PENDAHULUAN
Anemia
aplastik
merupakan
gangguan
hematopoisis
yang
ditandai
oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat
adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem
hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat
terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai
sistem eritropoitik disebut anemia hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai
sistem granulopoitik disebut agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem
megakariosit disebut PurpuraTrombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga
sistem disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik
bila didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin < 10 g/dl atau hematokrit < 30; hitung
trombosit 50.000/mm3; hitung leukosit 3.500/mm3 atau granulosit 1.5x109/l.1
Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa.
Penyakitini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Pansitopenia adalah
keadaandefisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit, leukosit dan trombosit).
Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya produksi sumsum tulang atau
dikarenakanmeningkatnya destruksi perifer.2
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada
seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904,
Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya
definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan
pendapat bahwatanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada
tahun 1959, Wintrobemembatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia,
hipoplasia berat atauaplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, menggantiatau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hematopoiesis
Darah terdiri atas komponen sel dan plasma. Komponen sel terdiri atas sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit: basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil
segmen, limfosit, monosit), dan trombosit (keping darah/platelet). Komponen sel dalam darah
dibentuk dalam suatu proses yang dinamakan hematopoiesis.
Hemopoesis atau hematopoiesis ialah proses pembentukan darah. Tempat
hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur :
1. Janin: umur 0-2 bulan (kantung kuning telur)
2. Janin: umur 2-7 bulan (hati, limpa)
3. Janin: umur 5-9 bulan (sumsum tulang)
4. Bayi : Sumsum tulang
5. Dewasa. : vertebra, tulang iga, sternum, tulang tengkorak, sacrum
dan pelvis, ujung proksimal femur.
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoesis terjadi pada sumsum
tulang. Untuk kelangsungan hemopoesis diperlukan:
1. Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah,
termasuk eritrosit, lekosit, trombosit, dan juga beberapa sel dalam sumsum tulang
seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitif sebagai pluripotent (totipotent) stem
cell.
Sel induk pluripotent mempunyai sifat :
a. Self renewal : kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak akan
pernah
jenis
sel.
Misalnya
CFU-GM
(colony
forming
unit-
4. Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan kuantitas
pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah
tepi sehingga sumsum tulang dapat merespon kebutuhan tubuh dengan tepat. Produksi
komponen darah yang berlebihan ataupun kekurangan (defisiensi) sama-sama
menimbulkan penyakit.
hematopoiesis terjadi di hati dan spleen. Ini disebut hematopoiesis ekstra medular. Sumsum
tulang yang berperan dalam pembentukan sel darah adalah sumsum tulang merah, sedangkan
sumsum kuning hanya terisi lemak. Pada anak kurang dari 3 tahun, semua sumsum tulang
dari sumsum tulang berperan sebagai pembentuk sel darah. Sedangkan saat dewasa, sumsum
merah hanya mencakup tulang vertebra, iga, sternum, tengkorak, sakrum, pelvis, ujung
proksimal femur dan ujung proksimal humerus.
Dalam setiap pembentukan sel darah, terjadi 3 proses yaitu: proliferasi, diferensiasi
dan maturasi. Sedangkan komponen yang terdapat dalam proses pembentukan sel darah
mencakup: stem sel, sel progenitor, dan sel prekursor. Seluruh komponen sel darah berasal
dari hematopoietic stem cells (HSC). HSC bersigat multipoten karena dapat berdiferensiasi
dan kemudian terbagi menjadi beberapa proses terpisah yang mencakup: eritropoiesis,
mielopoiesis (granulosit dan monosit), dan trombopoiesis (trombosit).
Proses hematopoiesis terjadi atas regulasi dari hematopoietic growth factor.
Hematopoietic growth factor ini memiliki peran dalam proses proliferasi, diferensiasi, supresi
apoptosis, maturasi, aktivasi fungsi saat terjadi hematopoiesis.
Sel darah yang dalam proses pematangan memiliki karakteristik umum yang sama, yaitu:
4
Gambar 1: eritrosit dilihat dengan mikroskop cahaya; warna pucat di tengah merupakan
lekukan ke dalam pada eritrosit yang menyebabkan bentuk bikonkaf
Bentuk bikonkaf ini dipertahankan oleh eritrosit karena : (a) kekuatan elastic dalam
membran eritrosit, (b) kerenggangan permukaan, (c) kekuatan elektrik pada permukaan
membran, dan (d) tekanan osmotik danhidrostatik.5
2.1.2. Sel darah putih (leukosit)
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Ratarata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3, bila jumlahnya
lebih dari 10.000/mm3, keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000/mm3 disebut
leukopenia.
Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Leukosit
agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau
berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup
berupa tetesan setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan
banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang
terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang
agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu
neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme
terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses
diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan
menembus kedalam jaringan penyambung.
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 50009000/mm3, waktu lahir 15000-25000/mm3, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000,
pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal.
2.1.3. Trombosit
Trombosit adalah sel darah tak berinti yang berasal dari sitoplasma megakariosit.
Hitung trombosit antara 150-400 X 10 9/ltr, sedangkan umur trombosit berkisar antara 7-10
hari. Sel ini memegang peranan penting pada hemostasis karena trombosit membentuk
sumbat hemostatik untuk menutup luka. Pembentukan sumbat hemostatik terjadi melalui
beberapa tahap yaitu adhesi trombosit, agregrasi trombosit dan reaksi pelepasan.
Dalam keadaan tidak teraktivasi, trombosit berbentuk cakram bikonveks dengan
diameter 2-4 m dan volumenya 7-8 fl. Selubung eksternal trombosit lebih tebal dan padat
dari sel dan banyak mengandung glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor. Glikoprotein I
dan V adalah reseptor untuk trombin, glikoprotein Ib merupakan reseptor untuk faktor Von
Willebrand sedangkan glikoprotein II b dan III a adalah reseptor untuk fibrinogen.
Secara ultrastruktur trombosit dapat dibagi atas zona perifer, zona sol gel dan zona
organella. Zona perifer terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra yang terletak di bagian
paling luar; di dalamnya terdapat membran plasma dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal
terbuka. Zona sol gel terdiri atas mikrotubulus, mikrofilamen, sistem tubulus padat (berisi
nukleotida adenin dan kalsium). Selain itu juga terdapat trombostenin, suatu protein penting
untuk fungsi kontraktil. Zona organella terdiri atas granula padat, mitokondria, granula dan
organella (lisosom dan retikulum endoplasmik). Granula padat berisi dan melepaskan
nukleotida adenin, serotonin, katekolamin dan faktor trombosit. Sedangkan granula berisi
dan melepaskan fibrinogen, PDGF (platelet-derived growth factor), enzim lisosom. Terdapat
7 faktor trombosit (platelet factor) yang telah diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua
diantaranya dianggap penting yakni PF3 dan PF4.
Agregrasi trombosit adalah perlekatan antara sesama trombosit. Dalam keadaan tidak
aktif, trombosit tidak mudah melekat karena glikoprotein pada permukaan trombosit
mengandung molekul sialic acid yang mengakibatkan permukaan trombosit bermuatan
negatif sehingga trombosit saling tolak menolak.
Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respons
hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, dapat terjadi kebocoran darah
spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan
fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting untuk fungsinya.
2.2. Anemia
Anemia adalah kondisi menurunnya jumlah sel darah merah (ertitrosit). Fungsi dari sel
darah merah adalah mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida
dari jaringan ke paru. Fungsi ini diperankan oleh hemoglobin (Hb), protein tetramer yang
terdari heme dan globin. Anemia mengganggu kemampuan tubuh dalam mengantarkan
oksigen-karbondioksida tadi karena jumlah dari sel darah merah yang berkurang.3
2.2.1. Definisi Anemia Aplastik
Anemia
aplastik
merupakan
gangguan
hematopoisis
yang
ditandai
oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat
adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem
hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang.4
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada
seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904,
Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya
definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan
pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada
tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia,
hipoplasia berat atauaplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.4
Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sumsum tulang.
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen
selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada
keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami
pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah
putih, dan trombosit.Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan
iatrogenic marrow aplasia, hiposelularitas sumsum setelah kemoterapi sitotoksik intensif.
Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fanconi genetik dan diskeratosis kongenital,
dan sering berkaitan dengan anomali fisik khas dan perkembangan pansitopenia terjadi pada
umur yang lebih muda, dapat pula berupa kegagalan sum-sum pada orang dewasa yang
terlihat normal.1
Anemia aplastik didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah
yang rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis seronegatif
8
atau pemberian obat yang salah dapat pula mendahului onset ini. Diagnosis pada keadaan
seperti ini tidak sulit. Biasanya penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan
menyebabkan anemia, leukopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi
tertentu.5
2.3. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat berat pada
saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki-laki dan perempuan,
namun dalam beberapa penelitian Nampak insiden pada laki-laki lebih banyak disbanding
wanita. Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden
1-3/1 juta/tahun. Namun di Negara Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya termasuk
Indonesia, Taiwan, dan Cina insidennya jauh lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 di
Bangkok didapatkan insiden 3,7/1 juta/tahun. Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena
adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat-obat yang tidak pada tempatnya.1
2.4. Etiologi
Secara etiologik penyakit ini dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan
faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang herediter
antara lain :sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan
kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan
ginjal;
diskeratosiskongenital;
sindrom
Shwachman-Diamond;
dan
dan perubahan warna kulit yang berbercak-bercak coklat akibat deposisi melanin
(bintik bintik caf-au-lait).4
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secaraklasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku,
danleukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi
klinik yang beragam. Terdapat bentuk-bentuk X-linked resesif, autosomal
dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X- linked rsesesif diakibatkan oleh
mutasi pada gen DKC 1,yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk
stabilisasi
telomerase.
Gangguan
telomerase
menyebabkan
terjadinya
pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini
(premature aging). Diskeratosis kongenital autosomal dominan disebabkan oleh
mutasi gen TERC (yang menyandi komponenRNA telomerase) yang pada
akhirnya mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal.
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia aplastik
memiliki mutasi TERC.4
2. Anemia aplastik yang didapat (acquired).
Sebagian
anemia
aplastik
didapat
bersifat
idiopatik
sebagian
lainnya
dihubungkan dengan:1
a) Bahan kimia; benzene, insektisida
Benzena merupakan penyebab yang diketahui dari kegagalan sum-sum
tulang. Banyak data laboratorium, klinis, dan epidemiologi yang
menghubungkan antara paparan benzene dengan anemia aplastik,
leukemia akut, dan abnormalitas darah dan sum-sum tulang. Kejadian
leukemia kurang berkaitan dengan paparan kumulatif, namun kecurigaan
tetap diperlukan karena hanya sebagian kecil dari pekerja yang terpapar
terkena benzene myelotoksisitas.5
b) Obat: kloramfenikol, antirematik, anti tiroid, mesantoin (anti konvulsan,
sitostatika).
kloramfenikol, merupakan penyebab utama, namun dilaporkan hanya
menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan dan
kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko
selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya;
walaupun pengenalan kloramfenikol dicurigai menyebabkan epidemik
anemia aplasia, penghentian pemakaiannya tidak diikuti dengan
10
2.5. Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan
menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas dan mortalitas lebih
berkorelasidengan derajat keparahan sitopenia daripada selularitas sumsum tulang. Angka
kematians etelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat
atausangat berat mencapai 80% dengan infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan
penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian
besar tidak membutuhkan terapi.
11
Klasifikasi
Anemia
Kriteria
Aplastik
Berat
*seluritas
sumsum
tulang
<25%
Anemia
Aplastik
Sangat Berat
Anemia
Tidak Berat
2.6. Patofisiologi
Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia
aplatik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkaan patofisiologi ini,
yaitu:
1. Kerusakan sel induk hematopoetik
2. Kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang
3. Proses imunologik yang menekan hematopoesis
Keberadaan sel induk hematopoetik dapat diketahui lewat petanda sel yaitu CD34 atau
dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan sel induk hematopoetik dikenal sebagai
longterm culture-initiating cell (LTC-IC), longterm marrow culture (LTMC), jumlah sel
induk/CD34 sangat menurun hingga 1-10% dari normal. Demikian juga pengamatan pada
cobble-stone forming cells jumlah sel induk sangat menurun. Bukti klinis yang menyokong
teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada 60-80%
kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan pemberian sel induk dari luar akan terjadi
12
rekonstruksi sumsum tulang pada pasien anemia aplastik. Beberapa sarjana menganggap
gangguan ini dapat disebabkan oelh proses imunologik.1
Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk hematopoetik
tergantung pada lingkungan mikro sumsum yang terdiri dari sel stroma yang menghasilkan
berbagai sitokin. Pada beberapa penelitian dijumpai bahwa sel stroma pada pasien anemia
aplastik tidak menunjukkan kelainan dan menghasilkan sitokin perangsang seperti GMCSF,G-CSF, dan IL-6 dalam jumlaj normal sedangkan sitokin penghambat seperti interferon (IFN-), tumor necrosis factor- (TNF-), protein macrophage inflammatory 1 (MIP-)
dan transforming growth factor-2 (TGF-2) akan meningkat. Sel stroma pasien anemia
aplastik akan menunjang pertumbuhan sel induk, namun sel induk normal tidak dapat
menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien. Berdasarkan temuan tersebut, teori
kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang sebagai penyebab mendasar anemia aplastik
makin banyak ditinggalkan.1
Kegagalan sumsum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik.
Pada anemia aplastik, tergantinya sumsum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi
spesimen biopsi dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel
hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive
kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa kolam sel
bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.7
Suatu kerusakan intrinsik pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel
dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada
paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien
anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan
TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomali akibat kegagalan
sum-sum dan tanpa anomali secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang
serupa.6
Banyak data pemeriksaan laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada
pasienanemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen
selhematopoietik.
Eksperimen
awal
memperlihatkan
bahwa
limfosit
pasien
memprediksi relaps.Pada anemia aplastik, sel sel CD34+dan sel sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik,
eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak
lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula
fungsi sel B dan selT. Dan pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi
imunosupresif yang efektif. Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik akan tampak masih
ada pada sebagian pasien anemia aplastik.4
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34+ yang
diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus
sel(cell-cycle arrest). Sel sel T dalam tubuh pasien membunuh sel sel asal hemopoietik
denganaktivasi HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel sel asal hemopoietik yang paling
primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau Fas, dan ekspresi keduanya
meningkat sesuai pematangan sel sel asal. Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik
primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel sel CD34+ total, relatif tidak
terganggu oleh sel sel Tautoreaktif; dan di lain pihak, sel sel asal hemopoietik yang lebih
matur dapat menjadi target utama serangan sel sel imun. Sel sel asal hemopoietik primitif
yang selamat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan
yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.4
adalah
normokrom
normositer.
Terkadang
ditemukan
c. Faal hemostasis
15
diperlukan
untuk
2.9. Diagnosis
Dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan, tanpa adanya
organomegali (hepatosplenomegali). Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan
limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang
yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong, dan jaringan lemak; aplasia
sistem eritropoitik, granulopoitik, dan trombopoitik. Diantara sel sumsum tulang yang sedikit
ini banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).1
Anemia
aplastik
dapat
muncul
tiba-tiba
dalam
hitungan
hari
atau
secara
18
2.11.Pengobatan
Pengobaan suportif diberikan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi dan
perdarahan:1
1. Pengobatan terhadap infeksi
Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalam ruangan
khusus yang suci hama. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang
tidak menyebabkan depresi sumsum tulang.
2. Transfusi darah
Gunakan komponen darah apabila harus melakukan transfusi darah. Harusnya
diketahui bahwa tida ada manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin yang
tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering, akan timbul depresi
terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik
(reaksi transfusi), akibat dibentuknya antibodi terhadap sel darah merah, leukosit,
dan trombosit. Dengan demikian transfusi darah diberikan bila diperlukan. Pada
keadaan yang sangat gawat (perdarahan masif, perdarahan otak, dan sebagainya)
dapat diberikan suspensi trombosit.
3. Transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada pasien
anemia aplastik sejak tahun 70-an. Donor yang terbaik berasal dari saudara
sekandung dengan Human Leukocyte Antigen (HLA)nya cocok.1
4. Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang menderita
anemia aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi obat-obatan. Obat-obat
yang termasuk terapi imunosupresif ini antara lain antithymocyte globulin (ATG)
atau antilymphocyte globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone.
Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam dan
kerusakan hati. Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi
transplantasi sumsum tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.7
2.12. Prognosis
Prognosis bergantung pada:
1. Gambaran sumsum tulang hiposelular atau aseluler.
2. Kadar Hb F yang lebih dari 200 mg% memperlihatkan prognosis yang lebih baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis lebih baik.
19
20
BAB III
KESIMPULAN
1. Anemia
aplastik
adalah
kelainan
hematologik
yang
disebabkan
dan
gejala
klinis
anemia
aplastik
merupakan
manifestasi
pucat
dan
lain-lain.
Pengurangan
elemen
lekopoisis
bersifat
sistemik.
Trombositopenia
dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang
mengalami depresi paling berat.
4. Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk
anemiaaplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai
tanda-tandaregenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia. Trombosit
kuantitas berkurangsedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang akan
mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel
hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel primitif.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Permono, H. Bambang, Sutaryo, Ugrasena, Endang Windiastuti, Maria Abdusalam. 2010.
Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Shadduck RK. 2007. Aplastic Anemia. In: Lichman MA, Beutleer, et al (eds). William
Hematology 7 th Ed Nov. New York: Mc Graw Hill Medical.
3. Maakaron,Joseph E. 2011. Anemia. Chief Editor: Emmanuel C Besa. Medscape.
http://emedicine.medscape.com.Diakses : 22 Juli 2013.
4. Widjanarko, Abidin, dan Aru W. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Ed. 5. Interna Publishing: Jakarta.
5. Tortora and Derrickson. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th Ed.
6. Kasper, Braunwald et al. 2008. Harrison's Principle of Internal Medicine 17th Ed.McGraw Hill:
Medical Publishing Division.
7.
NIH Public Access. Aplastic anemia: pathophysiology and treatment. 2008. Europe Pubmed
Central. http://europepmc.org. Diakses: 18 Juli 2013.
22