


seri sel darah

*Hitung neutrofil < 500/l


*hitung trombosit < 20.000/l
*hitung retikulosit absolut < 60.00/l

Anemia

Aplastik

Sangat Berat
Anemia

sama seperti di atas kecuali hitung neutrofil <200/l


Aplastik

Tidak Berat

Sumsum tulang hiposeluler namun sitopenia tidak


memenuhi kriteria berat

Sumber: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, 2009

2.6. Patofisiologi
Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia
aplatik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkaan patofisiologi ini,
yaitu:
1. Kerusakan sel induk hematopoetik
2. Kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang
3. Proses imunologik yang menekan hematopoesis
Keberadaan sel induk hematopoetik dapat diketahui lewat petanda sel yaitu CD34 atau
dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan sel induk hematopoetik dikenal sebagai
longterm culture-initiating cell (LTC-IC), longterm marrow culture (LTMC), jumlah sel
induk/CD34 sangat menurun hingga 1-10% dari normal. Demikian juga pengamatan pada
cobble-stone forming cells jumlah sel induk sangat menurun. Bukti klinis yang menyokong
teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada 60-80%
kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan pemberian sel induk dari luar akan terjadi

12

rekonstruksi sumsum tulang pada pasien anemia aplastik. Beberapa sarjana menganggap
gangguan ini dapat disebabkan oelh proses imunologik.1
Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk hematopoetik
tergantung pada lingkungan mikro sumsum yang terdiri dari sel stroma yang menghasilkan
berbagai sitokin. Pada beberapa penelitian dijumpai bahwa sel stroma pada pasien anemia
aplastik tidak menunjukkan kelainan dan menghasilkan sitokin perangsang seperti GMCSF,G-CSF, dan IL-6 dalam jumlaj normal sedangkan sitokin penghambat seperti interferon (IFN-), tumor necrosis factor- (TNF-), protein macrophage inflammatory 1 (MIP-)
dan transforming growth factor-2 (TGF-2) akan meningkat. Sel stroma pasien anemia
aplastik akan menunjang pertumbuhan sel induk, namun sel induk normal tidak dapat
menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien. Berdasarkan temuan tersebut, teori
kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang sebagai penyebab mendasar anemia aplastik
makin banyak ditinggalkan.1
Kegagalan sumsum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik.
Pada anemia aplastik, tergantinya sumsum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi
spesimen biopsi dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel
hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive
kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa kolam sel
bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.7
Suatu kerusakan intrinsik pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel
dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada
paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien
anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan
TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomali akibat kegagalan
sum-sum dan tanpa anomali secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang
serupa.6
Banyak data pemeriksaan laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada
pasienanemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen
selhematopoietik.

Eksperimen

awal

memperlihatkan

bahwa

limfosit

pasien

menekanhematopoiesis. Sel sel ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya


diketahui adalahinterferon-. Adanya aktivasi respons sel T-helper-1 (Th1) disimpulkan dari
sifatimunofenotipik sel T dan produksi interferon, tumor necrosis factor (TNF), dan
interleukin-2(IL2) yang berlebihan. Deteksi interferon- intraselular pada sampel pasien
secara flowcytometry mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat
13

memprediksi relaps.Pada anemia aplastik, sel sel CD34+dan sel sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik,
eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak
lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula
fungsi sel B dan selT. Dan pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi
imunosupresif yang efektif. Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik akan tampak masih
ada pada sebagian pasien anemia aplastik.4
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34+ yang
diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus
sel(cell-cycle arrest). Sel sel T dalam tubuh pasien membunuh sel sel asal hemopoietik
denganaktivasi HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel sel asal hemopoietik yang paling
primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau Fas, dan ekspresi keduanya
meningkat sesuai pematangan sel sel asal. Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik
primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel sel CD34+ total, relatif tidak
terganggu oleh sel sel Tautoreaktif; dan di lain pihak, sel sel asal hemopoietik yang lebih
matur dapat menjadi target utama serangan sel sel imun. Sel sel asal hemopoietik primitif
yang selamat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan
yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.4

2.7. Gejala Klinis dan Hematologis


Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia sistem
eritropetik, granulopoetik, dan trombopoetik, serta aktivitas relatifsistem limfopoitik dan
system retikulo endothelial (SRE). Aplasia sistem eritropoetik dalam darah tepi akan terlihat
sebagai retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar Hb, hematokrit, dan
hitung ertrosit serta MCV (mean corpuscular volume). Secara klinis anak tampak pucat
dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak arena gagal
jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia hematopoetik, maka umumnya tidak
ditemukan ikterus, pembesaran limpa, hepar, maupun kelenjar getah bening.1
Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi dan padahasil
penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan pucat pada semua pasien yang ditelitisedangkan
perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hematomegali yang
disebabkan oleh bermacam-macam hal ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan. Adanya splenomegali dan limfadenopati akan meragukan
diagnosis anemia aplastik.4
14

2.8. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Apusan darah tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis
anemianya

adalah

normokrom

normositer.

Terkadang

ditemukan

makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau


leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada
lebih dari 75% kasus.4
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil
kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai
ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka
diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya
retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.4

Gambar 2: Gambaran darah tepi anemia aplastik


b. Laju endap darah
Hasil pemeriksaan laju endap darah pada pasien anemia aplastik selalu
meningkat. Pada penelitian yang dilakukan di laboratorium RSUPN
CiptoMangunkusumo ditemukan 62 dari 70 kasus anemia aplastik (89%)
mempunyai nilai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam satu jam
pertama.4

c. Faal hemostasis

15

Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan


memanjang dan retraksi bekuan yang buruk dikarenakan trombositopenia.
Hasil faal hemostasis lainnya normal.4
d. Biopsi sumsum tulang
Seringkali pada pasien anemia aplasti dilakukan tindakan aspirasi
sumsum tulang berulang dikarenakan teraspirasinya sarang-sarang
hemopoiesis hiperaktif.Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang
pada setiap kasus tersangka anemiaaplastik. Dari hasil pemeriksaan
sumsum tulang ini akan didapatkan kesesuaiandengan kriteria diagnosis
anemia aplastik.4

Gambar 3: Sumsum normal dan aplastik


e. Pemeriksaan virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka
pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya.
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis,
HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.
f. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai
penyebab terjadinya anemia aplastik.
g. Pemeriksaan kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH)
dan

imunofenotipik dengan flowcytometry

diperlukan

untuk

menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.


h. Pemeriksaan defisiensi imun
16

Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat


diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan
imunitas sel T.
i. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan kadar hemoglobin fetus
(HbF) dan kadar eritropoetin yang cenderung meningkat pada anemia
aplastik anak.4
2. Pemeriksaan radiologis
a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara terbaik untuk
mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas
antara daerah sumsum tulang berlemak akibat anemia aplastik dan
sumsum tulang selular normal.
b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh
setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan
terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride eyang akan
terikat pada transferin. Dengan bantuan pemindaian sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna
pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.4

2.9. Diagnosis
Dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan, tanpa adanya
organomegali (hepatosplenomegali). Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan
limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang
yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong, dan jaringan lemak; aplasia
sistem eritropoitik, granulopoitik, dan trombopoitik. Diantara sel sumsum tulang yang sedikit
ini banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).1
Anemia

aplastik

dapat

muncul

tiba-tiba

dalam

hitungan

hari

atau

secara

perlahan(berminggu-minggu hingga berbulan-bulan). Hitung jenis darah akan menentukan


manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung berdebardebar.Trombositopenia menyebabkan pasien mudah mengalami memar dan perdarahan
mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin
mengeluh sakit kepala dan demam.4
17

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis


leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan
flowcytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan
karyotyping sumsum tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik.
Adanya riwayat keluarga sitopenia dapat meningkatkan kecurigaan adanya kelainan
diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak.4
Anemia aplastik mungkin bersifat asimptomatik dan ditemukan saat pemeriksaan rutin.
Keluhan-keluhan pasien anemia aplastik sangat bervariasi. Perdarahan, badan lemah
dan pusing merupakan keluhan-keluhan yang paling sering ditemukan.4
2.10. Diagnosis Banding
1. Purpura Trombositopenik Imun (PTI) dan PTA. Pemeriksaan darah tepi dari kedua
kelainan ini hanya menunjukkan trombositopenia tanpa retikulositopenia atau
granulositopenia/leucopenia. Pemeriksaan sumsum tulang dari PTI menunjukkan
gambaran yang normal atau ada peningkatan megakariosit sedangkan pada PTA tidak
atau kurang ditemukan megakariosit.
2. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan
jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada stadium dini, biasanya
pada LLA ditemukan splenomegali. Pemeriksaan darah tepi sukar dibedakan, karena
kedua penyakit gambaran yang serupa (pansitopenia dan relatif limfositosis) kecuali
bila terdapat sel blas dan limfositosis yang dari 90%, diagnosis lebih cenderung LLA.
3. Stadium praleukemik dari leukemia akut.
Keadaan ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi, maupun sumsum
tulang, karena masih menunjukkan gambaran sitopenia dari ketiga sistem
hematopoitik. Biasanya beberapa bulan kemudian baru terlihat gambaran khas LLA.1

18

2.11.Pengobatan
Pengobaan suportif diberikan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi dan
perdarahan:1
1. Pengobatan terhadap infeksi
Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalam ruangan
khusus yang suci hama. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang
tidak menyebabkan depresi sumsum tulang.
2. Transfusi darah
Gunakan komponen darah apabila harus melakukan transfusi darah. Harusnya
diketahui bahwa tida ada manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin yang
tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering, akan timbul depresi
terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik
(reaksi transfusi), akibat dibentuknya antibodi terhadap sel darah merah, leukosit,
dan trombosit. Dengan demikian transfusi darah diberikan bila diperlukan. Pada
keadaan yang sangat gawat (perdarahan masif, perdarahan otak, dan sebagainya)
dapat diberikan suspensi trombosit.
3. Transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada pasien
anemia aplastik sejak tahun 70-an. Donor yang terbaik berasal dari saudara
sekandung dengan Human Leukocyte Antigen (HLA)nya cocok.1
4. Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang menderita
anemia aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi obat-obatan. Obat-obat
yang termasuk terapi imunosupresif ini antara lain antithymocyte globulin (ATG)
atau antilymphocyte globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone.
Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam dan
kerusakan hati. Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi
transplantasi sumsum tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.7
2.12. Prognosis
Prognosis bergantung pada:
1. Gambaran sumsum tulang hiposelular atau aseluler.
2. Kadar Hb F yang lebih dari 200 mg% memperlihatkan prognosis yang lebih baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis lebih baik.

19

4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi masih


tinggi. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk
menentukan prognosis.1
2.13. Sebab Kematian
1. Infeksi, biasanya bronkopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap
tuberkulosis akibat pemberian prednison jangka panjang.
2. Perdarahan otak atau abdomen.1

20

BAB III
KESIMPULAN

1. Anemia

aplastik

adalah

kelainan

hematologik

yang

disebabkan

olehkegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan


penurunan komponenselular pada darah tepi yaitu berupa keadaan
pansitopenia (kekurangan jumlah seldarah merah, sel darah putih, dan
trombosit).
2. Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus,
danterkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada
yangditururunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus
anemia aplastik merupakan idiopatik.
3. Tanda

dan

gejala

klinis

anemia

aplastik

merupakan

manifestasi

dari pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan


gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis,
takikardi,

pucat

dan

lain-lain.

Pengurangan

elemen

lekopoisis

(granulositopenia) menyebabkan penderitamenjadi peka terhadap infeksi


sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal
maupun

bersifat

sistemik.

Trombositopenia

dapat

mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang
mengalami depresi paling berat.
4. Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk
anemiaaplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai
tanda-tandaregenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia. Trombosit
kuantitas berkurangsedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang akan
mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel
hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel primitif.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Permono, H. Bambang, Sutaryo, Ugrasena, Endang Windiastuti, Maria Abdusalam. 2010.
Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Shadduck RK. 2007. Aplastic Anemia. In: Lichman MA, Beutleer, et al (eds). William
Hematology 7 th Ed Nov. New York: Mc Graw Hill Medical.
3. Maakaron,Joseph E. 2011. Anemia. Chief Editor: Emmanuel C Besa. Medscape.
http://emedicine.medscape.com.Diakses : 22 Juli 2013.
4. Widjanarko, Abidin, dan Aru W. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Ed. 5. Interna Publishing: Jakarta.
5. Tortora and Derrickson. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th Ed.
6. Kasper, Braunwald et al. 2008. Harrison's Principle of Internal Medicine 17th Ed.McGraw Hill:
Medical Publishing Division.

7.

NIH Public Access. Aplastic anemia: pathophysiology and treatment. 2008. Europe Pubmed
Central. http://europepmc.org. Diakses: 18 Juli 2013.

22

Anda mungkin juga menyukai