Anda di halaman 1dari 8

Nama

NIM
Mata Kuliah
Dosen Pengasuh

: HUSEINSYAH
: 1309300050007
: Analisis Kualitatif dan Kuantitatif
: Dr. T. M. Jamil, M.Si

A. MENILAI VALIDITAS INTERPRETIF DALAM PENELITIAN KUALITATF


Setelah beberapa dasawarsa mengalami perdebatan akademik dan paradimatik,
penelitian etnografis dan Kualitatif akhirnya mendapat posisi yang cengangkan.
Prestasi ini diduga oleh semua pihak, terutama oleh kalangan pakar yang
menggelutinya, yang selama beberapa dasawarsa sudah terbiasa dengan statusnya
yang rendah, tak dihargai, dan marjinal. Muncul minat baru yang luar biasa dengan
penelitian etnografis dan kealitatif. Bahkan, minat tersebut muncul dalam disiplindisiplin keilmuan (seperti pendidikan, kajian tentang keadilan, kerja klinis, kajian
hukum, analisis kebijakan) yang praktik dan penerapannya kurang berkembang
pertumbuhan, minat ini telah disaksikan oleh kalangan pakar yang lain. Bukti
kecenderungan tersebut dapat dikaji dan diuraikan dari banyak sumber. Namun,
seperti yang ditengarai oleh Pogo, para mahasiswa etnografi justru telah menjadi
pengkritiknya yang paling tajam, yang sering kali munculkan kembali persoalanpersoalan epistemologis menyangkut problematika objektivitas, tujuan ilmu
pengetahuan, dan memilah-milah wawasan baru tentang konteks, elogika, dan
format komunikasi.
Kritik baru terhadap metode, substansi, gaya, praktik, dan relevansi etnografis
atau kualitatif pun mengemuka. Kritk tersebut tidak muncul dari musuh
tradisionalnya, yakni kalangan positivis yang mengambinghitamkan penelitan
kualitatif karena kegagalannya memenuhi sebagaian atau seluruh kriteria positivistic
umum tentang kebenaran, namun muncul dari pihak yang terkait dengan gerakan
etnografis itu sendiri.
Sarana konseptual utama kami adalah objek tivitas, dan persoalan-persoalan
kami mengajukan sebuah perpektif untuk menilai penelitian kualitatif, namun
perhatian utama kami lebih dititik beratkan pada upaya menciptakan batasanbatasan operasional tertentu untuk mendekati persoalannya. Kami mengaji butirbutir persoalan yang dimunculkan oleh sejumlah paparan kritis, terutama beberapa
tulisan mutakhir yang ditulis oleh para pakar post modernis. Dengan mengikuti
tinjauan umum terhadap beberapa pandangan alternatif tentang validitas yang

ditawarkan oleh para pengritik ini, kami mengambil posisi yang berbeda menyangkut
isu validitas. Kami mengusulkan beberapa pedoman umum untuk menilai penelitian
etnografis dan mengkaji persoalan utama untuk mengukuhkan rancangan-rancangan
alternative bagi pendekatan klasik terhadap ilmu sosial ini, dengan merumuskan
landasan maksud/tujuan bagi etika etnografis yang dapat ditempatkan dalam ekologi
ilmu pengetahuan. Kemudian kami memusatkan perhatian pada model etnografi,
yakni realism analitik, yang didasarkan pada pandangan bahwa dunia murni itu
sendiri.
B. Etnografi Dalam Perpektif
Sepanjang para pakar melaksanakan penelitian kualitatif atau etnografis, maka
mereka sesungguhnya telah mengkaji proses penelitian. Pada awal pengatian abat
(XX) dan sepanjang beberapa dasawarsa berikutnya, ilmu pengetahuan dan wawasan
tentang proses dan masalah penelitian kualitatif telah diterbitkan secara tertulis,
sekaligus dikomunikasikan secara lisan. Dalam antropologi, Franz Boas dan
mahasiswa mahasiswanya menyampaikan secara lisan tradisi etnografis mereka
yang menyeluruh dan dinamis. Harus diakui bahwa kalangan antropolog dan
sosiolog, meskipun acara historis berbeda preferensinya atas masyarakat
eksotik/asing atau kelas bawah perkotaan. Pendekatan mereka tetap saja nyaris
sama. Dalam sosiologi, Robert Park dan ngomunikasikan wawasan dan pandangan
mereka kepada kalangan sendiri dan para pengikut baru. Sepanjang 1960 an hingga
1970, muncullah ulasan dan analisis etnografi yang lebih tajam, yakni aliran refleksi
dalam penelitian kualitatif.
Satu makna refleksivitas adalah bahwa peneliti ilmiah merupakan bagian dan
anggota dari setting, konteks, dan kebudayaan yang dicoba dipahami dan
direpresentasikan olehnya. Dengan memegang teguh aliran refleksif, para peneliti
kualitatif yang semangkin bertambah jumlahnya pun mulai mengapresiasi apa makna
refleksivitas bagi validitas penelitian etnografis dan kualitatif. Muncullah apresiasi
baru terhadap persoalan-persoalan dan isu lama dalam etnografi, hal ini karena
semakin banyakna kalangan pakar yang menyadari bahwa persoalan tradisional
menyangkut perizinan masuk atau akses ke dalam setting/konteks, relasi-relasi
pribadi dengan para anggota dalam setting, bagaimana data penelitian lapangan
dipahami dan dicatat, dan sejumlah persoalan pragmatis lainnya ternyata
menimbulkan implikasi penting terhadap sesuatu yang dilaporkan oleh seorang

peneliti sebagai temuan-temuan penelitian. Kesadaran yang semakin tumbuh ini


turut memberikan sumbangsihnya bagi munculnya masa kreatif, dinamis kritik-diri
serta refleksi-diri dikalangan pakar etnografi.
Bagi penelti kualtatif kontemporer yang peka proses penelitian, masa 25 tahun
yang telah lewat, khususnya telah menghasilkan banyak publikasi yang berupaya
menganalisis hubungan akrab antara proses penelitian dengan temuan-temuan yang
dihasilkannya. Muncul banyak sekali laporan penelitian yang membahas prosesproses penelitian, dari peran keangotaan dalam tugas lapangan (baca Adler & Adler,
1987) hingga meningalkan setting/konteks penelitian (Altheide, 1980). Banyak pakar
etnografi telah berusaha untuk memecahkan persoalan-persoalan validasi dan
kebenaran ini dengan kejujuran dan integritas yang tak diragukan lagi. Hasilnya, kini
kita lebih banyak memahami kompleksitas dan nuansa makna dari proses penelitian
kualitatif, dan bagaimana pemecahan persoalan-persoalan penelitian pragmatic
ternyata bersentuhan dengan masalah-masalah validitas dan penelitian lapangan
(dibaca Clifford & Mercus, 1986; Geertz, 1973). kontribusi John Van Maanen yang
berjudul Tales of the Field (1988) mencerminkan satu upaya demi perkembangan
etnografi sosiologis sebagaimana kumpulan tulisan Clifford dan Marcus Writing
Calture (1986), telah memberikan sumbangsihnya baJohn Van Maanen yang berjudul
Tales of the Field (1988) mencerminkan satu upaya demi perkembangan etnografi
sosiologis sebagaimana kumpulan tulisan Clifford dan Marcus Writing Calture (1986),
telah memberikan sumbangsihnya bagi etnografi antropologis.
Positivisme menjawab persoalan validitas dari sudut rehabbilitas metode dan
temuan yang realiabel (dapat/temuan yang sahih. Kesadaran luas akan kontruksi
realita yang saat ini berlaku secara irionis telah mengiring menuju sikap
antifungsionalis yang radikal. Sikap ini mengklaim bahwa ilmu pengetahuan, bahwa
proses ilmu pengetahuan sekalipun berjalan tanpa landasan, tanpa otoritas, dan oleh
karenanya, apa saja boleh. Maksudnya adalah, ilmu pengetahuan itu sendiri
bukan merupakan satu-satunya kriteria, karena semua klaim ilmu pengetahuan
didasarkan pada beragam asumsi. Sebagian besar kritikus pasti sepakat bahwa ilmu
pengetahuan tanpa asumsi adalah mustahil, meskipun mereka juga. Sebagian besar
kritikus pasti sepakat bahwa ilmu pengetahuan tanpa asumsi adalah mustahil,
meskipun mereka juga berkeyakinan bahwa penelitian dan penyelidikan memang
dibutuhkan.

Nilai-nilai yang berbeda yang terungkap dalam paparan tentang atau upaya
untuk mencari validitasi benarnya telah dikaji oleh banyak peneliti yang menitik
beratkan pada kekuasaan, meliputi kebudayaan ideology, gender, bahasa/teks, dan
relevansi/advokasi. Berbagai para pakar kebudayaan termasuk tulisan-tulisan yang
terkait dengan ideology, termasuk feminism, telah berupaya untuk mengidentifikasi
lanadasan dan ansumsi tersirat dari klaim-klaim validitas/ilmu pengetahuan.
Karenanya berbeda, maka titik-titik keberangkatan tulisan para pakar diatas sering
kali bertemu. Yang menjadi dasar argumentasi dari banyak paparan tersebut adalah
bahwa validitas seyogianya dikesampingkan sama sekali sebagai sebuah konsep yang
praktis atau dikualifikasi secara radikal, auah konsep yang praktis atau dikualifikasi
secara radikal, ataupun ataupun dipisah dengan tanda penghubung Sebagian
besar dari ungkapan berikut ini telah dilontarkan, secara sinis, dengan mengunakan
kata-kata gabung seperti validitas pengganti, validitas katalitik, validitas, validitas
terinterogasi, validitas transgresif, validitas imperial, validitas simulasi/ironis, validitas
tempat, dan validitas yang penting menyenangkan (baca Atkinson, 1990, 1992; Esner
& Peshkin, 1990; Guba, 1990; Hammersley, 1990, 1992; Lather, 1993; Wolcoot,
1991). Sikap-sikap utama terhadap validitas diuraikan berikut ini.
1. Validitas-sebagai-kebudayaan (VAC: validity-as-culture) sangat terkenal
dikalangan pakar ilmu sosial. Klaim dasarnya menyatakan bahwa pakar
etnografi merefleksikan, menerapkan, mereproduksi, menulis, dan kemudian
membaca sudut pandang kebudayaannya sendiri untuk others (pihak lain).
Sudut pandang merupakan terdakwa dalam validitas. Solusinya mencakup
upaya-upaya untuk menyertakan lebih banyak sudut pandang, meliputi
upaya untuk menilai kembali cara peneliti memandang misi dan tema
penelitian.

Atkinson

(1992)

menyatakan

bahwa

etnografi

dapat

dimitoskan,namun rasa akan kontinuitas kelas hamper tidak lebih kuat


dalam genre Inggris dari pada dalam genre Amerika yang lebih terfokus pada
rasa akan tempat.
2. Validitas-sebagai-ideologi (VAI: validity-as-ideology) sangat mirip dengan
VAC, kecuali bahwa focus perhatiannya lebih tercurah pada siaft-sifat kultural
tertentu yang meliputi kekuatan social, legitimasi, dan asumsi-asumsi tentang
struktur sosial, semisal bawahan/atasan.

3. Validitas-sebagai-gender (VAG: validity-as-gender), mirip dengan VAC dan


VAI, memusatkan perhatian pada berbagai asumsi yang di terima apa adanya
yang diajukan oleh para peneliti berkompeten dalam menjalankan tugas
konseptual dan pengumpulan data mereka, meliputi beberapa persoalan
menyangkut kekuasaan dan dominasi dalam interaksi social. Satu
kepeduliannnya adalah bahwa aspek-aspek kekuatan sosia yang timpang ini
dapat dipulihkan kembali dan lebih jauh dikukuhkan serta dilegitimasi.
4. Validitas-sebagai-bahasa/teks (VAL: validity-as-language/text) senada dengan
semua validitas yang diuraikan dimuka, terutama menyangkut bagaimana
kategori kultural dan pandangan tentang dunia, seperti yang tersurat dengan
tegas dalam bahasa dan, secara lebih luas, dalam wacana, membatasi
keputusan dan pilihan yang membingkai segala sesuatu.
5. Validitas-sebagai-relevansi/advokasi (VAR: validity-as-relevance/advocacy)
menekankan kemanfaatan dan Pemberdayaan penelitian agar bermanfaat
dan mengangkat martabat kelompok-kelompok yang sering kali menjadi
objek penelitian-- ) menekankan kemanfaatan dan Pemberdayaan
penelitian agar bermanfaat dan mengangkat martabat kelompok-kelompok
yang sering kali menjadi objek penelitianyaitu orang-orang yang relative
tak berdaya, seperti kaum miskin atau petani.
6. Validitas-sebagai-standar (VAS: validity-as-standards) menegaskan bahwa
harapan akan otoritas yang berbeda terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri,
atau peneliti yang dilegitimasi oleh jubah kehormatan ini, patut di curigai,
dan bahwa klaim-klaim kebenaran itu sedemikian banyaknya sehingga
meruntuhkan otoritas atau prosedur yang tunggal. Dalam kasus ekstrem,
sains tidak lagi berfungsi sebagai model yang disukai bagi ilmu pengetahuan,
karena yang paling utama pemahamanlah, bukan informasi yang terkodifikasi
dan terintegrasi secara teoretis-sebagai ilmu pengetahuan-yang lebih
dikehendaki.
Bebagai validitas bertanda penghubung yang diuraikan dimuka disajikan sebagai
ilustrasi tentang cakupan perhatian yang telah diuraikan pada persoalan validitas.
Yang menjadi benang merah dari sebagan besar rumusan validitas diatas berupa
pengabaian setiap bentuk hubungan atau kecukupan representasi kehidupan nyata
yang bersifat semu/pura-pura dalam konteks yang lebih luas. Sebaliknya, model

umumnya sepertinya penyiratkan bahwa validitas seharusnya relevan dan dapat


dipergunakan bagi penerapan ilmu pengetahuan tertentu: apakah ilmu pengetahuan,
misalnya, bersifat membebaskan atau memberdayakan? Pertanyaan seperti ini,
menurut pandangan kami, merupakan argument yang bermanfaat untuk
menjernihkan berbagai persoalan dan mengingatkan penelitian, subjek penelitian,
dan juga pembaca (audiens). Sepanjang berbagai validitas tersebut memungkinkan
pembaca/anggota audiens terlibat dalam dialog dalam rangka mengevaluasi dan
mengkaji laporan-laporan penelitian, maka hal ini baik-baik saja, namun didapatkan
pandangan yang memuaskan tentang etnografi yang berkualitas tanpa pernyataan
yang tegas menyangkut validitas yang melampaui tujuan atau ideology peneliti.
Upaya apa pun untuk mengajukan kriteria yang bermakna untuk menilai
kecukupan penelitian kualitatif harus diawali dengan kesadaran penelitian kualitatif
harus diawali dengan kesadaran akan yang bermakna untuk menilai kecukupan
penelitian kualitatif harus diawali dengan kesadaran penelitian kualitatif harus
diawali dengan kesadaran akan tujuan etnografi. Demi a tujuan etnografi. Demi
apakah etnografi dilakukan dan bentuk-bentuk apakah yang perlu diambil dan
ditempuh? Bingkai konseptual yang kita pilih untuk menjabarkan perspektif kita
mengenai topic-topik penting ini merupakan bingkai yang bercberciri etis dan
humanistic, bukanhumanistic, bukannya parameter idealisme atau realism ilmiah
konvensional. Singkat kata, sebelum menentukan cara menilai etnografi,
sebaliknya kita lebih dulu menetapkan apa yang kita maksudkan dengan etnografi.

C. Prinsip-prinsip Etika Etnografi.


Etika etnografi menuntut upaya untuk mempertahankan berbagai undangundang etnografi etis yang berusia panjang dan telah diterima apa adanya meliputi
komitmen kritis untuk mencari dan menyingkap pemahaman para anggota, konteks,
dan lain-lain, dari setting yang sedang diteliti. Validitas-sebagai-penjabaran-refleksif
(VARA) merupakan perspektif alternative bagi validitas-validitas yang telah diuraikan
dimuka. Jenis validitas ini menempatkan peneliti, topik, dan proses pemahaman ke
dalam interaksi, proses kerja etnografi yaitu :
1. Hubungan antara yang diminati (prilaku, ritual, makna) dengan konteks kultural,
historis, dan organisasional yang lebih besar yang menjadi tempat dilakukannya
observasi/penelitian (subtansi)

2. Hubungan antara peneliti, yang diteliti, dan setting (peneliti)


3. Persoalan perspektif (atau sudut pandang), entah perspiktif peneliti ataukah
subjek yang diteliti, yang digunakan untuk menghasilkan interpretasi tentang data
etnografis (interpretasi)
4. Peran pembaca dalam hasil akhir (audiens), dan
5. Persoalan gaya representasional, retoris, ataukah kepengarangan yang digunakan
oleh peneliti/penulis dalam memberikan deskripsi dan/atau interpretasi (gaya).

Lima aspek penelitian kualitatif ini mencakup persoalan-persoalan problematis


menyangkut validitas. Masing-masing dari kelima aspek tersebut meliput pertanyaan
atau persoalan yang harus di selesaikan dan dipecahkan secara pragmatis oleh setiap
peneliti manapun dalam proses pelaksanaan penelitian. Etika sendiripenelitian yang
mereka lakukan.
Usulan butir-butir persoalan untuk menempatkan dan memantapkan peran
peneliti berhadapan dengan fenomena mencakup pernyataan tentang tema-tema
yang dipaparkan sebelumnya dalam karya ilmiah yang lain (Altheide, 1976), hlm, 197
dan seterusnya), yaitu :

a. Perizinan masuk organisasional dan individual


b. Pendekatan dan penampilan diri
c. Kepercayaan dan kedekatan hubungan
d. Peran peneliti dan cara beradaptasi
e. Kekeliruan, kesalahpahaman, dan kejutan
f. Jenis dan keragaman data
g. Pengumpulan dan pencatatan data
h. Pengkodean dan pengaturan data

D.

i.

Penyajian alitik

j.

Laporan neratif

Etnografi sebagai teks validitas interpretif


dalam ekologi ilmu pengetahuan, realism analitik mengakui bahwa cara

penyajian temuan-temuan penelitian sangatlah penting bagi perumusan klaim dan


penilaian. Persoalan besarnya adalah representasi dan dalam bentuk atau genre

apakah laporan etnografis itu sebaliknya disajikan misalnya dalam bentuk kisah
realis kesaksian pribadi atau impresionis (Van Maanen, 1988). Bahwa terdapat
perbedaan tegas yang muncul dalam teks antara data atau bahan dengan analisis.
Ciri khas danBahwa terdapat perbedaan tegas yang muncul dalam teks antara data
atau bahan dengan analisis. Ciri khas dan proses penyusunan komunikasi sangatlah
penting bagi teknik bagaimana etnografi diproduksi sebagai bagaimana etnografi
diproduksi sebagai sebuah dokumen. Beruntungnya, karya-karya ilmiah etnografis
sebelumnya dalam bidang logika media dan terutama ciri khas dan pengunanaan
format, atau bagaimana pengalaman didefinisikan, diketahui, disusun, diri khas dan
pengunanaan format, atau bagaimana pengalaman didefinisikan, diketahui, disusun,
dipilih, dan disajikan, membantu kita untuk mempersiapkan diri menghadapi
berbagai persoalan yang telah disaksikan oleh penulis post-modern dan pakar lainya
selama tahun-tahun belakangan ini.

E. Kesimpulan
Etnografi refleksif telah banyak mengajari kita sepanjang dua dasawarsa ini, dan
tak diragukan lagi bahwa dalam dasawarsa berikutnya akan mengajari kita lebih
banyak lagi. Namun pelajaran yang dapat dipetik dari ajaran-ajarannya masih belum
benar-benar jelas. Kami telah berupaya untuk memaparkan sebagian persoalan utama
dan paparan-paparannya yang paling menarik mengenai etnografi, disertai dengan
kerangka konseptual untuk merumuskan paling menarik mengenai etnografi, disertai
dengan kerangka konseptual untuk merumuskan ulang validitas, validitas interpretif,
sekaligus beberapa prinsip atau pedoman umum untuk menilai penelitian kualitatif,
terutama penelitian etnografis.
Uraian pada penjelasan diatas menunjukan kepada kita bahwa sesunguhnya
penelitian kualitatif sedang dalam puncak-puncaknya saat ini, ada banyak pokok
bahasan(topic) baru yang mengemuka melalui berbagai macam wacana dahulu, topiktopik tersebut berada dibawah kendali perspetif positivism dan post-positivisme.
Sekarang ada banyak cara untuk menuli, membaca, menguji, mengevaluasi, dan
mengang ada banyak cara untuk menuli, membaca, menguji, mengevaluasi, dan
mengaplikasikan teks plikasikan teks penelitian kualitatif. Bidang yang kompleks ini
mendorong kemunculan penilaian refleksif yang akan menjadi topic utama.

Anda mungkin juga menyukai