Anda di halaman 1dari 18

LANDASAN FILOSOFIS HAK ANAK ANGKAT ATAS HARTA

PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT DALAM


KOMPILASI HUKUM ISLAM
Oleh : Samsul Bahri dan Moh Faizin 1)

Pendahuluan
Salah satu hikmah dan tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh anak.
Anak sering dimaknai sebagai karunia Tuhan untuk membahagiakan dan
memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga merupakan
amanat Tuhan kepada ayah ibunya agar dipersiapkan sebagai

hamba untuk

mengabdi kepadaNya2 dan sekaligus menjadi khalifahNya untuk memakmurkan


bumi.3
Akan tetapi pada kenyataannya, pada satu sisi ada pasangan suami isteri
yang tidak kunjung mempunyai

anak keturunan yang didambakan, dengan

berbagai sebab, mulai dari sebab yang bersifat medis sampai faktor keturunan.4
Dalam kondisi yang demikian, maka pasangan suami isteri akan berusaha untuk
menghadirkan anak di tengah kehidupan rumah tangganya, dengan jalan
menjadikan anak orang lain sebagai anak angkatnya.

Samsul Bahri adalah Ketua PA Yogyakarta dan Moh. Faizin, adalah Hakim PA Sumber
Dalam surat Al Dzariyat ayat 56, Allah menegaskan tugas pokok manusia adalah untuk
mengabdi kepadaNya
3
Firman Allah dalam surat Hud 61 mengisayaratkan, bahwa manusia juga mempunyai tugas
utama untuk memakmurkan bumi.
4
Afdol, Pengangkatan Anak dan Aspek Hukumnya menurut Hukum Adat, dalam Suara
Uldilag Vo. 3 No.XI, Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2007, hlm. 61-62
2

Pada sisi yang lain, ada anak yang seharusnya memperoleh hak-haknya
sebagai anak seperti kasih sayang, pendidikan dan nafakah tetapi tidak
mendapatkannya. Tidak sedikit orang tua yang seharusnya bertanggungjawab
untuk memenuhi hak-hak anak telah dilahirkan mereka,5 akan tetapi karena antara
lain keterbatasan keterbatasan ekonomi orang tua anak atau salah satu atau kedua
orang tua anak sudah tidak ada lagi, sehinggga mereka tidak bisa memenuhi
tanggungjawabnya itu.6 Kondisi sosial anak yang demikian sering menimbulkan
kepedulian sosial pada pasangan suami isteri untuk menjadikan mereka sebagai
anak angkatnya, meskipun sudah hadir anak keturunan yang telah dilahirkannya.
Pengangkatan anak

ternyata tidak hanya menimbulkan akibat sosial,

seperti ikatan emosional dan kasih sayang yang menghilangkan asal anak yang
bukan dari darah bilogisnya. Akan tetapi akibat lanjutannya adalah timbulnya
pengakuan orang tua angkat terhadap hak anak angkat atas harta peninggalannya,
yang kemudian berujung pada pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik
dari orang tua angkat maupun orang tua asal (kandung).7
Adanya kedudukan dan hak anak angkat atas harta peninggalan telah
diatur dalam setiap stelsel hukum (Islam, Barat dan Adat keuda terkahir tidak

Alfun Nimatil Husna, Status Kewarisan Anak Angkat Menurut Hukum Islam dan Hukum
Perdata Di Indonesia, tesis pada UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008, hlm. 45.
6

Winarsih Imam Subekti, Pengaturan dan Akibat Hukum Pengankatan Anak menurut
Hukum Perdata, dalam Suara Uldilag Vol. 3 Nomor XI, Mahkamah Agung Urusan Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta, 2007, hlm. 77
7
Thahir Azhary, Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam dan Kewenangan Peradilan
Agama dalam Hal Pengangkatan Anak, dalam , dalam Suara Uldilag Vo. 3 No.XI, Mahkamah
Agung Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2007, hlm 2.

dibahas). Menurut KHI, angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk
kehidupan

sehari-hari,

biaya

pendidikan

dan

sebagaimnya

beralih

tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan Pengadilan.8 Sedangkan Pasal 209 mengatur ketentuan kewarisan anak
angkat dan orang tua angkat. Pasal 209 ayat (1) mengatur wasiat wajibah anak
angkat terhadap orang tua angkatnya sebanyak-banyaknya 1/3 bahagian dari harta
warisan anak angkatnya. Pasal 209 ayat (2) menentukan bahwa anak angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua anaknya.9 Ketentuan

ini menunjukkan anak angkat tidak

mungkin memperoleh harta peninggalan dengan jalan warisan, sehingga dibentuk


lembaga wasiat wajibah.10 Jadi wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan (KHI) terhadap orang tua angkat agar, sebagai
jalan untuk harta peninggalannya kepada anak angkatnya. Dalam kajian teori
hukum, KHI melakukan diskresi hukum11 terhadap wasiat wajibah yang dalam
fiqh klasik hanya untuk cucu dan non muslim.
Ketentuan dalam KHI ini menimbulkan problem filosofis yang berkaitan
dengan keadilan. Karena dalam hukum kewarisan Islam (fiqh), telah ditentukan

Pasal 171 huruf (h) KHI, dalam Zainal Abidin Abubakar, Himpunan PeraturanPerundangundangan di LIngkungan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1991, hlm. 112.
9
Zainal Abidin Abu Bakar, Himpunan Peraturan Perundangan di Lingkungan Peradilan
Agama, Yayasan al Hikmah, Jakarta, 1991, hlm. 145.
10
Dede Ibin, Wasiat Wajibah bagi Ahli Waris Nonmuslim, dalam Mumbar Hukum No. 26,
Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2003, hlm. 34.
11
Erlyn Indarty, Diskresi Huhum Kepolisian,untuk kalangan sendiri Akpol, Semarang, 2006,
hlm. 23. Diskresi hukum, dimaksud otoritas yang memberi kewenangan untuk melakukan kreasi
hukum dalam kerangkan mencapai tujuannya, yaitu menciptakan keadilan.

siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris dan telah ditetapkan pula bagiannya
masing, yang didasarkan pada hubungan darah dan perkawinan, yang disebut
dengan dzawil furudl dan dzawil arham dengan ketentuan porsi bagiannya masingmasing12. Sementara itu anak angkat tidak termasuk dalam kedua golongan ahli
waris tersebut. Oleh karena itu, ketika anak angkat ditetapkan berhak atas
sebagaian harta peninggalan orang tua anaknya, boleh jadi akan menghilangkan
atau setidaknya mengurangi bagian ahli waris yang termasuk dzwil furudl atau
dzawil arham. Di sinilah diperlukan jawaban filosofis problematika keadilan hak
anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang terurai di atas maka dirumuskan masalah dalam
pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa landasan filosofis KHI menetapkan wasiat wajibah bagi anak angkat ?
2. Apakah besaran 1/3 bagian hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua
angkat dapat dianggap adil, menurut keadilan hukum, keadilan moral, dan
keadilan sosial ?
C. Pembahasan
Seperti diuraikan di atas, Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan bahwa
anak angkat berhak atas harta peninggalan orang tua angkatnya dengan besaran
maksimal 1/3 bagian.13 Di samping Kompilasi Hukum Islam yang telah

12
13

Fathurrahman, Ilmu Waris, Pustaka Al Maarif, Jakarta, 1980, hlm. 23.


Pasal 209 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.

menetapkan anak angkat memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua
angkatnya, dan terdapat

pula yurisprudensi yang menetapkan anak angkat

memperoleh 1/3 bagian harta peninggalan orang tua angkatnya, melalui wasiat
wajibah14
Putusan Mahkamah Agung RI No. 38.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober
1998 M. yang telah menjadi yurisprudensi tersebut mengadili kasus sengketa
warisan antara dua orang isteri, tetapi di dalamnya terdapat anak angkat yang
kemudian ditetapkan memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua
angkatnya.15 Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut bagi penulis
merupakan upaya konkreitisasi kaidah hukum dalam KHI. Sehingga keraguan
terhadap landasan yuridis KHI tidak menjadi soal, karena sudah ditunjuk oleh
Mahkamah Agung sebagai hukum positif,

bukan lagi sebagai hukum tidak

tertulis. Dengan demikian apabila mereka dihadapkan pada kasus kewarisan anak
angkat, maka akan menggunakan putusan Mahkamah Agung sebagai salah satu
landasan hukumnya.
1. Landasan Filosofis Hak Anak Angkat melalui Wasiat Wajibah
Landasan filosofis adalah landasan yang dibangung atas dasar pemikiran
yang mendalam, dalam kerangka mencari kebenaran secara sitematis dan metodis

14

Putusan Mahkamah Agung RI No. 38.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1998 M, lihat


www.badilag.net. Diakses tanggal 2 Agustus 2014. Putusan selengkapnya akan penulis uraikan
untuk ssemangatjutnya dijadikan basis analisis.
15
Putusan Mahkamah Agung RI No. 38.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1998 M, lihat
www.badilag.net. Diakses tanggal 2 Januari 2014.

dengan cara melakukan refleksi makna yang hakiki dari keseluruhan fenomena
yang ada, sehingga menemukan kebenaran yang bersifat logis.16
Landasan filosofis juga mengandung pengertian pemikiran yang dilandasi
oleh cita-cita luhur yang menjadi pandangan hidup bangsa, sebagai salah satu
unsur untuk menjamin berlakunya suatu atura hukum. Dua unsur lainnya adalah
landasan yuridis, yaitu bahwa suatu aturan hukum harus dibuat oleh otoritas yang
berwenang ( badan legislative) dan sosiologis, yaitu bahwa hukum yang dibuat
haruslah merupakan kristalisasi dari nilai nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Artinya suatu aturan hukum akan efektif apabila dibangun di atas tiga
pandangan hidup bangsa yang bersangkutan, memuat nilai hukum yang hidup di
dalamnya dan aturan hukum dibuat oleh badan perwakilan yang berwenang.17
Dalam konteks Indonesia, landasan filosofis dari hukum yang berlaku
adalah Pancasila, sebagai pandangan hidup bangsa Indoneseia. Falsafah Pancasila
mengandung inti pengakuan tentang adanya Tuhan, yaitu sebagai kausa prima,
dan manusia, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, yang harus bekerja
sama dan gotong royong, dengan adil.18 Manusia sebagai pendukung pokok silasila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas
susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk Tuhan Yang
16

Theo Hujibers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hlm. 15.


Riayan Kusuma Ayu, Efektitas Hukum. dalam www.riayanaayu.com. Diakses tanggal
12 Agustus 2014
18
Aryna Talina, Filsaafat Pancasila, dalam www.staff.gunadharma.ac.id. Diakses
tanggal 12 Agustus 2014.
17

Maha Esa. Maka secara hierarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila
Pancasila lainnya.19
Uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa Pancasila sebagai landasan
filosofis merupakan sistem moral yang membimbing manusia Indonesia agar
berketuhanan, berkemanusiaan dan berkeadilan. Dengan demikian peran filosofis
Pancasila secara konstitutif yang menentukan dasar dan memberi peran regulative,
pada aturan hukum positif yang berlaku. Sementara itu KHI merupakan produk
konstitusional lembaga presiden, yaitu Instruksi Presiden (Inpres). Oleh karena
itu, dalam membahas landasan filosofis penetapan wasiat wajibah anak angkat
untuk memperoleh harta warisan dengan besaran 1/3 bagian, harus membahasanya
menurut falsafah Pancasila.

Seperti telah dijelaskan bahwa Pancasila sebagai landasan filosofis


mengandung tiga unsur penting, yaitu ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Ini
berarti, landasan filosofis penetapan wasiat bagi anak angkat dalam KHI harus
dilihat dari kebenaran

yang berdasar pada nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai

kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan. Landasan filosofis penetapan wasiat wajibah


dari nilai ketuhanan tidak lain adalah melihatnya menurut kaidah agama (Islam).
Islam memandang harta kekayaan dengan fungsi sosialnya terutama, berkaitan
dengan penyantunan anak-anak yang tidak beruntung. Islam merupakan agama
yang sangat mengajurkan manusia untuk berbuat baik kepada sesama, terutama

19

Ibid,

kepada mereka yang lemah dan tidak berdaya. Tidak kurang dari 37 ayat Al
Quran yang memerintahkan shalat selalu dirangkaikan dengan shalat, yang
menunjukan bahwa antara pengabdian kepada tuhan selalu berujung pada
kepedulian sosial. Dalam salah satu haditsnya Rasul juga menyatakan bahwa
orang tidak peduli dengan sesama bukan termasuk golongan kaum muslimin (man
la yahtamma bi amril muslimin falaysa minny)

Berdasarkan semangat kepedulian kepada kaum yang lemah, maka Islam


mengajarkan berbagai metode dan media untuk mewujudkannya, seperti zakat,
shodaqoh, dan wakaf, infaq, warisan, hibah serta wasiat sebagai upaya yang
bersifat public untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Dengan demikian
wasiat wajibah kepada anak angkat secara filosofis memenuhi kebenaran menurut
dasar Pancasila, menurut nilai-nilai ketuhanan (Islam), dan menurut nilai
kemanusian.

2. Besaran 1/3 bagian Hak Anak Angkat menurut Keadilan Hukum,


Keadilan Moral dan Keadilan Sosial.
a. Keadilan Hukum Hak Anak Angkat
Keadilan hukum merupakan keadilan yang berdasarkan hukum, artinya apa
yang disebut adil adalah ketentuan apa pun yang termuat dalam hukum (baca
undang-undang dan juga putusan hakim.20 Seperti seseorang yang dapat
20

hlm. 134.

Rifyal Kabah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004,

menunjukkan tiga kuitansi pembayaran berturut-turut maka ia dibebaskan dari


membayar bulan sebelumnya, meskipun secara nyata ia belum membayar
sehingga merugikan pihak yang seharusnya menerima pembayaran. 21 Undangundang tidak mempersoalkan bagaimana 3 kuitansi terakhir diperoleh, tetapi
adanya tiga kuitansi membebaskan pemiliknya dari kewajiban membayar.
Ketentuan undang-undang yang demkian harus dianggap adil, karena undangundang secara tekstual mengaturnya.
Seperti diketahui, hukum dibuat oleh Negara dalam kerangka menciptakan
keadilan dalam masyarakat yang dipandu oleh keadilan itu sendiri. Tanpa
keadilan, hukum tidak dapat mewajibkan pelaksanaan nilai-nilainya. Seperti
dinyatakan oleh Luypen, tanpa sifat mewajibkan yang bersumber dari
keadilan, maka sebuah aturan tidak dapat disebut sebagai hukum. 22

Oleh

karena itu dalam keadilan tersirat membangun kehidupan bersama yang lebih
baik, yaitu kehidupan adil dan baik bagi kemanusiaan.
Demikian juga, putusan hakim dianggap

adil, meskipun tidak dapat

memberikan kepuasan kepada kedua belah pihak. Hukum pengadilan juga


harus dianggap benar (waarheid),23 karena dibuat oleh hakim sebagai orang
yang tahu hukum (jus curia novit). Jadi hukum dapat disebut sebagai hukum
kalau tidak adil, demikian juga keadilan tidak dapat tumbuh di luar hukum.
21

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998,

hlm. 78.
22

Bernard L Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi,tp, tt, hlm. 150.
23
Ahmad Kholil, Menyoal Legal Justice, Moral Justice dan Sosial Justice, dalam
www.badilag.net. Diakses tanggal 11 Oktober 2014.

10

Pada sisi lain hukum adalah instrumen penguasa (Negara) untuk mengatur
pihak yang dikuasai (masyarakat). Ini berarti Negara bertanggungjawab atas
ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Utuk menciptakan keadilan,
Negara harus membuat aturan hukum yang menguntungkan semua pihak,
terutama kelompok yang rentan terhadap ketidak-adilan, dalam kerangka
memberikan perlindungan sekaligus menguntungkan bagi kelompok yang
lemah.24
Dalam KHI25 dan putusan hakim26 telah ditentukan bahwa anak angkat
memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Dengan
demikian ketentuan anak angkat memperoleh 1/3 bagian dari harta
peninggalan orang tua angkatnya

adalah pembagian yang adil menurut

keadilan hukum (legal justice). Sebagaimana dikatakan oleh Ralws,


kepentingan utama dari keadilan dari hukum yang dibuat oleh Negara adalah

24

Muhammad Ali Safaat, Pemikiran Keadilan, (Plato, Aristoteles dan John Rawls), dalam
www.anomalisemesta.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.
25
Dalam teori perundang-undangan, instruksi presiden tidak termasuk dalam instrument
pembentukan peraturan, sehingga KHI yang berdasar inpres tidak dianggap sebagai peraturan
perundangan-udangan dalam arti sebagai hukum tertulis. Akan tetapi menurut Hamid S Attamimy,
instruksi presiden juga dapat bersifat mandiri berfungsi sebagai pengaturan.. Tapi lepas dari
polemic tersebut, secara fungsional KHI telah menjadi rujukan hukum di pengadilan agama dan
tidak ada persoalan yang timbul karenanya. Lihat Ismail Sunny, Kedudukan KHI Ditinjau dari
Teori Hukum, dalam Berbagai Pandangan mengani KHI Yayasan Al Hikmah Jakarta, 1996, hlm.
89
26
Di samping yurisprudensi juga ada putusan PN Kudus, yang telah menetapkan anak
angkat memperoleh 1/3 bagian harta peninggalan orang tua angkat berdasarkan KHI. Lihat : Evi
Krisitiani, Hak Waris Anak Angkat menurut KHI, diakses dari www.unnes.ac.id, tanggal 10
Oktober 2014.

11

adanya jaminan stabilitas hidup manusia.27 Aturan dalam Kompilasi Hukum


Islam yang menentukan anak angkat memperoleh 1/3 bagian dari harta
peninggalan orang tua angkatnya, dapat dilihat dalam sebagai jaminan
stabilitas kehidupan manusia.

b.

Keadilan Moral Hak Anak Angkat

Seperti diuraikan di atas, keadilan dapat dinyatakan sebagai keadaan yang


memungkinkan seseorang memperoleh apa yang menjadi haknya, setara
dengan peran dan kewajibannya. Sedangkan moral, yang berasal dari kata latin
morales berarti ukuran atau standar baik dan buruk. Karenanya keadilan
moral adalah keadilan yang berdasarkan pada ukurna baik dan buruk, yang
hanya dapat didekati dengan niat dan itikad yang baik serta dihayati dengan
hati yang bersih.28 Untuk itu perlu diuraikan lebih dahulu moral sebagai
standar atau ukuran baik dan buruk.
Secara umum moral mempunyai banyak sumber, dan sumber yang paling
valid adalah agama. Agama (Islam) menentukan baik dan buruk, benar dan
tidak benar, serta adil-tidak adil, yang sumber utamanya adalah al Quran.29

27

John Ralws, Theory Of Justice, Terj. Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007,

hlm. 125
28

Mahmutarom Harun Al Rasyid, Perkembangan Makna Hukum dan Keadilan Islam


dalam Sejarah Pemkiran Prof. Sri Rejeki Hartono, SH, dalam Jurnal Hukum Khaira Ummah,Vo.2
No. 2 September, Unissula, Semarang, 2007, hlm. 198.
29
Rifyal Kabah, Penegakan Op.Cit. hlm. 150

12

Jadi apa yang baik adalah apa yang dinilai oleh al Quran sebagai baik, dan
sebaliknya, meskipun tidak sesuai dengan keinginan manusia.30
Dalam surat al Balad ayat 10 dan 11, ditegaskan bahwa

Allah telah

menunjukkan dua jalan, yaitu jalan yang baik dan jalan yang buruk. Kebaikan
dan keburukan secara fitrah telah diilhamkan kepada jiwa manusia sejak
mencapai kesempurnaan penciptaannya, demikian pula diuraikan dalam surah
al Syams ayat 7 dan 8.
Pelaksanaan konsep moral dalam pergaulan manusia oleh alquran
disebut dengan makruf, artinya kebaikan yang dikenal dan dilaksanakan.
Seperti menyantuni orang yang kekurangan, membela yang lemah,
menghormati orang tua pasti dinyatakan sebagai hal yang baik, hanya setiap
zaman dan tempat eksrpesi kebaikan itu berbeda-beda, dan itu tetap baik
selama memuliakan manusia, maka ia tetap dinilai sebagai makruf.31 Dengan
demikian menegakkan keadilan moral pada hakekatnya melaksanakan perintah
agama, karena pada saat yang sama Islam mengajarkan tidak boleh berbuat
dhalim termasuk kepada diri sendiri dan orang lain.32
Moralitas (Islam) yang demikian bila dikaitkan dengan ketentuan KHI
yang memberikan hak anak angkat sebesar 1/3 bagian dari harta peninggalan
orang tua angkatnya, menunjukkan kebaikan yang dianjurkan. Banyak ayat al
Quran dan as Sunnah yang menganjurkan memberikan kebaikan kepada orang30

Al Quran surah al Baqarah: 209.


M. Qurash Shihab, Wawasan al Quran, Mizan, Bandung, Cet. III, 1996, hlm.
32
Murtadha Mutahhari, Falsafah Akhaq, Pustaka Hidayah, Bandung, 1995, hlm.165.
31

13

orang yang kurang beruntung, sekalipun tidak ada ikatan hukum apa pun.
Sebaliknya pada anak angkat yang mempunyai hubungan hukum berdasarkan
putusan pengadilan, lebih layak lagi menerima kebaikan berupa bantuan materi
dari orang tua angkatnya.
Singkatnya, memberikan 1/3 bagian harta kepada anak angkat, merupakan
keadilan berdasarkan moral, yaitu keadilan yang berdasarkan kebaikan dengan
tolok ukur ajaran agama Islam. Karena menurut ketentuan pasal 209 KHI,
memberikan hak 1/3 kepada anak angkat merupakan ketentuan maksimal.
Apabila adil dinyatakan sebagai memberi hak kepada yang berhak, maka hak
anak angkat atas 1/3 bagian merupakan keadilan karena dalam ketentuan KHI
ditegaskan anak angkat demikian. Artinya ketika anak angkat diberi 1/3 bagian
dari harta peninggalan orang tua angkatnya, berarti

telah adil, karena

memberikan bagian anak angkat sesuai dengan haknya, yakni 1/3 bagian
Sementara itu, dari sisi moral, tidak ada dapat disangkal lagi memberi
dalam kerangka untuk menjamin kehidupan yang lebih sejahtera merupakan
kebaikan. Islam sebagai sumber moral menganjurkan untuk memberi jaminan
kesejahteraan kepada orang lain. Salah satu teks keagamaan menunjukkan hal
ini adalah surat al Maidah : 32 , yang berbunyi :


Artinya : barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, berarti ia
memelihara kehidupan seluruh umat manusia,

14

c. Keadilan Sosial Hak Anak Angkat


Term keadilan sosial sebenarnya baru muncul pada tahun 1840-an, sebagai
akibat dari tumbuhnya industrialisasi di Perancis dan Inggris. Gagasan
keadilan sosial merupakan gagasan revolusioner bahwa institusi sosial (yang
kapitalistik) dapat dilawan tidak hanya dari pinggiran (marginal) tetapi juga
dari inti tengahnya (the core of sosial institutions). Ketidak-adilan yang
menandai betapa dalamnya ketimpangan hubungan antara buruh dan majikan,
distribusi kekayaan /pendapatan akibat institusi kapitalis, harus dipertanyakan,
karena telah mempermainkan kehidupan rakyat banyak.33 Perlawanan dapat
diarahkan terhadap kekuasaan dari para pemilik modal, dan terhadap dominasi
dari keseluruhan sistem pasar tempat bersemayamnya kaptalisme.
Pada perang dunia ke-dua, gagasan keadilan sosial makin bekembang,
setelah kekuasan capital harus dibatasi dengan adanya organisasi buruh dengan
regulasi untuk memastikan bahwa keuntungan lebih dahulu mengalir kepada
rakyat. Karena itu institusi Negara sejahtera (welfare state) harus diciptakan
untuk menyediakan pendapatan yang memadai bagi seluruh rakyat.34
Dengan latar belakang sejarah sosial (ekonomi industri) di Eropa tersebut,
Indonesia mengadopsi gagasan keadilan

sosial dan kemudian dengan

modifikasi dicantumkan sebagai salah satu sila dari Pancasila dan tercantum

33

Agus Wahyudi, Munculnya Pengertian Keadilan Sosial, dalam www.pps.ugm.ac.id.


Diakses tanggal 24 September 2014.
34
Ibid.

15

pula dalam pembukaan UUD 1945. bahwa Indonesia berusaha menciptakan


perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Menurut Soekarno dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, di negara
barat hanya ada politiek domocratie, tetapi tidak ada rechtsvaardigheid, tidak
ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali. Jadi
Indonesia harus menganut demokrasi, yang memberi hidup, yakni politiek
ekonomische democratie yang mampu mendatangkan keadilan sosial.35 Hal
senada juga disampaikan tokoh lain seperti Soepomo dan Moh. Yamin, bahwa
keadilan sosial yang dimaksud adalah kesejahteraan rakyat. Pendapat ketiga
founding fathers tersebut memberikan gambaran

bahwa keadilan sosial

mempunyai tiga bentuk, yaitu keadilan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan


keadilan yang diinsyafi oleh mayoritas masyarakat.
Jadi secara rinci keadilan sosial dapat dikenali

melalui berbagai

pengertian; (1) pewujudan relasi yang adil di semua tingkat sistem


(kemasyarakatan), (2). pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan
kesemapatan, (3). proses fasilitasi untuk akses atas informasi yang diperlukan,
layanan yang diperlukan, dan sumber daya yang diperlukan; dan (4). dukungan
atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang.
Adapun wujud paling nyata dari sikap keadilan sosial adalah kedermawanan
sosial, atau filantropi sebagai cahaya krisis sosial, putus sekolah dan

35

hlm.67-68.

Safruddin Bahar et al, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Setneg RI, Jakarta, 1992,

16

pengangguran, yang setidaknya akan menciptakan rasa adil bagi orang yang
kebetulan terpinggirkan.
Oleh karena itu, pemberian hak kepada anak angkat untuk memperoleh
bagian dari harta peninggalan orang tua angkat merupakan wujud dari keadilan
social., terlepas dari berapa besaran bagian yang diperoleh anak angkat. Seperti
diketahui, redaksi pengertian anak angkat menurut pasal 171 huruf (h) KHI
dicantumkan frasa kata pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan, dan sebagainya.

Pada sisi lain, pemberian hak kepada anak

angkat sebesar 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya, dapat
dilihat pula dari filantropi orang tua angkat. Sikap filantropi pemberian 1/3
bagian kepada anak angkat paling tidak mempunyai dua makna, pertama
secara material, pemberian kepada anak angkat dapat mengentaskan anak dari
penderitaan dan menghidarkannya dari ketidak pastian di masa depannya.
Kedua, adalah makna moral, meskipun nilai 1/3 bagian tidak memberikan
jaminan kesejahteraan, akan rasa disayangi dan memperoleh perlakuan adil ini
akan menumbuhkan kepercayaan diri pada di anak angkat.
Simpulan dan Penutup
Setelah melakukan kajian filosofis hak anak angkat atas harta peninggalan
orang tua angkat menurut KHI, penulis dapat menyampaikan simpulan sebagai
berikut:
1. Landasan filosofis adalah landasan pencarian kebenaran berdasarkan pada
falsafah Pancasila, yang nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai kemanusiaan dan

17

nilai-nilai keadilan. Pemberian besaran hak anak angkat 1/3 bagian dari
harta peninggalan merupakan kebenaran yang berdasarkan pada nilai-nilai
ketuhanan Islam yang menjiwai nilai kemnausiaan dan nilai keadilan.
2. Besaran hak anak angkat 1/3 bagian hari harta peninggalan orang tua
angkatnya juga mempunyai landasan :
a. Keadilan hukum besaran hak anak angkat untuk memperoleh 1/3
bagian melalui wasiat wajibah didasarkan pada Instruksi Presiden
sebagai otoritas pembuat peraturan yang mandiri.
b. Besaran hak anak angkat 1/3 bagian adalah mengandung keadilan
moral yang luhur, karena bertujuan untuk kesejahteraannya, dan
merupakan kebaikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama
(Islam).
c. Keadilan sosial pada pokoknya keadilan yang bertumpu pada keadilan
ekonomi untuk kesejehteraan bersama, maka besaran hak anak angkat
1/3 bagian harta peninggalan kepada anak angkat, bertujuan untuk
mencapai kesejahteraan anak yang bersangkutan.
Demikian pandangan penulis dalam memahami keadilan dalam hak anak angkat
yang memperoleh 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua anaknya. Sebagai
sebuah pandangan ini, tentu ia bersifat subyektif. Tetapi mudah-mudahah dapat
memantapkan keyakinan, bahwa hak anak anak mempunyai landasan filosofis
serta mengandung dimensi keadilan hukum, keadilan moral dan keadilan sosial.

18

Anda mungkin juga menyukai