Anda di halaman 1dari 12

1.

LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kita menemui perubahan-perubahan dalam segala
segi kehidupan, termasuk perubahan pada masyarakat itu sendiri, karena pada dasarnya tidak ada
masyarakat yang statis. Selalu ada perubahan-perubahan dalam masyarakat secara dinamis.
Entah perubahan tersebut membangun dalam artian berdampak positif kedepannya bagi
masyarakat atau sebaliknya malah membawa dampak buruk bagi masyarakat. Perubahan tersebut
salah satunya yaitu adanya inovasi teknologi.

Ternyata arus globalisasi tidak luput menghampiri masyarakat dan sedikit banyak memberikan
dampaknya, tak terkecuali pada masyarakat pedesaan yang sering dilukiskan sebagai masyarakat
yang masih tradisional. Soerjono Soekanto, mendefinisikan (1983:144) bahwa: Ciriciri masyarakat desa sebagai masyarakat, dimana warganya mempunyai hubungan yang
lebih erat dan mendalam, sistem kehidupannya berkelompok atas dasar kekeluargaan dan pada
umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Masuknya alat-alat modern dalam bidang
pertanian sedikit banyak memberikan dampak bagi kehidupan di pedesaan. Jika dulu kita masih
sering menyaksikan orang-orang desa menggunakan alat-alat tradisional, seperti contoh :
cangkul, sabit, ani-ani, bajak kerbau dan lain sebagainya, untuk melakukan aktivitas pertanian,
maka tidak lagi pada zaman sekarang. Masyarakat desa mulai melirik untuk menggunakan alatalat pertanian yang lebih modern, seperti traktor untuk melakukan pengerjaan menggemburkan
tanah pertanian, pisau pemotong padi, dan masih banyak lagi, yang kemudian menggantikan
fungsi bajak dengan kerbau dan ani-ani.

Di sini, yang menjadi fokus perhatian adalah masuknya teknologi dan inovasi-inovasi tersebut
tidak hanya memberikan dampak positif melainkan juga memberikan dampak negatif sehingga
untuk melihatnya perlu ditinjau dari perspektif sosiologi. Untuk menjelaskannya, lebih mudah
bila menggunakan contoh nyata kasus yang terkait perkembangan teknologi sekaligus inovasi di
pedesaan. Untuk itu, penulis mencoba menjelaska dampak positif dan negative penggunaan
teknologi dan inovasi pertanian berangkat dari fenomena nata. Dan karena teknologi dan inovasi
pertanian sendiri terlalu luas pembahasannya, maka penulis membatasi menjadi hanya dua
subtema, yang pertama teknologi informasi yaitu penggunan HP (handphone) dan yang kedua
inovasi dalam bidang alat pertanian yaitu penggunaan traktor.

2.

STUDI KASUS DAN ANALISIS

DAMPAK PENGUNAAN HANDPHONE PADA MASYARAKAT PEDESAN

Kemajuan teknologi yang tidak diiringi dengan kemajuan kualitas sumber daya manusia, atau
yang kerap disebut cultural lag, memang kerap kali menjadi kendala modernisasi di lingkungan
pedesaan. Namun ternyata bukan hanya hambatan saja yang tercipta darinya, berbagai masalah
penyimpangan sosial juga bisa tumbuh subur dengan dipupuki oleh kemajuan teknologi, yang
juga merupakan bagian dari modernisasi.

Dalam kasus yang banyak terjadi di desa Purwodadi, kecamatan Tembarak, kabupaten
Temanggung, dan mungkin tidak hanya didaerah tersebut, melainkan di kebanyakan masyarakat
pedesaan juga terjadi hal serupa, anak-anak yang orang tuanya bukan orang kaya sekalipun bisa
memiliki handphone berfasilitas kamera, motor keren, bahkan mungkin orang tuanya terpaksa
berhutang untuk memenuhi keinginan anaknya. Para orang tua yang masih memiliki cara
berpikir ndeso, tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan anak jaman
sekarang. Sehingga ketika anak-anaknya menginginkan sesuatu dengan dalih, jaman sekarang,
kalau tidak punya barang itu, bisa begini, begini, dan begini, maka mereka pun akan langsung
berusaha memenuhinya. Sekalipun bila anak-anak mereka menyodorkan produk berharga tinggi
seperti, misalnya handphone mid end berfasilitas kamera dan mp3, dengan mudahnya anak-anak
mereka berkata, Yang ada ininya ya, yang seperti ini, padahal ada handphone dengan harga
lebih murah walau tentu berfitur standar.

Padahal sebenarnya, anak-anak muda itu tidak atau mungkin belum membutuhkan fasilitas
secanggih itu, selain untuk kebutuhan gaya-gayaan dan hanya mengikuti trend. Fasilitasfasilitas canggih itu justru memicu munculnya penyimpangan sosial seperti kasus video porno di
handphone dan kebut-kebutan di jalan umum.

Bagaimana upaya para orang tua mengendalikan anaknya ? Seringkali terdengar dari pengakuan
para orang tua yang lelah pulang bekerja, Jaman sekarang memang beda dengan dulu, apa yang
dibutuhkan di zaman sekarang juga pasti berbeda. Kita hanya orang-orang kuno yang tidak bisa
memahami kebutuhan anak zaman sekarang.. Benarkah demikian ? Sebenarnya, bukan para
orang tua itu yang ketinggalan jaman, melainkan pengetahuan mereka tentang teknologi yang
rendah, dimanfaatkan oleh anak-anak mereka demi memenuhi kebutuhan tersier belaka.

Sebenarnya jika dipergunakan dengan bijak, maka handphone memiliki banyak sekali manfaat.
HP bisa digunakan untuk berkomunikasi lewat jarak jauh. Kalau dahulu untuk mengirim pesan
kita harus susah payah ke kantor pos dan menulis alamat yang selengkap-lengkapnya agar surat
kita sampai ke tujuan. Namun, sekarang cukup menggunakan aplikasi di HP , kita bisa
berkomunikasi dengan orang lain tanpa batasan waktu, tempat maupun jarak, kita sudah bisa
saling tukar menukar ide, informasi, dan hal-hal lain lewat SMS atau aplikasi lainnya. Untuk
bercakap-cakap dengan katakanlah ayah kita yang kebetulan sedang bekerja diluar kota, maka

hanya perlu menekan tombol dial pada HP dan kita sudah bisa berkomunikasi tanpa harus
terkendala dengan jarak.

Selain itu, aplikasi pada HP yang semakin canggih memungkinkan kita mengakses informasiinformasi yang jika dimanfaatkan dengan positif, maka hasilnya juga akan positif. Katakanlah
HP yang bisa mengakses internet, maka kita bisa browsing dan tidak mustahil masyarakat yang
ada di pedesaan bisa mencari informasi mengenai pupuk, alat-alat pertanian mutakhir dan lain
sebagainya. Namun kenyataannya penggunaan HP dikalangan masyarakat desa belum terlalu
optimal. Seandainya penggunaan HP bisa dioptimalkan dalam hal positif, bisa dibayangkan jika
pemuda-pemuda desa menggunakan kecanggihan HP miliknya untuk membantu orang tuanya
dalam hal mencarikan informasi terkait pertanian, sehingga penghasilan keluarga bisa
meningkat. Tidak malah menggunakannya untuk mengakses dan menyimpan video-video porno
sehingga memicu terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Selain maraknya penyimpangan yang dilakukan oleh pemuda desa, dampak yang lain yang
timbul dari penggunaan handphone yaitu kurangnya interaksi masyarakat akibat intensitas
pertemuan antar anggota masyarakat yang mulai berkurang. Contoh yang kecil katakanlah dalam
keluarga. Dulu ketika lebaran, hal penting selain membayar zakat dan sholat iid dan hukumnya
wajib bagi masyarakat umum yaitu silaturraami, berjabat tangan dan bertegur sapa saling
memaafkan secara langsung. Namun dengan kecanggihan masa kini, dimungkinkan untuk kita
tidak harus bertatap muka dan berjabat tangan secara langsung jika sekedar mau bermaafmaafan, bisa dengan telpon, SMS, video call dan fitur-fitur lain. Ini menunjukkan bahwa dalam
masyarakat pedesaan saat ini telah terjadi pergeseran nilai yang dulu sangat amat dijunjung
tinggi yaitu nilai kebersamaan dan saling bersilaturahmi. Menurut Ferdinant Tonnies, masyarakat
pedesaan yang dicirikan sebagai masyarakat Gemeinschaft memiliki ciri salah satunya yaitu
kepentingan bersama lebih dominan dengan kata lain kehidupan bersama ikatan lahiriah yang
bersifat jangka panjang. Indikatornya yaitu adanya nilai yang menjunjung tinggi kebersamaan.
Namun, adanya teknologi informasi dan komunikasi yang berbentuk HP maka nilai kebersamaan
ini pada masyarakat desa mulai berkurang, intensitas pertemuan dengan tatap muka langsung dan
berinteraksi secara langsung juga berkurang, sehingga menyebabkan pergeseran kebudayaan
kebersamaan yang ada pada masyarakat pedesaan.

Belum lagi masalah peningkatan urbanisasi juga tidak sedikit yang disebabkan oleh hal ini.
Kebanyakan anak muda di desa ini menganggap hebat bila ada yang bisa bekerja di kota besar
seperti Jakarta atau menjadi TKI di luar negeri. Sebab seakan-akan telah terjadi pergeseran
pemikiran para pemuda desa yang menganggap jika bisa keluar desa untuk merantau, entah itu
ke kota-kota besar atau keluar negeri, maka telihat keren, gaya, pulang setahun sekali, bisa
menenteng tas besar (entah isinya apa?), berpakaian dan berpenampilan necis, bisa terlihat keren,
gaya dan sedang trend. Akibatnya, tidak sedikit yang malah terpancing masuk ke pergaulan
bebas, dunia undercover kota besar, ataupun terlibat kasus TKI ilegal. Akibat yang lain yaitu

angka pekerja muda pertanian semakin berkurang. Sehinga ketika panen tiba, para petani sulit
mencari buruh tani untuk membantu pekerjaan disawah. Jika terpaksa tidak bisa menangani
pekerjaan disawah sendiri, mereka harus mencari buruh tani dari luar desa yang itupun jika dapat
yang sudah berumur. Tidak hanya petani dengan lahan yang luas yang resah, petani kecilpun
juga mulai bingung karena usia mereka mulai lanjut akan ttetapi tidak ada generasi penerus yang
meneruskan pekerjaan disawah. Dikhawatirkan maka mereka suatu hari akan menjual sawah
mereka karena memang usia sudah tida mendukung bekerja keras disawah dan lebih lagi karena
tidak adanya anak-anak mereka yang meneruskan pekerjaan disawah karena pergeseran pola
pemikiran pemuda desa yang lebih suka bekerja dsektor non-agraris, meskipu itu bekerja jadi
buruh pabrik atau apapun yang penting tetapbersih dan jauh dari lumpur sawah.

Fenomena diatas dari perspektif sosiologi dapat dipahami sebagai gejala pergeseran nilai dan
budaya yang ada dimasyarakat pedesaan. Jika dahulu bekerja disawah adalah pekerjaan utama,
tapi tidak untuk saat ini. Banyak pemuda yang malah keluar desa dan bekerja diluar agraris.
Padahal Indonesia adalah Negara agraris disamping Negara maritime. Namun jika para pemuda,
generasi penerus orang-orang tua semakin meninggalkan budaya turun temurun tersebut, maka
bila kita memberikan prediksi ekstrim mengenai kehidupan ini bisa saja kelak petani-petani akan
menggunakan iklan untuk mencari buruh tani yang bisa diupah. Ini menunjukkan pula
pergeseran struktur social yang ada pada masyarakat pedesaan. Atau bahkan bisa saja kelak label
Indonesia sebagai Negara agraris perlahan tapi pasti hilang dan berganti dengan Negara yang
kehilangan jati dirinya.

PENGGUNAAN TEKNOLOGI DAN INOVASI PERTANIAN SERTA DAMPAKNYA


TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDESAAN

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya, pola
pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan
dari faktor-faktor individual yang yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu
mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan ini
adalah teknologi, yang sangat nyata berkaitan dengan perubahan sosial di pedesaan. Hal ini
terjadi karena program pembangunan pembangunan ekonomi nasional.

Pada masa pembangunan ini, baik itu setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa secara
terus menerus mengalami perubahan sosial. Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasil
penemuan atau peniruan teknologi khususnya di bidang pertanian, yang merupakan orientasi
utama pembangunan di Indonesia. Penerimaan terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun
inisiatif agen-agen perubahan (agent of change), tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi
perilaku sosial (social behavior) dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi

teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan
diikuti dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa traktor atau mesin
penggilingan padi awal gerakan revolusi hijau sekitar tahun 60-an masuk ke desa, banyak buruh
tani di pedesaan jadi pengangguran akibat tenaganya tergantikan oleh mesin-mesin traktor.

Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di pedesaan. Perubahan
dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, di mana buruh
wanita yang biasa menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di
rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan seperti sapi atau kerbau menganggur
dan buruh tani kehilangan pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi,
buruh tani dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini kemudian memberikan
dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan, lalu menjadikan perputaran
ekonomi semakin besar dan desa semakin tertinggal. Namun keadaan ini tidak sampai di sini,
ketika mereka kembali lagi ke desa timbul konflik kultur akibat budaya yang terbangun selama
berada di kota terbawa ke desa. Dari contoh sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat
perubahan suatu aspek dapat merembet ke aspek lainnya.

Proses pembangunan pedesaan di daerah pertanian tidak lain adalah suatu perubahan sosial.
Demikian pula introduksi teknologi ke pedesaan yang bermula dari kebijakan orde baru yang
mengikuti pada isu global bernama revolusi hijau menimbulkan perubahan sosial dalam berbagai
dimensi. Masuknya traktor atau mesin penggiling padi ke pedesaan menyebabkan berkurangnya
peranan buruh tani dalam pengelolaan tanah dan berkurangnya peranan wanita dalam ekonomi
keluarga di pedesaan.

Teknologi yang masuk ke desa tersebut banyak dikuasai oleh golongan ekonomi kelas atas dan
menengah di desa. Golongan tersebut dengan pendirinya akan menentukan pasaran kerja di desa.
Keadaan demikian akan menggeser peranan pemilik ternak kerbau atau sapi sebagai sumber
tenaga kerja pengolah sawah.

Masuknyan teknologi perangkat usaha ternak sapi perah, menggeser peternak tradisional yang
hanya memiliki satu sampai tiga ekor ternak. Perangkat teknologi tersebut merubah sistem
beternak, dari ekonomi keluarga ke ekonomi komersial, dengan jumlah ternak yang banyak dan
dikuasai oleh golongan ekonomi kuat di desa atau di kota yang menanamkan modalnya di desa.
Perangkat teknologi sapi perah seperti mixer makanan ternak, cooling unit susu, sistem
pengawetan dan lain-lain, memungkinkan orang untuk menangani jumlah ternak sapi lebih
banyak. Hal ini memberikan bukti bahwa teknologi mengakibatkan meningkatnya ukuran usaha
tani di pedesaan.

Belum lagi kebijakan-kebijakan sederhana yang ada di pedesaan. Penunjukan kepala desa
sebagai ketua LKMD misalnya, hal ini mengakibatkan pengaruh Negara akan semakin dominan
yang notabene tidak terlalu paham dengan kondisi sosial masyarakat desa setempat. Pola
pengaruh ini bermula dari penggunaan kekuasaan yang terlalu berlebih. Dengan dalih
pembangunan, para kusir delman tergeser oleh adanya transportasi angkutan pedesaan. Struktur
ekonomi kembali dikuasai oleh orang-orang tertentu saja. Disini terjadi perubahan peranan
LKMD, yang sebelumnya sebagai akumulasi aspirasi masyarakat berubah menjadi wadah
aspirasi penguasa. Masuknya teknologi ke desa, seperti halnya mekanisasi dalam bidang
pertanian, juga mempengaruhi organisasi dan manajemen usaha tani. Mekanisasi pertanian
menuntut adanya keterampilan baru bagi para pekerja. Tuntutan tersebut, dengan sendirinya
membutuhkan modal yang besar sehingga melibatkan bank dan pemodal lainnya. Pengadaan
modal untuk pengembangan industri atau mekanisasi di desa, ditunjang oleh kebijaksanaan
pemerintah dalam bentuk pemberian pinjaman berupa kredit. Kebijaksanaan ini merangsang
timbulnya keberanian untuk meminjam kredit dalam jumlah besar, tanpa diimbangi oleh sistem
organisasi dan manajemen yang memadai, sehingga muncul dimana-mana tunggakan kredit,
seperti bimas atau industri kecil menunggak.

Dengan terjadinya perubahan structural tersebut, tidak mampu dinafikan bahwa budaya atau
kultur masyarakat pun ikut berubah. Seperti yang telah dijelaskan secara teoritis perubahan
kultur sosial menyangkut segi-segi non material, sebagai akibat penemuan baru medernisasi.
Artinya terjadi integrasi atau konflik unsur baru dengan unsur lama sampai terjadinya sintesis
atau penolakan sama sekali.

Masuknya teknologi atau adanya mekanisasi di desa mengakibatkan banyaknya pertambahan


jumlah penduduk yang menganggur, transformasi yang tidak jelas, dan pola komunikasi yang
sejalan dengan perubahan komunitas di desa. Kesemuanya itu merupakan inovasi, baik itu hasil
penemuan dalam berpikir atau peniruan yang dapat menimbulkan difusi atau integrasi. Peristiwaperistiwa perubahan kultural meliputi cultural lag, cultural survival, cultural
conflict dan cultural shock.

Hal di atas juga sangat besar pengaruhnya terhadap interaksi, sebab melalui teknologi aktivitas
kerja menjadi lebih sederhana dan serba cepat. Hubungan antara sesama pekerja menjadi bersifat
impersonal, sebab setiap pekerja bekerja menurut keahliannya masing-masing (spesialis). Hal ini
berbeda dengan kegiatan pekerjaan yang tanpa teknologi, tidak bersifat spesialis dimana setiap
orang dapat saling membantu pekerjaan, tidak dituntut keahlian tertentu. Sehingga dulu
hubungan antara majikan (pemilik lahan) dengan petani pekerja (buruh tani) ataupun sesame
buruh tani begitu akrab dan saling mengenal, bisa dikatakan hubungan patron klient-nya begitu
terasa. Namun, hubungan tersebut kini mulai mengalami pergeseran.

Teknologi berkaitan dengan pembatasan pekerjaan yang bersifat kerjasama, sehingga dapat
menimbulkan konflik pada komunitas pertanian. Adanya teknologi, praktek-praktek saling
membantu menjadi terhenti dan kerjasama informal menjadi berkurang. Proses mekanisasi di
daerah pertanian menyebabkan hubungan bersifat kontrak formal. Tenaga kerja berkembang
menjadi tenaga kerja formal yang kemampuan dan keahliannya terbatas. Lambat laun di
pedesaan akan muncul organisasi formal tenaga kerja sebagai akibat terspesialisasi dan
meningkatnya pembagian kerja. Hal inilah yang oleh Durkheim dinamakan solidaritas organik
(organic solidarity) yang lebih sering terjadi pada komunitas perkotaan.

Masuknya teknologi ke desa menyebabkan kontak sosial menjadi tersebar melalui berbagai
media dan sangat luas, melauli perdagangan, pendidikan, agama dan sebagainya. Akibat pola
hubungan yang bersifat impersonal, maka ketidak setujuan atau perbedaan pendapat sulit
diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi harus melalui proses peradilan. Hal ini tampak dengan
adanya kebijaksanaan jaksa masuk desa, dimana sebelumnya konflik di desa cukup diselesaikan
dengan oleh ketua kampung atau sesepuh desa, maksimal oleh kepala desa yang dianggap orang
yang berpengaruh didesa.

Pergeseran Nilai Tradisional ke Nilai Modern

Masyarakat modern dengan nilai dan tujuan ekonomi yang lebih menonjol cenderung
memandang sumberdaya pedesaan sebagai suatu komoditas yang secara ekonomi dapat
meningkatkan nilai finansial bagi kelompok tertentu, dimana produktivitas dalam rentang waktu
tertentu merupakan pertimbangan utama. Sebaliknya masyarakat tradisional dan para industri
memandang sumber daya yang sama sebagai milik ulayat yang harus dijaga kelestariannya untuk
kepentingan jangka panjang. Bagi mereka aspek pemerataan lebih penting dari produktivitas.

Kelembagaan tradisional umumnya lebih memperhatikan aspek pelestarian untuk kepentingan


anak cucu mereka di masa mendatang. Namun munculnya organisasi ekonomi yang disertai
nilai-nilai barat perlahan-lahan mengubah nilai radial kebersamaan kearah nilai finansial yang
kurang mempertimbangkan aspek pemerataan.

Di lain pihak kalangan petani yang memiliki wawasan lebih luas dan terbuka menerima
perubahan ini sebagai upaya untuk menuju kepada kecenderungan mencari sistem yang lebih
terbuka sebagai jalan keluar terbaik bagi kegiatan produksi yang tengah dijalani. Kalangan ini

cenderung mempertahankan usaha taninya dengan mengandalkan diri sepenuhnya (atau


sebagian) kepada ketersedian input eksternal. Bagi mereka moderniasasi dapat membuka
peluang inovasi, dan inovasi yang selaras dengan kebutuhan pertanian adalah inovasi yang
berkaitan erat dengan input industri dan proses industrialisasi serta pemasaran yang baik.

Inovasi seperti ini cenderung menuntut hubungan yang lebih kuat dengan sistem lain diluar
usaha tani setempat serta mengurangi ketergantungan terhadap hubungan internal. Sistem kerja
tanpa imbalan berganti menjadi sistem upah (harian, borongan dan lain-lain). Saling
ketergantungan akan kebutuhan tenaga menjadi berkurang dan hubungan dengan sumberdaya
dari luar sistem usaha tani lebih bersifat ekonomis, dari pada bersifat hubungan radial seperti
sebelumnya. Munculnya organisasi ekonomi yang disertai nilai-nilai Barat perlahan-lahan
mengubah nilai radial kearah finansial.

Kondisi di atas bukan saja karena perbedaan persepsi terhadap tujuan pengembangan masyarakat
pedesaan, namun juga disebabkan oleh perbedaan nilai dan norma sosial dan ekonomi yang
dalam proses globalisasi dibawa dari nilai Barat yang lebih berorentasi ke arah nilai finansial
diukur dengan peningkatan pendapatan. Sedangkan sukses dan kesejahteraan dalam nilai
tradisional lebih bersifat komunal dan tercermin dari nilai-nilai lokal antara lain berupa tepo-sliro
dan kerukunan individu.

Kamaluddin (1983) menyebutkan beberapa sikap tradisional dalam masyarakat yang tidak sesuai
dengan keperluan pembangunan dan modernisasi. Diantaranya ialah :
(1) Sikap lambat menerima perubahan atau hal-hal yang baru sungguhpun akan menguntungkan
mereka.
(2) Sikap lebih suka mencari jalan yang paling mudah dan cepat mendatangkan hasil
sungguhpun tidak begitu besar, sebaliknya kurang berani memikul resiko pada usaha-usaha yang
kemungkinan keuntungannya lebih besar dan sifatnya jangka panjang.
(3) Sikap kurang bertanggung jawab dalam tugas pekerjaan serta mudah untuk tidak menepati
janji dalam hubungan-hubungan ekonomi.

Pada umumnya sikap-sikap hidup yang demikian itu lebih berakar dan lebih banyak terdapat di
kalangan masyarakat pertanian tradisional. Dan semakin berkembang kehidupan ekonomi serta
makin jauh pengaruh lingkungan alam tradisional, maka sikap hidup yang demikian itu telah
semakin berkurang.

Namun demikian harus diingat bahwa munculnya sikap tersebut bukan merupakan indikasi
bahwa petani tradisional tidak rasional. Sebaliknya justru kita sering merasa lebih pintar
sehingga kita tidak berusaha memahami petani dari sudut pandang mereka sendiri. Apa yang
dikemukan Kamaluddin di atas memang benar merupakan potret umum petani kita. Namun
sebenarnya sikap mereka juga dilandasi pertimbangan rasional. Apa yang sering luput dalam
pengamatan para ahli umumnya adalah bahwa petani kita juga memperhatikan aspek keamanan
pangan dalam kebijakan produksi mereka, sementara kebanyakan ahli kita hanya
memperhitungkan pada aspek finansial komersilnya saja. Sikap menghindari resiko (risk
aversion) misalnya, ini merupakan hal lumrah bagi petani yang penguasaan resourcenya sangat
terbatas. Bila gagal mereka tidak memiliki alternatif yang lain untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Sementara sebagian ahli hanya melihat bahwa potensi produksinya besar, namun
resiko dan pertimbangan keamanan pangan luput dari perhatian mereka.

Petani kita memang lambat menerima inovasi baru. Hal itu sebetulnya bisa dipahami dalam
kaitan dengan penjelasan di atas. Mereka ingin memperoleh tingkat kepastian yang lebih tinggi
bahwa hal baru tersebut memang menguntungkan. Dalam bisnis besarpun sesungguhnya
pertimbangan ini juga dilakukan, besarnya resiko dan ketidakpastian merupakan faktor yang
harus dipertimbangkan sebagai nilai negatif terhadap suatu usaha atau proyek yang akan
dijalankan.

Sementara sifat yang ketiga tampaknya hal ini tidak merupakan sifat spesifik petani. Sifat ini
juga dengan mudah kita jumpai pada pengusaha-pengusaha besar dalam berbagai bidang. Ini
lebih merupakan karakteristik personal orang per orang dari pada merupakan atribut umum yang
melekat pada petani.

Sebagai kesimpulan, memang petani kita hidup sederhana dan bersahaja, namun salah sekali
anggapan yang mengira bahwa mereka bodoh, tidak terampil dan tidak berpengetahuan.
Seungguhnya mereka berpengetahuan dan terampil pada tingkat yang sesuai dengan kebutuhan
mereka sebagai refleksi dari kesadaran mereka akan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang
mereka kuasai. Tidak ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa sikap hidup mereka tersebut
dapat menghambat kemajuan, pembangunan dan modernisasi. Sebaliknya, kegiatan
pembangunan justru akan terhambat kalau pelaksanaannya tidak concern dengan sifat, sikap dan
potensi spesifik di lokasi.

Transformasi Struktur Pertanian di Pedesaan

Pembangunan pertanian Indonesia dalam kurun waktu 1990an sesungguhnya telah mengacu
pada pendekatan agribisnis khususnya bidang pangan. Dalam arti telah melihat pentingnya
keterkaitan beberapa kegiatan yang saling menunjang, walaupun tidak selalu dilakukan secara
integral dalam suatu sistem. Pembangunan pabrik pupuk, pengembangan koprasi, penemuan
bibit unggul, penanganan pasca panen adalah beberapa contoh kegiatan pembangunan yang
memiliki keterkaitan erat dengan kegiatan usaha tani. Hal ini kemudian diwujudkan dengan
mengembangkan dan melaksanakan berbagai program pembangunan pertanian. Salah satu yang
dinilai paling sukses adalah Bimas padi, dengan berbagai tahap perkembangan program kegiatan
dari pilot proyek hingga Supra Insus.

Namun demikian pembangunan pertanian saat ini sangat terkonsentrasi pada pembangunan
usaha tani (on farm). Hal ini dapat dimengerti mengingat tahap perkembangan kegiatan usaha
tani Indonesia yang baru akan beranjak dari tahap subsisten menuju kegiatan yang terkait dengan
pasar. Di samping itu kebutuhan yang besar akan produk pertanian, khususnya bahan pangan
menyebabkan reorientasi kegiatan pertanian memang perlu dititikberatkan pada peningkatan
produksi. Kondisi ini kemudian tercermin pada pembangunan pedesaan pada umumnya. Dimensi
pengembangan usaha sangat dominan baik sarana dan prasarana, pembangunan kelembagaan,
dan bahkan pembangunan organisasi desa.

Proses pembangunan pertanian dengan strategi peningkatan produksi telah mencapai sasaran
yakni petani Indonesia mempunyai kemampuan untuk meningkatkan produksi dengan baik
sehingga tercapai swasembada beras sebagai bahan pangan utama masyarakat. Tetapi terjadi
masalah baru berupa kelebihan produksi (over production) yang kemudian menimbulkan
kelebihan penawaran (over supply) dan akhirnya harga rendah serta nilai tukar yang merugikan
petani. Dilain pihak harga input-input pertanian dan kebutuhan konsumsi mengalami
peningkatan harga, sehingga petani mengalami tekanan finansial yang berat.

Belajar dari pengalaman ekonomi Indonesia sendiri, maupan negara-negara lain, transformasi
struktural harus dapat diarahkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan
berkesinambungan sekaligus menunjang usaha penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian
transformasi struktural yang diharapkan terjadi adalah transformasi sturktural yang seimbang.

Proses transformasi struktural ditentukan oleh pemilihan konsep industrialisasi. Pemilihan


konsep industrialisasi ini sebenarnya tidak bisa langsung meniru dari negara lain yang dianggap
berhasil, karena bagaimanapun juga banyak sifat-sifat spesifik masyarakat yang menjadi variabel
tersembunyi yang tidak sama dengan sifat-sifat masyarakat dimana konsep industrialisasi

tersebut telah berhasil diterapkan dengan baik. Bagi Indonesia, industrialisasi seyogyanya harus
mendasarkan pada pengembangan kemampuan untuk memenuhi permintaan domestik dengan
jenis, kualitas dan kuantitas produk yang sesuai sehingga menguasai pasar.

Pengembangan agroindustri adalah salah satu contoh bentuk kegiatan yang berorientasi pada
penguasaan pasar domestik. Pengembangan agroibdustri ini bukan hanya bagi kepentingan
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bagi kepentingan penangkatan kesempatan kerja dan
peningkatan ekspor. Secara menyeluruh merupakan wujud transformasi struktural ekonomi
Indonesia, yaitu dari on farm agribusiness menjadi off farm agribusiness dengan agroindustri
sebagai leading sector. Oleh sebab itu strategi transformasi perlu diarahkan agar
pengembangan kegiatan off farm juga dapat dinikmati hasilnya oleh para petani dan
masyarakat pedesaan yang saat ini telah memberi sumbangan besar pada kegiatan on farm.

Namun yang menjadi ironi adalah meskipun inovasi-inovasi pertanian telah masuk ke pedesaan,
akan tetapi hal tersebut tidak terlalu signifikan dalam hal memecahkan masalah kemiskinan pada
masyarakat desa. Menurut Hagul (1986), bahwa kemiskinan dipedesaan merupakan resultan dari
beberapa factor, antara lain pertumbuhan penduduk, rendahnya kualitas sumber daya manusia,
dan rendahnya produktifitas. Terbukti dari rendahnya pendapatan (hasil panen per tahun biaya
produksi ) bersih mereka yang hanya cukup untuk makan seadanya. Malah, terkadang mereka
menaggung hutang pada koperasi kelompok-kelompok tani yag mereka bentuk, karena alasan
pendapatan minus karena terbebani biaya pembelian atau perawatan alat-alat modern yang
mereka pakai. Tidak sedikit pula dari mereka yang menggadaikan traktor mereka setelah panen
selesai demi memenuhi kebutuhan hidup. Lalu mengkredit atau berhutang untuk membeli traktor
ketika awal musim panen. Pendapatan dari hasil panen sebagian digunaan untuk membayar
hutang. Begitu seterusnya hingga rantai hutang itu berputar dan membelit para petani tersebut
sehingga untuk memenuhi kebuuhan sehari-hari pun sulit.

Sekitar awal bulan Agustus lalu, disiarkan kabar bahwa sebagian besar petani di Jawa Tengah, di
suatu Kabupaten, mereka beramai-ramai menggadaikan traktor mereka hanya untuk membeli
keperluan menjelang Lebaran. Ironis sekali memang. Mengapa mereka yang seharusnya bisa
makmur karena memiliki sumber daya (tanah pertanian) yang dapat digunakan sebagai sumber
pendapatan yang seharusnya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan lainnya
(saving, consuming, speculating) , malah masih tetap berada dibawah garis kemiskinan.

Dari fenomena-fenomena diatas, mulai dari berita yang dikabarkan media sampai pengalaman
pribadi yang hidup dalam lingkungan masyarakat petani di desa, maka penulis mencoba
mengkritisi dan ingin mencari jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat
pedesaan yang notabene adalah masyarakat petani yang menurut orang-orang tua dahulu, hidup

petani cukup mengandalkan kemurahan sang pencipta dari hasil memanfaatkan hasil bumi, akan
tetapi faktanya mereka masih tetap berada pada level menegah kebawah, atau dengan kata lain
masih banyak masyarakat petani di desa yang berada dibawah garis kemiskinan, padahal inovasiinovasi mulai dari inovasi dibidang alat-alat produksi seperti penggunaan traktor sampai inovasi
pada cara pengolahan lahan dan perawatan tanaman, seperti contoh penggunan pupuk kimia,
tetap saja tidak dapat menghantarkan mereka pada kehidupan yang lebih mapan.

3.

KESIMPULAN

Contoh kasus beserta analisis diatas menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan teknologi
maupu inovasi dibidang pertanian akan memberikan dampak bagi masyarakat desa, baik itu
dampak positif maupun dampak negative yang mengena pada segi-segi kehidupan masyarakat
pedesaan.

Dampak positifnya berbanding dengan dampak negatifnya. Dampak positifnya. Dampak


masuknya teknologi dan inovasi tersebut menimbulkan perubahan struktur, kultur dan
interaksional di pedesaan. Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Namun,
yang perlu ditekankan lagi adalah apakah dampak yang timbul itu bisa bersifat positif maupun
negative tergantung bagaimana cara kita memandang atas fenomena yang timbul akibat
masuknya teknologi dan informasi tersebut. Mungkin saja kita mengira teknologi maupun
inovasi yang masuk pada masyarakat pedesaan itu banyak yang berdampak positif, akan tetapi
senyatanya masyarakat desa merasakan dampak yang sebaliknya. Kenapa demikian? Karena kita
memaksakan melihat dan menginterpretasikan fenomena tersebut dengan sudut pandang kita dan
tidak berusaha memahami petani dari sudut pandang mereka sendiri.

Anda mungkin juga menyukai