Anda di halaman 1dari 2

PEREMPUAN:

Mencari Identitas Diri diantara Sikap dan Perasaan


Tulisan ini berusaha untuk tidak men-justifikasi hal-hal yang sudah menjadi
kebiasaan, mencoba menghindari jebakan hipokritisme yang tersembunyi (karena
pada dasarnya penulis juga tidak mampu meredam kecenderungan alamiyah
untuk berbuat demikian), serta berusaha memposisikan diri pada ruang objektif
meskipun pada saat yang bersamaan penulis tidak mampu keluar dari
kungkungan subjektifitas tulisan dalam menganalisa berbagai fenomena
didalamnya.
Sebetulnya sasaran dan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh tulisan ini
adalah mengembalikan citra mahasiswa sebagai agents of change dan agents of
social control yang hidup dalam frame keislaman, bukan sebagai peletak dasar
kemunafikan intelektual yang diusung sejak berangkat dari rumahnya.
Pada dasarnya analisa tulisan ini berangkat dari fenomena aktual yang
penulis angkat sebagai pijakan historis dalam membaca realitas kekinian.
Beberapa kejadian yang dimaksud adalah merupakan kisah pergaulan kalau
berat menyebutnya percintaan yang terjadi beberapa bulan terakhir di
Indonesia yang mampu "merangkaikan" sosok selebritis (sebagai salah satu
format figur yang identik dengan kemodernan dan DUGEM) dengan sosok agamis
(sebagai sebuah cerminan dari hidup yang diterangi oleh sinar-sinar Tuhan) pada
umumnya, dan jalinan meminjam istilah Crisye "kisah kasih di sekolah" yang
terjadi disekeliling kita.
Semua manusia memiliki sifat hipokrit, akan tetapi dunia hipokritisme telah
banyak berperan dalam pembentukan naluri kaum hawa, sehingga sulit kita
bedakan antara kepalsuan fisik dan gerak jujur batin, dunia kaum hawa yang
mengaku seorang muslimat yang katanya selalu teguh terhadap syari'at ternyata
telah menjadi kendaraan eksekutif untuk menjembatani apa yang ada dalam
perasaannya. Kita memang tidak mungkin untuk menbuat dua dunia dalam
sebuah dunia (female world and male world), karena interaksi diantara keduanya
pasti terjadi dan tidak mungkin dielakkan, terus yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana kita melakukan mu'amalah antar lawan jenis sehingga tidak ada pihak
male atau female yang disalahkan? jawaban pertanyaan tersebut anda lebih
paham daripada penulis bahkan hafal ngelontok sampai ke dalil-dalinya, bohong
deh lo.bila bilang tidak tahu aturan mainnya dalam islam.
Orang bilang kalau kaum hawa itu bagaikan tulang rusuk yang sangat sulit
diluruskan dan mempunyai kecenderungan untuk bengkok atau patah, tapi
memang benar khangitu! tafsiran penulis terhadap pengibaratan tersebut
adalah sebagai berikut "sebaik-baiknya perempuan pasti bengkok juga Cuma
kadar kebengkokannya yang berbeda, serta sulit diluruskan karena salah sedikit
cara meluruskannya akibatnya akan fatal". Kalau memang demikian, terus
bagaimana dengan kaum adam? secara umum kaum adam bagaikan bunglon
yang berusaha menyesuaikan dengan tempat dia berada, jadi lebih sulit lagi
untuk mengetahui wujud aslinya. Kaum adam akan selalu caper (cari perhatian)
terhadap hawa-hawa yang dipandangnya sejuk, dia akan menjadi orang paling
bijaksana di dunia jika berada di depan mereka, dibumbui dengan selinganselingan humor pasti kaum hawa jadi klepek-klepekan dan simpati ama dia.
Selanjutnya otak keduanya jadi encer untuk menolak secara halus aturan
main dalam Islam, ada saja alasan secara Islami yang terlontar dari mereka yang
menurut mereka no problem untuk melakukan interaksi baik langsung maupun
tak langsung. Secara tidak sengaja mereka telah menjadikan Islam dan
Syari'atnya sebagai alat komunikasi perasaannya.
Tulisan ini berusaha mengembangkan hasil analisa yang sebenarnya tidak
memenuhi standart dan kualifikasi ilmiah yang absah, melainkan analisa berikut
berpijak pada hasil imajinatif-kontemplatif atas realitas sebuah pergaulan yang
digandrungi oleh kita akhir-akhir ini yang berangkat dari beberapa hipotesa
berikut:
1.
Manajemen Isu.
2.
Fasilitator Handal.
3.
Jabatan/Kedudukan Fungsional.

MANAJEMEN ISU
Indikator pertama ini adalah manajemen isu. Indikator ini banyak yang tidak
meyakini kebenarannya, sebab sesuai dengan background phsikologi, sosial dan
budaya kita yang sudah melewati masa-masa romantisisme seperti yang banyak
dilakoni oleh para remaja-remaja setingkat SMA ini. Akan tetapi mengapa hal ini
banyak terjadi dalam fenomena kehidupan disekeliling kita.
Manajemen isu ini mula-mula berkembang atas bentuk dalam istilah
jawanya padhan-padhanan yang sengaja di kemas dengan baik oleh orang
diluar pelaku tersebut. Bentuk ini biasanya dapat kita lihat dalam bentuk kemasan
gurauan, pada saat curhat serta dalam bentuk-bentuk interaksi lain. Akibatnya
wacana yang berkembang baik pada dataran personal maupun interpersonal
FASILITATOR HANDAL
JABATAN/KEDUDUKAN FUNGSIONAL.

dan yang utama banyak ditunjukkan oleh spesifikasi moral yang memang
dikondisikan dengan baik oleh kita, atau istilah modernnya manajemen isu dan
meminjam istilah sumber data yang ada padhan-padhanan.
1.
Indikator kedua juga ditentukan oleh fasilitas yang "memadai", atau istilah
kerennya mak comblang yang dengan senang hati menjadikan dirinya sebagai
relawan cinta.
2.
Indikator ketiga, dan ini bisa dikatakan sebagai faktor yang cukup berperan
dalam pelestarian budaya ini yaitu Jabatan atau Kedudukan fungsional.
Rieke Diah Pitaloka misalnya. Pemeran Oneng dalam serial entertaiment
Bajaj Baijuri ini mempercayakan hidupnya kepada Doni Gahrial Ardan yang
sebelumnya menjadi salah satu dosennya. Padahal beberapa tahun sebelumnya,
Oneng ini sudah membina hubungan dengan laki-laki lain sampai pada tingkat
tunangan.
Belum lagi Che-Che Kirani, seorang selebritis yang akhir-akhir ini lengkap
dengan busana muslimahnya, bertekuk lutut didepan penasehat spiritualnya Aa'
Hadi Wibawa. Kisah Che-Che Kirani ini tergolong unik, sebab perasaan cinta yang
tumbuh diantara keduanya bermula dari interaksi guru dan murid dalam sebuah
forum keagamaan (baca: pengajian).
Kedua kasus diatas menunjukkan sebuah terma penting betapa peran
sentral seorang Ustad tidak hanya berkutat pada proses transfer of knowledge,
tapi juga berpeluang atas terjadinya proses transfer of feeling.
Di sisi lain, seorang perempuan, apa lagi sudah menyandang sebuah "titel"
santriwati yang identik dengan geliat dan nafas keislaman
Bagaimanapun juga, diakui atau tidak, sosok perempuan merupakan tiang
negara. Jika rusak dia maka hancurlah negara tersebut layaknya ambruknya
sebuah rumah tanpa tiang-tiang di dalamnya. Oleh karenanya jika hal ini tetap
tidak mampu dibaca oleh kita dengan kecerdasan naluriah kita sebagai kaum
hawa, maka tidaklah heran jika dari kampus kita tercinta ini muncul sebuah
booklet yang mengisahkan siklus perselingkuhan di sekeliling kita.

Anda mungkin juga menyukai