Pendahuluan
Salah satu hikmah dan tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh anak.
Anak sering dimaknai sebagai karunia Tuhan untuk membahagiakan dan
memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga merupakan
amanat Tuhan kepada ayah ibunya agar dipersiapkan sebagai
hamba untuk
berbagai sebab, mulai dari sebab yang bersifat medis sampai faktor keturunan.4
Dalam kondisi yang demikian, maka pasangan suami isteri akan berusaha untuk
menghadirkan anak di tengah kehidupan rumah tangganya, dengan jalan
menjadikan anak orang lain sebagai anak angkatnya.
Samsul Bahri adalah Ketua PA Yogyakarta dan Moh. Faizin, adalah Hakim PA Sumber
Dalam surat Al Dzariyat ayat 56, Allah menegaskan tugas pokok manusia adalah untuk
mengabdi kepadaNya
3
Firman Allah dalam surat Hud 61 mengisayaratkan, bahwa manusia juga mempunyai tugas
utama untuk memakmurkan bumi.
4
Afdol, Pengangkatan Anak dan Aspek Hukumnya menurut Hukum Adat, dalam Suara
Uldilag Vo. 3 No.XI, Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2007, hlm. 61-62
2
Pada sisi yang lain, ada anak yang seharusnya memperoleh hak-haknya
sebagai anak seperti kasih sayang, pendidikan dan nafakah tetapi tidak
mendapatkannya. Tidak sedikit orang tua yang seharusnya bertanggungjawab
untuk memenuhi hak-hak anak telah dilahirkan mereka,5 akan tetapi karena antara
lain keterbatasan keterbatasan ekonomi orang tua anak atau salah satu atau kedua
orang tua anak sudah tidak ada lagi, sehinggga mereka tidak bisa memenuhi
tanggungjawabnya itu.6 Kondisi sosial anak yang demikian sering menimbulkan
kepedulian sosial pada pasangan suami isteri untuk menjadikan mereka sebagai
anak angkatnya, meskipun sudah hadir anak keturunan yang telah dilahirkannya.
Pengangkatan anak
seperti ikatan emosional dan kasih sayang yang menghilangkan asal anak yang
bukan dari darah bilogisnya. Akan tetapi akibat lanjutannya adalah timbulnya
pengakuan orang tua angkat terhadap hak anak angkat atas harta peninggalannya,
yang kemudian berujung pada pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik
dari orang tua angkat maupun orang tua asal (kandung).7
Adanya kedudukan dan hak anak angkat atas harta peninggalan telah
diatur dalam setiap stelsel hukum (Islam, Barat dan Adat keuda terkahir tidak
Alfun Nimatil Husna, Status Kewarisan Anak Angkat Menurut Hukum Islam dan Hukum
Perdata Di Indonesia, tesis pada UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008, hlm. 45.
6
Winarsih Imam Subekti, Pengaturan dan Akibat Hukum Pengankatan Anak menurut
Hukum Perdata, dalam Suara Uldilag Vol. 3 Nomor XI, Mahkamah Agung Urusan Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta, 2007, hlm. 77
7
Thahir Azhary, Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam dan Kewenangan Peradilan
Agama dalam Hal Pengangkatan Anak, dalam , dalam Suara Uldilag Vo. 3 No.XI, Mahkamah
Agung Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2007, hlm 2.
dibahas). Menurut KHI, angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk
kehidupan
sehari-hari,
biaya
pendidikan
dan
sebagaimnya
beralih
tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan Pengadilan.8 Sedangkan Pasal 209 mengatur ketentuan kewarisan anak
angkat dan orang tua angkat. Pasal 209 ayat (1) mengatur wasiat wajibah anak
angkat terhadap orang tua angkatnya sebanyak-banyaknya 1/3 bahagian dari harta
warisan anak angkatnya. Pasal 209 ayat (2) menentukan bahwa anak angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua anaknya.9 Ketentuan
Pasal 171 huruf (h) KHI, dalam Zainal Abidin Abubakar, Himpunan PeraturanPerundangundangan di LIngkungan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1991, hlm. 112.
9
Zainal Abidin Abu Bakar, Himpunan Peraturan Perundangan di Lingkungan Peradilan
Agama, Yayasan al Hikmah, Jakarta, 1991, hlm. 145.
10
Dede Ibin, Wasiat Wajibah bagi Ahli Waris Nonmuslim, dalam Mumbar Hukum No. 26,
Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2003, hlm. 34.
11
Erlyn Indarty, Diskresi Huhum Kepolisian,untuk kalangan sendiri Akpol, Semarang, 2006,
hlm. 23. Diskresi hukum, dimaksud otoritas yang memberi kewenangan untuk melakukan kreasi
hukum dalam kerangkan mencapai tujuannya, yaitu menciptakan keadilan.
siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris dan telah ditetapkan pula bagiannya
masing, yang didasarkan pada hubungan darah dan perkawinan, yang disebut
dengan dzawil furudl dan dzawil arham dengan ketentuan porsi bagiannya masingmasing12. Sementara itu anak angkat tidak termasuk dalam kedua golongan ahli
waris tersebut. Oleh karena itu, ketika anak angkat ditetapkan berhak atas
sebagaian harta peninggalan orang tua anaknya, boleh jadi akan menghilangkan
atau setidaknya mengurangi bagian ahli waris yang termasuk dzwil furudl atau
dzawil arham. Di sinilah diperlukan jawaban filosofis problematika keadilan hak
anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang terurai di atas maka dirumuskan masalah dalam
pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa landasan filosofis KHI menetapkan wasiat wajibah bagi anak angkat ?
2. Apakah besaran 1/3 bagian hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua
angkat dapat dianggap adil, menurut keadilan hukum, keadilan moral, dan
keadilan sosial ?
C. Pembahasan
Seperti diuraikan di atas, Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan bahwa
anak angkat berhak atas harta peninggalan orang tua angkatnya dengan besaran
maksimal 1/3 bagian.13 Di samping Kompilasi Hukum Islam yang telah
12
13
menetapkan anak angkat memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua
angkatnya, dan terdapat
memperoleh 1/3 bagian harta peninggalan orang tua angkatnya, melalui wasiat
wajibah14
Putusan Mahkamah Agung RI No. 38.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober
1998 M. yang telah menjadi yurisprudensi tersebut mengadili kasus sengketa
warisan antara dua orang isteri, tetapi di dalamnya terdapat anak angkat yang
kemudian ditetapkan memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua
angkatnya.15 Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut bagi penulis
merupakan upaya konkreitisasi kaidah hukum dalam KHI. Sehingga keraguan
terhadap landasan yuridis KHI tidak menjadi soal, karena sudah ditunjuk oleh
Mahkamah Agung sebagai hukum positif,
tertulis. Dengan demikian apabila mereka dihadapkan pada kasus kewarisan anak
angkat, maka akan menggunakan putusan Mahkamah Agung sebagai salah satu
landasan hukumnya.
1. Landasan Filosofis Hak Anak Angkat melalui Wasiat Wajibah
Landasan filosofis adalah landasan yang dibangung atas dasar pemikiran
yang mendalam, dalam kerangka mencari kebenaran secara sitematis dan metodis
14
dengan cara melakukan refleksi makna yang hakiki dari keseluruhan fenomena
yang ada, sehingga menemukan kebenaran yang bersifat logis.16
Landasan filosofis juga mengandung pengertian pemikiran yang dilandasi
oleh cita-cita luhur yang menjadi pandangan hidup bangsa, sebagai salah satu
unsur untuk menjamin berlakunya suatu atura hukum. Dua unsur lainnya adalah
landasan yuridis, yaitu bahwa suatu aturan hukum harus dibuat oleh otoritas yang
berwenang ( badan legislative) dan sosiologis, yaitu bahwa hukum yang dibuat
haruslah merupakan kristalisasi dari nilai nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Artinya suatu aturan hukum akan efektif apabila dibangun di atas tiga
pandangan hidup bangsa yang bersangkutan, memuat nilai hukum yang hidup di
dalamnya dan aturan hukum dibuat oleh badan perwakilan yang berwenang.17
Dalam konteks Indonesia, landasan filosofis dari hukum yang berlaku
adalah Pancasila, sebagai pandangan hidup bangsa Indoneseia. Falsafah Pancasila
mengandung inti pengakuan tentang adanya Tuhan, yaitu sebagai kausa prima,
dan manusia, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, yang harus bekerja
sama dan gotong royong, dengan adil.18 Manusia sebagai pendukung pokok silasila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas
susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk Tuhan Yang
16
Maha Esa. Maka secara hierarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila
Pancasila lainnya.19
Uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa Pancasila sebagai landasan
filosofis merupakan sistem moral yang membimbing manusia Indonesia agar
berketuhanan, berkemanusiaan dan berkeadilan. Dengan demikian peran filosofis
Pancasila secara konstitutif yang menentukan dasar dan memberi peran regulative,
pada aturan hukum positif yang berlaku. Sementara itu KHI merupakan produk
konstitusional lembaga presiden, yaitu Instruksi Presiden (Inpres). Oleh karena
itu, dalam membahas landasan filosofis penetapan wasiat wajibah anak angkat
untuk memperoleh harta warisan dengan besaran 1/3 bagian, harus membahasanya
menurut falsafah Pancasila.
19
Ibid,
kepada mereka yang lemah dan tidak berdaya. Tidak kurang dari 37 ayat Al
Quran yang memerintahkan shalat selalu dirangkaikan dengan shalat, yang
menunjukan bahwa antara pengabdian kepada tuhan selalu berujung pada
kepedulian sosial. Dalam salah satu haditsnya Rasul juga menyatakan bahwa
orang tidak peduli dengan sesama bukan termasuk golongan kaum muslimin (man
la yahtamma bi amril muslimin falaysa minny)
hlm. 134.
Rifyal Kabah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004,
Oleh
karena itu dalam keadilan tersirat membangun kehidupan bersama yang lebih
baik, yaitu kehidupan adil dan baik bagi kemanusiaan.
Demikian juga, putusan hakim dianggap
hlm. 78.
22
Bernard L Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi,tp, tt, hlm. 150.
23
Ahmad Kholil, Menyoal Legal Justice, Moral Justice dan Sosial Justice, dalam
www.badilag.net. Diakses tanggal 11 Oktober 2014.
10
Pada sisi lain hukum adalah instrumen penguasa (Negara) untuk mengatur
pihak yang dikuasai (masyarakat). Ini berarti Negara bertanggungjawab atas
ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Utuk menciptakan keadilan,
Negara harus membuat aturan hukum yang menguntungkan semua pihak,
terutama kelompok yang rentan terhadap ketidak-adilan, dalam kerangka
memberikan perlindungan sekaligus menguntungkan bagi kelompok yang
lemah.24
Dalam KHI25 dan putusan hakim26 telah ditentukan bahwa anak angkat
memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Dengan
demikian ketentuan anak angkat memperoleh 1/3 bagian dari harta
peninggalan orang tua angkatnya
24
Muhammad Ali Safaat, Pemikiran Keadilan, (Plato, Aristoteles dan John Rawls), dalam
www.anomalisemesta.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.
25
Dalam teori perundang-undangan, instruksi presiden tidak termasuk dalam instrument
pembentukan peraturan, sehingga KHI yang berdasar inpres tidak dianggap sebagai peraturan
perundangan-udangan dalam arti sebagai hukum tertulis. Akan tetapi menurut Hamid S Attamimy,
instruksi presiden juga dapat bersifat mandiri berfungsi sebagai pengaturan.. Tapi lepas dari
polemic tersebut, secara fungsional KHI telah menjadi rujukan hukum di pengadilan agama dan
tidak ada persoalan yang timbul karenanya. Lihat Ismail Sunny, Kedudukan KHI Ditinjau dari
Teori Hukum, dalam Berbagai Pandangan mengani KHI Yayasan Al Hikmah Jakarta, 1996, hlm.
89
26
Di samping yurisprudensi juga ada putusan PN Kudus, yang telah menetapkan anak
angkat memperoleh 1/3 bagian harta peninggalan orang tua angkat berdasarkan KHI. Lihat : Evi
Krisitiani, Hak Waris Anak Angkat menurut KHI, diakses dari www.unnes.ac.id, tanggal 10
Oktober 2014.
11
b.
27
John Ralws, Theory Of Justice, Terj. Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007,
hlm. 125
28
12
Jadi apa yang baik adalah apa yang dinilai oleh al Quran sebagai baik, dan
sebaliknya, meskipun tidak sesuai dengan keinginan manusia.30
Dalam surat al Balad ayat 10 dan 11, ditegaskan bahwa
Allah telah
menunjukkan dua jalan, yaitu jalan yang baik dan jalan yang buruk. Kebaikan
dan keburukan secara fitrah telah diilhamkan kepada jiwa manusia sejak
mencapai kesempurnaan penciptaannya, demikian pula diuraikan dalam surah
al Syams ayat 7 dan 8.
Pelaksanaan konsep moral dalam pergaulan manusia oleh alquran
disebut dengan makruf, artinya kebaikan yang dikenal dan dilaksanakan.
Seperti menyantuni orang yang kekurangan, membela yang lemah,
menghormati orang tua pasti dinyatakan sebagai hal yang baik, hanya setiap
zaman dan tempat eksrpesi kebaikan itu berbeda-beda, dan itu tetap baik
selama memuliakan manusia, maka ia tetap dinilai sebagai makruf.31 Dengan
demikian menegakkan keadilan moral pada hakekatnya melaksanakan perintah
agama, karena pada saat yang sama Islam mengajarkan tidak boleh berbuat
dhalim termasuk kepada diri sendiri dan orang lain.32
Moralitas (Islam) yang demikian bila dikaitkan dengan ketentuan KHI
yang memberikan hak anak angkat sebesar 1/3 bagian dari harta peninggalan
orang tua angkatnya, menunjukkan kebaikan yang dianjurkan. Banyak ayat al
Quran dan as Sunnah yang menganjurkan memberikan kebaikan kepada orang30
13
orang yang kurang beruntung, sekalipun tidak ada ikatan hukum apa pun.
Sebaliknya pada anak angkat yang mempunyai hubungan hukum berdasarkan
putusan pengadilan, lebih layak lagi menerima kebaikan berupa bantuan materi
dari orang tua angkatnya.
Singkatnya, memberikan 1/3 bagian harta kepada anak angkat, merupakan
keadilan berdasarkan moral, yaitu keadilan yang berdasarkan kebaikan dengan
tolok ukur ajaran agama Islam. Karena menurut ketentuan pasal 209 KHI,
memberikan hak 1/3 kepada anak angkat merupakan ketentuan maksimal.
Apabila adil dinyatakan sebagai memberi hak kepada yang berhak, maka hak
anak angkat atas 1/3 bagian merupakan keadilan karena dalam ketentuan KHI
ditegaskan anak angkat demikian. Artinya ketika anak angkat diberi 1/3 bagian
dari harta peninggalan orang tua angkatnya, berarti
memberikan bagian anak angkat sesuai dengan haknya, yakni 1/3 bagian
Sementara itu, dari sisi moral, tidak ada dapat disangkal lagi memberi
dalam kerangka untuk menjamin kehidupan yang lebih sejahtera merupakan
kebaikan. Islam sebagai sumber moral menganjurkan untuk memberi jaminan
kesejahteraan kepada orang lain. Salah satu teks keagamaan menunjukkan hal
ini adalah surat al Maidah : 32 , yang berbunyi :
Artinya : barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, berarti ia
memelihara kehidupan seluruh umat manusia,
14
modifikasi dicantumkan sebagai salah satu sila dari Pancasila dan tercantum
33
15
melalui berbagai
35
hlm.67-68.
Safruddin Bahar et al, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Setneg RI, Jakarta, 1992,
16
pengangguran, yang setidaknya akan menciptakan rasa adil bagi orang yang
kebetulan terpinggirkan.
Oleh karena itu, pemberian hak kepada anak angkat untuk memperoleh
bagian dari harta peninggalan orang tua angkat merupakan wujud dari keadilan
social., terlepas dari berapa besaran bagian yang diperoleh anak angkat. Seperti
diketahui, redaksi pengertian anak angkat menurut pasal 171 huruf (h) KHI
dicantumkan frasa kata pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan, dan sebagainya.
angkat sebesar 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya, dapat
dilihat pula dari filantropi orang tua angkat. Sikap filantropi pemberian 1/3
bagian kepada anak angkat paling tidak mempunyai dua makna, pertama
secara material, pemberian kepada anak angkat dapat mengentaskan anak dari
penderitaan dan menghidarkannya dari ketidak pastian di masa depannya.
Kedua, adalah makna moral, meskipun nilai 1/3 bagian tidak memberikan
jaminan kesejahteraan, akan rasa disayangi dan memperoleh perlakuan adil ini
akan menumbuhkan kepercayaan diri pada di anak angkat.
Simpulan dan Penutup
Setelah melakukan kajian filosofis hak anak angkat atas harta peninggalan
orang tua angkat menurut KHI, penulis dapat menyampaikan simpulan sebagai
berikut:
1. Landasan filosofis adalah landasan pencarian kebenaran berdasarkan pada
falsafah Pancasila, yang nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai kemanusiaan dan
17
nilai-nilai keadilan. Pemberian besaran hak anak angkat 1/3 bagian dari
harta peninggalan merupakan kebenaran yang berdasarkan pada nilai-nilai
ketuhanan Islam yang menjiwai nilai kemnausiaan dan nilai keadilan.
2. Besaran hak anak angkat 1/3 bagian hari harta peninggalan orang tua
angkatnya juga mempunyai landasan :
a. Keadilan hukum besaran hak anak angkat untuk memperoleh 1/3
bagian melalui wasiat wajibah didasarkan pada Instruksi Presiden
sebagai otoritas pembuat peraturan yang mandiri.
b. Besaran hak anak angkat 1/3 bagian adalah mengandung keadilan
moral yang luhur, karena bertujuan untuk kesejahteraannya, dan
merupakan kebaikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama
(Islam).
c. Keadilan sosial pada pokoknya keadilan yang bertumpu pada keadilan
ekonomi untuk kesejehteraan bersama, maka besaran hak anak angkat
1/3 bagian harta peninggalan kepada anak angkat, bertujuan untuk
mencapai kesejahteraan anak yang bersangkutan.
Demikian pandangan penulis dalam memahami keadilan dalam hak anak angkat
yang memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua anaknya. Sebagai
sebuah pandangan ini, tentu ia bersifat subyektif. Tetapi mudah-mudahah dapat
memantapkan keyakinan, bahwa hak anak anak mempunyai landasan filosofis
serta mengandung dimensi keadilan hukum, keadilan moral dan keadilan sosial.
18