Jurnal Asma 2008 PDF
Jurnal Asma 2008 PDF
Iris Rengganis
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara
umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan
lingkungan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya kontrol asma secara klinis.
Tatalaksana asma yang efektif merupakan hasil hubungan yang baik antara dokter dan pasien,
dengan tujuan pasien mandiri. Edukasi merupakan bagian dari interaksi antara dokter dan
pasien.
Kata kunci: asma, inflamasi kronik, faktor risiko, kontrol asma, edukasi
Abstract: Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways associated with airway
hyperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. These episodes are usually associated with widespread, but variable, airflow
obtruction. Factors that influence the risk of asthma can be divided into those that trigger asthma
symptoms, the former include host factors which are primarily genetic and the later are environmental factors. The goal of asthma treatment is to achieve and maintain clinical control. The
effective management of asthma requires the development of a partnership between doctor and
patient. Education should be an integral part of all interactions between doctors and patients.
Keywords: asthma, chronic inflammation, risk factor, asthma control, education
444
Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi
melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan
fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan
sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu
akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus
kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen
dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan
sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan
vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan
tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi.1,3-6
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur
secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif
445
446
Gejala
Intermiten
Bulanan
Gejala <1x/minggu tanpa gejala diluar
serangan
Serangan singkat
Persisten ringan
.
Mingguan
Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari.
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala Malam
Faal Paru
APE >80%
- VEP1 >80% nilai prediksi APE
>80% nilai terbaik
- Variabiliti APE <20%.
APE >80%
Persisten sedang
.
Harian
Gejala setiap hari.Serangan mengganggu aktivitas
dan tidur. Bronkodilator setiap hari.
Persisten berat
.
Kontinyu
Gejala terus menerus.
Sering kambuh.
Aktivitas fisik terbatas
Sering
APE 60-80%
- VEP1 60-80% nilai prediksi APE
60-80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE >30%.
APE <60%
- VEP1 <60% nilai prediksi APE
<60% nilai terbaik
- Variabiliti APE >30%
447
1.
Perkembangan penyakit
Riwayat keluarga
Riwayat sosial
Riwayat eksaserbasi
448
Batuk, mengi dan sesak atau frekuensi napas cepat, produksi sputum, sering waktu malam, respons terhadap
bronkodilator
Perenial, musiman atau keduanya; terus-menerus, episodik, atau keduanya; awitan, lama, frekuensi
(jumlah hari/malam/minggu/bulan), variasi diurnal terutama nokturnal dan waktu bangun pagi hari
Infeksi virus. Alergen lingkungan, dalam rumah (jamur, tungau debu rumah, kecoa, serpih hewan atau
produk sekretorinya) dan outdoor (serbuk sari/pollen)
Ciri-ciri rumah (usia, lokasi, sistem pendingin/pemanas, membakar kayu, pelembab, karpet, jamur, hewan
piaraan, mebel dibungkus kain)
Latihan jasmani, kimiawi/alergen lingkungan kerja
Perubahan lingkungan
Iritan (asap rokok, bau menyengat, polutan udara, debu, partikulat, uap, gas)
Stres
Obat (aspirin, antiinflamasi, -bloker termasuk tetes mata)
Makanan, aditif, pengawet
Perubahan udara, udara dingin
Faktor endokrin (haid, hamil, penyakit tiroid)
Usia awitan dan diagnosis
Riwayat cedera saluran napas
Progres penyakit
Penanganan sekarang dan respons, antara lain rencana penanganan eksaserbasi
Frekuensi menggunakan SABA
Keperluan oral steroid dan frekuensi penggunaannya
Riwayat asma, alergi, sinusitis, rinitis, eksim atau polip nasal pada anggota keluarga dekat
Perawatan/daycare, tempat kerja, sekolah
Faktor sosial yang berpengaruh
Derajat pendidikan
Pekerjaan
Tanda prodromal dan gejala
Cepatnya awitan, lama, frekuensi, derajat berat Jumlah eksaserbasi dan beratnya/tahun
Penanganan biasanya
Episode perawatan di luar jadwal (gawat darurat, dirawat di RS)
Keterbatasan aktivitas terutama latihan jasmani Riwayat bangun malam
Efek terhadap perilaku, sekolah, pekerjaan, pola hidup dan efek ekonomi
Pengetahuan mengenai asma: penderita, orang tua, istri/suami atau teman dan mengetahui kronisitas asma
Persepsi penderita mengenai penggunaan obat pengontrol jangka lama
Kemampuan penderita, orang tua, istri/suami/teman untuk menolong penderita
Sumber ekonomi dan sosiokultural
5.
6.
449
Pencegahan1,2,11-14
A. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan
sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada
masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan
dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada
bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.
Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi
kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator
masih merupakan hipotesis.
B. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor
(trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah,
450
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health, 2007.
Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102.
Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati,
Sundaru H, Siregar SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in
Indonesia. In: Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers;2006.707-36.
Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological mechanisms in asthma and allergic disease. Robinson
DS (ed), S. Karger AG, Basel, Switzerland, 2000.62-71.
Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in European Journal of Allergy and Chronic
Urticaria.volume 63,646.
Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in
allergic diseases. In: Zweiman B, Schwartz LB.editors.USA: Marcel
Dekker; 2002.p.325-54.
Augusto A. Asthma and obesity: Common early-life influences in
the inception of disease JACI.2008 Mei; 121.(5):1075.
Brisbon N, Plumb J, Brawer R, Paxman D, The asthma and
obesity epidemics: The role played by the built environment-a
public health perspective. JACI.2005;115 (5):1024-8.
Devereux G, Seaton A, Diet as a risk factor for atopy and
asthma.JACI.2005.115 (6):1109-17.
Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy - a global perspective
in Allergy. European Journal of Allergy and Clinical Immunology.2007;62 (3).213-5.
Corrigan C, Rak S, Asthma in allergy. China: Elsevier Mosby;
2004.26-38.
Bacharier LB, Louis S.Step-down therapy for asthma: Why,
When, and How? JACI.2002; 109 (6):916.
Bochner BS, Busse WW. Allergy and Asthma.JACI.2005;115
(5):953-9.
Broide D. New perspectives on mechanisms underlying chronic
allergic inflammation and asthma in 2007. JACI.2008.122 (3):
475-80.
Cabana MD, Le TT, Arbor A. Challenges in asthma patient
education.JACI.2005;115 (6):1225-7.
MS/FR
451