PENDAHULUAN
Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada
penderita yang berkunjung ke praktek. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan
masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta
yang paling sering ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang
berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya,
menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi,
kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri
sendiri atau orang lain (Japardi,2002).
Diperkirakan 50 hingga 70 juta orang di Amerika menderita gangguan tidur kronis
sehingga mempengaruhi kesehatan serta aktivitas keseharian. Akumulasi dari gangguan tidur
yang berkepanjangan sangat erat dengan timbulnya gangguan somatis seperti hipertensi,
diabetes, obesitas, depresi, serangan jantung, serta stroke. Dari sejumlah individu yang
mengalami gangguan tidur, 3-4 juta diantaranya mengalami obstructive sleep apnea, yakni
gangguan yang ditandai dengan kesulitan bernapas yang disebabkan oleh karena adanya
obstruksi jalan napan dengan konsekuensi yang fatal, hingga dapat mengakibatkan kematian.
Insomnia kronik menyerang lebih dari 10% penduduk Amerika Serikat (colten, 2006).
Menurut beberapa peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali
lebih sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada orang yang tidurnya cukup.
Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap tahun semakin lama semakin
meningkat sehingga menimbulkan maslah kesehatan. Di dalam praktek sehari-hari,
kecendrungan untuk mempergunakan obat hipnotik, tanpa menentukan lebih dahulu
penyebab yang mendasari penyakitnya, sehingga sering menimbulkan masalah yang baru
akibat penggunaan obat yang tidak adekuat. Melihat hal diatas, jelas bahwa gangguan tidur
merupakan masalah kesehatan yang akan dihadapkan pada tahun-tahun yang akan datang
(Meadows R. 2005).
80
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya
waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior
hypothalamus. Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak
pada substansia ventrikulo retikularis medulo oblogata yang disebut sebagai pusat tidur.
81
perbedaan
karakterisitk
tiap
stadium
dari
tidur
menggunkan
electroencephalography (EEG). Hal ini merupakan era awal dimana tidur tidak hanya di
dipelajari secara kuantitatif ( seperti berapa lama tidur) tetapi juga secara kualitatif (seperti
bagaimana tidur yang baik) (Ruey-Kuang Cheng, 2009).
Pada pola tidur manusia yang dipelajari menggunakan EEG dan electrooculography
(EOG), tidur dapat klasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian
antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16- 20 jam/hari, anak-anak 10-12
jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5
jam/hari pada orang dewasa (Ruey-Kuang Cheng, 2009).
82
1.
Dissomnia
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran menjadi jatuh tidur
(failling as sleep), mengalami gangguan selama tidur (difficulty in staying as sleep),
bangun terlalu dini atau kombinasi dintaranya.
a.
85
86
Apnea sentral sering terjadi pada usia lanjut, yang ditandai dengan
intermiten penurunan kemampuan respirasi akibat penurunan saturasi oksigen.
Apnea sentral ditandai oleh terhentinya aliran udara dan usaha pernafasan secara
periodik selama tidur, sehingga pergerakan dada dan dinding perut menghilang.
Hal ini kemungkinan kerusakan pada batangotak atau hiperkapnia. Gangguan
saluran nafas (upper airway obstructive) pada saat tidur ditandai dengan
peningkatan pernafasan selama apnea, peningkatan usaha otot dada dan dinding
perut dengan tujuan memaksa udara masuk melalui obstruksi. Gangguan ini
semakin berat bila memasuki fase REM. Gangguan saluran nafas ini ditandai
dengan nafas megap-megap atau mendengkur pada saat tidur. Mendengkur ini
berlangsung 3-6 kali bersuara kemudian menghilang dan berulang setiap 20-50
detik.
Serangan apnea pada saat pasien tidak mendengkur. Akibat hipoksia atau
hipercapnea, menyebabkan respirasi lebih aktif yang diaktifkan oleh formasi
retikularis dan pusat respirasi medula, dengan akibat pasien terjaga dan respirasi
kembali normal secara reflek. Baik pada sentral atau obstruksi apnea, pasien
sering terbangun berulang kali dimalam hari, yang kadang-kadang sulit kembali
untuk jatuh tidur. Gangguan ini sering ditandai dengan nyeri kepala atau tidak
enak perasaan pada pagi hari. Pada anak-anak sering berhubungan dengan
gangguan kongenital saluran nafas, dysotonomi syndrome, adenotonsilar
hypertropi. Pada orang dewasa obstruksi saluran nafas septal defek, hipotiroid,
atau bradikardi, gangguan jantung, PPOK, hipertensi, stroke, GBS, arnord chiari
malformation (Sateia, 2009).
5) Paska trauma kepala
Sebagian besar pasien dengan paska trauma kepala sering mengeluh gangguan
tidur. Jarak waktu antara trauma kepala dengan timbulnya keluhan gangguan
tidur setelah 2-3 tahun kemudian. Pada gambaran polysomnography tampak
penurunan fase REM dan peningkatan sejumlah fase jaga. Hal ini juga
menunjukkan bahwa fase koma (trauma kepala) sangat berperan dalam
penentuan kelainan tidur. Pada penelitian terakhir menunjukkan pasien tampak
selalu mengantuk berlebih sepanjang hari tanpa diikuti oleh fase onset REM.
87
88
3) Tipe pergeseran kerja (shift work type). Pergeseran kerja terjadi pada orang tg secara
teratur dan cepat mengubah jadwal kerja sehingga akan mempengaruhi jadwal tidur.
Gejala ini sering timbul bersama-sama dengan gangguan somatik seperti ulkus
peptikum. Gambarannya berupa pola irreguler atau mungkin pola tidur normal dengan
onset tidur fase REM.
4) Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase syndrome).
Tipe ini sangat jarang, lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut,dimana onset
tidur pada pukul 6-8 malam dan terbangun antara pukul 1-3 pagi. Walaupun pasien ini
merasa cukup ubtuk waktu tidurnya. Gambaran tidur tampak normal tetapi
penempatan jadwal irama tidur sirkadian yang tdk sesuai.
5) Tipe bangun-tidur beraturan.
6) Tipe tidak tidur-bangun dalam 24 jam (Harrison et al., 2009).
c.
d.
89
e.
Obat-obatan
Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti penggunaan obat stimulan
yang kronik (amphetamine, kaffein, nikotine), antihipertensi, antidepresan, antiparkinson,
antihistamin, antikholinergik. Obat ini dapat menimbulkan terputus-outus fase tidur
REM.
2.
Parasomnia
Yaitu merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadian-kejadian episode yang
berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau pada waktu antara bangun dan tidur.
Kasus ini sering berhubungan dengan gangguan perubahan tingkah laku danaksi motorik
potensial, sehingga sangat potensial menimbulkan angka kesakitan dan kematian, Insidensi
ini sering ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami perbaikan
atau penurunan insidensi pada usia dewasa (3%).
Ada 3 faktor utama presipitasi terjadinya parasomnia yaitu:
a. Peminum alkohol
b. Kurang tidur (sleep deprivation)
c. Stress psikososial
Kelainan ini terletak pada aurosal yang sering terjadi pada stadium transmisi antara
bangun dan tidur. Gambaran berupa aktivitas otot skeletal dan perubahan system otonom.
Gejala khasnya berupa penurunan kesadaran (confuse), dan diikuti aurosal dan amnesia
episode tersebut. Seringkali terjadi pada stadium 3 dan 4.
1. Gangguan tidur berjalan (sleep walking)/somnabulisme
Merupakan gangguan tingkah laku yang sangat komplek termasuk adanya
automatis dan semipurposeful aksi motorik, seperti membuka pintu, menutup pintu,
duduk ditempat tidur, menabrak kursi, berjalan kaki, berbicara. Tingkah laku berjalan
dalam beberapa menit dan kembali tidur. Gambaran tipikal gangguan tingkah laku ini
didapat dengan gelombang tidur yang rendah, berlangsung 1/3 bagian pertama malam
selama tidur NREM pada stadium 3 dan 4. Selama serangan, relatif tidak memberikan
90
respon terhadap usaha orang lain untuk berkomunikasi dengannya dan dapat dibangunkan
susah payah. gelombang rendah. Bahkan tidak didapatkan adanya gelombang alpha.
2. Gangguan teror tidur (sleep terror)
Ditandai dengan pasien mendadak berteriak, suara tangisan dan berdiri ditempat
tidur yang tampak seperti ketakutan dan bergerak-gerak. Serangan ini terjadi sepertiga
malam yang berlangsung selama tidur NREM pada stadium 3 dan 4. Kadang-kadang
penderita tetap terjaga dalam keadaan terdisorientasi, atau sering diikuti tidur berjalan.
Gambaran teror tidur mirip dengan teror berjalan baik secara klinis maupun dalam
pemeriksaan polisomnografy. Teror tidur mungkin mencerminkan suatu kelainan
neurologis minor pada lobus temporalis. Pada kasus ini sering kali terjadi perubahan
sistem otonomnya seperti takhicardi, keringat dingin, pupil dilatasi, dan sesak nafas.
3. Gangguan tidur berhubungan dengan fase REM
Ini meliputi gangguan tingkah laku, mimpi buruk dan gangguan sinus arrest.
Gangguan tingkah laku ini ditandai dengan atonia selama tidur (EMG) dan selanjutnya
terjadi aktifitas motorik yang keras, episode ini sering terjadi pada larut malam (1/2 dari
larut malam) yang disertai dengan ingat mimpi yang jelas. Paling banyak ditemukan pada
laki-laki usia lanjut, gangguan psikiatri atau dengan janis penyakit-penyakit degenerasi,
peminum alkohol. Kemungkinan lesinya terletak pada daerah pons atau juga didapatkan
pada kasus seperti perdarahan subarakhnoid. Gambaran menunjukkan adanya REM burst
dan mioklonik potensial pada rekaman EMG (Harrison et al., 2009).
91
b. Alzheimers Disease
Penyakit Alzheimer adalah gangguan neurodegenerative ditandai dengan
hilangnya memori dan penurunan intelektual yang progresifitasnya sesuai usia dan
disebabkan oleh degenerasi neuron di otak. Diperkirakan sekitar 4 juta orang di
Amerika Serikat menderita penyakit Alzheimer. Sekitar seperempat dari individuindividu ini memiliki gangguan tidur. Penyakit Alzheimer menyebabkan peningkatan
jumlah bangkitan (terbangun) dan mempengaruhi arsitektur tidur seseorang. Sebagai
hasil dari peningkatan durasi dan jumlah dari terbangun, individu menghabiskan
tidurnya di stage1 tidur dan dan terjadi penurunan presentasi dalam stage 2 dan SWS
(slow-wave sleep).
c. Parkinsons Disease
Gangguan tidur berhubungan dengan penyakit Parkinson yang terdiri dari sulit
tidur, nocturnal akinesia, arsitektur tidur berubah, aktivitas motorik abnormal,
gerakan anggota badan periodik, gangguan tidur REM, dan gangguan pernapasan.
Pada siang hari, banyak pasien Parkinson memiliki kantuk yang berlebihan.
Gangguan tidur biasanya akan meningkat dengan perkembangan penyakit. Individu
menderita latensi tidur meningkat dan sering terbangun, menghabiskan sebanyak 30
sampai 40 persen terjaga di malam hari. Hal ini menyebabkan waktu yang dihabiskan
berkurang dalam stage 3 dan 4, tidur REM dan durasi meningkat pada stage 1 dan 2.
d. Epilepsy
Epilepsi mengacu pada sekelompok dari berbagai gangguan yang ditandai
oleh aktivitas listrik abnormal di otak yang terwujud dalam individu sebagai kerugian
atau gangguan kesadaran dan gerakan abnormal dan perilaku. Tidur, kurang tidur, dan
aktivitas kejang erat terjalin. Diperkirakan bahwa epilepsi sleeprelated dapat
mempengaruhi sebanyak 10 persen atau lebih individu epilepsi. Enam puluh persen
individu yang menderita kompleks lokalisasi parsial terkait kejang (21,6 persen dari
populasi epilepsi umum) menunjukkan kejang hanya saat tidur.
Gangguan yang penyebabnya kejang dapat mempengaruhi siklus tidur
seseorang, yang menyebabkan kurang tidur. Demikian pula, tidur dan gangguan tidur
meningkatkan kejadian aktivitas kejang. Tidur yang berhubungan dengan epilepsi
biasanya menyajikan dengan setidaknya dua dari fitur berikut: arousals, tiba-tiba
92
terbangun dari tidur, umum tonik-klonik gerakan anggota badan, gerakan anggota
badan fokal, wajah berkedut, inkontinensia, apnea, lidah menggigit, dan kebingungan
postictal dan kelesuan. Fitur-fitur ini menyebabkan fragmentasi tidur dan kelelahan
siang hari.
Ada sejumlah sindrom epilepsi umum yang bermanifestasi hanya atau
didominasi pada malam hari, termasuk epilepsi lobus frontal malam hari, epilepsi
benign masa kecil dengan spike centrotemporal, awitan dini atau akhir-onset epilepsi
pada anak oksipital, epilepsi mioklonik remaja, dan berkesinambungan lonjakan
gelombang selama tidur non-REM. Nocturnal epilepsi lobus frontal ditandai dengan
gangguan tidur yang parah, luka yang disebabkan oleh gerakan tak terkendali, dan
kejang siang sesekali. Epilepsi mioklonik juvenil ditandai dengan sinkron kontraksi
otot tak sadar yang sering terjadi selama bangun. Kontinyu spike gelombang selama
non-REM epilepsi tidur yang umumnya terkait dengan gangguan neurokognitif dan
kadang-kadang dengan gangguan aktivitas otot dan kontrol.
e. Stroke
Stroke menyebabkan tiba-tiba kehilangan kesadaran, sensasi, dan gerakan
volunter yang disebabkan oleh gangguan aliran darah-dan karena suplai oksigen- ke
otak. Setelah stroke arsitektur tidur individu sering diubah, menyebabkan penurunan
waktu tidur total, tidur REM, dan SWS. Insomnia adalah komplikasi umum dari
stroke yang mungkin timbul dari obat-obatan, tidak aktif, stres, depresi, dan
kerusakan otak.
f. Sleep And Medical Disorders
Sejumlah gangguan medis yang berbeda dan penyakit, dari flu biasa sampai
kanker, sering mengubah siklus tidur-bangun individu. Masalah-masalah tidur sering
hasil dari rasa sakit atau infeksi yang berkaitan dengan kondisi primer. Meskipun
sama-sama diketahui menyebabkan masalah dengan siklus sleepwake, sebagaimana
akan ditunjukkan di bawah ini, sangat sedikit yang masih dikenal tentang etiologi.
1) Nyeri
Nyeri diuraikan sebagai suatu pengalaman akut atau kronis sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang bervariasi dari ketidaknyamanan
membosankan untuk penderitaan tak tertahankan yang berhubungan dengan
93
2) Penyakit Infeksi
Infeksi yang disebabkan oleh strain bakteri, virus, dan parasit dapat
mengakibatkan perubahan pada pola tidur. Meskipun diterima bahwa aktivitas
sistem kekebalan tubuh mempengaruhi siklus tidur-bangun individu, sangat
sedikit yang diketahui tentang bagaimana kedua sistem berinteraksi.
a) Infeksi Bacterial dan Tidur
Infeksi bakteri biasanya menyebabkan peningkatan total waktu yang
dihabiskan pada SWS dan durasi penurunan tidur REM. Perubahan pola tidur
dapat dipengaruhi oleh jenis infeksi bakteri. Sebagai contoh, bakteri gram
negatif menginduksi tidur yang disempurnakan lebih cepat daripada bakteri
gram positif. Perbedaan dalam proses dan perkembangan penyakit juga
mempengaruhi siklus sleepwake.
94
REM.
Seperti
infeksi
berkembang
menjadi
AIDS,
individu
ritme
sirkadian
yang
mempengaruhi
jalur
95
saraf
yang
C. Penegakan diagnosis
1. Screening pasien gangguan tidur
Beberapa pertanyaan untuk melakukan screening gangguan tidur di masyarakat (clear
lake sleep center, 2009) :
1. Apa masalah utama tidur Anda?
2. Siapakah mulanya menduga merupakan masalah tidur?
3. Apakah saat ini Anda memiliki pasangan tidur / teman sekamar? Jika ya, silakan
mereka membantu Anda dengan kuesioner ini.
4. Apakah Anda pernah memeriksakan ke spesialis tidur sebelumnya?
5. Apakah Anda mengalami kesulitan di tempat kerja / sekolah karena masalah tidur
Anda?
6. Apakah Anda mengalami kesulitan mengemudi karena masalah tidur Anda?
7. Apakah shift kerja utama Anda?
8. Berapa banyak minuman berkafein yang Anda konsumsi setiap hari?
9. Jika Anda mendengkur, silakan menilai tingkat kebisingan:
4(terdengar dari luar kamar)-3 (membangunkan mitra tidur)-2 (mudah didengar)-1
(hampir takterdengar)
10. Apakah Anda tidur sebentar di siang hari? Ya/ tidak
11. Apakah Anda pernah merokok? Ya/ tidak;
Berapa bungkus per hari?
Berapa tahun Anda merokok?
Pernakah Anda berhenti merokok? Ya/ tidak
12. Apakah pernah seseorang mengamati Anda berhenti bernapas saat tidur? Ya/ tidak
13. Apakah anda bangun terengah-engah atau tersedak? Ya/ tidak
14. Apakah Anda sulit tidur? Ya/ tidak
15. Apakah Anda menendang atau berkedut kaki Anda ketika Anda tidur? Ya/ tidak
16. Berapa kali anda bangun di malam hari?
17. Berapa kali Anda bangun untuk buang air kecil di malam hari?
18. Apakah Anda memiliki perasaan menyeramkan / crawly, mati rasa kaki, ketika Anda
mencoba turun Tidur? Ya/ tidak
19. Apakah Anda pernah menggunakan pil diet? Ya/ tidak
96
20. Apakah Anda pernah menggunakan obat stimulan sebelumnya? Ya/ tidak
Apakah Anda pernah menggunakan ganja? Ya/ tidak
Apakah Anda pernah menggunakan kokain atau obat lain? Ya/ tidak
21. Apakah Anda sit up dan berteriak saat tidur atau tiba-tiba bangun takut? Ya/ tidak
22. Apakah Anda berjalan saat tidur, tanpa ingat hari berikutnya? Ya/ tidak
23. Apakah Anda memiliki mimpi buruk atau mimpi menakutkan? Ya/ tidak
24. Apakah Anda merasa lumpuh, tak bisa bergerak, tetapi waspada secara mental saat
tertidur atau waktu bangun? Ya/ tidak
25. Apakah Anda memiliki kelemahan fisik tiba-tiba lengan, kaki, atau wajah saat
tertawa? menangis atau selama situasi emosional lainnya? Ya/ tidak
26. Apakah Anda memiliki jantung berdebar atau nyeri dada pada malam hari? Ya/ tidak
27. Berapa banyak alkohol yang Anda konsumsi dalam waktu tiga jam sebelum tidur?
Berapa banyak alkohol yang Anda konsumsi dalam jangka waktu 24-jam?
28. Tolong jelaskan perasaan aneh atau perilaku yang Anda miliki pada malam hari.
29. Sebutkan obat yang sedang Anda mengambil: (Sertakan pil tidur atau Melatonin)
30. Apakah Anda sekarang atau di masa lalu mengalami masalah kesehatan dalam bidang
berikut?
Tekanan darah tinggi _____
Sesak napas _____
Septum deviasi _____
batuk kronis _____
Masalah sinus _____
Asma _____
Tonsilektomi _____
Emfisema _____
Penyakit Jantung Penyakit Tiroid _____ _____
Psychiatric _____
Diabetes _____
Mulas _____
Refluks _____
Sebutkan masalah medis lain yang Anda miliki atau memiliki:
97
99
j. Apakah kamu sekarang ini menderita karena ditinggal seseorang? (Harrison et al.,
2009)
102
d. Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak ada
gangguan aktivitas mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit bingung dan
disorientasi dalam waktu singkat.
e. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organic.
Somnambulisme harus dibedakan dari serangan epilepsy psikomotor dan fugue
disosiatif (F44.1).
setiap saat dalam tidur, mudah dibangunkan, dan teringat dengan jelas kejadiannya.
Terror tidur dan somnambulisme sangat berhubungan erat, keduanya mempunyai
karakteristik klinis dan patofisiologis yang sama.
103
Sangat penting untuk membedakan mimpi buruk dari terror tidur, dengan
memeperhatikan gambaran klinis yang khas untuk masing-masing gangguan (Maslim,
rusdi. 2003).
D. Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat memiliki potensi mengurangi morbiditas
terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan gangguan kualitas hidup (Nabil dan
Julie, 2006).
1. Pendekatan Non Farmakologi
a. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:
1) Untuk mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat.
2) Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik.
3) Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat
hipnotik,alkohol, gangguan mental.
4) Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek.
b. Konseling dan Psikoterapi
Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti
(depresi, obsesi, kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi ini kita dapat
membantu mengatasi masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita
tanpa penggunaan obat hipnotik (Japardi, 2002).
c. Tindakan higiene tidur
1) Hindari dan meminimalkan penggunaan kafein, rokok, stimulan, alkohol, dan
obat lainnya.
2) Meningkatkan tingkat aktivitas pada sore atau awal malam (tidak dekat dengan
waktu tidur) dengan berjalan atau berolahraga di luar ruangan.
3) Meningkatkan pajanan cahaya alami dan cahaya terang selama siang hari dan
awal malam.
4) Hindari tidur siang, terutama setelah pukul 2 siang; batasi tidur siang, batas untuk
1 tidur kurang dari 30 menit.
5) Periksa pengaruh obat terhadap tidur.
104
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini
terus dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun
beratnya.
e. Sleep Restriction Therapy
Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu mengkonsolidasikan tidur .
Terapi ini bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur.
Misalnya, bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari delapan jam
waktu yang dihabiskannya di tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi.
Tidur di siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu
sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien mencapai 85% (rata-rata setelah lima
hari), waktu di tempat tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi pembatasan tidur,
secara berangsur-angsur, dapat mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam
hari.
f. Terapi relaksasi dan biofeedback
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik. Menghipnotis diri
sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks
cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan
serius.
Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan fisiologik yang terjadi
setelah relaksasi. Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang
perbaikan yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan terapi
pengontrolon tidur.
pasien di malam hari, rasa mengantuk di siang hari, dan keletihan serta perbaikan
fungsi kognitif.
Uvulopalatopharyngeoplasty (UPP) merupakan salah satu teknik pembedahan
yang digunakan untuk terapi apnea tidur. Efikasi metode ini kurang. Trakeostomi
juga merupakan pilihan terapi untuk apnea tidur berat. Penggunaan kedua bentuk
terapi bedah ini sangat terbatas karena risiko morbiditas dan mortalitas.
Keputusan untuk mengobati apnea tidur didasarkan atas frekuensi dan
beratnya gangguan tidur, beratnya derajat kantuk di siang hari, dan akibat medik yang
ditimbulkannya (Amir N., 2007).
2.
Pendekatan Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat
yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular
activating system (ARAS) di otak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang
menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti
depresan.
Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yangdipaksakan
dari proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada
hari berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula
bila pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan
obat. Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis
gangguan tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM)
gangguan pendek, bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam
hari, adanya perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primernya.
Walaupun obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik,
tapi dapat dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang
mendasari. Dengan pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk
mengkoreksi dari problema gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi
primernya dan harus berhati-hati pada pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang
107
OBAT ANTI-INSOMNIA
Penggolongan obat anti-insomnia
1. Benzodiazepine, contoh : Nitrazepam, Triazolam, Estazolam
2. Non-Benzodiazepine, contoh : Chloral-hydrate, Phenobarbital
Nama Generik
Nitrazepam
2.
Triazolam
Nama Dagang
MAGADON (Roche)
DUMOLID (Alpharma)
HALCION (Up John)
Sediaan
Tab 5 mg
Tab 5 mg
Tab 0,125 mg
Tab 0,250 mg
3.
Estazolam
ESILGAN (Takeda)
4.
Chloral hydrate
CHLORALHYDRAT
500 (Darya Varia)
Indikasi Penggunaan
108
Tab 1 mg
Tab 2 mg
Soft cap 500 mg
Dosis Anjuran
Dewasa 2 tab
Lansia 1 tab
Dewasa 2 tab
Lansia 1 tab
Dewasa 1 tab
Lansia 1/2 tab
1-2 mg/malam
1-2 cap 15-30
menit sebelum
tidur
Indikasi penggunaan obat anti-insomnia terutama pada kasus transient insomnia dan
short term insomnia, sangat berhati-hati pada kasus long term insomnia. Selalu
diupayakan mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan ditujukan pada
penyebab dasar tersebut.
Mekanisme Kerja
Obat golongan benzodiazepine tidak menyebabkan REM suppression and rebound.
Pada kasus depresi terjadi pengurangan delta sleep (gelombang delta < 20%), sehingga
tidak pulas tidurnya dan mudah terbangun. Pada awal depresi terjadi defisit REM sleep
(0-10%, dimana pada orang normal sekitar 20%) yang menyebabkan tidur sering
terbangun akibat mimpi buruk (REM sleep bertambah untuk mengatasi defisit), sehingga
siklus tidur menjadi tidak teratur (disorganized).
Obat anti-depresi (trisiklik dan tetrasiklik) menekan dan menghilangkan REM sleep dan
meningkatkan delta sleep, sehingga pasien tidur nyaman tidak diganggu mimpi buruk.
Bila obat mendadak dihentikan terjadi REM rebound dimana pasien akan mengalami
mimpi-mimpi buruk lagi.
Efek Samping
Obat-obatan ini dapat menimbulkan supresi susunan saraf pusat (SSP) pada saat
tidur. Hati-hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan , uremia, dan gangguan fungsi
hati, oleh karena keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP dan dapat memudahkan
timbulnya koma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi oversedation sehingga risiko jatuh
dan trauma menjadi besar, yang sering terjadi adalah hip fracture.
Pemilihan Obat
Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal dengan :
1. Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan dalah
bersifat sleep inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting).
Misalnya pada gangguan anxietas.
109
2. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat prolong latent phase
anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik).
Misalnya pada gangguan depresi.
3. Broken insomnia : siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (long acting). Misalnya pada gangguan stress psikososial.
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum pergi tidur. Dosis awal
dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu,
kemudian secepatnya tappering off untuk mencegah timbunya rebound dan toleransi
obat. Pada usia lanjut dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan,
untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.
Lama Pemberian
Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari
2 minggu, agar risiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh karena psychological dependence
(habituasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Perhatian Khusus
Obat anti-insomnia kontraindikasi pada sleep apnoe syndrome, congestive heart
failure, dan chronic respiratory disease. Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil
mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (misalnya cleft plate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Benzodiazepine juga diekskresi melalui ASI, berefek
pada bayi, yaitu penekanan fungsi SSP (Maslim R., 2001).
Di antara obat anti-insomnia tersebut, benzodiazepin paling sering digunakan dan
tetap merupakan pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder.
Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin,
110
prekursor protein seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga
dapat digunakan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi
insomnia jangka pendek. Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat.
Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak
lebih dari tiga kali. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau
dapat menutupi penyakit yang mendasari.
Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi. Benzodiazepin dapat
mengganggu ventilasi pada apnea tidur. Efek samping berupa penurunan kognitif dan
terjatuh akibat gangguan koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh karena itu,
penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hati-hati dan dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan
obat pilihan untuk membantu orang-orang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang
waktu paruhnya panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk
penderita yang mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang
dapat memperbaiki anxietas di siang hari dan insomnia di malam hari.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu,
pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen,
INH, eritromisin, dan fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari.
Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD ringansedang yang mengalami insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder
terhadap delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti
lorazepam digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur.
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan
dengan benzodiazepin
pada awal
malam.
111
kontinuitas tidur, serta efisiensi tidur meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini
efektif untuk penderita depresi dengan insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin oksidase
inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu
kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung menekan
pernafasan. Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk beberapa pasien tapi
penggunaannya harus hati-hati karena dapat menginduksi delirium (Amir N., 2007).
E. Komplikasi
Gangguan tidur atau ketidakmampuan tidur memperngaruhi performa, keamanan,
dan kualitas hidup dari seorang individu. Hampir 20% kecelakaan lalu lintas berhubungan
dengan pengemudi yang mengantuk atau mabuk minuman beralkhohol.
Penelitian terkini mengemukakan bahwa gangguan memiliki neurobehavioral effect,
mulai dari yang paling ringan yakni attensi dan reaksi, dan yang lebih kompleks yakni
kesalahan dalam melakukan penilaian terhadap suatu hal, atau membuat keputusan. Orang
yang memiliki gangguan tidur akan memiliki masalah dalam ingatan jangka pendeknya. Dan
walaupun individu dengan gangguan tiduk mampu melakukan pekerjaan dengan baik, akan
tetapi membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih lama (Meadows, 2005).
Meskipun data yang ada sangat terbatas, efek dari gangguan tidur, kehilangan tidur
kronis, dan tidur yang kurang akan mempengaruhi perekonomian Amerika secara signifikan.
Apabila gangguan tidur tidak diobati dengan baik, maka akan menimbulkan kerugian yang
jauh lebih besar daripada biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobati gangguan tidur itu
sendiri (colten, 2006).
Lebih dari 10 tahun yang lalu, terdapat suatu paradigm yang menyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan kesehatan. Akan tetapi, penelitian
terkini menyatakan bahwa sleep loss (kurang dari 7 jam per malam) memiliki efek pada
ssystem kardiovaskuler, endokrin, imun, dan system saraf, yakni :
1. Obesitas pada dewasa maupun anak-anak
Pada suatu studi kohort yang dilakukan selama hampir 13 tahun pada 500
individu dewasa muda, didapatkan hasil bahwa pada usia 27 tahun, individu dengan
112
durasi tidur yang lebih pendek (<6 jam), 7,5 kali lebih berisiko memiliki BMI tinggi.
Penelitian tersebut sudah melalui kontroling terhadap faktor riwayat keluarga, tingkat
aktivitas fisik, serta faktor demografik. Penelitian tersebut juga mencoba menganalisa,
adakah relasi antara insufisiensi tidur terhadap hormone-hormon yang berperan dalam
peningkatan nafsu makan. Hasilnya, insufisiensi tidur diketahui dapat menurunkan
leptin, yakni hormone yang diproduksi oleh jaringan adipose dan dapat menghambat
nafsu makan. Selain itu, insufisiensi tidur meningkatkan pengeluaran ghrelin, peptide
yang mampu menstimulus nafsu makan (Taheri, 2004).
Grafik 2.1. Hubungan antara Durasi Tidur dengan BMI (body mass index)
113
Grafik 2.2. Hubungan Durasi Tidur dengan Odds Ratio Diabetes dan
Gangguan Toleransi Glukosa
114
dilakukan oleh residen. Residen bekerja dengan durasi yang lebih lama dibanding profesi
yang lain (streinbrook, 2002).
Insomnia berat mempengaruhi delapan domain quality of life, yakni :
1. Kemampuan fisik
2. Perlindungan terhadap penyakit fisik
3. Persepsi nyeri
4. Kesehatan umum
5. Vitalitas
6. Fungsi sosial
7. Perllindungan terhadap instabilitas emosi
8. Kesehatan mental (moore, 2007)
115
BAB III
KESIMPULAN
Pada pola tidur manusa tidur dapat klasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu Tipe Rapid Eye
Movement (REM) dan Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM).Fase awal tidur didahului oleh
fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara
fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir
total tidur 16- 20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada
umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa . Gangguan siklus dalam
fase-fase tersebut akan menyebabkan gangguan tidur seperti dissomnia ataupun parasomnia.
Komplikasi gangguan tidur mencakup tiga aspek yakni bio-psiko-sosial. Aspek biologis
seperti peningkatan BMI, diabetes dan gangguan toleransi glukosa, heart attack, dll. Aspek
psikologis seperti gangguan cemas dan depresi. Aspek social terutama aspek ekonomi dan
peningkatan kejadian medical error, performa kerja penderita gangguan tidur juga mengalami
penurunan. Penatalaksanaan yang dapat diberikan meliputi terapi non-medikamentosa dan
medikamentosa.
116
DAFTAR PUSTAKA
Amir N. 2007. Gangguan Tidur Pada Lanjut Usia, Diagnosis Dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran. 157: 204-5.
Cheng, Ruey-Kuang. 2009. Neurophysiological Mechanism of Sleep Dependent Memory
Consolidation and its facilitation by prenatal choline supplementation. Chinese Journal
of Physiology. 52(4): 223-225.
Colten, Harvey R. Et Al. 2006. Sleep Disorders And Sleep Deprivation: An Unmet Public Health
Problem. National Academy Of Sciences : Washington, Dc
Edinger JD, Means MK. 2005. Overview of insomnia: Definitions, epidemiology, differential
diagnosis, and assessment. In: Kryger MH, Roth T, Dement WC, eds. Principles and
Practice of Sleep Medicine. 4th ed. Philadelphia: Elsevier/Saunders. Pp. 702713
Gottlieb DJ, Punjabi NM, Newman AB, Resnick HE, Redline S, Baldwin CM, Nieto FJ. 2005.
Association of sleep time with diabetes mellitus and impaired glucose tolerance.
Archives of Internal Medicine 165(8):863867.
Harrison, G. B., et al., 2009. Evidence-Based Recommendations For The Assessment And
Management Of Sleep Disorders In Older Persons. J Am Geriatr Soc. 57(5): 761789.
Japardi I., 2002. Gangguan Tidur.
Http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/1948/3/BedahIskandar%20japardi12.Pdf.Txt (29 Juni 2012)
Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas Ppdgj-Iii. Jakarta: Pt Nuh
Jaya. Pp: 93-5
Maslim R., 2001. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fk Unika Atma Jaya.
Maramis, W.F., Maramis, A. A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi Kedua. Surabaya:
Airlangga University Press.
Meadows R. 2005. The Negotiated Night: An Embodied Conceptual Framework For The
Sociological Study Of Sleep. Oxford: Blackwell.
Michael J. Sateia. 2009. Update On Sleep And Psychiatric Disorders.Chest 2009;135; 1370-1379
Moore, PJ, Adler, NE, Williams, DR, Jackson, JS. 2007. Socio economic Status And Health:
The Role Of Sleep. Psychosomatic Medicine 64(2):337344.
Nabil S.K. and Julie K.G. 2006. Insomnia in the Elderly: Cause, Approach, and Treatment. The
American Journal Of Medicine. 119: 463-9.
117
118