Ratna

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

2.

1 Tinjauan Teori Persalinan Kala I Memanjang


2.2.1 Pengertian
Pemanjangan fase aktif yang lambat digambarkan sebagai perubahan
serviks yang <1,2 cm/ jam untuk nulipara dan <1,5 cm/jam untuk multipara
ketika dilatasi serviks telah mencapai 4 cm atau perubahan serviks yang cepat
telah dimulai. Laju penurunan janin juga menjadi pertimbangan. Fase aktif
yang lambat dikaitkan dengan peningkatan angka penanganan dengan
prosedur seksio sesarea dan kelelahan pada ibu. Fase aktif yang lambat dapat
diakibatkan oleh pola kontraksi hipotonik, namun pola kontraksi hipotonik
pun merupakan salah satu penyebab. Fase aktif yang memanjang ini juga
dapat

menyebabkan

makrosomnia,

pintu

disproporsi
atas

fetopelvis

panggul

atau

yang

dikaitkan

midpelvis

yang

dengan
letaknya

membahayakan, atau malposisi yang mengakibatkan peningkatan diameter


bagian presentasi. (Walsh,Linda v.,2008)
Bila

tidak

didapatkan

tanda

adanya

CPD

(chepalo

pelvic

disproportion) atau adanya obstruksi (Menurut sarwono, 2006)

Berikan penanganan umum yang kemungkinan akan memperbaiki


kontraksi dan mempercepat kemajuan persalinan.

Bila ketuban utuh, pecahkan ketuban

Nilai his

Jika his tidak adekuat (kurang dari 3 his dalam 10 menit dan lamanya
kurang dari 40 detik) pertimbangkan adanya inersi uteri. (Prawiroharjo,
Sarwono. 2012 )

Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40 detik),
pertimbangkan adanya disporposi, obstruksi, malposisi atau malpresentasi.
(sarwono, 2006)

Obstruksi
Bila ditemukan tanda-tanda obsruksi (sarwono, 2006)

1.2.2

Bayi hidup lahirkan dengan seksio sesarea

Bayi mati lahirkan dengan kraniotomi/embriotomi

Diagnosis
Diagnosis fase aktif memanjang. Diagnosis dapat ditegakkan bila
perubahan serviks (1,2 cm/jam untuk nulipara, 1,5 cm/jam untuk nulipara)
tidak diketahui oleh pemeriksa yang sama pada setidaknya dua kali
pemeriksaan vagina yang berhasil. Pengkajian data yang perlu dilakukan dan
pengembangan perencanaan perawatan. (Walsh,Linda v.,2008)

Tabel 2.1: Pengkajian Data untuk Fase Aktif Memanjang


Riwayat Terdahulu

Usia gestasi
Awitan kontraksi
Frekwensi

kontraksi

dan

kecenderungan memanjang
Durasi

kontraksi

dan

kecenderungan memanjang
Intensitas

kontraksi

dan

kecenderungan memanjang
Ada atau tidak adanya cairan
amnion yang keluar/bocor
Ada atau tidak adanya darah
yang keluar
Aktivitas janin
Istirahat

pada

24

jam

sebelumnya
Penggunaan

analgesik

dan

sedatif
Bagan riwayat kehamilan saat
ini,

riwayat

obstetrik,

dan

riwayat pembedahan atau medik


Data Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum
Presentasi,

posisi,

perkiraan

berat lahir janin


Pola denyut jantung janin
Palpasi

kontraksi

untuk

frekuensi, durasi dan intensitas


Pembukaan serviks
Dilatasi serviks
Konsistensi serviks

Station bagian presentasi


Molding

atau

identifikasi

asinklitisme kepala janin


Letak bagian presentasi pada
pelvis
Status membran
Pelvimetri klinis
Data Laboratorium dan

Berat jenis urine dan keton

Pemeriksaan Lain

Ultasonografi untuk memastikan


posisi dan perkiraan berat badan
janin
(Walsh,Linda v.,2008)

Tabel 2.2 : Diagnosis Persalinan Lama


Tanda dan gejala

Diagnosis

Servik tidak membuka tidak didapatkan his/his Belum in partu


tidak teratur
Pembukaan serviks tidak melewati 4 cm Fase laten memanjang
sesudah 8 jam in partu dengan his yang teratur

Pembukaan serviks melewati kanan garis


waspada partograf

Frekuensi his jurang dari 3 his per 10

Inersia uteri

Disproporsi

menit dan lamanya kurang dari 40


detik

Pembukaan

serviks

dan

turunnya

bagian janin yang dipresentasi tidak

sefalopelvik

maju, sedangkan his baik

Pembukaan

serviks

dan

turunnya

bagian janin yang dipresentasi tidak

Obstruksi kepala

maju dengan kaput, terdapat moulase


hebat, edema serviks, tanda ruptur uteri
imminens, gawat janin

Kelainan presentasi (selain verteks


dengan oksiput anterior)

Malpresentasi

atau

posisi
Pembukaan

serviks

lengkap,

ibu

ingin Kala II lama (prolonged

mengedan, tetapi tak ada kemajuan penurunan

second stage)

(Prawiroharjo, Sarwono. 2012 )


2.2.3

Etiologi Fase Aktif Memanjang


Distosia (yulia fauziah, 2012)

Distosia merupakan persalinan yang sulit yang ditandai adanya


hambatan kemajuan dalam persalinan. Distosia merupan kesulitan dalam
jalannya persalinan. Penyebab distosia dapat dibagi dalam 3 golongan besar,
yaitu :
1.

Distosia karena kekuatan-kekuatan yang mendorong pengeluaran janin


tidak memadai, yaitu :
a. Distosia karena kelainan tenaga (his) adalah his yang tidak normal,
baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancaran
persalinanbaik tidaknya his dapat dinilai dari :
1. Kemajuan persalinan
2. Sifat-sifat his, frekuensi, kekuatan dan lamanya kekuatan his
dinilai dengan cara menekan dinding rahim pada puncak
kontraksi
3. Besarnya caput succedeneum.
His Normal
1. Tonus otot rahim diluar his tidak seberapa tinggi, lalu
meningkat pada waktu his. Pada kala pembukaan serviks
ada 2 fase laten dan fase aktif.
2. Kontraksi rahim dimulai pada satu tanduk rahim, sebelah
kanan atau kiri, lalu menjalar keseluruh oto rahim.
3. Fundus uteri berkontraksi lebih dulu (fundal dominal)
lebih lama dari bagian-bagian lain. Bagian tengah
berkontraksi agak lebih lambat, lebih singkat, dan tidak
sekuat kontraksi fundus uteri. Bagian bawah (segmen

bawah rahim) dan serviks tetap pasif atau hanya


berkontraksi sagat lemah
4. Sifat-sifat his adalah lamanya, kuatnya, teraturnya,
seringnya, dll.
b. Kekuatan mengejan kurang kuat, misalnya kelainan dinding perut,
seperti luka parut baru pada dinding perut, diastase muskulus rektur
abdomins, atau kelainan keadaan umum ibu seperti sesak nafas atau
kelelahan ibu. Posisi saat meneran bisa dengan berjalan, berdiri,
duduk, jongkok berbaring miring atau merangkak. Posisi tegak seperti
berjalan, berdiri atau jongkok dapat membantu turunnya kepala bayi
dan seringkali memperpendek waktu persalinan. Dan posisi duduk
atau setengah duduk dapat memberikan rasa nyaman dan memberikan
kemudahan bagi ibu untuk beristirahat diantara kontraksi. Cara
meneran yang benar yaitu setelah terjadi pembukaan lengkap dan ibu
merasa ingin meneran maka bantu ibu mengambil posisi yang
nyaman, bimbing ibu untuk meneran secara efektif dan benar dengan
cara tarik nafas panjang dari hidung kemudian meneran dan mengikuti
dorongan-dorongan alamiah yang terjadi. (APN,2008)
2.

Distosia karena adanya kelainan letak janin atau kelainan fisik janin,
misalnya presentasi bahu (letak lintang), presentasi dahi, presentasi muka,
presentasi bokong, anak besar, hidrosefalus dan monstrum.

3.

Distosia karena adanya pada jalan lahir baik bagian keras (tulang), seperti
adanya panggul sempit, kelainan bawaan pada panggul maupun bagian
yang lunak seperti adanya tumor-tumor baik pada genetalia interna

maupun pada visera lain di daerah panggul yang menghalangi jalan lahir.
Ukuran normal panggul luar yaitu:

Distantia Spinarum

: Jarak antara spina iliaca anterior

superior kiri dan kanan ( 23-26 cm)

Distantia Cristarum

: Jarak yang terjauh antara crista iliaca

kanan dan kiri (26-29 cm)

Conjugata Eksterna

: Jarak antara pinggir atas symphisis dan

ujung processus spinosus ruas tulang lumbal ke-V (18-20 cm)

Ukuran Lingkar Panggul :

Dari

pinggir

atas

symphisis

ke

pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan trochanter


major sepihak dan kembali melalui tempat tempat yang sama di
pihak yang lain (80-90 cm)
Ukuran ukuran luar ditentukan dengan jangka panggul kecuali
ukuran lingkar panggul yang diambil dengan pita pengukur.
2.2.4

Etiologi Perpanjangan Waktu Persalinan


Kemajuan persalinan dinilai dari kemajuan pembukaan serviks,
kemajuan turunya bagian terendah janin, dan bila janin sudah sampai di bidang
hodge III atau lebih rendah dinilai dari ada atau tidak adanya putaran paksi
dalam. Kekuatan his tidak boleh dinilai dari perasaan nyeri penderita, his
dikatakan kurang kuat, jika :
1.

Terlalu lemah yang dinilai dengan palpasi pada puncak his

2.

Terlalu pendek yang dinilai dari lamanya kontraksi

3.

Terlalu jarang yang dipantau dari waktu sela antara 2 his

Dalam pemantauan kemajuan persalinan, ketiga sifat tersebut perlu dinilai


secara objektif dengan melakukan penilain secara manual, yaitu melakukan
palpasi abdomen sekurang-kurangnya selama 10 menit. Menurut WHO, his
dinyatakan memadai bila terdapat his yang kuat sekurang-kurangnya 3 kali
dalam kurun waktu 10 menit dan masing-masing lamanya > 40 detik. Interval
his yang terlalu pendek dan atau lamanya > 50 detik dapat membahayakan
kesejahteraan janin.

1. Inersia Uteri
Inersia uteri merupakan his yang sifatnya lebih lemah, lebih singkat, dan
lebih jarang dibandingkan dengan his yang normal. Inersia uteri terjadi karena
pemanjangan fase laten dan fase aktif atau kedua-duanya dari kala pembukaan.
Pemanjangan fase laten dapat disebabkan oleh serviks yang belum matang
atau karena penggunaan analgetik yang terlalu dini.
Dalam obstetri modern, partus lama dengan kelelehan ibu, tidak boleh
terjadi. Walaupun begitu, di Indonesia uteri karena kelelahan masih sering
terjadi karena 70-80% persalinan berlangsung diluar rumah sakit dan tidak
dipimpin oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Inersia uteri terbagi dalam dua
keadaan, yaitu :
a. Inersia uteri hipotonis, yaitu kontraksi terkoordinasi tetapi lemah. Melalui
deteksi dengan menggunakan cardio tocogrpfhy (CTG), terlihat tekanan
yang kurang 15 mmHg. Dengan palpasi, his jarang dan pada puncak
kontraksi dinding rahim masih dapat ditekan ke dalam. His disebut baik
bila tekanan intrauteri mencapai 50-60 mmHg. Biasanya terjadi dalam fase

aktif atau kala II. Oleh karena itu, dinamakan juga kelemahan his
sekunder.
b. Inersia hipertonis, yaitu kontraksi uterin tidak terkoordinasi, misalnya
kontraksi segmen tengah lebih kuat dari segmen atas. Inersia uteri ini
sifatnya hipertonis, sering disebut sebagai inersia spastis. Pasien biasanya
sangat kesakitan. Inersia uteri hipertonis terjadi dalam fase laten. Oleh
karena itu, dinamakan juga sebagai inersia primer.
Tabel 2.3 : Perbedaan Inersia Uteri Hipotonisdan Hipertonis
NO
1

Variabel
Kejadian

Hipotonis
4%

Hipertonis

dari 1%

persalinan

persalinan

Saat terjadinya

Fase aktif

Fase laten

Nyeri

Tidak nyeri

Nyeri

dari

berlebihan
4

Fetal distres

Reksi

Lambat terjadi
terhadap Baik

Cepat
Tidak baik

oksitosin
6

Pengaruh sedatif

Sedikit

Besar

(Prawiroharjo, Sarwono. 2012 )


Penanganan
Apabila penyebabnya bukan panggul dan atau kelainan janin yang tidak
memungkinkan terjadinya persalinan pervaginan, apabila ketuban positif

dilakukan pemecahan ketuban terlebih dahulu. Jika upaya ini tidak berhasil,
berikut langkah-langkah penanganan selanjutnya :
a. Berikan oksitosin drips 5-10 satuan dalam 500 cc dekstrosa 5%,
dimulaidengan 12 tetes per menit, dinaikkan setiap 10-15 menit sampai
40-50 tetes per menit. Maksud dari pemberianoksitosin adalah supaya
serviks dapat membuka.
PERINGATAN
- Pemberianoksitosin drips sebaiknya hanya dilakukan pada fasilitas
kesehatan yang mampu melakukan pengawasan secara ketat karena
penyulit mungkin terjadi yaitu gawat janin atau ruptur uteri
-

Oksitosin drips tidak boleh diberikanbila tidak ada lukaparut pada


rahim seperti bekas seksio sesarea atau miometrium.

b. Pemberian oksitosin tidak usah terus menerus, sebab bila tidak


memperkuat his setelah pemberian beberapa lama, hentikan dulu dan ibu
dianjurkan untuk istirahat. Keesokan harinya bisa diulang pemberian
oksitosin drips.
c. Bila insersia disertai dengan disporporsi sepalopelvis, maka sebaiknya
dilakukann seksio sesarea
d. Bila semula his kuat tetapi kemudian terjadi inersia sekunder/hipertonis,
pengobatan yang terbaik ialah petidin 50 mg atau tokolitik, seperti
ritodine dengan maksud menimbulkan relaksasi dan istirahat, dengan
harapan bahwa setelah pasien itu bangun kembali timbul his yang
normal. Mengingat bahaya infeksi intrapartum, kadang-kadang dicoba
juga oksitosin, tetapi dalam larutan yang lebih lemah. Namun jika his
tidak menjadi lebih baik dilakukan seksio sesarea.

2. Tetania Uteri
Tetania uteri merupakan his yang terlampau kuat dan terlalu sering tidak
ada relaksasi rahim. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya partus presipitatus,
yaitu persalinan yang lebih pendek dari 3 jam, sehingga menyebabkan
persalinan lebih cepat dari pada seharusnya sehingga tidak sempat dilakukan
pertolongan (misalkan, melahirkan ditengah jalan atau dikamar mandi).
Akibatnya, terjadilah luka-luka jalan lahir yang luas pada serviks, vagina, dan
perineum. Bila ada kesempitan panggul, dapat terjadi ruptura uteri
mengancam, dan bila tidak segera ditangani akan berlanjut menjadi rupture
uteri.
Bahaya bagi anak meninggi karena oksigenasi kurang sebagi akibat
kontraksi rahim yang terlalu kuat, mungkin juga bayi mengalami trauma
karena lahir sebelum ada persiapan yang cukup, misalkan jatuh kelantai dan
dapat juga menyebabkan perdarahan intrakranial.
Penanganan yang diberikan yaitu :
a. Berikan obat seperti morfin, luminal, dan sebagainya asal janin tidak akan
lahir dalam waktu dekat (4-5 jam) kemudian.
b. Bila ada tanda-tanda obstruksi, persalinan harus segera diselesaikan
dengan seksio sesarea.

1.2.5

Penatalaksanaan Fase Aktif Memanjang


Penatalaksanaan fase aktif memanjang. Jika pengkajian memperjelas
bahwa klien dan janin yang dikandungnya dalam kondisi sehat dan klien dapat
beradaptasi dengan persalinan, dukungan konservatif nonintervensif pada fase

aktif yang lambat perlu dilakukan. Aktivitas yang dapat mempercepat


persalinan adalah perubahan posisi, ambulasi, stimulasi puting, akupresur,
istirahat, dan hidrasi. (Walsh,Linda v.,2008)
Percepat persalinan dengan amniotomi dan/atau penambahan oksitosin
melalui infus dapat menjadi pilihan penanganan yang efektif untuk fase aktif
yang lambat. Kontra indikasi amniotomi adalah bagian persentasi masih tinggi,
malpresentasi atau malposisi, terabanya palpasi tali pusat atau pembuluh
darah, dan kurangnya dokumentasi pada fase aktif. Kontra indikasi pemberian
oksitosin melalui infus. (Walsh,Linda v.,2008)
Amniotomi dapat mempercepat persalinan dengan cara melepaskan
prostaglandin dan merupakan efek mekanisme peningkatan tekanan pada
bagian presentasi yang telah masuk ke serviks. Meskipun beberapa peneliti
telah menemukan bahwa amniotomi dapat menurunkan lama waktu fase aktif
yang memanjang, temuan lain juga menyebutkan adanya peningkatan
percepatan denyut jantung janin (DJJ) dan menurunnya morbiditas infeksius
pada ibu dengan metode ini. (Walsh,Linda v.,2008)
Penambahan oksitosin secara umum digunakan pada kasus fase aktif
memanjang. Tujuan pemberian oksitosin adalah untuk menstimulasi aktivitas
uterus hingga terjadi kontraksi reguler setiap 2-3 menit dengan memberi
penekanan yang adekuat untuk meningkatkan perubahan serviks. Terdapat
kisaran yang luas pada variasi normal jumlah pemberian oksitosin untuk
individu yang menghadapi persalinan. Penelitian menyimpulkan bahwa
aktivitas kontraksi spontan, dilatasi serviks, paritas, dan usia gestasi ibu,
semuanya merupakan variabel yang dihubungkan

dengan keberhasilan

pemberian oksitosin. Hiperstimulasi didefinisikan sebagai suatu pola yang


menetap yang terjadi 5 kontraksi dalam waktu 10 menit, kontraksi
berlangsung selama 2 menit atau lebih, atau kontraksi dengan durasi normal
yang terjadi selama 1 menit masing-masingnya . (Walsh,Linda v.,2008)
Penambahan oksitosin harus selalu diberikan dalam pengenceran
larutan garam seimbang dengan menggunakan pompa infus yang dapat
dikontrol dan dimasukkan melalui jalur sekunder yang menuju ke jalur utama
intravena. Sebagian besar kebijakan institusi merekomendasikan pemberian 10
U oksitosin dalam 1000 ml larutan. Pengkajian lanjutan mengenai respons ibu
dan janin terhadap penambahan oksitosin sebaiknya dilakukan oleh perawat
profesional yang berpengalaman dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya.
Waktu istirahat pada tonus, frekuensi, durasi, dan intensitas kontraksi dapat
dimonitor melalui pengawasan elektronik eksternal atau internal, atau dengan
palpasi.

Respons

denyut

jantung

janin

(DJJ)

harus

dipantau

dan

didokumentasikan setiap 15 menit selama tahap pertama persalinan dan setiap


5 menit selama tahap kedua persalinan. Jika penambahan oksitosin akan
diberikan, sebaiknya tersedia dokter konsulen yang memiliki wewenang dalam
penatalaksanaan seksio sesarea. (Walsh,Linda v.,2008)
Jika terjadi hiperstimulasi, pemberian oksitosin melalui infus harus
segera dihentikan. Waktu paruh kerja oksitosin adalah 3-5 menit; lalu
penurunan pada stimulasi uterus terjadi secara cepat. (Walsh,Linda v.,2008)
Sama dengan prosedur lainnya, penjelasan yang lengkap mengenai
alasan penambahan, melalui diskusi mengenai keuntungan dan kerugian
masing-masing intervensi harus dilakukan agar klien mendapat pengetahuan

dan pemahaman yang tepat. Jika tidak dilakukan sebelumnya, maka bidan
dapat berdiskusi dengan klien mengenai penanganan nyeri dan memberi
penjelasan tentang pemberian analgesik dan anastesi pada saat kontraksi mulai
sering terjadi. (Walsh,Linda v.,2008)

Anda mungkin juga menyukai