Anda di halaman 1dari 15

What is jihad?

Apa itu Jihad?


Jihad is a concept with multiple meanings, used and abused throughout Islamic history.
Although jihad has always been an important part of the Islamic tradition, in recent
years some have maintained that it is a universal religious obligation for all true
Muslims to join the jihad to promote Islamic reform or revolution. Some look around
them and see a world dominated by corrupt authoritarian regimes and a wealthy elite
minority concerned solely with its own economic prosperity and awash in Western
culture and values. Western government are perceived as propping up oppressive
regimes and exploiting the regions human and natural resources, robbing Muslims of
their culture and their option to be governed according to their own choice and to live
in a more just society.1
Jihad adalah sebuah konsep dengan beberapa makna, sering digunakan dan
disalahgunakan sepanjang sejarah Islam. Meskipun jihad selalu menjadi bagian penting
dari tradisi Islam, dalam beberapa tahun terakhir sebagian telah menyatakan bahwa
jihad adalah kewajiban agama yang universal bagi semua Muslim dengan tujuan
mempromosikan reformasi atau revolusi Islam. Sebagian memandang di sekitar mereka
dan melihat bahwa dunia didominasi oleh rezim otoriter yang korup, elit minoritas kaya
yang semata-mata mementingkan kemakmuran ekonomi masing-masing dan hanyut
oleh nilai-nilai budaya Barat. Pemerintah Barat dianggap menopang rezim
pemerintahan yang menindas dan mengeksploitasi sumber daya manusia dan alam,
merampok nilai budaya dari kaum Muslim dan pilihan untuk mengatur pemerintahan
sesuai dengan pandangan mereka sendiri serta untuk hidup dalam masyarakat yang
lebih adil.
A. Pengertian dan Pembagian Jihad
Kata jihad, secara umum dipahami diterjemahkan dan ditafsirkan dengan perang yang
didasarkan kepada teks-teks sumber hukum Islam. Jihad secara etimologi berasal dari kata kerja

jahada. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi digital memaknai jihad dengan tiga
makna, pertama usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan, kedua usaha
sungguh-sungguh membela agama Islam dng mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga,
dan ketiga perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. 2 Ibn alMandhr di dalam Lisn al-Arab memaknai jihad ke dalam beberapa penegertian sesuai
dengan konteks kebahasaannya, diantaranya makna jihad yang bermaksud menggunakan
segala usaha dengan kesulitan.3 Usaha yang dimaksud disini bisa berarti dengan melakukan
John L. Esposito, What Everyone Needs to Know about Islam: Answers to Frequently Asked
Questions From One of Americas Leading Experts, (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm.
118.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Digital V1.1, pencarian kata jihad.
3
Pemaknaan kata jihad menurut Ibn al-Mandhr di dalam Lisn al-Arab:
:
.

.
1
1

sesuatu yang baik atau dengan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk, yakni,
konsep jihad pada dasarnya berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Pendapat imam-imam
empat mazhab tentang jihad menunjukkan bahwa jihad mempunyai hubungan erat dengan perjuangan
di jalan Allah, khususnya di dalam peperangan. 4 Harus dipahami bahwa kata jihad yang disalah

artikan sebagai perang suci terhadap non-muslim, holy war, yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa arab maka berarti al-arb al-Muqaddas, adalah sebuah peribahasa yang tidak
pernah dibahas di dalam literatur sumber hukum Islam. 5 Menurut Ramadhn al-Bth ada dua
macam jihad yang umumnya dilakukan di dalam sejarah Islam, jihd al-alab
yaitu perang

yang diiniiasi oleh pihak Islam dan dilakukan diluar wilayah pemerintahan Islam, dan jihd
al-Daf yaitu perang yang diinisiasi oleh pihak non-Islam menyerang pihak Islam di wilayah
Muslim. Jihd al-Daf sebagai pembelaan hukumnya fard ayn dan boleh dilakukan oleh
siapapun tanpa harus ada perintah resmi dari pemerintahan Muslim, sedangkan jihd al-alab

sebagai sebuah usaha penyerangan dan penundukan wilayah non-Islam hukumnya fard
kifyah dan pelaksanaannya harus mendapat legitimasi dan persetujuan dari pemerintahan
Muslim secara resmi.6 Pembagian lain dari jihad, ada al-jihd al-akbar (jihad mayor) yang
berarti berusaha untuk menguasai ego pribadi, sedang jihad dalam arti perang yang dilakukan


. :
Lihat: Ibn al-Mandhr, Lisn al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1993 M/ 1414 H), jilid 3, hlm. 135.
4
Abdulrahman Muhammad AlSumaih, he Sunni Concept of Jihad in Classical Fiqh and
Modern Islamic hought, (Newcastle: Disertasi Doktor University of Newcastle, 1998), hlm. 6, 257.
Lihat juga: Ahmed Mohsen Al-Dawoody, War in Islamic Law: Justifications and Regulations,
(Birmingham: Disertasi Doktor University of Birmingham, 2009), hlm. 131 -132.
5
Kata holy war, perang suci, bersumber dari literatur Kriten yang menruut sejarah munculnya
penyebutan itu merupakan hasil perdebatan yang panjang di dalam sejarah Kristiani. Di dalam agama
Kristen penyebaran agama dilakukan melalui pengiriman misionaris untuk mengajarkan ajaran-ajaran
Kristiani kepada masyarakat tertentu. Perang merupakan hal yang harus dihindari, bahkan ketika
orang menyakiti pipinya ajaran Kristen menganjurkan untuk memberikan pipi sebelahnya. Ketika
pasukan Kristen pada posisi kuat secara militer, Kaisar Constantine pada abad ke 4 menyetujui
penyebaran agama melalui perang dengan alasan yang digambarkan oleh Agustin bahwa keadilan
memakasa pasukan Kristen untuk angkat senjata tanpa harus lupa bahwa perang merupakan cerminan
dari kejahatan sehingga ketika perdamaian tercapai dengan perang, saat itu juga perang harus
dihentikan. Ide ini kemudian diadopsi oleh Hugo Grotious dalam karyanya yang monumental di
dalam literatur Hukum Internasional De Jure Belli Ac Pacis yang diterjemahkan menjadi he Law of
War an Peace.
Lihat: Jihad and the Islamic law of war, (Jordan: The Royal Aal-Bayt Institute For Islamic
Thought, 2009) hlm. 1-2.
6
Muhammad Sad Ramadhn al-Bt, Al-Jihd f al-Islm: Kaifa Nafhamuh Wa Kaifa
Numrisuh?, (Damaskus: Dr al-Fikr, 2006), hlm. 112, 114-117.
2

pasukan muslim melawan pasukan non-muslim disebut dengan al-jihd al-ashghar (jihad
minor).7
Al-jihd al-Ashghar secara historis dapat dibagi menjadi sekup internasional dan sekup
domestik. Jihad dalam sekup internasional meliputi perang yang dilakukan untuk melawan
pihak non-Islam yang melampaui batas wilayah Islam. Istilah sekup internasional dikenal
sebelum runtuhnya kekhilafahan Islam ketika pemerintahan Islam diibaratkan berada
dibawah satu kesatuan politik, maka peperangan yang terjadi antara pemerintahan khilafah
dengan pihak luar non-Islam dimaknai dengan jihad dalam sekup internasional. Jihad
domestik adalah penyebutan yang digunakan untuk memaknai peperangan yang dilakukan
pemerintah Islam melawan kelompok-kelompok internal di dalam lingkup pemerintahan
Islam sendiri dengan berbagai tujuan. Umumnya penyebutan jihad domestik ditujukan untuk
memerangi kelompok Bughh, Quta
ahl al- riddah, dan kelompok-kelompok

al-arq,
dengan bentuk perlawanan lainnya seperti Khawrij pada masa perselisihan Ali dan
Muawiyah.8 Pembagian jihad menjadi internasional dan domestic juga dipengaruhi oleh
doktrin klasik tentang pembagian wilayah Islam menjadi Dr al-Islm dan Dr al-arb.9
Jihad di dalam Islam lebih merupakan bentuk perjalanan sejarah dan bukan ritual
keagamaan, maka dari itu karya-karya ulama di dalam membahas jihad tidak sedetil
sebagaimana membahas aturan Islam lainnya, ini merupakan salah satu penyebab diferensiasi
pandangan dan pemaknaan tentang jihad dalam Islam. Walaupun jihad dapat dimaknai perang
yang melibatkan perintah agama, tetapi landasan esensial jihad justeru sering timbul karena
faktor lain, seperti kepentingan sosial, ekonomi, dan politik.10 Jihad yang dimaknai perang,
sebagai sebuah cara untuk menyelesaikan permasalahan atau untuk meruntuhkan sebuah
ketidakadilan adalah hal yang wajar dilakukan pada masa lalu, termasuk di masa turunnya
Islam di jazirah Arab, Donner memberikan justifikasi terhadap keadaan ini yang ia
gambarkan bahwa pada masyarakat itu, perang adalah sebuah media yang normal dan
Sebuah hadist diriwayatkan:
." : : . " :
8
Majd Khaddr, War and Peace in he Law of Islam, (Virginia: The John Hopkins Press,
1955), hlm. 74-82.
9
Muhammad Talaat Ghunaim, he Muslim Conception of International Law and he Western
Approach, (Netherland: Martinus Nijhoff, 1978), hlm. 156.
10
Khaled Abou Al-Fadl, The Rules of Killing at War: An Inquiry into Classical Sources, he
Muslim World, Vol. LXXXIX, No. 2, April, 1999, hlm. 150.
Lihat: James Turner Johnson, he Holy War Idea in Western and Islamic raditions,
(Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 1997), hlm. 96.
Lihat: Zulfi Mubaraq, Tafsir Jihad: Menyingkap Tabir Fenomena Terorisme Global, (Malang:
UIN MALIKI Press, 2005), hlm. 289-292.
3
7

umumnya digunakan, fenomena pemerintahan yang lahir dari kemenangan perang sering
terjadi di antara suku-suku dan kelompok masyarakat, kecuali telah ada perjanjian di antara
kelompok yang ingin mempertahankan hubungan satu dan lainnya di antara mereka. 11
B. Al-Qurn dan Violent Jihad
Kata jihad dimaknai oleh penafsir di dalam al-Qurn kepada beberapa makna yang
berbeda, pertama, jihad dimaknai sebagai kepercayaan dalam beragama, 12 kedua, dimaknai
sebagai perang,13 ketiga, dimaknai sebagai tekanan dari orang tua untuk meninggalkan Islam
sebagai agama,14 keempat, sumpah dengan sungguh-sungguh,15 dan kelima berarti kekuatan
fisik.16 Kata jihad jika dilanjutkan dengan frase f sablillh/ f sablih dapat dimaknai usaha
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, termasuk seluruh usaha yang dibenarkan baik
berhubungan dengan keadaan perang maupun damai. 17 Jika jihad dimaknai sebagai sebuah
usaha menegakkan kebenaran dengan kondisi perang (violent jihad), maka bagaimana
metode perang dimaknai, apakah bersifat defensive atau offensive.
Menurut firestone ada empat tingkatan untuk mengklasifikasi metode perang yang
terdapat di dalam al-Qurn sebagai bentuk dari violent jihad, empat tingkatan ini
berkembang secara evolusi, yaitu tingkat selanjutnya menggantikan metode tingkat
sebelumnya. Tingkat pertama adalah metode non-konfrontasi yang menyatakan bahwa
perilaku musuh Islam tidak perlu diindahkan dan dianjurkan untuk berpaling dari mereka, 18
tingkat kedua adalah perang secara defensif yang menggunakan violent jihad sebagai cara
membela diri dari serangan musuh,

19

tingkat ketiga metode penyerangan sebagai bentuk

pembalasan terhadap perilaku yang telah dilakukan oleh musuh terhadap umat Islam,

20

tingkat keempat adalah metode violent jihad sebagai perintah untuk memerangi kelompok
yang tidak beriman.21 Pandangan firestone di atas walaupun sering ditentang karena
Fred Donner, Narratives of Islamic Origins: The Beginnings of Islamic Historical Writting,
Studies in Late Antiquity and Early islam, No. 14, (Darwin Press)
12
Al-Quran 2:218; 5:35-54; 8:72-74; 9:19-20;16:110; 22:78-79; 25:52; 29:6-8; 47:31; 49:15;
60:1; 66:9.
13
Al-Quran 3:142; 4:95; 9:16-24-41-81-88; 61:11.
14
Al-Quran 29:8, 31:15.
15
Al-Quran 5:53; 6:109; 16:38; 24:53; 35:42.
16
Al-Quran 9: 79.
17
Muhammad Abdel Haleem, Understanding the Quran, (London: Tauris, 1999) hlm. 62.
Lihat juga: Zfir Al-Qsim, Al-Jihd wa al-Huqq al-Dawliyyah al-mmah f al-Islm,
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1982), hlm. 107-109.
18
Al-Quran 15: 94-95.
19
Al-Quran 22: 39-49 dan 16:125.
20
Al-Quran 2: 217 dan 2: 191.
21
Al-Quran 2:216, 9:5, dan 9:29.
4
11

menggunakan beberapa ayat yang tidak dalam konteks perang sebagai landasan pembagian
metode perang di dalam al-Qurn, tetapi pandangan tersebut paling tidak mewakili sebagian
opini outsider dalam memahami justifikasi perang di dalam al-Qurn.
Salah satu sebab yang melandasi pandangan dunia internasional tentang adanya
hubungan yang erat antara Islam dan tindak kekerasan dan terorisme adalah bahwa jihad
secara violent dibolehkan di dalam al-Qurn, pandangan tersebut didasari atas adanya ayatayat di dalam al-Qurn yang disebut ayat-ayat jihad ( sword verse/ yt al-Qatl wa al-Qitl)
yang memerintahkan orang muslim untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman. 22
Banyak perbedaan tentang ayat mana saja yang termasuk di dalam ayat-ayat jihad ini, tetapi
salah satu ayat yang paling populer sebagai ayat jihad adalah ayat 5 dari surat at-Taubah.23
Di dalam ayat 5 surat at-Taubah diterangkan bahwa memerangi non-muslim yang
memusuhi Islam harus sudah dihentikan jika mereka bertaubat ( / repent). Terdapat
berbagai penafsiran tentang hal ini, sebagian berpendapat yang dimaksud dengan bertaubat
adalah bahwa mereka telah menghentikan penganiayaan terhadap kaum Muslim, secara lebih
luas diterangkan bahwa mereka telah memberikan kebebasan kepada kaum muslim untuk
melaksanakan kewajiban agama mereka tanpa dihalang-halangi.24 Sebagian menafsirkan
bahwa bertaubat di sini bermakna bahwa non-muslim telah meninggalkan kepercayaan
mereka yang lama dan masuk Islam, dapat dimaknai bahwa metode violent jihad dengan
memerangi mereka dapat dilakukan hingga kelompok non-muslim memeluk Islam yang
berarti bahwa memerangi kelompok non-muslim dapat dimaknai secara ofensif. 25 Berbeda
dengan penafsiran sebelumnya yang memaknai bahwa bertaubat diartikan dengan
penghentian penganiayaan oleh non-Muslim terhadap kaum Muslim, maka di sini berarti
Pendapat ulama moderat umumnya menyatakan bahwa Islam tidak mengajarkan tindak
kekerasan sebagai solusi atas permasalahan, tetapi dalam beberapa kondisi Islam membolehkan
penggunaan kekuatan sebagai bentuk pembelaan diri, membela agama , dan membela masyarakat
Islam. Kondisi ini yang kemudian digunakan sebagian kelompok untuk membenarkan penggunaan
tindakan kekerasan sebagai solusi atas permasalahan yang dipandang tidak seimbang.
Lihat: John L. Esposito, What Everyone needs to Know about Islam ... hlm. 127.
23
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu
dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat
pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha
Penyayang.
24
Jall al-Dn Al-Suyt. Al-Durr al-Manthr, (Beirut: Dr al-Fikr, 1993), jilid 4, hlm. 132.
Muhammad ibn Ahmad al-Ansr Al-Qurtub, Al-Jmi li-Ahkm al-Qurn. (Kairo: Dr al-Shab),
jilid 8, hlm. 74.
25
Muhammad Rashd Ridh, afsr al-Qurn al-Hakm: Al-Shahr bi-afsr al-Manr. (Kairo:
Dr al-Manr), jilid 10, hlm, 201
5
22

memerangi non-muslim dapat dilakukan dengan jihad yang bersifat defensif. Al-Qaradhwi
menggarisbawahi bahwa kelompok non-muslim yang boleh diperangi adalah hanya mereka
yang memusuhi kaum Muslim, berarti tidak terdapat pembenaran di dalam al-Qurn untuk
memerangi kelompok non-Muslim yang tidak memerangi Islam.26
Tidak mudah menafsirkan sebuah teks yang ada di dalam masyarakat yang telah
mengalami perubahan sosial seperti al-Qurn, karena tidak jarang makna dari penafsiran
sudah ada sebelum penafsir melakukan penafsirannya, artinya penafsir mempunyai dugaandugaan makna yang merupakan kreatifitas penafsir atas teks yang ditafsirkannya sehingga
setiap penafsir bisa menghasilkan makna yang berbeda walaupun teks yang ditafsirkan
sama.27 Hubungan antara makna ayat al-Qurn dengan perilaku seseroang dapat dipengaruhi
oleh pemahamannya terhadap makna yang dihasilkan dari sebuah penafsiran, karena
pemahaman yang berbeda tentang penafsiran di dalam ayat al-Qurn melahirkan tindakan
sosial yang berbeda pula. Perbedaan pemahaman terhadap penafsiran ayat-ayat jihad di dalam
al-Qurn juga melahirkan perilaku yang berbeda tentang penggunaan metode violent jihad
sebagai solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan, untuk mendekati makna penafsiran
kepada maksud sebenarnya dari teks, maka metode penafsiran al-Qurn akan lebih
komprehensif jika memperhatikan beberapa aspek inti, aspek dunia teks, aspek dunia
pengarang, dan aspek dunia pembaca. Jika tiga aspek tersebut diperhatikan maka dapat
diketahui bagaimana maksud pengarang dan penafsir akan teks terkait dengan konteks ayatayat diturunkan.
C. Efektifitas Violent dan Non-violent Jihad
Perkembangan dunia saat ini mempengaruhi metode jihad yang dilakukan kaum muslim
dalam tujuan meninggikan kalimat Allah, menebarkan ajaran Islam tidak hanya dapat
dilakukan didasarkan pada teks yang terdapat di dalam al-Qurn dan Hadist, tetapi juga
dilakukan dalam konteks yang sejalan dengan kondisi ruang dan waktu. Al-Qurn ditafsirkan
telah menjelaskan beberapa macam metode yang dapat digunakan dalam jihad. Ibn al-Jauz
mengulas macam metode jihad didasarkan atas penafsiran para ahli tafsir yang ia simpulkan
bahwa jihad dapat dilakukan baik dengan kekerasan atau tidak dengan kekerasan.28

Al-Qaradhwi, Fiqh al-Jihd: dirsah Muqranah li akmih wa falsafatih f dau


al-Qurn
wa al-Sunnah, ( Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), jilid 1, hlm. 296.
27
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, (Jakarta: LP3ES, 1990),
hlm. 67.
28
Ibn al-Jauz, Nuzhatu al-Ayun wa an-Nawdzir fi Ilm al-Wujh wa an-Nadzir, (Beirut:
Muassasah Rislah, 1987), hlm. 231-232.
6
26

Mengambil contoh dari permisalan perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel di dalam
perkembangan dunia internasional akhir-akhir ini yang umumnya diibaratkan sebagai bentuk
jihad, jika perlawanan tersebut dapat dikategorikan sebgai bentuk jihad yang dibenarkan oleh
Islam, maka perlawanan tersebut menjadi model penggunaan segala metode jihad, baik yang
berbentuk kekerasan (violent) maupun tidak dengan kekerasan (non-vilence). Sepanjang
sejarah perlawanan Palestina terhadap Israel dikenal adanya media yang disebut Intifda.
29
Menjadi perdebatan seirus ketika perlawanan Palestina terhadap Israel ditempuh dengan jalan
violent-jihad, karena kekuatan Palestina tersebar kepada kelompok-kelompok militan,
HAMAS, FATAH, PLO, tidak teroganisir, tidak terlatih secara professional sebagai kekuatan
militer, dan tidak diakui secara internasional sebagai sebuah subjek yang legal sedangkan
kekuatan militer Israel secara struktural mempunyai anggaran dana yang jelas, kepemimpinan
yang teroganisir di bawah pemerintahan yang sah menurut Hukum Internasional. Dua
kekuatan yang tidak dapat diperbandingkan.
Intifda pertama berlangsung sejak 1987 hingga 1993, latar belakangnya adalah
kekecewaan rakyat Palestina terhadap kebijakan pemerintahan Israel yang mengusir
pemukiman Palestina ke luar wilayah Palestina, tetapi pemicu utamanya adalah aksi saling
bunuh antara penduduk Palestina dan Israel di tingkat sipil yang meningkat menuju tingkat
militer. PLO gerakan pembebasan Palestina yang dipimpin Yasser Afarat dianggap lebih
mengutamakan penggunaan metode non-violent dalam melakukan pembebasan Palestina
walaupun secara intelijen mereka juga menjadi target mossad, metode diplomasi yang
dibangun PLO dinilai mampu mencapai target-target yang diharapkan walaupun
perkembangannya sangat lamban.30 Jalur diplomasi digunakan yang digunakan PLO mampu
menembus opini umum yang ada di Eropa, dunia Muslim, Amerika, dan bahkan
pemerintahan Israel, cara tersebut mampu menumbuhkan simpati internasional terhadap
keadaan Palestina. Intifda kedua yang dimulai pada tahun 2000 sebagai respon dari
kebijakan Ariel Sharon yang saat itu menjabat menteri pertahanan Israel, merubah haluan
strategi intifdah,
ketika intifda

pertama perlawanan kekuatan dengan pengerahan

kelompok militan yang menyerang target-target militer, di intifda kedua muncul strategi
intifda dikenal dengan gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di
wilayah Palestina. intifda pertama berlangsung sejak Desember 1987 hingga 1993. Gerakan intifda
pertama dilatar belakangi oleh kekecewaan rakyat Palestina terhadap kebijakan Pemerintahan Israel
yang memindahkan pemukiman Paletina ke luar wilayah Palestina.
30
Kebijakan PLO saat itu lebih disebabkan karena secara politik dan financial sedang lemah.
Lihat: Gilles Kepel, Jihad: he rail of Political Islam, (Massachusetts: Harvard University
Press, 2002), hlm. 323-325.
7
29

ekstrim seperti penyerangan dengan target fasilitas umum, masyarakat publik bukan hanya
militer, dengan berbagai cara, umumnya dengan peluncuran roket dan bom bunuh diri.
Perjalanan intifda kedua walaupun di awal deklarasinya mampu menumbuhkan simpati luar
biasa dari dunia muslim sehingga pada KTT Negara-negara Arab yang dilaksanakan pada
bulan September 2000 di Kairo mendapat dukungan dari mayoritas peserta, tetapi selang
setahun kemudian pasca kejadian 11 September 2001 yang melahirkan pandangan negatif
tentang adanya hubungan Islam dan terorisme menjadikan gerakan intifd a dua tersingkirkan
dari perhatian dan dianggap oleh dunia internasional gerakan intifd a palestina yang
diprakarsai Hamas mempunyai relasi erat dengan jaringan Al-Qaeda yang melaksanakan
pengeboman di persitiwa 9 September 2001. 31
Dari sampel gerakan perlawanan Palestina terhadap Israel, yang dilakukan baik nonviolent dan violent, menunjukkan bahwa penggunaan jihad dengan metode violent di dalam
perkembangn politik dan Hukum Internasional saat ini menjadi counter-produktif. Metode
violent tidak hanya mengaburkan target dan menggagalkan tujuan jihad, tetapi juga justeru
menjadi bumerang bagi tujuan jihad. Alih-alih ingin merealisasikan kemenangan, tetapi
justeru digunakan lawan sebagai alat propaganda yang menyetarakan intifd a dengan gerakan
terorisme yang harus dimusuhi oleh dunia karena target penyerangannya massif acak dan
tidak manusiawi bahkan HAMAS yang sejatinya adalah gerakan politik internal Palestina,
dimasukkan sebagai salah satu gerakan terorisme. Tahun 2006, Ketika representasi HAMAS
Ismail Haniyah terpilih sebagai pimpinan maka seluruh kebijakan Palestina yang sebelumnya
sebagaian mendapat simpati dari beberapa negara justru tidak diakui secara internasional dan
dianggap bahwa membangun perdamaian Palestina-Israel adalah hal yang tidak mungkin
dilakukan karena kebijakan pemerintahan Palestina di bawah Ismail Haniyah dianggap
sebagai bentuk dari kebijakan negara teror.32
Sebagai justifikasi bahwa non-violent jihad tidak hanya lebih efektif, tetapi juga terdapat
ajaran agama yang diambil dari sumber literatur Islam menyatakan bahwa non-violent jihad
dalam kondisi tertentu mempunyai posisi lebih utama dari pada violent jihad. Benar bahwa
di dalam sejarah peperangan permulaan Islam di Mekkah dan Madinah, Nabi tidak
melakukan perang kecuali untuk melindungi hak-hak fundamental yang berhubungan dengan
De Soto, 2007, End of Mission report, retrieved 9 agustus 2007, hlm. 40-50.
Laporan lengkap, lihat di:
http://image.guardian.co.uk/sys-files/Guardian/documents/2007/06/12/DeSotoReport.pdf
32
Halim Rane, Reconstructuring Jihad amid Competing International Norms: Implications for
a Resolution of the Israel-Palestine Conflict, (Queensland: Disertasi Doktoral Griffith University,
2008), hlm. 167-168.
8
31

keselamatan hidup, harta, kehormatan, dan kebebasan dalam berkeyakinan. 33 Ajaran Islam
juga mengajarkan untuk tidak melakukan peperangan hanya karena lawannya adalah nonIslam atau berkeyakinan berbeda dengan Islam. Tetapi faktor-faktor lain yang mendukung
perlawanan juga harus diperhatikan, seperti kesiapan fisik dan psikis yang tidak dapat
dibangun secara instan, Nabi sendiri tidak memerangi kaum Quraish ketika awal penyebaran
Islam, tetapi diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah yang jika dipahami dari sisi strategi
perlawanan maka ini dapat dikategorikan ke dalam metode mengumpulkan kekuatan.
Hematnya, ada agenda yang sangat banyak dan harus diselesaikan sebelum metode violent
jihad dijadikan strategi idola untuk menyelesaikan permasalahan umat Islam.
D. Jihad, Balance Power, dan Hukum Internasional
Satu pedoman yang jelas dan disepakati oleh setiap muslim bahwa sumber-sumber Islam,
al-Qurn dan Hadist, menerangkan bahwa jihad sebagai sebuah usaha yang sungguhsungguh untuk menegakkan Islam tidak pernah berhenti sampai akhir zaman, 34 tetapi perlu
menjadi perhatian ketika jihad dilakukan dengan cara kekerasan (violent) maka di sini mulai
terdapat perbedaan pandangan. Sepanjang sejarah lahirnya gerakan-gerakan jihad yang
menggunakan metode kekerasan (violent) hasil yang ditunjukkan justeru tidak efektif,
sebagaimana permisalan gerakan perlawanan Palestina yang dicontohkan pada intifda,

karena pada akhirnya berbagai gerakan violent jihad berakhir dengan eliminasi individu atau
kelompok-kelompok jihadis yang berakibat pada antipati masyarakat dunia terhadap metode
yang digunakan. Pandangan negatif bukan hanya muncul dari kalangan non-muslim tetapi
juga dari masyarakat muslim yang mengutamakan penggunaan metode non-violent jihad
dalam mengatasi permasalahan umat. Pandangan antipati terhadap metode violent jihad tidak
hanya ditujukan kepada individu atau kelompok pelaku saja, tetapi Islam sebagai sebuah
agama yang mulia juga tercoreng, karena masyarakat awam berpandangan bahwa Islam
dianggap sebagai agama yang destruktif dan melandasi gerakan violent jihad.
Tindakan violent jihad sering dilakukan sebagai respon atas tidak efektifnya tata laksana
di dalam etika kemanusiaan dalam skala internasional yang mengatur hubungan setiap subjek
dibawahnya, khususnya pasca perang dingin yang melahirkan hegemoni dunia di bawah
kekuatan tunggal Amerika, sayangnya tindakan violent jihad justeru memperlihatkan sikap
dan respon yang apatis. Kelompok pendukung violent jihad menganggap bahwa cara dalam
Jihad and he Islamic Law of War, (Yordania: The Royal Aal-Bayt Institute for Islamic
Thought, 2009), hlm. 7-8.
34
Mohammed Umar Bazamul, al-Jihdu tarfuh anwuh wa dhawbituh f dhau al-Kitb
wa sunnah, hlm. 57.
9
33

merespon masalah-masalah social, ketidakadilan, hegemoni barat, kemanusiaan, hanya dapat


efektif dengan menggunakan kekerasan seperti pengeboman, teror, pembajakan, dan metode
perang lain yang dianjurkan oleh agama.35
Perlu adanya pemahaman terhadap konstelasi etika internasional tentang aspek legalitas
penggunaan kekerasan atau kekuatan di dalam Hukum Internasional untuk dapat memetakan
justifikasi penggunaan violent jihad sebagai metodeata untuk merespon permasalahan sosial
internasional. Mengacu pada kaidah Hukum Internasional bahwa penggunaan kekuatan (he
Use of Force) tidak dapat ditoleransi di dalam hubungan transnasional,36 tetapi diperbolehkan
penggunaannya hanya untuk kondisi tertentu seperti pembelaan diri (self-defense) yang
mengacu pada pasal 51 Piagam PBB.37 Dapat dipahami bahwa menggunakan kekerasan
dalam sekup transnasional dapat menimbulkan ancaman serius bagi pelakunya kecuali
tindakan tersebut didasarkan pada prinsip yang diperbolehkan di dalam aturan internasional,
contoh pembelaan diri (self-defense) sebagaimana dipahami didalam penjelasan pasal 51
Piagam PBB.
Banyak yang mempertanyakan, mengapa penggunaan kekuatan yang dilakukan negaranegara aliansi barat dapat dibenarkan secara legal di dalam Hukum Internasional sedangkan
penggunaan kekuatan oleh negara Muslim atau kelompok-kelompok militan tidak dapat
pembenaran yang sama, apakah landasannya politik atau faktor legalitas? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut perlu melihat kembali pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan bahwa
pengambilan kebijakan dalam merespon penggunaan kekuatan adalah hak Dewan Keamanan
PBB dan bisa berpindah kepada sebuah negara jika ancaman penggunaan kekuatan terbukti
nyata. Landasan untuk menyatakan tindakan penggunaan kekuatan dinilai legal atau tidak
adalah pasal 1 Piagam PBB yang menyatakan penggunaan kekuatan legal jika bertujuan
untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia (to maintain international peace and
Zulfi Mubaraq, Tafsir Jihad: menyingkap Tabir Fenomena Terorisme Gobal, (Malang: UIN
MALIKI Press, 2011) hlm. 348.
36
Pasal 2 (4) Piagam PBB menyebutkan: All Members shall refrain in their
internationalrelations from the threat or use of forceagainst the territorial integrity or political
independenceof any state, or in any other mannerinconsistent with the Purposes of the
UnitedNations.
37
Pasal 51 Piagam PBB: Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of
individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of the United
Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace
and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defense shall be
immediately reported to the SecurityCouncil and shall not in any way affect the authority and
responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it
deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.
Lihat naskah Piagam PBB di:
https://treaties.un.org/doc/publication/ctc/uncharter.pdf
10
35

security), dan menjadi tidak legal jika mengancam atau melanggar perdamaian (threads to
the peace or breaches of the peace).
Tindakan penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok militan, baik
jihadis atau bukan, muslim atau non-muslim, secara umum dikategorikan sebagai bentuk
tindak terror atau tindak penyusupan (infiltration) yang dilihat dari aspek Hukum
Internasional tidak legal. Merujuk pada resolusi PBB nomor 3314 tahun 1974 pasal 3 (f) dan
(g) yang menyatakan:
he action of a state in allowing its territory, which has been placed at the disposal of
another State, to be used by that other State for perpetrating an act of aggression
against a third State;
he sending by or on behalf of a State of armed bands, Groups, irregular or
mercenaries, which carry out acts of armed force against another State of such gravity
as to the acts listed above, or its substantial involvement therein ... shall ... qualify as
an act of aggression...38
Resolusi tersebut menyatakan bahwa gerakan kelompok yang menggunakan kekerasan
dengan target negara tertentu dapat diklasifikasikan sebagai tindak agresi. Sepanjang sejarah
perkembangan Piagam PBB sejak terbentuknya hingga saat ini telah enam kali menggunakan
landasan self-defense sebagai ustifikasi penggunaan kekuatan untuk memerangi kelompok
terror dan infiltrasi. 39
Menganalisa hubungan antara sekup hukum dan sekup politik di dalam etika
transnasional untuk menjawab permasalahan violent jihad perlu memahami teori balance
power yang sering digunakan sebagai media dalam memelihara perdamaian dunia. Balance
power bermakna kekuatan yang seimbang. Teori ini didasarkan atas peribahasa latin Si Vis
Pacem, Para Bellum/ if you want peace, prepare war yang diartikan jika ingin damai,
bersiaplah perang.40 Teori Balance power muncul sebagai respon dari institusi hukum
internasional yang tidak efektif, teori ini berangkat dari pengumpamaan dunia dalam keadaan
Resolusi PBB Nomor 3314, 14 desember 1974 tentang definisi agresi, Lebih lengkap isi
resolusi lihat di:
http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/023B908017CFB94385256EF4006EBB2A
39
Enam kasus yang dianggap termasuk di dalam kategori penggunaan metode teror dan
infiltrasi:
1.
Kasus Israel-Mesir tahun 1956.
2.
Kasus organisasi negara-negara Amerika (OAS) Republik Dominika tahun 1960.
3.
Kasus Israel Libanon tahun 1982.
4.
Kasus Amerika Serikat Nikaragua tahun 1986.
5.
Kasus Turki Irak tahun 1995.
6.
Kasus Amerika Serikat Al-Qaeda tahun 2001.
Lihat: Thomas M. Franck, Recourse to Force: State Action Against hreats and Armed Attacks,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005) hlm. 53 68.
11
38

anarkis yang menyebabkan negara bertindak dibawah kecenderungan alami pada kekuatan
militer masing-masing, baik untuk memecahkan masalah, atau untuk memperluas pengaruh
sehingga berindikasi mengganggu ketertiban internasional.41 Dari sudut pandang yang
berbeda, Bull berpendapat bahwa teori balance power muncul karena kaedah hukum
internasional

terkadang

justeru

menghalangi

langkah

dalam

menjaga

ketertiban

internasional.42 Teori keseimbangan kekuatan ini menuntut adanya keseimbangan kekuatan di


antara negara-negara dunia yang tidak hanya meliputi kekuatan militer saja, walaupun itu
yang utama, tetapi juga mencakup seluruh komponen kekuatan negara, ekonomi, politik,
budaya, yang pada akhirnya melahirkan pengaruh terhadap negara lainnya. Teori ini dapat
dilaksanakan melalui beberapa metode, penyerangan sebagai pembelaan, penjatuhan sanksisanksi internasional baik berbentuk ekonomi maupun politik, mengintervensi negara lain
melalui berbegai media, kemanusiaan, militer, hukum, atau motif lain yang dapat
melandasinya.43
Dari sekilas pembahasan teori balance power, ada sebuah sudut pandang yang dapat
ditawarkan untuk mengganti violent jihad sebagai metode untuk menyelesaikan masalah umat
Islam. Jika di dalam penafsiran kata fa in tb di dalam ayat 5 surah at-Tawbah
memunculkan dua metode penggunaan perang, yaitu defensif dan ofensif, maka melalui teori
keseimbangan kekuatan ini jihad yang dimaknai perang dapat dilakukan secara defensively
offensive, bersifat bertahan tetapi juga sebagai bentuk penyerangan. Untuk memahami jihad
sebagai respon terhadap permasalahan sosial, penggambaran ini diharapkan dapat
memperjelas hubungan dan konteks dari violent dan non-violent jihad.

Jika dikontekstualisasikan dengan ajaran Islam, istilah tersebut mungkin lebih sesuai dengan
penafsiran ayat 60 surah al-Anfl.


Diartikan : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
41
Claude, States and the Global system,(Mc Millan Press, 1988).
42
Bull Hedley, he Anarchical Society, (MacMillan, 1995) hlm.138.
43
Thomas M. Franck, Recourse to Force ...hlm. 70 74.
12
40

Problems:
Social, economic, politic, law
enforcement, basic rights, etc.

Apathive respons:
Violent Jihad:
suicide bomb, blowing cars,
public facility etc.

Constructive repons:
Non-Violent Jihad:
Diplomacy, strengthen
economic, building
Potention quality

Results:
reject to enter to the System
Empowering human source
Temporary
Destructing power
Illegal movement

Results:
Able to enter to the system
Empowering whole sources
Unended
Balancing power
Legal movement

E. Penutup
Pembahasan jihad di dalam khazanah Islam selalu menarik untuk dikaji, pertanyaan
tentang what is jihad? Does Islam support radicalism? Merupakan pertanyaan yang
mendekatkan antara jihad dengan kekerasan, sehingga pertanyaan selanjutnya seharusnya
adalah: Bagaimana mereka memahami jihad? Benarkah jihad selalu dimaknai dengan
kekerasan? Dan mengapa kekerasan atas nama jihad selalu illegal, tetapi atas nama
kemanusiaan menjadi legal? Jihad, yang merupakan satu dari sekian banyak solusi yang
ditawarkan oleh Islam dalam menyelesaikan permasalahan umat, jika dimaknai secara
benar dan menyeluruh menyesuaikan konteks setiap permasalahan yang dihadapi, maka
jihad menjadi metode yang efektif untuk memecahkan problematika yang tidak pernah
terpecahkan. Perbedaan pemahaman atas penafsiran yang bermacam-macam terhadap
ayat-ayat jihad merupakan alasan utama yang dapat menjelaskan mengapa pemaknaan
dan pelaksanaan jihad oleh setiap kelompok di dalam Islam berbeda-beda. Ada satu
kesepakatan, bahwa jihad sebagai sebuah metode dakwah, syiar, kesungguhan
mengembangkan potensi, penyelesaian masalah, dan bentuk penafsiran positif lainnnya,
tidak akan berakhir hingga akhir zaman. Perbedaan terletak pada bentuk pelaksanaan
jihad.
13

Makalah ini mencoba memetakan jihad dalam bentuk kesungguhan menyelesaikan


masalah

sesuai

dengan

perkembangan

kondisi

setiap

zaman,

karena

dalam

pelaksanannya, jihad tidak bisa hanya dipahami dari sudut pandang insider saja, tetapi
perlu memahami sudut pandang outsider terhadap makna jihad, dalam makalah ini
mencoba mengkontekstualisasikan jika jihad dimaknai insider sebagai perang
(penggunaan kekuatan) maka harus memperhatikan aspek legalitas penggunaan kekuatan
yang dimaksud di dalam etika internasional sehingga metode jihad tidak menjadi blunder,
alih-alih meninggikan agama Allah tetapi justeru merendahkan Islam tidak hanya di mata
non-muslim tetapi juga di kalangan muslim sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdel Haleem, Muhammad, Understanding the Quran, London: Tauris, 1999.
2. Abou Al-Fadl, Khaled, The Rules of Killing at War: An Inquiry into Classical
Sources, he Muslim World, Vol. LXXXIX, No. 2, April, 1999.
3. Al-Bt ,Muhammad Sad Ramadhn, Al-Jihd f al-Islm: Kaifa Nafhamuh Wa
Kaifa Numrisuh?, Damaskus: Dr al-Fikr, 2006.
4. Al-Dawoody, Ahmed Mohsen, War in Islamic Law: Justifications and Regulations,
Birmingham: Disertasi Doktor University of Birmingham, 2009.
5. Al-Jauz, Ibn al-Qayim, Nuzhatu al-Ayun wa an-Nawdzir fi Ilm al-Wujh wa anNadzir, Beirut: Muassasah Rislah, 1987.
6. Al-Mandhr , Ibn, Lisn al-Arab, Beirut: Dar Shadir, 1993 M/ 1414 H.
7. Al-Qaradhwi, Yusuf, Fiqh al-Jihd: dirsah Muqranah li akmih wa falsafatih f
dau
al-Qurn wa al-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2010.
8. Al-Qsim, Zfir, Al-Jihd wa al-Huqq al-Dawliyyah al-mmah f al-Islm, Beirut:
Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1982.
9. Al-Qurtub, Muhammad ibn Ahmad al-Ansr, Al-Jmi li-Ahkm al-Qurn, Kairo:
Dr al-Shab..
10. Al-Sumaih, Abdulrahman Muhammad, he Sunni Concept of Jihad in Classical Fiqh
and Modern Islamic hought, Newcastle: Disertasi Doktor University of Newcastle,
1998.
11. Al-Suyt , Jall al-Dn, Al-Durr al-Manthr, Beirut: Dr al-Fikr, 1993.
12. Claude, States and the Global system, Mc Millan Press, 1988.
13. De Soto, Alvaro, End of Mission report, diserahkan pada 9 agustus 2007.
14. Donner, Fred, Narratives of Islamic Origins: The Beginnings of Islamic Historical
Writting, Studies in Late Antiquity and Early Islam, No. 14, Darwin Press.
15. Esposito, John L., What Everyone Need to Know about Islam: Answers to Frequently
Asked Questions From One of Americas Leading Experts, Oxford: Oxford University
Press, 2002.
16. Franck, Thomas M., Recourse to Force: State Action Against hreats and Armed
Attacks, Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
14

17. Ghunaim, Muhammad Talaat, he Muslim Conception of International Law and he


Western Approach, Netherland: Martinus Nijhoff, 1978.
18. Hedley, Bull, he Anarchical Society, MacMillan, 1995.
19. Jihad and the Islamic law of war, Jordan: The Royal Aal-Bayt Institute For Islamic
Thought, 2009.
20. Johnson, James Turner, he Holy War Idea in Western and Islamic raditions,
Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 1997.
21. Khaddr, Majd, War and Peace in he Law of Islam, Virginia: The John Hopkins
Press, 1955.
22. Luckmann, Peter L. Berger & Thomas, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Jakarta: LP3ES,
1990.
23. Mubaraq, Zulfi, Tafsir Jihad: menyingkap Tabir Fenomena Terorisme Gobal, Malang:
UIN MALIKI Press, 2011.
24. Rane, Halim, Reconstructuring Jihad amid Competing International Norms:
Implications for a Resolution of the Israel-Palestine Conflict, Queensland: Disertasi
Doktoral Griffith University, 2008.
25. Resolusi PBB nomor 3314 tahun 1974 tentang definisi Agresi.
26. Ridh, Muhammad Rashd, afsr al-Qurn al-Hakm: Al-Shahr bi-afsr al-Manr,
Kairo: Dr al-Manr.

15

Anda mungkin juga menyukai