Anda di halaman 1dari 28

A.

SEJARAH PENYAKIT
Kehamilan ektopik pertama kali dijelaskan pada abad ke11 sampai pertengahan
abad ke18.Yohanes Bard melaporkan intervensi bedah pertama yang berhasil untuk
mengobati kehamilan ektopik di New York City pada 1759. Tingkat kelangsungan
hidup di awal abad 19 masih rendah. Satu laporan menunjukkan hanya 5 pasien dari
30 pasien yang dapat bertahan hidup setelah operasi abdomen. Menariknya, tingkat
kelangsungan hidup pada pasien yang tidak diobati yaitu 1dari 3.
Pada awal abad ke-20, perbaikan besar dalam anestesi, antibiotik, dan transfusi
darah memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kematian ibu. Pada paruh
awal abad ke-20, 200-400 kematian per 10.000 kasus dikaitkan dengan kehamilan
ektopik. Pada tahun 1970, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mulai
merekam statistik mengenai kehamilan ektopik, pelaporan 17.800 kasus. Pada tahun
1992,

jumlahkehamilan

ektopik

meningkat

menjadi

108.800.

Bersamaan,

bagaimanapun, tingkat fatalitas kasus menurun dari 35,5 kematian per 10.000 kasus
pada tahun 1970 menjadi2,6 per 10.000 kasus pada tahun 1992.

B. ANATOMI

Uterus
Dalam keadaan tidak hamil

terdapat dalam ruangan pelvis


minor di antara vesika urinaria
dan

rectum.

belakang
tertutup

Permukaan

sebagian
oleh

sedangkan

besar

peritoneum
permukaan

depannya hanya di bagian


atasnya saja. Bagian bawah
dari permukaan depan melekat
pada dinding belakang vesika
urinaria.

Uterus

merupakan

alat yang berongga dan berbentuk sebagai bola lampu yang gepeng dan terdiri dari 2
bagian:
1. Corpus uteri berbentuk segitiga
2. Cervix uteri berbentuk silindris

Bentuk dan Ukuran Uterus


Bentuk dan ukuran uterus sangat berbeda-beda tergantung usia dan pernah
melahirkan anak atau belum. Sebelum pubertas, panjangnya bervariasi antara 2,5-3,5
cm. Uterus wanita nulipara dewasa panjangnya antara 6-8 cm, sedangkan pada wanita
multipara panjangnya 9-10 cm. Berat uterus wanita yang belum dan sudah pernah
melahirkan juga bervariasi antara 50-70 g pada yang belum pernah melahirkan, dan
80 g atau lebih pada yang sudah pernah. Hubungan antara panjang korpus uteri dan
panjang serviks juga sangat bervariasi. Pada anak perempuan pramenarke, panjang
korpus kurang lebih setengah panjang serviks. Pada wanita nulipara, panjang
keduanya kira-kira sama. Sedangkan pada wanita multipara, serviks hanya sedikit
lebih panjang dari sepertiga panjang total organ ini.
Sebagian besar korpus uteri terdiri dari otot, tetapi tidak demikian halnya dengan
serviks. Permukaan dalam dinding anterior dan posterior uterus hampir bersentuhan,
rongga di antaranya hanya merupakan celah sempit. Pada penampang frontal, rongga
korpus berbentuk segitiga. Kanalis servikalis berbentuk fusiformis dengan lubang
kecil pada kedua ujungnya, yaitu os interna dan os eksterna. Pada wanita yang pernah
melahirkan, tepi uterus menjadi cekung bukannya cembung, dan karenanya bentuk
segitiga rongga uterus menjadi tidak jelas terlihat lagi.
Dinding rahim secara histologik terdiri dari 3 lapisan:
(1) Lapisan

serosa

(lapisan

peritoneum), di luar
(2) Lapisan

otot

(miometrium),

di

tengah, terdiri otot polos yang


disusun sedemikian rupa sehingga
dapat mendorong isinya keluar pada
persalinan
(3) Lapisan mukosa (endometrium), di
dalam. Pada endometrium didapatkan lubang-lubang kecil, merupakan muaramuara dari saluran-saluran kelenjar uterus yang dapat menghasilkan sektret alkalis
yang membasahi cavum uteri. Epitel endometrium berbentuk silindris. Tebalnya,
susunan dan faalnya berubah secara siklis karena dipengaruhi oleh hormonehormon ovarium.

Otot uterus terdiri dari 3 lapisan:

Lapisan luar:
Lapisan seperti kap melengkung melalui funduns menuju ke arah ligament.

Lapisan dalam:
Merupakan serabut-serabut otot yang berfungsi sebagai sphincter terletak pada
ostium internum tubae da orificium uteri internum.

Lapisan tengah
Terletak antara ke dua lapisan di atas, merupakan anyaman serabut otot yang tebal
ditembus oleh pembuluh-pembuluh darah, jadi dinding uterus terutama dibentuk
oleh lapisan tengah ini.
Masing-masing serabut mempunyai 2 lengkungan hingga keseluruhannya
berbentuk angka 8, dengan struktur seperti ini setelah persalinan serabut-serabut
ini berkonstriksi dan menekan pembuluh darah, jadi bekerja sebagai penjepit
pembuluh darah.

Pembuluh darah uterus:


1. A. uterine:
Berasal dari arteri hypogastrica
yang melalui lig.latum menuju ke
sisi

uterus

ostium

kira-kira

uteri

setinggi

internum

dan

memberi darah pada uterus dan


bagian

atas

vagina

dan

mengadakan anastomose dengan


a.ovarica.
2. A. ovarica:
Berasal

dari

aorta,

masuk

lig.latum melalui lig.infundibulo


pelvicum dan memberi darah pada ovarium, tuba, dan fundus uteri.
Darah dari uterus dialirkan melalui vena uterine dan vena ovarica yang sejalan
dengan arterinya hanya vena ovarica kiri tidak masuk langsung ke dalam vena
cava inferior, tapi melalui vena renalis kiri.

Pembuluh lympha dari cervix menuju lymphoglandulae hypogastricae sedangkan


dari corpus uteri sebagian ke lympho glandulae lumbales.
Serat-serat saraf uterus
Kontraksi dinding uterus adalah autonom, tidak memerlukan rangsang dari
susunan saraf pusat. Serat-serat saraf yang datang dari susunan saraf pusat
rupanya hanya untuk mengkoodinir kontraksi. Uterus dipengaruhi oleh serat-serat
saraf simpatis maupun parasimpatis yang menuju ke ganglion servikal dari
Frankenhauser yang terletak di pangkal lig.sacro uterinum. Rangsang pada
ganglion ini misalnya berupa tekanan oleh kepala anak dapat menguatkan his.

Tuba Falopii
Tuba uterina keluar dari korpus uteri dengan panjang 8- 14cm, diameter 3-8 mm.

ini terdapat pada tepi atas lig. Latum, berjalan kea rah lateral, mulai dari cornu uteri
kanan kiri. Pada tuba ini dibedakan 4 bagian:

Pars interstitialis (intermuralis): bagian tuba yang berjalan dalam dinding uterus,
mulai pada ostium internum tubae.

Pars isthmica: bagian tuba setelah keluar dari dinding uterus, merupakan bagian
tuba yang lurus dan sempit.

Pars ampullaris: bagian tuba antara pars isthmica dan infundibulum merupakan
bagian tuba yang paling lebar dan berbentuk S.

Infundibulum: ujung dari tuba dengan umbai-umbai yang disebut fimbriae,


lubangnya disebut ostium abdominal tubae.
Fungsi tuba adalah (a) sebagai saluran telur, menangkap dan mebawa ovum yang
dilepaskan oleh indung telur, (b) tempat terjadinya pembuahan (konsepsi =
fertilisasi).

Ovarium
Ovarium merupakan bangunan oval di dan kiri uterus berukuran kira- kira

5x3x1,5 cm pada masa reproduksi. Ovarium terletak di fossa ovarica ( fossa


Waldeyer), yaitu suatu cekungan pada percabangan a. Iliaca ekserna dan a.
Hipogastrika. Vaskularisasi berasal dari a. Ovarica dan a.Uterina.

Ovarium diikat oleh dua ligamenta yaitu ligamentum ovarii proprium yang
menggantungkan ke uterus dan ligamentum suspensorium ovarii (infundibulopelvicum) yang menggantungkan ke dinding lateral panggul.
Selain fungsi utama sebagai temat pematangan sel-sel germinal, ovarium juga
berfungsi sebagi sumber produksi hormon- hormon.
Pada ovarium dibedakan :

Permukaan medial yang menghadap kearah cavum Douglasi dan permukaan


lateral.

Ujung atas yang berdekatan dengan tuba dan ujung bawah yang lebih dekat
dengan uterus (ekstremitas tubaria dan ekstremitas uterine).

Pinggir yang menghadap ke muka (margomesovaricus) melekat pada lembar


belakang lig.latum dengan perantaraan mesovarium dan pinggir yang menghadap
ke belakang (margo liber).

Ovarium terdiri dari bagian


luar (cortex) dan bagian dalam
(medulla). Pada cortex terdapat
folikel-folikel primordial. Pada
medulla

terdapat

pembuluh

darah, urat saraf dan pembuluh


lympha.

C. DEFINISI
Dalam keadaaan normal kehamilan akan terjadi intrauterin, nidasi akan terjadi
pada endometrium korpus uteri. Dalam keadaan abnormal implantasi hasil konsepsi
terjadi di luar endometrium rahim, disebut KEHAMILAN EKSTRAUTERIN.1
Kehamilan ekstrauterin tidaklah identik dengan kehamilan ektopik, karena
kehamilan pars intersitisial tuba dan kehamilan pada kanalis servikalis masih tedapat
dalam rahim, namun jelas sifatnya abnormal dan ektopik. Dalam pembicaraan
selanjutnya keduanya dimasukkan ke dalam kehamilan ektopik.1

Kehamilan ektopik berasal dari kata topos yang berarti tempat, ectopos yang
berarti tidak pada tempatnya, dimana telur yang difertilisasi tertanam di lokasi di luar
kavitas uteri, termasuk tuba fallopi, serviks, ovarium, daerah kornu uterus dan rongga
abdomen. 2
Istilah :
a. Kehamilan ektopik : kehamilan dengan hasil kosepsi berimplantasi di luar
endometrium rahim.
b. Kehamilan ektopik terganggu : kehamilan ektopik yang terganggu, dapat terjadi
abortu atau pecah, dan hal ini dapat berbahaya bagi wanita tersebut.
c. Kehamilan heterotopik : kehamilan intrauterin yang terjadi dalam waktu yang
berdekatan dengan kehamilan ektopik
d. Kehamilan ektopik kombinasi : kehamilan intrauterin yang terjadi bersamaan
dengan kehamilan ekstrauterin

D. EPIDEMIOLOGI
Sejak tahun 1970, frekuensi kehamilan ektopik telah meningkat 6 kali lipat, dan
sekarang terjadi pada 2% dari seluruh kehamilan. (medline) Angka kehamilan ektopik
per 1000

diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan

berkisar antara 2,7 hingga 12,9.

Insiden ini mewakili satu kecenderungan

peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah
meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia
ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi
induksi superovulasi. Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi
yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di
Amerika Serikat.
Di negara- negara berkembang, khususnya di Indonesia, pada RS Pirngadi Medan
(1979-1981) frekuensi 1 :39, di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (1971-1975)
frekuensi 1:24. Laporan dari negara lain berkisar antara 1:38 dan 1:150, dinegaranegara maju berkisar antara 1:250 dan 1:329, di Amerika kehamilan ektopik lebih
sering dijumpai pada wanita kuli hitam daripada kulit putih, karena prevalensi
penyakit peradangan pelvis lebih baik pada Negro. Frekuensi kehamilan ektopik
berulang adalah 1- 14,6%.

E. KLASIFIKASI
Menurut Titus klasifikasi pembagian tempat- tempat terjadinya kehamilan ektopik
adalah :
1. Kehamilan tuba
-

Interstisial (2%)

Isthmus (25%)

Ampula (55%)

Fimbrial (17%)

2. Kehamilan Ovarial (0,5%)


3. Kehamilan abdominal (0,1%)
-

Primer

Sekunder

4. Kehamilan tubo-ovarial
5. Kehamilan intraligamenter
6. Kehamilan servikal
7. Kehamilan tanduk rahim rudimenter

F. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Banyak faktor yang berperan pada risiko relatif dari kehamilan ektopik. Secara
teori, apapun yang menghambat migrasi embrio kedalam rongga endometrium dapat
menjadi predisposisi wanita pada kehamilan ektopik. Beberapa etilogi dan faktor
resiko berikut dihubungkan dengan kehamilan ektopik.

Faktor uterus :
-

tumor rahim yang menekan tuba

uterus hipoplastis

Faktor tuba :
-

Infeksi, Adanya peradangan atau infeksi pada tuba dapat menyebabkan lumen
tuba menjadi menyempit atau buntu.
Contoh : Pelvic inflammatory disease
Penyebab paling sering adalah infeksi yang disebabkan Chlamydia
trachomatis. Pasien dengan infeksi klamidia memiliki kisaran gejala klinis
tertentu, dari servisitis tidak bergejala sampai salpingitis dan PID. Lebih dari
50% wanita yang terinfeksi tidak menyadari paparan tersebut. Organisme lain

yang menyebabkan PID, seperti Neisseria gonorrhoeae, meningkatkan risiko


kehamilan ektopik. Suatu riwayat salpingitis meningkatkan risiko kehamilan
ektopik sampai 4 kali lipat. Angka kejadian kerusakan tuba meningkat setelah
kejadian PID berturut-turut (misalnya 13% setelah 1 serangan, 35% setelah 2
serangan, 75% setelah 3 serangan).
-

Keadaan uterus yang hipolplasia dan tuba yang sempit, panjang dan berlekuklekuk dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik.

Gangguan fungsi rambut getar (silia) tuba

Pasca operasi rekanalisasi tuba atau operasi dan sterilisasi tuba yang tidak
sempurna peningkatan terhadap faktor risiko timbulnya kehamilan ektopik.
Peningkatannya tergantung derajat kerusakan dan banyaknya perubahan
anatomisnya. Pembedahan membawa risiko lebih besar terjadinya kehamilan
ektopik

termasuk

salpingostomi,

neosalpingostomi,

fimbrioplasti,

reanastomosis tuba dan lisis dari peritubal atau adhesi periovarian.


Pembuahan setelah sebelumnya ligasi tuba meningkatkan risiko seorang
wanita untuk timbul kehamilan ektopik sebesar tiga puluh lima sampai 50%.
Kegagalan kauterisasi tuba bipolar lebih memungkinkan timbulnya kehamilan
ektopik dibandingkan oklusi menggunakan sutura, cincin atau klip.
Kegagalan dihubungkan dengan pembentukan fistula yang bisa dilalui
sperma. Kehamilan ektopik setelah sterilisasi tuba biasanya terjadi 2 tahun
atau lebih setelah disterilisasi, tidak langsung setelahnya. Pada tahun pertama,
hanya 6% kegagalan sterilisasi yang menghasilkan kehamilan ektopik.
-

Endometriosis tuba

Striktur tuba

Divertikel tuba dan kelainan kongenital lainnya

Perlengketan peritubal dan lekukan tuba

Tumor lain misanya myoma uteri atau tomor ovarium menekan tuba,
menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba

Lumen kembar dan sempit

Faktor ovum :
-

Migrasi eksterna dari ovum

Perlengketan membrana granulosa

Rapid cell devision

Migrasi internal ovum, bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh
tuba yang kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang
lebih panjang

Faktor abnormalitas dari zigot


Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot
akan tersendat dalam perjalanan saat melalui tuba, kemudian terhenti dan
tumbuh di saluran tuba.

Faktor hormonal
-

Pada akseptor, pil KB yag hanya mengandung progesteron dapat


mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik

Induksi ovulasi dengan klomifene sitrat atau terapi gonadotropin suntuk telah
dihubungkan dengan naiknya risiko kehamilan ektopik 4 kali lipat pada
sebuah penelitian case control. Penemuan ini menunjukkan telur yang
multipel dan kadar hormon yang tinggi sebagai faktor yang signifikan.

Sebuah

penelitian

pada

3000

pasien

yang

dibantu

reproduksinya

menunjukkan 4,5% di antaranya kehamilan ektopik. Penelitian lebih lanjut


menunjukkan 1% kehamilan yang didapat dengan teknik In Vitro Fertilization
(IVF) atau Gamate Intrafallopian Transfer (GIFT) bisa menjadi kehamilan
heterotopik, dibandingkan 1 dari 30000 pada pembuahan spontan.

Faktor resiko lain


-

Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya


Setelah satu kali kehamilan ektopik, seorang pasien mendapat kemungkinan
kehamilan ektopik yang meningkat 7-13 kali lipat. Secara keseluruhan,
seorang pasien dengan kehamilan ektopik sebelumnya memiliki kemungkinan
50-80% kehamilan intrauterine dan 10-25% kemungkinan kehamilan tuba di
masa depan.

Penggunaan alat intrauterin


Adanya alat intrauterin yang mengandung copper atau progesteron pada
awalnya diperkirakan sebagai faktor risiko kehamilan ektopik. Namun, hanya
IUD dengan progesteron yang memiliki nilai kehamilan ektopik lebih tinggi
dibandingkan wanita yang tidak menggunakan KB dalam bentuk apapun.
Tetap saja, bila seorang wanita dibuahi dengan IUD yang terpasang, lebih

mungkin hamil ektopik. Angka kejadian kehamilan ektopik dengan IUD


sebesar 3-4%.
-

Bertambahnya umur
Nilai tertinggi kehamilan ektopik terjadi pada wanita umur 35-44 tahun.
Sebanyak 3-4 kali lipat peningkatan risiko dibandingkan dengan wanita umur
15-24 tahun. Satu buah teori yang melibatkan aktivitas myoelektrikal pada
tuba fallopi, yang bertanggungjawab pada motilitas tuba. Bertambahnya umur
mengakibatkan hilangnya aktivitas myoelektrikal yang progresif sepanjang
tuba fallopi.

Merokok
Menghisap rokok telah menunjukkan peningkatan risiko kehamilan ektopik.
Sebuah penelitian menunjukkan peningkatan 1,6-3,5 kali dibandingkan yang
tidak merokok. Mekanisme yang diperkirakan melibatkan satu atau lebih
faktor berikut: ovulasi yang tertunda, perubahan tuba dan motilitas uterine
atau perubahan pada imunitas. Sampai saat ini, tidak ada penilitian yang telah
melaporkan

suatu

mekanisme

spesifik

dimana

menghisap

rokok

mempengaruhi timbulnya kehamilan ektopik.

G. PATOFISIOLOGI
Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di kavum
uteri.Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada nidasi secara
kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur
selanjutnya dibatasi olehkurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini
dan direabsorbsi. Pada nidasiinterkolumnar, telur bernidasi antara dua jonjot
endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup makaovum dipisahkan dari lumen oleh
lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena
pembentukan desidua di tuba malahan kadang-kadang sulit dilihat vilikhorealis
menembus endosalping dan masuk kedalam otot-otot tuba dengan merusak
jaringandan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya tergantung dari
beberapa faktor, yaitu;tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya
perdarahan yang terjadi oleh invasitrofoblas.
Di bawah pengaruh hormon esterogen dan progesteron dari korpus luteum
graviditi dantropoblas, uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat berubah
menjadi desidua. Beberapa perubahan pada endometrium yaitu; sel epitel membesar,

nukleus

hipertrofi,hiperkromasi,

lobuler,

dan

bentuknya

ireguler.

Polaritas

menghilang dan nukleus yang abnormalmempunyai tendensi menempati sel luminal.


Sitoplasma mengalami vakuolisasi seperti buih dandapat juga terkadang ditemui
mitosis. Perubahan endometrium secara keseluruhan disebutsebagai reaksi AriasStella.
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi kemudian
dikeluarkansecara utuh atau berkeping-keping. Perdarahan yang dijumpai pada
kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus disebabkan pelepasan desidua yang
degeneratif .
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai
10minggu. Karena tuba bukan tempat pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin
janin tumbuhsecara utuh seperti dalam uterus. Beberapa kemungkinan yang mungkin
terjadi adalah :
a. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresobsi total.
b. Abortus ke dalam lumen tuba
Oleh karena telur bertambah besar menembus endosalping (selaput lendir
tuba), masuk ke lumen tuba dan dikeluarkan ke arah infundibulum. Hal ini
terutama terjadi bila telur berimplantasi di daerah ampula tuba. Di sini biasanya
telur tertanam kolumnar karena lipatan-lipatan selaput lendir tinggi dan banyak.
Lagi pula di sini, rongga tuba agak besar hingga. telur mudah tumbuh ke arah
rongga. tuba dan lebih mudah menembus desidua kapsularis yang tipis dari
lapisan otot tuba. Abortus tuba kira-kira terjadi antara minggu ke-6-12.
Perdarahan yang timbul karena abortus keluar dari ujung tuba dan mengisi
kavum Douglas, terjadilah hematokel retrouterin. Ada kalanya ujung tuba tertutup
karena perlekatan-perlekatan hingga darah terkumpul di dalam tuba dan
menggembungkan tuba, yang disebut hematosalping.
Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding pembuluh darah oleh vili
korialis padadinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Segera setelah
perdarahan, hubungan antara plasenta serta membran terhadap dinding tuba
terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil konsepsi dikeluarkan melalui

ujung fimbrae tuba ke dalam kavum peritonium. Dalam keadaan tersebut


perdarahan berhenti dan gejala-gejala menghilang.

c. Ruptur tuba
Penyebab utama dari ruptur tuba adalah penembusan dinding vili korialis ke
dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur tuba sering terjadi bila
ovum yang dibuahi berimplantasi pada isthmus dan biasanya terjadi pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur yang terjadi pada pars-intersisialis pada
kehamilan lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau yang disebabkan
trauma ringan seperti pada koitus dan pemeriksaan vagina
Telur menembus lapisan otot tuba ke arah kavum peritoneum. Hal ini terutama
terjadi bila implantasi telur dalam istmus tuba. Pada peristiwa ini, lipatan-lipatan
selaput lendir tidak seberapa, jadi besar kemungkinan implantasi interkolumnar.
Trofoblas cepat sampai ke lapisan otot tuba dan kemungkinan pertumbuhan ke
arah rongga tuba kecil karena rongga tuba sempit. Oleh karena itu, telur
menembus dinding tuba ke arah rongga perut atau peritoneum.
Ruptur pada istmus tuba terjadi sebelum minggu ke-12 karena dinding tuba di
sini tipis, tetapi ruptur pada pars interstisialis terjadi lambat kadang-kadang baru
pada bulan ke-4 karena di sini lapisan otot tebal.
Ruptur bisa terjadi spontan atau violent, misalnya karena periksa dalam,
defekasi, atau koitus. Biasanya terjadi ke dalam kavum peritoneum, tetapi kadangkadang ke dalam ligamentum latum bila implantasinya pada dinding bawah tuba.
Pada ruptur tuba seluruh telur dapat melalui robekan dan masuk ke dalam
kavum peritoneum, telur yang keluar dari tuba itu sudah mati. Bila hanya janin
yang melalui robekan dan plasenta tetap melekat pada dasarnya, kehamilan dapat
berlangsung terus dan berkembang sebagai kehamilan abdominal. Oleh karena
pada awalnya merupakan kehamilan tuba dan baru kemudian menjadi kehamilan
abdominal, kehamilan ini disebut kehamilan abdominal sekunder. Plasentanya
kemudian dapat meluas ke dinding belakang uterus, ligamentum latum, omentum,
dan usus.
Jika insersi dari telur pada dinding bawah tuba, ruptur terjadi ke dalam
ligamentum latum. Kelanjutan dari kejadian ini ialah telur mati dan terbentuknya
hematom di dalam ligamentum latum atau kehamilan berlangsung terus di dalam
ligamentum latum.

Kehamilan tuba abdominal ialah kehamilan yang asalnya pada ujung tuba dan
kemudian tumbuh ke dalam kavum peritoneum.Yang dinamakan kehamilan tubaovarial ialah kehamilan yang asalnya ovarial atau tuba, tetapi kemudian
kantongnya terjadi dari jaringan tuba maupun ovarium.

H. MANIFESTASI KLINIS
Kehamilan ektopik biasanya baru memberikan gejala-gejala yang jelas dan khas
bila sudah terganggu dan kehamilan ektopik yang masih utuh, gejala-gejalanya
sama dengan kehamilan muda yang intrauterin. Bila kita bicara tentang gejala
kehamilan ektopik biasanya yang dimaksud ialah kehamilan ektopik yang
terganggu.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan keluhan:

Nyeri perut, gejala ini paling sering dijumpai dan terdapat pada hampir semua
penderita. Nyeri dapat unilateral atau bilateral di abdomen bawah, Kadang-kadang
terasa sampai daerah abdomen atas. Bila kavum abdomen terisi darah lebih dari
500 ml, akan menyebabkan perut tegang, nyeri tekan abdomen, distensi usus, dan
kadang-kadang nyeri menjalar ke bahu dan leher karena. adanya rangsang darah
pada diafragma.
Paling sering dialami adalah nyeri panggul dan abdomen (95%) dan amenore
disertai spotting atau perdarahan per vaginam dalam derajat tertentu (60-80%).
Dorfman dkk. Melaporkan bahwa gejala gastroentisnal (80%) dan pusing atau
perasaan mau pingsan (58%) sering terjadi. Pada ruptur, nyeri dapat terjadi
didaerah abdomen manapun. Nyeri dada pleuritik dapat terjadi akibat iritasi
diafragmatik yang disebabkan oleh perdarahan.

Perdarahan per vaginam, dengan matinya telur desidua yang mengalami


degenerasi dan nekrosis, selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk perdarahan.
Perdarahan ini pada umumnya sedikit, namun perdarahan yang banyak dari vagina
harus mengarahkan pikiran kita ke abortus biasa.

Amenore, riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih.
Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam
yang lazim pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal, dengan
demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.

PEMERIKSAAN FISIK:

Suhu, setelah perdarahan akut suhu dapat normal bahkan rendah. Suhu dapat
mencapai 38 derajat celcius, diatas itu jarang terjadi. Suhu penting untuk
membedakan kehamilan tuba dengan salpingitis akut.

Nyeri bahu karena perangsangan diagfragma

Abdomen : Tanda Cullen yaitu sekitar pusat atau linea alba kelihatan biru dan
lebam, nyeri tekan, shifting dullness (tanda- tanda perdarahan intraabdominal).
Atau berupa tanda- tanda akut abdomen : nyeri tekan hebat (defans muskulair),
muntah, gelisah, ucat, anemis, hipotensi dan takikardi (syok).

Pervaginam keluar decidual cast, keluarnya desidua dapat diikuti oleh kram yang
mirip dengan kram pada abortus spontan.

Pada pemeriksaan bimanual, massa pelvis dapat diraba pada sekitar 20% wanita,
ukuran berkisar 5-15 cm, dan massa seperti ini kadang lunak dan elastis. Bila
infiltrasi darah ke dalam dinding tuba luas, massanya mungkin keras. Massanya
ini hampir selalu terletak di posterior atau lateral dari uterus.

Pada pemeriksaan ginekolog (periksa dalam) terdapat :


-

Nyeri ayun: dengan menggerakkan porsio dan serviks ibu akan merasakan
sakit yang sangat

Douglas crise : rasa nyeri hebat pada penekanan kavum Douglasi

Kavum Douglasi terba menonjol karena terkumpulnya darah, begitu juga


teraba massa retrouterin (massa pelvis)

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berikut ini merupakan jenis pemeriksaan untuk membantu diagnosis kehamilan
ektopik :
-

Laboratorium: Hb, Leukosit


Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan ektopik
terganggu karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut. Akan tetapi,
kita harus insaf bahwa turunnya Hb disebabkan darah diencerkan oleh air dari
jaringan untuk mempertahankan volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2
hari. Oleh karena itu, mungkin pada pemeriksaan Hb yang pertama-tama kadar

Hb belum seberapa turunnya maka kesimpulan adanya perdarahan didasarkan


atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan Hb yang berturut-turut yaitu setiap
satu jam. Perdarahan juga menimbulkan naiknya angka leukosit (leukositosis)
yaitu pada perdarahan yang hebat angka leukosit tinggi, sedangkan pada
perdarahan sedikit demi sedikit leukosit normal atau hanya naik sedikit.
-

Pemeriksaan Urine untuk Kehamilan


Pemeriksaan urine yang tersering digunakan adalah pemeriksaan latex
agglutination inhibition (hambatan penggumpalan lateks) menggunakan slide
dengan sensitivitas untuk gonadotropin korion (hCG) dalam kisaran 500
hingga 800 rnIU/mL. Pada kehamilan ektopik, kemungkinan positif hanvalah
50 hingga 60 persen. Jika digunakan tabung, deteksi hCG adalah dalam
kisaran 150 hingga 250 mIU/dan uji ini positif pada 80 hingga 85 persen
kehamilan ektopik. Uji yang menggunakan enume-linked immunosorbent
assay (ELISA) sensitif hingga 10 sampai 50 mIU/mL dan positif pada 95
persen kehamilan ektopik.

Pemeriksaan Beta-hCG Serum


Pemeriksaan darah untuk mengecek hormon -hCG. Pemeriksaan ini diulangi
2 hari kemudian. Pada kehamilan muda, level hormon ini meningkat
sebanyak 2 kali setiap 2 hari. Kadar hormon yang rendah menunjukkan
adanya suatu masalah seperti kehamilan ektopik.
Radioimmunoassay, dengan sensitivitas 5 sampai 10 mIU/rni, merupakan
metode paling tepat untuk mendeteksi kehamilan. Karena saw kali basil
pemeriksaan serum yang positif tidak menyingkirkan kehamilan ektopik
maka dirancanglah beberapa metode yang menggunakan nilai serum
kuantitatif serial untuk menegakkan diagnosis. Metode ini sering digunakan
bersama dengan sonografi (lihat bagian selanjutnya tentang kombinasi B-hCG
plus sonografi).

Progesteron Serum
Satu kali pengukuran progesteron sering dapat digunakan untuk memastikan
kehamilan yang berkembang norrnal. Nilai yang melebihi 25 ng/mL
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik dengan sensitivitas 97,5
persen. Nilai yang kurang dart 5 ng/mL mengisyaratkan bahwa mudigah-janin
telah meninggal, tetapi tidak menunjukkan lokasinya. Kadar progesteron
antara 5 dan 25 rig/mi. bersifat inkonklusif.

Kuldosintesis (Douglas pungsi),


cara

ini

merupakan

cara

sederhana untuk mengedintifikasi


hemoperitoneum. Serviks ditarik
ke depan ke arah simpisis dengan
tenakulum, dan jarum ukuran 16
atau

18

dimasukkan

melalui

forniks posteror ke dalam cul-desac.

Bila

keluar

darah

tua

berwarna coklat sampai hitam


yang tidak membeku atau hanya berupa bekuan- bekuan kecil di atas kain
kasa maka hal ini dikatakan positif (fibrinasi) dan menunjukkan adanya
hematoma retrouterina, bila darah segar berwarna merah dan dalam beberapa
menit membeku, hasil negatif karena darah ini berasal dari arteri atau vena
yang terkena tusuk.
-

Dilatasi dan Kuretase


Adalah sebuah cara sederhana untuk menyingkirkan kehamilan ektopik
adalah untuk mendirikan sebuah kehamilan intrauterin. Dilatasi dan kuretase
adalah

metode

biaya-efektif

cepat

untuk

mendiagnosis

kehamilan

ektopik. Setelah sebuah kehamilan yang abnormal didirikan oleh tingkat


bhCG atau progesteron, kuretase dapat membantu membedakan antara
kehamilan intrauterin atau ektopik. Jika jaringan yang diperoleh adalah positif
untuk vili oleh mengambang dalam air garam atau dengan diagnosis
histologis pada bagian beku atau permanen, maka kehamilan intrauterin
nonviable telah terjadi. Dengan tidak adanya vili, diagnosis kehamilan
ektopik dibuat. Laparoskopi dapat dilakukan pada saat itu, atau kasus dapat
diikuti oleh seri bhCG tingkat serum dan diobati secara medis atau
pembedahan pada waktu kemudian, tergantung pada pengaturan klinis.
Metode dilatasi kuretase diagnostik dan hanya dapat digunakan, tentu saja,
dalam kasus di mana kelanjutan dari kehamilan yang tidak diinginkan bahkan
jika itu merupakan kehamilan intrauterin. Pada pasien mengalami dilatasi dan
kuret untuk diagnosis kehamilan ektopik, memperoleh persetujuan untuk
diagnostik, dan mungkin operasi, laparoskopi juga diperlukan dalam hal

diagnosis kehamilan ektopik dibuat, ini suku cadang paparan pasien untuk
prosedur operasi tambahan.Sementara dilatasi dan kuretase mudah dan
efektif, dapat memberikan jaminan palsu dalam kasus kehamilan heterotropic
mana kehamilan kembar yang hadir, dengan setidaknya satu yang intrauterin
dan ekstrauterin satu makhluk.
-

Laparaskopi, hanya digunakan sebagai alat bantu diagnosis terakhir apabila


hasil-hasil penilaian prosedur diagnostik lain untuk kehamilan ektopik
terganggu meragukan. Namun beberapa dekade terakhir alat ini juga dipakai
untuk terapi. Pasien dalam rasa sakit dan / atau mereka yang tidak stabil
hemodinamik

harus

melanjutkan

untuk

laparoskopi. Laparoskopi

memungkinkan penilaian dari struktur panggul, ukuran dan lokasi kehamilan


ektopik, kehadiran hemoperitoneum (lihat gambar di bawah), dan adanya
kondisi lain, seperti kista ovarium dan endometriosis, yang, ketika hadir
dengan kehamilan intrauterin, dapat meniru kehamilan ektopik. Selain itu,
laparoskopi menyediakan pilihan untuk mengobati setelah diagnosis
ditegakkan

Kehamilan

ektopik.

Laparoskopi tetap standar kriteria untuk

diagnosis, namun penggunaannya secara rutin pada semua pasien yang


diduga kehamilan ektopik dapat
perlu, morbiditas, dan

biaya.

menyebabkan resiko
Keuntungan

yang

laparoskopi

tidak
dibanding

ultrasonografi adalah laparoskopi dapat melihat keadaan rongga pelvis secara


a vue, ketepatan diagnostik lebih tinggi dan kerugiannya lebih invasif
dibandingkan dengan ultrasonografi.
-

Ultrasonografi
Keunggulan cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi ialah tidak invasif,
artinya tidak perlumemasukkan rongga dalam rongga perut.
a. Bila dapat dilihat kantong kehamilan intrauterin, kemungkinan kehamilan
ektopik sangat kecil.
Kantong kehamilan. intrauterin sudah dapat dilihat dengan ultrasonografi
pada kehamilan 5 minggu. Mencari kehamilan ektopik pada kehamilan 5
minggu lebih sulit dibandingkan dengan kehamilan intrauterin.
Combined pregnancy, yaitu terjadi kehamilan intrauterin, yang juga
terdapat kehamilan ektopik. Kejadian ini kemungkinannya sangat kecil.
b. Bila terlihat gerakan jantung janin di luar uterus, yang merupakan bukti
pasti kehamilan ektopik.

c. Kelainan adneksa, berupa:

Adanya kantung kehamilan

Bisa ditemukan janin (jarang)

Massa kompleks

Cairan bebas dampai ke cavum douglas

d. Massa di luar kavum uteri belum tentu suatu massa dari kehamilan
ektopik.
e. Kavum uteri kosong dengan kadar -hCG di atas 6.000 mIU/ml
kemungkinan adanya kehamilan ektopik sangat besar.
-

Foto Rontgen, tampak kerangka janin lebih tinggi letaknya dan berada dalam
letak paksa. Pada foto lateral tampak bagian-bagian janin menutupi vertebra
Ibu.

Konsul ke bagian bedah bila dicurigai apendisitis

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain
lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan
tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan
pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan
ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang
belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik
terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi
baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant
management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien
dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar -hCG. Pada
penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar -hCG yang stabil
atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan
kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan
ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan ektopik dengan kadar
-hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak ada perdarahan intraabdominal atau

ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber lain

menyebutkan bahwa kadar -hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL, dan
diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan
ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas
jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus
memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri
perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga
abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan
kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakitpenyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang
koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak
memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas
beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi
keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik,
methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan
kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga
menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan
medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi
methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil
darah yang normal. Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis
secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan
meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi
berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan
terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk
kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik
terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera
mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.
Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi,
antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum
tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang disebutkan
dalam literatur antara lain kadar -hCG, progesteron, aktivitas jantung janin, ukuran

massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun
disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar -hCG-lah yang bermakna secara
statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan -hCG serial dibutuhkan.
Pada hari-hari pertama setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien
akan mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari
tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang meregangkan dinding
tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik nonsteroidal. -hCG umumnya tidak
terdeteksi lagi dalam 14-21 hari setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari
pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan
ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai
kegagalan terapi. Setelah terapi berhasil, kadar -hCG masih perlu diawasi setiap
minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis
tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel
yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5,
dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam
regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari
ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek
negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9.
Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam
massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik
paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5
hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan
terapi methotrexate sebelumnya.
Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif
terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan
melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi
kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul.
Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup
tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.

Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan
tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan
ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada
2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan
konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana
salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal
sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan
tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila
pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan
per laparoskopi.
Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada
prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos
dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit
dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka
(tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold
standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel
membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per
laparoskopi. Durasi pembedahan
pada grup salpingostomi lebih lama
daripada durasi pembedahan pada
grup methotrexate, namun grup
salpingostomi

menjalani

masa

rawat inap yang lebih singkat dan


insidens

aktivitas

persisten

pada

grup

trofoblastik
ini

lebih

rendah. Meskipun demikian angka


keberhasilan terminasi kehamilan
tuba

dan

angka

kehamilan

intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada
salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif
antara salpingostomi dan salpingotomi.

Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang
sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi.
Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik
mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba
sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut
pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9)
massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan
anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum
terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat
menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya
sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula
histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi,
bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian
sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan
arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari
fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah
tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan
lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi
berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan

VARIAN-VARIAN KEHAMILAN EKTOPIK


Kehamilan Abdominal

Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik


sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga
abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas
akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan
90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas maternal dapat
disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC),
emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada
kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba
secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya,
namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus,
setelah ruptur tuba plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari
tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat
ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik
plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks
kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak
patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan
abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan
janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan
dinding abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion
antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang
jauh lebih baik daripada USG.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar 10-25%,
namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat
oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu.
Kelainan kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah,
kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan ancamanancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat
dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat mengalami
proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat
dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan
berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi,
terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis.
Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu
atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang mati mengalami proses

mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama


lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi.
Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat
implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium.
Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus
terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta
membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh
darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan
diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya
plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan
in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit
kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam
manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami
regresi dalam 4 bulan. Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus,
peritonitis, pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar
plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan
pencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar -hCG serum. Pemberian
methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan, karena
degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi
jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per
angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah
alternatif yang baik.
Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878, Spiegelberg
merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral
harus utuh, 2) kantong gestasi harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan
uterus harus berhubungan melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium
harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum faktor risiko
kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya
akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi
tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.
Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan

tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya
dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan
ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali mencakup
ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih
mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi
kehamilan ovarium yang belum terganggu.
Kehamilan Serviks
Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang.
Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan.
Burg mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu
cepat, yang disertai oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan
pula bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium
sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah
pengamatan pada 5 kasus kehamilan serviks mengindikasikan adanya hubungan
antara kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada
sindroma Asherman. Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa Jepang,
di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka kehamilan serviks yang
tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks juga berhubungan
dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks,
endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan
fibrosa dinding serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi.
Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar kemungkinan
janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan hebat. Perdarahan
per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya
mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20
minggu. Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik
lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi
20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase.
Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks sering kali mengakibatkan
perdarahan hebat karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan tidak
mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan tidak terkontrol, sering
kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien
ingin mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode

nonradikal yang digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan


kateter Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina,
embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis
segera setelah kuretase, dan balon kateter segera dikembangkan untuk
mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa.
Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan
hemostasis

(hemostatic suture) sebelum

dilakukan kuretase. Embolisasi

angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan
memberikan hasil yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks
di Italia24. Sebelum kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin,
gel atau kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang
terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba,
methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks. Methotrexate
adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis
kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya
memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu.
Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun
intraamnion.
Kehamilan Ektopik Heterotipik
Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterin.
Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade yang lalu insidens
kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa
insidensnya sekarang telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900
kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi. Kemungkinan
kehamilan heterotipik harus dipikirkan pada kasus-kasus sebagai berikut: 1)
assisted reproduction technique, 2) bila hCG tetap tinggi atau meningkat setelah
dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui tingginya
yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2 korpus luteum, 5) bila
terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin.

Diagnosis Diferensial :

Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah
mengenaiamenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang dapat diraba pada
pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi pelvik perbedaan suhu
rektal dan ketiak melebihi 0,5oC,selain itu leukositosis lebih tinggi daripada
kehamilan ektopik terganggu dan tes kehamilanmenunjukkan hasil negatif.

Abortus iminens/ Abortus inkomplit


Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu perdarahan lebih merah sesudah
amenore,rasa nyeri yang sering berlokasi di daerah median dan adanya perasaan
subjektif penderita yangmerasakan rasa tidak enak di perut lebih menunjukkan ke
arah abortus imminens atau permulaanabortus incipiens. Pada abortus tidak dapat
diraba tahanan di samping atau di belakang uterus,dan gerakan servik uteri tidak
menimbulkan rasa nyeri.

Tumor/ Kista ovarium


Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan pervaginam biasanya
tidak ada.Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat dibanding kehamilan
ektopik terganggu

Appendisitis
Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik uteri seperti
yangditemukan pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri perut bagian bawah pada
apendisitisterletak pada titik McBurney

Komplikasi Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)


Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Pada pngobatan konservatif, yaitu bila ruptur tuba telah lama berlangsung (4-6
mingg), terjadi perdarahan ulang (recurrent bleeding). Ini merupaka indikasi
operasi
2. Infeksi
3. Sub ileus

4. Sterilitas

Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis
dini dengan fasilitas daerah yang cukup. Di RS Pirngadi Medan selama 1979-1981
dari 78 kasus KET angka kematian ibu adalah nihil. Sjahid dan Martohoesodo
(1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus.
Hanya 60% dari wanita yang pernah KET menjadi hamil lagi, walaupun angka
kemandulannya akan menjadi tinggi.
Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%.
Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50%.
Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan
ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60%
wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi,
walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik
yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 14,6%. Kemungkinan melahirkan
bayi cukup bulan adalah sekitar 50% (1,2,7)

Anda mungkin juga menyukai